Parmalim dan Perjuangannya

Khusus ttg sepak terjang/sejarah jihad dan penerapan Syariah di INDONESIA & negara jiran (MALAYSIA)
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

Parmalim dan Perjuangannya
Jentera - Minggu, 24 Jul 2011 04:00 WIB
oleh: Idris Pasaribu
http://www.analisadaily.com/new/news/re ... uangannya/


Image

APA SEBENARNYA Parmalim itu? Kenapa Parmalim untuk sebagian masyarakat Batak masih dianggap "momok’? Seperti, Parmalim itu adalah agama Parbegu (orang yang percaya kepada hantu dan sebagainya) walau mereka tidak pernah mengetahui apa sebenarnya Parmalim.

Parmalim sudah menjadi sebuah identitas bagian sebagian masyarakat Batak, sedangkan kelembagaannya yang disebut Ugamo (agama) Malim. Parmalim percaya kepada Tuhan yang dalam sebutannya mereka mengatakan Ompu Mulajadi na Bolon. Batak pada zamannya tidak mengenal Dewata (Debata). Batak amenyebut Debata, karena Batak lidah etnik Batak ketika itu, tidak bisa menyebut huruf "W". Huruf "W" disebut dan berganti dengan huruf "B". Contohnya Dewata menjadi Debata, Wilson menjadi Bilson, Watas menjadi Batas, Waldemar menjadi Baldemar. Itu memang khas Batak. Seperti tulisan ingkon harus dibaca Ingkon. Binsar dibaca Bitcar. Sebelum agama baru masuk ke tanah Batak, etnis Batak amenyebut Tuhan itu adalah Ompu MUlajadi na Bolon, bukan Debata. Sama seperti orang Ambon menyebut Tuhan adalah Tete Manis.

Pengikut Parmalim itu adalah kaum pejuang dan tak pernah berhenti berjuang. Leluhur pendahulunya, sejak Sisingamaraja-I selalu berjuang untuk kebenaran dan berjuang untuk kemakmuran rakyat. Dia membuat ruhut-ruhut (aturan) bagaimana menebang kayu, pemukiman tak tak boleh di tepi sungai, minimal 20 meter dari Daerah Aliran Sungai dan seterusnya. Juga membuat aturan-aturan adat istiadat yang sampai sekarfang masih diikuti oleh etnis Batak, walau agama baru (Kristen, Katolik dan Islam) sudah memasuki kawasan Batak.

Perjuangan terakhir dari Sisingamangaraja menyatakan menolak kolonialisme Belanda yang dinilai merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan budaya. Masuknya tatanan baru, seiring dengan menyuspnya ‘kepercayaan baru" yang bukan hanya meninggalkan *** juga tidak mengakui lagi Mulajadi na Bolon. Bahkan kata Ompu sudah beralih kepada manusia sebagai seoang pemimpin, bukan kepada Tuhan.

Begitu Indonesia merdeka, Parmalim langsung mendukung kemerdekaan itu. Mendukung bukan hanya dengan cakap atau dengan perjuangan peperangan melawan Belanda dalam agresi pertama dan kedua saja. Parmalim langsung menyerahkan Parmalim Schoole kepada pemerintah menjadi Sekolah Rakyat (SR). Parmalim Schoole adalah sekolah pemerintah yang pertama di tanah Batak. Bagaimana denghan sekolah-sekolah yang dibangun oleh berbagai Zending (dua agama baru)? Mereka memertahankan sekolah itu dan tidak menyerahkan kepada pemerintah untuk dikelola oleh pemerintah.

Rasa nasionalisme mereka sebagai bagian dari bangsa, terlihat pada saat Pemilu pertama tahun 1955. Mereka tidak ikut pada Partai Lokal yang ada di tanah Batak, seperti Partai Sibual-buali, PRN, Lubuk Raya, Silindung Jaya, Samosir Bersatu dan sebagainya. Para pengikut Parmalim, memilih bersatu dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Marhaenisme-nya. Marhaenisme menurut mereka lebih tepat untuk mereka. Kegotongroyongan, adalah hidup dan kehidupan orang Parmalim. Hal ini rasanya perlu menjadi catatan penting bagi kaum Marhaenis yang sekarang berkoak-koak tentang Marhaenisme di tanah Batak, tapi tidak mengetahui bagaimana sejarah Marhaenisme berkembang di tanah Batak. Sejak itulah Marhaenisme berkembang di Batak.

Memasuki era Orde Baru, hujatan terhadap Parmalim semakin dahsyat. Hujatan itu datangnya justru dari para pemuka-pemuka agama, untuk mengembangkan ajarannya. Mereka mengatakan kepada para umatnya, bahwa Parmalim itu ajaran sesat, tidakberagama, tidak berbudaya, tidak memiliki peradaban dan banyak hujatan lainnya. Bahkan ada sumber yang mengatakan, banyak orang-orang Parmalim ditangkap dengan tuduhan PKI, karena tidak menganut agama seperti Kristen, Katolik dan Islam. Sejak peristiwa G.30.S/PKI, Parmalim yang diperkirakan mempunyai pengikut lebih 30% di tanah Batak, "harus menyeberang" ke agama lain.

Warga Negara

Mereka terus mendapat tekanan, namun dengan hati, mereka terus berjuang. Penguasa negeri tetap tidak mengakui Ajaran Hamalimon/ Parmalim. Pemerintahpun melebur ajaran Sisingamangaraja itu pada Aliran Kepercayaan di bawah naungan Departemen Oendidikan dan Kebudayaan, bukan di Departemen Agama.

Baru tahun 2006 lahirnya UU No. 23 tahun 2006 mereka mendapat kesempatan untuk dicatatkan sebagai warga negara, melalui catatan sipil dan berhak mendapat Kartu Tanda Penduduk. Penulis menyatakan kehidupan mereka sangat sedih, karena ada diskriminasi. Sejak 17 Agustus 1945, baru tahun 2006 mereka "diakui" sebagai warga negara, padahal mereka berjuang untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia.

Beberapa kali masyarakat Batak dengan bangga ikut melakukan napak tilas perjalanan perjuangan Sisingamangaraja XII dalam melawan Belanda. Napak tilas itu, hanya sebuah seremonial perjalanan perjuangan saja. Pernahkah panitia peringtan terhadap Sisingamangara XII memaparkan bagaimana Sisingamangara melakukan ritual agamanya? Bagaimana Sisingamangaraja melakukan ritual budayanya yakni budaya Batak? Kalau tidak kenapa? Kenapa pula mereka yang dari Parmalim tak pernah diikutkan jadi panitia peringatan Sisingamangara? Kalau pun ada, hanya ibarat timun bungkuk, mereka didudukkan, tapi tidak diberikan posisi.

Perlahan Bangkit

Pendiskreditan terhadap Parmalim, seperti tiada berujung. Baik dari kalangan pemuka agama, maupun dari kalangan masyarakat yang bukan Parmalim. Bertahun-tahun mereka menunggu dan menunggu agar rumah ibadah mereka di Jalan Air Bersih Ujung di Medan, tak bisa dibangun. Hanya karena ulah beberapa rumah tangga yang nota bene adalah etnis Batak juga.

Beberapa etnis Batak yang berdekatan dengan rumah ibadah Parmalim mengatakan, mereka takuty anak-anak mereka bisa terikut menjadi Parmalim. Sebuah alsan yang sagat menggelikan. Buykankah setiap kepala rumah tangga wajib mendidik anak-anak mereka agar kokoh pada imannya masing-masing?

Setelah perjuangan dan doa yang tak pernah henti-hentinya, akhirnya rumah ibadah mereka di Jalan Air Bersih Medan pun bisa diresmikan. Nyatanya tidak ada warga setempat yang terindikasi beralih ke agama Parmalim. Kenapa?

Mereka beribadah, penuh dengan keheningan. Tidak memakai mic atau mengeras suara dengan loudspeaker mengeluarkan suara yang membahana. Mereka juga tidak ada pendakwahan atau semacam penginzilan kepada orang yang bukan Parmalkim. Jelasnya, tidak ada syiar-syiar agama dari mereka.

Lalu bagaimana mereka menyampaikan kepada masyarakat tentang keparmaliman itu? Ternyata tidak dengan kata-kata, melainkan dengan tingkah laku saja. Dengan tingkah laku/perbuatan, mereka menyampaikan syiar agama mereka kepada siapa saja. Berbicara dengan lemah lembut dan tidak pernah menyakiti hati orang lain. Mereka adalah orang yang sangat mudah memaafkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat.

Saat pergi ke Huta Tinggi Lagu Boti dalam upacara ritual Sipaha Lima, ada seorang teman yang ketinggalan camera yang harganya berkisar Rp. 60 juta karena kelupaan. Dua jam kemudian sang rekan menjadi pucat pasi karean camera milik kantor itu tinggal di sebuah kedai minum. Apa yang terjadi? Camera yang tertingal tetap berada di tempatnya semula di atas meja, bahkan ada beberapa banyak y ang minum di sana, malah tidak berani mendekati meja yang di atasnya ada camera mahal. Camera tidak hilang, bahkan bergeser sedikit saja pun tidak. Para pengikut Parmalim justru menjaga camera itu dari kejauhan, karena mereka takut ada orang yang bukan pengikut Parmalim mencuri camera yang tertingal itu.

Semua upacara ritual yang dilaksanakan oleh Parmalim, tidak seperti upacara-upacara yang dilaksanakan aoleh etnis Batak lainnya yanag penuh dengan hiruk-pikuk bahkan teriakan-teriakan keras. Mereka penuh dengan senyum dan tegur sapa yang sopan dan lemah lembut. Mengerjakan pekerjaan dengan tertib dan teratur tanpa disuruh. Mereka sudah tau fungsi masing-masing apa yang harus dilakukan. Tidak ada perintah, apa lagi bentakan. Yang ada hanya sebuah permohonan. Jika seseorang meminta agar si X melakukan sesuatu, dengan lembut dan sopan mereka memohon seperti mengatakan dalam bahasa Batak:" Mohonlah jika tidak keberatan, ambilkanlah saya teh segelas. Saya sudah sangat haus." Apa jawab orang muda yang dimintai tolong?

"Dengan senang hati, aku akan mengambilnya."

Dalam acara ritual itu, sepertinya, teknologi tidak demikian pentingnya. Tidak ada loudspeaker yang keras apalagi TOA atau sejenisnya, karena tak perlu bersuara keras.

Tidak seperti dalam abayangan banyak orang yang tak pernah menyaksikan upacara ritual Parmalim, tapi mampu memberikan opini. Mengatakan Parmalim iktu menyembah begu-begu/hantu, menyembah berhala dan tidak bertuhan serta ucapan yang menyakitkan lainnya. Nyatanya tidak demikian. Mereka mengenal Tuhan dengan sebutan Ompu Mulajadi na Bolon. Mereka memiliki nabi. Memiliki Kitab Suci, memiliki rumah ibadah, memiliki tata ibadah, memiliki imam dan memiliki pengikut. Tujuh persayaratan yang ditetapkan oleh convensi Jeneva bila terpenuhi, maka dapat dinyatakan sebuah agama. Convensi Jeneva itu berlaku untuk semua negara yang daa di dunia dan Indonesia adalah salah satu negara yang menyetujui isi dari Convensi Jeneva itu. Sebuah convensi yang kita setujui dan sudah dipenuhi oleh Parmalim, namun kita belum juga mengakui mereka sebagai sebuah agama resmi di Indonesia.

Parmalim pun akhrinya mengambil kesimpulan. Mereka tidak butuh pengakuan dari siapapun juga. Mereka hanya butuh, Ompu Mulajadi na Bolon mengakui mereka dan menerima amal ibadah mereka dan mereka tidak diganggu saat melaksanakan ibadah mereka. Untuk apa pengakuan dari manusia? Bukankah beragama bukan untuk gagah-gahan, tapi hanya untuk beribadah? Ibadat yang mereka persembahkan kepada Ompu Mulajadi na Bolon, haruskah diakui oleh manusia? Nyata tidak perlu. Secara perlahan Parmalim terus bergerak dengan perlahan, namun pasti.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

Jentera - Minggu, 24 Jul 2011 04:00 WIB
Bagiku Parmalimku, Bagimu Agamamu
Oleh: Adelina Savitri Lubis. PERASAAN mereka seperti komunitas marjinal di tanah kelahiran sendiri. Mereka dianggap sebagai ancaman atas kemapanan. Citra buruk sebagai orang yang tak beradab melekat pada mereka. Padahal, dalam ajaran atau kepercayaan yang mereka anut, mereka dilarang makan babi, anjing, apalagi darah. Ini tentang mereka, para Penghayat (penganut agama asli orang Batak; Parmalim).
Togu Marudut Sirait, seorangWiraswasta yang tinggal di Jalan Seksama, Gang Rela, Simpang Limun Medan, tak pernah lupa peristiwa, bagaimana guru mengusirnya keluar. Kata Togu, ekspresi wajah guru yang mengusirnya tampak kejam. Sang guru bukan hanya berkata sinis, bahkan memandang Togu jijik seperti nazis yang tak kunjung hilang.



"Semua itu hanya gara-gara saya tidak mau mengikuti pelajaran agama, karena saya pikir itu bukan agama saya. Apa yang salah dengan itu? Bukankah itu hal yang biasa?" katanya kepada analisa, Jumat (15/7) pasca kegiatan ritual Sipahalima di Huta Tinggi, Lagu Boti.



Kala itu dia masih duduk di kelas I Sekolah Menengah Atas (SMA). Guru agama yang mengusir Togu, merasa tersinggung ketika Togu meninggalkan kelas, beberapa saat sebelum pelajaran agama dimulai. Memang sang guru bertanya pada Togu, mengapa dia keluar? Togu menjawab, karena dia tidak menganut agama itu. Guru bertanya mengenai agama Togu. Dijawabnya, Parmalim. Guru kaget dan langsung mengusir Togu keluar kelas.



"Dia (guru) bilang, kalau bukan penganut agama ini, silahkan keluar," kisahnya mengenang peristiwa itu.



Saat diluar kelas, sang Kepala Sekolah heran melihat Togu berada di luar kelas, lantas dia mendekati Togu, bertanya mengapa dia berada di luar kelas. Togu menjawab apa adanya. Mendengar jawaban Togu, Kepala Sekolah memintanya untuk datang ke ruangannya. "Saya duduk berhadapan dengan Kepala Sekolah, tak lama guru yang mengusir saya tadi pun dipanggil. Saat itu ada beberapa guru lain disana," bebernya.



Ternyata tak Sendirian, Masih Banyak yang Lain



Selama di ruangan kepala sekolah, Togu pun menjelaskan tentang agama yang dianutnya. Diakui Togu, penjelasan panjang lebar yang diutarakannya, mengenai parmalim sulit diterima kepala sekolah beserta guru-guru lainnya. Pria bertubuh tinggi ini bilang, kening mereka berkerut saat mendengar penjelasan Togu. Dia tak menyerah, Togu bilang, kalaupun sekolah ini tidak mengijinkan seorang parmalim untuk bersekolah di sekolah itu, dia akan keluar. Kepala sekolah bingung, akhirnya setelah berembuk, sekolah pun menetapkan sebuah hari khusus pelajaran agama parmalim.



Rupanya, saat peristiwa itu merebak ke seluruh siswa, satu persatu siswa mulai berani terus terang, kalau mereka juga seorang parmalim. Selama ini siswa-siswa parmalim itu ‘pura-pura’ menjadi seorang penganut agama lain, agar diterima bersekolah di sekolah umum.



Faktanya, kejadian seperti itu bukanlah pertama kali dialami Togu atau anak-anak penganut Parmalim lainnya. Secara pribadi, Togu mengalami kendala selama dia menjalani proses pendidikan sembilan tahun (SD-SMP-SMA). Itu belum termasuk stigma buruk yang didapatinya dari sesama kawannya, ketika mengetahui agama yang dianutnya adalah Parmalim. Menurut Togu, masyarakat kerap salah kaprah dan sibuk dengan pikiran sendiri. Masyarakat tidak tahu tapi bersikap sok tahu. Parahnya, mereka tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu. Paling tidak demi pengetahuannya sendiri.



"Kenapa tidak berprinsip bagiku agamaku, bagimu agamamu," keluhnya.



Hal serupa juga dialami Rinto Sitorus (25), seorang penganut Parmalim asal Jakarta. Katanya, meskipun sudah berulangkali menjelaskan agama yang dianutnya kepada rekan-rekan kerjanya, tapi tak satu pun juga yang mengerti. "Karena saya berasal dari Tapanuli, teman-teman disana langsung berpikir bahwa saya adalah seorang kristen. Saya katakan tidak, saya bilang saya seorang Parmalim. Mereka malah bingung dan bertanya-tanya," jelasnya kepada analisa, sebelum ritual Sipahalima dilangsungkan.



Untungnya perusahaan tempat dia bekerja tidak begitu mempersoalkan agama yang dianutnya, Rinto pun tak perduli dengan pendapat dan pikiran orang lain. Secara khusus, Rinto sudah menjelaskan kepada rekan-rekannya perihal Parmalim. Dia juga mengambil contoh tentang agama asli yang dianut orang Jawa (Kejawen).



"Bahkan saya juga tunjukkan kepada mereka foto, pun berita di koran; ulasan mengenai Parmalim. Tetap saja, tiap akhir tahun saya selalu ditanya, kenapa tidak pulang untuk Natalan. Capek deh," bilangnya dengan logat Jakarta yang kental.



Terlepas dari itu, diungkapkan Rinto, Parmalim yang dianutnya ini adalah suatu pegangan iman yang diyakininya. Dia beragama parmalim bukan karena orang tuanya menganut Parmalim. "Mungkin saat saya masih kecil ditanya pertanyaan ini, saya akan jawab karena ikut orangtua. Kalau sekarang, saat dewasa seperti ini, saya jawab, ini pilihanku, bukan karena keturunan," ujarnya.



Begitupun dengan Rizky (20), mahasiswa Universitas Medan (Unimed) ini, sengaja datang dari Kota Medan untuk mengikuti ritual Sipaha Lima di Huta Tinggi, Lagu Boti. Saat ditanya apa agamanya di KTP, Rizky menjawab ‘Kristen’. Pasalnya, dia belum berani untuk mengakui Parmalim sebagai agama di KTP-nya. Katanya sikapnya ini bukanlah bermaksud menghianati diri dan para leluhur. Justru hal ini sengaja dilakukannya karena ketahuandirinya. Rizky sadar negara belum bisa menerima Parmalim sebagai sebuah agama. Dia ingin mengecap pendidikan yang bermanfaat bagi masa depannya.



"Sistem itu terlalu kuat, saya hanya sendiri. Saya tak mampu merobohkan sistem. Jadi sikap saya, berdamai dan berkompromi dengan sistem yang ada. Terpenting saya berhasil dan bisa bermanfaat bagi diri, keluarga dan agama saya, Parmalim," pungkasnya.


http://www.analisadaily.com/new/news/re ... u_agamamu/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

Parmalim Agama Asli Suku Batak Sumut: Tidak Pernah Diakui Pemerintah
Jumat, 03 Desember 2010

http://static.rnw.nl/migratie/www.ranes ... redirected

http://arifrohmansocialworker.blogspot. ... t.html?m=1
User avatar
MyLovelyCarnation
Posts: 523
Joined: Mon Aug 06, 2012 12:30 am
Location: komunitas Ganyang Islam

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by MyLovelyCarnation »

Ada stigma buruk terhadap agama Parmalim, terutama sejak jaman PKI diberangus.
Untung saja saat ini pemuka agama kristen (katolik & protestan) di Sumut sdh mulai terbuka pemikirannya, terutama yg kelahiran 70-an.
Klo terkait perspektif Islam/muslim, ngga usah ditanya yah. :lol:

Meskipun realitanya kita tdk bisa banyak berharap ... sampai kejadian pembantaian 2 keluarga batak di dua daerah terpisah (2011?)
krn isu penyembah setan (begu) yg sering diidentikkan dgn Parmalim.

Penerimaan Parmalim o/ lingkungan sekitar jauh lebih sulit daripada penerimaan agama2 pra Islam&Kristen/asli/sinkretik lainnya
yg tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan & seluruh Indonesia.


Org2 Batak sesungguhnya telah kehilangan identitas, tak tahu lagi sejarah/nilai2 luhur nenek moyangnya.
Too sad to be true...! :(
User avatar
MyLovelyCarnation
Posts: 523
Joined: Mon Aug 06, 2012 12:30 am
Location: komunitas Ganyang Islam

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by MyLovelyCarnation »

Tambahan dari Laurent terkait Parmalim. Thanks.

Terpaksa Pilih Islam Karena Aliran kepercayaan tdk diakui
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

situs resmi parmalim

http://www.parmalim.com/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

Jumat, 02 Januari 2009Penghayat Kepercayaan Terpinggirkan Sejak Dahulu
Meskipun punya lebih dari 85.000 anggota di Sumatera Utara, kaum penghayat pada Tuhan Yang Maha Esa merasa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara belum memberi perhatian kepada mereka. Tak pernah ada dialog yang intens dengan kaum penghayat, apalagi ruang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumatera Utara.


Secara resmi di Sumatera Utara kini terdapat 16 aliran kepercayaan yang muncul sebagai representasi tradisi Batak dan Jawa. Dalam tradisi Batak, kaum penghayat tergabung antara lain dalam Ugamo Malim (Parmalim) yang berpusat di Laguboti, Toba Samosir, Ugamo Bangsa Batak di Medan, Habonaron Da Bona di Simalungun, Pijer Bodi di Karo, Sipituruang di Karo, Golongan Si Raja Batak di Kisaran dan Tanjung Balai, juga kelompok-kelompok Parmalim di berbagai tempat.

Sementara itu, tradisi kejawen muncul dalam kelompok seperti Galih Puja Rahayu di Medan dan sekitarnya serta Ilmu Rasa Sejati di Tanah Jawa, Simalungun.

Meskipun sudah ada yang mulai berani menunjukkan diri, banyak yang masih takut-takut, terutama stigma "tak beragama" yang sering muncul di masyarakat dan dianggap aliran sesat. Tirani mayoritas terhadap warga minoritas masih mereka rasakan.

Pekan lalu Ugamo Bangsa Batak untuk pertama kalinya menyelenggarakan acara persembahan secara terbuka. Meskipun sudah menjadi kelompok penghayat yang secara resmi diakui pemerintah sejak tahun 2001, untuk menyelenggarakan acara mereka perlu mengajukan izin ke Kesbanglinmas, Polda Sumut, Poltabes Medan, hingga ke Polsek Medan Sunggal.

Kepala Subdit Kelembagaan Kepercayaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sri Hartini mengatakan, berdasarkan pengalaman kelompok mendampingi kelompok penghayat, warga masyarakat ini justru merupakan warga negara yang patuh. Ajaran mereka sangat menghargai alam dan kemanusiaan sehingga hidupnya pun tak berbuat jahat kepada orang lain.

Parmalim yang berpusat di Lagubotti, misalnya. Perilaku penghayat agama asli Batak ini sangat santun. Mereka selalu mencoba tidak menyakiti orang lain. Mereka juga tidak mau sembarang makan sebab makanan ikut menunjang perkembangan jiwa.

Jumlah mereka ribuan serta tersebar di Jawa dan Sumatera. Jika selama ini penghayat dianggap masyarakat marjinal dan tak berpendidikan, tidak demikian dengan Parmalim. Orang-orang mudanya menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi dan berwawasan luas. Beberapa mengaku harus menyembunyikan Parmalim mereka saat menempuh pendidikan karena capek menjawab pertanyaan orang.

Banyak peneliti asing yang justru tertarik pada agama asli ini, terutama dari sisi kebudayaan dan seninya karena mereka menggunakan musik dan tari tradisional Batak. Namum, warga setempat justru melupakan. Pelestari agama-agama asli di Indonesia yang justru terstigma menjadi orang tak beragama atau malah penyembah berhala.

Tahun lalu pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2007, membuat pemerintah mengakui perkawinan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Penghayat mendapatkan surat kawin dan melakukan perkawinan di depan pemuka penghayat dan berhak mempunyai kartu tanda penduduk dengan mengosongkan kolom agama.

Terbitnya PP itu membuat akta perkawinan sudah bisa dilayani dan KTP bisa diladeni. Meskipun demikian, masih ada kendala bagi penghayat, misalnya dalam hal penguburan dan pendirian rumah ibadah. Makam umum belum bisa menerima pemakaman kaum penghayat.

Sumber : Kompas, April 2008

http://budiawan-hutasoit.blogspot.com/2 ... irkan.html

http://matarakyat.blogspot.com/2009/01/ ... n.html?m=1
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

PARMALIM, ADALAH BAGIAN DARI BUDAYA BATAK

Agama Kepercayaan yang ada di Indonesia hampir dapat dikatakan tidak terlepas dari pengaruh agama Hindu, tidak terkecuali agama kepercayaan suku Batak, Sipelebegu, Parbaringin, Parmalim dll. Yang kemudiannya pengembangannya tersentuh dengan pengaruh agama Islam Protestan/katolik.

Sesuai dengan topik bahasan kali ini kita mengkhusukannya pada Agama Parmalim:

Agama ini merupakan sebuah kepercayaan ‘Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’ yang tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara sejak dahulukala. "Tuhan Debata Mulajadi Nabolon" adalah pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim").

Awalnya, Parmalim adalah gerakan spiritual untuk mempertahankan adat istiadat dan kepercayaan kuno yang terancam disebabkan agama baru yang dibawa oleh Belanda. Gerakan ini lalu menyebar ke tanah Batak menjadi gerakan politik atau ‘Parhudamdam’ yang menyatukan orang Batak menentang Belanda. Gerakan itu muncul sekitar tahun 1883 atau tujuh tahun sebelum kematian Sisingamangaraja XII, dengan pelopornya Guru Somalaing Pardede.

Menurut Profesor Dr Uli Kozok MA dari University of Hawaii, Minoa, USA, mengatakan, Sisingamangaraja XII bukan beragama Islam, Kristen maupun Parmalin melainkan beragama Batak Asli. "Selama ini banyak kontroversi yang terjadi dimasyarakat tentang agama yang dianut Sisingamangaraja XII. Ada yang mengatakan dia beragama Kristen, maupun Islam, bahkan tidak sedikit yang menyebut dia beragama Parmalin yang menurut sebagian orang merupakan agama aslinya orang-orang Batak," katanya, di Medan, Kamis. Menurut dia, Parmalin bukanlah agama asli orang Batak. Parmalin merupakan agama kombinasi atau perpaduan dari agama Islam dan Kristen. Ketika agama Parmalin berkembang di Tanah Batak, Sisingamangaraja XII sendiri sudah berada di Dairi dalam pengungsian menghindari serbuan-serbuan dari tentara Belanda. "Jadi agama Sisingamangaraja XII adalah Batak asli yang usianya jauh lebih tua dari agama Parmalin," katanya. Mengenai bukti-bukti yang ditunjukkan dalam stempel Sisingamangaraja XII yang menggunakan aksara campuran Batak Mandailing Angkola, Arab Melayu dan Kawi juga tidak membuktikan bahwa ia telah memeluk agama Islam. Sebagai seorang yang mengklaim dirinya penguasa di tanah Batak, sudah selayaknya Sisingamangaraja XII memilik sebuah stempel sebagai lambang kebesarannya dan wajar saja jika dia menggunakan aksara Arab Melayu dalam stempelnya kerena saat itu Bahasa Melayu sudah menjadi bahasa pengantar di Sumatera.(ANTARA News)

Dari pernyataan Prof.Dr.Uli Kozok MA dapat kita ambil suatu kesimpulan, agama Parmalim adalah bagian dari Agama Asli Batak (agama dari Sisingamangaraja), yang awalnya bergerak sebagai gerakan Politik atau Parhudamdam dipelopori oleh Guru Somalaing Pardede untuk menggalang kekuatan menentang Belanda, kemudian berkembang menjadi benteng untuk mempertahankan adat istiadat Batak yang mulai tertekan dengan agama baru disponsori Belanda yakni Keristen. Parmalim dengan kekuatan yang mulai berkembang menjadi suatu kepercayaan dengan sentuhan sentuhan Islam dan Keristen. Dengan kata lain Agama Parmalim percaya kepada Tuhan yang Esa yang disebut "Debata Mulajadi Nabolon".

Oppu Mula Jadi Nabolon dipercaya sebagai pencipta alam semesta yang tak berwujud. Dia mengutus manusia sebagai perantaranya, yaitu Raja Sisingamangaraja, yang juga dikenal dengan Raja Nasiak Bagi. Raja Nasiak Bagi adalah istilah untuk kesucian atau hamalimon serta jasa-jasa sang raja hingga akhir hayat yang tetap setia mengayomi Bangsa Batak. Dengan begitu, agama Parmalim meyakini Raja Sisingamangaraja dan utusan-utusannya mampu mengantarkan Bangsa Batak kepada Debata atau Tuhan.

Ada 3 (tiga ) tokoh yang sangat berperan dalam Agama Parmalim yaitu:

1- Sisingamangaraja XII. 2- Guru Somalaing Pardede. 3-Raja Mulia Naipospos.

1- Sisingamangaraja XII: (Raja Nasiak bagi) adalah tokoh yang diyakini sebagai utusan Mulajadi Na Bolon untuk orang Batak .

2- Guru Somalaing

Pardede: adalah tokoh karismatik beliau sebagai sebagai tokoh spritual, politik ahli strategi dan beliauselalu nekad melakukan aksi pengorganisasian Hamalimon, Oleh Karenanya Sisingamangaraja XII lebih mempercayainya sebagai penasehat Perang. Disamping itu Guru Somalaing Pardede memiliki wawasan dan ilmu yang luas, oleh karenanya seorang ilmuawan dari Italy bernama Modigliano sangat mengharap bantuan Guru Somalaing Pardede untuk mendampinginya dalam perjalanan nya keliling tapanuli hingga Asahan. Tidak mustahil ilmu dan wawasan Guru Somalaing Pardede bertambah baik dibidang Obat-obatan, dan spritual, perkenalan beliau membuatnya mengenal Maria ibunda Jesus dan Jesus sendiri. Begitu juga sebelumnya beliau lebih dahulu mengenal ke spritualan Islam, menurut DR. L.manik Guru Somalaing pernah menuntut Ilmu perang di Aceh dengan rekomindasi Panglima- Aceh yang diperbantukan pada Sisingamangaraja. Dengan demikian kemungkinan besar Ajaran agama Parmalim yang ditokohi Guru Somalaing Pardede

3- Raja Mulia Naipospos: Sebelum menjadi pemimpin Parmalim Huta tinggi, Beliau adalah Raja Parbaringin bius Lagu boti.Raja Mulia memegang teguh peranannya untuk tidak muncul sebagai sosok perlawanan anti kolonial, sehingga lebih didekatkan kepada Missionaris Nommensen di Sigumpar. Ini merupakan pengkaderan secara terselubung agar tidak segera dipatahkan oleh gerakan misi kristen dan penjajah. Dengan Sikap beliau maka Agama Parmalim dapat eksis hingga kini.

Jadi Parmalim sebagai Agama monoteis (menurut keyakinan penganutnya) juga mempunyai sekte-sekte Yaitu: Parmalim sekte rasulnya Guru Somalaing berkedudukan di Balige, Parmalim sekte di Huta Tinggi, Laguboti, yang dipimpim Rasul Raja Mulia Naipospos. Sekte dengan Rasul Guru Mangantar Manurung di Si Gaol Huta Gur-gur, Porsea. Sekte lain yang sudah pudar adalah Agama Putih dan Agama Teka. Meskipun demikian Sekarang Agama Parmalim yang berpusat di Huta Tinggi Laguboti adalah Agama Parmalim yang sanagt menonjol.

Dalam melaksanakan ibadah:

Parmalim melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa, serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim. Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo Malim dengan melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan tersebut adalah : 1. Martutuaek (kelahiran) 2. Pasahat Tondi (kematian) 3. Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu) 4. Mardebata (peribadatan atas niat seseorang) 5. Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa) 6. Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi) 7. Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan /kurban) Selain ke-7 aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin, tidak boleh berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain sebagainya. Diluar hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging babi, daging anjing dan binatang liar lainnya, serta binatang yang berdarah. Tak terasa, malam semakin larut. Waktu terasa sangat singkat saat pak Sirait menjelaskan detail demi detail soal “Parmalim”.

Ritual suci Tiap tahun ada dua kali ritual besar bagi Umat Parmalim. Pertama, Parningotan Hatutubu ni Tuhan atau Sipaha Sada. Ritual ini dilangsungkan saat masuk tahun baru Batak, yaitu di awal Maret. Ritual lainnya bernama Pameleon Bolon atau Sipaha Lima, yang dilangsungkan antara bulan Juni-Juli. Ritual Sipaha Lima dilakukan setiap bulan kelima dalam kalender Batak. Ini dilakukan untuk bersyukur atas panen yang mereka peroleh. Upacara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun dana sosial bersama dengan menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan warga yang membutuhkan. Misalnya, untuk modal anak muda yang baru menikah, tetapi tidak punya uang atau menyantuni warga yang tidak mampu. Seperti diutarakan Monang Naipospos, Pengurus Pusat Parmalim.

Tempat ibadah Umat Parmalim disebut Bale Pasogit.

Jika melihat fisik bangunan rumah ibadah Parmalim, Bentuk bangunan Bale Pasogit menyerupai gereja pada umumnya. Namun, dilengkapi lapangan yang cukup luas yang digunakan umat Parmalim merayakan hari besar mereka. maka pada atap bangunan terdapat lambang tiga ekor ayam. Lambang Tiga ayam ini punya warna yang berbeda, yaitu hitam lambang kebenaran, putih lambang kesucian dan merah lambang kekuatan atau kekuasaan. merupakan lambang ”partondion” (keimanan). Konon, menurut ajaran Parmalim, ada tiga partondian yang pertama kali diturunkan Debata ke Tanah Batak, yaitu Batara Guru, Debata Sori dan Bala Bulan. Sementara ayam merupakan salah satu hewan persembahan (kurban) kepada Debata.

Saat itulah tari tor-tor digelar sebagai bentuk pemujaan. Tarian itu diiringi Gondang Sabangunan yang merupakan alat musik orang Batak. Tari tor-tor dipercaya sebagai salah satu bentuk persembahan juga.

Ketika upacara berlangsung, laki-laki yang sudah menikah mengenakan sorban di kepala, juga sarung dan selendang Batak, atau ulos. Sementara yang perempuan memakai sarung, juga mengonde rambut mereka. Pujian dan persembahan dilakukan dengan hati suci, atau hamalimon.

Dibawah ini ada beberapa pernyataan dan pengakuan dari Pimpinan Agama Parmalim yang berada di Hutatinggi Lagu Boti Kabupaten Tobasa:

Berdasarkan sejarah, Parmalim Hutatinggi dirintis Raja Mulia Naipospos (wafat 18 Februari 1956). Saat ini Parmalim Hutatinggi dipimpin Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia Naipospos. Penganut Parmalim Hutatinggi tercatat sekitar 6.000 jiwa (1.500 KK) dan tersebar di 50 komunitas di seluruh Indonesia. Di Hutatinggi, terdapat kompleks bernama Bale Pasogit (balai asal-asul). Ada empat bangunan berarsitek Batak yang terdapat dalam kompleks itu yakni, Bale Partonggoan (balai doa), Bale Parpitaan (balai sakral), Bale Pangaminan (balai pertemuan), dan Bale Parhobasan (balai pekerjaan dapur). Bagi umat Parmalim, Bale Pasogit merupakan Huta Nabadia (tanah suci). Semua bale ini didesain dengan motof batak yang sarat dengan arti khusus. Di kompleks itu pula, dua kali dalam setahun, umat Parmalim menggelar upacara keagamaan besar Sihapa Sada (upacara menyambut tahun baru sekaligus memperingati kelahiran para pemimpin spiritual Parmalim) dan Sipaha Lima (upacara syukuran atas rahmat yang diterima dari Raja Mulajadi Nabolon). Dalam upacara syukur Doa dipimpin langsung oleh Raja Marnakkok Naipospos, yaitu ulu panguan atau pemimpin spiritual Parmalim terbesar di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Dalam doanya, Marnakkok Naipospos mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan. Ucapan syukur dilakukan umat Parmalim setiap hari Sabtu.

Beberapa ucapan dan pengakuan Pimpinan Agama Parmalim :

Marnakkok Naipospos: "Samisara itu hari ketujuh bagi orang Batak. Diidentikkan dengan hari Sabtu, supaya berlaku untuk selamanya. Karena kalau kita bertahan pada kalender Batak, yang muda ini bisa bingung. Makanya kakek kita menentukan samisara ini hari Sabtu."

Marnakkok Naipospos: "Inilah balai pasogit. Ini tempat ibadah dan menyembah setiap hari Sabtu. Seluruh warga masuk ke rumah ini. Kira kira 1 jam kita beribadah, tergantung jemaat yang akan memberikan wejangan. Karena mereka secara sukarela memberikan wejangan kepada jemaat lain."

Monang Naipospos: "Jadi Sipaha Sada inilah bulan pertama inilah tahun tanggal pertamanya, ini lah tahun baru orang Batak. Karena pada pertengahan bulan itu adalah bulan penuh di atas, bulan purnama, jadi pada saat itulah kita melakukan persembahan kepada mula jadi nabolon."

Monang Naipospos: "Jadi tor-tor itu juga persembahan, karena total gerak kita harus sadar karena untuk persembahan, sehingga gerakannya harus hati-hati, karena gerakan tor-tor Parmalim bukan hiburan."

Monang Naipospos – Pengurus Parmalim Hutatinggi

Monang Naipospos: "Sejak raja Batak, sudah mengenal yang menciptakannya. Makanya semua orang Batak tahu, bahwa yang menciptakan semua ini adalah Raja Mula Na bolon. Nah, ajaran ajaran ini disebut dengan kesucian atau hamalimon."

Begitulah umat Ugamo Malim dalam melaksanakan ritual suci mereka. Tapi pelaksanaan ritual ini tak melulu bisa berlangsung dalam damai. Masih banyak penganut Parmalim yang mendapat diskriminasi, bahkan di Tanah Batak, tanah kelahiran agama Parmalim ini. Monang Naipospos, pengurus Pusat Parmalim:

Monang Naipospos: "Begitu datang agama Kristen, cara-cara ibadah hamolimun menjadi tersingkir, mereka mulai menganggap bahwa hamalimun adalah animisme. Bahkan Belanda mensyaratkan bagi masyarakat yang ingin bekerja, sekolah dan bertani, harus terlebih dahulu dibaptis. Akibatnya, umat parmalim inilah yang bertahan tidak mau dibaptis."

Memaknai upacara sipaha sada Pada perayaan sipaha sada para penganut ogamo malim datang dari berbagai penjuru yang tersebar di 50-an komunitas dan sekitar 1500 KK. Dari jumlah itu mereka tidak sekedar hadir, tetapi mereka aktif-partisipatif dalam seluruh rangkaian upacara karena mereka meyakini bahwa Bale Pasogit adalah Huta Nabadia (Tanah Suci). Upacara Sipaha Sada dilaksanakan di dalam ruangan Bale Pasogit, sementara upacara Sipaha Lima diadakan di luar karena teknis pelaksanaannya besar dan berciri kosmis. Menurut Raja Marnangkok Naipospos, pimpinan umum ugamo malim saat ini upacara Sipaha Sada merupakan pembuka tahun dan hari yang baru bagi penganut parmalim Huta Tinggi. “Inti pesta Sipaha Sada ialah menyambut kelahiran dan kedatangan Tuhan Simarimbulu Bosi dan para pengikut setianya yang telah menderita dalam mengembangkan ajaran Ugamo Malim ini,” jelas Raja Marnangkok. Si Marimbulu Bosi bagi penganut parmalim adalah nama Tuhan bangsa Batak. Menurut generasi ketiga dari keturunan perintis ugamo malim ini setiap aturan yang dilaksanakan di Bale Pasogit harus dihadiri oleh seluruh umat parmalim. Maka tidaklah mengherankan upacara tahun baru parmalim ini sungguh menjadi momen penting sebagaimana hari natal bagi penganut agama Kristen. Untuk itu, dua hari sebelum upacara Sipaha Sada, diadakan juga mangan napaet (makan sesuatu yang pahit) yakni menyantap makanan simbolik untuk mengenang kepahitan dan penderitaan Raja Nasiak Bagi, sang penebus mereka. Bahan-bahan makanan tersebut merupakan paduan antara daun pepaya muda, cabe, garam, dan nangka muda yang ditumbuk dengan halus. Ritus mangan napaet berlangsung sebagai pembuka dan penutup puasa yang mencapai waktu sampai 24 jam. Itulah bagi penganut parmalim sebagai bulan permenungan, pertobatan dan bulan penuh rahmat. “Makna hakikinya, bahwa parmalim pada saat sebelum Sipaha Sada ini sudah melaksanakan upacara pengampunan dosa,” jelas Raja Marnangkok yang sudah mengemban kepemimpinan ugamo malim selama dua puluh lima tahun, sejak 1981. Dengan demikian bisa dikatakan perayaan Sipaha Sada dapat dianggap sebagai jantung ritus dalam upacara keagamaan Parmalim Huta Tinggi. Perayaan itu memuncak dalam tonggo-tonggo (doa-doa) yang dilambungkan pada hari kedua. Ritus itu berlangsung selama lima jam, mulai jam dua belas siang hingga pukul lima sore. Upacara religius itu diselang-selingi oleh tonggo-tonggo, dengan iringan ritmis musik tradisional gondang hasapi, tortor, dan penyampaian persembahan. Satu hal yang menarik ialah bahwa mereka tetap mempertahankan aturan-aturan ni panortoran. Sesuai dengan catatan Thomson Hs, seorang penyair dan penggiat budaya Batak Toba dan praktek pelaksanaan upacara religius Sipaha Sada baru-baru ini ada sepuluh jenjang doa yang disampaikan. Dan setiap doa disertai dengan iringan musik tradisional Batak Toba. Doa-doa tersebut ialah: 1. Doa untuk Mulajadi Nabolon, Tuhan Pencipta langit dan bumi. 2. Doa untuk Debata Natolu, (Batara Guru, Debata sori, dan Bala Bulan). 3. Doa untuk Siboru Deak Parujar, yang memberi sumber pengetahuan dan keturunan. 4. Doa untuk Naga Padoha Niaji, penguasa di dalam tanah. 5. Doa untuk Saniang Naga Laut, penguasa air dan kesuburan 6. Doa untuk Raja Uti yang diutus Tuhan sebagai perantara pertama bagi manusia (Batak). 7. Doa untuk Tuhan Simarimbulu Bosi yang hari kelahirannya sekaligus menjadi momentum perayaan Sipaha Sada. 8. Doa untuk Raja Naopat Puluh Opat yakni semua nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa-bangsa melalui agama-agama tertentu, termasuk Sisingamangaraja yang diutus bagi orang Batak. 9. Doa untuk Raja Sisingamangaraja, raja yang pernah bertahta di negeri Bakkara. 10. Doa untuk Raja Nasiak Bagi, yang dianggap sebagai penyamaran atau inkarnasi Raja Sisingamangaraja. Pseudonominya biasa disebut Patuan Raja Malim. Jadi, secara “teologis” bisa dikatakan bahwa ugamo malim juga menganut paham monoteistik, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena tujuan akhir semua doa mereka tetap diarahkan kepada debata Mulajadi Nabolon. Usai doa-doa itu dipanjatkan dilanjutkanlah “kotbah” atau renungan yang disampaikan oleh pimpinan, Raja Marnangkok Naipospos. Kemudian mereka manortor secara bergiliran mulai dari keluarga Raja sampai naposo bulung (muda-mudi).

Kesimpulan tentang Agama Parmalim:

1. Tuhan: Mulajadi Na Bolon (Yang Maha Besar tempat semua makhluk berasal) 2. Tempat Ibadah: Bale Parpitaan dan Bale Partonggoan 3. Kita Suci: Tumbaga Holing 4. Pembawa Agama/Tokoh Spiritual: Raja Uti 5. Pantangan: Riba, Makan Darah, Babi dan Anjing serta Monyet 6. Hari Suci: Sabtu 7. Pertama kali berdiri: 497 Masehi atau 1450 tahun Batak Sandaran Teologis Filosofi Teologis dalam pemahaman Parmalim adalah tentang sebuah eksistensi. Eksistensi manusia harus didasarkan pada komunikasi pada alam. Tanpa itu keseimbangan tidak dapat dipertahankan. Salah satu ujud dari komunikasi kepada alam akan membentuk penyadaran diri sebagai makhluk yang lemah. Kegulauan dalam pikiran yang menimbulkan pertanyaan dalam diri akan mendapat jawaban dari diri itu sendiri, sebagai sebab akibat, bahwa segala sesuatu itu ada karena ada yang mengadakannya atau yang membuatnya ada. Siapa yang mengadakan sesuatu itu tidak dapat dijelaskan dengan alam pikiran manusia. Tetapi ada suatu kuasa. Kuasa yang Maha Besar dan agug yang tidak dapat dibandingkan. Tuhan Ugamo malim menyebut kuasa itu adalah Mulajadi na Bolon. Mulajadi na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak bermula dan tidak berujung. Keberadaannya adalah kekal untuk selama-lamanya. Keberadaan Mulajadi Nabolon itu dalam ajaran malim dapat dipahami dari tonggo-tonggo atau ayat-ayat doa berikut ini; Ompung Mulajadi nabolon

Ho do namanjadihon langit na manjadihon tano Namanjadihon saluhut nasa naadong Ho do namanjadihon jolma umbahen naadong Na manjadihon harajaon asa adong Margomgom di toru ni langitmu, di atas ni tano on Dijadihon ho do tondim jadi anakmu Ima Raja Nasiakbagi Margomgom hami di ruma hamalimon mi Parajar si oloan jala marmeme si bonduton Ajarna i do nahuoloi hami Mamena i do na huparngoluhon hami Umbahen ro hami saluhut ginomgom ni tondina Sian holang-holang ni dosa nauanu on Marluhut si pangantaran ni bale parpitaan Dohot bale partonggoan Marsomba mardaulat tu ho Marhite lapir ni tangan nami marsomba Timpul ni daupa dohot pangurason Indahan na las Dengke ni lean Pira ni ambalungan Manuk lahi bini Hambing puti si tompion Teori-teori teologis yang dimengerti dalam ayat-ayat tersebut adalah bahwa Mulajadi na Bolon atau Tuhan itu wujud atau ada. Tetapi tidak dapat dilihat. Dia tidak bermula dan tidak mempunyai ujung. Dia dapat dihubungi dan dijumpai hanya dalam alam spiritual. Teori ini mengatakan bahwa dia dapat disembah dengan sesaji. Dapat dipuji dalam kehidupan yang lebih mendalam dari kehidupan manusia. Dia adalah mutlak absolut, Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Agung dan tidak dapat dibandingkan. Dia dekat dan jauh dari alam ciptaannya. Dia adalah kuasa menghukum dan kuasa mengampuni. Kuasa kasih dan kuasa murka. Demikianlah sifat-sifat Mulajadi Na Bolon, Tuhan yang satu bersadarkan Ugamo Malim. Keberadaan kuasa Mulajadi Nabolon menurut ugamo malim terpencar dalam wujud Debata Natolu, Debata Na Tolu adalah wujud kuasa dari tiga fungsi kuasa Tuhan Yang Maha Esa. 8- Agama Parmalim adalah Kepercayaan Asli Batak dan bagian dari budaya Batak.

Untuk sementara ini kita cukupkan dahulu ulasan tentang Parmalim, selanjutnya akan mengulas tokoh-tokoh spritual Batak,- TH.P

https://togapardede.wordpress.com/2010/ ... aya-batak/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »



bukti kalo agama asli indonesia ternyata lebih diminati orang asing ketimbang orang indonesia terutama yang sudah terkontaminasi ajaran impor dari padang pasir & malah orang2 indonesia yang masih ingin mempertahankan tradisi & budayanya sendiri justru malah didiskriminasi & disingkirkan bahkan dianggap bukan wni hanya gara2 tidak mau memeluk agama resmi negara kita yang ironisnya semuanya merupakan produk impor bukan produk lokal
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

http://www.portalkbr.com/nusantara/aceh ... _5514.html

Kepercayaan Parmalim Tolak Pilih Agama

Written By : Nur Azizah | 28 November 2013 | 12:52

KBR68H, Jakarta - Penganut Kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara menolak revisi UU Administrasi dan Kependudukan yang disahkan DPR 26 November lalu. UU itu mengatur tentang kewajiban penganut kepercayaan untuk memilih agama resmi pada kolom agama di KTP mereka.

Pengurus Pusat Kepercayaan Parmalim, Monang Naipospos mengatakan, aturan itu mengekang kebebasan beragama bagi warganya. Sebelum ada UU baru, penganut kepercayaan tidak keberatan dengan pengosongan kolom agama pada identitas mereka.

"Itu kan udah dirembuk, kalau enggak bisa dipaksakan identitas, ya udah buat ruang kosong. Ruang kosong itu tanda garis kosong itu dianggap hukum sah. Bagi kami bukan masalah. yang masalah adalah jika harus dipaksakan memilih. Itu kan, penganiayaan hak asasi. Jangan dipaksakan memilih yang bukan warnanya. Kalau warnanya tidak ada kasih warna kosong," terang Monang kepada KBR68H, Kamis (28/11).

Selasa lalu DPR mengesahkan revisi Undang Undang Administrasi Kependudukan. Namun, Pasal 64 ayat (1) UU tersebut mewajibkan setiap warga negara memilih satu di antara lima agama yang diakui oleh pemerintah sebagai identitas dirinya. Padahal sebelumnya sempat diusulkan agar warga penganut kepercayaan bebas mencantumkan aliran yang dianutnya.

Editor: Antonius Eko

Parmalim dan Perjuangannya
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

http://www.analisadaily.com/mobile/page ... p?id=72511

Nasib Parmalim di Lembar Kartu Penduduk

Berita dimuat pada 23 Dec 2013

(Analisa/Dedy Hutajulu) PEMUKIMAN PARMALIM: Atap-atap rumah dari seng berkarat menghiasi pemukiman warga penganut agama Malim di Desa Batunagodang Siatas, Onan Ganjang, Humbang Hasundutan. Belum diakuinya agama untuk dicantumkan di kartu penduduk mengakibatkan banyak warga Parmalim kehilangan hak-hak sipilnya.

Oleh: Dedy Hutajulu. Rianti Simanjuntak, 29 tahun, gagal mendaftar dalam rekrutmen tenaga kesehatan (bidan) di Rumah Sakit Angkatan Udara Polonia, Medan. Namanya dicoret panitia hanya karena ia mencantumkan agama Parmalim pada formulir pendaftaran.

“Gak bisa. Itu bukan agama. Coret saja!” kata Rianti menirukan ucapan seorang petugas pendaftaran. Peristiwa tujuh tahun silam itu masih membekas di pikiran Rianti sampai kini. Ia bahkan hampir menangis ketika menuturkan pengalamannya itu. Air mukanya berubah.

Rianti juga mengatakan, ia sempat dipaksa panitia mencantumkan salah satu agama resmi pada borang formulir jika ingin berkasnya diterima. Tapi, Rianti menolak. Atas penolakan itu, panitia yang melayaninya, seorang bapak berbadan gempal dengan kulit sawo matang menudingnya sebagai bukan warga Indonesia.

Tak terima dengan tuduhan itu, Rianti memberi klarifikasi. Antara Rianti dan panitia sempat adu mulut. “Masakan aku dibilang bukan warga negara Indonesia? Sakit hati aku. Kubilanglah ke bapak itu begini, ‘Oppungku, Mamakku, Bapakku juga agamanya itu. Mereka warga negara [Indonesia] kok. Kenapa aku tidak?”’ tuturnya.

Usai berdebat dengan petugas, Rianti segera meninggalkan panitia. Ia pulang dengan menangis. Sepanjang jalan menuju rumahnya di Jalan Seksama, Medan, ia merenungi nasib. “Kok kek ginilah nasibku ya Tuhan. Cuma mau cari kerja saja harus negak-negakkan agama.” Ia membatin.

Setiba di rumah, Rianti meluapkan kekesalannya. Ia tak menyangka kalau gara-gara agama yang dianutnya itu, ia akan kesulitan melamar kerja bahkan dituding bukan warga Indonesia.

Penolakan yang diterimanya dari panitia itu mengingatkannya pada masa-masa kuliah dulu, di akademi kebidanan Helvetia Medan. Selama ini, ia mengira kalau penolakan terhadap agamanya ketika di kampus tak bakal berlanjut sampai ke dunia alumni. Ternyata perkiraannya melenceng. Penolakan yang dialaminya di dunia kerja bahkan jauh lebih berat.

Semasa kuliah, Rianti pernah dikucilkan kakak-kakak kelasnya. Biangnya juga gara-gara agamanya. Penolakan itu terjadi sejak pertama kali Rianti menginjakkan kaki di kampus sampai kuliahnya hampir rampung. Tak seorang pun kakak kelasnya mau berkawan dengan Rianti. “Semua menjauhiku karena aku seorang Parmalim,” tuturnya.

Ibu satu anak itu menuturkan, di kampusnya ada aturan, setiap mahasiswa baru harus punya kakak angkat. Sialnya, senior-seniornya menjauhinya. “Gak ada yang mau menerimaku. Mereka bilang aku harus pindah agama. Aku enggak mau. Biar enggak berkakak angkat pun, aku bisa hidup.” kata Rianti.

Penolakan itu dialami Rianti sampai ia hampir tamat dari kampusnya. Rianti sekarang bekerja sebagai bidan tidak tetap di Puskesmas di Kota Kisaran, Sumatera Utara. Ia bekerja di sana sejak 2008. Gaji pertamanya Rp 450 ribu. Gaji serendah itu bertahan hingga 2010. Barulah di 2011 gajinya menjadi Rp 1,450.000. Dan angka itu bertahan sampai hari ini. Belum ada kabar kenaikan gaji.

Sebelum bekerja di Kisaran, Rianti pernah berwira-wiri di beberapa klinik dan Rumah sakit swasta di Medan. Rianti ingin sekali bisa diterima jadi pegawai negeri, katanya, selain terjamin masa pensiun juga karena ia ingin kuliah lagi sampai meraih gelar sarjana. “Sekiranya dulu aku lolos pegawai negeri, mungkin gajiku sudah dua jutaan. Dan separuh dari gaji itu akan kupakai untuk biaya kuliah. Tapi cita-citaku itu terpaksa harus menggantung lantaran terbentur dana,” ucapnya.

Tindakan panitia yang menggugurkan namanya dari calon peserta ujian bagai sembilu yang menyayat hati Rianti. Menyakikan. Penolakan panitia itu jelas mematikan hak Rianti untuk ikut seleksi penerimaan pegawai negeri. “Belum apa-apa sudah dinyatakan gugur.” Rianti menggerutu.

Status agama yang tercantum di kartu penduduk Rianti saat itu adalah tanda setrip. Kartu penduduk bertanda setrip dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Berbeda dengan kartu milik Ria Sitorus, rekan seagamanya. Di kartu penduduk Ria tertulis agamanya Parmalim. Kartu penduduk Ria juga dikeluarkan pemerintah daerah.

Menjadi Persoalan

Celakanya, saat kartu penduduk-elektronik diberlakukan secara nasional, agama Parmalim justru menjadi persoalan. Akibat kebijakan negara yang hanya mengakui lima agama resmi, yakni Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Islam, keberadaan agama-agama tradisional seperti Parmalim menjadi terpinggirkan.

Kisah teranyar dan tak kalah mengecewakan dialami Tohom Naipospos, 24 tahun, saat mau mendaftar sebagai calon pegawai negeri untuk Kementerian Hukum. Ketika mendaftar secara online tahun lalu, ia harus mengisi kolom agama. Akan tetapi pilihan yang disediakan hanya lima agama. Naipospos bimbang. Di satu sisi ia ingin menjadi pegawai negeri tetapi syarat agama pada formulir telah membatasi langkahnya.

“Sempat terbersit di pikiran saya untuk mencantumkan agama lain di formulir pendaftaran itu supaya berkas saya bisa lolos administrasi. Namun, pikiran itu cepat-cepat saya halau,” kata Naipospos yang hingga kini masih menganggur. Naipospos adalah satu tunas Parmalim dari Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara.

Penolakan terhadap agama Parmalim juga terjadi di sektor perbankan, seperti dialami Poltak Sirait. Warga Perumnas Nusa Indah, Kabupaten Simalungun. Sirait gagal membuka rekening baru di Bank Central Asia, Jalan Asahan Kompleks Megaland, Siantar, Mei 2012 silam karena ia seorang penganut malim. “Daripada saya capek bikin rekening, saya simpan aja uang saya di bawah bantal,” kata Sirait

Sejumlah kasus itu menunjukkan betapa tidak mudahnya menjadi seorang Parmalim. Identitas keagamaan mereka tidak diakui oleh negera. Pada kartu penduduk elektronik, kolom agama mereka dicantumkan tanda strip. Atau mereka terpaksa mengisi dengan agama lain. Bukan itu saja, keharusan menghilangkan identitas keagamaan itu berakibat jauh pada pengingkaran hak-hak sipil mereka dalam memperoleh pekerjaan maupun dalam mendapatkan pelayanan publik.

Padahal anggaran untuk pembuatan kartu penduduk-elektronik se-Indonesia mencapai Rp 5,8 triliun untuk mengkover 172 juta penduduk usia layak berkartu penduduk. Tentang fakta-fakta tersebut, Djoehermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri tidak mau mengomentari.***

(Tulisan ini salah satu pemenang beasiswa peliputan mendalam yang diselenggarakan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan)

Parmalim dan Perjuangannya
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

http://www.analisadaily.com/mobile/page ... p?id=72507

Memperjuangkan Parmalim di KTP

Berita dimuat pada 23 Dec 2013

CELAKANYA, pada persoalan mendasar juga ternyata tidak sedikit warga parmalim yang kesulitan mendapat kartu penduduk karena keyakinan mereka tidak diakui negara. Setidaknya, ada 29 Parmalim di Desa Batunagodang Siatas, dan 19 orang Parmalim di Sibuluan, Kecamatan Onan Ganjang, Humbang Hasundutan yang kartu penduduk elektroniknya dicantumkan kristen. Salah satunya kartu penduduk milik Enika Simanullang.

Enika adalah gadis berumur 21 tahun. Tinggi badannya 1,5 meter. Kulitnya hitam manis mirip keturunan India. Ia pekerja keras dan seorang yang telaten. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Komputer angkatan 2012 di Politeknik Informatika Del, Toba Samosir, Sumatera Utara. Del adalah politeknik yang didirikan Jenderal TNI (Purn) Luhut Panjaitan, mantan Menteri Perindustrian era Gusur.

Putri pasangan Reston Simanullang (42 tahun) dan Rawati Simbolon (40 tahun) itu sudah tiga kali ia bolak-balik ke kantor camat Onan Ganjang guna perekaman, tiga kali pula datanya gagal diperbaiki. Dan sampai hari ini kartu penduduknya tak kunjung diterbitkan. Padahal sebentar lagi, ia mau merantau ke kota lain.

Sebenarnya kartu penduduk Enika sudah sempat tercetak tetapi akhirnya dipulangkan ke dinas kependudukan dan catatan sipil, karena di kartu itu diterakan agama Kristen padahal Enika seorang Parmalim. Malim adalah kepercayaan lama orang Batak sebelum kekristenan dan keislaman masuk ke tanah Batak.

Keluarga Enika penganut agama tradisional Malim di Desa Batunagodang Siatas, Kecamatan Onan Ganjang, Humbang Hasundutan. Desa ini berjarak sekitar 50 kilometer dari Dolok Sanggul, Ibukota kabupaten. Di desa ini menetap 14 kepala keluarga warga Parmalim sementara di Onan Ganjang bermukim 55 kepala keluarga Parmalim. Mereka hidup diantara 190 kepala keluarga warga Kristen.

Enika jelas tidak sendirian. Ada sekitar 6.000 warga Parmalim yang potensial punya masalah yang sama, yakni kesulitan mendapat kartu penduduk karena negara tidak mengakui keyakinan mereka. Jumlah ini bahkan bisa lebih besar lagi.

Menurut Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2003, ada 245 aliran kepercayaan yang terdaftar dengan total pengikutnya mencapai 400 ribu jiwa. Jumlah itu kemungkinan lebih besar karena menurut data Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) di Jawa Tengah saja terdapat 296 aliran kepercayaan. Data eLSA itu jauh melampaui data resmi di tingkat nasional.

Pro Aktif

Demi menghindari terjadinya diskriminasi, para warga Parmalim proaktif terhadap setiap pendataan kependudukan, termasuk perekaman kartu penduduk. Sikap proaktif itulah seperti ditunjukkan Enika. Walau sudah tiga kali gagal, Enika tetap saja pergi ke kantor camat melakukan perekaman demi memperbaiki data kartu penduduknya.

Agustus 2013 lalu, ia bersama seorang pemuda berangkat pukul 9 pagi dari kampungnya. Mereka berboncengan naik sepeda motor. Jarum jam menunjuk ke angka 11 saat pria itu memarkir sepeda motornya di depan kantor kecamatan. Enika turun dan segera melangkah masuk ke dalam kantor camat.

Begitu di depan ruang perekaman, langkahnya terhenti. Pintu ruangan perekaman tergembok. Pintu ruangan dua lapis. Lapis pertama pintu kayu, lapis kedua jeruji besi. Empat petugas tengah asyik bercengkerama di ruang depan. Mereka mengenakan seragam pegawai negeri sipil warna kuning. Tak satu pun dari petugas itu keluar untuk menanyakan maksud kedatangan Enika, meski mereka melihat ada tamu yang datang.

Tidak ada upaya petugas untuk menyapa Enika atau sekadar basa-basi. Bertolak belakang dengan tagline petugas: layani dengan 3S: Senyum, Sapa, Sopan, sepasti tertulis dalam poster yang tertempel dinding pintu masuk kantor kecamatan itu. Begitu seorang dari petugas itu bernama Boru Sihotang keluar, Enika langsung menyampaikan maksud kedatangannya.

Boru Sihotang menjawab bahwa kunci ruang operator sedang dibawa Jonadat Sibagariang. Jonadat adalah salah satu petugas perekaman. Ia yang otonom memegang kunci ruangan. Badannya kurus. Selalu memakai topi coklat dan jaket kulit warna hitam. Gayanya persis anak sekolah yang suka memunggungi ransel.

Menurut penjelasan Boru Sihotang, Jonadat tengah pergi mengantarkan berkas-berkas ke kantor catatan sipil Dolok Sanggul. Jarak Onan Ganjang ke Dolok Sanggul sekitar 20 kilometer.

Enika terpaksa menunggu. Sebab kalau diundur lagi ke besok, banyak waktu yang terbuang sia-sia. Perhitungannya, jarak antara kampungnya ke kantor camat makan waktu dua jam perjalanan naik sepeda motor. Di hari biasa tidak ada angkutan kecuali Sabtu karena ada pasar di Onan Ganjang. Minimnya angkot memaksa penduduk harus memiliki sepeda motor sebagai alat transportasi.

Walau dua jam, perjalanan ke Batunagodang Siatas terasa sangat melelahkan. Kondisi jalan buruk, terjal, berkelok, naik turun. Di kiri jalan ada beberapa dinding gunung yang longsor sedang di kanan berbatasan dengan jurang. Buruknya jalan rawan makan korban.

Setelah menunggu lebih dua jam. Jonadat pun tiba. Jonadat segera membukakan gembok ruangan dan mempersilahkan Enika masuk. Enika ditemani sepupunya Junita Sitohang, usianya bertaut tiga tahun dibawah Enika. Kalau Enika berkulit hitam, Junita justru putih bersih.

Lalu, mereka satu persatu melakukan perekaman. Enika terlebih dahulu. Tapi hasilnya gagal lagi. Data agamanya tak bisa diubah. Giliran Junita, proses perekaman cuma sebentar. Tak sampai dua menit. Begitu data-data selesai diisi, Junita langsung berpoto, membubuh tanda tangan di mesin digital. Sudah itu kelar. Data agama Junita berhasil diubah menjadi kepercayaan.

Enika merasa aneh kenapa datanya tidak dapat diubah sementara punya sepupunya bisa. Kepada Jonadat ia bertanya pada Jonadat. “Kenapa data saya tidak bisa diubah?” tanya Enika. “Mungkin kartu keluargamu belum diperbaiki, dek.” sahut Jonadat menduga-duga.

Enika meninggalkan ruangan dengan kecewa. (Dedy Hutajulu)

Parmalim dan Perjuangannya
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

http://www.analisadaily.com/mobile/page ... -parmalim/

Susahnya Jadi Parmalim

Berita dimuat pada 23 Dec 2013

TAK hanya orang dewasa seperti Rianti, Naipospos atau Sirait, diskriminasi agama juga dirasakan anak-anak Parmalim. Lastiar, putri sulung Sirait misalnya, bahkan diwajibkan belajar telaah Alkitab tiap Jumat di sekolah. Saat ini, Lastiar duduk di bangku kelas 3 SMA Negeri 2 Bandar, Simalungun. Saat ditanya bagaimana perasaannya ketika diwajibkan menelaah Alkitab, ia menjawab, “Yang penting kami dapat nilai.”

Lebih jengkel lagi adalah apa yang dialami Tamaria Nobelin. Putri Bungsu Poltak Sirait. Nobelin yang duduk di bangku kelas 2 SD Negeri 4 Pardagangan kerap bikin gondok ayahnya. Apalagi dalam urusan tugas rumah pelajaran agama. “Pak, tolong carikan apa isi ayat Alkitab dari perikop ini,” pinta Nobelin.

Poltak menjawab, “Bilang sama gurumu, di rumah kita enggak ada Bibel. Kita ini Parmalim bukan Kristen, “ jawaban Sirait justru membuat Nobelin kesal.

Sirait risau akan nasib pendidikan anak-anak mereka. Sampai sekarang anak-anak Parmalim di Simalungun, kata dia, terus dipaksa memilih salah satu agama di sekolah. Sirait bertekad memperbarui kekeliruan ini.

Suatu ketika Sirait berkesempatan berdialog dengan Binton Tindaon, salah satu wakil rakyat di Simalungun. Ia segera menyampaikan keluh kesahnya sebagai seorang Parmalim. Tindaon mendengar dan berjanji akan membantu nasib anak-anak Parmalim. “Akan kita bantu ya,” kata Tindaon.

Selain anak-anak Sirait, ada sejumlah nama warga Parmalim yang terpaksa mengikuti pendidikan agama yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Uli Samosir, 20 tahun misalnya. Mahasiswa Jurusan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, semester 5. Sejak SD hingga SMA, Uli belajar agama Katolik di sekolahnya, di Indrapura, Batubara, Sumatera Utara. Tetapi ketika di kampus, ia belajar agama Islam.

Rotua Nita Butar-butar, mahasiswa Biologi Unimed juga begitu. Dari bangku sekolah dasar hingga menengah atas bahkan sampai kuliah di Unimed, ia belajar agama Kristen Protestan.

Di Medan sedikitnya ada 100 kepala keluarga warga Malim. Pimpinan Parmalim di Medan Rinsan Simanjuntak berharap, pendidikan agama bagi anak-anak Parmalim bisa difasilitasi sendiri oleh pihak mereka, sepasti dialami saudara mereka yang di Tobasa.

Di Tobasa, kata Monang Naipos-pos, seorang tokoh berpengaruh di Malim, pembelajaran agama sudah ditangani sendiri oleh pihak Parmalim sejak Juli 2012.

Guru Santi, Silabus, dan kurikulum semuanya disediakan oleh Tim penyusun dari Parmalim. Pada awalnya Tobasa mengalami hal sama akan tetapi setelah melewati banyak proses dan loby-loby politik dengan pemerintah setempat, akhirnya aspirasi mereka gol. “Kita loby pemerintah Kabupaten Tobasa. Dan Bupati Tobasa akhirnya menyetujui,” ucap Monang.

Lebih lanjut, Monang mengatakan, pada umumnya sekolah di Tobasa mau menyediakan tempat untuk anak-anak Parmalim belajar agama Parmalim. Tapi pihak dari Parmalim sendiri yang mengumpulkan anak-anak di satu titik. Setiap Sabtu, anak-anak itu berkumpul di titik tersebut untuk belajar ajaran Malim. “Kami tidak mau merepotkan negara. Yang penting kami diberi hak. Kami siap mandiri,” tutur Monang lagi.

Kini Simalungun, Jakarta, Tangerang,dan Batam mulai mengikuti jejak-jejak Parmalim di Tobasa. Menyusul Tapanuli Tengah. Saat ini ada sekitar 6000 Parmalim di Indonesia.

Perjuangan mendapatkan pengakuan agama bagi Parmalim tampaknya masih panjang. Sulitnya mendapatkan identitas kependudukan membuat Parmalim jadi bersifat paradoks. Bahkan hampir-hampir mereka tidak percaya kalau mereka mampu mendapatkan pengakuan. “Enggak apalah kami tidak dibuat agama yang penting masih bisa mengakses layanan publik,” ujar Marnakkok Naipospos, Pimpinan Tertinggi Malim Huta Tinggi, Laguboti, Sumatera Utara. (Dedy Hutajulu)

Parmalim dan Perjuangannya
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

http://www.analisadaily.com/mobile/page ... -parmalim/

Menjenguk Parmalim

Berita dimuat pada 23 Dec 2013

DARI dapur, Reningnga bergegas ke ruang tamu dengan seceret kopi panas. Kopi untuk suaminya tercinta, Mangarti Sihotang. Berharap sang suami akan merasa hangat setelah menyeruput kopi panas buatannya itu. Udara di luar sangat dingin. Angin pegunungan menelusup dari celah-celah dinding papan dapur rumah Reningnga.

Tapi sang suami masih nyenyak. Menikmati mewahnya tidur dalam suasana dingin pagi. Dua lapis selimut membungkus raganya demi menjaga suhu tubuh Sihotang tetap hangat. Terdengar jelas suara dengkuran dari balik selimut itu.

Melihat sang suami pulas, Reningnga tak peduli lagi pada kopi yang barusan diseduhnya. Ia kembali ke dapur. Dibiarkannya kopi itu mendingin di atas meja. Sihotang baru bangun setelah terganggu mendengar suara riuh kokok ayam jantan menajamkan pagi.

Kokok ayam bagi Desa Batunagodang adalah alarm alami untuk bangun pagi, meski rata-rata tiap rumah sudah punya jam dinding atau telepon genggam yang bisa diatur suara alarmnya.

Tetapi bagi Batunagodang, kokok ayam adalah suatu hadiah alam yang amat berharga. Batunagodang Siatas adalah nama desa yang letaknya paling ujung kecamatan Onan Ganjang, Humbang Hasundutan. Desa yang berada tepat di kaki Dolok Pinapan di kelilingi sawah dan ladang. Di pemukiman ini, telah berdiri tegak satu tower jaringan telekomunikasi swasta.

Dolok Pinapan, bagi masyarakat setempat dianggap keramat karena mempercayai mitos tentang hilangnya dua orang asing bersaudara yang diduga baku bunuh setelah menemukan segepok emas di puncak gunung itu.

Benar atau tidak, yang jelas adanya Dolok Pinapan telah menyumbang udara bersih-segar pegunungan dan air jernih bagi penduduk sekitarnya. Setidaknya, dua ratusan kepala keluarga yang bermukim di kaki gunung ini setiap hari menikmati berkah udara segar dan air jernih-bersih.

Mungkin karena tiap hari menghirup udara segar dan minum air bersih, sehingga tubuh Reningnga tetap bugar walau usianya kini menapaki lewat 50 tahun. Ia tetap kuat.

Kebugaran serupa juga dimiliki anak-anak desa itu. Dalam gemuruh angin dan suhu dingin yang menusuk tulang, mereka begitu riang bermain di bawah guyuran air pancuran pemandian umum. Seakan kulit mereka tak merasakan apa-apa.

Sebenarnya, tidak cocok disebut pemandian umum, sebab pemandian ini hanya berupa lantai semen, tanpa dinding, tanpa atap. Hanya ada satu selang besi yang terus mengalirkan air. Selang itu juga tanpa kran. Sehingga tiap detik, jika tak ada yang menampung, air terbuang sia-sia. Tidak semua warga menggunakan pemandian ini, beberapa rumah sudah memiliki kamar mandi sendiri. Tapi lebih banyak yang tak punya.

Air di pemandian umum itu jernih-bersih. Air itu tidak hanya dipakai untuk mandi, tetapi juga mencuci dan minum. Untuk air minum, warga membawa jeriken-jeriken penampung air. Hebatnya, air ini tak pernah kering walau terus-menerus mengalir.

Rata-rata rumah penduduk masih berdinding papan. Hanya satu dua yang semi permanen. Belum ada yang benar-benar permanen. Mata pencarian mereka umumnya berladang, dan bertani. Satu dua ada yang beternak bebek. Ada yang memelihara kerbau dan ada yang memproduksi gula merah.

Pukul tujuh pagi, kampung sudah sepi. Anak-anak sudah berada di sekolah. Orang-orang dewasa di ladang atau sawah mereka. Sekolah dasar dekat, bisa ditempuh dengan jalan kaki beberapa menit sementara sekolah menengah pertama dan atas berada di Onan Ganjang. Berjarak puluhan kilometer. Kalau anak di sekolah, orangtua di ladang.

Santi

Tetapi karena Sabtu adalah hari santi (beribadah) bagi Parmalim, orang tua tidak boleh meladang. Mereka persiapan untuk ibadah. Ada sedikit kejanggalan bagi Parmalim di desa ini. Ibadah dimulai pukul 8 pagi sementara di daerah lain seperti di Huta Tinggi Laguboti atau di Medan, pukul 12 siang.

Rupanya, jadwal ibadah Parmalim di desa ini bertabrakan dengan hari Onan (pasar). Pasar digelar di Onan Ganjang. Berpuluh kilometer dari kampung. Persoalannya, transportasi dari Batunagodang ke Onan Ganjang hanya satu angkutan.

“Cuma ada satu angkutan ke sini. Dan itu datang pagi langsung berangkat ke onan jam 10. Kalau kita ibadah jam 12, onan sudah tutup. Makanya kita percepat jadwal untuk ibadah, agar warga kita tak terganggu ke onan,” jawabnya.

Penganut kepercayaan Malim di desa ini ada 14 kepala keluarga. Sementara untuk Onan Ganjang tercatat 55 kepala keluarga Parmalim. Kelompok Parmalim ini hidup diantara 190 Kepala keluarga warga Kristen.

Apa itu Parmalim?

Ada beberapa tafsir dari Timur tentang arti malim. Ada yang menyebut kata Malim muncul sebagai pengaruh perdagangan bebas. Yang lain mengatakan malim lahir sebagai akibat perang Paderi (kaum putih), gerakan perlawanan kaum Islam terhadap kolonial Belanda yang dipelopori oleh Imam Bonjol di Padang, Sumatera Barat. Namun soal arti istilah kata Malim, sejauh ini jarang diperdebatkan.

Sejumlah literatur menyebut, malim lahir dari kata mualim. Dalam kosa kata Batak Toba disebut malim; Bahasa Karo: malem. Gervasius Aritonang, etnomusikologi USU pada 2002-2003 pernah meneliti bahwa mualim itu evolusi dari kata malaham yang artinya suci. Dalam Katholik disebut Santo atau Sufii dalam terminologi Islam.

Negara kita mengakui Malim adalah sebuah aliran kepercayaan, bukan agama. Tetapi Pimpinan Tertinggi Malim dari Huta Tinggi, Laguboti, Marnakkok Naipospos menyebut Ugamo Malim bukanlah aliran kepercayaan melainkan sebuah agama yang menyembah Debata Mula Jadi Nabolon dan berkiblat pada Sisingamangaraja.

Naipospos mengatakan, Malim adalah agama orang batak dari dulu. Itu sebabnya mereka menerakan kata “Ugamo” di depan nama kepercayaan mereka. Ugamo artinya agama. “Ugamo Malim adalah agama orang Batak dari dulu,” katanya. (Dedy Hutajulu)

Parmalim dan Perjuangannya
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Parmalim dan Perjuangannya

Post by Laurent »

http://budiawanhutasoit.wordpress.com/2 ... ak-dahulu/

Penghayat Kepercayaan Terpinggirkan Sejak Dahulu

Meskipun punya lebih dari 85.000 anggota di Sumatera Utara, kaum penghayat pada Tuhan Yang Maha Esa merasa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara belum memberi perhatian kepada mereka. Tak pernah ada dialog yang intens dengan kaum penghayat, apalagi ruang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumatera Utara.

Secara resmi di Sumatera Utara kini terdapat 16 aliran kepercayaan yang muncul sebagai representasi tradisi Batak dan Jawa. Dalam tradisi Batak, kaum penghayat tergabung antara lain dalam Ugamo Malim (Parmalim) yang berpusat di Laguboti, Toba Samosir, Ugamo Bangsa Batak di Medan, Habonaron Da Bona di Simalungun, Pijer Bodi di Karo, Sipituruang di Karo, Golongan Si Raja Batak di Kisaran dan Tanjung Balai, juga kelompok-kelompok Parmalim di berbagai tempat.

Sementara itu, tradisi kejawen muncul dalam kelompok seperti Galih Puja Rahayu di Medan dan sekitarnya serta Ilmu Rasa Sejati di Tanah Jawa, Simalungun.

Meskipun sudah ada yang mulai berani menunjukkan diri, banyak yang masih takut-takut, terutama stigma "tak beragama" yang sering muncul di masyarakat dan dianggap aliran sesat. Tirani mayoritas terhadap warga minoritas masih mereka rasakan.

Pekan lalu Ugamo Bangsa Batak untuk

pertama kalinya menyelenggarakan acara persembahan secara terbuka. Meskipun sudah menjadi kelompok penghayat yang secara resmi diakui pemerintah sejak tahun 2001, untuk menyelenggarakan acara mereka perlu mengajukan izin ke Kesbanglinmas, Polda Sumut, Poltabes Medan, hingga ke Polsek Medan Sunggal.

Kepala Subdit Kelembagaan Kepercayaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Sri Hartini mengatakan, berdasarkan pengalaman kelompok mendampingi kelompok penghayat, warga masyarakat ini justru merupakan warga negara yang patuh. Ajaran mereka sangat menghargai alam dan kemanusiaan sehingga hidupnya pun tak berbuat jahat kepada orang lain.

Parmalim yang berpusat di Lagubotti, misalnya. Perilaku penghayat agama asli Batak ini sangat santun. Mereka selalu mencoba tidak menyakiti orang lain. Mereka juga tidak mau sembarang makan sebab makanan ikut menunjang perkembangan jiwa.

Jumlah mereka ribuan serta tersebar di Jawa dan Sumatera. Jika selama ini penghayat dianggap masyarakat marjinal dan tak berpendidikan, tidak demikian dengan Parmalim. Orang-orang mudanya menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi dan berwawasan luas. Beberapa mengaku harus menyembunyikan Parmalim mereka saat menempuh pendidikan karena capek menjawab pertanyaan orang.

Banyak peneliti asing yang justru tertarik pada agama asli ini, terutama dari sisi kebudayaan dan seninya karena mereka menggunakan musik dan tari tradisional Batak. Namum, warga setempat justru melupakan. Pelestari agama-agama asli di Indonesia yang justru terstigma menjadi orang tak beragama atau malah penyembah berhala.

Tahun lalu pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2007, membuat pemerintah mengakui perkawinan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Penghayat mendapatkan surat kawin dan melakukan perkawinan di depan pemuka penghayat dan berhak mempunyai kartu tanda penduduk dengan mengosongkan kolom agama.

Terbitnya PP itu membuat akta perkawinan sudah bisa dilayani dan KTP bisa diladeni. Meskipun demikian, masih ada kendala bagi penghayat, misalnya dalam hal penguburan dan pendirian rumah ibadah. Makam umum belum bisa menerima pemakaman kaum penghayat.

Sumber : Kompas, April 2008

Parmalim dan Perjuangannya
Mirror 1: Parmalim dan Perjuangannya
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Faithfreedompedia static
Post Reply