Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PKI ?

Khusus ttg sepak terjang/sejarah jihad dan penerapan Syariah di INDONESIA & negara jiran (MALAYSIA)
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Put Mu’inah: Orang PKI Juga Ber-Tuhan
admin | 5 - Mar - 2008

“…Orang orang PKI bertuhan. Kami memeluk agama masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya mendapat contoh dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau memberikan cinta kasih, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Hal itu saya jadikan pegangan hidup.”

Ungkapan ini meluncur begitu saja dari bibir mantan Ketua Gerwani Cabang Blitar, Put Mu’inah (73 tahun), saat ditanya apakah benar orang PKI anti Tuhan. Put Mu’inah adalah aktivis organisasi yang berafiliasi ke PKI, dan turut merasakan pedihnya tragedi 1965. Seperti kebanyakan rakyat Indonesia lainnya, ia tak banyak mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi pada 1965. Hanya saja sebagai aktivis politik, Put Mu’inah mempunyai analisa dari perspektif politik global.

Menurutnya, tidak masuk akal jika PKI membunuh para jenderal dan melakukan kup terhadap Soekarno. Mengapa? Karena Bung Karno sangat melindungi PKI. PKI justru sangat berkepentingan terhadap tegaknya kekuasaan Bung Karno. “Yang menghendaki jatuhnya Presiden Soekarno adalah Amerika Serikat dengan menempatkan Harto (Soeharto-red) untuk ditanam di sini sebagai agennya. Tugasnya (Soeharto) adalah menjatuhkan Soekarno,” tegasnya.

Dalam analisa Put Mu’inah, Amerika berkepentingan untuk menjatuhkan Soekarno, karena Amerika tidak suka Soekarno membawa Indonesia menjadi negara yang besar, dengan konsep Trisakti yang diucapkan dalam pidato tahun 1963, yaitu; berpolitik bebas, berdikari dalam bidang ekonomi dan berbudaya bangsa yang luhur. “Nah yang paling ditakuti Amerika dan Inggris adalah berdikari dalam bidang ekonomi. Bung Karno tak mau dipinjami IMF. Bung Karno merencanakan membangun negeri ini dengan kekuatan sendiri,” tegas Mu’inah.

Mu’inah mungkin mewakili politisi lokal (daerah) dalam memaknai peristiwa elite Jakarta yang menyeret berbagai elemen masyarakat Indonesia dalam konflik berdarah. Ia tak mengerti apa-apa tentang peristiwa di Jakarta saat itu. Di dalam organisasinya sendiri, PKI, biasanya jika ada program atau rencana pasti selalu ada koordinasi yang ketat, dari tingkat pusat hingga ke daerah. Sejauh yang ia ketahui, tak pernah ada informasi apapun tentang tragedi 1965 itu. Sehingga ketika di bulan Oktober 1965 itu tentara dan sejumlah anggota Ansor melakukan perusakan aset-aset milik PKI, dan mengepung rumahnya, ia hanya menduga PKI sedang difitnah dan hendak dihancurkan.

Maka, wanita asli Srengat, Kabupaten Blitar yang dilahirkan pada bulan Nopember 1930, ini pun tak punya pilihan lain. Ia harus menyingkir, menyelamatkan diri. Dengan menggendong anak bungsunya yang berusia satu bulan (anak yang lainnya entah pada pergi kemana), Mu’inah pergi mengungsi, menyusuri kebun kentang di Lereng Gunung Arjuno Batu Malang. Semula ia hendak menumpang di rumah adiknya, di Komplek AURI Abdurrahman Saleh. Tetapi karena di sana tidak aman, ia pergi ke kebun kentang, dan menjadi buruh di sana hingga tiga bulan.

Karena selalu dihantui penggerebekan, Mu’inah berniat pergi ke Jakarta. Dalam bayangannya Jakarta adalah kota besar, sehingga tempat perlindungan pun bisa lebih baik. Untuk lebih menjamin keamanan, Mu’inah menemui Letnan Supeno, anggota tentara yang dikenalnya dengan baik. Kepada Supeno, ia meminta dibuatkan surat pengakuan bahwa dia adalah istrinya. Dengan berbekal surat keterangan istri tentara, Mu’inah bertolak ke Jakarta. Dalam perjalanan ia singgah dulu di Yogya. Tetapi malang, ia justru ditangkap dan ditahan di kantor Polisi Militer Yogya selama tiga bulan, karena ‘istri tentara’. Setelah tiga bulan ditahan, dia dibebaskan dengan syarat harus meninggalkan Yogya. Maka Mu’inah langsung bertolak ke Jakarta.

Jauh dari yang ia bayangkan, Jakarta ternyata lebih ketat. Beberapa rumah famili dan kenalan yang ia datangi, kondisinya sangat memperihatinkan. Maka ia pun pergi ke Surabaya, tanpa tujuan yang jelas. Beruntung di dalam kereta, ia berkenalan dengan seorang tentara berpangkat Kapten, yang sedang bepergian bersama anak dan istrinya. Dan dari perkenalan itu, keluarga tentara itu memberikan pertolongan kepada Mu’inah, dengan menjadikannya sebagai pengasuh bayi dan pembantu rumah tangga. Tentara ini rupanya juga mempunyai pabrik kaos. Meski terasa enak, Mu’inah tetap tidak bisa tenteram, karena terpisah dengan keluarga dan famili. Maka beberapa hari kemudian ia pergi lagi.

Setelah mengungsi kesana-kemari, pada tanggal 11 Agustus 1968, Mu’inah akhirnya ditangkap oleh Batalyon 511 dalam Operasi Trisula, saat ia berada di dalam persembunyian. Kedua ibu jari tangannya diikat di belakang, lalu disambungkan ke seluruh badan. Bersama sejumlah orang, ia dibawa ke pos pertama di Bululawang, Kecamatan Bakung, Blitar. Setelah itu dipindah ke pos kedua, di Surowadang. Waktu diinterogasi Letnan Bonar, pakaian Mu’inah yang compang-camping dicarikan ganti oleh Sutrisno, seorang Kasi 1 Kodim Blitar. Untuk pakaian bawah ia dikasih sarung, sementara pakaian atasnya ia dikasih pakaian tentara milik temannya.

Yang sangat mengharukannya, saat diinterogasi ia sempat diberi segelas susu. Namun nasib sejumlah orang lain yang diinterogasi sangat menyedihkan, tubuhnya berlumuran darah, sebagian karena disiksa, sebagian karena kecelakaan. Di sebelah Mu’inah juga ada orang yang pantatnya rusak karena jatuh ke jurang waktu hendak ditangkap, sehingga ia tak bisa duduk. Mu’inah lalu membagikan susu itu ke teman-temannya. “Minumlah susu ini sebelum kita mati nanti,” ujar Mu’inah, karena dalam bayangannya ia pasti akan dibunuh juga.

Nasib naas menjumpai anak-anak muda yang tertangkap bersama Mu’inah. Sebanyak 25 orang yang rata-rata berusia 20 tahun itu, akhirnya mati ditembak. Sedang Mu’inah sendiri beruntung, karena kebetulan ia kenal baik dengan Komandan Batalyon 511, Muslim Bagyo. Atas bantuan Muslim ini, Mu’inah mendapatkan tempat tidur yang layak di tempat Letnan Bonar. Dari sini kemudian perjalanan Muinah terus berpindah-pindah dari satu rumah tahanan ke rumah tahanan yang lain. Yang terakhir (hingga tahun 1978) ia ditempatkan di penjara Plantungan, Kendal.

Mu’inah memang profil seorang wanita aktivis politik. Masa remaja dilaluinya sebagai juru ketik di Komite Nasional Indonesia (KNI) Cabang Blitar. Tahun 1946 bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Ketika Belanda melakukan agresi militer tahun 1948, ia turut melakukan perlawanan di daerah pakis Aji, Kabupaten Malang. Tahun 1949, ketika Gerakan Wanita Sedar (Gerwes) berdiri, ia bergabung. Bersama Gerwes ia berharap dapat memperjuangkan martabat wanita Indonesia yang dinilainya, berada dalam kondisi memprihatinkan.

Ketika pada tahun 1950 Gerwes bersama 51 organisasi wanita lainnya berkongres dan membentuk organisasi bernama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Mu’inah aktif di Gerwani Cabang Blitar. Tak lama kemudian, ketika Gerwani Cabang Blitar mengadakan konferensi, Mu’inah dipercaya menjabat sebagai Ketua. Karier politik Mu’inah terus melejit. Ketika berlangsung Pemilu 1955, PKI memperoleh suara besar, dan mengantarkan Mu’inah ke kursi anggota DPRD Peralihan, yang kemudian berubah menjadi DPRD Sementara, dan berubah lagi menjadi DPRD Gotong Royong. Di situ Mu’inah duduk di Fraksi Partai Komunis Indonesia (FPKI) mewakili Gerwani.

Perjalanan politik itu tiba-tiba terbalik secara cepat dan drastis. Rasanya kemarin ia masih menjalin hubungan yang akrab dengan berbagai elemen masyarakat Blitar. kehidupan yang sangat harmonis, tak ada ketegangan apapun. Muinah saat itu menjalin hubungan akrab dengan banyak pihak, termasuk Bapak Kayubi anggota DPRD dari Fraksi NU, yang juga anggota Ansor. Tetapi konflik elite politik Jakarta telah menyeret mereka dalam pertumpahan darah yang terlalu mengerikan. Ia tak tahu, kapan luka itu bisa disembuhkan….. Desantara

http://www.desantara.org/03-2008/527/pu ... ber-tuhan/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Wawancara dengan Ibu Put Mu’inah

By ave on 11/05/2008

“tapi yang jelas bahwa orang orang PKI bertuhan dan memeluk agamanya masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya justru mendapatkan contoh itu dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau menjalankan cinta kasih, bahkan terhadap musuh musuhnya sekalipun.”

Masa Kecil Ibu di mana?
Saya asli Srengat, Kabupaten Blitar. Dilahirkan pada Bulan Nopember 1930 di Srengat. Pendidikan pertama yang saya terima di Sekolah Taman Siswa di Tulung Agung. Akibat pendudukan Jepang, Ayah saya yang seorang tokoh NU Pakis Rejo, Srengat dan tokoh Syarikat Rakyat di tahan oleh tentara Jepang. Karena Bapak ditahan, berikut hasil pertanian di sawah sekaligus persediaan pangan dirumah dirampas oleh Jepang, akhirnya saya disuruh berhenti oleh ibu untuk membantu kegiatan ekonomi keluarga. Saya sempat juga belajar sebentar di taiso untuk mempelajari katakana dan hiragana.

Bagaimana dengan kisah berorganisasi ibu?
Saya katakan kepada Bapak saya, “Pak saya tidak usah sekolah, tetapi ikutkan ke teman Bapak yang paling pandai’. Akhirnya saya diikutkan oleh Bapak kepada Ibu Umi Sarjono. Beliau orang Salatiga, ketika pendudukan Jepang lari ke Blitar serta membuka restoran di Hotel Lestari. Perkenalan Ibu Umi dengan Bapak, ketika keduanya ditahan oleh Jepang di Rumah Tahanan di Blitar. Setelah keluar tahanan beliau berdua dibantu oleh Kyai Mucshin membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) cabang Blitar. Waktu itu saya diperbantukan sebagai juru ketik. Pada tahun 1946 saya gabung di PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia). Kertika pada tahun 1948 Belanda melakukan agresi ke Indonesia, saya bersama kawan kawan melakukan konfrontasi (push font) dengan Belanda di daerah Pakis Aji, Kabupaten Malang. Pada tahun 1949, ketika Gerwes (Gerakan Wanita Sedar)berdiri, saya bergabung di sana.

Kenapa Ibu gabung di Gerwes? Apa hubungan dengan PESINDO?
Secara struktural tak ada hubungannya, Gerwes adalah organisasi yang terpisah dengan PESINDO. Saya gabung di Gerwes karena prihatin melihat posisi perempuan kala itu. Perempuan sangat menyedihkan, seakan tak ada harganya, bahkan dijadikan obyek. Kita lahir sebagai wanita kan bukan kehendak kita sendiri, tapi itu kan ketentuan dari Alloh. Namun kenapa harus ada pendeskreminasian terhadap kaum wanita. Kita lihat konflik rumah tangga kerapkali kesalahan ditumpakan kepada wanita. Melalui Gerwes saya berharap dapat mengangkat derajat kaum wanita untuk membela kebenaran dan menuntut hak haknya. Perkembangan selanjutnya tahun 1950 Gerwes, bersama sama dengan 51 organisasi kewanitaan lainnya melakukan kongres dan membentuk organisasi besar yang bernama Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Pada tahun yang sama pula, saya bersama kawan kawan di Kotapraja Blitar mendirikan Gerwani Cabang Blitar, dan saya diangkat melalui konferensi Cabang Gerwani sebagai Ketua, yang tadinya aktif di kabupaten Blitar. Karena berasal dari Kabupaten Blitar, maka keanggotaan saya di DPRD juga di Kabupaten Blitar. Saya menjadi anggota DPRD Peralihan sejak tahun 1955, yang akhirnya terus berubah menjadi DPRD Sementara, berubah lagi menjadi DPRD Gotong Royong. Saya duduk di Fraksi Partai Komunis Indonesia (FPKI) mewakili dari Gerwani.

Berapa komposisi perolehan kursi di DPRD Kabupaten dan Kotapraja Blitar saat itu?
Seingat saya, dari 45 kursi DPRD di Kabupaten Blitar melalui pemilu tahun 1955, PKI memperoleh kursi 23. Sisanya dibagi NU dan PNI, sedangkan Masyumi, Murba, dan Perti kalau tak salah hanya mendapat 1 atau 3 suara. Untuk di wilayah Kotapraja Blitar, dari 15 kursi di DPRD, PKI mendapatkan kursi 10, sedangkan 5 kursi sisanya dibagi NU dan PNI. Karena kursi yang diperoleh mayoritas, maka Walikota Blitar saat itu Bapak Kusnadi juga simpatisan kiri. Sementara di Kabupaten, Bupatinya Bapak Darmaji memang terpilih sejak jaman Belanda.

Kapan Ibu menjadi anggota DPRD terakhir kalinya?
Ya sejak peristiwa 1965 terjadi

Bagaimana dengan situasi sosial politik di Blitar sebelum meledaknya persitiwa 1965? Apa ada ketegangan ketegangan antar kelompok masyarakat?
Di Blitar kala itu situasinya sangat kondusif, tak ada ketegangan ketegangan antara kelompok masyarakat. Daerah kami sangat damai, bahkan saya sering kerja bareng dengan Bapak Kayubi dari Fraksi NU, beliau orang ansor. Jadi Agama-Nasionalis-Komunis, tetap kompak.

Terus, Ibu memaknai peristiwa G 30 S/PKI di Jakarta itu bagaimana?
Kita waktu itu tidk mengerti apa apa tentang kejadian di Jakarta. Biasanya kalau PKI itu punya gawe (hajat) sudah pasti kita yang didaerah daerah mengetahuinya. Kira kira bulan Oktober 1965 rumah saya tiba tiba dijaga oleh tentara. Dan ketika saya melihat orang orang ansor bersama pasukan loreng loreng merusaki rumah rumah (baca: aset PKI) lantas saya pergi mengungsi.

Bagaimana dengan visualisasi tentang perilaku PKI yang ada di Film G 30 S/PKI yang dulu ditayangkan setiap tanggal 30 September?
Uuuuhhh, itu omong kosong. Sama sekali tak benar dan itu menunjukkan kebohongan. Kalau Gerwani digambarkan menyileti Jenderal Jenderal semacam itu, justru bertentangan dengan ideologi komunis. Kok gagah betul gerwani menyileti Jenderal Jenderal. Tapi yang melihat kok percaya juga yaa. Pokoknya semua itu bertolak belakang dengan cara perjuangan PKI. Saya menyimpulkan bahwa yang menghendaki jatuhnya Presiden Soekarno adalah Amerika Serikat dengan menempatkan Harto (baca: Mantan Presdien Soeharto) untuk ditanam disini sebagai agennya. Tugasnya adalah untuk menjatuhkan Soekarno. Tahun 1963 Bung Karno kan pernah punya konsep Trisakti, yaitu; Berpolitik bebas, Berdikari dalam bidang ekonomi, dan Berbudaya bangsa yang luhur. Nah, yang paling ditakuti oleh Amerika dan Inggris adalah berdikari dalam bidang ekonomi. Bung Karno tak mau dipinjami oleh IMF. Bung Karno merencanakan dengan kekuatan bangsa sendiri kita pasti akan dapat hidup.

Kalau memang harto benci Karno kenapa, Kenapa PKI dilibatkan?
Sebab pendukung setia Bung Karno itu PKI. Karena Bung Karno itu satunya kata dan perbuatan dipihak rakyat tertindas, anti kapitalis, pemerasan dan penindasan. Jadi tak logis kalaui PKI berontak, wong PKI pendukung Bung Karno. Maka Soeharto menggunakan siasat para pendukung Bung Karno dulu yang dihancurkan. Karena kalau waktu itu ia “nembak” langsung ke Soekarno pasti akan mengalami kesulitan. Setelah peristiwa 1965 meledak katanya Bung Karno diamankan, setelah diamankan Bung Karno dikatakan sebagai PKI, Supersemar dihilangkan dan sebagainya. Saat pembunuhan terhadap tujuh jenderal itu, Harto kan menggunakan Letkol Oentung.

Lho, Oentung kan orang PKI?
Bukan, siapa bilang. Kita tidak punya Jenderal yang PKI. Saya akui bahwa kita kemasukan Sjam yang sebetulnya orang orang Amerika dan orangnya Soeharto.

Tapi apakah di PKI ada Biro Militer yang dipimpin oleh Sjam yang sifatnya rahasia?
Tak ada Biro Militer, yang ada itu Biro Politik

Sjam kok bisa masuk ke PKI bagaimana?
Itulah lihainya tentara, seakan akan dia komunis deles (tulen). PKI itu kelemahannya mudah percaya pada orang dan tak menaruh curiga apa apa, karena menurut agama su’udzhon (berburuk sangka) itu kan tak boleh.

Terus, bagaimana dengan pasukan yang dibawa oleh Oentung untuk operasi militer kala itu?
Itu kan pasukan dari Solo yang belum dikenal oleh Bung Karno ketika mereka menyamar sebagai cakrabirawa dan membawa Bung Karno ke Lubang Buaya. Tapi setelah kejadian itu, Oentung kan ditembak sendiri oleh orang orangnya harto dengan dalih untuk operasi pemulihan keamanan, disamping untuk menutup adanya hubungan rahasia antara Harto dan Oentung.

Tapi apakah benar bahwa para pemuda rakyat dan gerwani saat itu juga di Lubang Buaya?
Begini lho nak, saat itu kita kan lagi konfrontasi dengan Malaysia. Kita menginginkan Malaysia sebagai saudara kita lepas menjadi boneka Inggris. Jadi persiapan kita untuk menggayang Malaysia adalah untuk menyingkirkan Inggris. Karena konfrontasi itu, maka pemuda rakyat dan gerwani sedang menjalani latihan latihan militer dibanyak tempat, dan tak ada yang di lubang buaya waktu tragedi 65. Perlu dicatat sewaktu Bung Karno masih berkuasa, Pak Nas (Jend. Pur. Nasution) tak setuju jika Soeharto diberi posisi yang strategis, bahkan minta harto dipecat saja. Pak Yani (Jendr. Pur. Ahmad Yani) adalah musuhnya Harto waktu itu. Harto itu pernah mengenyam pendidikan intelegen dari Amerika Serikat melalui Jenderal Suwarto yang merupakan gurunya. Pak Yani adalah orang yang tak setuju Harto disekolahkan. Jadi kita lihat waktu Oentung melakukan penculikan, rumah yang paling awal dituju kan rumahnya Pak Yani dan Pak Nas, karena memang keduanya merupakan musuh Harto. Sementara PKI mengkonsentrasikan diri untuk mendukung upaya upaya perjuangan Bung Karno.

Bagaimana dengan pendapat bahwa PKI tak bertuhan?
Itu kan kata mereka, tapi yang jelas bahwa orang orang PKI bertuhan dan memeluk agamanya masing masing. Agama itu sifatnya pribadi. Saya justru mendapatkan contoh itu dari Nabi Muhammad tentang bagaimana beliau menjalankan cinta kasih, bahkan terhadap musuh musuhnya sekalipun. Hal itu saya jadikan pegangan untuk berbuat baik. Karena kalau kita baik, jangankan perintah agama, naluri kemanusiaan saja sudah pasti orang itu tergugah.

Melanjutkan yang tadi Bu, Sewaktu G 30 S/PKI meledak, ibu mengungsi dimana?
Saya ya cari hidup, anak-anak saya pergi sendiri-sendiri, kecuali Si bungsu yang berumur 1(satu) bulan bersama saya?. Lari pertama saya di adik saya di komplek AURI Abdurahman Saleh Malang, lantas saya lari dan menjadi babu di kebun kentang wilayah lereng Gunung Arjuno Batu Malang. Selama disana 3(tiga) bulan (1996)dan ketika tentara mau menggerebek saya turun. Ketika turun saya mencari teman saya bernama Letnan Supeno, saya minta surat pengakuan bahwa saya istrinya dia, surat itu saya gunakan untuk surat jalan ke Jakarta tapi sebelum ke Jakarta saya menginap di rumah keponakan yang kuliah di Universitas Gajah Mada (aktivis CGMI). Namun ketika saya di Yogja saya ditangkap oleh orang-orang ansor sebanyak delapan orang dan tentara tujuh orang. Mereka tahu atas informasi dari pemuda demokrat Blitar yang waktu itu ada di Yogja. Saya ditahan 3(tiga) bulan di Kantor Polisi Militer karena berdasar surat saya yang tak bawa dianggap bahwa saya adalah istri tentara. Pemeriksaan pertama dilakukan Letnan Silitonga. Ditahanan CPM ada limaorang perempuan bersama saya, diantaranya Bu Ridono (tokoh ketoprak siswobudoyo), seorang Tionghoa, Bu Artin (anak UGM). Setelah tiga bulan kami dibawa di Rumah Tahanan di Yogja. Tapi saat itu pukul 12.00 WIB saya dibebaskan dengan syarat saya malam itu juga tak boleh berada di Yogja. Tepat jam 22.00 WIB ada kereta yang menuju ke Jakarta. Saya lantas naik kereta itu menuju Jakarta.

Pertimbangan ibu waktu itu ke Jakarta apa?
Pertimbangannya bahwa Jakarta adalah kota besar sehingga tempat perlindungan tentunya akan lebih baik, tapi tak tahunya justru lebih menyedihkan. Ketika sampai Jakarta saya teringat pernah memiliki kenalan dari Jember yang tinggal disana. Dulu ia adalah pegawai koperasi di Blitar lalu pindah ke Jakarta, namanya Imam Santoso. Dengan sisa uang Rp. 8.000,- saya naik becak dengan ongkos Rp. 5.000,- menuju ke tempat dia didaerah Bedara Cina. Sesampainya disana, ternyata rumahnya justru dijadikan tempat pelarian kawan kawan dari Jember dan Banyuwangi sehingga penuh sesak. Terlihat orang orang begitu banyak didalam rumahnya, hingga untuk tidurpun harus duduk. Akhirnya terpikir dalam benak saya, “tak mungkin saya disitu”. Pertimbangannya akan mengundang kecurigaan orang, disamping juga tak ada tempat buat anak saya. Lalu saya pergi menuju tempat famili dari kakak saya di daerah Pisangan Baru, namun ketika sampai disanapun saya melihat suasana yang kurang kondusif.

Kenapa?
Ya, di samping rumahnya kecil, takut juga nanti membebani dia dan keluarganya. Saya tak enak sendiri, takutnya nanti kalau ada pertanyaan macam macam dari pihak Rukun Tetangga (RT). Jadi selama dua bulan di Jakarta saya hidup ngere (baca: Gelandangan) hanya berbekal pakaian dan perhiasan yang menempel ditubuh saya (sebagian perhiasan telah saya jual) serta keranjang bodol (baca:usang) yang berisi pakaian lusuh dari anak saya. Perhiasanku satu per satu, saya jual untuk memenuhi kebutuhan perut dan si kecil. Sedangkan tidurnya di tempat seadanya di Jakarta. Terakhir saya jual kalung untuk pergi ke Surabaya. Dengan bantuan famili yang bekerja di tempat penjualan tiket kereta api di Stasiun Jakarta Kota, saya berhasil mendapatkan tiket. Selama perjalanan di dalam kereta, tak terpikir olehku untuk singgah kemana sesampainya di Surabaya nanti. Beruntung didalam gerbong itu saya ditawari oleh seorang tentara berpangkat Kapten bersama isteri dan bayinya untuk bekerja di rumahnya merawat bayi dan isterinya. Sesampainya di Stasiun Pasar Turi Surabaya, sang Kapten ternyata telah dijemput dengan mobil sedan waktu itu. Akhirnya kita semua meluncur menuju rumahya di daerah Kenjeran. Ternyata sang Kapten memiliki pabrik kaos di rumahnya, dan saya tinggal seminggu disana dengan bekerja merawat bayi mereka berdua. Tapi saya tak enak juga dengan keluarga Kapten itu, mengingat hanya bekerja sebagai perawat bayi kebutuhan hidup saya dipenuhi. Apalagi waktu itu operasi operasi di surabaya juga sedemikian ketatnya. Akhirnya saya memutuskan untuk pamit keluar, untuk pindah ke keluarga saya di daerah sekitar Rumah Sakit Karang Menjangan. Ia adalah kakak sepupu dari suami saya, ia juga sorang tentara bernama Letnan satu Nyoto dari kesatuan Sawonggaling. Ketika saya berada di rumah Pak Nyoto, keenam anak saya tiba tiba menyusul. Tak tahu siapa yang memberitahukan waktu itu kalau saya tinggal di rumah Pak Nyoto. Karena kebetulan Pak Nyoto adalah ketua RT, maka kami semua dikasih surat pindah rumah dengan alasan rumah telah kebakaran. Dengan cincin yang sebenarnya tak ingin saya jual, akhirnya saya jual, guna menyambung hidup. Dengan modal jual cincin saya berjualan singkong rebus, dengan mengontrak didaerah Bendul Merisi (belakang Rumah Sakit Angkatan Laut) Surabaya. Di Bendul Merisi seingat saya di awal-awal tahun 1967 dan selama tujuh bulan saya jualan didaerah situ. Waktu di surabaya saya tak pernah keluar, jadi yang belanja itu anak saya yang pertama berumur 14 tahun. Anak saya memang tak sekolah semua, karena waktu itu anak PKI tak boleh sekolah. Sampai bulan Agustus 1967 waktu itu saya sedang belanja di Pasar Wonokromo namun berjumpa dengan seorang Polisi dari Blitar, ia tetangga saya, walaupun secara pribadi baik, tapi lebih baik saya antisipasi terhadap apa yang kemungkinan terjadi, terpaksa anak-anak saya (kecuali Bungsu) suruh menyebar meninggalkan tempat itu entah kemana terserah mereka untuk mencari hidup walaupun waktu itu tak bisa memberi uang saku. Malam itu juga saya lari menuju Blitar Selatan bersama Si bungsu. Di Blitar di daerah pegunungan kan banyak teman-teman. Saya diterima baik disana, diberi makan meskipun dengan apa adanya. Pertama saya singgah di Desa Pakisaji, Kecamatan Maron Kabupaten Blitar. Namun tak tak lama tentara masuk ke daerah itu , takut tercium oleh tentara, maka saya pindah di Dukuh Krisik, Desa Ngrejo. Waktu saya di Ngrejo anak-anak saya mengetahuinya dan kita kumpul lagi. Walau hanya makan tiwul (jagung dilembutkan dan ditanak) rasanya bahagia sekali. Tanggal 22 Deseber 1967 tentara melakukan operasi di Krisik, maka seluruh anak-anak saya termasuk bungsu dibawa turun oleh kakak-kakaknya. Saya lantas dengan orang-orang di daerah situ masuk ke hutan, karena pada waktu itu kalau ada laki-laki yang dianggap simpatisan PKI pasti ditembak. Tentara sangat lihai untuk mengidentifikasi orang gunung atau bukan dilihat dari posisi berdiri, kalau orang gunung kan kalau berdiri agak bungkuk kesamping, karena seringnya ngambil air dari jauh. Selama di hutan saya bersembunyi di gua-gua dan berpindah-pindah kalau malam hari. Sedangkan kalau makan ya menu seadanya, seperti pupus-pupus daun, pisang kalau ada, sedang kalau minum memakai kaleng-kaleng bekas minumnya tentara yang kebetulan melewati daerah itu. Dan pada tanggal 11 Agustus 1968 saya tertangkap di dalam gua oleh Batalyon 511, kemudian diikat kedua ibu jari ke belakang dan disambungkan keseluruh badan. Waktu di dalam hutan awal-awalnya banyak orang yang sama sama pelarian tapi lambat laun habis, ada yang tertangkap, pun juga ada yang dibunuh. Waktu itu pula sebelum tertangkap saya sering sembunyi di Bultuk, gua yang menjorok ke bawah (mirip sumur) dengan menyulur menggunakan akar-akar pohon. Gua Bultuk dahulu itu memang bersejarah, yaitu dipakai orang-orang gunung menyimpan cadangan pangan, karena waktu Operasi Trisula di Blitar selatan banyak oknum tentera yang merampas kekayaan penduduk bahkan jika melihat anak gadis atau janda yang cantik tak segan-segan untuk memperkosanya. Seperti kejadian yang terjadi di desa Ngleduk Kecamatan Surowadang, beberapa oknum tentara secara brutal memperkosa beberapa anak gadis dan janda lalu membunuhnya di gunung Kemiri. Ada sembilan lembu diambil oleh oknum oknum itu namun ketika Komandan Batalyon 511 mengetahui prajurit itu disiksa. Kejadian lain yang dialami Pak Loso beserta 12 anggota keluarganya termasuk cucu ditembak, harta bendanya diambil dan rumahnya dibakar. Kalau PKI dikatakan Partai Kampak justru yang merampok adalah oknum-oknum itu. Pernah juga dalam suatu kejadian seluruh warga daerah situ sebanyak lima desa dikumpulkan jadi satu desa dan dikumpulkan di lapangan termasuk wanita dan anak-anak sampai kehujanan dan kepanasan bahkan tak dikasih makan.

Waktu tertangkap lantas Ibu dibawa ke mana ?
Pertama dibawa ke Bululawang kecamatan Bakung Blitar. Di situ merupakan pos pertama operasi Trisula, di situ saya di ejek dan diolok-olok oleh istri-istri tentara “ dapat roti dari RRT ya”? sambil menetap sinis. Di pos inilah saya pertama merasakan nasi, setelah sembilan bulan dalam hutan. Walaupun campur gabah (padi) dengan sayur buah pepaya yang digarami, rasanya begitu enal sekali.

Lalu dari Bululawang dibawa ke mana lagi?
Saya dipindah ke Surowadang, saya handle oleh Letnan Bonar, di situ merupakan pos kedua Trisula. Waktu diintrogasi oleh Letnan Bonar, nasib baik menyertai saya, pakaian yang saya pakai compang-camping lalu dicarikan ganti oleh Pak Sutrisno, seorang Kasi 1 Kodim Blitar, diberi sarung untuk pakaian bawah sedang atasnya dikasih pakaian tentara milik temannya dari Jawa Tengah. Waktu diintrogasi saya bahkan diberi susu, namun orang-orang di sekitar saya yang juga diintrogasi, nasibnya sungguh menyedihkan, disekujur tubuhnya penuh dengan lumuran darah. Di sebelah saya ada yang pantatnya rusak akibat jatuh ke jurang waktu akan ditangkap sehingga tak bisa duduk, orang itu bernama Sukro. Susu yang diberikan ke saya lantas aku bagikan ke teman-teman itu, saya katakan “minumlah susu ini sebelum kita mati nanti”, karena dalam benak saya, saya yakin pasti akan dibunuh. Nasib sial menemui anak-anak yang bersamaku tadi, mereka mati ditembak. Mereka sebanyak 25 orang yang umurnya rata-rata 20 tahun. Sedangkan saya kenal dengan komandan Batalyon 511, yaitu Bapak Muslim Bagyo, akhirnya saya diajak tidur di tempatnya, tepatnya ditempatkan di Letnan Bonar. Dari tempatnya Pak Muslim lalu saya dibawa ke Lodoyo (pusat pos Operasi Trisula). Saya ditempatkan di perumahan yang merupakan tempat Mantri Kehutanan, kebetulan ia keponakan dari suami saya. Bahkan di tempat itu saya diperbantukan di dapur pos tentara di Lodoyo yang dipimpin Kolonel Witarmin. Ditempat ini pula saya baru ketemu dengan teman-teman saya yang Gerwani. Setelah diperbantukan di situ teman-teman sebanyak tujuh orang dimasukkan di LP perempuan di Malang, tapi saya ditempatkan di tahanan kantor Polisi Lodoyo yang waktu itu dipenuhi oleh orang-orang gila. Dari Lodoyo lantas dipindah ke Kodim Blitar, lalu dipindah lagi di Kantor Polisi Militer Blitar, ada beberapa malam dan dipindah lagi di LP Blitar diawal Tahun1969. Waktu di LP Blitar saya dipanggil di Kodim dan diberitahu bahwa suami saya Pak Bandi (Orang nomor satu di Comite Seksi PKI Blitar) telah ditembak, lalu saya menanyakan di mana ? dan kapan ? Pihak Kodim menjawab eksekusinya hari ini, sedangkan tempatnya tak diberitahukan. Saya sendiri berfikir akan ditembak sesaat lagi,jadi tak bisa menangis waktu itu. Dari LP Blitar saya dipindah ke pabrik rokok Kediri, di sana terdapat ratusan pria, sedang wanita hanya beberapa orang. Karena sedikit tahanan wanita, maka dipindah ke PM Kediri dan dipindah lagi di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Madiun (saya menduga akan dibuang ke pulau Buru), tapi rupanya dugaan saya keliru. Ternyata saya di bawa ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, dan dipindah lagi di Sidoarjo lalu dipindah ke Plantungan Kendal. Saya termasuk rombongan pertama ke tempat itu karena wilayahnya masih hutan. Pada tahun 1970 (pertengahan) sampai tahun 1978 saya menetap di Plantungan. Plantungan merupakan edisi terakhir saya dipenjara, walapun begitu debgab adanya keputusan Pangkobkamtib hak-hak saya sebagai warga negara Indonesia hilang dan tak boleh menuntuk hak tersebut.

Sejak keluar dan menghadapi Pemilu 1980-an, apa ibu boleh memilih
Oh ya tak boleh, saya baru boleh memilih sejak Pemilu 1999. Walaupun saya punya hak memilih atau tidak, saya juga tak tahu yang saya pilih, wong saya ikut kumpul-kumpul pengajian saja tak boleh, dicurigai melakukan gerakan politik. Bahkan melawat orang matipun tidak boleh. Mungkin hal ini sifatnya kasuistik yang terjadi di desa saya. Waktu saya dari Plantungan pulang ke rumah, saya disambut bak orang pulang dari haji.

Sejak menikmati hari-hari di rumah, apa ibu juga sering dipanggil yang berwajib ?
Ya saya sering. Wajib lapor, ya di Koramil maupun di Kodim untuk diinterogasi.

Bagi tahanan yang masih hidup apa agendanya Bu ?
Saya tak akan bentuk organisasi, tetapi saya akan mencoba meluruskan sejarah 1965. Saya kan sebagai korban d mana saya merasa tak berbuat apa-apa.

Sampai sekarang Ibu aktif di mana ?
Saya gabung dengan LPKP (Lembaga Penelitian Korban Pergerakan G 30/ S PKI) yang dipimpin dr Ribka Ciptaning Proletariat.

Apa anak Ibu ada yang pegawai negeri?
Ya pasti tak ada, karena pasti tak boleh. Anak anak saya cari makan seadanya. Walapun begitu toh Tuhan masih memberikan rezeki yang cukup kepada mereka, bahkan ada yang menjadi direktur.

Pasca kejadian di tahun 1965 sampai berakhirnya operasi trisula di Blitar Selatan daerah daerah mana saja yang diperkirakan menjadi tempat tempat pembantaian?
Di sekitar sini saja (Srengat) ada beberapa tempat diantaranya di Poluwan, di pertigaan lempung, di Dermojayan, di Kawedusan, dan di Ponggok. Pokoknya kalau di Blitar secara keseluruhan banyak sekali. Ada yang satu tempat saja kurang lebih 100 orang. Menurut informasi yang saya dengar bahwa di Gunug Betet (Lodoyo) itu saja banyak sekali. Di Krisik saja satu desa ada 600 orang korban yang dibantai. Jadi jumlah total di Blitar angkanya mencapai ribuan.

Harapan ibu kepada pemerintah sekarang bagaimana?
Pemerintah supaya memberikan kembali (rehabilitasi) hak hak kita sebagai seorang WNI, termasuk juga keterunannya. Kedua, harus ada upaya upaya pelurusan sejarah menengenai peristiwa G 30 S. Ketiga yang meninggal harus diberi kompensasi kepada keluarganya, terutama secara ekonomi. Kita tak ada rasa dendam, atau benci. Justru kita merasa kasihan kepada orang orang yang terlibat dalam pratek pembantaian dulu, karena mereka hanya diperalat. Terakhir, generasi muda harus diberi informasi apa adanya.

http://www.averroes.or.id/research/wawa ... 9inah.html
User avatar
tukang ojek
Posts: 1527
Joined: Sun Sep 18, 2011 2:39 am
Location: Di hati kaum muslimin dan muslimah :)

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by tukang ojek »

siapa dibalik pembantaian G30S/PKI ?
Para Budak Arab....ingin mendongkrak Islam agar terlihat " Suci dan Penuh mukjijat " !
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Senin, 01 Oktober 2012 | 17:28 WIB
Burhan Kampak, Jagal Pemburu PKI
Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Jakarta - Liputan khusus majalah Tempo tentang Pengakuan Algojo 1965 edisi Senin, 1 Oktober 2012 memuat kesaksian para pelaku. Burhan Zainuddin Rusjiman, 72 tahun, menjadi algojo untuk wilayah Yogyakarta, Manisrenggo dan Kaliwedi Klaten Jawa Tengah. Inilah penuturannya:

Saya dijuluki Burhan Kampak. Ini karena saat terjadi konflik pada 1965-1966, saya sering membawa kampak (kapak) panjang untuk memburu orang yang diduga terlibat komunis. Tapi saya juga kerap mengeksekusi dengan pistol. Prinsip saya, daripada dibunuh, lebih baik membunuh.

Kebencian saya terhadap komunisme dimulai sejak mahasiswa, ketika menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saya yakin, komunis musuh semua agama. Salah satunya karena fatwa Muktamar Majelis Ulama Indonesia di Sumatera Selatan pada pertengahan 1962. MUI menyatakan komunisme haram karena atheis. Mulai saat itu saya berpikir, orang PKI kalau bisa dibina ya dibina, kalau tidak mau ya dibinasakan.

Ketika G30S meletus, perang terhadap PKI dan simpatisan pendukungnya gencar saya lakukan di Yogyakarta. Khususnya setelah kedatangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Yogyakarta sekitar Oktober 1965. Kedatangan pasukan di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo itu menjadi angin segar bagi gerakan massa Islam.

Dengan posisi saya sebagai staf satu Laskar Ampera Aris Margono dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), saya mendapat license to kill, izin untuk membunuh orang yang dipastikan terlibat PKI. Ada 10 orang yang diberi pistol, lalu dilatih di Kaliurang. Pistol jenis FN diberikan sekitar November 1965. Yang dapat pistol dan diberi pelatihan menembak cuma petinggi organisasi mahasiswa.

Wilayah operasi saya tidak hanya di Yogyakarta. Saya juga sering ikut operasi di Luweng Gunungkidul, hingga Manisrenggo dan Kaliwedi di Klaten, Jawa Tengah. Di Luweng, eksekusi dilakukan pada malam dengan cara mendorong orang yang ditutup matanya dari tebing tinggi ke aliran sungai yang mengalir ke pantai selatan Jawa.

http://www.tempo.co/read/news/2012/10/0 ... ru-PKI-160
User avatar
tukang ojek
Posts: 1527
Joined: Sun Sep 18, 2011 2:39 am
Location: Di hati kaum muslimin dan muslimah :)

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by tukang ojek »

wah..pengakuan dari algojo lagnsung.
kan...islam mengambil kesempatan buat menaikkan islam menurunkan y lain.....
Pelakunya mahasiswa islam....langsung membabat tanpa pikir2 dgn landasan ketetapan MUI...
Simplenya "bunuh saja musuh pribadi .." orang udah mati kan gak bisa bela diri atau teriak bahwa saya si korban bukan PKI..tapi si algojo kalah saing atau lainnya gitu.

Hm...ISLAM senengnya menggunting dalam lipatan.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Senin, 01 Oktober 2012 | 15:18 WIB
Pastor Ini Menolak Pembantaian PKI di NTT
Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Kupang - Romo Pede, pastor di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), merupakan satu-satunya yang menolak penumpasan warga yang diduga terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) di daerah itu.

"Kenapa saya menolak, karena saya ditantang kepala pastor asal Belanda. Mulai saat itu, saya menentang aksi pembantaian itu," kata Romo Pede kepada Tempo di Seminari Retapiret, Maumere, Rabu lalu, 19 September 2012.

Penolakan itu berawal ketika Romo Pede menjabat sebagai Pastor Paroki Bola, Kecamatan Bola. Pada Minggu, 6 Maret 1966, usai menggelar misa dengan jubah lengkap, Romo Pede mendatangi sebuah koperasi di daerah itu yang digunakan untuk menampung para terduga PKI itu. "Orang terduga PKI itu di kumpulkan oleh Camat Bola waktu itu," katanya.

Mereka kemudian dijemput dua truk komando operasi (komop) untuk dibawa ke Maumere. Romo Pede kemudian menantang komop untuk menunjukkan bukti keterlibatan mereka dengan PKI. Namun, ia tak dihiraukan oleh komandan komop yang menjemput mereka. "Mereka katakan, kami bukan pengambil keputusan," katanya.

Romo Pede kemudian mengikuti komop hingga ke Kota Maumere. Dia berharap bisa membebaskan puluhan warga yang diangkut dari Desa Bola. Namun, perjuangannya sia-sia, karena warga yang diangkut tetap dieksekusi dan dikuburkan di Kampung Garam, Kota Maumere. "Tidak ada selamat, semua yang dibawa di eksekusi malam itu," katanya.

Mulai saat itu, Romo Pede menerima ancaman melalui secarik kertas yang meminta agar dia meninggalkan Desa Bola dan Maumere, sebelum komop bertindak. "Saya kemudian dipindahkan ke Ndao, Kabupaten Ende," katanya.

Mantan Camat Bola, Paulus Moa, enggan berkomentar tentang warga Desa Bola yang dikumpulkan di gedung koperasi olehnya sebelum di eksekusi komop. "Saya no comment. Tanya langsung saja ke komop," katanya.

YOHANES SEO

http://www.tempo.co/read/news/2012/10/0 ... PKI-di-NTT
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Senin, 01 Oktober 2012 | 05:36 WIB
Untuk Tabok PKI, Tentara Pinjam Tangan Rakyat
Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Jakarta-Dalam penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) tentara sengaja menggunakan orang-orang sipil. Mereka berasal dari berbagai kalangan tak terkecuali pesantren. Laporan utama majalah Tempo edisi 1 Oktober 2011 berjudul "Pengakuan Algojo 1965" mengungkap hal tersebut..

Di Kediri, misalnya, pondok pesantren, Ansor, dan tentara bersama-sama membantai anggota dan orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia.

Menyandang kelewang, Abdul Malik memimpin 100 pemuda Ansor berjalan kaki dari lapangan alun-alun Kota Kediri menuju Kelurahan Burengan. Tujuannya: kantor Partai Komunis Indonesia. Sejak penyerbuan di Kelurahan Burengan pertengahan Oktober itu, selama berbulan-bulan Abdul terus memimpin Ansor Kandat menumpas PKI. Menurut dia, aksi itu mendapat dukungan penuh sekaligus perlindungan dari tentara.

Bukan hanya itu, setiap malam truk koramil datang ke rumah Abdul menyetorkan sejumlah anggota PKI untuk dieksekusi. "TNI yang menangkap mereka, sedangkan kami sebagai eksekutornya," katanya. "TNI seperti nabok nyilih tangan (meminjam tangan orang lain untuk memukul)."

Hal senada terjadi di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Saat itu aktivitas pengajian di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, mendadak gaduh. Kiai Makhrus Aly, pengasuh pondok pesantren terbesar di Kediri itu, mengatakan massa PKI dalam jumlah besar akan menyerang Kediri. Kiai Makhrus mendapat informasi rencana penyerangan PKI dari Komando Daerah Militer Brawijaya. Sebelumnya memang sejumlah kiai pesantren di Jawa Timur seperti di Madiun hilang diculik. Diduga penculikan itu dilakukan oleh PKI.

Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Idris Marzuki, saat ditemui Tempo pertengahan September lalu mengatakan, kala itu seorang perwira Kodam memberi tahu Kiai Makhrus bahwa PKI akan menyerang Kediri pada 15 Oktober 1965. Dan Pesantren Lirboyo menjadi sasaran utama penyerbuan. Untuk lebih meyakinkan Kiai Makhrus, perwira itu menunjukkan sejumlah lubang mirip sumur yang digali di area tebu yang mengelilingi Pesantren Lirboyo. Ia mengatakan PKI membuat lubang-lubang itu untuk tempat pembuangan mayat para santri dan Kiai Lirboyo yang akan mereka bantai nanti.

Kiai Makhrus, yang juga Ketua Suriah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, lantas menginstruksikan para santri untuk bersiaga. Semua santri dewasa mendapat pelatihan silat serta gemblengan ilmu kebal dari pengurus dan pendekar pesantren. Pesantren Lirboyo memang terkenal sebagai gudang para pendekar. Sekitar separuh dari total 2.000-an santri ikut bergerak melawan PKI.

Zainal Abidin, keponakan Gus Maksum, menuturkan, selama hidupnya, Gus Maksum sering bercerita tentang kiprahnya dalam menumpas PKI. Di setiap aksinya, tutur Zainal, Gus Maksum tak pernah menggunakan senjata. Cukup dengan tangan kosong, ia sanggup melumpuhkan setiap lawan.

Menurut Kiai Idris, tentara memang berada di belakang tragedi itu. Kodam bahkan mengirimkan pasukan berpakaian sipil ke Lirboyo. Tentara menjemput dan mengangkut santri dengan truk militer untuk selanjutnya mengirim mereka ke kantong-kantong PKI yang menjadi target operasi di seluruh wilayah Karesidenan Kediri. Di lapangan, militer memposisikan para santri di garis depan sekaligus sebagai algojo.

Toh, Kiai Makhrus masih punya batasan. Dia melarang para santri membunuh simpatisan PKI yang tinggal di sekitar Lirboyo. Alasannya, ia tidak ingin ada pertumpahan darah antara santri dan warga sekitar pesantren, yang kala itu banyak berafiliasi ke PKI. "Sehingga penumpasan di sekitar pesantren dilakukan oleh TNI sendiri," ujar Kiai Idris.

http://www.tempo.co/read/news/2012/10/0 ... gan-Rakyat
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Senin, 01 Oktober 2012 | 05:51 WIB
Pengakuan Anwar Congo, Algojo di Masa PKI 1965
Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Jakarta - Untuk pertama kalinya dalam sejarah film Indonesia, sebuah film dokumenter menampilkan pengakuan seorang algojo PKI. Namanya Anwar Congo. Ia preman bioskop Medan. Dalam film The Act of Killing yang dibesut sutradara Joshua Oppenheimer itu, ia memperagakan ulang kekerasan-kekerasan yang pernah dilakukannya.

Film itu menampilkan kesadaran Anwar tentang bagaimana menjadi seorang pembunuh dan bagaimana seandainya menjadi korban yang dibunuh. Saat The Act of Killing diputar di Festival Film Toronto, pers Barat menyebut film itu mengerikan dan mengguncang batin. Itu karena Anwar tampak bangga dengan tindakannya. Bisakah film ini mengubah cara pandang masyarakat Indonesia tentang sejarah kelam 1965? Laporan utama majalah Tempo edisi 1 Oktober 2011 berjudul "Pengakuan Algojo 1965" mengungkap hal tersebut.

Pembawaannya riang. Ia dikenal jago dansa. Penggemar Elvis Presley dan James Dean itu mengatakan sering membunuh sembari menari cha-cha. "Saya menghabisi orang PKI dengan gembira," katanya. Dalam sebuah adegan, bersama rekannya sesama algojo 1965, ia terlihat naik mobil terbuka menyusuri jalan-jalan di Medan. Mereka bernostalgia ke tempat-tempat mereka pernah membunuh, di antaranya sepotong jalan tempat ia menyembelih banyak warga keturunan Tionghoa. "Setiap ketemu Cina, langsung saya tikam…."

Pengakuan "jujur" preman bernama Anwar Congo dalam film yang bakal ditayangkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Jakarta pada Oktober tahun ini tersebut bisa membuat siapa saja terperangah. Ada heroisme di situ. Anwar mengesankan dirinya penyelamat bangsa. Satu versi menyebutkan hampir satu juta orang PKI terbunuh pasca-1965. Ini pelanggaran hak asasi berat. Anwar hanyalah salah satu pelaku pembunuhan. Di berbagai daerah, masih banyak "Anwar" lain.

Tempo kali ini mencoba melihat peristiwa 1965 dari perspektif para algojo. Tak ada niat kami membuka aib atau menyudutkan para pelaku. Politik Indonesia pada masa itu sangat kompleks. Menjelang tragedi September, konflik PKI dan partai politik lain memanas. PKI, yang merasa di atas angin, menekan penduduk yang tidak sealiran. Ketika keadaan berbalik, luapan pembalasan tak terkendali. Pembunuhan direstui oleh sesepuh masyarakat dan tokoh agama. Masa 1965-1966 tak bisa dinilai dengan norma dan nilai-nilai masa kini. Membaca sejarah kelam Indonesia pada masa itu hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan konteks sosial-politik-ekonomi pada masa itu pula.

Namun, kita juga tahu betapa tak simetris informasi tentang tragedi 1965. Saat itu, semua koran dikuasai militer. Masyarakat dicekoki cerita bahwa komunis adalah musuh negara yang identik dengan ateisme. Militer menyebarkan daftar anggota PKI yang harus dihabisi. Militer melindungi para pelaku, bahkan menyuplai mereka dengan senjata. Di beberapa tempat, ada narapidana yang sengaja dilepaskan untuk memburu "sang musuh negara". Itu membuat para algojo menganggap wajar tindakan mereka.

Sejarah berulang: di sini dan di tempat lain. Di Israel, pernah seorang aparat kamp konsentrasi Nazi bernama Adolph Eichmann diadili. Ia pelaku pembantaian ratusan orang Yahudi. Ia merasa tak bersalah karena menganggap itu tugas negara. Filsuf Jerman, Hannah Arendt, yang mengamati sidang itu pada 1963, menulis buku terkenal Eichmann in Jerusalem: A Report of the Banality of Evil. Arendt melihat para eksekutor seperti Eichmann bukan pengidap skizofrenia atau psikopat, melainkan warga biasa yang menganggap wajar tindakannya karena dibenarkan negara. Arendt menyebut fenomena ini sebagai kedangkalan yang akut.

Seorang algojo menyatakan moralitas itu sesuatu yang relatif. Pembunuhan memang dilarang, tapi harus dilakukan untuk menyelamatkan bangsa dan agama. Ada pula yang diam-diam menyadari kesalahannya. Anwar, yang dalam film terlihat brutal, mengalami pergolakan batin tentang apa yang diperbuatnya. Menurut Oppenheimer, sang sutradara, sepanjang pembuatan film, Anwar ada kalanya seperti menyesali perbuatannya. Rasa heroik dan bersalah bersitegang di dalam diri mantan algojo. Seorang mantan jagal harus dipasung keluarganya karena, bila mengingat-ingat pembunuhan yang dilakukannya, ia ke luar rumah mengayun-ayunkan parang dan celurit.

http://www.tempo.co/read/news/2012/10/0 ... a-PKI-1965
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Sabtu, 29 September 2012 | 21:33 WIB
Kala G30S, Soekarno: Ini Kemunduran 20 Tahun
Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Jakarta -Ratna Sari Dewi Soekarno adalah istri kelima Presiden Soekarno. Pada 30 September 1965, mereka menghabiskan malam pada kediaman Ratna Sari Dewi di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Pada 1 Oktober 1965 pagi, Bung Karno meninggalkan rumah itu, menuju Istana Merdeka. Tidak ada yang aneh hari itu.

Kata Ratna Sari Dewi, atmosfir tenang baru berubah mencekam pukul 09.00. Waktu itu beberapa kerabat dan teman dekatnya menelepon. Mereka kabarkan rumah Dr. Johannes Leimena serta Jenderal Abdul Haris Nasution diserang tentara bersenjata. Ratna Sari Dewi sontak panik. “Pikiran pertama yang terlintas, apakah Bapak (Bung Karno) selamat, ada di mana dia saat itu,” kata Ratna Sari Dewi di Majalah Tempo berjudul Kisah-kisah Oktober 1965, edisi 6 Oktober 1984.

Sekitar pukul 13.00, Martono, Menteri Transmigrasi era 1985, menemui Ratna Sari Dewi di Wisma Yaso. Ia datang membawa informasi pembunuhan para jenderal. Martono meyakinkan bila semua itu perbuatan komunis yang memberontak pada Bung Karno. Mendapat berita itu, Ratna Sari Dewi tidak lantas tenang. Menjelang sore, kecemasan perempuan berdarah Jepang itu baru berkurang. Sebab ajudan Bung Karno, Kapten Suparto, datang membawa surat berbahasa Inggris. Surat untuk dia, istri kelima Bung Karno.

Isi surat itu, "Saya (Bung Karno) berada di suatu tempat, dalam keadaan sehat. Ini disebabkan hal-hal dalam Angkatan Darat yang terjadi tadi malam. Anak-anak yang mengadakan ''revolusi'' itu tidak menentang saya, tapi mereka bermaksud menyelamatkan saya. Jadi, janganlah cemas."

Membalaskan surat Bung Karno, Ratna Sari Dewi meminta bertemu suaminya. Kertas itu ia titipkan ke Suparto. Sekira jam 19.00, Suparto kembali datang dengan balasan Soekarno. Presiden pertama RI ini mengizinkan Ratna Sari Dewi menemuinya. Bersama Suparto, ibu dari Kartika Sari Dewi Soekarno itu menumpang jip. “Dan untuk pertama kali saya mengenakan celana panjang. Sebelumnya, Bapak larang saya memakainya,” kata dia.

Kapten Suparto sendiri menyematkan pita putih di bahunya. Kata dia, itu adalah tanda pengenal di antara kacaunya situasi. Tidak ada yang tahu mana kawan, siapa teman. Dan selama perjalanan, Ratna Sari Dewi tidak tahu arah tujuan mereka. Ia baru menyadari tempat itu Halim Perdanakusuma, setelah tiba. Begitu jip berhenti, dia pun menghambur mencari Bung Karno. Ketika bertemu, pernyataan pertama yang dikeluarkan suaminya adalah, “Ini kemunduran 20 tahun. Saya harus menata kembali negara ini lagi."

Kepada istrinya, Bung Karno mengungkapkan niat untuk hijrah ke Jawa Tengah. Dia menolak ide kembali ke Istana Merdeka. Alasannya, para penasihat manyatakan lokasi itu terlalu berbahaya bagi Soekarno. Namun Ratna Sari Dewi tidak ingin suaminya itu pergi terlalu jauh dari Jakarta. Akhirnya diambil jalan tengah, Bung Karno pindah ke Istana Bogor. Sedangkan Ratna Sari Dewi kembali ke Wisma Yaso.

http://www.tempo.co/read/news/2012/09/2 ... n-20-Tahun
User avatar
Akris
Posts: 246
Joined: Mon Aug 24, 2009 10:12 pm

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Akris »

Wow, bener2 untold story... Jdi bingung, dulu yg salah PKI atau pak Karno atau jgn2 pak Harto...hmph
Anyway thx to Bung Lauren untuk postingannya...
Lanjutkan!
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

untuk lebih jelasnya , silahkan download tempo edisi g30s

http://archive.org/details/TempoEdisiKh ... ktober2012
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

sebenarnya ada motif lain di balik penumpasan g30s yang ternyata pada kehidupan bangsa ini sampai saat ini & sebenarnya penumpasan g30s/pki bukan sekedar penumpasan komunis aja tetapi juga :

Fenomena ini menarik karena ''masjid'' disimbolkan sebagai bagian dari sebuah sistem dalam pemerintahan Jawa. Sayangnya, harmoni keraton, masjid, dan pasar itu ''rusak'' setelah ada pemberontakan PKI pada 1965 (Johns, 198).

Robert R. Jay dalam bukunya, Religion and Politics in Rural Central Java, menunjukkan bukti-bukti menguatnya ortodoksi Islam setelah munculnya pemberontakan PKI. Asumsi Jay ini muncul setelah ia melihat dua masjid di Kelurahan Kebonsari, Jawa Timur. Keberadaan dua masjid ini, tulis Jay, merupakan indikasi cukup jelas mengenai kekuatan ortodoksi dan komunitas.

Di Desa Tegalroso, Magelang, sebelum tahun 1965, hanya ada satu masjid dan tiga langgar. Masjid itu berada di Dusun Playon, sedangkan tiga langgar ada di Dusun Calonan, Petung, dan Gambas. Menurut Mbah Parto, sesepuh Desa Tegalroso, sekitar satu setengah bulan setelah PKI dituduh terlibat dalam pemberontakan September 1965, sebanyak 13 aktivis PKI di Tegalroso digelandang tentara. Karena takut dituduh sebagai simpatisan PKI, mereka yang tak pernah menunaikan salat kemudian rajin melaksanakan salat di masjid dan langgar.

Orang-orang desa pun mulai belajar membaca Quran. Orang-orang yang dianggap paham agama dan fasih bacaan Qurannya diminta menjadi guru mengaji. Warga desa tidak hanya diajari salat, melainkan juga diminta ikut pengajian Kiai Chudlori, pimpinan Pesantren Tegalrejo. Dampaknya, bangunan masjid dan langgar pun bertambah, karena orang yang menunaikan salat dan mengaji juga bertambah.

Di Dusun Calonan, yang sebagian warganya adalah orang NU, setelah peristiwa pemberontakan PKI, warga ramai-ramai membangun madrasah ibtidaiyah. Seorang warga desa, Pak Parjan, menginfakkan tanahnya untuk membangun madrasah itu. Menurut Pak Parjan, mengutip pendapat seorang kiai, ''Sebuah masjid bisa diumpamakan gudang beras, sedangkan madrasah digambarkan sebagai sawah. Gudang beras tidak akan berfungsi jika tidak ada beras yang akan disimpan di sana.

Di madrasah, para murid dididik menjadi muslim yang baik. Jika banyak muslim yang baik, banyak pula orang yang mendatangi masjid. Jika satu masjid tidak mencukupi, mereka berusaha membangun masjid atau langgar yang lain.

Apa yang dikatakan Pak Parjan itu ternyata benar. Madrasah dan masjid makin lama makin berkembang. Ketakutan warga desa dicap sebagai pengikut PKI menjadikan mereka mengirimkan anaknya ke madrasah, dan mereka pun rajin menunaikan salat di masjid. Semua ini meningkatkan pengaruh budaya santri.

Salah satu keberhasilan pemberantasan PKI di desa-desa di Jawa adalah berkat kampanye rezim Orde Baru, yang menyatakan bahwa orang-orang PKI tidak bertuhan dan karenanya tidak boleh hidup di negara Pancasila. Atmosfer seperti inilah yang terjadi pasca-pemberontakan PKI, sehingga agama menjadi hal penting bagi setiap penduduk.

Gelombang anti-komunis itu, tulis Clifford Geertz, akhirnya menimbulkan pengertian bahwa barang siapa yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui secara resmi oleh negara akan dicap sebagai ateis (Creating Islamic Tradition, 1991). Inilah yang menimbulkan dilema. Soalnya agama yang diakui resmi oleh rezim Orde Baru hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Agama Konghucu dan Yahudi, misalnya, tidak diakui. Dampaknya: orang-orang yang tidak memeluk salah satu agama yang diakui resmi oleh rezim itu setiap saat hidupnya terancam karena bisa dicap sebagai PKI.

http://selokartojaya.blogspot.com/2010/ ... a.html?m=1

Ketika gencar-gencarnya pemberantasan terhadap pelaku pemberontakan G30S/PKI, beberapa kali perkampungan orang To Lotang di Amparita diobrak-abrik oleh tentara yang datang dengan senjata beratnya, seperti panser dan tank, dengan alasan membersihkan antek-antek PKI di daerah tersebut. Dengan mudahnya tentara itu juga terprovokasi bahwa pemberontakan komunis di daerah Amparita akan melakukan penyerangan massal ke ibu kota kabupaten yang berjarak kurang lebih 8 kilometer. Bahkan pada 1966, Pemerintah Daerah Tingkat II Sidenreng Rappang mengeluarkan pengumunan No. Ag.2/1/7, tanggal 5 Februari 1966 berisi pernyataan tidak mengakui keberadaan agama To Lotang. Dengan demikian, agama itu tidak diperkenankan lagi untuk melakukan upacara ritual yang berkaitan dengan sistem kepercayaannya.

Alasan dikeluarkannya surat tersebut karena pemerintah daerah menganggap bahwa agama yang dianut oleh orang To Lotang tidak termasuk agama resmi yang diakui di Indonesia yang terdiri dari agama Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu dan Budha. Ajaran To Lotang tidak termasuk di dalamnya. Masyarakat To Lotang merasa terpojokkan dengan terbitnya surat tersebut.

Untuk mencairkan persoalan tersebut, pemerintah kecamatan setempat memanggil para pemimpin kepercayaan To Lotang untuk mengadakan pertemuan. Dalam pertemuan itu dibuat surat pernyataan dan pengakuan bersama antara para pemimpin aliran kepercayaan To Lotang dan pemerintah setempat yang diwakili oleh pimpinan Kecamatan, Komandan Sektor Kepolisian, Puterpra, dan Kepala Urusan Agama Kecamatan (Mattulada 1990: 35). lsi surat pernyataan bersama tersebut adalah bahwa pihak aliran kepercayaan To Lotang berjanji dalam waktu dua bulan (terhitung 7 Maret sampai 7 Mei 1966) akan meminta kepada pemerintah pusat agar keyakinan mereka (To Lotang) diresmikan atau diakui sebagai agama resmi dalam negara Republik Indonesia. Kalau dalam waktu tersebut mereka belum disahkan atau diakui, mereka wajib memilih salah satu agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu agama Islam, Kristen, Budha, atau Hindu Bali. [2]

Kesempatan dua bulan itu dimanfaatkan oleh pimpinan ajaran To Lotang untuk berangkat ke Jakarta (Departemen Agama RI) untuk memperjuangkan status kepercayaan mereka. Berdasarkan laporan utusan To Lotang, pihak Departemen Agama RI, dalam hal ini Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Budha, berkesimpulan bahwa aliran kepercayaan To Lotang merupakan salah satu sekte Siwaisme dari agama Hindu, yang memakai nama To Lotang. Kesimpulan tersebut didasari oleh adanya kesamaan dengan sekte Siwaisme dari agama Hindu.

Meskipun kesamaan itu mungkin ada benarnya tetapi apakah itu juga berarti hahwa kedua kepercayaan itu harus disamakan dalam satu sistem kepercayaan. Benarkah antara agama kepercayan To Lotang ada hubungannya dengan agama Hindu Bali?

Utusan To Lotang tidak banyak berkomentar atau beradu debat dengan pihak pemerintah, yang penting adalah semua kepercayaan mereka bisa mendapat pengakuan. Pemerintah akhirnya mengesahkan agama kepercayaan itu dengan mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Beragama Hindu Bali dan Budha, No. 2 Tahun 1966, tertanggal 6 Oktober 1966, yang kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan No. 6 Tahun 1966, tertanggal 16 Desember 1966. Surat Keputusan tersebut kemudian membagi dua kelompok orang To Lotang. Kelompok pertama, mereka yang tetap menamakan dirinya To Wani To Lotang atau menyesuaikan diri dengan nama baru yang diberikan oleh pemerintah, yaitu Hindu To Lotang. Kelompok kedua, mereka yang menyatakan diri sebagai orang Islam dan memisahkan diri dari kelompok pertama. Mereka ini menamakan dirinya "To Lotang Benteng" (sebelah selatan benteng).

Meskipun To Lotang Benteng telah menyatakan dirinya masuk dalam agama Islam, mereka tetap menjalankan ajaran-ajaran kepercayaan leluhurnya dan hampir sebagian besar dari mereka tidak melaksanakan syariat Islam kecuali hanya pada saat perkawinan atau mengurusi kematian. Pusat ibadahnya pun terpisah, bukan lagi di makam Uwak I Pakbere, tetapi di sebuah sumur yang bernama Pakkawarue (Murdiono 2001). Meskipun demikian, orang To Lotang Benteng masih melakukan ziarah ke makam I Pakbere. Sekalipun sudah ada surat keputusan pemerintah RI tersebut, masyarakat To Lotang belum merasakan suasana tenteram dan terbebas dari pengawasan pihak pemerintah setempat. Terutama dengan tuduhan dan kecurigaan adanya anggota atau pendukung PKI di daerah tersebut (Muzhar dan Atho 1977). Oleh karena itu, masyarakat To Lotang tidak bisa bebas untuk melakukan upacara-upacara ritual. Antara 1966 sampai 1970 beberapa kali terjadi upaya pemerintah untuk mendiskrediktan kelompok masyarakat To Lotang, baik dengan isu PKI maupun dengan isu pelaksanaan ritual. Tekanan yang dilakukan oleh pemerintah (kepala kecamatan dan bupati) bersama dengan polisi dan ABRI, juga mendapat dukungan kuat dan organisasi atau kelompok masyarakat Islam di daerah itu. Masyarakat seolah-olah ingin menghapuskan ajaran kepercayaan tersebut dan menjadikan daerah atau Kabupaten Sidrap 100 persen beragama Islam. [3]

http://www.rappang.com/2008/12/kepercay ... t.html?m=1

Konflik politik yang terjadi di Jawa pasca jatuhnya orde lama dan PKI sarat akan kekerasan. Jawa Timur merupakan basis NU secara keseluruhan, dan Pasuruan menjadi basis paling kuat karena banyak pesantren yang didirikan di sana. PKI yang memang berhaluan kiri lebih dianggap sebagai ateis oleh kalangan NU maupun Masyumi. PNI yang lebih nasionalis ternyata juga penuh akan korupsi. NU yang sudah memisahkan diri dengan Masyumi sejak tahun 1950an menjadi kekuatan Islam yang besar di Jawa. Konflik ini diawali ketika berakhirnya orde lama dan diganti oleh orde baru dan hancurnya PKI di Indonesia. Orde baru melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa PKI yang masih ada. Hal ini diikuti oleh organisasi muslim yang ada di Jawa Tengah, kemudian diikuti pula oleh pemuda Muslim Jawa Timur, Ansor, yang merupakan organisasi NU. Walaupun begitu sebagian besar organisasi Islam mendukung atas penyerangan dan pembunuhan orang-orang PKI ini.

Gerakan pembersihan PKI ini juga terjadi di Pasuruan, dan tersiar rumor bahwa golongan kejawen yang didukung oleh PNI juga akan diserang. Kelompok kejawen yang berada di lereng tengah pegunungan Tengger panik dan menunda segala upacara ritual pemujaan dhanyang, bahkan peminat Jumatan bertambah banyak. Hal itu dilakukan untuk menghindari kecurigaan orang dataran rendah (NU) agar tidak menyerang mereka. Tersiar kabar pula bahwa konflik yang terjadi adalah konflik agama, tetapi ternyata bahwa organisasi Muslim lebih memilih PKI sebagai sasarannya. PKI di daerah lereng atas yang Hindu malah cenderung sedikit, tokoh-tokoh PKI didominasi oleh para pedagang-pedagang yang berasal dari dataran rendah. PNI yang mendukung kejawen dan dimusuhi oleh NU, dimanfaatkan oleh NU untuk mendata tokoh-tokoh PKI karena PNI banyak anggotanya yang menjadi pamong desa. Kekerasan berdarah ini berlangsung beberpa pekan, walaupun memang yang melakukan organisasi Muslim khususnya NU akan tetapi dibalik semua itu peran militer dan polisi sangat besar.

Hefner secara khusus menjelaskan bahwa konflik berdarah ini adalah buatan dari penguasa negara. Hal itu juga bisa terlihat dari uraian di atas bahwa hanya PKI yang menjadi sasarannya sehingga tidak bisa dikatakan sebagai konflik agama. Akibat dari pertentangan politik (kepentingan penguasa tadi) membawa perubahan besar dalam masyarakat pegunungan Tengger. Di lereng atas orang-orang Hindu tidak dipaksa masuk Islam. Akan tetapi terdapat pembaharuan ritual dan doktrinal dalam konteks nasional sesuai dengan peraturan negara atas agama. Begitu juga di daerah lereng tengah, semakin berkurangnya kejawen dan meningkatnya kegiatan-kegiatan masjid.

http://yulitamayar.wordpress.com/2012/0 ... ukturis-2/

Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam.

Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan bocah di jalanan.

Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi
diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa.

Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empat puluh orang saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.

Sumber :http://forum.vivanews.com/

http://indoculture.wordpress.com/2011/0 ... nah-bugis/

Dampak Sosio-Kultural G 30 S PKI: Orang Tuaku Berduyun-Duyun Ikut Mengimpor Nama Arab
Oleh: Saiful Rahman | 30 September 2011 | 12:40 WIB

Nama asliku Muhaimain Iskandar. Nama ini pemberian orang tua saya sejak lahir. Sebutan nama kearab-araban seperti nama saya di Jawatimur tempat kelahiran saya sudah jamak. Mayoritas penduduk Jawa Timur Pasca Tragedi kemanusiaan 30 September 1965 berduyun duyun melekatkan nama pada anaknya yang baru lahir dengan nama Arab.

Maka orang tua saya pun ikut-ikutan memberikan nama kepada saya , dengan nama Arab. Sedang kedua orang tua saya sendiri masih memakai nama lokal khas Jawa Timur tempo dulu. Ibu saya bernama Juminten, sebuah nama yang tak ada padanannya di luar Jawa Timur. Juminten adalah nama khas yang sering dipakai penduduk Jawa Timur sebelum penduduk Jawa Timur dibombardir oleh nama impor dari arab.

Bapak saya bernama Mujiono. Sama dengan nama Juminten, Mujiono adalah produk lokal nama Jawa Timur tempo dulu. Kesamaannya, kedua nama orang tua saya adalah nama khas orang jawa timur sebelum Islamisasi nama menggurita.

Saya sebagai Anak bungsu dari tiga bersaudara. kedua kakak saya pun diberi nama-nama yang di impor dari Arab. Kakak yang pertama bernama Imam Syahrowi dan kakak kedua bernama Nurhasanah. Saya tidak mengerti mengapa kedua orang tua saya memutus begitu saja ketersambungan nama anak-anakny dengan nama mereka yang khas Jawa Timur.

Saya pikir kedua orang tua saya seenaknya sendiri asal ikut-ikutan dalam memberikan nama pada ketiga anaknya. Padahal nama ibu saya masih bersinambung dengan nama kakek saya yang bernama “Sarminto”. Sedang nama bapak saya masih ada titik temu kejawaannya dengan nenek saya yang bernama ‘Ngatini’. Tetapi kenapa saya yang diberikan nama Muhaimin Iskandar yang jelas tidak ada kesinambungannya dengan nama Juminten dan Mujiono. Ternyata apa yang saya alami atas kepunyaan nama Arab tersebut, juga banyak dipakai oleh teman-teman sebaya waktu itu (era 70-an sampai 80-an).

Lalu apa sebenarnya yang terjadi di balik pemberian nama Muhaimin Iskandar (sosio-historis dan kultural)?

Di tahun 1970, 1980, sampai 1990-an demam panggilan nama bermerek Arab di Desa saya telah terjadi. Di tahun-tahun tersebut diiringi dengan pertumbuhan pesat Islamisasi (santrinisasi) dan pertanda mulai memudarnya Jawanisme. Disamping Arabisasi, faktor modernisasi juga terlibat meminggirkan nama-nama yang ber-merk lokal Jawa Timur.

Tanda-tanda kemenangan islamisasi yang dipelopori kaum sarungan (baca santri) terlihat pada momen-momen penting di desaku yang bisa aku catat:

“Di dusun Tanjungan, desa Balung Lor, asal dusun ayah saya dibesarkan sebelum tahun 1970-an masih di dominasi oleh kaum abangan (berafliasi pada PNI dan PKI, bahasa sehari-hari campur sari dari bahasa jawa mataraman dan using banyuwangi). Setiap pemilihan kepala desa dari tahun 11920 sampai 1966 selalu dimenangkan oleh kelompok abangan. kaum santri beberapa kali (berafiliasi dg partai Masyumi sampai partai NU) mencalonkan diri tak pernah berhasil jadi pemenang. Bisa dikatakan sebelum tahun 1970-an kaum santri di tingkat desa tidak berposisi sebagai penguasa pemerintahan desa. Namun sejak 1990-an nama-nama kepala desa dengan merek arab mulai bermunculan. Konon setelah penumpasan serentak nyawa orang-orang komunis Indonesia, banyak orang abangan ketakutan dan menyembunyikan identitasnya dengan rame-rame meniru cara sosio-kultural kaum santri”

Situasi politik nasional pasca Gestapu (1966) merubah drastis politik kultural dimana-mana. Banyak orang abangan yang sebelumnya banyak menjadi penguasa di birokrasi pemerintahan disingkirkan dan tak diberi tempat lagi oleh kelompok militer. Namun pula kaum santri juga tak di beri tempat dalam birokrasi. Biasanya kaum santri menjadi patner utama dalam kebijakan yang menyangkut soal pertanian. Jadi bukan berarti kekalahan kaum abangan dijalur birokrasi menjadi kemenangan kaum santri. Karena jalur birokrasi masih dikuasai oleh orang militer. ‘

Kaum abangan terus terdesak sampai di jalur kultural dan kepercayaan. Stigmatisasi sebagai orang yang berbau komunis terus dikumandangkan oleh berbagai pihak. Sehingga gerakannya dalam mengekspresikan identitasnya benar-benar terancam. Mau tidak mau pilihan satu-satunya mengekpresikan diri didalam ruang batin (gerakan kebatinan) .Mereka hanya bisa beralibi jika praktek ritualnya diketahui publik, bahwa apa yang dilakukannya sekedar untuk menjaga dan menghormati tradisi nenek moyongnya.

Kelompok abangan benar-benar terdesak. sementara Kaum santri yang telah berjasa besar dalam menumpas PKI sampai ke akar-akarnya lebih leluasa (karena diberi ruang keleluasaan oleh negara) dalam ruang kultural dan praktek kepercayaannnya. Mengenai keterdesakan secara kultural dan kepercayaan kaum abangan, banyak orang menceritakan seperti ini:

” ditahun-tahun tersebut Banyak orang kejawen (kaum abangan) yang mulai belajar sholat,ngaji, pada tokoh-santri, bahkan tokoh kejawen yang kaya juga ikut naik haji. Sepulang dari haji biasanya namanya juga di rubah menjadi nama orang arab.”

Kaum santri yang selalu diolok-olok oleh kaum nasionalis dan PKI, sebagai kaum sarungan yang bisanya hanya menghitung tasbih ditangan, merasa perlu untuk segara memainkan politik kulturalnya memanfaatkan momen situasi dan kondisi yang mendukung mereka. Karena struktur kenegaraan masih dikuasai orang-milter maka ruang kultural adalah pilihan realistis untuk dimenangkan.

“Adalah pak Gumbrek, sesepuh kaum abangan di dusun Tanjungan (basis kaum abangan di desa saya) oleh bapak haji Jainuddin (tokoh kaum santri dusun karang anyar) di naikkan haji dengan biaya ditanggung oleh haji Jainuddin. Awalnya pak haji Jainuddin menawari bapak Gumbrek naik haji. Jika pak gumbrek bersedia, mulai dari proses persiapan belajar sampai keberangkatannya ditanggung oleh haji jainuddin. (cerita ini saya dapat dari tetangga saya). Padahal bapak gumbrek juga termasuk orang terkaya di dusunnya. Kalau untuk ongkos haji sangat mampu membayarnya. tetapi itu adalah barter kultural antara dua tokoh abangan dan santri ditingakat dusun. Bentuk kesepakatan kultural yang hanya mereka berdua yang tahu. Atau permainan simbol kemenangan dan kekalahan secara kultural. Pak gumbrek harus menerima tawaran haji Jainuddin untuk pertahanannya dari mara bahaya. Sedang haji jainuddin membuat penawaran tersebut sebagai simbol kemenangan tak kentara pada posisi sosial dan kulturalnya.”

Itu diatas hanya contoh kecil kasus, bagaimana posisi kaum abangan yang sangat terdesak, dan bagaimana intrik kultural kaum santri memanfaatkan situasi yang sedang berpihak padanya. Keberhasilan kaum santri dengan islamisasinya di desa saya, puncaknya ditandai dengan pembangunan masjid oleh Haji Jainuddin disamping rumahnya dimana jamaahnya mencakup sampai didusun bapak Gumbrek. Sedang pendanaannya dibiayai oleh kepala desa (kelompok militer) dan diresmikan oleh Bupati jember Abdul Hadi (TNI aktif).

Situasi politik, sosial, dan kultural didesa tempat saya di lahirkan waktu itu tak memungkinkan orang tua dalam memberikan nama-nama pada anaknya bebas menentukan sesuai pilihannya sendiri. Bapak saya tidak terdidik sebagai santri. Ayah ibunya mengajarkan nilai-nilai kejawenn kepadanya. Ia dibesarkan dilingkungan orang2 abangan. Pun ibu saya demikian. Kekalahan orang abangan dan keterdesakannya secara kultural dari kaum santri, membuat orang tua saya menyerahkan pemberian nama pada anak2nya yang baru lahir kepada Kyai untuk perlindungan sosialnya:

Jadi teman-teman semua itulah latar historis dan kultural penamaan saya. Dan itulah kenapa sekarang saya menggunakan nama pena Santri Kenthir, karena ternyata nama saya bukan terlahir dari Doa orang tua, tapi dari dampak sejarah kelam bangsa 30 September 1965 yang sampai kini masih belum terang dan menjadi keinsyafan bangsa ini kedepan.

http://m.kompasiana.com/post/sosbud/201 ... nama-arab/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

lanjutan tentang dampak g30s

Apakah bangsa Nusantara yang telah berhasil mengonsolidasikan diri menjadi salah satu negara superpower dunia abad 13-14an tidak meninggalkan warisan “SPIRITUALITAS” ?, Mengapa predikat tokoh spiritual khas Nusantara khususnya Jawa dijadikan predikat tokoh “agama resmi” ? contohnya Haji, Kiai, Romo, Pendeta, Pandita ?, Mengapa predikat “Mpu atau Empu” yang khas Jawa, dipersepsikan tokoh agama “HINDU” atau tokoh sinkretisme “SIWA-BUDDHA”, sedangkan di India tidak dikenal predikat Mpu atau Empu ?. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Setelah saya pelajari dan merenung akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa sumber permasalahan dasarnya adalah :


1. Penafsiran UUD 1945 tentang BAB XI AGAMA Ps. 29 ayat (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Secara khusus kata “KEPERCAYAAN”.


2. Polemik atau mungkin klaim yang tak berkesudahan tentang dasar Negara Panca Sila yang bersumber dari “PIAGAM JAKARTA” kalau diringkas hanya 7 (tujuh) kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.


3. Arus politik ketika itu, dimana penguasa sedang giat-giatnya menumpas permberontakan G30S/PKI seakar-akarnya. Dalam pandangan penguasa PKI adalah sama dengan “ATHEIS” dan harus ditumpas. Mungkin ada pihak-pihak tertentu yang melihat penguasa sedang memerlukan dukungan golongan “agama”, terbukalah celah untuk melakukan posisi tawar permainan politik kotor dengan ”Mengagamakan” seluruh rakyat Indonesia. Harus diakui entah karena pemerintah alpa atau karena terobsesi Raja Sultan Agung, pemerintah justru menetapkan 5 (lima) “agama resmi” yang bersumber semuanya dari impor dan seluruh rakyat Indonesia diharuskan “Beragama” dengan memilih salah satu “agama resmi”. Apabila pemerintah ingat akan “KEDAULATAN SPRIRITUAL”, seharusnya pemerintah melindungi warga penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang bersumber dari bumi Nusantara.


4. Karena kebijakan dan program pemerintah ketika itu “Mengagamakan Seluruh Rakyat Indonesia” dapat dikatakan para tokoh “agama resmi” dengan segala dalih dan cara mulai menanamkan pengaruh dan berlomba berebut simpati warga penganut kepercayaan agar menjadi pengikutnya. Mulailah diintrodusir persepsi “Tidak Beragama” sama dengan “Atheis” akan masuk neraka. Dihapuskannya mata pelajaran “Budi Pekerti” sebagai gantinya pelajaran Agama mulai diajarkan di sekolah-sekolah mulai SD sampai Perguruan Tinggi. Padahal PKI sama dengan ATHEIS musuh pemerintah yah semua jadi takut banyak yang terpaksa ber KTP “agama resmi”, dari pada pusing apalagi kalau sampai di PKI kan nasiblah taruhannya.

http://agamakejawen.blogspot.com/2010/0 ... 5.html?m=1

JIL: Ada peran rezim otoriter Soeharto dalam menghambat pengakuan hak-hak sipil kaum penghayat saat ini?

Antara lain itu, karena kehidupan beragama dan berkepercayaan di negeri ini selalu dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Itu dulunya ditambah pula dengan trauma G30S/PKI, sehingga banyak orang asal mengaku soal agamanya, karena takut dicap PKI. Karena itu, banyak sekali kaum penghayat yang sampai kini ber-KTP Islam atau Kristen. Kalau tidak begitu, bagaimana mereka mau kawin?! Apa boleh buat, untuk kepentingan pragmatis, mereka terpaksa mengaku sebagai penganut salah satu agama. Tapi yang sebenarnya menyedihkan bagi saya, kok kami dipaksa menjadi orang yang munafik?! Kalau bangsa ini terus-menerus dididik untuk munafik, apa jadinya negeri ini kelak?!


http://islamlib.com/id/artikel/kami-dipaksa-munafik

Memasuki era Orde Baru, hujatan terhadap Parmalim semakin dahsyat. Hujatan itu datangnya justru dari para pemuka-pemuka agama, untuk mengembangkan ajarannya. Mereka mengatakan kepada para umatnya, bahwa Parmalim itu ajaran sesat, tidakberagama, tidak berbudaya, tidak memiliki peradaban dan banyak hujatan lainnya. Bahkan ada sumber yang mengatakan, banyak orang-orang Parmalim ditangkap dengan tuduhan PKI, karena tidak menganut agama seperti Kristen, Katolik dan Islam. Sejak peristiwa G.30.S/PKI, Parmalim yang diperkirakan mempunyai pengikut lebih 30% di tanah Batak, "harus menyeberang" ke agama lain.

http://www.analisadaily.com/mobile/read/?id=5690

Ketika terjadi peristiwa G30S PKI, Suharto telah menuduhPKI sebagai pelaku Cup de `Etat dengan melakukan pembunuhan kejam atas beberapa Perwira militer dan akibatnya PKI kemudian dinyatakan sebagai partai terlarang dandisusuldenganpenumpasan dan penangkapan atas orang-orang yang dianggapsebagaiPKI atau simpatisannya. Akibat dari peristiwa itu, tidak sedikit masyarakat Indonesia terutama dari kalangan orang Jawa yang dibunuh bukan saja oleh militer tetapi juga oleh pemuda-pemuda Islam. Di Jawa Timur, Gerakan Pemuda Ansor dari NU diberi semangat bahwa jika seorang berhasil membunuh seorang PKI, maka nilainya sama dengan menunaikan ibadah haji sebanyak4 kali. Demikian banyak orang yang meskipun bukan PKI tetapi dituduh PKI karena pelbagai alasan yang dibuat, umpamanya bila ada yang memiliki rumah bagus ataupun isteri cantik maka bisa saja dituduh PKI dan kemudian dibunuh sehingga hartanya dapat dirampas. Suharto sendiri telah mengambil alih harta beberapa pejabat militer yang dituduh PKI tanpa melalui proses peradilan/hukum.

Kita menyadari bahwa situasi ekonomi pada saat itu memangsangat sulit oleh karena mental para pejabat yang korup dan Sukarno sedang berusaha untuk merebutkembaliIrian melalui kekuatan Mmiliter dengan komando Trikoranya pada tahun 1961 dan melaksanakan politik Berdikari (berdiri diatas kaki sendiri,Artinya Indonesia jangan mengharapkan bantuan negara lain) sehingga telah mengisolasi Indonesia darinegara Baratdanmembangun aliansi politik baru dengan negara-negara komunis: Rusia dan Cina, Vietnam dan Korea Utara dengan mengumumkan poros Jakarta-Phnompenh-Hanoi-Beijing-Pyongyang pada pidato17Agustus 1965.

Setelah PKI dilarang, Partai Nasional Indonesia juga mengalami dampak politik tersebut.Hal ini disebabkan oleh sering disebutkannya bahwa Marhaenis adalah Marxis yang diterapkan di Indonesia oleh pimpinanPNI dan akibatnya banyak juga pemimpin PNI yang terlibat atau terpengaruh pemikiran PKI. Akibatnya PNI terpecah menjadi PNI Ali Surahman dan PNI Osamalika-Usep sehingga situasi politik menjadi kacau dan diramalkan kekuatan politik Islamlah yang akan muncul dengan tidak ada pesaing lain dan kekuatan Islam mulai muncul dengan memberitekanan kepada semua kekuatan politik yang ada (sebagaimana kita ketahui pada waktu itu berlaku penghimpunan kekuatan melalui apa yang ikenal dengan NASAKOM).

Pada saat dan kondisi yang serba tidak menentu itu, keluar pernyataan-pernyataan dari kelompok Islam yang menyatakanbahwa barang siapa yang tidak menganutsuatuagama,ia dituduh sebagai PKI dan itu berarti ia dapat dibunuh atau ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Dengan demikian agar seseorang terhindar dari pembunuhanyang dilakukan oleh para pemuda Islam ataupun tentara,ia harus berusaha menyelamatkan diri dengan cara memasuki suatu agama tertentu. Jadi beragamaadalah agar supaya terhindar dari tuduhan sebagai PKI.Inilah situasi pelanggaran hak azasi yang terbesar yang pernah dilakukan oleh kelompok Islam dan pemerintah pada periode 1966 – 1970 sehingga dengan demikian ada banyak orang Jawa yang terpaksa harus memeluk agama Islam. Demikian juga pada waktu itu tidak sedikit orang Jawa yang menjadipenganutagama Kristen. Dalam laporan dari gereja-gereja di Jawa sesudah tahun 1966, mereka dibanjiri oleh masyarakat yang ingin dibaptis menjadi Kristen. Jadi menganutagama bukanlah karena keyakinanuntuk memuja YangMaha Kuasa melainkan hanya demi terlindung dari ancaman pembunuhan politik.

http://superkoran.info/?p=137

"Pada sekitar 1965 penganut kepercayaan ini menjadi sasaran pembunuhan karena dianggap komunis akibat tidak memilih salah satu agama," tekan Anick.

"Ada fakta bahwa pengikut kepercayaan semakin berkurang. Penyebabnya, selain pembunuhan, juga tergerus akibat konversi ke agama lain," terangnya.

http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_ ... adua.shtml

Peristiwa pemberontakan 1965 ini juga tidak hanya mengorbankan masyarakat yang dianggap PKI, tapi juga menimpa dan berimplikasi pada komunitas lokal/adat. Di Sul-Sel beberapa komunitas lokal yang punya keyakinan agama berbeda dengan agama yang diresmikan, ikut ditangkap dan disiksa karena dianggap komunis sebab ritual ibadahnya berbeda dengan agama mayoritas seperti Islam. Selain ditangkap dan disiksa, juga dipaksa melepaskan keyakinan lamanya dan menganut keyakinan baru yang dianggap sebagai kebenaran tunggal. Hal ini menimpa komunitas Towani Tolotang di Sidrap dan komunitas Bissu diSegeri.

http://seputarsulawesi.com/news-7932-46 ... npilu.html

Penduduk Cigugur sendiri, terbagi dalam dua agama besar: Islam dan Katolik. Banyak orang menduga, itu karena selama rezim Orde Baru, mereka dipaksa harus meninggalkan kepercayaan lamanya dan memilih salah satu agama resmi. Kala itu, dakwah dari kelompok Islam berebut dengan para misionaris Katolik.

http://kemanggisan.blogspot.com/2006/11 ... i.html?m=1
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Tahun 65-66, pada masa pembantaian PKI, sejumlah orang-orang Ansor (NU)
dengan mendompleng militer masuk ke Bali terutama di daerah Jembrana,
mereka orang-orang Islam ini dengan senang hati ikut membantai ribuan
orang-orang Bali PKI, karena menganggap orang-orang Bali layak dibunuh
karena kafir.(tidak beragama)..saya mempunyai saksi Hidup yang bercerita
pada saya saat masih mahasiswa di bandung, namanya Pak Nyoman Sirna Mph.
Saat itu kebetulan ia berusaha melindungi beberapa orang yang
dikejar-kejar orang-orang militer dan Ansor ini ..200 ribu orang yang
tidak berdosa, dan sama sekali tidak tahu tentang politik di bantai di
Bali...cerita gelap ini tidak pernah di buka karena sangat melukai dan
merupakan trauma mendalam bagi rakyat bali, dan juga di luar bali
terutama di Jawa Timur (korban terbesar setelah bali)..sampai sekarang
tidak ada pernyataan minta maaf atas kejadian ini baik oleh orang-orang
Militer maupun Ansor...dan seperti biasa pemerintah diam saja (mungkin
pemerintah tidak mau minta maaf, takut harus memberikan
santunan)...padahal permintaan maaf dan rekonsialisi nasional ini sangat
penting, terutama bagi para korban/keluarga yang ditinggalkan...kami
orang-orang Bali tidak dendam, tapi sedih sangat sedih sekali atas
kejadian ini...

http://www.mail-archive.com/[email protected] ... 01317.html

Esensi ajaran Pangeran Madrais adalah pembangunan jati diri bangsa (nation character building) yang berkorelasi dengan kecintaan pada tanah air, yang diistilahkan sebagai “tanah amparan”. Disinilah terletak perbedaan mendasar antara agama Sunda Wiwitan dengan agama-agama yang diintrodusir dari luar nusantara seperti Islam dan Kristen, yakni kentalnya nilai-nilai kebangsaan dan kemandirian budaya dalam ajarannya. Ironisnya, para penganut agama Sunda Wiwitan termasuk masyarakat adat Cireundeu masih terbelenggu rantai diskriminasi dalam pemenuhan hak-hak sipil karena kepercayaan yang mereka anut. Tidak hanya penganut Sunda Wiwitan, tetapi seluruh kaum penghayat kepercayaan atau penganut agama asli nusantara dari berbagai suku dinegeri ini pun mengalami nasib serupa. Hal ini disebabkan oleh politik pembatasan agama yang dilakukan negara semenjak Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 diberlakukan di akhir masa Orde Lama, sebagai buah dari tuntutan kelompok agama/santri guna menghadang pengaruh kekuatan komunis yang dianggap dekat dengan kalangan penghayat kepercayaan.

http://m.berdikarionline.com/sisi-lain/ ... undeu.html

Setelah masa pergolakan DI/TII berakhir dan pemerintahan berganti dari orde lama ke orde baru para bissu kembali tak tenang. Saat itu pergerakan kembali digerakkan guna membumihanguskan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bissu yang dianggap meyakini ajaran dewa dan animisme pun dianggap tak bertuhan seperti komunis. Namanya operasi toba (tobat) untuk mengembalikan kemurnian ajaran islam. Para bissu yang kedapatan akan diminta untuk bertobat dan kembali menjadi lak-laki dan harus mengenakan pakaian laki-laki dalam pergaulan sehari-hari.


Dan saat itu ritual atau kegiatan bissu didiamkan. Tak ada aktifitas sama sekali. Rembesan masalah komunis itu bertahan hingga tahun 1990-an. Bissu masih dianggap sesat dan harus ditiadakan dan pengikutnya terus merosot hingga tak mencapai puluhan orang. Padahal dalam kepercayaan Bissu, untuk melaksanakan ritual harus lengkap 40 orang.

http://ekorusdianto.blogspot.com/2011/0 ... n.html?m=1

Pasca peristiwa 1965, sebagaimana komunitas lokal di sekujur negeri ini, kaum tolotang dituduh sebagai basis kekuatan PKI. Memang waktu itu ada sekitar 37 orang tolotang yang tergabung dalam Lekra. 5 orang diantaranya aktif sebagai aktivis. Tekanan dan intimidasi pada waktu itu sangat keras dirasakan masyarakat tolotang di Amparita. hampir semua tokoh mereka ditangkap dan dibawa ke penjara Rappang, sementara yang lain lari dari Amparita menuju Pinrang. Pada masa ini kelompok tolotang berusaha mendapat pengakuan dari pemerintah. Seorang Tolotang bernama Makatunggeng diutus untuk pergi ke Jakarta untuk mengupayakan hal ini. Pada akhirnya usaha selama berbulan-bulan ini berujung pada dikeluarkanya Sk. Dirjen Bimas Beragama Hindu Bali/Budha No. 2/1966 tanggal 06 Oktober 1966 yang menetapkan bahwa tolotang merupakan salah satu dari sekte dari agama Hindu. Keputusan ini tidak serta-merta membuat hidup komunitas ini menjadi tenang, tekanan dan intimidasi terus berlanjut karena masyarakat islam menolak keputusan tersebut. bahkan, menurut pengakuan masyarakat lokal, Dirjen bimas Hindu yag hendak mengunjungi komunitas ini dicegat dan dilarang. Desakan masyarakat islam untuk menolak surat keputusan tersebut bahkan kemudian disetujui DPRD-GR Kabupaten Sidrap, hingga mencapai puncaknya pada lahirnya operasi malilu sipakaenga (bahasa daerah yang berarti operasi untuk mengingatkan) dari Kodam Hasanuddin. Operasi militer inilah puncak ketertindasan dan peminggiran komunitas Tolotang. Operasi ini secara tegas menyatakan bertujuan mengembalikan kaum tolotang pada ajaran islam. Aktivitas tolotang lantas selalu diawasi, mereka tak bisa bebas menjalankan ritual kepercayaannya dan selalu dipaksa untuk masuk islam.

http://interseksi.org/publications/chro ... otang.html
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Pembantaian yang tidak tercatat

Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang orang Komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauh – Sarwo Edhie , Komandan RPKAD.

Ucapan mertua Presiden SBY, itu dalam sebuah konperensi pers awal tahun 1966 antara telah dilaporkan dalam beberapa bentuk. Ini menjelaskan, salah satu sejarah paling kelam dalam bangsa ini, yang tak pernah ditulis dalam buku buku sejarah anak anak kita di sekolah.
Pembantaian mereka yang dianggap komunis paska pemberontakan G 30 S PKI yang gagal.
Kita mestinya sepakat bahwa pengungkapan itu bukan untuk menorah luka lama. Tetapi untuk sebagai bahan pelajaran sehingga tak terulang.

Laporan The Econimist London, berdasarkan informasi ilmuwan ilmuwan Indonesia, mengemukakan bahwa 100.000 orang tewas hanya dalam hitungan bulan Desember 1965 hingg Februari 1966.
Menurut Komisi Pencari Fakta yang dibentuk setelah peristiwa berdarah itu, jumlah korban hanya 78.000 orang. Tapi, Oei Tjoe Tat – menteri negara jaman Bung Karno – yang menjadi ketua tim, justru meragukan penemuan itu. Dalam perjalanannya melakukan penyelidikan ia justru dihambat oleh aparat militer setempat. Ia menyebutkan angka itu terlalu dikecilkan. Dengan menyindir ia menyebut bukan 78.000 tapi 780.000.

Dalam memoarnya, Oei Tjoa Tat menceritakan perjalanannya ke Bali, justru tidak bisa mendapatkan akses kemana mana, karena dikarantina di hotel, akhirnya dia bisa diselundupkan suatu malam, dengan melewati dapur untk bertemu sumber sumber penyelidikan.
Dari situ ia bisa mengetahui pembunuhan yang terjadi terhadap I Gede Puger, Ketua PKI Bali yang bertubuh gemuk. Tubuhnya dipotong potong, sehingga daging lemaknya terburai sebelum akhirnya kepala di tembak. Tidak hanya dia yang dibunuh, juga seluruh anak istrinya.
Bahkan Gubernur Bali, Anak Agung Bagus Suteja yang berafiliasi pada PKI, hilang tanpa bekas.

Suatu saat setelah laporan Komisi Pencari Fakta selesai. Oei Tjoe Tat dipanggil Bung Karno secara sembunyi bunyi.
“ Sst..sini sebentar,. berapa angka yang sesungguhnya..” tanya Bung Karno.
“ Lho khan ada releasenya Pak, sekitar 78.000 “.
“ Sudahlah saya tidak percaya “ sergah Bung Karno
Oei Tjoe Tat lalu melihat sekelilingnya karena takut ada yang mendengar. Lalu ia membisiki Bung Karno,
“ Ya..dikalikan 5 kali lipat saja pak dari angka itu “.
Kelak Oei Tjoe Tat ditahan rezim orde baru karena dianggap sebagai orang Soekarno.

Anehnya Komkaptib, lembaga bentukan Orde baru yang sangat berkuasa dan dapat menentukan hidup matinya seseorang. Dalam laporannya, menyebutkan angka hampir sebesar 1 juta orang, dengan perincian 800,000 korban di Jawa dan 100.000 korban di Bali dan Sumatera.
Besarnya angka itu juga menunjukan adanya praktek genosida ( genocide ) yakni menghilangkan kelompok tertentu.
Jika Pol Pot melakukannya pembantaian untuk menghilangkan kelas borjuis dan intelektual dalam beberapa tahun. Di Indonesia mereka melakukan pembantaian dalam hitungan bulan.

Ada beberapa cara penghitungan selain sumber sumber resmi di atas, seperti menghitung jenasah yang menjadi korban pembantaian – termasuk membongkar kuburan kuburan – walau agak sulit, karena banyak kejadian dengan membuang korban di jurang, hutan, tempat tempat terpencil atau membuat kuburan gelap.
Ada cara lain, meminta kesaksian dari korban yang kebetulan selamat, orang yang menyaksikan atau pelakunya sendiri.

Maskun Iskandar & Jopie Lasut, pernah mempublikasikan “ Laporan dari daerah maut Purwodadi “ dalam Koran ‘ Indonesia Raya tanggal 17 Maret 1969. Mereka menemukan tentara pangkat rendah dan dijuluki James bond agen 007 oleh rekan rekan instansi militernya. Dijuluki demikian karena memiliki lisensi membunuh seperti agen rahasia Inggris itu, dan dalam suatu kendurian warga, ia berkoar koar telah membunuh ratusan orang komunis.

Cara lain adalah dengan teknik demografi, membandingkan jumlah penduduk suatu daerah sebelum dan sesudah kejadian. Walau cara ini kurang efektif.
Ada cara lain yakni dengan metode intuisi, yakni secara moderat tidak terlalu kecil dan tidak dibesar besarkan. Robert Gribb yang menulis ‘ The Indonesian Killings ‘ menyebut 500 ribu sebagai angka yang wajar.
Jumlah tersebut didukung teknik yang dibuat Iwan Gardono, dalam disertasinya ‘ The Destruction of the Indonesian Comunist Party ( a comparative analysis of Esat Java and Bali ) di Harvard University tahun 1992. Ia menjumlahkan semua angka pada 39 artikel / buku yang mengulas pembantaian 1965 / 1966 dan membagi dengan 39 sehingga diperoleh angka rata rata 430.590 orang.

Statistik itu tidak menunjukan perasaan sesungguhnya, tidak menggambarkan ketika orang dibunuh dengan dingin, diperkosa serta kengerian yang luar biasa terjadi. Selain itu sebuah tanda tanya kenapa aparat militer tidak mencegah kejadian itu, justru membiarkan pembantaian itu terjadi.
Ucapan komandan RPKAD diatas menjelaskan bagaimana keterlibatan militer secara tidak langsung dalam pembantaian ini.

Terutama di Jawa, angkatan darat dengan kesatuan RPKAD menyebarkan daftar nama nama anggota PKI yang harus dibunuh, serta melatih organisasi pemuda sipil untuk bisa menguasai teknik dasar pertempuran – baca pembantaian.
Dalam pidatonya di Bogor tgl 18 Desember 1965, di hadapan mahasiswa HMI. Bung Karno meminta agar HMI ‘turba’ – turun ke bawah untuk mencegah pembunuhan massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembantaian sangat keji. Orang disembelih, dipotong dan dibunuh begitu saja.
Bahkan orang tidak berani menguburkan jenasah korban.

Lebih jauh Bung Karno menggambarkan , “ Awas kalau berani ngrumat jenasah. Engkau akan dibunuh. Jenasah diklelerkan begitu saja, dibawah pohon, dipinggir sungai. Dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati “.

Bahkan dalam iring iringan mobil Bung Karno di Jawa Timur. Salah satu mobil diberhentikan, dan penumpangnya diberi bungkusan berisi kepala pemuda rakyat.

Pembunuhan orang orang Komunis ini terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Sebagian Sulawesi, Pulau Jawa, Bali, Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Di Jawa kerusuhan anti komunis menyebar di seluruh penjuru pulau, dengan konsentrasi di pedesaan. Di Surabaya, muslim Madura adalah kelompok terbesar yang melakukan pembantaian, sementara di daerah lain unit unit militer, kelompok warga sipil yang sebagian besar anggotanya adalah para pemuda yang bergabung dengan partai politik antikomunis.

Disini Ansor yang berafiliasi dengan NU memainkan peranan penting dalam pembantaian ini. Gus Dur dalam masa jabatan kepresidennnya pernah menyuarakan rekonsiliasi serta permintaan maaf atas pembunuhan yang dilakukan orang orang Ansor dan banser NU.

Di Jawa tengah dan Jawa Timur sebagai ladang pembantaian utama mulai dari wilayah Banyumas, Solo, Klaten, Boyolali, Purwodadi sampai Pati. Sementara di timur, mulai dari Kediri, Ponorogo dan yang paling parah daerah Probolinggo, Pasuruan, Situbondo sampai Banyuwangi.
Bahkan Ansor sampai harus menyebrangi selat Bali, membantu membantai orang orang komunis di daerah bali barat.

Awalnya memang orang orang Komunis sempat diatas angin, dengan menangkapi tokoh tokoh agama atau tokoh masyarakat yang berafiliasi dengan PNI. Beberapa pertempuran terjadi antara komunis dengan Ansor, kaum nasionalis dan pemuda Kristen.
Namun sejak RPKAD mengirim satu batalyon menuju Jawa Tengah pada tgl 17 Oktober 1965. Keadaaan berubah drastis. Pihak komunis menjadi terdesak, dan dibantai sampai keluarganya atau kerabatnya.
Banyak pembunuhan terjadi karena amuk massa atau fitnah dari orang orang yang tidak suka kepada mereka yang dicurigai simpatisan. Padahal bukan komunis.

Di daerah Klaten, pemuda nasionalis membentuk satuan khusus yang dinamakan ‘ Pasukan Banteng Serba Guna “ bekerja sama dengan pemuda pemuda Islam dan pemuda Kristen yang membentuk “ Barisan Pengawal Yesus “. Mereka mendapat latihan militer dari satuan RPKAD yang berbasis di Kandang Menjangan dan Kartasura.

Beberapa laporan tentang pembunuhan di daerah Jawa Timur :

1. Lawang, Kabupaten Malang. Para anggota dan simpatisan PKI yang akan dibunuh dikat tangannya. Lalu segerombolan pemuda Ansor bersama satu unit tentara Zeni Tempur membawa ke tempat pembantaian. Para korban satu persatu digiring ke lubang. Mereka dipukuli dengan benda keras sampai tewas. Lalu kepala mereka di penggal. Ribuan orang dibunuh dengan cara ini. Lalu pohon pohon pisang ditanam diatas kuburan mereka.

2. Singosari , Malang. Oerip Kalsum, seorang lurah wanita desa Dengkol, Singosari dibunuh dengan cara tubuh dan kemaluannya dibakar, lalu lehernya diikat sampai tewas.

3. Tumpang, Kabupaten Malang. Sekitar ribuan orang dibunuh oleh tentara dari Artileri Medan ( Armed I ) bekerja sama dengan Ansor. Mayat korban dikuburkan didesa Kunci.

4. Kabupaten Jember. Pembantaian dilakukan oleh Armed III. Tempat pembantaian perkebunan karet Wonowiri dan Glantangan serta kebun kelapa Ngalangan. Sementara di Desa Pontang pembantaian dilakukan oleh kepala Desa dan pensiunan tentara.

5. Nglegok. Kabupaten Blitar. Japik seorang tokoh Gerwani cabang setempat dan seorang guru, dibunuh bersama suaminya. Ia diperkosa berkali kali sebelum tubuhnya dibelah mulai dari payudara dan kemaluannya. Nursamsu seorang guru juga dibunuh, dan potongan tubuhnya digantung di rumah kawan kawannya. Sucipto seorang bekas lurah Nglegok dikebiri lalu dibunuh. Semuanya dilakukan oleh pemuda Ansor.

6. Garum, Kabupaten Blitar. Ny Djajus seorang lurah desa Tawangsari dan seorang anggota Gerwani. Hamil pada saat dibunuh. Tubuhnya dibelah sebelum dibunuh.

7. Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Beberapa guru, kepala desa ditangkap oleh pemuda Ansor, lalu disembelih dan mayatnya dibuang ke sungai. Beberapa kepala guru dipenggal dan ditaruh diatas bamboo untuk diarak keliling desa.

8. Kecamatan Pare, Kediri. Suranto, seorang kepala sekolah menengah di Pare. Ia bukan anggota PKI, tetapi anggota Partindo. Ia bersama istrinya yang sedang hamil 9 bulan di tangkap pemuda Ansor. Mereka dibunuh, perut istrinya dibelah dan janinnya dicincang. Selama seminggu setelah kejadian itu, kelima anak anak Suranto yang masih kecil kecil tidak punya siapa siapa yang akan menolong mereka, karena para pemuda Ansor memperingatkan tetangga, bahwa barang siapa menolong anak anak iti tidak dijamin keselamatannya.

9. Kecamatan Keras, Kabuaten Kediri. Tahanan dibawa naik rakit oleh pemuda Ansor, dan disepanjang perjalanan mereka dipukui sampai mati, lalu mayatnya dibuang di bantaran sungai.

10. Kabupaten Banyuwangi. Pembantaian dilakukan mulai tgl 20 November 1965 sampai 25 Desember 1965. Kemudian terjadi lagi 1 Oktober sampai 5 Oktober 1966 serta pembantaian terakhir sejak Mei 1967 sampai Oktober 1968. Pembantaian dilakukan oleh regu regu tembaj dari Kodim 08325, pemuda Ansor dan Pemuda Demokrat. Mayat mayat dikubur dilubang lubang yang sudah disiapkan. Umumnya satu lubang memuat 20 25 orang.
Dengan menggunakan truk pinjaman dari pabrik kertas di Banyuwangi ratusan korban disiram minyak tanah dan dibakar lalu dilempar ke jurang di Curahtangis, antara jalan Banyuwangi dan Situbondo. Dalam banyak kasus, perempuan perrempuan dibunuh dengan cara ditusuk dengan pedang panjang melalui vagina sehingga perut mereka terbelah. Kepala dan payudara mereka dipotong potong lalu dipamerkan di pos pos jaga yang ada di sepanjang perjalanan.

Selain Curahtangis diatas, ada tempat seperti Merawan, Curahjati – sebuah hutan jati, Desa bulusan dan Ketapang di daerah pantai yang menjadi tempat pembantaian massal. Bahkan di daerah Tampuh, sebuah desa perkebunan terpencil, sejumlah anggota PKI ditembak yang dipimpin oleh komandan kodim setempat.

Sulit mengatakan jika militer dan petinggi organisasi massa tidak terlibat, jika contoh kasus pembantaian di Banyuwangi justru dipimpin oleh Kolonel Sumadi (Komandan Korem 083), Letkol Djoko Supaat Slamet (Komandan Kodim 18325) , Dja’far Maruf( Ketua PNI cab. Banyuwangi ) Kiai Haji Abdul Latief ( Ketua NU cab. Banyuwangi )
Ketika Tim pencarifakta yang dipimpin Oei Tjoe Tat turun disini pada tanggal 25 Desember 1965. Jumlah korban sedah mencapai 25.000 orang.

Banyak orang yang tidak tahu apa apa harus ikut membayar nyawanya karena amuk massa. Kerabat, tetangga, bayi bayi yang tak berdosa.
Bagaimana kita menjelaskan fenomena ribuan orang orang Bali yang pasrah, lalu berpakaian putih putih berjalan menuju tempat penjagalan, serta berdiam diri menunggu datangnya algojo.

Bagaimana kita menjelaskan puluhan ribu guru yang hilang dari sekolah sekolah dalam periode tersebut. Mereka tak tahu apa apa tentang politik, sehingga bergabung dengan gerakan sempalan PGRI non vaksentral, yang memberi semboyan jika Guru lapar mereka tak bisa mengajar. Sejumlah data menyebut angka 30.000 rib sampai 92,000 ribu guru dibunuh.
Dari 120 orang yang dibunuh di Desa Margosari Klaten, terdapat sejumlah 80 orang guru sekolah.
Juga para seniman yang memiliki minat khusus terhadao wayang, atau reog sehingga diasosiasikan terhadap Lekra.

Dengan belajar memahami sejarah, kita mengenal bangsa sendiri. Sejarah adalah cermin. Sehingga kita bisa bercermin tentang siapa diri kita sebenarnya. Tentu saja berharap kita bukan bangsa pendendam.

Sumber :
*Robert Cribb, The Indonesian Killings
*Memoar Oei Tjoa Tat
*Hermawan Sulistyo, Forgotten Years, Indonesia’s missing history of mass slaughter ( Jombang – Kediri 1965 -1966 )

http://blog.imanbrotoseno.com/?p=1498

Klik Alternatif Diskusi Kalau FFI Terblokir
Mirror
Mirror Rss Feed
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Kediri dan Orang Kiri (1)
Cerita Musso, tokoh PKI yang ternyata anak kiai besar
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 4 Februari 2013 10:21:53
Cerita Musso, tokoh PKI yang ternyata anak kiai besar
KH Muqtafa. ©imam mubarok
165



Temuan baru muncul mengungkap siapa sebenarnya Musso atau Munawar Musso alias Paul Mussote (nama ini tertulis dalam novel fiksi Pacar Merah Indonesia karya Matu Mona), tokoh komunis Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 1920-an. Nama Musso terus berkibar hingga pemberontakan Madiun 1948.

Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Sering disebut-sebut, Musso adalah anak dari Mas Martoredjo, pegawai kantoran di Kediri. Penelusuran merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.

Kabar bahwa Musso diragukan sebagai anak Mas Martoredjo muncul dari informasi awal Ning Neyla Muna (28), keluarga Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri yang menyebut Musso itu adalah keluarga mereka.

Sulit untuk dipercayai, jika Musso anak pegawai kantoran biasa di desa, bisa menjadi pengikut Stalin dan fasih berbahasa Rusia. Bahkan untuk berteman dengan Stalin dan bisa melakukan aktivitasnya yang menjelajah antarnegara hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kaya di masa itu.

Kalau bukan anak orang berpengaruh, sulit pula baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).

Saat di Surabaya Musso pernah kos di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso di rumah kos itu juga ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo.

Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma menjadi tokoh Darul Islam, ekstrem kanan. Mereka dicatat dalam sejarah perjalanan revolusi di Indonesia.

Saat kos itu, Musso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, "Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa."

Merdeka.com menemui KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu Kediri untuk bertanya tentang siapa Musso. "Saya hanya mengetahui Musso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo, namun yang paham itu adalah KH Muqtafa, paman kami. Yang saya pahami Musso itu anak gawan (bawaan), jadi saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru, Nyai Juru sudah memiliki putra salah satunya Musso. Makam keduanya berada di komplek Pondok Pesantren Kapurejo," kata Gus Ibiq paggilan akrab KH Hamdan Ibiq, akhir bulan lalu.

Penelusuran dilanjutkan ke rumah KH Muqtafa di Desa Mukuh, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Tiba di rumah KH Muqtafa, si empunya rumah tampak sedang asyik mutholaah kitab kuning (membaca dan memahami kitab kuning) tepat di depan pintu rumahnya.

Setelah mengucapkan salam dan dijawab, kemudian Kyai Tafa mempersilakan masuk. Rumah lelaki pensiunan pegawai Departemen Agama ini tampak asri, tembok warna putih dan ada bagian gebyog kayu jati yang menandakan pemiliknya orang lama. Ditambah beberapa hiasan kaligrafi Arab yang ditulis dengan indah menempel di antara dinding rumahnya. Selanjutnya Kiai Tafa masuk ke rumah induk dan berganti pakaian yang semata-mata dia lakukan untuk menghormati tamunya.

Lima menit berlalu, Kiai Tafa keluar dan menanyakan maksud kedatangan. Sebelumnya lelaki yang sudah tampak uzur ini menyatakan meski keturunan keluarga pesantren, dia tak memiliki santri. Sebab dia harus menjadi pegawai negeri dan berpindah-pindah tempat.

"Mau bagaimana lagi memang harus seperti itu," kata Kiai Tafa membuka perbincangan.

Setelah mengutarakan maksud dan tujuan untuk mengetahui sejarah Ponpes Kapurejo, kemudian penuh semangat, Kiai Tafa menjelaskan secara gamblang dengan suara yang sangat berwibawa.

Belum membuka pembicaraan tentang Musso, merdeka.com hanya ingin mengetahui arah pembicaraannya seperti yang disampaikan Gus Ibiq, bahwa Kyai Tafa –lah yang menjadi kunci silsilah keluarga Pondok Pesantren, Kapurejo.

"KH Hasan Muhyi itu orang Mataram, sebenarnya namanya adalah Rono Wijoyo. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan maaf salah satunya mungkin orang mengenal dengan nama Musso," ujar Kiai Tafa yang sedikit canggung ketika menyebut nama Musso.

Meski canggung, Kiai Tafa kembali menegaskan itulah fakta sejarah. "Mau bagaimana lagi itulah fakta sejarah," tukasnya.
[tts]

http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita ... iri-1.html

Kediri dan Orang Kiri (2)
Tokoh PKI Musso, saat kecil santri yang cerdas
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 4 Februari 2013 10:58:39
Tokoh PKI Musso, saat kecil santri yang cerdas
Kategori Peristiwa
Berita tag terkait Menengok markas PKI yang telah mati Demo tolak paham komunis

Di tanah ini, dulu adalah rumah Musso saat kecil. ©imam mubarok
28



Tokoh PKI Musso ternyata adalah keturunan pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Musso adalah anak dari KH Hasan Muhyi yang menikah dengan Nyai Juru.

Putra seorang kiai dan berada di lingkungan pesantren sejak kecil, tentu saja Musso kecil rajin nyantri. Cerita ini disampaikan oleh KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo, Pagu, Kediri. Menurut Gus Ibiq, sapaan Hamdan Ibiq, Musso selain masih keluarganya, juga pernah nyantri layaknya putra para kiai, penuturan ini berdasarkan cerita dari para leluhurnya.

"Tidak disebutkan jelas di mana dia nyantri, tapi berdasarkan keterangan kakek buyut saya, Musso merupakan anak yang cerdas kala dia nyantri," kata Gus Ibiq kepada merdeka.com.

Hingga sekarang, pihak keluarga meyakini bahwa apa yang dilakukan Musso dengan gerakannya itu lebih pada pilihan politik, bukan ideologis. "Saya kira dia paham agama, apa yang dia lakukan semata untuk melawan Belanda," tambah Gus Ibiq.

Gus Ibiq lantas mengajak merdeka.com ke makam pendiri pesantren, KH Hasan Muhyo dan Nyai Juru. Makam keduanya berada di kompleks Pondok Pesantren Kapurejo. Kompleks makam keluarga yang berjarak 200 meter dari lokasi pesantren induk ke arah belakang. Makam KH Hasan Muhyi berjajar di antara makam keluarga lainnya, sedangkan makam Nyai Juru berada lebih atas dengan nisan batu layaknya nisan orang kuno.

Posisi makam yang berbeda ternyata disebabkan Nyai Juru lebih dahulu meninggal dibandingkan KH Hasan Muhyi. Sebab berdasarkan silsilah keluarga KH Hasan Muhyi menikah sebanyak tiga kali.

Dari makam kedua orangtua Musso, merdeka.com menuju Desa Jagung yang berjarak kurang lebih 4 kilometer dari Ponpes Kapurejo dengan tujuan mencari rumah peninggalan orang tua Musso. Sebuah fakta mengejutkan, rumah di ujung desa tersebut sudah lenyap dan terganti dengan rumah-rumah baru sejak 5 tahun lali. Sebab digambarkan sebelumnya rumah orang tua Musso rumah berbentuk rumah tradisional srotong atau doro gepak yang terbuat dari kayu jati.

Di depan rumah Muso, ada pohon durian yang sangat besar, dan selalu berbuah lebat di setiap musim durian. Selain salah satu orang kaya dan terpandang, Nyai Juru selalu memberi perhatian kepada para tetangganya, salah satunya mengajak bermain ke rumahnya.

"Saya pernah main ke rumah itu saat saya masih kecil, namun saya tidak pernah bertemu Musso, sebab dia memang jarang pulang. Saya pun hanya mendapatkan cerita, Musso sesekali pulang menjenguk ibunya (Nyai Juru) yang sedang sakit. Di saat Muso pulang itu biasanya ada penggerebekan, namun dia selalu lolos, penggerebekan itu lebih karena karena ketokohannya," kata Nur Hasan (85) salah seorang warga di Desa Jagung.

Gambaran perjalanan Muso akhirnya diteruskan kepada sumber organik yang lain yakni Ustaz Nurudin (85) warga Dusun Santren Desa Jagung Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Menurutnya, KH Hasan Muhyi dulu juga sempat membuat pesantren di wilayah Dusun Santren, Desa Jagung, Kecamatan Pagu.

"Pesantrennya hanya berbentuk langgar angkringan (mushala bambu) tepatnya tahun berapa saya ndak paham, cuman bapak saya bilang tahun 1926 sudah ada. Saat membangun pesantren itu, KH Hasan Muhyi didampingi beberapa temanya sesama pelarian pasukan Diponegoro, yakni Ki Martojo, Ki Sanan Kemat, Mbah Awi, dan Mbah Mantari," kata Ustaz Nuruddin.

Dan pada tahun 1954, KH Hasan Muhyi memindah pesantrennya ke Kapurejo, Pagu, setelah sebelumnya mendapatkan wisik bahwa pesantren yang dibangunnya tersebut akan terkena lahar Gunung Kelud. Pemindahan akhirnya kejadian pada tahun 1964 atau tepat sepuluh tahun setelah mendapatkan petunjuk.

"Karena semua terlalap lahar dingin Gunung Kelud, akhirnya mushala itu dibangun permanen pada tahun yang sama dan pada perkembangannya sekitar tahun 1980 an mushala itu dibangun menjadi masjid hingga saat ini," kata Nurudin.
[tts]

http://www.merdeka.com/peristiwa/tokoh- ... iri-2.html

Kediri dan Orang Kiri (3)
Tak banyak pilihan politik bagi Musso
Reporter : Imam Mubarok
Senin, 4 Februari 2013 18:50:58
Tak banyak pilihan politik bagi Musso
Kategori Peristiwa
Berita tag terkait Menengok markas PKI yang telah mati Demo tolak paham komunis

Makam orangtua Musso yang merupakan ulama terkenal. ©imam mubarok
43



Apa yang menyebabkan Musso beraliran kiri, padahal dia merupakan putra kiai? Banyak kalangan meyakini pilihan Musso adalah pilihan politik, bukan ideologi murni. Rasa ingin merdeka dari penjajahan yang didukung oleh pergaulannya yang menyebabkan dia berubah.

Penelusuran merdeka.com mengungkap cerita lain, bahwa Musso ternyata putra seorang kiai besar di daerah Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.

Putra seorang kiai dan berada di lingkungan pesantren sejak kecil, tentu saja Musso kecil rajin nyantri.

Menurut Elia Krisanto, pengamat sejarah asal Kediri, untuk melawan penjajah perlu adanya kekuatan politik yang tersentral. "Yang perlu diingat bahwa pada saat itu tak banyak pilihan berpolitik khususnya untuk melawan penjajah," kata Elia yang juga Relawan Perjuangan Demokrasi pada www.merdeka.com.

Lingkungan sangat memengaruhi kenapa kemudian Musso berubah dari 'cetakan awalnya' yang notabene dididik di kalangan santri. "Dogma tentang pemberontakan di era tahun 1950 ke bawah itulah yang berbeda dengan 'pemberontakan' di era Orde Baru, yang selalu dicap salah tanpa melihat sisi sejarahnya," tambahnya.

Edi Musaddad, pengamat sejarah asal Salatiga yang tinggal di Jombang juga memberikan pandangannya soal Musso. Menurutnya dari berbagai sumber sejarah Musso merupakan salah satu pemimpin PKI di awal 1920-an. Dia adalah pengikut Stalin dan anggota dari Internasional Komunis di Moskow.

"Pada bulan November 1926 terjadi beberapa pemberontakan PKI di beberapa kota termasuk Batavia (sekarang Jakarta), tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Di mana saat terjadi pemberontakan Musso dan Alimin tidak berada di Indonesia keduanya sedang melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang memang tidak setuju dengan langkah keduanya, akhirnya keduanya ditangkap di Singapura oleh intelijen Inggris," kata Edi Musaddad.

Masih menurut Edi, Musso memang menjalin hubungan yang cukup baik dengan Stalin termasuk soal Indonesia yang bukan basis buruh yang menerapkan paham feodal -industri sebagai kebijakan komunis.

"Indonesia basisnya petani, inilah yang sudah diprediksi oleh Tan Malaka bahwa gerakan yang dilakukan Musso nanti akan gagal," tambahnya.

Masih menurut Edi, pasca keluar dari penjara, Musso pergi ke Moskow. Dia sempat kembali ke Indonesia sekitar tahun 1935 dan dipaksa kembali ke Uni Soviet setelah gagal memaksa 7 anggota Kongres Komintern sekitar tahun 1936. Selanjutnya Musso tinggal di Moskow.

Gerakan Musso tak sampai disitu. 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia lewat Yogyakarta, dan pada 5 September 1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Dan anjuran itu berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur .

"Saat terjadi pemberontakan itu Musso sebenarnya dia tidak berada di lokasi, sebab dia sedang kampanye keliling di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Militer menyebut PKI memproklamirkan "Republik Soviet Indonesia" dan pada 18 September 1948 dengan menyebut Musso sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Dan rencana pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh militer," imbuhnya.

Pada tanggal 30 September 1948, Madiun direbut oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan sejumlah 36.000 orang dipenjarakan. Di antara yang terbunuh adalah Musso pada tanggal 31 Oktober 1948 saat ia berusaha melarikan diri dan tertangkap di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo.

"Riak revolusi untuk kemerdekaan banyak dilakukan oleh bangsa Indonesia karena penjajajahan Belanda yang cukup lama. Bahkan para tokoh-tokoh nasioanal seperti Soekarno juga pada awalnya berteman akrab dengan Musso, Alimin, Semaun dan Kartosuwiryo," Ujar Edi.

Bahkan mereka pernah satu kos di Surabaya, ungkap Edi. "Mereka pernah kos Surabaya di rumah keluarga HOS Cokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Musso sendiri saat kos di rumah Cokroaminoto sebagai aktivis Sarekat Islam dia juga aktif di ISDV (Indische Sociaal Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Karena keilmuan Musso, Soekarno menganggap dia adalah salah satu gurunya," lanjutnya.

Pasca perpisahan di Surabaya, menurut Edi- para tokoh-tokoh ini melanjutkan perjuangannya masing-masing.

"Itulah dinamika politik yang terjadi di Indonesia, inilah perjalanan panjang Bangsa Indonesia. Jika dipelajari mereka memiliki tujuan yang sama yakni memiliki keinginan lepas dari penjajahan mereka selalu tegas memilih prinsip politik, kalah atau menang tak masalah," pungkasnya.
[tts]

http://www.merdeka.com/peristiwa/tak-ba ... iri-3.html

Klik Alternatif Diskusi Kalau FFI Terblokir
Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

Prof. John Roosa: Identitas bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965
Oleh: John Roosa, M. Zaki Hussein
Diunggah indoprogress pada 17/09/2012 dalam Edisi II/2012, Wawancara, Wawancara II/2012

Image
John Roosa

BULAN September, bisa dibilang sebagai bulan paling bersejarah dalam cerita Indonesia modern. Pada bulan ini, terjadi satu peristiwa yang menjadi penanda lahirnya sebuah rezim politik paling berdarah dan paling kuat dalam sejarah Indonesia modern, rezim Orde Baru.

Cita-cita tentang Indonesia yang demokratis, yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan, yang meniscayakan kebhinekatunggalikaan, sejak September 1965 terkubur bersama jutaan bangkai manusia sebangsa. Setelah September 1965, kita seperti orang mabuk yang berjalan terseok-seok, kumuh, dan sering beringas dalam menggapai dan merumuskan identitas sebagai sebuah bangsa. Tapi mengherankan, tidak banyak studi yang dilakukan dalam masa-masa paling gelap itu. Tidak ada ’seujung kuku’ jika dibandingkan dengan, misalnya, studi tentang Holocaus Nazi/Hitler terhadap bangsa Yahudi di Jerman pada masa Perang Dunia II. Padahal, Peristiwa G30S 1965 dan yang menyertainya, merupakan tragedi kemanusiaan terbesar kedua setelah Holocaus dalam rentang skala, waktu, dan jumlah korban yang ditimbulkannya. Kita seperti ingin melupakannya ketimbang merenungkannya, ingin membantahnya ketimbang memahaminya.

Salah satu dari sedikit sarjana yang mendedikasikan dirinya dalam upaya mengungkap Peristiwa G30S tersebut adalah sejarahwan John Roosa, yang saat ini menjadi profesor di University of British Columbia (UBC), Kanada. Bukunya, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007), adalah bagian dari upayanya untuk memahami peristiwa tersebut. Untuk itu, bertepatan dengan bulan ‘gelap’ ini, M. Zaki Hussein dari Left Book Review (LBR), berbincang-bincang dengan John Roosa. Berikut petikannya:



Apa yang membuat Anda tertarik untuk meneliti G30S dan pembantaian orang-orang PKI serta sayap kiri pada 1965-1966?

Waktu saya belajar sejarah Asia Tenggara di universitas tahun 1990an, saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil. Sebagai sejarahwan, saya lihat ada kebutuhan untuk investigasi yang lebih mendalam guna membongkar sejarah yang digelapkan oleh pembunuh-pembunuh itu. Sebagai manusia biasa yang peduli dengan prinsip-prinsip moral, saya benci dengan rezim Suharto. Rezim itu berfungsi sebagai attack dog buat modal asing dan jadi penuh dengan pejabat-pejabat **** dan brutal, orang dengan watak preman yang sama sekali tidak peduli dengan prinsip HAM, yang mengkhianati prinsip kemerdekaan, membunuh dan menyiksa orang Indonesia sendiri, dan kemudian menjual kekayaan tanah airnya kepada konglomerat multinasional dengan harga murah.

Akhir tahun 1990an, saya heran kenapa gerakan reformasi tidak mempersoalkan kejahatan-kejahatan yang terjadi waktu Orde Bobrok baru dimulai, tidak bisa melihat rezim itu sebagai satu package dari 1965 sampai 1998. Miseducation orang Indonesia selama 32 tahun cukup lengkap. Untuk mengerti rezim itu, kita harus kembali ke hari-hari lahirnya.


’Saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil.’

Sekalipun sekarang sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut kewenangan Kejaksaan untuk melarang buku, tetapi buku Anda, Dalih Pembunuhan Massal, pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 2009. Apa komentar Anda mengenai hal ini?

Dari satu segi, pelarangan itu bisa dianggap sebagai penghargaan. Ternyata kekuatan buku saya tinggi sekali, sampai pejabat-pejabat takut buku itu bisa mempengaruhi rakyat Indonesia. Dan pejabat-pejabat di Clearing house-nya Kejaksaan Agung teliti sekali waktu membaca Dalih. Konon, mereka telah siapkan laporan panjang dan mendaftar 143 kesalahan dari Dalih. Tapi, dari segi lain, pembredelan itu tentu saja, menyedihkan. Kok di era reformasi dan era internet ada pejabat yang mengira mereka masih bisa membredel buku. Saya lihat kemenangan kami di MK tahun 2010 sebagai kemenangan untuk rule of law dan hak kebebasan berekspresi. Yang tetap menjengkelkan, Kejaksaan Agung tidak mau membuka laporannya. Saya masih penasaran, apa keberatan mereka terhadap buku saya dan kenapa mereka membredel Dalih?


Anda menyebutkan bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat dalam G30S, tapi ada individu PKI yang terlibat tanpa persetujuan partai, bisa anda jelaskan secara singkat hal ini?

G30S itu operasi rahasia. Badan-badan partai, seperti Central Committee (CC) dan CDB-CDB (Comite Daerah Besar) di tingkat propinsi, tidak pernah membicarakan G30S, apalagi ambil keputusan. Menurut Iskandar Subekti, panitera Politbiro, banyak dari anggota Politbiro itu sendiri tidak tahu persis apa itu G30S (Di Politbiro ada kira-kira 12 orang: Aidit, Lukman, Sudisman, dll.). Soal yang dibicarakan di Politbiro adalah: lebih baik PKI mendukung para perwira progresif untuk mendahului Dewan Jenderal (DJ) atau tunggu sampai DJ melakukan kudeta. Politbiro ambil keputusan bahwa PKI harus mendukung para perwira progresif dan Aidit ditugaskan untuk melaksanakan keputusan itu. Sehingga anggota Politbiro tidak melihat G30S sebagai aksi partai. Aidit membentuk tim inti yang terdiri dari beberapa anggota Politbiro, misalnya Sudisman dan Oloan Hutapea, dan hanya tim inti itu, tim ad hoc di luar institusi formal di partai, yang bekerja dengan Sjam di Biro Khusus untuk merancang operasi G30S. Tapi, belum tentu tim inti itu tahu persis apa itu G30S. Tampaknya, Aidit dan pemimpin PKI lain di tim inti itu tetap berpikir bahwa kelompok perwira progresif (Untung cs.) yang memegang peran utama dalam aksi G30S. Mereka kira Untung, Latief, dan Suyono punya kekuatan militer yang cukup untuk melawan jenderal-jenderal kanan dan punya rencana yang jelas. Padahal, Untung cs. berpikir bahwa pemimpin PKI yang memegang peran utama. Dua kelompok itu (orang PKI di tim intinya Aidit dan perwira militer) tidak pernah duduk bersama untuk menyusun G30S. Karena Sjam jadi perantaranya, persiapan aksi itu jadi kacau.

Rezim Suharto menangkap lebih dari satu juta orang atas nama ’penumpasan G30S.’ Jelas penangkapan semasif itu sebenarnya tidak perlu sebagai reaksi terhadap aksi kecil. Pepatah yang dipakai Sukarno benar: tentara ’membakar rumah untuk membunuh tikus.’ G30S merupakan dalih saja untuk kepentingan yang lebih besar.


’Kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa.’

Anda mengatakan bahwa peristiwa G30S itu sebenarnya merupakan dalih untuk sebuah pembantaian massal. Lalu, apa sebenarnya tujuan utama di balik pembantaian massal itu?

Ada dua hal: represi terhadap gerakan nasionalis kiri (pengangkapan massal, penahanan massal) dan pembunuhan terhadap gerakan itu. Kalau represi, tujuan utamanya menghancurkan kekuatan petani, yang sedang mendukung proses land reform, dan kekuatan buruh, yang sedang mengambil alih banyak perusahaan milik modal asing. Represi itu sebenarnya bisa dilakukan tanpa pembunuhan. Waktu itu PKI tidak melawan. Kenapa kelompok Suharto di dalam Angkatan Darat (AD) memilih membunuh orang yang sudah ditahan? Ada beberapa kemungkinan, tapi satu poin yang cukup penting: kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa. Suharto sadar bahwa rezim dia akan bergantung kepada bantuan finansial dari AS untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.


Anda nyaris tidak membahas apa yang terjadi di Lubang Buaya saat peristiwa G30S, kenapa demikian? Apakah karena kurangnya data atau karena kejadian-kejadian di Lubang Buaya memang tidak signifikan untuk merekonstruksi narasi tentang peristiwa G30S?

Memang tidak banyak informasi yang bisa diandalkan tentang apa persisnya yang terjadi di Lubang Buaya. Hampir semua orang yang hadir di sana, tidak mau mengakui kehadiran mereka atau tidak mau cerita secara jelas dan jujur tentang kejadian-kejadian di sana. Wajar, kalau kita ingat teror yang mereka alami. Yang jelas, propaganda kelompok Suharto tentang Lubang Buaya itu bohong belaka. Ya, rezim itu sendiri tidak peduli dengan fakta: mereka tidak pernah membuat investigasi dengan benar. Malah, mereka memaksa beberapa gadis yang tidak punya hubungan dengan peristiwa itu mengaku membunuh para jenderal. Ada buku baru yang mengharukan tentang hal ini: Aku Bukan Jamilah (2011), oleh R. Juki Ardi. Kalau geng Suharto mau menghargai jenderal-jenderal itu, seharusnya mereka melacak kejadian di Lubang Buaya sampai bisa tahu persis siapa yang membunuh mereka dan atas perintah siapa. Kalau informasi itu bisa diketahui, kita bisa memahami proses pengambilan keputusan di dalam kelompok G30S (Sjam, Untung cs).

Image
Presiden Suharto di Museum ‘Lubang Buaya’.

Anda menyebutkan bahwa Amerika Serikat memiliki kontak dengan kelompok Jenderal Angkatan Darat yang dinamakan ‘brain trust.’ Apakah kelompok ini yang disebut dengan ’Dewan Jenderal?’ Seberapa erat sebenarnya hubungan mereka dengan Amerika Serikat?

’Brain trust’ itu istilah yang dipakai oleh CIA sendiri dalam laporan tentang G30S tahun 1968. Saya kira, tidak ada satu kelompok perwira AD yang sering rapat dan menyusun bersama strategi yang jelas untuk semacam konfrontasi terhadap PKI. Organisasi mereka lebih informal dan strateginya disusun dalam pertemuan-pertemuan biasa. Yang jelas, jenderal Abdul Haris Nasution menjadi pemimpin para perwira antikomunis dan dia sering bicara dengan perwira lain tentang strategi untuk menghancurkan PKI. Hubungan antara pimpinan AD dan AS erat sekali sebelum dan sesudah G30S. Banyak perwira AD diterbangkan ke AS untuk latihan militer dan sebagian di antara mereka rela jadi informant untuk militer AS. AS kasih senjata, alat komunikasi, bantuan material, seperti beras, dan bantuan finansial serta daftar nama anggota PKI. AS membantu tentara menciptakan psychological warfare campaign. Perusahaan-perusahaan AS berhenti membayar royalti ke pemerintah Sukarno di awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening Suharto.


’Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak.’

Ada yang menyatakan bahwa sekalipun pembantaian 1965-1966 diorganisir oleh Angkatan Darat, tetapi adanya ketegangan dan persaingan tajam antara kelompok komunis dan nonkomunis juga menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya pembantaian tersebut. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?

Ketegangan antara PKI dan organisasi anti-komunis sebelum G30S, misalnya antara PKI dan PNI di Bali, atau PKI dan NU di Jawa Timur, tidak bisa menjelaskan pembunuhan massal. Orang sipil yang ikut milisi, seperti Tameng di Bali dan Ansor di Jawa Timur, tidak mampu membunuh sebegitu banyak orang sendirian. Paling-paling mereka bisa mengorganisir tawuran-tawuran. Dalam tawuran-tawuran seperti itu, orang PKI berani melawan dan tidak akan banyak orang yang gugur. Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak. Sekejam apapun orang PKI sebelum G30S (dan kekejaman itu juga terlalu sering dibesar-besarkan), tetap tidak bisa membenarkan tindakan extra-judicial killing yang dilakukan milisi maupun tentara. Seharusnya para pelaku pembunuhan itu malu dan menyesal dengan apa yang mereka perbuat: membunuh orang yang telah tidak berdaya. Mereka adalah pengecut yang kemudian berpose sebagai pahlawan perang. Tidak ada perang waktu itu, kecuali dalam imajinasi orang yang tidak tahu apa itu perang yang sebenarnya.


Menurut Anda, apa dampak pembantaian 1965-1966 yang sampai sekarang masih terasa, baik terhadap korban maupun rakyat Indonesia secara umum?

Ya jelas masih terasa. Identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Ini berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik. Sistem ekonomi dan sistem politik juga berubah total. Sesudah 1998 orang Indonesia menggali lagi ide-ide dari zaman pra-1965, dan juga pra-1959 (sebelum Demokrasi Terpimpin): ide-ide tentang rule of law, HAM, sekularisme, dll.

Apa pelajaran yang bisa diambil gerakan Progresif di Indonesia sekarang agar peristiwa mengerikan semacam G30S itu tidak terulang kembali?

Peristiwa G30S sendiri sebenarnya tidak begitu mengerikan. Seperti Bung Karno katakan, G30S merupakan gelombang kecil dalam sejarah Indonesia yang penuh dengan perang (RMS, DI/TII, PRRI/Permesta) dan kerusuhan. Berapa kali Bung Karno mau dibunuh? G30S membunuh duabelas orang (enam jenderal, satu letnan, anaknya Nasution, satpam di rumah sebelah rumah Leimena, keponakan Maj. Gen. Panjaitan, dan dua perwira di Jawa Tengah). Yang jauh lebih mengerikan adalah pembunuhan massal yang terjadi sesudah G30S. Sekarang yang penting menurut saya adalah upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran di Indonesia tentang kejahatan-kejahatan yang terjadi pada waktu itu. Secara umum orang Indonesia tidak tahu apa-apa tentang kejahatan itu. Juga harus ada pengakuan dari negara bahwa memang tentara dan orang sipil yang melakukan kejahatan. Extra-judicial killings, penghilangan paksa, penyiksaan, mati kelaparan dalam penjara, semuanya tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditolerir.

Orang kiri sekarang harus mengoreksi diri juga: selama ini partai-partai Marxis-Leninis tidak menghargai prinsip-prinsip HAM. Kita harus belajar bagaimana berpolitik dan berperang melawan imperialisme dan kapitalisme seraya tetap memegang Universal Declaration of Human Rights dan Konvensi-konvensi Geneva.


http://indoprogress.com/lbr/?p=243
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=6229

MUI Berlebihan, Target Penyelidikan ’65 Bukan Islam

“Pokoknya yang terlibat Pangkomkamtib, Laksus, Kodam, Kodim, dan Koramil. Ini yang harus dimintai keterangan," kata Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965, Bejo Untung.

VHRmedia, Jakarta- Kekhawatiran MUI bahwa penyelidikan kasus ’65 akan menyudutkan umat Islam dinilai berlebihan. Fokus penyelidikan Komnas HAM mengarah pada operasi pembantaian sistematis yang didalangi militer.

“Pokoknya yang terlibat Pangkomkamtib, Laksus, Kodam, Kodim, dan Koramil. Ini yang harus dimintai keterangan. Pihak ini yang sangat jelas tertulis dalam surat pembebasan kami. Mereka yang bertanggung jawab,” kata Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), Bejo Untung, lewat telepon Rabu (3/12).

Menurut Bejo Untung pengungkapan sejarah peristiwa ‘65 akan mengarah pada kebenaran. Dia kembali menegaskan bahwa hasil penyidikan tidak akan mendeskreditkan Islam. “Mari mengungkap kebenaran. Kita akan menyelesaikan persoalan yang belum terselesaikan.”

Bejo Untung tidak keberatan jika Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan penyelidikan kasus pembunuhan para kiai sebelum peristiwa 1965. “Silakan demi kebenaran dan keadilan hukum dilaporkan ke Komnas HAM untuk dilakukan penyelidikan dan wawancara apakah terjadi pembantaian saat itu,” katanya.

Bejo Untung kecewa terhadap pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Djoko Suyanto yang secara tidak langsung mewakili pemerintah menolak meminta maaf kepada korban ‘65.

Kepada wartawan Senin (1/10), Djoko meminta agar semua pihak melihat sejarah peristiwa 1965 dengan pandangan yang luas, bahwa saat itu ada pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Kita mesti melihat dengan kacamata tahun 1965. Ada apa? Pemberontakan PKI. Jangan sekadar (menuntut pemerintah) minta maaf saja tanpa melihat kejadian yang sebenarnya di balik peristiwa 1965,” kata Djoko seperti dikutip Kompas.com.

Ketua YPKP 1965, Bejo Untung menilai pernyataan Menko Polhukam menyesatkan. Menurut penelitian YPKP 1965 di berbagai wilayah di Indonesia, tidak ditemukan adanya bukti pemberontakan PKI.

Tidak ditemukan bukti adanya konsentrasi massa Partai Komunis Indonesia yang angkat senjata. “Saya bertanggung jawab kalau PKI tidak melakukan pemberontakan,” ujar Bejo Untung. (E1)

Foto: VHRmedia/Adri Irianto

Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PKI ?
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

http://www.shnews.co/detile-23302-punah ... agama.html

Pengagamaan Dayak Akan tetapi, keberadaan agama Kaharingan di Kalimantan Barat sudah punah akibat intervensi pemerintah pasca-operasi penumpasan pemberontakan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak/Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/PARAKU) di sepanjang perbatasan dengan Malaysia, 1967 – 1977.

Ketika itu, agama Kaharingan di Kalimantan Barat dianggap bukan agama resmi oleh pemerintah sebagaimana agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Masyarakat suku Dayak Uud Danum yang masih menganut agama Kaharingan, diinstruksikan untuk mengubah keyakinan sesuai yang direkomengasikan pemerintah agar tidak dicap komunis gaya baru yang identik dengan PGRS/PARAKU.

“Jadi program pengagamaan Suku Dayak pasca-operasi penumpasan PGRS/PARAKU telah menyebabkan punahnya agama Kaharingan di Kalimantan Barat periode 1967– 1977,” kata Zainuddin Isman, antropolog Universitas Muhammadyah, Pontianak.

Punahnya agama Kaharingan di Kalimantan Barat, ujar Zainuddin Isman, bermula dari adanya kesadaran kolektif pemerintah untuk menerapkan program nyata di dalam memajukan taraf hidup masyarakat suku Dayak sebagai salah satu penduduk asli di Kalimantan Barat. Melalui aksi brutal berupa pengusiran dan pembunuhan belasan ribu warga Tionghoa dari pedalaman dan perbatasan tahun 1967, warga Dayak di Kalimantan Barat dinilai paling berjasa membantu pemerintah penumpas pemberontakan PGRS/PARAKU.

Dalam interaksi budaya, kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah dengan mewajibkan masyarakat asal pedalaman dan perbatasan memeluk salah satu agama yang diakui resmi oleh pemerintah pada masa itu. Pertimbangannya jika masyarakat asal pedalaman dan perbatasan tetap bertahan dengan keyakinan leluhur, maka akan mudah terhasut oleh pengaruh komunis gaya baru.

Namun dalam perjalanannya, pengagamaan suku Dayak tidak berjalan sesuai harapan. Pangdam XII/Tanjungpura Brigjen TNI Seno Hartono, (pengganti Brigjen TNI Soemadi), di hadapan wartawan yang berkunjung ke Kalimantan Barat, Juni 1975, mengeluhkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kurang maksimal dalam membantu pemerintah mengagamakan orang Dayak.

Hanya kelembagaan gereja Katolik dan gereja Kristen Protestan saja yang sangat merespons ajakan pemerintah. “Sementara situasi di lapangan, karena faktor budaya, ternyata kalangan masyarakat suku Dayak di pedalaman dan perbatasan lebih memilih memeluk agama Katolik maupun agama Protestan,” kata Zainuddin Isman.

Semenjak itulah, kata Zainuddin Isman, program pembangunan di bidang pendidikan disinkronkan dengan upayapengagamaan masyarakat asal pedalaman dan perbatasan yang identik dengan suku Dayak. Sinkronisasi program didasarkan kenyataan, sebagian besar guru pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak memiliki latar belakang budaya yang sama dengan masyarakat di pedalaman dan perbatasan, selalu merasa tidak betah selama menjalankan tugas di lingkungan masyarakat pedalaman dan perbatasan.

http://buntu-grup.blogspot.com/2010/07/ ... k.html?m=1

Dalam ingatan kolektif masyarakat Dayak, tersimpan sebuah memori bagaimana “kejam”-nya proses-proses pengagamaan, yang dilakukan oleh tentara atas nama komunisme di tahun 1965 sampai awal tahun 70-an. Seluruh alat-alat produksi kultural –(l)amin, belawing, blontanq—, mereka dihancurkan dan dibuang ke sungai Mahakam. Bahkan ada di antara mereka yang dicelup ke sungai Mahakam, dengan dua pilihan problematis: baptis atau mati ?. Tak terkecuali, kesenian mereka pun dilarang untuk dipentaskan. Apalagi seni yang terkait dengan ritual semisal hudoq dan tari ngayau (tari memperingati kepahlawanan).

http://groups.yahoo.com/group/UIN-makassar/message/1157

Dan tahun 1965 sampai 1970-an, terjadi pengagamaan massif atas seluruh komunitas lokal di Indonesia atas nama phobia komunisme... Semua keyakinan lokal yang tidak mau meleburkan dirinya ke agama resmi dilabeli komunis, dan sekali lagi halal dibunuh... Kasus di Kaltim, semua kepala-kepala adat dan para pemimpin spiritual semisal Balian juga tidak luput dari pelabelan yang sama. Mereka yang tidak mau masuk Protestan disebut sebagai “buaya-buaya Mahakam”. Bahkan tidak sedikit yang dicelup di Mahakam dengan 2 pilihan alternatif “Baptis atau mati kafir bersama keyakinan lama”. Bahkan banyak yang ditenggelamkan ke sungai Mahakam dengan seluruh perangkat-perangkat spiritual mereka...

Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PKI ?
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PK

Post by Laurent »

http://jia-xiang.biz/read/setelah-1965- ... n-tionghoa

Setelah 1965, Ada Konsep Hilangkan Identitas Kebudayaan Tionghoa

Jia Xiang - Setelah pemberontakan PKI tahun 1965, keberadaan etnis Tionghoa makin terpojok. Mereka banyak dituduh sebagai agen pemerintah Cina yang dianggap mendukung pemberontakan PKI tersebut. Sejak saat itu juga muncul konsep untuk menghilangkan identitas kebudayaan Tionghoa di Indonesia, ujar budayawan Ridwan Saidi kepada Jia Xiang Hometown, Sabtu (17/8/13) di Jakarta. Bahkan, tambahnya, kebudayaan dan identitas Tionghoa secara politis dianggap sebagai bagian dari ideologi komunis sosialis. “Saat itu, terjadi penyerangan terhadap rumah tokoh-tokoh Baperki, padahal Baperki itu bukan PKI dan tidak ikut PKI. Sebab pada Pemilu tahun 1955, Baperki maju dengan tanda gambar sendiri,” ujar Ridwan. Namun, jauh sebelum itu, sudah lebih dulu muncul anggapan bahwa banyak etnis Tionghoa yang terlibat dan dilibatkan dengan G30S/PKI, yang menurut Ridwan sebenarnya anggapan itu kurang tepat. Sebab pada dasarnya hanya Oey Tjoe Tat saja yang pernah diadili. Dia pun diadili untuk kesalahan yang tidak jelas, bersama 14 orang menteri lainnya dalam Kabinet Dwikora. “Anehnya, Oei Tjoe Tat yang ditahan tahun 1966 baru diadili pada tahun 1976, “ ujar Ridwan sambil menambahkan, tahun 1954, Oei Tjoe Tat bersama masyarakat etnis Tionghoa mendirikan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI) dengan lambang bunga teratai serta membangun berbagai sarana seperti sekolah khusus orang Tionghoa. “Entah karena alasan apa, maka Baperki selalu dikaitkan dengan PKI, padahal dalam pemilu tahun 1955 mereka mencoblos tanda gambar bunga teratai,” tambah Ridwan Saidi. Karena itu pula, maka ujar Ridwan, sampai kini sulit membuktikan juga bahwa Gerakan 30 September G30S tahun 1965 merupakan pemberontakan Partai Komunias Indonesia (PKI) atau bukan. Jika itu pemberontakan oleh PKI, lalu kepada siapa PKI memberontak? Menurut budayawan Betawi itu, “belum bisa dibuktikan secara hukum bahwa yang membunuh 6 Jenderal itu adalah PKI. Selama ini yang berkembang adalah opini,” ujar Ridwan Saidi.

Jihad INDONESIA 1965 : siapa dibalik pembantaian G30S/PKI ?
Mirror
Faithfreedom forum static
Post Reply