INDONESIA: hukum Syariah mengancam kesatuan
Posted: Thu Jul 27, 2006 4:52 am
http://www.faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?t=22962
Indonesia :hukum Syariah mengancam kesatuan
Ridarson Galingging, Chicago
Kepala Mahkamah Agung yang baru terpilih kembali, Bagir Manan, bukan hanya perlu memerangi korupsi dlm badan kehakiman tetapi juga harus memastikan agar badan yuridis tertinggi negara ini meninjau kembali peraturan2 Shariah yg tidak sesuai dgn Hak Azasi Manusia internasional.
Bukti cukup dan nyata dari berbagai bagian Indonesia menunjukkan bahwa kelompok agama minoritas, termasuk Muslim yg bukan bagian dari kelompok dominan, terancam oleh peraturan yg didasarkan pada Shariah. Peraturan2 ini juga melahirkan fenomena "polisi moralitas", yaitu kelompok2 yg seenaknya menghukum orang.
Peraturan2 yg diinspirasi Shariah, spt peraturan ttg sex, minuman keras, judi dan kelakuan umum di provinsi2 dan walikota harus ditinjau kembali karena mereka akan menciptakan perpecahan politis dan etnis.
Peraturan Perundang2an ini memiliki potensi membahayakan kesatuan negara karena masa **** atas esensi pluralisme dan ideologi negara, Pancasila. Indonesia adalah negara pluralis, yg terdiri dari lebih dari 400 kelompok etnis dgn adat masing2. Kalau pluralisme ini hilang, maka masa depan Indonesia sbg negara kesatuan juga akan hilang.
Pemberlakuan Shariah hanya akan mengipas pemberontakan regional dan menghancurkan kebebasan politik dan demokrasi. Shariah akan menjadikan non-Muslim sbg warga kelas dua, mengancam kelompok2 spt Ahmadiyah yg bukan bagian dari Islam dominan dan menjamin status kelas dua bagi wanita.
Di Tangerang, peraturan perundang2an menentukan bahwa setiap wanita yg ‘berkelakuan mencurigakan’ di jalanan setelah pk 7 malam akan ditahan sbg WTS. Sejumlah pasal dlm Peraturan Perundang2an ini didasarkan pada prekonsepsi, asumsi dan kecurigaan yg menimbulkan berbagai interpretasi berbeda.
Di Sulawesi Selatan, sejumlah daerah mewajibkan wanita pegawai negeri agar mengenakan seragam Islam. Pejabat2 pemerintah diwajibkan menulis dan membaca bahasa Arab. Di Padang, pemerintah daerah mewajibkan semua anak perempuan, terlepas dari agama mereka, utk mengenakan jilbab.
Depok, Jakarta Selatan, sedang mempersiapkan Peraturan Perundang2an ttg WTS, alkohol dan moralitas. Padang Pariaman, Bengkulu, Batam, Aceh, Cianjur, Tasikmalaya memiliki peraturan serupa. Dewan Ulama Jakarta sedang mendiskusikan undang2 moralitas dgn polisi dan parlemen setempat.
DPR, diwakili oleh kelompok2 Muslim garis keras (maaf, Muslim tulen) dan partai2 politik sedang menyusun UU APP (UU anti Pornografi), yg akan menghancurkan kebebasan berekspresi dan akan mensahkan campur tangan Negara dalam urusan pribadi masing2 warga.
Sekneg Yusril Ihza Mahendra secara terbuka mendukung UU yg memaksakan Muslim dan non-Muslim di Nangro Aceh Darussalam utk diadili di Pengadilan Syariah. Ini jelas serangan terbuka terhdp Pancasila, UUD 45 dan Piagam HAM yg ditandatangani dan diratifikasi Indonesia.
Memberlakukan satu sistim hukum agama yg tidak dipraktekkan semua warga menyerang jantung pluralisme Indonesia.
Meninjau kembali peraturan memecah belah ini akan menguji keberanian dan kemerdekaan Mahkamah Agung dlm mempertahankan UUD Negara, khususnya saat golongan mayoritas mencoba menekan golongan minoritas.
Para pendukung UU ala shariah ini menegaskan bahwa syariah ini langsung diperintah oleh Tuhan, tanpa mediasi manusia dan setiap oposisi politik dianggap sbg tindakan murtad ataupun penodaan terhdp Islam. Mereka menempatkan sistim shariah bebas dari debat, kritik dan tanggung jawab. Ini jelas serangan terhdp Pancasila dan kebebasan2 dasar yg didengungkannya.
Meninjau kembali peraturan ala shariah ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak yuridis. Pemerintah pusat, dibawah Hukum Otonomi Regional juga memiliki kekuatan hukum utk mencegat peraturan yg tidak sesuai dgn UU yg lebih tinggi dan konstitusi. Namun pihak eksekutif sekarang ini sama sekali tidak menunjukkan kemauan, takut karena serangan politik dari kaum radikal.
Jadi dgn kegagalan pemerintah pusat utk mempertahankan UU nasional, kelompok2 minoritas dan NGO harus lebih aktif dalam menantang UU ala shariah ini.
Tanpa tindakan hukum oleh NGO dan kelompok2 minoritas utk membawa tantangan ini ke Mahkamah Agung, para hakim tidak dapat memulai peninjauan kembali. Berdasarkan UU Mahkamah Agung, hakim hanya bisa melakukan peninjauan kembali kalau peraturan ybs ditantang dan diajukan kpd MA. Kalau tidak, MA tidak memiliki kuasa utk memulai peninjauan kembali tsb.
------------------------------
Penulis adalah dosen hukum di Universitas Yarsi di Jakarta dan kandidat doctor di the Northwestern University School of Law di Chicago. Ia dapat dihubungi di [email protected].
Siapapun yg mendukung Shariah harus ditahan karena merusak kesatuan Negara !
Indonesia :hukum Syariah mengancam kesatuan
Ridarson Galingging, Chicago
Kepala Mahkamah Agung yang baru terpilih kembali, Bagir Manan, bukan hanya perlu memerangi korupsi dlm badan kehakiman tetapi juga harus memastikan agar badan yuridis tertinggi negara ini meninjau kembali peraturan2 Shariah yg tidak sesuai dgn Hak Azasi Manusia internasional.
Bukti cukup dan nyata dari berbagai bagian Indonesia menunjukkan bahwa kelompok agama minoritas, termasuk Muslim yg bukan bagian dari kelompok dominan, terancam oleh peraturan yg didasarkan pada Shariah. Peraturan2 ini juga melahirkan fenomena "polisi moralitas", yaitu kelompok2 yg seenaknya menghukum orang.
Peraturan2 yg diinspirasi Shariah, spt peraturan ttg sex, minuman keras, judi dan kelakuan umum di provinsi2 dan walikota harus ditinjau kembali karena mereka akan menciptakan perpecahan politis dan etnis.
Peraturan Perundang2an ini memiliki potensi membahayakan kesatuan negara karena masa **** atas esensi pluralisme dan ideologi negara, Pancasila. Indonesia adalah negara pluralis, yg terdiri dari lebih dari 400 kelompok etnis dgn adat masing2. Kalau pluralisme ini hilang, maka masa depan Indonesia sbg negara kesatuan juga akan hilang.
Pemberlakuan Shariah hanya akan mengipas pemberontakan regional dan menghancurkan kebebasan politik dan demokrasi. Shariah akan menjadikan non-Muslim sbg warga kelas dua, mengancam kelompok2 spt Ahmadiyah yg bukan bagian dari Islam dominan dan menjamin status kelas dua bagi wanita.
Di Tangerang, peraturan perundang2an menentukan bahwa setiap wanita yg ‘berkelakuan mencurigakan’ di jalanan setelah pk 7 malam akan ditahan sbg WTS. Sejumlah pasal dlm Peraturan Perundang2an ini didasarkan pada prekonsepsi, asumsi dan kecurigaan yg menimbulkan berbagai interpretasi berbeda.
Di Sulawesi Selatan, sejumlah daerah mewajibkan wanita pegawai negeri agar mengenakan seragam Islam. Pejabat2 pemerintah diwajibkan menulis dan membaca bahasa Arab. Di Padang, pemerintah daerah mewajibkan semua anak perempuan, terlepas dari agama mereka, utk mengenakan jilbab.
Depok, Jakarta Selatan, sedang mempersiapkan Peraturan Perundang2an ttg WTS, alkohol dan moralitas. Padang Pariaman, Bengkulu, Batam, Aceh, Cianjur, Tasikmalaya memiliki peraturan serupa. Dewan Ulama Jakarta sedang mendiskusikan undang2 moralitas dgn polisi dan parlemen setempat.
DPR, diwakili oleh kelompok2 Muslim garis keras (maaf, Muslim tulen) dan partai2 politik sedang menyusun UU APP (UU anti Pornografi), yg akan menghancurkan kebebasan berekspresi dan akan mensahkan campur tangan Negara dalam urusan pribadi masing2 warga.
Sekneg Yusril Ihza Mahendra secara terbuka mendukung UU yg memaksakan Muslim dan non-Muslim di Nangro Aceh Darussalam utk diadili di Pengadilan Syariah. Ini jelas serangan terbuka terhdp Pancasila, UUD 45 dan Piagam HAM yg ditandatangani dan diratifikasi Indonesia.
Memberlakukan satu sistim hukum agama yg tidak dipraktekkan semua warga menyerang jantung pluralisme Indonesia.
Meninjau kembali peraturan memecah belah ini akan menguji keberanian dan kemerdekaan Mahkamah Agung dlm mempertahankan UUD Negara, khususnya saat golongan mayoritas mencoba menekan golongan minoritas.
Para pendukung UU ala shariah ini menegaskan bahwa syariah ini langsung diperintah oleh Tuhan, tanpa mediasi manusia dan setiap oposisi politik dianggap sbg tindakan murtad ataupun penodaan terhdp Islam. Mereka menempatkan sistim shariah bebas dari debat, kritik dan tanggung jawab. Ini jelas serangan terhdp Pancasila dan kebebasan2 dasar yg didengungkannya.
Meninjau kembali peraturan ala shariah ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak yuridis. Pemerintah pusat, dibawah Hukum Otonomi Regional juga memiliki kekuatan hukum utk mencegat peraturan yg tidak sesuai dgn UU yg lebih tinggi dan konstitusi. Namun pihak eksekutif sekarang ini sama sekali tidak menunjukkan kemauan, takut karena serangan politik dari kaum radikal.
Jadi dgn kegagalan pemerintah pusat utk mempertahankan UU nasional, kelompok2 minoritas dan NGO harus lebih aktif dalam menantang UU ala shariah ini.
Tanpa tindakan hukum oleh NGO dan kelompok2 minoritas utk membawa tantangan ini ke Mahkamah Agung, para hakim tidak dapat memulai peninjauan kembali. Berdasarkan UU Mahkamah Agung, hakim hanya bisa melakukan peninjauan kembali kalau peraturan ybs ditantang dan diajukan kpd MA. Kalau tidak, MA tidak memiliki kuasa utk memulai peninjauan kembali tsb.
------------------------------
Penulis adalah dosen hukum di Universitas Yarsi di Jakarta dan kandidat doctor di the Northwestern University School of Law di Chicago. Ia dapat dihubungi di [email protected].
Siapapun yg mendukung Shariah harus ditahan karena merusak kesatuan Negara !