TEMPO Selusur : Pria Berjenggot di Bilik Sembilan

Khusus ttg sepak terjang/sejarah jihad dan penerapan Syariah di INDONESIA & negara jiran (MALAYSIA)
Post Reply
Sabilla
Posts: 1310
Joined: Mon Jul 20, 2009 8:23 pm

TEMPO Selusur : Pria Berjenggot di Bilik Sembilan

Post by Sabilla »

RABU, 17 Maret 2010
Pria Berjenggot di Bilik Sembilan

Image

SEPASANG suami-istri datang ke warung Internet di lantai dua rumah toko Multiplus di Pamulang, Banten, menjelang tengah hari, Selasa pekan lalu. Sang suami yang menyewa komputer. Istrinya keluar lagi, menuju Salon Rinova di kompleks ruko yang sama.

Seorang berperawakan tinggi besar dan berjenggot datang beberapa menit kemudian. Ia segera ke lantai dua toko itu, mengambil tempat bilik komputer nomor sembilan. Sidik, petugas Multiplus yang berjaga di lantai satu, mengenalinya. ”Dia sudah tiga kali ke sini,” kata pemuda 20 tahun ini.

Tak berapa lama, datang lagi seorang pria. Ia pun menuju warnet, tapi segera turun dan keluar. Tak lama ia datang lagi bersama tujuh orang bersenjata lengkap. Mereka menyerbu. Sidik mendengar suara tembakan beberapa kali. Ia diam ketakutan. Belakangan ia mengetahui, pria berjenggot itu tewas ditembak anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian.

Dialah pria yang tinggal di Jalan Asem, sekitar 300 meter dari Multiplus. Kepada para tetangga, ia mengaku bernama Yahya Ibrahim, bekerja di ruang pamer mobil dan sepeda motor. Tapi sehari kemudian, Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengumumkan Yahya adalah Dulmatin, tersangka teroris yang diburu sejak 2002. ”Tingkat kesalahannya 1 dibanding 100 ribu triliun,” katanya.

DUA pemuda duduk di halte bus Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Yang pertama Fathurrahman al-Ghozi, veteran Afganistan asal Madiun, Jawa Timur. Yang lain Abdul Jabar, pemuda 33 tahun. Suatu siang pada Juli 2000, mereka mengamati target serangan: rumah Duta Besar Filipina.

Jabar bertanya tentang alasan pemilihan sasaran. Yang ditanya balik bertanya, ”Kau tahu kamp Abubakar?” Jabar mengaku pernah melihat berita televisi tentang serangan tentara Filipina ke kamp pelatihan militer kelompok Jamaah Islamiyah di Mindanao, wilayah selatan negara itu. Ghozi menetap di kamp Abubakar sejak 1996, dan baru tiba di Jakarta beberapa hari sebelum pengamatan. ”Kamp itu sudah lenyap,” Ghozi menjelaskan.

”Kita akan membalas dendam untuk itu.” Mereka mengamati sasaran hingga sore, dan menemukan fakta penting: setiap tengah hari Duta Besar pulang untuk makan siang. Pada saat yang sama, Amrozi, 37 tahun, yang tinggal di Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, sibuk mencari mobil pembawa bom. Dalam waktu singkat, ia mendapat Suzuki van merah.

Ia mengikis nomor kerangka mobil itu. Di tengah kesibukan, ia menerima telepon dari Dulmatin, yang menyuruhnya membeli bahan kimia untuk membuat bom: 200 kilogram potasium klorat, 25 kilo sulfur, dan 25 kilo bubuk aluminium.

Mobil dan bahan pesanan itu segera dibawa ke rumah Dulmatin di Pekalongan, Jawa Tengah. Bom segera dirakit. Tuan rumah mencampur bahan kimia dengan tangan: sembilan kilo potasium klorat untuk setiap tiga kilo sulfur dan tiga kilo bubuk aluminium. Tiap porsi dimasukkan ke wadah plastik, dilubangi atasnya buat memasukkan detonator. Dulmatin lalu memasukkan tas ke mobil, berisi detonator jarak jauh yang dimodifikasi. Walkie-talkie bekas dipakai untuk memicu ledakan dari jarak maksimal 500 meter.

Dulmatin, Amrozi, dan enam orang lainnya bergegas menuju Jakarta. Di Ibu Kota mereka bertemu dengan Abdul Jabar dan Usman, anggota komplotan lainnya. Waktu serangan telah diputuskan, 1 Agustus 2000. Sisa hari sebelum tanggal itu mereka manfaatkan buat memasang sumbat dan kawat peledak.

Pada hari serangan, Usman memarkir mobil bom di dekat gerbang rumah Duta Besar Filipina. Pada pukul 12.30, Mercedes Duta Besar Leonides Caday tiba. Ghozi berjalan di trotoar mendekati sasaran agar mencapai jarak 500 meter. Klik, ia menekan handy talkie. Dalam sedetik, bunyi gelegar membahana. Caday yang duduk di kursi kiri belakang terluka: empat tulangnya patah, darah mengucur dari tubuhnya yang dihantam pecahan kaca. Tapi ia selamat. Bom membunuh seorang petugas satpam dan seorang perempuan pejalan kaki. Belasan orang lainnya luka-luka.

Inilah ”karya” pertama Dulmatin dalam curriculum vitae terorismenya. Tetap menjadi perakit bom, ia bergabung kembali dengan Usman dan Abdul Jabar pada akhir tahun yang sama. Dalam proyek pengeboman malam Natal, mereka memilih tiga gereja Katolik dan tiga gereja Protestan di seluruh penjuru Jakar ta. Serangan kali ini gagal karena Ab dullah, si pembawa bom, keta kutan sehingga bom-bom ia letakkan dan meledak di luar kompleks gereja sasaran. Se telah serangan, mereka lari ke Jawa Tengah. Esok paginya, mereka menonton televisi di rumah Dulmatin di Pekalongan yang mengabarkan peledakan.

http://tempointeraktif.com/khusus/selus ... /index.php
Sabilla
Posts: 1310
Joined: Mon Jul 20, 2009 8:23 pm

Re: TEMPO Selusur : Pria Berjenggot di Bilik Sembilan

Post by Sabilla »

Agar Serambi Menjadi Mindanao

Image

BERSENJATA parang dan tombak, dua puluh warga Desa Bayu, Aceh Besar, menerobos hutan di sekeliling desa. Bersama polisi, mereka menelusuri rerimbunan pohon di kawasan Kemukiman Lamkabeu, yang menjadi tempat baku tembak pasukan Detasemen 88 dengan kelompok bersenjata dua pekan lalu. ”Kami diajak sukarela,” kata Bukhari, warga Desa Bayu.

”Sekalian berburu babi.” Sejumlah desa di wilayah Aceh Besar memang tengah siaga penuh dengan mengadakan jaga malam dan pemeriksaan kartu penduduk. Polisi merazia semua mobil yang keluar-masuk Aceh Besar. Jumat pekan lalu, dua tersangka teroris tewas karena lari ketika hendak diperiksa di Kecamatan Leupung, Aceh Besar. Dalam razia itu, polisi juga menangkap delapan tersangka yang menuju ke Aceh Barat.

Polisi menggerebek kelompok bersenjata yang melakukan latihan militer di Bukit Jalin, Februari lalu. Wilayah perbukitan ini termasuk kawasan cagar alam Jantho, yang hanya bisa ditempuh jalan kaki melewati hutan dan kebun, sekitar 70 kilometer sebelah utara Banda Aceh. Kelompok ini bergerak ke sejumlah lokasi, termasuk Lamkabeu, karena terdesak polisi. Hasil temuan polisi menyatakan kelompok bersenjata di Aceh itu dikendalikan Dulmatin, yang tewas dalam penyer gapan di Pamulang, Banten, Selasa pekan lalu.

Hingga pekan lalu, polisi menangkap sekitar 30 tersangka teroris di Aceh. Penyergapan juga menewaskan lima tersangka teroris dan tiga polisi. ”Mereka akan menjadikan Aceh sebagai basis di Asia Tenggara,” kata Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf. ”Tapi salah duga karena warga Aceh tak menerima mereka.”

Irwandi mengatakan aktivitas kelompok itu awalnya hanya mengangkat isu syariat Islam dan Palestina. Mereka memulai kegiatan dengan masuk kampung dan berceramah. Polisi mengendus kehadiran kelompok ini setahun lalu. Kata Irwandi, polisi awalnya hanya meng awasi pergerakan kelompok ini karena belum cukup alasan kuat untuk menindak mereka.

Tapi kegiatan itu berlanjut menjadi pelatihan militer. Ada sekitar 50 orang yang berlatih senjata. Sejumlah atribut tentara juga ditemukan di tempat penyergapan di Bukit Jalin. Irwandi menduga pasokan senjata dikirim melalui jalur laut.

Lokasi tempat latihan kelompok Dulmatin itu pernah menjadi markas Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Dari 50 anggota kelompok itu juga terdapat delapan warga Aceh. Menurut Irwandi, kelompok bersenjata itu tak ada ka itannya dengan GAM. Aktivis GAM, kata Irwandi, malah membantu polisi dalam menggerebek kelompok teroris. ”Gerakan seperti itu tidak bisa hidup di Aceh,” ujar Irwandi.

Bekas Panglima GAM Muzakir Manaf mengatakan, justru anggotanya yang membantu polisi dengan memberikan informasi adanya latihan militer. Ia menjamin tak ada anggota GAM yang terlibat. ”Saya sudah konfi rmasi ke seluruh anggota. Tidak ada yang terlibat.” Aceh dipilih kelompok Dulmatin karena lokasinya strategis.

Provinsi ini dikelilingi laut sehingga senjata selundupan mudah masuk. Bekas anggota Darul Islam asal Aceh, Al-Chaidar, mengatakan Aceh akan dijadikan pusat pelatihan seperti Mindanao, wilayah selatan Filipina yang dijadikan markas gerakan kelompok Abu Sayyaf. ”Mereka menjadikan Aceh sebagai daerah primer,” kata Al-Chaidar. ”Mereka menganggap masyarakat Aceh akan menghormati kehadiran gerakan atas nama Islam.”

Penyergapan kelompok Dulmatin di Aceh itu sempat dihubungkan dengan peringatan dari angkatan laut Singapura kepada Asosiasi Perkapalan Singapura, 4 Maret lalu. Mereka menyatakan ada kelompok teroris sedang merencanakan serangan terhadap kapal tanker minyak di Selat Malaka. Polisi belum menemukan bukti keterkaitan tersangka teroris di Aceh dengan peringatan Selat Malaka itu.

http://tempointeraktif.com/khusus/selus ... page04.php
Sabilla
Posts: 1310
Joined: Mon Jul 20, 2009 8:23 pm

Re: TEMPO Selusur : Pria Berjenggot di Bilik Sembilan

Post by Sabilla »

Dari Pemalang ke Pamulang

Image

IA datang dari keluarga yang retak. Bapaknya pergi dari rumah untuk menikah lagi, lalu ibunya mendapat suami baru. Bersama saudara-saudarinya, Dulmatin kala itu lima tahun, mengungsi ke Kampung Arab, Pemalang Kota. ”Mereka memilih tinggal dengan kakeknya, Raden Rahmat Haji Sovie,” kata Abu Bakar, paman Dulmatin.

Kakek Dulmatin memiliki banyak lahan pertanian, perkebunan, dan sejumlah gedung pertunjukan di Kabupaten Pemalang. Abu Bakar, yang ditemui di bekas rumah keluarga Dulmatin di Peta rukan, Pemalang, bercerita, hanya pada saat liburan sekolah Dulmatin ali as Joko Pitono bertemu bapak dan ibunya. Kadang dia mengunjungi ayahnya, Usman Sofi , di Kampung Loning, masih di wilayah Petarukan, dan ikut menggarap sawah. Lain waktu ia membantu ibunya, Masniyati, yang membuka toko kelontong di belakang Pasar Petarukan.

Berita kematian Pitono dalam sebuah penyergapan di Pamulang, Tangerang, Selasa pekan lalu, mengagetkan sanak-kenalan Dulmatin di kecamatan itu. Tak ada yang mengira teroris perangkai bom yang dikejar-kejar polisi itu adalah Pitono yang mereka kenang sebagai bocah sopan dan rajin mengaji di masjid jami dekat rumah. ”Dia selalu membawa buku untuk mencatat materi pengajian yang diadakan oleh Ikatan Remaja Muhammadiyah,” kata Umar Azis, tetangga keluarga Dulmatin di Petarukan.

Wakil Kepala SMA Negeri 1 Pemalang Bekti Swaminarsih mengingat Dulmatin sering menjadi gunjingan para guru karena tak pernah mau menatap guru perempuan. Dia juga selalu menolak menghormat bendera Merah Putih. Belajar hingga kelas dua SMA di Pemalang, Dulmatin hijrah ke SMA Muhammadiyah III Yogyakarta. Sejak itu dia menghilang dari Pemalang. Dia merantau ke Afganistan, lalu ke Malaysia, mengajar di Luqmanul Hakiem, Johor—pesantren yang dibuka pada 1992, sepenuhnya mengadopsi kurikulum Pesantren Ngruki di Solo, Jawa Tengah.

Kepala Sekolah Luqmanul adalah Muklas, salah satu pelaku peledakan bom Bali 2002. Menurut laporan International Crisis Group, semua pelaku peledakan bom yang disebut-sebut terkait dengan Jamaah Islamiyah pernah mengajar atau belajar di tempat itu. Selain Dulmatin dan Muklas, ada Hambali, Amrozi, Ali Imron, Zulkarnaen, Faturrahman al-Ghozi, dan Dr Azahari. Bahkan Noor Din M. Top menjadi Direktur Luqmanul Hakiem hingga 2001. Kembali ke Pemalang pada 1995, Dulmatin mengganti namanya dari Joko Pitono menjadi Amar Usman. ”Usman itu nama asli bapak kami,” kata kakaknya, Azam Ba’abut.


Lalu semuanya seperti biasa lagi: Dulmatin hilir-mudik antara bapak dan ibunya, membantu di sawah dan menjaga toko kelontong. Setelah menikah dengan Istiada, sepupunya, Dul mulai bekerja sampingan sebagai makelar jual-beli mobil dan motor. Dua bulan menjelang ledakan bom di depan Sari Club dan Paddy’s Café Jalan Raya Legian, Ku ta, Bali, Dulmatin tiba-tiba menghilang.

Ia tidak cuma merakit bom Bali. Abdul Jabar, yang terlibat peledakan bom di depan rumah Duta Besar Filipina Leo nides Caday di Jakarta pada 2000, kepada polisi mengaku Dulmatinlah yang ”meramu” hampir semua bom sebelum Bali. Dia yang merakit bom Gereja Kanisius, Atrium Plaza, dan yang di rumah Duta Besar Filipina. Bom Mojokerto dan 10 bom pesanan Imam Samudra untuk diledakkan di Batam dan Mataram juga dibuat Dulmatin.

BEBERAPA bulan setelah Bom Bali I, Abdullah Sunata kedatangan dua tamu. Yang pertama tinggi kurus: Dulmatin alias Joko Pitono alias Amar Usman. Orang kedua lebih pendek, Umar Patek alias Pak Ta’ek alias Umar Kecil. Abdullah mengenal mereka sebagai anggota Jamaah Islamiyah alumni Afganistan. Keduanya minta bantuan bekas Ketua Komite Aksi Penanggulangan Krisis (Kompak) di Ambon itu untuk berhubungan dengan kelompok STAIN—kelompok Islam yang menyewa rumah dekat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri pada saat konflik Ambon. Dulmatin dan Umar ingin menyusup ke Mindanao, Filipina, dan orang-orang STAIN menguasai jalur Darul Islam ke Mindanao lewat Sabah. Abdullah Sunata menceritakan hal ini kepada polisi dalam pemeriksaan pada Juli 2005.

Biasanya anggota Jamaah Islamiyah masuk Filipina lewat jalur Sulawesi Utara. Namun, setelah Bom Bali I, jalur ini dianggap berbahaya. Jalur lain, lewat timur Malaysia ke Zamboanga, juga tak bisa mereka gunakan karena Nasir Abas Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah yang biasa mengatur perjalanan di jalur itu tengah berada di Poso. Menurut Sidney Jones, penasihat senior International Crisis Group Asia, sejak masuk ke Mindanao, Dulmatin terlibat gerakan separatis di Filipina. ”Tuan rumah mereka mula-mula adalah Moro Islamic Liberation Front (MILF),” kata Jones.

Di Mindanao, Dulmatin dan Umar Patek tinggal di Pawas, dekat Cotabato. Dulmatin memberikan kursus merakit bom. Abdullah Sunata bercerita, dia beberapa kali mengirim orang ke sana. Atas undangan Umar Patek dia sendiri pernah berkunjung ke Pawas pada Juli 2003. Belakangan, Hari Kuncuro alias Bahar yang menikah dengan Atika, adik bungsu Dulmatin, ikut bergabung. Pada 2003 Amerika Serikat melalui program Reward for Justice menjanjikan hadiah US$ 10 juta atawa Rp 93 miliar bagi yang bisa menangkap Dulmatin hidup atau mati.

Tapi Dul licin bagai belut. Ketika masih bersama MILF pada 2005 dia berhasil lolos dari gempuran udara militer Filipina. Bersama Abu Sayyaf—kelompok separatis kecil tapi jauh lebih militan daripada MILF—beberapa kali dia cuma nyaris tertangkap. Malah istri dan dua anaknya tertangkap pada 2006 dan dikirim pulang karena tak punya dokumen imigrasi.

Januari tiga tahun lalu Dulmatin dikabarkan terluka parah dan terpaksa bersembunyi setelah baku tembak dengan tentara Filipina di selatan Jolo. Bentrokan ini menewaskan pemimpin Abu Sayyaf, Jainal Antel Sali alias Abu Sulaiman. Namun, ketika tentara Filipina menyergap persembunyiannya di Pulau Simunul empat bulan kemudian, Dulmatin berhasil melarikan diri, membiarkan empat anaknya tertangkap dan dideportasi. Sejak itu dia dikabarkan ingin balik ke Indonesia.

Philipus Parera (Jakarta), Edi Faisol (Pemalang), Ahmad Rafi q (Solo), Jalil Hakim (Bali)
http://tempointeraktif.com/khusus/selus ... page06.php
Sabilla
Posts: 1310
Joined: Mon Jul 20, 2009 8:23 pm

Re: TEMPO Selusur : Pria Berjenggot di Bilik Sembilan

Post by Sabilla »

Terorisme: Pelajaran dari Aceh

Image

DITEMUKANNYA kamp pelatihan teroris di Aceh, dan munculnya Dulmatin di Pamulang, sangat mengejutkan saya dan banyak orang lain. Banyak pula pelajaran yang bisa kita petik.

1. Perubahan (mutasi) dalam jaringan ekstremis.
Kelompok di sekitar Dulmatin dan ”Tanzim al-Qaeda untuk Serambi Mekkah” bukanlah Jamaah Islamiyah, meskipun Dulmatin, seperti Noor Din Top, sudah dibaiat menjadi anggota JI. Ini tampak dalam rekaman video yang dibuat kelompok tersebut—yang muncul di YouTube, 8 Maret—yang mengajak umat di Indonesia bergabung melakukan jihad tapi dengan keras mengkritik JI sebagai organisasi yang mandul dan tidak melakukan apa pun.
Orang-orang yang bergabung dalam kelompok Aceh adalah orang-orang yang ditarik dari JI dan menginginkan aksi yang lebih besar. Kelompok ini tampaknya meliputi unsur-unsur yang tidak setia dari sejumlah organisasi yang berbeda-beda, termasuk JI, Jamaah Ansharut Tauhid, Mujahidin KOMPAK, Wahdah Islamiyah, dan sebagainya. Ini menggambarkan bahwa ketika banyak organisasi tersebut sudah meninggalkan kekerasan, muncul aliran yang lebih militan dalam gerakan ekstremis, yang sangat memihak Al-Qaidah, dan berusaha membangun di atas nilai-nilai yang ditinggalkan Noor Din Top.

2. Pertalian internasional yang lebih kuat.
Sebelum kembali ke Indonesia, Dulmatin dan Umar Patek tinggal di Mindanao selama tujuh tahun, awalnya bersama MILF, kemudian dengan kelompok Abu Sayyaf. Fakta bahwa mereka pulang untuk bergabung dengan kelompok militan Indonesia menggambarkan bahwa komunikasi dan koordinasi antara Indonesia dan kelompok ekstremis di Mindanao lebih luas daripada perkiraan kita selama ini, dan bahwa Dulmatin dan rekan-rekannya tampaknya menganggap diri mereka sendiri sebagai komponen Filipina, bagian dari Al-Qaidah Asia Tenggara—nama yang diberikan Noor Din bagi jaringannya saat pengeboman Bali II.
Namun mata rantai ini jauh melampaui Filipina. Moh. Jibril, sekarang ditahan di Jakarta, menyampaikan kepada rekannya bahwa pada akhir 2007 ia mengunjungi Waziristan, basis Taliban Pakistan. Jibril, yang saat itu menjadi anggota ”kelompok Al-Ghuraba”, bagian dari JI, dan sedang membantu Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan Malaysia, mendapat pelatihan di Afganistan antara 1999 dan 2003. Hubungan ini mestinya masih ada, dan konon—tidak ada kepastian berita ini—anggota-anggota dari Indonesia kembali dari Afganistan awal tahun ini. Besar kemungkinan jaringan teroris Indonesia mempunyai komunikasi langsung dengan pemimpin senior kelompok teroris di Pakistan, dan mungkin juga di Timur Tengah dan Afrika Utara.

3. Mencari ”qoidah aminah”.
Para pemimpin kelompok gabungan ini dilaporkan memilih Aceh karena mereka mencari ”qoidah aminah”, atau basis yang aman. Selama konflik Poso, dan khususnya sesudah 2001, JI memandang Poso sebagai qoidah aminah, tempat yang memungkinkan untuk melakukan jihad, mengembangkan komunitas muslim yang ingin menerapkan hukum Islam secara penuh, dan bekerja untuk daulah Islamiyah, atau negara Islam. Tapi, setelah operasi kepolisian, Januari 2007, banyak anggota kelompok radikal ini yang ditahan, tertembak mati, atau terpaksa lari, dan tempat ini tidak lagi menjadi basis yang ideal. Ada kemungkinan Aceh menjadi menarik karena inilah satu-satunya wilayah di Indonesia tempat hukum Islam bisa diterapkan secara penuh. Banyak pula kelompok radikal membangun usaha di Aceh sesudah tsunami, dan terdapat kontak jaringan yang sebelumnya tidak ada di sana. JI dan jaringan Darul Islam lama di Medan, Riau, dan Lampung ada kemungkinan turut membantu.

4. Tidak terjadi kekurangan pemimpin potensial.
Setelah tewasnya Noor Din, setiap orang berpikir bahwa masalah terorisme sudah berhasil diatasi. Ternyata tidak. Ada orang-orang lain yang memiliki karisma dan pengalaman tempur di Mindanao, Poso, dan Ambon, yang mengambil alih pimpinan, dan generasi baru muncul di sekolah-sekolah JI. Bukan hanya kebetulan kalau anak-anak Dulmatin terdaftar di salah satu sekolah ini di Sukoharjo, atau bahwa teroris dan buron asal Singapura, Mas Selamat Kastari, mengirim putranya ke salah satu sekolah lainnya. Sebuah pesantren di Aceh, yang tidak terhubung ke JI, memiliki peran merekrut. Masalahnya bukan hanya di sekolah-sekolah ini; seorang Aceh pengedar narkoba direkrut di penjara Medan, dan Syafiudin Zuhri merekrut pelaku peledakan bom bunuh diri Juli di lingkungan masjid di Bogor. Namun puluhan sekolah ini meninggalkan masalah serius, dan kita perlu menemukan cara kreatif untuk mencegah sekolah-sekolah ini menghasilkan teroris pada 2020, tanpa menodai sistem pendidikan Islam pada umumnya.

5. Memahami dinamika lintas batas.
Ketika Dulmatin dan Umar Patek beroperasi di Jolo, Pasukan Khusus Amerika Serikat, yang diperlengkapi senjata mutakhir, sedang membantu Angkatan Bersenjata Filipina. Namun tidak ada yang tahu bahwa dua orang yang paling dicari di wilayah itu sudah meninggalkan Mindanao, tiba di Indonesia dan pergi ke Aceh. Amerika toh juga tidak menemukan Usamah bin Ladin, jadi aparat di Asia Tenggara mempunyai teman senasib, dan kemampuan mengelak dari pasukan keamanan ini menjadi tanda pemimpin teroris yang baik.

Tugas lintas batas menjadi sangat penting. Dalam dekade terakhir, sudah ada kemajuan pesat dalam berbagi informasi regional, tapi Kepolisian Indonesia tidak memiliki keahlian nyata dalam hal jaringan teror di Filipina, Kepolisian Filipina di kelompok Malaysia, atau siapa pun di Asia Tenggara di kelompok Asia Tenggara dan sebaliknya. Dengan demikian, sangat penting bagi semua yang terlibat dalam kegiatan kontraterorisme untuk memahami dinamika yang melampaui batas mereka sendiri agar bisa memahami bagaimana berbagai kelompok ini terhubung sekarang—atau mungkin di masa depan.

6. Pergeseran sasaran.
Kita melihat para ekstremis mengubah dan memperluas definisi mereka mengenai musuh di sepanjang waktu. Pada puncak konflik Ambon dan Poso, musuh yang dimaksud adalah penduduk Kristen setempat. Di Poso, ini ditambah dengan pelapor informasi dan pejabat pemerintah. Seperti, misalnya, dibunuhnya seorang jaksa di Palu, yang dipandang menentang jihad. Bom Bali 2002 merupakan indikasi pertama bahwa definisi dari Al-Qaidah mengenai musuh—Amerika Serikat dan sekutunya dan semua warga negara yang membayar pajak untuk mendukung mesin perang di negara-negara tersebut—sudah diadopsi. Fokusnya bisa saja ditujukan ke pejabat pemerintah Indonesia yang dianggap anti-Islam, atau serupa dengan kafir karena aliansinya dengan Barat, menentang syariah, atau kebijakan umum yang dianggap tidak islami. Pada Juli, jaringan Noor Din merencanakan menyerang Presiden Yudhoyono; barangkali pejabat terkemuka sekarang menempati urutan atas daftar sasaran, setara dengan gedung bermerek internasional yang menjadi ikon.

Ini semua memperjelas fakta bahwa tidak benar berpuas diri setelah kematian Noor Din, dan tidak benar berpikir bahwa ancaman terorisme sudah berkurang dengan tewasnya Dulmatin. Ekstremis di Indonesia sudah menunjukkan kemampuan beradaptasi, membentuk kelompok baru, beregenerasi, dan melawan. Indonesia perlu meningkatkan upaya kontraterorisme, dan kepolisian—yang mengetahui lebih banyak jaringan ini dibanding lainnya—harus memegang peran pimpinan. Harus ada brainstorming dengan orang-orang dari negara lain yang mempunyai program canggih berbasis komunitas untuk memahami apa yang sudah berhasil, apa yang tidak berhasil dan apa sebabnya, serta apa yang bisa disesuaikan dengan lingkungan setempat di Indonesia.

Mencegah rekrutmen merupakan upaya yang lebih baik daripada menerbitkan buku-buku yang mengandung interpretasi ganda tentang jihad, dan lebih baik dibanding menyelenggarakan dialog antaragama. Upaya pencegahan ini termasuk meningkatkan kemampuan pemuda dan orang tuanya memahami tanda peringatan radikalisasi, dan mempunyai program yang dapat membantu membendung proses rekrutmen. Ini termasuk menawarkan pilihan hidup yang berbeda dan pilihan karier bagi siswa sekolahsekolah radikal. Terorisme tidak bisa diberantas dengan segera, tapi banyak upaya yang bisa dikerjakan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta.

http://tempointeraktif.com/khusus/selus ... page07.php
Akukomkamu
Posts: 5517
Joined: Sat Jul 11, 2009 11:34 am
Location: "Mengajak onta2 arab unt bisa BERMARTABAT" IFF adalah TEMPAT nya.

Re: TEMPO Selusur : Pria Berjenggot di Bilik Sembilan

Post by Akukomkamu »

Untuk pencegahan muslim menjadi teroris jalan satu2 nya PP makan BABI , WAJIB !!!!

Percuma dengan usaha yg macam2...malah ngabisin duit saja. :lol:



Pisss... :lol:
ICU
Posts: 858
Joined: Thu Jan 22, 2009 8:33 am

Re: TEMPO Selusur : Pria Berjenggot di Bilik Sembilan

Post by ICU »

Uuuwwooooww ... Artikel yang sangat menarik. Terima kasih banyak, Sabilla.
yvptgxj
Posts: 1844
Joined: Fri Mar 06, 2009 8:58 pm

Post by yvptgxj »

Ketika Dulmatin dan Umar Patek beroperasi di Jolo, Pasukan Khusus Amerika Serikat, yang diperlengkapi senjata mutakhir, sedang membantu Angkatan Bersenjata Filipina. Namun tidak ada yang tahu bahwa dua orang yang paling dicari di wilayah itu sudah meninggalkan Mindanao, tiba di Indonesia dan pergi ke Aceh. Amerika toh juga tidak menemukan Usamah bin Ladin, jadi aparat di Asia Tenggara mempunyai teman senasib, dan kemampuan mengelak dari pasukan keamanan ini menjadi tanda pemimpin teroris yang baik.
Mungkin si Dulmatin meniru tokoh2 di film seri "Old Mission Impossible"
User avatar
OnLine
Posts: 211
Joined: Sat Aug 21, 2010 7:26 pm

Re: TEMPO Selusur : Pria Berjenggot di Bilik Sembilan

Post by OnLine »

Sabilla wrote:
”Sekalian berburu babi.” Sejumlah desa di wilayah Aceh Besar memang tengah siaga penuh dengan mengadakan jaga malam dan pemeriksaan kartu penduduk. Polisi merazia semua mobil yang keluar-masuk Aceh Besar. Jumat pekan lalu, dua tersangka teroris tewas karena lari ketika hendak diperiksa di Kecamatan Leupung, Aceh Besar. Dalam razia itu, polisi juga menangkap delapan tersangka yang menuju ke Aceh Barat.

[\
tulisan itu ditambah?? atau memang apa adanya?? :-k
Post Reply