Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM !

Khusus ttg sepak terjang/sejarah jihad dan penerapan Syariah di INDONESIA & negara jiran (MALAYSIA)
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM !

Post by Laurent »

Bissu: Komunitas Unik dan Hampir punah di tanah Bugis

Posted: 13 Februari 2011 by Ahmad Elqorni in BUDAYA SULAWESI, SUKU BUGIS-MAKASAR
0
--------------------------------------------------------------------------------



Image



Sepertinya hanya di budaya Bugis, dikenal lima (5) jenis gender. Menurut penelitian anthropolog Australia, Sharyn Graham dalam research reportnya; Sex, Gender and Priests in South Sulawesi, Indonesia, 29 November 2002 , budaya Bugis mengenal empat jenis gender dan satu para-gender; laki-laki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki ( calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu.

Jenis yang terakhir ini lebih banyak disalah artikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, walau secara peran dan kedudukannya dalam budaya. Bugis tidak demikian. Juga, tidak sedikit yang mempertautkan keunikan para-gender Bissu ini dengan kepercayaan lokal yang disebut Tolotang, hal yang mana dibantah secara nyata oleh komunitas Amparita Sidrap yang menjadi representasi penganut Tolotang dalam suku Bugis.

Kehadiran dan Peranannya

Gambaran pergeseran struktur nilai dalam kebudayaan Bugis selayaknya bisa kita sematkan pada salah satu realitas budaya bugis yang mulai terpinggirkan; Bissu. Peran Bissu di awal pembentukan masyarakat Bugis sangatlah kuat. Keberadaan Bissu dalam sejarah manusia Bugis dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri.

Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas (botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut.

Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu, Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi. Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit.

Bissu adalah pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Bissu dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan (hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa.

Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan (wadam) walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya.

Dalam pengertian bahasa, bissu berasal dari kata bugis; bessi, yang bermakna bersih. Mereka disebut Bissu karena tidak berdarah, suci (tidak kotor), dan tidak haid. Ada juga yang menyatakan bahwa kata Bissu berasal dari kata Bhiksu atau Pendeta Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh C Pelras dalam Manusia Bugis, hal 68, sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Tentang agama Buddha sendiri, beberapa sanak-saudara saya yang tinggal di Sengkang mengaku masih menganut agama Buddha ini, yang dikatakan sebagai agama mula-mula orang Bugis. Mereka masih melakukan ritual keagamaan tersendiri, walau saya belum melakukan perbandingan dengan ritual agama Buddha yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Buddha di Indonesia.
Juga ada bukti sejarah yang memperkuat fenomena ini, misalnya penemuan Arca Buddha bercorak Amarawati di Sempaga di pantai Sulawesi Selatan yang berasal dari abad II Masehi. Ditengarai bahwa para pendeta Buddha, Biksu ini ‘menumpang’ kapal-kapal dagang India menuju perairan Nusantara.

Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.Sakti?

Dari surek La Galigo sendiri sebagai referensi utama sejarah purba suku Bugis, membuktikan bahwa justru kehadiran Bissu dianggap sebagai pengiring lestarinya tradisi keilahian/religiusitas nenek moyang. Di masa lalu berdasarkan sastra klasik Bugis epos La Galigo, sejak zaman Sawerigading, peran Bissu sangat sentral, bahkan dikatakan sebagai mahluk suci yang memberi stimulus ‘perahu cinta’ bagi Sawerigading dalam upayanya mencari pasangan jiwanya; We Cudai. Di tengah kegundahan Sawerigading yang walau sakti mandraguna tapi tak mampu menebang satu pohon pun untuk membuat kapal raksasa Wellerrengge, Bissu We Sawwammegga tampil dengan
kekuatan sucinya yang diperoleh karena ambivalensinya; lelaki sekaligus perempuan, manusia sekaligus Dewa (Sharyn Graham, 2002).

Kisah kesaktian Bissu ini dapat juga kita temukan dalam kisah Arung Palakka ketika pada tahun 1667 melakukan penyerbuan bersama tentara Soppeng terhadap Lamatti, sebuah distrik di Bone Selatan, sebanyak seratus Bissu Lamatti tampil dengan senjata walida (pemukul tenun) sambil mendendangkan memmang (nyanyian). Anehnya, tak satupun senjata prajurit Bone dan soppeng yang mampu melukai para bissu sakti tersebut (LY Andaya, 2006, al 106).

Dalam ritual yang masih bisa ditemui sampai sekarang, tradisi maggiri’ merupakan salah satu pameran kesaktian Bissu. Tradisi menusuk diri dengan badik ini dimaksudkan untuk menguji apakah roh leluhur/dewata yang sakti sudah merasuk ke dalam diri bissu dalam sebuah upacara, sehingga apabila sang Bissu kebal dari tusukan badik itu, ia dan roh yang merasukinya dipercaya dapat memberikan berkat kepada yang meminta nya. Namun, apabila badik tersebut menembus dan melukai sang Bissu, maka yang merasukinya adalah roh lemah atau bahkan tidak ada roh leluhur sama sekali yang menghinggapi (Sharyn Graham).

Konflik dengan Islam?

Namun di saat yang bersamaan, karena proses konstruksi politik dan agama, Bissu dianggap sebagai satu celah yang tercela dalam masyarakat Bugis modern yang Islami karena dianggap menentang sunnatullah yang hanya mengenal jenis gender laki-laki dan perempuan, selain peran sinkretisme yang dibawanya. Bahkan salah satu doktrin yang memojokkan status mereka adalah adanya pemeo bahwa bila menyentuh Bissu atau calabai maka konon akan membawa sial selama 40 hari – 40 malam. Ironis! Menjadi bissu tidak lagi dianggap dapat menaikkan derajat sosial sebagaimana yang berlaku di masa lampau, malah mendatangkan petaka keterasingan dalam masyarakat (agamis) Bugis modern.

Dalam beberapa diskursus, eksistensi Bissu cenderung fenomenal mengingat keberadaannya yang kontroversial dalam masyarakat Bugis modern yang Islami. Karena keberadaannya yang ambivalen, bissu dianggap tidak menerima sunnatullah, karena secara fisik mereka adalah laki-laki tapi berpenampilan seperti perempuan (tranvestities). Bissu juga dianggap menyimpang dari agama karena kecenderungannya menganggap arajang dan mustika arajang memiliki kekuatan gaib dari leluhur (dinamisme). Padahal, menurut para bissu itu, mereka justru melakukan pemujaan terhadap Tuhan walau dengan tata cara ritual yang mereka yakini. Dan juga, mereka tidak menolak sunnatullah, melainkan menerima dan menjalankan sunnatullah.

Di tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu kegiatan, alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro (dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras.

Penderitaan para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla) ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq, dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap arajang sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih masuk agama Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam.

Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat, kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan bocah di jalanan.

Gerakan pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu, upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi
diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu, hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa.

Namun ketika masyarakat menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empat puluh orang saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar, jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang (Bissu PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.

Sumber :http://forum.vivanews.com/

http://indoculture.wordpress.com/2011/0 ... nah-bugis/
Last edited by Laurent on Sun Feb 05, 2012 10:31 am, edited 1 time in total.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Bissu: Komunitas Unik dan Hampir punah di tanah Bugis

Post by Laurent »

buku wajib baca nih bagi peserta FFI . Makin Miris dengan Negeri INI setelah membaca buku ini
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Bissu: Komunitas Unik dan Hampir punah di tanah Bugis

Post by Laurent »

Towani-Tolotan, Nasibmu Kini


admin | 23 - Jun - 2008
Mereka menyebut diri Towani, tetapi orang luar selalu menyebut Tolotan. Towani adalah orang-orang berani, bersikap tegas, dan berpegang prinsip. Sedangkan Tolotan, sebutan pertama kali dilontarkan oleh salah seorang raja Pangkajene (dari kalangan komunitas Towani di Amparita sendiri tak diperoleh keterangan siapa nama raja tersebut) berarti sebutan untuk orang yang berdiam di sebelah selatan, mereka yang berada di luar diri, outsider, yang lain dan bukan kita. Komunitas Towani memang bukan bearasal dari wilayah [kekuasaan] Pangkajene melainkan dari Wajo (wilayah kekuasaan politik di sebelah timur Pangkajene). Tetapi baik orang Wajo maupun Pangkajene adalah komunitas Bugis yang cukup kental; berbahasa dan bertradisi Bugis. Problemnya adalah ketika Bugis dikonstruksi sebagai identik Islam, maka mau-tak-mau komunitas ini terlempar dari “rumah”nya sendiri.

Konon, ketika masih di Wajo, komunitas ini berkembang cukup baik, mulai sejak awal dirintis dan dikembangkan oleh I pa bere hingga beberapa waktu kemudian. Tetapi ketika Islamisasi di Wajo mulai gegap-gempita di awal abad 20 posisi dan nasib Towani mulai goyah, hingga akhirnya harus hengkang dari wilayah Wajo dan menuju ke arah barat yang kini bernama Amparita. Beberapa sumber lisan menyebutkan sebenarnya tidak hanya Wajo saja yang menolak keberadaan Towani, tetapi juga penguasa-penguasa politik dan agama di tempat lain. Soppeng yang berdekatan dengan Wajo dan Sidrap juga pernah menolak komunitas ini.

Amparita sendiri, salah satu dari dua pusat hunian komunitas Towani, merupakan kecamatan yang berada dalam wilayah kabupaten Sidrap (sekitar 10 km tenggara kotakan terutama dari kalangan puritan dan kaum terpelajar kota. Bahkan larangan bergaul oleh sejumlah tetangga muslim ortodok tak juga mereka acuhkan. Pangkajene, ibukota Sidrap). Di wilayah ini, komunitas Towani tersebar di beberapa desa yang menurut perkiraan salah seorang tokohnya, La Setti Unge, berjumlah 7000 orang. Dengan kesibukan sehari-hari bertani, berladang, dan sebagian kecil berdagang, mereka hidup terbuka, tidak ekslusif, berinteraksi dengan yang lain dan juga mengukuti program-program modern seperti sekolah. Meskipun demikian, mereka tetap harus menerima berbagai konstruksi, stereotype, dan anggapan-anggapan minor lain yang tak menguntung

Tak jelas bagaimana prosesnya dan siapa saja yang berperan di dalamnya, tiba-tiba komunitas yang sama sekali tidak atheis ini, awal tahun 1966, dikategori sebagai komunis dan pendukung setia Partai Komunis Indonesia (PKI). Sweeping Zebra oleh militer yang di sanamappakenga hampir menggilas sebagian besar komunitas ini. Bukan itu saja, ajaran Towani juga dipandang bertentangan dengan pancasila (La Setti menyebut pancatunggal). Oleh karena itu, ajaran ini dinyatakan dilarang, komunitasnya dibubarkan dan seluruh kitab-kitab sucinya dibakar. “Kami para tetua Towani di sini dibawa ke Kodim, kemudian ke Kodam, ditahan beberapa minggu dan selama itu pula kami ditanya-tanya macam-macam”, kisah La Setti. Apakah tidak disiksa? “ya, ditakut-takuti, dipaksa, dan diancam”, jawabnya. “Karena alasan kategori itu menyentuh ajaran Towani yang kemudian dibubarkan, maka seluruh aktivitas ritual salah satu Bugis kuno ini terpaksa berhenti. Bahkan sebutan Towani atau Tolotan pun, setelah itu, menjadi menakutkan, karena sebutan itu tak pernah lengah dari sorot sebagai komunis. dikenal

Selang beberapa waktu kemudian, ketika api ajaran Towani dalam diri setiap warganya tak juga padam, pemerintah mengalihkan persoalan ini ke dalam bingkai agama resmi. Seperti halnya kepercayaan lain di Indonesia (waktu itu), tak ada pilihan lain kecuali bernaung dan menganut salah satu dari 5 agama yang diresmikan oleh negara. Kalau tidak, sebagai ancamannya dikategori tak beragama dan berarti komunis, maka penganutnya tak diberi tempat sama sekali di bumi Indonesia. Towani, melalui proses cukup berbelit, akhirnya disyahkan melalui SK Dirjen Hindu Departemen Agama RI nomor 6 tahun 1966 sebagai salah satu aliran dalam agama Hindu

Tak ada jalan lain bagi komunitas Towani kecuali pasrah dan menerima (tak sesungguhnya) keputusan pemerintah itu. Mereka memang harus memakai “baju” Hindu terutama dalam hal menyangkut administrasi (KTP dan surat-surat resmi lain), tetapi dalam keseharian mereka tetaplah sebagai Towani yang jujur, konsekuen, sabar, dan menghormati orang lain. “Towani tetaplah Towani”, tandas La Setti ketika mengakhir bincang-bincang dengan DESANTARA. Desantara

http://www.desantara.org/06-2008/343/to ... ibmu-kini/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Bissu: Komunitas Unik dan Hampir punah di tanah Bugis

Post by Laurent »

Panggil Kami Towani


admin | 9 - May - 2008
Jika boleh menjerit, mungkin jeritan itu akan sangat menyayat. “Jangan panggil kami Tolotan. Panggil kami Towani!”. Tetapi apa daya, suara itu telah habis. Bahkan untuk sekadar bergumam. Maka jadilah komunitas yang kini berpenghuni sekitar 7000 kepala ini menjadi “Komunitas Tolotan.” Baik dalam buku-buku sejarah, buku administrasi pemerintah, bahkan ingatan anak-anak muda setempat, yang dijumpai hanyalah ‘Tolotan’. Dan itu artinya stereotyp, simbol kekalahan identitas bagi satu komunitas yang terletak di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Lompoe, Kebupaten Sidrap, Propinsi Sulawesi Selatan ini.

Nama memang bukan segala-galanya. Tetapi jelas, di dalamnya mengandung identitas dan seringkali juga harga diri. Contohnya dalam kasus ‘Tolotan’ dan ‘Towani’ ini. Towani mengandung arti yang membanggakan bagi komunitas yang bersangkutan, yaitu orang yang berani, bersikap tegas dan berpegang pada prinsip. Sebutan Towani akan memberikan satu identitas yang tinggi terhadap komunitas ini. Dan memang dalam sejarahnya, orang-orang Towani mewarisi sikap-sikap seperti ini. Tetapi Raja Pangkajene selalu menyebut warga Towani dengan Tolotan (To selatan), yang maksudnya orang yang berdiam di selatan. Dalam budaya Sulawesi Selatan, cara memanggil yang seperti itu berarti memposisikan rendah bagi yang dipanggil. Tidak hanya itu, tokoh-tokoh tua Tolotan selalu dipanggil Uwa.Uwa dalam budaya Bugis merupakan panggilan bagi orang-orang tua berkasta rendah. Padahal sebutan

Perendahan dan mungkin juga pelecahan budaya yang dirasakan komunitas Towani tidak hanya berhenti sampai di situ. Dalam soal keyakinan-agama, mereka juga mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan. Orang-orang di luar komunitas ini, banyak yang menuduh Towani berlaku syirik, bahkan juga ateis, tak bertuhan. Dengan tuduhan-tuduhan itu, mereka tidak saja rentan terhadap ketidak-adilkan dan kekerasan sosial budaya, tetapi juga politik. Contohnya adalah apa yang terjadi pada tahun 1965. Ketika pemberontakan G30S meletus, tentara melakukan sweeping, penumpasan, terhadap orang-orang yang praktek ritual keagamaannya berbeda dengan agama-agama resmi. Di Sidrap sweeping tersebut dikenal dengan nama ‘mappakainge’ yang dilakukan oleh Kodam. Sejumlah tokoh Towani ditangkap, dibawa ke markas militer, dan dipaksa mengaku sebagai PKI. (Lihat: “Wawancara dengan La Unge Setti: Biarkan Kami Menganut Keyakinan Ini…”).

Tidak sekali dua kali, komunitas Towani menempuh jalur konstitusi, melakukan pendekatan birokrasi agar penguasa mengakui eksistensi mereka. Bahkan seperti dituturkan salah seorang tokoh komunitas Towani, La Unge Setti, salah seorang saudaranya terpaksa tinggal di Jakarta selama tiga tahun untuk mengurus masalah ini ke pemerintahan pusat dan juga ke DPR. Bahkan akibat dari mengurus masalah ini, yang bersangkutan dipecat dari status kepegawaiannya. Tetapi hasilnya sangat menyakitkan. Yaitu keluarnya lembaran Undang-undang Nomor 6/1966, yang isinya menyatakan bahwa ajaran-ajaran Towani-Tolotan memiliki kemiripan dengan Hinduisme. Dan sebagai tindak lanjutnya, KTP (Kartu Tanda Penduduk) warga komunitas Towani-Tolotang di bagian kolom agama, ditulis Agama Hindu. Dengan kata lain—bak perusahaan komersiil yang bangkrut—mereka dipaksa untuk merger (bergabung) dengan agama lain; Hindu.

Apa salah Towani sehingga mereka diperlakukan seperti itu, di tanah airnya sendiri? Tindakan kriminil macam apa yang telah mereka lakukan? Mungkin pertanyaan-pertanyaan inilah yang terus menghantui komunitas Towani, dari dulu hingga sekarang. Dan mungkin tak akan pernah menemukan jawabannya, karena di dalam ajaran Towani tak ada tuntunan untuk melakukan tindakan-tindakan keji. Apa yang diajarkan oleh Towani tidak ada perbedaan mendasar dengan ajaran agama-agama lain; kejujuran, keadilan, kebijaksanaan, berlaku baik terhadap sesama, tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain dan sebagainya.

Memang saat ini komunitas Towani tidak memiliki kitab suci, sebagaimana umat Islam memiliki Al-Qur’an atau kaum Nasrani yang memiliki Injil. Kitab suci mereka, sebagaimana dikatakan La Unge Setti, telah terbakar. Sehingga tradisi yang mereka praktekkan dalam mengajarkan agama kepada anak-anak dan cucu-cucu mereka adalah melalui tradisi lisan. Tradisi itu mereka wariskan secara turun temurun, baik melalui pergaulan sehari-hari maupun melalui upacara-upacara ritual yang mereka gelar secara berkala.

Salah satu contoh ajaran yang diturunkan lewat lisan dan populer di tengah warga komunitas Towani, adalah tentang perlunya bersikap sabar dan toleran terhadap orang lain. Bunyi ajaran itu kurang lebih demikian: Jikalau ada orang lain berbuat kesalahan/keburukan kepada kita, maka kita masih banyak pengharapan di kemudian hari. Begitu pun sebaliknya, jikalau kita berbuat kesalahan/keburukan kepada orang lain, maka orang lain tersebut masih banyak pengharapannya di hari kemudian. Ajaran perlunya saling menenggang atas kesalahan orang lain seperti ini, tentulah ajaran yang mulia (mana ada manusia yang tak pernah berbuat salah?). Hal yang sama kita dapati di dalam agama-agama resmi; Islam, Kristen-Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha. Jika demikian, mengapa harus dilarang?

Warga Towani-Tolotan adalah warga Indonesia juga, warga negara yang ingin hidup wajar, damai dan tenteram. Mereka tidak menuntut satu perlakuan yang istimewa, baik dari masyarakat sekitarnya, apalagi dari penguasa politik. Mereka hanya menginginkan kedudukan yang wajar, sejajar, dan mendapat pengakuan eksistensial atas keyakinan mereka. Mereka tidak ingin menjadi komunitas yang eksklusif, tertutup dari pergaulan luas. Untuk itu mereka selalu terlibat dengan berbagai perkembangan dan aktivitas yang ada di sekitarnya. Mereka mengirim anak-anak dan cucu mereka ke sekolah, bahkan hingga perguruan tinggi. Dengan harapan mereka bisa setapak lebih maju dan bergaul bersama komunitas lain di bumi nusantara.

Tetapi tampaknya keinginan ini pun kini terlalu berlebihan. Karena tembok stereotyp yang telah dibangun berbagai kekuatan di luar dirinya—bahwa Towani identik dengan komunitas masyarakat yang sesat, musyrik, salah, kafir, ateis—sangatlah tebal. Bahkan untuk sekadar berdialog pun, rasanya mereka tidak berani. Sebagai satu komunitas, mereka benar-benar terpuruk. Sambil menerima kenyataan diri sebagai ‘orang Hindu’ dari ‘komunitas Tolotan’, dari balik tembok tebal itu mereka berteriak lirih; “Panggil kami Towani”. Desantara / LAPAR

http://www.desantara.org/05-2008/827/pa ... mi-towani/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Bissu: Komunitas Unik dan Hampir punah di tanah Bugis

Post by Laurent »

La Unge Setti: Biarkan Kami Menganut Keyakinan Ini…


admin | 12 - Apr - 2008
Perih dan pasrah. Itulah yang dirasakan komunitas Towani-Tolotan. Betapa tidak. Untuk ‘sekadar’ menganut keyakinan saja mereka dilarang. Eksistensi keyakinan mereka –bak perusahaan bisnis—dipaksa untuk merger, bergabung dengan agama lain: Hindu. Mereka dituduh berbuat musyrik, tidak beragama (ateis) dan sebagainya. Bahkan pada tahun 60-an komunitas ini pernah dituduh sebagai bagian dari PKI. Saat itu banyak diantara mereka yang ditangkap dan diinterogasi dalam satu operasi Kodam yang bernama Operasi Mappakainge. Mereka telah mencoba meluruskan masalah ini kepada pihak penguasa di tingkat daerah sampai pusat, bahkan juga ke DPR. Tetapi yang keluar adalah Undang-undang Nomor 6/1966, yang menyatakan komunitas Towani-Tolotan bermadhzhab Hinduisme. Jadilah mereka sebagai ‘penganut’ Hindu.

Bagaimana perasaan dan pandangan warga komunitas Towani-Tolotan ini dalam menghadapi berbagai tekanan seperti itu. Berikut wawancara kami dengan salah satu sesepuh (yang sekaligus juru bicara komunitas Towani-Tolotan) La Unge Setti. Dengan ramah dan sabar, lelaki yang sudah beranjak senja ini menerima kami di rumahnya, di kawasan Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Lompoe, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Berikut petikan wawancara tersebut: Bagaimana pandangan Anda tentang keberadaan masyarakat lokal seperti Towani-Tolotan saat ini?

Kami merasa masyarakat lokal seperti kami ini belum mendapatkan penghargaan yang wajar. Padahal banyak ajaran yang bisa kita timba dari masyarakat seperti ini.

Misalnya apa itu?

Tentang kejujuran, kebenaran dan juga tindakan konsekwen, tidak membedakan satu dengan yang lain, harus adil dan bijaksana. Misalnya kami di sini sangat menghargai keberadaan yang lain. Di sekitar sini banyak berdiam orang Islam dan kami tidak pernah ada masalah dengan mereka. Kami saling menghargai dan menghormati. Bahkan kalau kami mengadakan acara, tetangga kami yang muslim dengan ikhlas datang memberikan bantuan. Demikian pula sebaliknya. Kalaupun ada masalah, itu dari luar, dari mereka yang tidak memahami Tolotan. Leluhur kami disini mengajarkan agar kita senantiasa berbuat baik pada orang lain. Kata leluhur kami: Iako nabettaki taue mewaki ada, nabetaki taue asenna lokka decengge, nakalaki. (Kalau orang mendahului menyapa kita, maka kita didahului kepada kebaikan)

Apakah hal itu telah menjadi prinsip masyarakat Towani?

Iya. Kalau pun ada orang-orang tertentu dari komunitas lokal yang tidak melakukan ajaran kemanusiaan seperti yang saya kemukakan tadi, itu sangat sedikit dan itu sifatnya individual. Misalnya mungkin karakter orangnya memang sudah seperti itu.

Bagaimana pandangan orang di luar dalam melihat komunitas Towani-Tolotan ini? Apa betul ada pandangan yang miring (stigma) yang menganggap masyarakat ini telah berlaku khurafat, musyrik dan semacamnya?

Itu berasal dari orang luar yang tidak memahami Tolotan. Umat Islam di sini tidak pernah menganggap kami seperti itu. Dulu di tahun 60-an, kita mendapat stigma yang luar biasa dari luar, bahwa kami ini komunitas yang tidak benar, tidak beragama, bahkan dituduh PKI. Saat itu kami diperangi dalam satu operasi Kodam yang dinamakan mappakainge. Banyak orang-orang tua kami yang ditangkap lalu dibawa ke Kodam. Di sana mereka diancam, dipaksa mengaku sebagai PKI.

Dari kalangan Islam, apa ada yang berpandangan seperti itu?

Ya, ada juga. Tetapi tidak semuanya. Bahkan mungkin lebih banyak yang tidak berpandangan seperti itu. Beberapa hari yang lalu kami kedatangan tamu. Ia kami jamu dengan memotong hewan. Tetapi tamu kami itu (seorang tokoh agama) kelihatan ragu-ragu untuk makan sembelihan kami. Lalu saya katakan, selama ini kalau kami kedatangan tamu selalu kami sembelihkan hewan yang sehat, tidak sakit-sakitan. Tetapi kalau karena masalah kami tidak membaca bismillah Bapak tidak mau makan sembelihan kami, ya….tidak apa-apa.

Menurut Anda kenapa sampai muncul stigma dari luar yang menganggap komunitas lokal seperti ini musyrik atau tidak beragama?

Saya kira karena mereka tidak memahami sejarah dan tradisi. Sejak dulu masyarakat di Sulawesi Selatan ini telah beragama. Bahkan jauh sebelum datangnya Islam, Kristen, Hindu ataupun Budha. Coba kita perhatikan Kitab Lagaligo, atau misalnya disini dulu ada kitab yang bernama Appaunganna Tolotangnge. Di Kajang juga dikenal Pasanga Ri Kajang. Semua itu memberikan bukti bahwa kita semua ini telah mengenal agama sebelum datangnya agama-agama yang kita kenal sekarang.

Selain karena tidak paham sejarah dan tradisi, apakah praktik keagamaan warga Towani Tolotan ini bukan menjadi alasan orang luar menganggap warga ini musyrik?

Ya…. tentu saja. Sebab memang ada hal-hal yang berbeda. Katakanlah misalnya sembahyang kita berbeda dengan cara-cara agama resmi. Di sini resminya kami sembahyang dua kali sehari, pagi dan sore. Menghadapnya searah rumah. Menurut kami sembahyang itu tidak harus diikat dengan tempat dan waktu. Bisa saja saya dalam keadaan begini (dalam kondisi wawancara dengan Redaksi-red) melaksanakan sembahyan. Kapan pun kami bisa sembahyang. Bagi kami yang paling penting adalah yang disembah, bukan cara meyembahnya. Cara-cara inilah mungkin yang mereka anggap musyrik dan semacamnya, karena tidak sama dengan cara sembahyang mereka, pemeluk agama-agama resmi.

Tetapi sekarang hampir semua komunitas lokal telah memeluk agama resmi, bagaimana menurut bapak?

Saya kira hal itu untuk mempermudah melaksanakan ajarannya saja, supaya kita tidak dihalang-halangi dalam beribadah. Sebab di Indonesia ini hanya lima agama saja yang diakui. Misalnya saja kenapa kami warga Tolotan ini dianggap Hindu? Dulu pada tahun 60-an komunitas ini hampir dibubarkan. Saat itu dikenal istilah Panca Tunggal. Kita diwajibkan memilih salah satu diantara lima agama. Lalu kami mulai mengurus ke pusat. Yang mengurus saat itu adalah sepupu saya, seorang pegawai negeri. Ia tinggal di Jakarta selama tiga tahun antara makan dan tidak, sampai ia kurus sekali waktu itu. Karena mengurus masalah ini, ia sampai dipecat dari jabatannya. Tetapi sepupu saya ini memang lebih memilih kepercayaan yang diyakininya daripada kepegawaiannya. Persoalan ini kemudian dibawa ke DPR. Dari DPR dibawa ke Depag. Akhirnya ada satu kesimpulan bahwa Tolotan ini adalah bermazhab Hinduisme, mirip dengan Hindu. Sehingga keluarlah surat keputusan Dirjen Depag Nomor 6/1966, yang mengatakan bahwa pada prinsipnya masyarakat Tolotan adalah bermazhab Hinduisme. Itulah yang terjadi. Sampai sekarang, secara administrasi kami bergabung ke Hindu, tetapi kita tetap melaksanakan apa yang sudah menjadi keyakinan kami disini, yang tentunya berbeda dengan Hindu.

Bagaimana sikap orang Towani-Tolotan sendiri menghadapi pandangan-pandangan miring atau serangan-serangan dari luar?

Tidak ada masalah. Biasa saja. Masyarakat Tolotan punya prinsip kesabaran. Artinya kalau ada orang melakukan sesuatu kita sabar saja. Orang-orang itu pasti akhirnya jenuh juga. Namun kita bersabar dan mengalah bukan untuk meninggalkan keyakinan. Ini hanya bentuk toleransi saja. Di sini pernah ada orang yang kawin dan dikubur secara Islam. Demi kebersamaan, kami setuju sekalipun kami sesungguhnya tidak rela. Saat itu kami setuju, secara simbol dilaksanakan menurut Islam, namun intinya tetap menurut Tolotan.

Bagaimana cara menghindarkan benturan antara komunitas lokal dengan masyarakat luar yang punya keyakinan lain?

Saya kira dengan saling menghargai. Biarkanlah kami melaksanakan apa yang kami yakini. Demikian pula kami menghargai apa yang dilakukan oleh saudara kami yang lain. Kami sendiri masyarakat Towani-Tolotan sudah tidak ingin lagi berdebat. Kami menghindari dialog. Sebab dialog atau debat pada akhirnya meneguhkan bahwa dirinya sendirilah yang paling benar. Desantara

http://www.desantara.org/04-2008/801/la ... kinan-ini/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

perlu juga baca artikel di bawah ini :

http://www.rappang.com/2008/12/kepercay ... rakat.html
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

BUDAYA
Terima Kasih, Gus Dur
| Minggu, 12 Juni 2011 | 05:14 WIB
Dibaca: 11
Komentar: 0
|
Share:

Keberadaan bissu beserta kebudayaan dan seni tradisi yang menyertainya selama ini diombang-ambingkan oleh situasi politik di negeri ini. Hal yang sama dialami oleh berbagai kebudayaan lokal di Indonesia. Menghilangnya warisan budaya kuno menandai kehancuran penanda peradaban, yang bisa membuat Indonesia kehilangan rohnya sebagai bangsa yang terdiri atas beragam kebudayaan.

Seperti dikatakan Prof Dr Nurhayati, pada zaman DI/TII, banyak naskah La Galigo dibakar, dirusak, dan kalau ketahuan menyimpannya bisa dihukum. Pada masa itu, bissu dikejar-kejar mau dibunuh. ”Mereka dianggap penyembah berhala. Padahal, itu cara bissu berterima kasih kepada dewata karena tanaman dan pohon-pohon tumbuh dengan baik. Itu hanya simbol,” kata Saidi.

Tahun 1965 para penganut To Lottang harus masuk Hindu, salah satu dari lima agama resmi (saat itu). Bissu dikejar-kejar, bahkan dianggap komunis karena agama lokal tak diakui.

Imbas peristiwa itu berlangsung sampai tahun 1970-an. Saidi mengenang, ”Dulu kalau tidak datang di acara gotong royong, bisa dihukum. Sampai tahun 1980-an, kami masih sering dilempari batu. Mereka bilang kalau melihat bissu bisa sial 40 hari karena bissu tak bersyukur pada Tuhan.”

Baru tahun 1993, penerimaan terhadap bissu berangsur kembali meski tetap ada kelompok yang tak ingin tradisi bissu muncul lagi. ”Bupati Pangkep waktu itu mau menyunatkan anaknya dengan adat raja. Bissu dipanggil untuk upacara. Alhamdulillah, yang dulu sangat membenci Puang Matoa, sekarang mau datang ke rumah saya.”

Ia melanjutkan, ”Waktu Gus Dur menjadi presiden, semua membaik. Adat dan agama sudah benar-benar sejalan. Adat tetap ada, agama juga ada. Adat memang lebih dulu daripada agama, tetapi adat tetap ikut pada agama. Gus Dur buta, tetapi hatinya terbuka. Semua itu ada di sureq.”

Analogi tangga

Menurut Saidi, sekarang ada 40 bissu. Bissu dewata ada di Segeri, tertinggi tingkatannya dibandingkan dengan bissu dari daerah lain. Bissu dipilih dewata, begitu keyakinannya. ”Ada petunjuk,” ungkapnya. ”Sudah ada bissu yang dipersiapkan sebagai Puang Matoa yang menggantikan saya. Jadi, saya ikhlas kalau harus ’pulang’ sekarang.”

Nama calon penggantinya Muharram. ”Dia dua bersaudara, keduanya waria. Satu ke adat, satu ke modern,” ungkap Saidi.

Dalam terminologi di situ, waria adalah kawe-kawe. Bissu adalah calabai, tak boleh berhubungan seks, harus menjaga kesucian karena dalam kebudayaan Bugis Kuno dia adalah penghubung manusia dengan dewata. ”Kalau melanggar sumpah, bisa celaka,” kata Saidi. Namun, ia mengeluh, ”Sekarang banyak yang menjadi bissu karena uang.”

Saidi bin Ruding adalah anak pertama dari enam bersaudara, anak kepala kampung yang dihormati. Lahir tahun 1963, dari kecil jiwanya sudah bissu. ”Kalau dengar suara gendang, saya lari ke situ, dibanding ke sekolah. Saya dimarahi, dipukul, dimandikan dengan merang bakar oleh nenek. Kemudian datang Nek Sirek, bilang ke bapak saya, ”Ruding, nanti anakmu akan jadi bissu, jangan selalu dipukul dan disiksa.”

Meski masuk Saroja Bissu pada usia sembilan tahun, baru tahun 1977 ia diikhlaskan orangtuanya menjadi bissu. Waktu itu Puang Karaeng (Kepala Kampung) sudah meramalkan, Saidi akan menjadi Puang Matoa Bissu. Saidi adalah generasi kelima Puang Matoa, menggantikan Puang Sekke atau Sanro Sekke.

”Dulu orang masih gotong royong kalau melakukan upacara. Sekarang tergantung dana pemerintah. Jadi, acaranya berkurang. Dulu ada pembagian sawah untuk Puang Matoa, 1 hektar dan 16 are. Bissu lain 30 are. Sekarang tidak tahu di mana sawah-sawah itu.”

Penghasilan dari pentas ia gunakan menyekolahkan cucu, membantu keluarga dan sawah. ”Saya tidak mempersoalkan bayaran. Yang penting pemberinya datang dengan hati bersih. Ibaratnya, di sana diberi Rp 10.000, di sini diberi warga Rp 1.000, tetapi lebih bernilai di sini karena bissu dibutuhkan. Pentas itu sangat sementara.”

Saidi mengibaratkan dunia gemerlap itu seperti tangga. Ia didorong naik sangat tinggi, sendirian, setelah itu ditinggalkan.

(MH/SIN/BSW)

http://nasional.kompas.com/read/2011/06 ... ih.gus.dur
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

Catatan singkat tentang sejarah komunitas Tolotang
Heru Prasetia
Anggota Tim Peneliti Hak Minoritas Yayasan Interseksi



Saat saya telah tinggal selama beberapa hari bersama komunitas tolotang, saya merasakan betapa komunitas ini mengalami sejenis trauma atas pengalaman sosial mereka di masa lalu. Dari berbagai percakapan dan bacaan saya atas sejumlah literatur, saya menemukan bahwa sejarah komunitas ini adalah sejarah tekanan dan intimidasi. Komunitas ini seolah dibentuk oleh intimidasi itu sendiri. Tidak mengherankan jika kemudian komunitas ini seolah tampak membatasi diri dan tertutup dalam hal-ihwal sistem kepercayaan mereka. Ada satu ilustrasi yang barangkali bisa melukiskan betapa ada sikap waspada tersebut mendarah daging di komunitas ini. Begini:

Waktu itu saya diajak induk semang saya ke sebuah acara mapacci (salah satu acara dari rangkaian acara perkawinan orang Tolotang) di tempat itu saya ngobrol dengan sejumlah orang, termasuk dengan induk semang saya. Satu hal yang mengagetkan saya adalah ketika terlontar pertanyaan pada saya tentang apakah interseksi dan Desantara (saya juga dikenal sebagai eksponen komunitas Desantara karena ia punya majalah Desantara edisi 14/2005 yang nama saya tertera di dalamnya) punya niat tulus untuk membantu komunitas-komunitas lokal atau justru punya proyek terselubung islamisasi, sebab, ujarnya lagi, orang-orangnya adalah orang islam. Saya tertegun. Saya tahu orang ini sebenarnya telah beberapa kali bergaul dengan Desantara dan mengikuti sejumlah acaranya. Tidak perlu saya jelaskan apa jawaban saya ketika itu. Tapi yang jelas, pertanyaan tersebut paling tidak menunjukan beberapa hal. Pertama, perasaan traumatis akibat tekanan di masa lalu belum sepenuhnya hilang, dan ini membentuk sikap untuk mewaspadai apapun tindakan orang di luar komunitas mereka, terutama dari kelompok islam. Kedua, ia kurang memahami pluralitas dalam islam sendiri. Ketiga, menyangkut urusan kepercayaan tolotang, komunitas ini sangat membatasi diri dalam berurusan dengan to laing (demikian sebutan mereka untuk orang yang bukan Tolotang).

Trauma dan sikap waspada ini memang relatif bisa dimengerti. Betapa tidak, sejak komunitas ini belum punya pranata sosial dan keagamaannya, ia telah ditindas dan ditekan untuk mengikuti Islam. Komunitas Tolotang, pada awalnya adalah orang-orang yang mempunyai kepercayaan bugis kuno yang tinggal di Wajo. Di awal abad 17 Wajo mengalami islamisasi besar-besaran setelah dikalahkan raja Gowa, sultan Allauddin, yang dikenal melakukan upaya Islamisasi melalui jalur kekuasaan politik formal, penuh tekanan-paksaan, dan nyaris tanpa ampun. Akhirnya raja Wajo La Sangkuru Arung Matoa secara resmi masuk agama Islam. Raja kemudian mengeluarkan maklumat agar seluruh warga kerajaan Wajo mengikuti agama Islam dan patuh pada perintah raja. Sebagan besar penduduk mematuhi maklumat raja tersebut, namun sebagian orag yang tinggal di wilayah wani tidak mau mengikuti perintah itu. Orang-orang yang tidak mau mengikuti Islam ini lantas lari ke Sidenreng. Dari penuturan narasumber saya, ia tidak menyebut leluhurnya “lari” tapi berperang hingga Sidenreng. Entah lari entah berperag, yang jelas serombongan orang dari Wajo lantas tingal di Sidenreng. Di Sidenreng ini mereka membuat perjanjian dengan Addatuang Sidenreng, La Pattiroi, yang merupakan raja Sidenreng VII. Perjanjian yang disebut dengan ada’ mappura onrona Sidenreng. Isi utamanya adalah bahwa adat harus dihormati, keputusan harus ditaati, janji harus ditepati, keputusan yang telah ada harus dilanjutkan, dan agama harus ditegakkans ditegakkan. Ada versi yang mengatakan bahwa perjanjian itu juga meliputi kesepakatan bahwa komunitas tolotang wajib melakukan ritual pemakaman dan pernikahan secara islam. Ketika saya tanyakan pada tokoh tolotang, versi ini dibantah. Menurutnya, yang terjadi adalah ada pergantian raja dan pergeseran kebijakan. Raja berikutnyalah yang memaksakan dua klausul di atas. Akhirnya, masyarakat tolotang tingal di Sidenreng di wilayah Amparita. n menganggap sebagai Tolotang. Mereka disebut tolotang karena mereka semua tinggal di sebelah selatan pasar dan raja memanggil mereka dengan “oliie renga tolotange pasarenge” (panggil mereka yang di selatan pasar itu).

Ketika raja mulai menerapkan kebijakan untuk memaksakan dua ritual yang harus diikuti masyarakat tolotang, selama bertahun-tahun masyarakat tolotang mengikutinya. Namun pada masa pendudukan Jepang, ada peristiwa yang sangat membekas di hati kaum tolotang hingga kini. Yakni peristiwa Imam Walatedong yang tidak mau memakamkan mayat orang Tolotang. Ini menyebabkan masyarakat menjadi gundah, sebab seolah mereka ditolak kehadirannya. Belakangan lahir keputusan raja yang menyatakan melarang pemakaman mayat tolotang oleh orang islam. Sejak itu orang tolotang tidak mau lagi mengikuti tradisi pemakaman islam dan menjalankan tradisinya sendiri.

Di awal kemerdekaan, kelompok tolotang menjadi sasaran tembak pemberontak DI/TII. Orang tolotang menyebut mereka dengan gerombolan DI/TII. Masyarakat tolotang yang tinggal di desa Otting dibantai, sebagian berhasil melarikan diri ke Amparita. Di Amparita inilah kaum tolotang bergabung dengan TNI melalui Pasukan Sukarela demi memberantas DI/TII. Hampir seluruh anggota pasukan Sukarela adalah orang Tolotang. Pada titik inilah Tolotang kemudian diidentikan telah memusuhi islam hingga kelompok islam di kemudian hari balik memukul Tolotang juga melalui perangkat TNI.

Pasca peristiwa 1965, sebagaimana komunitas lokal di sekujur negeri ini, kaum tolotang dituduh sebagai basis kekuatan PKI. Memang waktu itu ada sekitar 37 orang tolotang yang tergabung dalam Lekra. 5 orang diantaranya aktif sebagai aktivis. Tekanan dan intimidasi pada waktu itu sangat keras dirasakan masyarakat tolotang di Amparita. hampir semua tokoh mereka ditangkap dan dibawa ke penjara Rappang, sementara yang lain lari dari Amparita menuju Pinrang. Pada masa ini kelompok tolotang berusaha mendapat pengakuan dari pemerintah. Seorang Tolotang bernama Makatunggeng diutus untuk pergi ke Jakarta untuk mengupayakan hal ini. Pada akhirnya usaha selama berbulan-bulan ini berujung pada dikeluarkanya Sk. Dirjen Bimas Beragama Hindu Bali/Budha No. 2/1966 tanggal 06 Oktober 1966 yang menetapkan bahwa tolotang merupakan salah satu dari sekte dari agama Hindu. Keputusan ini tidak serta-merta membuat hidup komunitas ini menjadi tenang, tekanan dan intimidasi terus berlanjut karena masyarakat islam menolak keputusan tersebut. bahkan, menurut pengakuan masyarakat lokal, Dirjen bimas Hindu yag hendak mengunjungi komunitas ini dicegat dan dilarang. Desakan masyarakat islam untuk menolak surat keputusan tersebut bahkan kemudian disetujui DPRD-GR Kabupaten Sidrap, hingga mencapai puncaknya pada lahirnya operasi malilu sipakaenga (bahasa daerah yang berarti operasi untuk mengingatkan) dari Kodam Hasanuddin. Operasi militer inilah puncak ketertindasan dan peminggiran komunitas Tolotang. Operasi ini secara tegas menyatakan bertujuan mengembalikan kaum tolotang pada ajaran islam. Aktivitas tolotang lantas selalu diawasi, mereka tak bisa bebas menjalankan ritual kepercayaannya dan selalu dipaksa untuk masuk islam.

Lalu bagaiaman komunitas ini bisa bertahan? Itu akan saya ceritakan di lain kesempatan…

Heru Prasetia

Amparita, 25 September 2006

http://interseksi.org/publications/chro ... otang.html
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

bener2 mau muntah darah, jika baca artikel di atas. peserta ffi kudu wajib baca artikel di atas tuh. persis apa yang di katakan di link ini

http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... ia-t44536/
jambrong
Posts: 332
Joined: Mon Jul 09, 2012 4:23 pm

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by jambrong »

setelah ane baca malah sedih banget ane...
islam= :snakeman:
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

jambrong wrote:setelah ane baca malah sedih banget ane...
islam= :snakeman:
nih ada satu lagi yang bakal membuat anda muntah darah & pengen murtad

http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/54539
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

ali5196 perlu ke thread ini biar tahu bagaimana proses islam menjadi mayoritas di indonesia yang sebenarnya.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

Senin, 04 April 2011
Ini adalah Kehormatan
Puang Saidi yakin saat itu akan tiba. Pada sebuah siang, Senin 5 September 2001 di kampung kecil Kelurahan Bonto Te’ne, Kecamatan Sigeri, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Sealatan, dia menjadi perhatian banyak orang. Prosesi penobatan segera dilakukan, menjadi seorang guru, sandro, pemimpin, Puang Towa atau Ammatoa. Puang Saidi resmi mengepalai semua bissu dan disaksikan: dewan adat, pejabat pemerintahan hingga masyarakat biasa.

Ketika itu, pakaian kebesaran warna kuning, sarung dan pentup kepala sudah lengkap. Dia begitu gagah dan tampan. Saidi mengenang semuanya dengan cermat. “Ramai sekali nak, ramai sekali,” katanya. Di teras rumah Arajange tempat benda pusaka kerajaan tersimpan rapi. Dia duduk di kursi kayu yang kaku. Mengingat semuanya dengan takzim. Segelas kopi dengan gelas bergagang tinggi diseruput, di bagian lain tersaji penganan kue dari bahan gula merah.

Saidi membuka tiga album foto berukuran besar, diletakkan di lantai dipan yang hangat. Tak ada kenangan gambar yang menghubungkannya dengan upacara pelantikan itu. Semua hanya ada dalam hatinya. Dia lalu menuju ke sudut lain di teras itu, menunjuk sebuah foto berbingkai sederhana yang tergantung. Itu gambar neneknya, Sandro (dukun) Saeke, pemimpin bissu sebelum dia. “Seperti ini pakaiannya,” katanya.


Saidi lahir pada 1950-an. Tak tahu waktu tepatnya, tanggal dan bulan, apalagi harinya. Cara Saidi memulai pembicaraan begitu hati-hati, Bahasa Indonesianya tidak terlalu baik. Terkadang dalam sebuah pembicaraan dia akan memiringkan kepalanya dan mengernyitkan dahi bila sesuatu mulai begitu ribet dicernanya. Dan bahasa Bugis akan meluncur dengan cepat.


Dia seorang yang ramping dan memiliki beberapa helai bulu yang tumbuh di dagunya dengan panjang. Rambutnya juga panjang mengkilap tapi selalu digulung ke atas hingga menyelinap masuk ke kopiah. Dia lahir di Pangkajene Kepulauan, tapi berdarah Bone (Kabupaten Bone). Dia adalah pelayan raja, penasehat sekaligus guru spiritual kerajaan. Posisi bissu pada masa lalu adalah kedudukan terhormat. Bissu dipercaya dapat melakukan dialog dengan dewa yang berada di langit, karena menggunakan bahasa To Rilangi atau orang langit. Bahasa ini dipercaya juga digunakan oleh para dewa dan hanya diketahui oleh para bissu yang diberkati. Tak hanya itu jenis kelamin bissu pun berada diantara laki-laki dan perempuan, tapi bukan waria. Dan menurut keyakinan itu, tuhan pun bukan laki-laki dan perempuan. “Bissumi itu nak (seperti itulah bissu),” katanya.

Masyarkat Bugis dan Makassar mengenal lima jenis gender dalam kehidupan mereka. Pertama adalah urane (laki-laki), kemudian calabai (laki-laki yang keperempuanan), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang kelaki-lakian), dan terakhir bissu. Pada filosofinya laki-laki ditunjukan pada jempol, calabai untuk telunjuk, perempuan untuk kelingking, calalai untuk jari manis dan bissu untuk jari tengah. Jadi bissu merupakan derajat yang paling tinggi dan berhak menjadi pemegang atau penghubung komunikasi dengan tuhannya.


Selama jadi Bissu tutur kata dan laku kehidupan harus benar-benar tertata. Saidi menggunakan sarung, baju berkancing yang berkerah ketika duduk mengurai ingatannya di teras rumah itu. Dahulu rumah itu adalah kantor sebuah lembaga kesehatan, dengan sebuah tangga yang lurus menghadap badan jalan. Atapnya cukup sederhana, biasanya untuk rumah kerajaan atau rumah para bangsawan Bugis dan Makassar selalu menggunakan tiga susun atap bagian depan. Tapi itu harus dilakukan, tak ada pilihan, tak ada jalan lain, sudah tak ada lagi Arajang’e, tak ada kerajaan, apalagi rajanya. Dan budaya tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja, begitu pikir Saidi.


Tiang salah satu rumah itu dihiasai tanduk binatang, ada ikatan padi, dan beberapa daun sirih. Diikat dengan tidak beraturan. Kini keberadaan Bissu sebagai penasehat tanpa raja mulai dilupakan masyarakat, hanya segelintir saja yang menggunakan jasa Bissu saat keperluan tertentu. “Kemarin, saya baru dari Surabaya. Ada orang Bugis-Makassar yang mau menikah dan akan pakai adat kita itu. Bukan bangsawan tapi punya uang dan ingin melakukannya,” kata Saidi. “Jadi saya bikin semua keperluannya nak. Disini nanti kujahitkan. Nanti saya akan ke sana lagi dan mengatur semuanya,” lanjutnya.

Tak sampai di hal sekecil itu, beberapa ritual sakral pun dapat dilakukan tanpa harus menunggu kesempatan dan waktu yang telah ditentukan atau sesuai petunjuk tuhan. Para bissu bisa saja mengkomersialisasikannya dengan sebuah kesepakatan. Misalnya, media akan meliput sesuatu upacara, maka itu bisa diadakan meskipun hanya untuk kebutuhan gambar. “Kalau mau dilakukan maka bisa saja tapi harus membiayai kegiatan ritual itu,” kata Saidi seraya menyebut beberapa media yang telah melakukan itu, baik nasional maupun internasional.


TAHUN 1950-an di Indonesia terjadi pergolakan besar. Saidi sudah mengingat semuanya. Dia adalah generasi kelima dari Puang Towa dan memiliki garis turunan yang sama dari buyutnya hingga neneknya sendiri.

Di Sulawesi Selatan pergolakan itu pun terjadi dan merupakan pergolakan terpanjang dalam sejarah. Adalah Kahar Muzakkar yang tergabung dalam Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) untuk membentuk dan mencita-citakan Negara Islam Indonesia (NII) melakukan perlawanan selama 15 tahun.


Bissu dianggap sebuah penyelewangan dan pembangkangan dalam ajaran Islam lalu dianggap murtad karena dinilai menyembah berhala dan menyekutukan tuhan. Laskar yang menamakan kelompoknya Pemuda Ansor memulai pengejaran dan membunuh beberapa Bissu. “Dubunuhki nak. Digerek (dipotong) orang,” kata Saidi.


Setelah masa pergolakan DI/TII berakhir dan pemerintahan berganti dari orde lama ke orde baru para bissu kembali tak tenang. Saat itu pergerakan kembali digerakkan guna membumihanguskan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bissu yang dianggap meyakini ajaran dewa dan animisme pun dianggap tak bertuhan seperti komunis. Namanya operasi toba (tobat) untuk mengembalikan kemurnian ajaran islam. Para bissu yang kedapatan akan diminta untuk bertobat dan kembali menjadi lak-laki dan harus mengenakan pakaian laki-laki dalam pergaulan sehari-hari.


Dan saat itu ritual atau kegiatan bissu didiamkan. Tak ada aktifitas sama sekali. Rembesan masalah komunis itu bertahan hingga tahun 1990-an. Bissu masih dianggap sesat dan harus ditiadakan dan pengikutnya terus merosot hingga tak mencapai puluhan orang. Padahal dalam kepercayaan Bissu, untuk melaksanakan ritual harus lengkap 40 orang.


Dari 40 bissu itupula lah terdapat seorang bissu perempuan. Bissu perempuan yang paling tinggi derajatnya karena merupakan turunan orang berdarah bangasawan atau Bissu Pa’tudang. Di masa lalu, dalam epik I Lagaligo, We Tenriabeng saudara Sawerigading adalah seorang bissu perempuan yang langsung diturunkan dari langit.


Menjelang reformasi tahun 1997, sebuah lembaga masyarakat Latar Nusa melihat keterdesakan komunitas Bissu yang terus merosot. Gelombang reformasi membawa angin segar, semua masyarakat dan warga dibebaskan untuk berserikat. “Dulu saya jalan saja, orang-orang teriak dan mengejek-ejek. Tapi saya diam saja,” kata Saidi. “Orang-orang bilang kalau ketemu bissu sial 40 hari.”


Dimasa kelam itu para bissu bertahan hidup dengan keterampilan seadanya. Misalnya membuka warung makan dan yang paling banyak menjadi penata rias pengantin. Pekerjaan melayani raja sudah tak ada lagi, penghasilan pun hilang.


Sebelumnya, kata Saidi, Puang Towa diberikan hak atas 1,5 ha lahan sawah (galung arajang) sebagai hadiah atau mata pencarian untuk kelangsungan hidup dari kerajaan. Tapi sekarang semua tak ada lagi. Jadi tugas utama Bissu sekarang hanya merawat benda pusaka kerajaan yang ada di rumah Arajang. Sebuah bajak sawah dari kayu yang dipercaya turun dari langit. Bajak itu diperlakukan sangat istimewa, di kelambui dengan kain merah dan dibungkus rapat dengan kain merah pula, dengan pengikat rotan.


Ketika seseorang akan melihatnya maka akan dilakukan doa singkat dari sang Bissu lalu membakar lilin. Tempat bajak itu berada tepat di samping kamar istirahat Saidi.


Antropolog Universitas Negeri Makassar Halilintar Lathief, mengatakan keberadaan bissu sekarang seperti sebuah oase yang kering. Ada tapi beberapa sudah keluar dari pakem. Menurutnya, lemahnya posisi bissu ini dipengaruhi oleh sikap pemerintah setempat yang memasukkannya dalam program pariwisata dengan konotasi uang.


Menurut Halilintar, pada sebuah acara penjemputan tamu negara atau hanya kunjungan pejabat baik hanya sekedar jalan-jalan maka dengan mudah dilaksanakan ritual yang dilakukan bissu. Padahal, kata Halilintar, bissu adalah laku kehidupan bukan sekedar tontonan. “Saya harap bukan budaya yang mengikuti keinginan pariwisata, tapi pariwisata yang seharusnya mengikuti kegiatan kebudayaan itu,” katanya.


SAIDI tahu keadaan dirinya yang berbeda dengan teman laki-lakinya. Dia tak nyaman bermain dengan mereka dan selalu ingin bertengkar. Dimasa permainan kecil berlangsung Saidi selalu menjadi penata rias untuk teman-temannya yang akan melakukan permainan keluarga, ada ayah, ibu dan ada yang berperan sebagai anak.


Keluarga Saidi begitu keras mendidiknya. Belajar mengaji dan bekerja layaknya laki-laki. Dia memiliki seorang adik kandung dan tujuh saudara tiri dan hanya Saidi yang waria. Dalam keluarga itu sikap dan sifat semacam Saidi bukanlah hal baru. Adalah neneknya yang menjadi bissu. ”Saya anggap neneku lah yang bisa mengerti saya,” katanya.


Menginjak usia kira-kira 9 tahun, Saidi mulai mengikuti beberapa kegiatan bissu apalagi jika neneknya telibat. “Saya sering dimarahi tapi selalu ikut. Selalu saya dipukul tapi saya tidak menyerah,” ujarnya. “Jadi saya sudah mengerti bissu dan menjadi bissu sejak kecil.”


“Sekarang banyak itu waria yang ingin sekali jadi bissu karena hanya ingin dapat uang. Itu banyak sekali, bahkan ada yang melantik dirinya sendiri. Mabusungi (durhaka mereka),” lanjutnya.


Saat ini jumlah bissu menurut klaim Saidi sudah mencapai 40 orang dan tersebar di beberapa wilayah. Tapi hanya ada satu Puang Towa yang masih hidup, yakni dirinya dari Sigeri. Untuk Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone sudah meninggal. Sementara untuk melakukan pelantikan baru dibutuhkan waktu dan kelengkapan bissu lainnya, dan semuanya tak ada lagi. Raja sudah tak ada juga.


Bila waria biasa suatu ketika bisa menikah, maka berbeda dengan bissu tak ada kata menikah. Tak boleh ada unsur duniawi yang ada dalam dirinya lagi ketika sudah dilantik menjadi bissu. Tapi, dalam buku Empat Menguak Tradisi, Puang Saidi diceritakan menjalin hubungan dengan beberapa pasangan (toboto). Bahkan dijelaskan sudah ada lima pasangan Saidi yang ada. Tiga diantaranya sudah dinikahkan. Syarat kehidupan dengan pasangan laki-laki itu tak boleh lebih dari tiga tahun. “Tidak boleh hidup bersama dengan seorang lelaki berlama-lama, sebab dia kan punya hak untuk berketurunan. Jika dia tidak dikawinkan setelah tiga tahun hidup bersama seorang bissu, berdosalah bissu itu,” kata Saidi dalam buku itu.


Tapi Saidi yakin, bissu tak akan hilang di bumi ini. Dari awalnya 40 bissu yang ada maka itu akan kembali lagi seperti semula. Dan semua kerajaan akan kembali terisi. “Kalau kampung itu ada lima calabai maka satu diantaranya pasti adalah bissu,” katanya.


Dan Saidi bangga menjadi seorang bissu. Menurutnya hal itu adalah takdir dan kehendak dari tuhan. Dan menjadi sebuah kehormatan.


Sementara Halilintar melihat keberadaan bissu mulai tergerus oleh samannya sendiri. Kebanyakan, kata dia, belum memahami benar apa yang dinamakan dengan bissu. Bahkan menjadi bissu begitu mudah. Tak ada ritual khusus, tak ada pembelajaran. “Ini membuat derajat bissu semakin menurun,” katanya. (Eko Rusdianto)



Catatan: Edisi cetak tulisan ini juga dimuat di Majalah GATRA edisi 30 Maret 2011 dengan beberapa perubahan.

http://ekorusdianto.blogspot.com/2011/0 ... n.html?m=1
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

Demikian pula halnya dengan sistem kepercayaan yang dianut; kepercayaan To Lotang selalu dianggap membahayakan dan dijadikan sebagai alat ukur dalam pelaksanaan program pembinaan keagamaan. Keberhasilan program diukur dari jumlah penduduk yang beragama Islam mencapai seratus persen. Untuk itu, berbagai cara ditempuh oleh pemerintah dan masyarakat untuk menghapuskan ajaran kepercayaan To Lotang. Pihak penguasa beranggapan bahwa kehadiran ajaran kepercayaan To Lotang merupakan suatu aib dalam pelaksanaan program tersebut. Sampai sekarang pun, pelajaran pendidikan agama di sekolah-sekolah dasar di daerah itu agama Islam, padahal mayoritas siswanya merupakan penganut ajaran To Lotang.

Kualitas kehidupan beragama tidak dipandang sejauh mana seorang yang beragama secara taat menjalankan syariat agamanya sesuai dengan tuntunannya masing-masing. Akan tetapi, realitas itu diukur dari seberapa banyak penganut agama yang mayoritas di daerah tersebut. Meskipun seorang tidak shalat dan tidak puasa, yang penting beragama Islam. Hal tersebut dianggap lebih baik daripada penganut agama To Lotang yang setia dan taat menjalankan aturan ritual sesuai dengan tuntunan Uwak. Ukuran lainnya adalah pembangunan rumah-rumah ibadah (masjid) dengan menggunakan anggaran yang cukup besar tanpa mempertimbangkan apakah ada umat Islam yang mengisinya atau tidak.

Lebih parah lagi, ada anggapan terhadap agama tradisional seperti To Lotang sebagai ancaman stabilitas masyarakat. Ajaran itu dicurigai dan perlu diawasi dalam setiap langkahnya. Sistem kepercayaan dikhawatirkan akan mempengaruhi akidah umat Islam di sekitarnya, sehingga pemerintah mentoleransi perusakan tempat-tempat ritual penganut kepercayaan.

Dampak buruk yang sampai kini masih dialami oleh masyarakat To Lotang adalah traumatis pada masa lalunya. Mereka selalu dibayang-bayangi oleh peristiwa-peristiwa yang pernah mereka alami. Setiap pendatang selalu dicurigai dengan sikap kehati-hatian, mereka cenderung untuk tidak memberikan informasi secara baik atau terbuka kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, misalnya, dalam upacara-upacara mereka.

http://www.rappang.com/2008/12/kepercay ... t.html?m=1
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

Jumat, 04 Mei 2012
Tidak Semua Waria adalah Bissu

Dalam budaya Bugis masa silam, waria, wandu, atau banci, punya kedudukan terhormat yakni sebagai “penyambung lidah” rakyat dan raja, dengan para dewa. Dalam perjalanannya, peran bissu – begitu kaum waria sakti ini disebut – perlahan menghilang, bahkan nyaris punah gara-gara perubahan iklim politik negeri ini. Kini, mereka yang tersisa, mencoba bangkit kembali.
Kecamatan itu bernama Segeri. Letaknya di Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), sekitar 70 kilometer arah Utara Makassar. Di daerah pesisir Barat Sulawesi Selatan itu, terdapat ratusan tambak penghasil bandeng, kepiting dan udang. Bisa jadi karena orang Sulsel umumnya gemar makan ikan, maka daerah ini bisa dikenal luas. Jalan Trans-Sulawesi, jalur darat dari Makassar ke Manado, juga melintasi daerah ini.
Di Segeri, tepatnya di sekitar Pasar Sentral, rasanya tak ada yang tidak mengenal Eka. Pemilik Salon “Eka” yang sekaligus dikenal sebagai perias pengantin andal. Kata orang, riasan tangan gemulainya bisa membuat pasangan pengantin terlihat lebih cantik dan bercahaya. Tapi selain itu, waria 29 tahun ini juga dikenal masyarakat sebagai satu dari sedikit bissu yang tersisa di Segeri.
Bissu, gampangnya bisa kita sebut sebagai pendeta agama Bugis kuno pra-Islam. Asal katanya bessi, berarti bersih. Para waria yang menjadi bissu dianggap suci, tidak kotor, karena mereka tidak berpayudara dan tidak menstruasi. Selain waria, ada pula bissu perempuan, yaitu mereka yang menjadi bissu setelah mengalami menopause.
Selayaknya pria-pria berjiwa perempuan, Eka dan para waria lain bermata pencaharian yang terkait urusan kawin-mawin. Mereka menangani tata rias, membuat baju pengantin, peralatan pesta, bahkan sampai tata urutan perayaannya. Penghasilannya jauh dari sekadar lumayan. Saat musim hajatan, wedding organizer tingkat kampung macam Eka, bisa menangani lima sampai sepuluh pasang pengantin per hari. Satu pasang tarifnya paling minim Rp 2 juta.
“Penghasilan dari sini, lumayan. Tapi itu ‘kan buat dikasih ke anak buah juga dan beli peralatan. Sama masih buat bantu-bantu keluarga,” tutur Eka, yang ketika ditemui Intisari di rumahnya, sedang menyiapkan baju pengantin dan beberapa perlengkapan lain. Mulai Maret hingga Juli, order pesta nikah sedang mencapai puncaknya. “Biasanya ramai kalau setelah panen tambak dan waktu terang bulan,” tambahnya sambil terus menjahit.
Saat ini Eka memang tengah menikmati hasil jerih payah kehidupannya, setelah bertahun-tahun sempat dilaluinya dalam penderitaan. Dia, seperti juga kebanyakan waria lain, pernah mengalami penolakan dari keluarga dan masyarakat karena dianggap abnormal. Laki-laki kok banci, hardik mereka. Panggilan spiritual menjadi bissu yang kemudian mengangkat derajatnya menjadi “bukan sekadar waria biasa”.
Bertanya hari baik
Dalam bahasa Bugis, waria disebut calabai. Asalnya dari kata sala bai atau sala baine, yang artinya “bukan perempuan”. Karena terlahir sebagai pria tapi bertingkah seperti perempuan, bukan rahasia lagi kalau kemudian sebagian masyarakat mengejek dan mencemooh kaum ini. Tak terkecuali di Sulsel.
Padahal dalam tradisi adat dan budaya Sulsel yang berakar kepada kerajaan Luwu, calabai yang bertransformasi menjadi bissu, sesungguhnya mendapat tempat terhormat. Diriwayatkan dalam Surek Galigo atau naskah-naskah Bugis kuno masa Hindu, Raja Luwu diturunkan dari langit bersama Latimojong dan Lae Lae, yang adalah bissu pertama. Dalam epos-epos La Galigo, bissu juga selalu menjadi penyempurna keberadaan tokoh-tokoh utamanya.
Sejak masa awal sejarah, masyarakat Bugis mempunyai sistem kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi atau To PalanroE. Sistem kepercayaan ini disebut juga attoriolong, atau secara harafiah berarti “mengikuti tata cara leluhur”. Lewat attiorolong diwariskan petunjuk-petunjuk normatif dalam kehidupan masyarakat. Sampai sekarang, kepercayaan ini sebenarnya tidak benar-benar punah.
Dewa tertinggi dalam attoriolong disebut PattotoE, yang diyakini mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan bermacam tugas. Setelah menciptakan alam raya, dewa penentu nasib ini kemudian beristirahat. Untuk memuja PattotoE atau sejak masa Islam disebut juga Dewata SeuwaE, tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantu-pembantunya.
“Ini semacam konsep deisme. Kepercayaan di Sulawesi memang pertemuan antara kepercayaan yang ada di Barat, seperti Jawa atau Kalimantan, dengan Timur, seperti di Papua,” kata Dr Halilintar Lathief, peneliti budaya Bugis yang tinggal di Makassar. “Tapi bissu tidak terkait dengan Tolotang, agama Bugis kuno lain yang pengikutnya sekarang masih banyak di Kabupaten Sidrap,” tambahnya.
Dalam attoriolong, bissu adalah perantara antara langit dengan bumi. Ini dimungkinkan karena bissu menguasai Basa Torilangi, atau bahasa langit yang hanya dimengerti sesama bissu dan para dewa. Lewat bahasa itu, bissu membacakan mantra dan doa dalam pelbagai upacara keagamaan baik bersifat kenegaraan atau kelompok keluarga.
Dalam kehidupan sehari-hari, peran bissu begitu penting, bahkan mencakup hampir semua sendi kehidupan masyarakat Bugis masa silam. Mereka pengabdi dan penjaga tempat penyimpanan benda-benda pusaka atau arajang. Mereka berpartisipasi dalam upacara untuk benda-benda pusaka itu. Kedudukan bissu juga erat dengan istana karena mereka konon adalah penasehat sekaligus turut mendidik putra-putri raja.
Sebagai praktisi spiritual, masyarakat sering bertanya kepada bissu tentang hari-hari baik untuk hajatan dan memulai pekerjaan besar seperti pernikahan, pindahan rumah, atau memulai musim tanam. Saat upacara itu berlangsung, bissu juga berperan menyampaikan ucapan syukur dari empunya hajat kepada dewa-dewa tertentu lewat dialog yang dilakukannya.
Acara besar tahunan masa silam yang melibatkan bissu adalah mappalili. Upacara yang belakangan mulai dihidupkan kembali ini, aslinya diadakan 40 hari siang-malam, dengan melibatkan 40 bissu. Seluruh masyarakat ikut aktif, bahkan membiayai seluruh kegiatan. Masyarakat saat itu meyakini, tanpa mappalili, panen mereka bisa terganggu.
Yang termasuk bergengsi, menurut Halilintar, bissu pula yang melakukan penobatan pemimpin bahkan raja. “Begitu ampuhnya doa bissu ini, sehingga diyakini raja atau pejabat yang tidak dilantik bissu, tidak akan mempunyai kharisma dalam masa kepemimpinannya,” katanya. Agaknya ini yang menimbulkan anggapan bahwa kedudukan bissu lebih tinggi dari pemimpin setempat, karena tidak akan ada pemimpin jika tidak ada bissu.
Para bissu dalam suatu wilayah berhimpun dalam satu lembaga bissu yang dipimpin seorang puang matowa. Sang ketua ini dianggap seseorang yang paling luas pengetahuannya tentang adat, tradisi, serta mampu memimpin. Wakilnya adalah puang lolo, artinya tuan muda, yang juga calon pengganti puang matowa bila suatu saat mangkat. Dwitunggal matowa-lolo ini disebut anreguru, atau guru yang mengajar anak-anak didiknya yang terdiri atas ana’ bissu.
Dalam lembaga bissu banyak terdapat gelar. Seorang bissu ahli pengobatan atau dukun disebut sanro. Bila pandai berbahasa bissu disebut bissu dewata. Bissu keturunan bangsawan disebut bissu patudang. Tradisi yang berjalan beratus-ratus tahun ini membuat gelar dan istilah di setiap lembaga bissu mempunyai banyak perbedaan.
Dipaksa jadi lelaki tulen
Sejarah mencatat, kedatangan Islam ke Sulawesi pada abad 16 mulai mendesak keberadaan bissu. Keyakinan dan ritual yang dilakukan bissu, sempat mendapat tentangan. Namun ajaran Islam yang kemudian perlahan diterima, malah menimbulkan sinkretisme. Mantra-mantra bissu dalam bahasa Bugis kuno tercampur petikan ayat-ayat Al’Quran. Bahkan pada beberapa bagian mantra masih tersisa peninggalan Hindu dan Tolotang.
Ancaman sesungguhnya terjadi pascakemerdekaan. Gerombolan Darul Islam dipimpin Kahar Muzakar mencoba menumpas segala yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di Sulsel. Bissu dan juga kepercayaan tradisional lain mengalami masa cobaan berat. Benda-benda pusaka bissu di rumah-rumah pusaka dimusnahkan. Para bissu dipaksa menjadi lelaki tulen dengan bekerja kasar. Tak ada data pasti, tapi tak sedikit bissu yang terbunuh saat itu, terutama para sanro.
Setelah peristiwa G30S/PKI, tekanan malah semakin berat. Sebuah organisasi kepemudaan yang menggelar operasi bernama Operasi Toba (operasi tobat) memburu bissu dengan alasan menjadi bagian dari gerakan komunis. Mereka dinilai tidak beragama, melakukan perbuatan sirik dan menganut ajaran animisme.
Gawatnya, kala itu muncul doktrin bahwa siapa pun yang melihat bissu atau waria sekalipun, maka doa, pahala dan rezeki selama 40 hari siang-malam akan sia-sia. Karena takut, masyarakat manut. “Akibatnya bila terlihat bissu di kampung, mereka diusir, ditimpuki. Kebanyakan mereka mengungsi berjalan kaki ratusan kilometer dari Pangkep ke Bone. Tanpa makan dan keluar-masuk hutan,” kata Halilintar yang banyak mendengar kisah-kisah sedih dari bissu-bissu tua yang selamat.
Tekanan bertahun-tahun itulah yang membuat bissu kini seolah menjadi makhluk langka. Komunitas yang tersisa diketahui hanya terdapat di Kabupaten Pangkep, Bone, Wajo dan Soppeng. Jumlah tepatnya tidak diketahui, namun dipastikandi tiap kabupaten hanya bisa dihitung pakai jari. Tidak tertutup kemungkinan ada juga bissu-bissu yang terpencar dan tidak terdata.
Padahal pada masa silam, di tingkat kerajaan – sekarang kurang lebih setingkat kabupaten – minimal terdapat 40 bissu. Jumlah itu sesuai syarat penyelenggaraan upacara mappalili. Namun saat ini tidak ada satupun komunitas bisa mencapai angka demikian. Di Segeri misalnya, kini hanya terdapat tak lebih dari empat bissu.
Kendala lain adalah soal beratnya persyaratan menjadi bissu. Untuk menjadi bissu, seorang waria harus mendapat panggilan spiritual, yang bisa berupa mimpi, sakit, atau pertanda lain. Bila si waria sudah bertekad bulat, ia harus magang belajar di rumah puang matowa selama beberapa waktu sebelum dinyatakan siap ditahbiskan dalam upacara irreba. Meski telah melewati masa belajar hingga bertahun-tahun, belum tentu semua bissu akan lulus.
Bissu Eka misalnya, yang ditahbiskan pada 2003, menjalani masa magang selama empat tahun. Perjalanan spiritualnya sendiri diawali lewat mimpi semasa SMP. Dalam mimpinya, ada seorang tua berbaju putih yang menyuruhnya pergi ke rumah pusaka. “Waktu itu saya takut ke sana. Lihat bissu-bissu itu saja takut karena pakaian mereka perempuan, tapi mukanya besar-besar,” kenangnya. Sampai pada mimpi ketiga barulah ia memberanikan diri. Waria bernama kecil Kahar ini mengakui sejak kecil memang merasakan ada kelainan dalam dirinya yang lebih suka berlaku seperti perempuan.
Di rumah puang matowa, Eka mempelajari ilmu-ilmu bissu yang hanya beredar di kalangan mereka. Beruntung dia termasuk cerdas dalam menyerap semua pelajaran dari senior-seniornya. Di sana, Eka juga belajar keterampilan rias pengantin dan tata caranya menurut adat Bugis. Para calon bissu muda saat ini umumnya sudah membekali diri dengan keterampilan semacam ini, karena kehidupan mereka tidak lagi disokong masyarakat seperti masa silam.
Menurut Eka, panggilan spiritual menjadi bissu tidak bisa direkayasa, apalagi sampai berbohong. Sebagai pemimpin, puang matowa juga akan mendapat isyarat tentang adanya waria yang akan datang magang di rumahnya. Sesama bissu juga mendapat semacam anugerah untuk dapat mengetahui basa torilangi, meski tidak ada yang mengajarkan ke mereka.
Seorang bissu idealnya harus dapat menjaga tingkah laku di masyarakat. Sejatinya, seorang bissu menjalani kehidupan spiritual dan menjauhi segala keduniawian. Mereka tidak bisa lagi bersikap genit, seperti umumnya waria muda lain. Penampilan harus senantiasa sopan. Mereka juga wajib berperan dalam upacara-upacara adat jika dibutuhkan.
Kelangkaan bissu tak pelak membuat kualitas mereka kian hari kian menurun. Sebagai pendamping komunitas bissu selama puluhan tahun melalui LSM Padat Daya, Halilintar mengakui hal ini. Ada daerah-daerah tertentu yang belakangan banyak mentahbiskan bissu, tapi kualitasnya dipertanyakan. “Banyak waria yang sudah menjadi bissu tapi tidak paham sepenuhnya tentang bissu itu sendiri,” ungkapnya.
Halilintar juga menyangkan, belakangan di kalangan bissu juga muncul gejala adanya “teman hidup” bissu yang disebut to boto. “Istilah ini sebenarnya adalah untuk ahli ramal kerajaan pada masa lalu, tapi sekarang menyempit menjadi lelaki teman kencan atau pacarnya bissu,” kata pengajar di Universitas Negeri Makassar ini prihatin.
Tidak berkelompok
Sosok bissu sendiri harus diakui memang mengundang eksotika tersendiri karena mereka berasal dari kaum waria. Dengan bentuk fisik pria namun bergaya feminim atau lemah gemulai saja, sudah mampu menyita perhatian orang lain. Apalagi ketika mereka dibalut sebagai bagian dari tradisi, wajar jika beraneka pikiran muncul di benak banyak orang.
Padahal, seperti diungkap Halilintar, dalam Surek Galigo termuat bahwa dari 40 bissu pertama yang turun ke bumi, hanya delapan yang waria. “Entah mengapa yang waria belakangan ini begitu dominan dibanding bissu perempuan,” katanya. Bahkan dalam pemilihan Matowa yang baru-baru ini diadakan di sejumlah komunitas, waria terlihat lebih menguasai gelanggang.
Keberadaan bissu perempuan seolah menghilang. Bisa jadi ini disebabkan karena pengalaman spiritual yang mereka dapat untuk menjadi bissu, didapat melalui proses sangat individual. Apalagi peran bissu dalam masyarakat mengalami kemerosotan semasa Orde Baru berlangsung. Bissu perempuan yang umumnya ada di desa tidak tahu tentang keberadaan sejawatnya.
Saat berada di Pangkep, Intisari sempat menemui Puang Temmi, salah satu bissu perempuan, di rumahnya di desa Kanaungan. Rumah itu seperti umumnya rumah-rumah desa di Sulawesi, berbentuk rumah panggung dan dikelilingi pepohonan jambu mete, mangga, lontar serta persawahan. Di kampungnya, ia dikenal sebagai sanro dengan banyak pasien.
Mak Temmi begitu perempuan tua itu dipanggil, selalu menyambut hangat tamu-tamunya. Tak ada yang tahu berapa usianya. Ia sendiri hanya mengatakan, “Lebih dari 60 tahun.” Mungkin juga lebih. Meski begitu, fisiknya masih terlihat segar dan selalu bersemangat. Sebatang rokok kretek putih buatan lokal selalu menemaninya di kala bercakap-cakap. Di situ kami diberitahu, Mak Temmi sebenarnya “sudah tahu” bakal kedatangan tamu dari jauh. “Cuma belum tahu siapa orangnya,” katanya.
Setiap tamu Mak Temmi untuk urusan bissu, akan ditawari untuk menghadap pusaka miliknya. Sekedar permisi dan mengutarakan niat kedatangan saja. Tempat arajang itu terletak di sebuah ruangan yang terletak di tengah rumah, antara kamar dan dapur. Sebagai syarat, diperlukan beberapa lembar daun sirih. Mak Temmi sendiri yang kemudian mengenalkan para tamu dengan pusakanya itu.
Menurut Eka yang menemani kami, pusaka milik Mak Temmi berbentuk batu-batuan, peci tradisional Bugis, dan sebilah keris. Semua ditempatkan dalam altar dengan bermacam pernak-pernik untuk memperindah. Di sekitarnya ada piring-piring kecil sesaji, serta foto-foto tua leluhur keluarga Mak Temmi. Di bawah altar ditaruh makanan berupa nasi dan lauk pauk untuk sesaji. Aroma kemenyan dan dupa yang dibakar memenuhi ruangan sempit itu.
Pusaka-pusaka semacam ini memang erat kaitannya dengan spiritualitas kaum bissu. Bentuknya bermacam-macam, bisa berupa batu-batuan, senjata, alat pertanian atau bahkan buah-buahan yang sudah mengering. Istimewanya, benda-benda ini didapat dari petunjuk gaib kepada calon pemilik pusaka.
Pusaka berfungsi sebagai simbol adanya ikatan antara kekuatan gaib dengan kelompok atau keluarga tertentu. Kaum bissu meyakini, jika benda-benda keramat ini dirawat baik, maka empunya benda akan senantiasa dibimbing makhluk-makhluk gaib di dalamnya. Namun jika tidak dipelihara, makhluk gaib tidak akan menghiraukan mereka juga, bahkan konon pusaka itu bisa hilang secara misterius.
Hari itu kami beruntung bisa menyaksikan dua upacara kecil yang dipimpin Mak Temmi. Keduanya upacara ucapan syukur atas keberhasilan panen ikan. Satu diselenggarakan di belakang rumah Mak Temmi, sedang yang lain berjarak sekitar tiga kilometer dari sana. Sebagai bissu, Mak Temmi mengadakan dialog dengan dewa-dewa tertentu serta arwah-arwah leluhur. Bahkan ia menggunakan tubuhnya sebagai medium bagi arwah-arwah tertentu dan dapat bercakap-cakap dengan peserta upacara lain.
Selesai upacara, setiap orang akan selalu diminta menyantap makanan yang digelar sebagai sesaji. “Manre, manre,” kata Mak Temmi dalam bahasa Bugis yang berarti makan. Ia menyilakan tetamunya sebagai wujud syukur. Walau perut kenyang sekalipun, setiap orang harus mencicipi makanan yang terhidang. Konon, dalam adat Bugis, yang utama dalam kehidupan adalah mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan. Jika semua sudah terpenuhi, tidak ada keinginan muluk lainnya.
“Ayo. Makan. Kalau kita menolak makan,” bisik bissu Eka, “Bisa saja dengan ketus bissu Temmi bilang, ‘Buat apa lagi hidupmu, kalau tidak untuk makan? Kalau menolak, saya doakan nanti hidupmu malah kesulitan makanan’.” Masalah benar-tidaknya kami tidak tahu, yang jelas cerita itu sempat membuat hati kami kecut.
Tak terbatas waktu
Lekatnya ritual bissu dengan dunia gaib kami saksikan sendiri di rumah Mak Temmi, melalui maggiri. Acara itu semacam demonstrasi kekebalan dengan menusukkan keris ke badan. Biasanya maggiri dilakukan sebagai bagian dalam upacara resmi atau pertunjukan besar kaum bissu. Tapi saat itu Mak Temmi, Eka dan Bissu Mattang, bersedia mempertunjukkannya kepada kami.
Tidak banyak persiapan yang dilakukan. Namun ketiganya harus berpakaian bissu dan sejenak terlihat mengucapkan mantra-mantra. Pertunjukan diawali dengan tari-tarian sederhana diiringi alat musik palapasa. Alat musik itu hanya terdiri atas dua bilah bambu yang dipukulkan satu sama lain. Bunyi-bunyian lain, berasal dari pantat piring dan mangkuk yang saling digesekkan sehingga timbul suara berisik.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, satu persatu bissu mulai ber-maggiri. Keris ditusukkan ke pangkal leher sambil diputar-putar seperti mengebor. Saat melakukannya, sesekali kaki mereka dihentak-hentakan ke lantai. Meski ditusukkan berulang-ulang ke badan, keris sama sekali tidak menembus kulit, bahkan tidak timbul darah atau luka. Beberapa penonton terlihat ngeri dan membuang pandangan.
Saat maggiri, konon bissu melakukannya sambil kesurupan. Ekspresi wajah mereka terlihat biasa saja, namun tatapan matanya seperti tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sementara tubuh mereka mengikuti hentakan-hentakan palapasa yang ritmenya tidak beraturan.
Uniknya, seorang bissu tidak bisa menghentikan maggiri jika tidak disadarkan bissu lain dengan cara dipegang tangannya. Jika tidak disadarkan, acara itu bahkan bisa berlangsung seharian. “Kalau kami maggiri di depan para bissu, kadang kami iseng bercanda, ada bissu-bissu yang kami biarkan maggiri sampai lama, sampai pagi,” kisah Eka tertawa-tawa.
Bergelar haji
Meski akrab dengan dunia gaib, bissu tidak sudi jika dikatakan tak beragama. Setidaknya para bissu mengaku mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat Bugis sekaligus agama yang dianut sejak kecil, yaitu Islam. Ibadah sholat dikerjakan sehari-hari sebagai lelaki.
Memasuki usia senja, beberapa bissu bahkan mendalami agama lebih serius. Mereka semakin menata hidup dengan beribadah haji, namun tanpa menanggalkan status kebissuannya. Beberapa di antaranya bahkan menduduki jabatan penting, seperti Matowa dari Bone yaitu Haji Daeng Tawero dan Matowa dari Wajo adalah Haji Janna. Beberapa bissu juga belakangan diketahui berumah tangga.
Dalam lembaga bissu, ketentuan tentang pengunduran diri seorang bissu tidak terlalu jelas. Ikatan hanya terjadi akan kesakralan irreba yang merupakan kontrak spirtual mereka dengan para dewa. Konon, tak sedikit bissu yang melanggar ketentuan dari dewa kemudian mendapat celaka. Misalnya bila mereka melakukan tindakan asusila.
Di tengah derasnya hujaman budaya global di Sulsel, bissu tetap mencoba bertahan. Setidaknya eksistensinya di masyarakat perlahan disegarkan kembali. Bukan hanya sebagai sekadar atribut budaya, namun juga sebagai manusia yang berbudaya.
Belahan Jiwa Bissu Muda
Sesungguhnya tidak banyak yang bisa diungkap dari tradisi bissu dan kehidupan sehari-harinya di masa silam. Sosok dan perilaku mereka relatif tidak terlalu terbuka, sementara masyarakat sendiri tidak terlalu campur tangan atau ambil peduli. Terutama yang menyangkut menyangkut kehidupan seksual mereka.
Tidak hanya menyangkut penampilan dan perilaku, karena terikat spiritualitasnya, kaum bissu sebenarnya memiliki pantangan untuk melakukan hubungan seks. Jika belakangan ini muncul kecenderungan para bissu mempunyai teman hidup yang disebut to boto, tentu ini jadi gunjingan empuk di masyarakat. To boto atau ada yang menyebutnya kaik, tentulah pria.
Bissu Eka menepis anggapan bahwa to boto adalah kekasih, layaknya hubungan cinta lelaki-perempuan. “Dia itu pendamping, orang yang membantu bissu sehari-hari,” tegasnya. Pria bernama Rustam, to boto-nya sekarang, sukarela datang ke rumahnya dan tinggal bersama sejak lebih dari dua tahun lalu. Sebelum tinggal bersamanya, Rustam telah beristri. Bahkan Eka sempat berurusan dengan polisi gara-gara to boto ketiganya ini.
Menurut Eka, bissu harus melepaskan to boto jika telah hidup bersama selama tiga tahun. To boto itu kemudian harus dinikahkan dengan orang lain atas tanggungan bissu. “Karena kita dianggap telah menghalangi rejekinya, karena selama tiga tahun dia tidak bergaul sama perempuan,” katanya, “Setahun lagi, saya akan lepas dia.”
Halilintar Lathief mengungkapkan, jika memang bissu berniat mencari pacar, sebenarnya hal itu semudah menjentikkan jari. “Di antara ilmu yang mereka kuasai, ada ilmu-ilmu pemikat, seperti misalnya cenning rara,” katanya. Ilmu semacam ilmu pelet ini bisa dipakai untuk memikat siapa saja, baik lawan maupun sesama jenis. Bahkan bisa dipakai untuk berdagang atau merias pengantin agar terlihat cantik di mata tamu undangan.
Untuk mengendalikan libido, lanjut Halilintar, dalam tradisi Bugis kuno yang juga dianut bissu masa lalu, terdapat ajaran paneddineng parinnyameng. Artinya “khayalan yang membawa nikmat”, atau kira-kira tindakan yang bisa memuaskan libido tanpa harus berhubungan seks, namun melalui proses spiritual. “Walau mitos ini lama sekali, tapi masih ada aliran-aliran tertentu di Bugis yang mempraktekkannya sekarang ini,” katanya. Sayang sekali, bissu masa kini sudah tidak ada yang mempelajarinya.
(kampungbugis)

http://sejarahbone.blogspot.com/2012/05 ... u.html?m=1

Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM !
Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM ! Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

Luka Ammatoa Masih Menganga
Ditulis: 17 - Mar - 2008
Oleh: admindes

Bagi komunitas Ammatoa, firman Tuhan turun ke bumi 40 juz, bukan 30. Mereka mengalami pengucilan dan kesewenangan, mulai dicap sesat hingga diserobot tanah leluhurnya.

Jika peraturan daerah (perda) syariat Islam di Bulukumba, Sulawesi Selatan, diterapkan dan dijadikan patokan, komunitas Ammatoa Kajang barangkali tak pantas disebut Islam. Orang Ammatoa tak kenal huruf Arab. Lagi pula, mereka punya paham sendiri soal kitab suci. Mereka punya Pasang Ri Kajang yang terdiri dari 10 juz.”Tuhan sesungguhnya menurunkan firman buat manusia setebal 40 juz. Yang 30 juz, al-Quran itu, ayat Tuhan buat orang lain. Sedangkan buat Ammatoa 10 juz saja, dan itu tertuang dalam kitab lontara Pasang Ri Kajang,” kata Puang Matoa, kepala komunitas di Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.

Orang Ammatoa betul-betul memegang teguh kitab lontara itu. Pasang ri Kajang menyimpan pesan-pesan luhur. Yakni, penduduk Tana Toa harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Lalu, harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. Orang Ammatoa juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. Pasang ri Kajang juga mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya.

Di luar itu, Kajang juga punya kisah yang barangkali akan membuat sebagian orang Islam mencibir. Syahdan, tersebutlah ulama bernama Datuk Ri Tiro. Dia menyebarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan. Datuk Ri Tiro lalu berjumpa dengan Ammatoa. Maka, terjadilah perkelahian seru. Saking hebatnya, adu kadigdayaan itu tak memunculkan pemenang maupun pecundang. Kesaktian sama-sama seimbang.
Orang Ammatoa mendalami betul kisah ini. Mereka lalu memahami, tradisi dan Islam tak boleh, dan tak bisa, saling mengalahkan. Bagi mereka, Islam di Tana Toa adalah soal batiniah, sedang urusan syariat biar orang luar saja yang mengurus.

Kisah macam itu tentu saja suka dianggap irasional—sekadar bumbu hidup dari orang-orang yang selama ini lebih dianggap sebagai “minoritas terpencil”. Kerapkali mereka dinilai sebagai kelompok terbelakang, atau penganut “budaya rendah”. Tak sedikit yang mengira, Ammatoa di Kajang hanya sekumpulan suku terasing dengan paham Animisme.

Para pendukung syariat Islam, lebih-lebih, akan mencap orang Ammatoa sesat. Apalagi jika melihat orang Ammatoa yang tampaknya tak pernah salat, semakin teballah semangat mereka untuk melakukan jihad dan dakwah di tanah Kajang.

Pernah, di tahun 1980an, sekelompok mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Makassar, datang ke Kajang. Mereka hendak melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN), menyebarkan ajaran agama. Para mahasiswa lama beradu gagasan dengan orang Ammatoa. Mahasiswa-mahasiswa itu nyaris frustasi. Menurut mereka, nalar orang Ammatoa tak bisa diarahkan, orang Ammatoa tak bisa paham Islam.

Maka, setelah keluar dari tempat KKN itu, para mahasiswa menyebarkan ceritanya. Dan, kian kukuhlah citra bahwa Ammatoa benar-benar terbelakang. “Orang-orang Ammatoa adalah suku terpencil yang sungguh pantas untuk diubah,” kata sebagian peserta KKN.

Demikianlah orang Ammatoa dipersepsikan dan diperlakukan. Orang Ammatoa pun pernah mengalami nasib yang lebih pedih. Mereka dianggap sebagai kelompok yang perlu disingkirkan. Saat Kahar Muzakkar menguasai Sulawesi Selatan, orang Ammatoa dikafir-kafirkan. Mereka mendapat perlakuan tak ramah. Suatu ketika, pasukan Kahar Muzakkar tiba-tiba datang dengan parang dan pedang. Mereka meradang ketika melihat penduduk-penduduk desa di Tana Toa tak mau tunduk dan bayar upeti.

Begitu pula, lantaran punya keyakinan yang tak masuk daftar resmi negara, orang Ammatoa nyaris seperti tak dianggap sebagai warga negara. Belum lama ini, mereka harus menerima nasib pahit, untuk ke sekian kalinya. Tanah-tanah leluhur mereka diserobot, diklaim sepihak oleh orang lain. Yang menyedihkan, negara malah melindungi aksi-aksi penyerobotan itu.

Saat itu, ratusan peluru menghujani tubuh-tubuh ringkih petani tak berdosa, hanya karena mereka menuntut hak kepemilikan tanah. Penderitaan menjadi sempurna ketika pengadilan memenangkan PT Lonsum, sebuah perusahaan besar yang lama beroperasi di Bulukumba. Melalui bukti sertifikat, PT Lonsum berhasil memenangkan perkara. Perusahaan ini sukses mengantongi kepemilikan tanah tak kurang dari 500 hektar di Kajang, yang sebagian masih milik adat Tana Toa.

Melalui proses pengadilan, yang terlihat begitu jauh dari rasa keadilan itu, orang Ammatoa harus melepas tanahnya. Ya, orang Ammatoa hanya tahu tanah sebagai suatu yang sakral di Tana Toa. Tapi, itu ternyata tak lebih dihargai ketimbang tanah sebagai sebuah properti. Kitab lontara juga tak pernah dianggap, negara hanya mengakui sertifikat. Dan, bagi adat di Ammatoa, yang tak mengenal tanah sebagai barang yang diperjualbelikan, sertifikat tentu menjadi sesuatu yang aneh. Di Tana Toa, tanah adalah noktah budaya, yang tanpa itu istilah Ammatoa tak mungkin ada.

Tradisi semacam itu telah hidup ratusan tahun. Mereka tak pernah berulah, apalagi berniat membangun negara. Toh, meski usia adat Ammatoa jauh lebih tua dari negara RI itu sendiri, tetap saja hukum-hukum mereka tak pernah dihargai.

Dongeng rakyat, legenda, syair mistik milik Ammatoa juga cuma jadi bahan cemoohan oleh orang luar. Hanya Puang Matoa, si pemimpin Ammatoa, sendirilah yang mengerti bahwa mereka sendiri harus menyiasati hidup dan kehidupan Kajang yang kian didera dunia luar yang begitu cepat berubah. Kisah-kisah kecil itu hanya bagian dari upaya untuk bertahan dari goncangan dunia luar tersebut.

Dan, hingga kini, Ammatoa tetap hidup dengan tradisi itu, di pedalaman, nyaris terisolasi. Orang luar suak mengidentikkan kesunyian Tana Toa itu dengan ilmu gaib dan supranatural. Sebuah kawasan yang gelap, senyap, dan asing. Belum lagi kesan kumuh yang terus melekat. Kondisi semacam itu, serta kesan adanya aura mitis itu membuat orang luar mudah melabelinya sebagai “daerah tak beragama”. Tapi, sungguhkah?

“Tidak juga,” kata PM Laksono, antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. “Ammatoa mengingatkan betapa penting perspektif hidup yang reflektif,” ujarnya. “Dalam suasana hidup yang seperti ini, Puang Matoa berani menjalani hidup paling miskin di antara yang miskin. Kalau semua orang ditakdirkan kaya, maka dia yang paling terakhir kaya.” Jadi, yang jadi masalah, negara, agama (Islam) atau Ammatoa? Desantara / M.Nurkhoiron

http://www.desantara.or.id/03-2008/977/ ... -menganga/

Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM !
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM

Post by Laurent »

http://kpadnunukan.com/php/index.php/be ... si-selatan

HAK MINORITAS (Eksistensi Identitas Kepercayaan Tolotang Towani di Amparita Sulawesi Selatan)

Berikut intisari yang terkandung dalam buku yang di tulis oleh Mega Oktaviani, S.EI yang merupakan Mahasiswi asal Kabupaten Nunukan yang sedang menempuh Pendidikan S2 Kota yogyakarta yakni di Universitas Islam Indonesia, FAI, Jurusan ekonomi islam.

Buku ini menceritakan tentang Komunitas Tolotang Towani yang merupakan kepercayaan lokal di Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan, dimana Komunitas Tolotang menghadapi sejumlah problem di dalam memandang identitas kebudayaan dan keyakinan mereka. Komunitas ini di perhadapkan oleh sejumlah perubahan sosial, politisasi keagamaan, politik identitas dan penyebaran agama resmi pemerintah. Sebuah komunitas beragama yang tidak banyak diperhatikan orang. Upaya untuk mengakui eksistensi mereka, dilakukan dengan menghadirkan aspek terpenting dari agama Tolotang ini, yakni salah satunya setiap KTP di tulis “Tolotang Hindu”, agar mereka dapat di akui dan mendapatkan hak-hak eksistensi mereka. Tolotang Towani dianggap memiliki banyak persamaan dengan ajaran Hindu sehingga di kategorikan sebagai Hindu. Secara struktural Tolotang Towani menganut Hindu, namun secara kultural masih tetap pada ajarannya. Tolotang pada mulanya adalah komunitas yang tinggal di Wajo. Sekitar abad ke-17 mengalami gelombang yang sangat dahsyat, sehingga kerajaan Wajo secara resmi masuk agama Islam. Kemudian menyampaikan kepada penduduk agar masuk ke agama yang dia anut. Namun ini tidak berlaku pada penduduk desa Wani. Mereka menolak dan terpaksa meninggalkan ke Kerajaan Sidenreng.

Sistem sosial masyarakat Towani Tolotang merupakan aplikasi dari tata cara keagamaan yang membentuk suatu pranata dan interaksi sosial antara masyarakat. Upacara-upacara keagamaan seperti upacara pertanian, menaiki rumah baru, menyambut kelahiran, perkawinan, Massempe’ (hari raya Towani Tolotang) dan sebagainya, jelas mempunyai arti dan tujuan, yaitu agar mereka selamat dan sejahtera dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan itulah diperlukan adanya kebersamaan dan pada saat berkumpul terjadi interaksi sosial antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya. Dalam setiap upacara keagamaa itu, semua segi kehidupan tentunya tidak dapat terlaksana tanpa adanya kerjasama antara anggota masyarakat, pada saat pelaksanaan upacara ini dapat dilihat nilai-nilai sosial yang ditimbulkannya, serta dapat disaksikan secara nyata nilai-nilai agama sungguh memberi arti bagi perilaku sosial masyarkat Tolotang.Sistem sosial masyarakat Towani Tolotang merupakan aplikasi dari tata cara keagamaan yang membentuk suatu pranata dan interaksi sosial antara masyarakat. Upacara-upacara keagamaan seperti upacara pertanian, menaiki rumah baru, menyambut kelahiran, perkawinan, Massempe’ (hari raya Towani Tolotang) dan sebagainya, jelas mempunyai arti dan tujuan, yaitu agar mereka selamat dan sejahtera dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan itulah diperlukan adanya kebersamaan dan pada saat berkumpul terjadi interaksi sosial antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lainnya. Dalam setiap upacara keagamaa itu, semua segi kehidupan tentunya tidak dapat terlaksana tanpa adanya kerjasama antara anggota masyarakat, pada saat pelaksanaan upacara ini dapat dilihat nilai-nilai sosial yang ditimbulkannya, serta dapat disaksikan secara nyata nilai-nilai agama sungguh memberi arti bagi perilaku sosial masyarkat Tolotang.

Seperti telah di paparkan di atas, komunitas Tolotang lari dari tempat tinggalnya semula demi menghindari desakan agama Islam. Para leluhur menyingkir dari Wajo dan lebih memilih Amparita agar bisa mempertahankan praktik ritual dan kepercayaan mereka. Rasa aman dan nyaman di Amparita ternyata tidak berlangsung lama, sebab pada tahap berikutnya orang-orang Tolotang terpaksa melakukan tata cara kawin dan pemakaman secara Islam. Keadaan ketika orang-orang Tolotang melaksanakan tata cara kawin dan di kubur secara Islam ini berlangsung cukup lama. Barangkali hal ini lah yang menyebabkan orang-orang Tolotang lantas secara nominal dianggap sebagai bagian dari Islam. Pada masa penduduk Jepang, kebijakan Kerajaan Sidenreng terhadap komunitas ini berubah. Syekh Jamal Padelo selaku qali Sidenreng dan Imam Amparita, La Palingae, pada Tahun 1944 melarang orang-orang Tolotang kawin secara Islam karena mereka tidak mau shalat. Hal ini bermula ketika ada orang Tolotang di desa Walatedonge yang meninggal dunia namun imam setempat tidak mau menyembahyangi mayat tersebut. Kejadian ini lantas memicu perdebatan di kalangan pejabat pemerintah Jepang di Sidenreng Rappang. Setelah di adakan pertemuan para imam di wilayah Sidenreng dan Rappang dikeluarkanlah larangan di atas. Lebih perihatin lagi, organisasi islam atau oknum-oknum yang memeluk agama islam yang mengintimidasi kepercayaan Tolotang, bahkan memaksa mereka untuk menghapus kepercayaan tersebut serta memeluk agama islam padahal semua mengetahui islam adalah agama Universal. Namun nilai-nilai atau pesan-pesan nabi tidak diterapkan dengan baik. Buku ini memberikan sedikit pencerahan buat agama islam dan lainnya untuk saling menjaga dan menghargai serta bertoleransi pada konsep mu’amalah. Uraian diatas sebagian kecil isi dari buku “Hak Minoritas” Untuk para pembaca yang berminat untuk mengetahui seluruh isi buku ini dapat langsung ke Kantor Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi (KPAD). (Soliter*)

Makassar : Penghancuran Agama Bissu & Towani oleh ISLAM !
Mirror
Faithfreedom forum static
Post Reply