SOEHARTO & ISLAMISASI INDONESIA

Khusus ttg sepak terjang/sejarah jihad dan penerapan Syariah di INDONESIA & negara jiran (MALAYSIA)
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

SOEHARTO & ISLAMISASI INDONESIA

Post by Laurent »

Monday, 11 February 2008
Soeharto, Jawa, dan santrinisasi

WAFATNYA Soeharto, mantan presiden kedua RI, Ahad (27/1) lalu, meninggalkan pelbagai kontroversi pendapat. Sebagian besar rakyat Indonesia, menurut jajak pendapat sejumlah media massa, menyatakan rela memaafkan semua kesalahan Pak Harto.

Amien Rais, tokoh reformasi yang paling depan dalam menjatuhkan Pak Harto dari Istana Merdeka, juga telah memaafkan Pak Harto. Amien bahkan minta rakyat Indonesia memaafkan dosa-dosa Pak Harto. Pernyataan Amien sempat menuai kecaman para aktivis yang pernah diculik dan disiksa rezim Orde Baru. Namun, sikap Amien merupakan refleksi seorang muslim sejati. Apa yang dilakukan Amien semata-mata meniru Sunah Rasulullah.

Ketika Nabi Muhammad memenangkan peperangan dengan kaum kafir Quraisy dan masuk ke Makkah (Fathu Makkah), beberapa sahabat Rasul yang ingat akan kekejaman kaum Quraisy terhadap mereka meznyatakan, ’’Inilah hari pembantaian (al-yauma yaumul malhamah).’’ Mendengar hal itu, Rasul Muhammad langsung mengoreksinya. Hari ini adalah hari kasih sayang (al-yauma yaumul marhamah).

Pada hari kasih sayang itu Rasulullah tidak hanya membebaskan anak-anak, perempuan, dan orang tua di Kota Makkah, tapi juga membebaskan orang-orang yang dulu pernah menghujat dan memeranginya. Keluarga Abu Jahal, misalnya, yang terkenal amat memusuhi Rasul, juga dibebaskan. Kaum Quraisy yang ketakutan dengan kedatangan pasukan Islam di Makkah akhirnya menyambut gembira kedatangan Rasul.

Terlepas dari persoalan itu, Soeharto dengan berbagai kesalahannya juga harus diakui sebagai orang yang amat berjasa membangun Indonesia. Soeharto, pinjam pernyataan ekonom Didiek J Rachbini, adalah ahli strategi yang paling hebat di Indonesia.

Pada awal Pak Harto menjadi presiden, kondisi ekonomi dan sosial Indonesia sangat kacau. Kemiskinan dan pergolakan sosial terjadi di manamana. Namun, Pak Harto bisa menyederhanakan berbagai persoalan hanya dengan satu kalimat: Penuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia.

Soeharto mempunyai pribadi unik. Satu sisi seorang militer yang keras dan disiplin, tapi di sisi lain seorang Jawa yang lembut dan penuh unggahungguh. Paduan sikap Soeharto ini sangat mewarnai pemerintahannya.

Usaha keras Soeharto untuk mewujudkan kestabilan pemerintahan dalam batas-batas tertentu merupakan refleksi sikap kejawaannya yang tidak menyukai konflik terbuka.

Sikapnya sebagai orang Jawa yang akomodatif dan menyukai keselarasan hidup menjadikan pemerintahannya stabil dan Indonesia mampu merangkul tetangga-tetangganya, seperti Singapura dan Malaysia yang pernah dimusuhi Orde Lama.

Islam-Jawa
Para pengamat sosial sering mempertentangkan antara Islam dan Jawa. Clifford Geertz, misalnya, memilahmilah orang Jawa menjadi tiga golongan, santri, abangan, dan priyayi.

Pak Harto dalam kategori Geertz berdasarkan masa kecilnya adalah orang abangan. Namun, karena status sosialnya yang tinggi, apalagi setelah menikah dengan Siti Hartinah, gadis keturunan priyayi Jawa, Pak Harto masuk kategori priyayi. Yang namanya priyayi, tulis Allan A Samson dalam artikelnya Army and Islam in Indonesia, sulit beradaptasi dengan Islam.

Ketika Soeharto menjadi presiden, umat Islam tidak pernah membayangkan akan terjadi islamisasi birokrasi. Ini karena birokrasi dalam kultur Jawa identik dengan priyayi. Kondisi itu tetap kuat karena adanya pengaruh Nasakom yang diusung Bung Karno.

Dalam Nasakom Bung Karno membagi masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan, yaitu nasionalis, agama, dan komunis.

Ketiganya, menurut Bung Karno, harus bergandeng tangan mempersatukan dan membesarkan Indonesia. Dalam praktiknya, penggolongan tersebut justru memecah-belah kehidupan keagamaan orang Jawa.

Ini karena Islam seolah-olah identik hanya dengan pendukung partai Islam, sedangkan golongan nasionalis dan komunis bukan Islam. Kondisi ini berdampak pada menjauhnya Islam dari birokrasi.

Pada tahun 1960 dan 1970-an, umat Islam memang terpinggirkan dalam birokrasi, termasuk militer. Soalnya, pada massa itu, tulis Samson, antara militer dan birokrasi menjalin simbiosis mutualistis. Pada zaman Pak Harto, misalnya, hampir semua kepala daerah dan menteri-menteri yang mengurusi masalah-masalah strategis selalu berasal dari militer.

Itulah sebabnya pada masa itu antara militerisasi dan birokratisasi seakan-akan identik. Keduanya dalam kategori budaya Jawa termasuk golongan priyayi.

Mereka sulit beradaptasi dengan Islam. Pada era itu akan dianggap aneh kalau di kantor-kantor pemerintahan ada masjid atau ada jenderal yang naik haji. Golongan priyayi dan santri saat itu seperti minyak dan air.

Terjadi perubahan
Marginalisasi golongan Islam dari birokrasi berubah ketika pemerintah menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Pancasila menjadi dasar setiap kebijakan dan langkah pemerintah. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi salah satu ukuran sebuah desa atau daerah sudah menerapkan Pancasila atau tidak.

Dalam lomba lurah teladan, misalnya, desa yang tak mempunyai tempat ibadah, lurahnya tidak akan terpilih menjadi lurah teladan. Padahal, di desa-desa, meski di pedalaman Jawa sekalipun, yang tempat ibadah identik dengan masjid. Hal ini bisa dimaklumi karena baik golongan abangan maupun priyayi, mayoritas menganut Islam.

Tempat ibadah umat Islam adalah masjid. Karena itulah, kemudian masjid-masjid banyak berdiri di desadesa untuk mendapat pengakuan bahwa desa tersebut telah menjalankan asas Pancasila.

Di pihak lain, keputusan pemerintah menerapkan masa mengambang sejak daerah tingkat kedua ke bawah juga mulai mematahkan mitos birokrasi bukan habitat kaum santri. Akibat kebijakan itu, partai berkuasa saat itu (Golkar) mulai merangkul kiai untuk bisa menarik massa Islam di daerah santri.

Di Golkar berdiri MDI (Majelis Dakwah Islamiyah) yang bertugas menggolkarkan massa santri. MDI bagian dari organ Golkar sehingga kyai dapat berhubungan erat dengan politisi Golkar dan birokrat yang pada gilirannya mendorong santrinisasi birokrasi.

Perpaduan pancasilaisasi dan golkarisasi ini membuat kategorisasi dikotomis santri dan abangan rontok. Di desa-desa yang dalam kategori Geertz banyak dihuni kaum abangan bermunculan masjid. Apalagi, setelah Pak Harto membentuk Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang usaha utamanya membangun masjid di daerah.

Kepedulian Golkar pada Islam ini berakibat terbukanya akses bagi santri untuk masuk birokrasi. Kondisi ini berkembang dan makin kuat lagi setelah Soeharto mengizinkan Habibie dan kawan-kawannya membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Hasilnya tampak jelas saat ini. Pada setiap kantor pemerintah ada masjid.

Umat Islam banyak menduduki jabatan penting. Uniknya, pengaruh Islamisasi birokrasi menembus pula ke kraton yang menjadi pusat kebudayaan Jawa.

Acara semakan Alquran pada upacara perayaan di Kraton Yogya, misalnya, sudah menjadi tradisi baru. Ternyata Soeharto melalui pandangan Jawanya menciptakan santrinisai birokrasi.

Inilah sumbangan terbesar Pak Harto pada perkembangan Islam di Indonesia. f

Prof Dr M Bambang Pranowo,
Guru Besar UIN Jakarta

http://www.wawasandigital.com/index.php ... =59[scribd][/scribd]
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: SOEHARTO & ISLAMISASI INDONESIA

Post by Laurent »

Saturday, December 13, 2008
Kilas Balik Politik Soeharto
Adalah kekeliruan fatal ketika generasi muda saat ini mengklaim, bahwa politik Soeharto secara mutlak salah atau zhalim. Tidak, tidak demikian. Disana memang ada korupsi, penyimpangan, kebobrokan, kezhaliman, dan sebagainya. Tetapi tidak semuanya seperti itu. Banyak sisi-sisi kebaikan politik Soeharto yang selama ini secara tidak sadar kita ingkari. Fakta-fakta kebaikan itu tertimbun atau sengaja dilupakan. Disini kita perlu mengungkapkan sebagian kebaikan itu, agar ia tidak menjadi skandal sejarah yang sangat memalukan.



Politik Soeharto tidak bersifat linear (seperti garis lurus). Di awal dan pertengahan karier politiknya, Soeharto bersikap anti terhadap dakwah Islam. Namun alhamdulillah, sejak akhir 80-an sampai lengser dari jabatan RI-1, beliau berbalik arah mendukung kehidupan Ummat Islam. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir masa jabatannya (tahun 1988-1998), Pak Harto membuat berbagai kebijakan yang menguntungkan kaum Muslimin. Beliau seolah ingin menebus kesalahannya setelah sekian lama bersikap paranoid terhadap gerakan Islam.

Dalam kurun waktu 10 tahunan itu, muncul berbagai kebijakan politik Soeharto yang sangat bermanfaat bagi Ummat Islam, antara lain: Legalisasi jilbab di sekolah dan instansi formal, UU Pendidikan Nasional, UU Perkawinan, UU Bank Syariah, berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI), munculnya Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), Koperasi Pesantren (Kopontren), pembangunan ribuan masjid (melalui Yayasan Dana Muslim Pancasila), pengiriman dai-dai ke daerah pelosok/pedalaman, menggalakkan ekonomi kerakyatan, labelisasi halal MUI, kemudahan sistem ONH, penerimaan KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam hukum privat di Indonesia, mendukung berdirinya ICMI, munculnya koran Republika, program pesantren kilat untuk pelajar, dll. Begitu pula program-program lain, seperti peringatan Hari Besar Islam secara kenegaraan, Pekan Budaya Islam Istiqlal, membuat Mushaf Al Qur'an Khas Nusantara, Festival Bedug Nasional, dll.

Secara politik Soeharto dekat kepada BJ. Habibie, beliau mengakomodir masuknya politisi-politisi Muslim di DPR, MPR, dan Kabinet. Hal itu pernah disebut oleh Kompas, sebagai fenomena ijo royo-royo. ICMI dan CIDES diterima sebagai mitra pemerintah, MUI selalu menjadi tempat konsultasi Pemerintah, dan banyak tahanan politik dari kalangan aktivis Islam yang dibebaskan (misalnya AM. Fatwa). Bahkan, di era itu untuk pertama kalinya pelajaran Bahasa Arab disiarkan secara rutin sepekan sekali di TVRI. Kalau dirinci satu per satu tentu sangat banyak. Sampai ketika Bosnia Herzegovina dilanda genocida, Pak Harto memberikan dukungan politiknya. Melalui adiknya, Probosutedjo, beliau mendukung pendirian sebuah masjid besar di Bosnia. Saya rasa, seorang tokoh paling fundamentalis sekalipun di Indonesia ini, belum tentu bisa mengeluarkan sekian banyak kebijakan politik yang sangat bermanfaat bagi Ummat Islam. Anda perlu ingat, Indonesia bukanlah negara Islam, dan masyarakatnya sangat multi kultural. Dan hebatnya, semua kebijakan itu terlaksana secara damai, tanpa melalui proses revolusi berdarah-darah. Hal ini seperti membenarkan ungkapan Salaf, "Sesuatu yang tidak bisa diluruskan dengan lisan ulama, ia bias diluruskan dengan pedang penguasa". Akses ke penguasa kerap kali lebih bermanfaat daripada melakukan demonstrasi 1000 kali sehari. Sampai-sampai, pimpinan Jamaah Al Arqam di Malaysia, Syaikh Ashari Muhammad menyebut sikap politik Pak Soeharto sebagai tanda-tanda Kebangkitan Islam dari Asia Tenggara.

Dengan menyadari semua itu, tidak berlebihan jika almarhum KH. Anwar Haryono (Ketua DDII waktu itu) menyimpulkan, "Orde Baru telah berubah!" Dari tulisan yang pernah dimuat sebuah tabloid Islam, disebutkan bahwa menjelang wafatnya, Buya M. Natsir setuju jika Presiden Soeharto terpilih lagi sebagai Presiden RI. Adapun Amien Rais justru sangat menentang kepemimpinan Soeharto. Buya Natsir bukan tidak tahu bahwa Pak Harto telah puluhan tahun menjadi presiden, tetapi beliau menyadari bahwa di balik kepemimpinan Pak Harto terdapat sangat banyak gerbong kepentingan kaum Muslimin. Pak Natsir sejak lama telah kritis kepada Orde Baru, melalui kelompok Petisi 50. Karena itu pula beliau dan kawan-kawan dikenai cekal, tidak boleh pergi ke luar negeri. Omong kosong, kalau yang berani mengkritik Orde Baru hanya Amien Rais. Petisi 50 lebih dulu bersura keras, ketika Amien masih menjadi dosen di Universitas Orde Baru.

Banyak kebaikan-kebaikan masa lalu yang kini telah hilang. Dulu, jangankan beredar video mesum "VCD Itenas" dan turunan-turunannya, ketika Betharia Sonata membawakan lagu melankolik (cengeng) Hati yang Luka, kemudian lagu itu booming luar biasa. Departemen Penerangan segera bertindak melarang lagu itu diputar di TVRI, karena khawatir masyarakat ikut-ikutan cengeng. Sesuatu yang secara mental dianggap buruk, sudah dilarang.

Saya juga masih ingat ketika Pemerintah mengeluarkan larangan penggunaan nama-nama asing untuk nama-nama bisnis, billboard, nama real estate, dan sebagainya. Istilah-istilah yang kebarat-baratan harus diganti ke istilah nasional atau lokal. Alasannya, biar budaya bangsa tidak digeser oleh istilah-istilah asing. Ketika naik bis ke Jakarta lewat Puncak, banyak papan-papan nama yang diblok dengan kertas/plastik putih, ada yang ditutup dengan cat, ada yang dilepas, dan lain-lain. Itu demi meneguhkan budaya nasional atas budaya asing. Adapun hari ini, cobalah Anda lihat ke layar TV! Adakah kejayaan budaya nasional atau lokal disana? Juga coba perhatikan fenomena perang tarif antar operator-operator telepon seluler. Apakah disana Anda menyaksikan sikap budaya nasional? Nonsense!.

Begitu pula, dulu di jaman Soeharto, hanya gara-gara Permadi (sekarang anggota fraksi PDIP di DPR) mengatakan, "Nabi Muhammad tidak terlalu pintar." Dia harus berurusan dengan polisi, mendapat kecaman MUI dan Ummat Islam. Adapun hari ini, lihatlah bagaimana kelakuan JIL dan kawan-kawan? Mereka bukan hanya melecehkan Nabi, tetapi sudah merongrong fundamental akidah Islam. Di IAIN atau UIN dan semacamnya, akidah Islam menjadi bahan olok-olok. Dosen-dosen yang berakidah liberal (kafir) bebas mendoktrin pikiran-pikiran mahasiswa. Departemen Agama seperti tidak berdaya menghadapi arus liberalisme kafir ini.

Anda mungkin ingat, hebatnya kegelisahan publik di akhir 80-an saat beredar isu "Lemak Babi". Wartawan yang pertama kali mengungkap berita itu adalah Al Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, yang saat ini terkenal sebagai pakar aliran sesat. Waktu itu beliau masih bergabung dengan koran Pelita. Masyarakat resah sekali sehingga penjualan produk-produk industri turun drastis. Dan pemerintah tanggap, sehingga kejadian itu mendorong munculnya labelisasi halal MUI.

Katanya Soeharto Menolak Suksesi

Amien Rais sejak tahun 90-an getol menyerukan agar Pak Harto sebaiknya mundur dari jabatan Presiden RI, dan mempersilakan tokoh-tokoh lain menjadi presiden. Iwan Fals menimpali dengan merilis lagu Bento dan Bongkar. Lirik lagu itu kental bernuansa kritik terhadap Soeharto. Apalagi lagu Pak Tua, sangat-sangat jelas kemana arah bidikannya.

Opini yang berkembang kuat waktu itu, Soeharto tidak mau turun tahta, karena dia gila kekuasaan, ingin terus berkuasa sampai wafat. Di sisi lain, banyak yang percaya kalau Soeharto sudah diganti, kehidupan masyarakat akan seketika berubah menjadi adil, makmur, sentosa, gemah-ripah loh jinawi. Kemudian fakta membuktikan, Soeharto mau turun dari kekuasaan, tanpa harus memerangi gerakan mahasiswa. Sampai
saat ini Presiden RI sudah berganti 4 kali, tetapi hasilnya sangat mengecewakan. Hingga ada disana mantan-mantan presiden yang ngotot ingin menjadi presiden lagi, padahal jelas-jelas dia sudah gagal. Berbeda dengan Soeharto, ketika sudah mundur, dia tidak terjun lagi ke dunia politik praktis. Bahkan sejak mundur dari Presiden, Soeharto tidak mau pergi ke luar negeri, sekalipun untuk berobat.

Sebenarnya, Pak Harto tidak berambisi dengan jabatan presiden. Pada Mei 1998, ketika gerakan mahasiswa sedang ganas-ganasnya, beliau membuat pernyataan politik yang bernada mencela dirinya sendiri. Beliau mengaku, bahwa dirinya sudah TOP (Tua, Ompong, Peot). Dia tidak bernafsu memimpin Indonesia. Beliau ingin proses Reformasi secara gradual (bertahap), tidak membongkar semua hasil-hasil pembangunan
yang sudah susah-payah dibangun selama 30 tahunan. Terbukti, di kemudian hari analisis beliau
benar, bahwa Reformasi menghancurkan kebaikan-kebaikan pembangunan yang telah ditanam sejak Orde Baru. Akibatnya, yang menderita adalah rakyat Indonesia sendiri.

Pak Harto tahu secara jelas, bahwa musuh yang dihadapi bangsa Indonesia adalah para kapitalis Barat yang sejak lama ingin merusak kehidupan negara. Oleh karena itu beliau berkali-kali melakukan lawatan ke Timur Tengah dalam rangka menjalin aliansi dengan negara-negara Muslim. Pak Harto sangat tahu, bahwa di Indonesia belum muncul pemimpin politik yang sekuat dirinya. Dia khawatir, jika Indonesia dipimpin oleh
pemimpin yang lemah, rakyat akan dikorbankan di hadapan kepentingan kapitalis Barat.

Dan itu terbukti, ketika Indonesia dipimpin Abdurrahman Wahid, Megawati, dan SBY, rakyat selalu menjadi sasaran untuk dikorbankan. (Amran Nasution mengkritik tajam dalam tulisannya, Laissez Faire Pak SBY, aisses Faire. Dimuat di hidayatullah.com).

Saya tidak percaya seorang Amien Rais adalah tokoh Reformasi. Dia itu doktor politik lulusan Chicago, Amerika. Pemikiran-pemikirannya sangat American oriented. Saya yakin, kebencian dia kepada Soeharto bukan karena alasan Soeharto terlalu lama menjadi Presiden RI. Tetapi dia menjalankan agenda yang dipaksakan oleh para kapitalis Barat. Menurut saya, Amien tidak berbeda dengan IMF, hanya berbeda posisi dan deskripsi kerjanya saja. Iwan Fals dan lain-lain juga sama saja. Mereka hanyalah orang-orang yang dipelihara kapitalis Barat.

Banyak orang menuduh politik Soeharto sarat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). KKN itu memang ada dan nyata, tetapi tidak sedramatis yang digembar-gemborkan media-media massa pro kapitalis. Menurut Prof. Soemitro Djoyohadikusumo, angka kebocoran anggaran di jaman Orde Baru rata-rata 30 %. Itu data resmi yang diklaim oleh "begawan ekonomi" itu. Angka korupsi 30 % secara riil menghambat pelayanan
birokrasi, tetapi tidak sampai berakibat menghancurkan struktur ekonomi kita. Kehancuran ekonomi Indonesia bukan karena angka 30 % itu, tetapi karena sistem makro ekonomi yang menuruti resep-resep IMF. Pakar ekonomi Dr. Rizal Ramli pernah mengatakan, bahwa IMF bertanggung-jawab di balik penggelontoran mega dana BLBI. IMF inilah biang-keroknya kerusakan ekonomi Indonesia. Dan sekarang, orang IMF, Sri Mulyani Indrawati menjadi Menteri Keuangan RI.

Kalau korupsi 30 % di jaman Orde Baru teratasi, pelayanan birokrasi akan lebih cepat, efektif, dan efisien. Korupsi itu tidak ada kaitannya dengan kemerosotan nilai tukar rupiah dari posisi Rp. 2.500,- ke angka Rp. 10.000,- per dolar (merosot 300 %). Padahal semua pihak sudah tahu, Krisis Ekonomi dipicu oleh kehancuran nilai rupiah terhadap dolar Amerika. Korupsi 30 % dan kemerosotan kurs sampai 300 % itu
tidak ada kaitannya. Jika ada, kaitannya kecil atau tidak secara langsung.

Sekarang bandingkan dengan praktik korupsi di era Reformasi! Korupsi kini telah menjadi konsekuensi jabatan. Sampai level pejabat Kejaksaan Agung pun tidak segan-segan menjadi broker perkara (kasus Jaksa Urip Trigunawan dkk). Padahal kejaksaan itu tugasnya sebagai "penjaga gawang" keadilan hukum. Data
terakhir, pejabat kejaksaan di Gorontalo marah-marah dan membodoh-bodohkan polisi, karena dia
tidak diberi uang 50 juta. Katanya Reformasi, tetapi praktek korupsi berlangsung sangat telanjang. Mantan Ketua MA, Bagir Manan, hampir-hampir terjerumus kasus percaloan hukum di MA. Korupsi bukan hanya oleh pejabat dan pengusaha, bahkan para penegak hukum level tertinggi. Inilah "barakah" era Reformasi.

Era 70-an sampai pertengahan 80-an, Soeharto memiliki hubungan gelap gulita dengan gerakan Islam. Hal itu bisa dilihat dari beberapa sisi, yaitu: Pertama, beliau seorang militer yang biasa didoktrin nilai-nilai nasionalisme; Kedua, beliau berasal dari keluarga awam ilmu agama dari Gunung Kidul; Ketiga, ini yang paling mendasar, orang-orang berpengaruh yang ada di sekitarnya rata-rata dari kalangan anti Islam (Islam phobia), seperti CSIS, LB. Moerdani, Soedomo (waktu masih non Muslim), Frans Seda, JB. Soemarlin, Radius Prawiro, dan sebagainya. Sikap pemimpin sangat dipengaruhi para pembisik di sekitarnya. Hal itu sangat jelas terlihat di era Abdurrahman Wahid. Dia dijatuhkan karena skandal Buloggate dan Bruneigate. Salah
satu pembisiknya adalah Soewondo, seorang tukang pijit.

Bukan berarti saya fanatik kepada Soeharto, atau ingin kembali ke sistem Orde Baru. Tidak sama sekali. Tetapi kita harus jujur dalam menyikapi realitas politik. Kenyataan yang buruk tunjukkan agar menjadi nasehat; tetapi kenyataan-kenyataan baik juga jangan diingkari. Kita harus bersikap adil, "Berbuat adil-lah, sebab adil itu lebih dekat ke taqwa." (Al Maa'idah: 8). Contoh PKS, mereka suka jika partainya dipuji-puji oleh banyak kalangan; tetapi mereka akan emosi ketika diingatkan bahwa PKS ikut berkoalisi di bawah kepemimpinan SBY-Kalla. Itu hanya contoh sederhana, bahwa mengingkari suatu kebaikan, dengan hanya menyebut keburukan, tidak disukai oleh siapapun, termasuk oleh partai aktivis sekalipun.

Seperti Asvi Warman Adam, pengamat politik LIPI. Hampir semua komentarnya tentang Soeharto selalu negatif. Dia seperti melihat dengan kacamata hitam. Tetapi kalau diadiingatkan tentang kejahatan-kejahatan Soekarno dalam sejarah, dia juga akan emosi. Soekarno itu hampir saja menjerumuskan bangsa Indonesia ke dalam sistem Komunisme, pasca Pemberontakan G30S/PKI.

Kalau Soeharto disebut ideal, jelas masih jauh. Tetapi beliau memiliki keberpihakan terhadap kepentingan Ummat Islam; setidaknya kepada kepentingan internal bangsa Indonesia sendiri. Nah, keberpihakan itulah yang tidak ada sejak Indonesia masuk era Reformasi, dari jaman Wahid sampai SBY. Para pemimpin seperti boneka kayu yang dikendalikan dari jauh oleh tangan tak terlihat.

Mengapa Soeharto Dijatuhkan?

Jika Soeharto sebenarnya baik, mengapa dia dijatuhkan? Jawaban atas pertanyaan ini sederhana saja, yaitu: Soeharto pro kepentingan Ummat Islam. Bahkan sikap itu beliau tunjukkan ke dunia internasional, saat dirinya dan keluarganya menunaikan Ibadah Haji secara kenegaraan. Biasanya, para pemimpin negara Muslim tidak berani menunjukkan ritual Ibadah Haji-nya secara terbuka. Tetapi Pak Harto berani, dengan
segala resiko politik yang mesti ditanggung.

Pak Harto itu seperti pemimpin yang mendapat hidayah. Di rumahnya beliau mendatangkan guru ngaji, KH. Qosim Nurzeha; putrinya Mbak Tutut selalu memakai kerudung (meskipun bukan jilbab rapi); isterinya mendirikan Museum Baitul Qur'an di TMII; sampai wafatnya di RSPP Jakarta, Pak Harto tetap melaksanakan
Shalat. Berbeda dengan Soekarno yang tidak istiqamah melaksanakan Shalat, sampai akhir hayatnya dia
tidak shalat. Bahkan diragukan ketika dia membacakan Proklamasi 17 Agustus 1945 dia sudah menunaikan Shalat Shubuh. Tidak ada informasi sejarah yang menceritakan hal itu. Padahal kata Nabi, batasan antara kekafiran dan keislaman itu, ialah meninggalkan shalat.

Dukungan Soeharto terhadap Ummat Islam membuat negara-negara Barat gerah. Mereka melihat Indonesia berproses ke arah Islamisasi kehidupan. Oleh karena itu, mereka segera memikirkan makar politik untuk menurunkan Soeharto. Itulah yang kemudian kita kenal dengan Krisis Moneter 1997. Krisis ini benar-benar diciptakan Amerika dan IMF untuk menjatuhkan Soeharto. Dalam sebuah tulisan yang dibuat oleh Prof. Steve Henke, seorang pakar CBS sekaligus profesor ekonomi terapan di Johns Hopkins University,
Baltimore, AS. Dia mengatakan, bahwa IMF berada di balik kehancuran ekonomi Indonesia tahun 1997 itu.

Berikut ini sebagian isi tulisan Steve Henke di majalah Tempo:
Seperti diketahui, saya mengetahui sesuatu tentang penggulingan Soeharto itu. Pada akhir Januari 1998, saya memberikan serangkaian kuliah di Bogazici University. Suatu malam, ketika saya dan Nyonya Henke sedang bersantai di Ciragan Palace Hotel, Istambul, saya menerima pesan mendesak. Pesan itu adalah undangan dari Presiden Soeharto untuk mengunjunginya di Jakarta.

Krisis Asia pada 1997 berat menghantam Indonesia. IMF meresponnya dengan memberikan resep pengobatan standarnya, dan Indonesia mengambangkan rupiah pada 2 Juli 1997. Hasilnya adalah bencana. Nilai rupiah ambruk, inflasi melambung tinggi, dan kekacauan ekonomi terjadi. Soeharto tahu saya telah menyarankan kepada Bulgaria dan Bosnia untuk memberlakukan currency board pada 1997. Dan seperti malam menyusul siang, kekacauan mata uang terhentikan di Bulgaria dan Bosnia segera setelah mereka
mengadopsi kurs tetap yang dibarengi dukungan penuh mata uang domestik mereka dengan cadangan valuta asing.

Presiden Soeharto menyadari bahwa obat IMF akan membunuh pasien dan sebuah currency board bisa mencegah keambrukan total. Menyusul pertemuan pertama kami di Jakarta, Soeharto menunjuk saya sebagai penasehat khusus. Tak berapa lama saya mengusulkan sebuah currency board untuk Indonesia, dan Soeharto menyetujui gagasanini. Hal ini mengangkat rupiah. Nilai mata uang itu naik 28 persen dibandingkan dengan dolar Amerika pada hari ketika berita disiarkan. Pemerintah Amerika dan IMF tak
senang.

Meski proposal currency board menghimpun dukungan dari banyak pemenang Nobel dan ekonom terkemuka lainnya -termasuk Gary Becker, Rudiger Dornsbursch, Milton Friedman, Merton Miller, Robert Mundell, dan Sir Alan Waters- tetap saja ia menjadi sasaran serangan yang menghancurkan dan keji. Soeharto diberitahu dengan tegas oleh Presiden Amerika Bill Clinton dan Michael Camdessus, Direktur Pengelola IMF- bahwa ia harus membuang gagasan tentang currency board atau melupakan bantuan
luar negeri sebesar US$ 43 miliar.

Mengapa currency board untuk Indonesia menimbulkan reaksi yang keras seperti itu? Pemenang Nobel Merton Miller segera memahami permainan besarnya. Ia mengatakan kepada koran Christian Science Monitor, bahwa Amerika ingin menyingkirkan Soeharto dan bahwa currency board bisa mengacaukan rencana itu. Profesor Miller mengatakan, Departemen Keuangan Amerika tahu bahwa currency board bisa menstabilkan rupiah dan ekonomi Indonesia, dan sebagai akibatnya Soeharto akan bertahan di kekuasaan. Karena itu, pemerintah Amerika menggunakan segala cara yang ada -termasuk IMF- untuk menentang gagasan itu.

Mantan Perdana Menteri Australia, Paul Keating, berkesimpulan serupa:
"Departemen Keuangan Amerika sengaja menggunakan ambruknya ekonomi sebagai cara untuk menyingkirkan Presiden Soeharto." Mantan Menteri Luar Negeri Amerika, Lawrence Eagleberger, juga meyakini diagnosis yang sama: "Kami (pemerintah Amerika) cukup cerdik dengan mendukung IMF untuk menjatuhkan (Soeharto). Soal apakah itu cara yang bijak, masalah lain. Saya tak mengatakan Soeharto mesti bertahan, tapi saya boleh dibilang mengharapkan ia turun dengan syarat, ketimbang karena IMF
memaksanya."

Bahkan Micahel Camdessus tak bisa menemukan kesalahan di dalam pendapat ini. Pada saat pensiunnya, ia dengan bangga mengatakan, "Kami (baca: IMF) menciptakan kondisi yang mengharuskan Presiden Soeharto melepas jabatannya."

Gagasan perubahan regim di kalangan neo-konservatif dan penggunaannya sama sekali bukan hal baru. Yang membedakan penerapannya di Irak adalah (dengan) penggunaan kekuatan militer besar-besaran (sedangkan di Indonesia dengan pendekatan sistem moneter -pen.) (Tempo, 11 Mei 2003).

Itulah yang ditulis oleh Steve Henke. Tulisan senada, pernah ditulis Asro Kamal Rokan di Republika. Penjatuhan Soeharto bukanlah oleh para mahasiswa, tetapi oleh tangan-tangan kapitalis Barat. Para mahasiswa hanya berfungsi sebagai "kuda troya" saja. Dan Soeharto sudah memahami ancaman ini sejak lama. Beliau bersedia menanda-tangani Pakta APEC atau WTO, karena mendapat tekanan kuat dari
negara-negara Barat. Kekuatan itulah yang kerap disebut oleh para pakar sebagai New Colonialism (kolonialisme baru). Mereka yang menjalankan agenda liberalisasi di Indonesia, sampai saat ini. Pak Harto terlalu santun untuk terus-terang kepada rakyatnya. Dia tidak mau rakyatnya memikul beban psikologis berat, karena menghadapi konflik dengan negara-negara kapitalis. Dia memilih diam sampai wafat, sambil memberi pelajaran kepada rakyat Indonesia dengan "diam".

Sampai disini, rasanya lucu melihat aktivis-aktivis Islam yang begitu mudah didikte oleh opini-opini media. Mereka tidak mengerti persoalannya secara detail. Mereka hanya termakan oleh provokasi media-media TV yang intensif mendoktrin pemikiran. Media-media TV itu masih satu barisan bersama kapitalis liberal, mereka jelas memperjuangkan agendanya. Mereka anti Islam dan anti terhadap segala sesuatu yang baik pengaruhnya bagi kaum Muslimin.

Fakta lain yang juga harus diketahui, yaitu tentang kucuran dana US$ 26 juta dolar untuk mendanai penggulingan Soeharto pada Mei 1998. Dana itu berasal dari USAID, disalurkan ke LSM-LSM dan gerakan mahasiswa anti Soeharto. Informasi ini diulang berkali-kali oleh Amran Nasution dalam berbagai tulisannya di situs hidayatullah.com. Fakta itu bersumber dari tulisan Tim Weiner, di The New York Times, 20 Mei 1998. (Lihat Membuka Topeng Negara Gagal, oleh Amran Nasution, hidayatullah.com, 17 April 2008). Orang-orang seperti Adnan Buyung Nasution dan Gunawan Mohamad konon tahu banyak tentang aliran dana USAID itu. (Dalam konteks yang lain, Arifin Panigoro juga pernah mengaku, dia mendanai gerakan mahasiswa anti Habibie selama 1998-1999).

Jadi, pendirian Soeharto yang mulai menjauh dari jaringan Islam phobia (seperti CSIS, Moerdani, Frans Seda, dll) dan kesungguhannya untuk mendukung usaha-usaha perbaikan kehidupan kaum Muslimin, itulah yang membuatnya dijatuhkan dari kursi RI-1. Dulu, sewaktu Soeharto bersikap anti Islam, Barat tidak mempersoalkan politiknya. Bahkan Soeharto dijuluki "the good boy". Hanya ketika regim Orde Baru
mulai menjauh dari jaringan Mafia Berkeley, dan mendekat ke ICMI, dia dihabisi dengan Krisis Moneter 1997.

Dengan sendirinya, kalau kita setuju, ikhlas, dan ridha dengan runtuhnya politik Soeharto, serta bersyukur atas terciptanya kehidupan serba liberal seperti saat ini, berarti kita satu barisan bersama IMF dan Departemen Keuangan Amerika, serta satu barisan bersama kelompok Islam phobia. Na'udzubillah min dzalik.

Tetapi juga tidak lantas kita setuju 100 % dengan Pak Harto. Kita tetap tidak setuju dengan yang buruk-buruk di jamannya, apapun bentuknya. Seperti kasus Tanjung Priok, Talangsari, DOM di Aceh, militerisme, sikap lunak kepada konglomerat China, dll. Jelas kita tidak setuju. Kita hanya setuju yang baik-baik saja, bukan yang buruknya. Sejatinya, Reformasi itu dibutuhkan bukan untuk membongkar semua kebaikan
di jaman Orde Baru, tetapi untuk memperbaiki hal-hal yang keliru dan zhalim di jaman itu.

Ternyata kenyataan yang terjadi, Reformasi menghancurkan kebaikan-kebaikan masa lalu dan menjerumuskan masyarakat ke dalam kehidupan serba liberal di segala bidang. Jelas, bukan Reformasi keblinger seperti ini yang kita harapkan. Ini bukan Reformasi seperti yang diklaim, tetapi dehumanisasi kehidupan masyarakat.

Politik Substansi Syariat

Pak Harto itu bukan seorang aktivis Islam, tidak lahir dari keluarga santri, tidak pernah ikut liqa' atau halaqah, tidak pernah menjadi anggota Harakah Islam, dan sebagainya. Beliau seorang militer, mantan prajurit tempur sejak era Perang Kemerdekaan. Dengan background seperti ini wajar kalau dia jauh dari isu penegakan Syariat Islam. Tetapi kebijakan-kebijakan politiknya sangat banyak mengakomodir kepentingan Ummat Islam, hal itu bisa diterima sebagai dukungan bagi pengamalan Syariat Islam. Dengan istilah lain, beliau mendukung pengamalan substansi Syariat. Bahkan mungkin beliau memperlihatkan aplikasi pengamalan substansi Syariat yang terbaik di antara pemimpin-pemimpin Indonesia.

Contoh, legalisasi jilbab. Siapa bisa menjelaskan bahwa legalisasi jilbab tidak sesuai Syariat Islam? Adakah yang mampu menjelaskan? Begitu pula dengan konsep Bank Syariah, labelisasi halal MUI, pendidikan agama bagi pelajar Muslim, kalimat "iman dan takwa" di GBHN, UU Perkawinan, dan sebagainya. Siapakah bisa menerangkan, bahwa semua itu tidak sesuai Syariat Islam? Jelas semua itu sesuai pengamalan Syariat
Islam dan bermaslahat bagi kehidupan Ummat. Ketika para politisi Muslim hari ini mengklaim slogan “substansi Syariat", maka Soeharto telah menunjukkan hal itu dengan kebijakan politik kongkret.

Bagi seorang politisi besar seperti Soeharto, datang dari keluarga awam ilmu agama, dibesarkan dengan doktrin nasionalisme militer, memimpin sebuah negara dengan + 13.000 pulau, di dalamnya terdapat ratusan etnis dan bahasa, adalah suatu keajaiban besar saat beliau banyak mengakomodir kepentingan kaum Muslimin melalui legalisasi produk-produk hukum yang sesuai Syariat. Secara formalitas, beliau tidak
pro Syariat Islam, tetapi secara substansial, keberpihakan itu sangat jelas. Saya yakin, dibandingkan gerakan Islamisasi yang digerakan partai AKP di Turki, gerakan mantan Presiden Soeharto jauh lebih progressif.

Dan hebatnya, media-media massa dan para politisi Americanist, mereka tidak pernah melihat jasa-jasa Soeharto kepada Ummat Islam. Mereka selalu mengungkit sisi-sisi buruk kepemimpinannya. Majalah Tempo pernah mendiskreditkan IPTN, setelah salah satu pesawat produksinya jatuh dalam latihan. IPTN pun membawa masalah itu ke pengadilan. Kalau mau jujur, di negara mana yang tidak ada penyimpangan, tidak ada korupsi, tidak ada kezhaliman politik? Adakah sebuah negara yang suci dari kekeliruan? Hingga
di Kerajaan Arab Saudi pun, yang konon pemerintahnya dipandu oleh nasehat-nasehat ulama, disana juga banyak kekurangan. Tidak terkecuali Mesir, Kuwait, Yaman, Malaysia, Pakistan, Turki, Brunei, dan sebagainya. Adakah yang bebas murni dari kesalahan? Hanya negara yang dipimpin oleh Malaikat dan rakyatnya Malaikat semua, yang bebas dari kesalahan.

Adalah wajar seorang pemimpin politik di sebuah negara seperti Indonesia ini tidak bersih dari kesalahan dan kezhaliman. Tinggal kemudian ditimbang, dia lebih banyak kebaikan atau keburukannya? Dalam pandangan saya pribadi, mantan Presiden Soeharto itu seorang politisi besar. Sejak awal sampai pertengahan kepemimpinan, beliau dikelilingi orang-orang Islam phobia yang kemana-mana selalu "memakai kacamata hitam" (memandang negatif Ummat Islam). Namun di akhir masa jabatannya (setidaknya 10 tahun terakhir), beliau menerapkan kebijakan politik yang berpihak kepada Ummat
Islam. Beliau meninggal sebagai seorang Muslim yang tetap menjalankan Shalat sampai wafatnya.

Sangat tidak bijaksana semata-mata menghujat Soeharto, dengan tidak mau mengakui sedikit pun kebaikan-kebaikannya. Saat ini bangsa Indonesia mengagung-agungkan Soekarno-Hatta, padahal keduanya adalah penentang paling keras penerapan Syariat Islam. Soekarno-Hatta tidak meninggalkan jejak-jejak yang baik bagi dakwah Islam, sementara Soeharto meninggalkan banyak hal. Ya, Ummat Islam harus berani
Bersikap jujur. Kita jangan tertimpa kemalangan dua kali; malang karena hidup kita saat ini menderita, dan malang karena kita dianggap sebagai Ummat yang tidak tahu balas budi. Sewaktu Soeharto wafat, Lee Kuan Yew mengecam bangsa Indonesia yang katanya tidak bisa memperlakukan pemimpin besar seperti Soeharto secara layak. Seorang musuh pun bisa mengakui kebaikan itu, mengapa kita sebagai sesama Muslim justru tidak mengakuinya?

Saya khawatir, hal-hal seperti itu termasuk alasan yang membuat bangsa ini selalu didera oleh musibah berat. Betapa tidak, kita kurang pandai mensyukuri kebaikan. Saat diberi pemimpin yang buruk, kita marah-marah; saat diberi pemimpin yang baik, kita melupakan jasa-jasa baiknya. Sangat aneh!

Di Balik Gerakan Reformasi

Sebenarnya yang menyukai tumbangnya Soeharto bukan hanya Amien Rais, mahasiswa, dan para politisi. Ada sebuah kekuatan besar yang tidak kita perhitungkan sejak semula, yaitu para pendukung budaya liberalis Barat. Mereka ini selama era Orde Baru sangat tidak betah, sebab disana terlalu banyak restriksi (larangan-larangan) yang menghambat gerakan mereka. Di masa itu, kekuatan mereka sudah muncul,
hanya sangat sporadis dan terpencar. Bisa dikatakan, mereka adalah orang-orang yang dikemudian hari menjadi agen-agen kapitalis Barat.

Kaum hedonis western maniac itu tidak berani berhadap-hadapan dengan Soeharto, sebab posisi politik Pak Harto waktu itu sangat kuat. Beliau disebut-sebut sebagai orang kuat di Asia. Mereka melakukan perlawanan melalui karya-karya seni secara simbolik. Baik seni lukis, musik, sastra, drama, teater, sampai monolog. Ada semangatperlawanan tetapi tidak vis a vis.

Ketika gerakan Reformasi berhasil meruntuhkan Soeharto, kaum hedonis itu berpesta pora. Mereka mengecam Soeharto sekeras-kerasnya, menghujatnya, menjatuhkan martabatnya ke titik nazhir paling hina. Hingga saat Soeharto meninggal pun, suara kecaman mereka tetap nyaring. Orang-orang itu bukan hanya membenci aturan-aturan moral yang dipaksakan Soeharto, tetapi juga sangat muak melihat kedekatan Soeharto kepada Ummat Islam. Dulu sewaktu Soeharto dekat dengan CSIS, LB. Moerdani,
Frans Seda, dll. mereka tidak terdengar suara kecamannya. Malah Abdurrahman Wahid ketika itu menjadi shohibnya Pak Harto.

Justru setelah Soeharto bersikap baik kepada Ummat Islam, mereka menumpahkan segala amarahnya. Cobalah tanyakan kepada orang-orang seperti Abdurrahman Wahid, Gunawan Mohamad, Adnan Buyung Nasution, Azyumardi Azra, Syafi'i Ma'arif, Ulil Abshar Abdala, Nong Darol Mahmada, Luthfi Asyaukani, Rizal Malarangeng, Ayu Utami, Nia Dinata, Rieke Dyah Pitaloka, Ratna Sarumpaet, Romo Sandyawan, dll. apakah mereka memiliki simpati kepada Soeharto? Hampir pasti, mereka sangat membenci Soeharto. Politik
Soeharto dianggap sebagai tonggak anti liberalisasi dan kapitalisasi kehidupan.

Di balik orang-orang itu ada kepentingan kapitalis yang anti terhadap kebaikan hidup masyarakat. Kaum kapitalis inilah yang tidak kenal lelah mendorong agen-agennya agar menentang RUU Pornografi. Di jaman Soeharto, mereka tidak mampu bergerak, namun setelah Reformasi mereka menguasai keadaan. Mereka bebas membentuk dan mempengaruhi opini publik melalui media-media TV. Di mata mereka, munculnya UU Pornografi dianggap sebagai awal kebangkitan kekuatan internal bangsa Indonesia. Apalagi UU
Pornografi itu langsung membidik ke titik masalah moral yang kuat pengaruhnya di tengah publik. Trauma terhadap kepemimpinan pro moral seperti di jaman Soeharto kini menghantui pikiran orang-orang itu.

Kalau mau jujur, sebenarnya pemenang sejati pertarungan Reformasi adalah kaum liberalis kapitalis itu. Bukan mahasiswa atau pemuda-pemuda idealis. Buktinya, setelah Reformasi nyaris tidak kita dapati kemajuan-kemajuan dalam kehidupan masyarakat. Jika ada kemajuan, ia adalah munculnya UU Politik yang sangat liberal, seperti UU Pilpres, UU Pilkada, UU Otonomi Daerah. Para mahasiswa hanya diposisikan sebagai "pendorong mobil mogok". Setelah mesin mobil hidup lagi, mereka ditinggalkan. Lebih buruk lagi, saat ini sudah tidak ada lagi mahasiswa-mahasiswa idealis. Waktu 10 tahun Reformasi sudah cukup untuk membentuk karakter mahasiswa yang hedonis, western maniac, entertainment oriented, akrab dengan seks bebas, pornografi, narkoba, aborsi, dan sejenisnya. Militansi itu kini telah berubah menjadi impotensi.

Apa yang kita saksikan saat ini adalah pertarungan lama. Tidak ada yang baru, hanya berbeda penampilan dan kapasitasnya. Sejak dulu, memang ada sekelompok orang yang anti terhadap kebajikan masyarakat. Mereka pro liberalisasi kehidupan. Salah satu prestasi besar mereka di pentas sejarah, ialah mengacaukan persepsi publik tentang politik Soeharto; khususnya pada 10 tahun terakhir jabatannya. Jika seorang Muslim mengiyakan pandangan mereka, berarti dia satu barisan bersama IMF dan Departemen
Keuangan Amerika. Na'udzubillah min dzalik. Dan pas lagi, kiblat kapitalis dunia itu kini menggelepar-gelepar dalam krisis ekonomi.

Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk memahami persoalan ini. Sebenarnya ada sebuah kajian terperinci yang telah saya tulis dalam tema ini, tetapi ia tidak diterima oleh sebuah penerbit, dengan alasan saya bukan pakar politik. Setelah 10 tahun Reformasi berjalan, kenyataan yang ada bukanlah Reformasi, tetapi LIBERALISASI RADIKAL di segala bidang. Inilah era ketika rakyat dikorbankan untuk melayani kepentingan kapitalis asing. Adalah salah besar jika Ummat Islam tidak mau mengakui jasa-jasa baik mantan Presiden RI, Haji Muhammad Soeharto. Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikannya dalam Islam. Amin.

Wallahu a'lam bisshawaab.
Sumber: : MilisJokam

http://anggawisnu.blogspot.com/2008/12/ ... harto.html
Last edited by Laurent on Sat Jul 17, 2010 10:08 pm, edited 1 time in total.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: SOEHARTO & ISLAMISASI INDONESIA

Post by Laurent »

KabarIndonesia
Tanggapan
HM Soeharto Membangun Citra Islam atau Merusak Citra Islam

Buku yang saya tulis “HM Soeharto, Membangun Citra Islam” mendapat tanggapan khusus A. Umar Said tanpa merasa perlu membaca buku tersebut, padahal saya sangat berharap Tuan Umar membaca dulu baru berkomentar agar tanggapan yang diberikan menjadi jernih dan layak dikonsumsi untuk kemaslahatan orang banyak. Buku tersebut diluncurkan menjelang hari ulang tahun mantan presiden Soeharto yang ke-86, yang jatuh pada tanggal 8 Juni 2007 dan Tuan Umar mengomentarinya pada 12 Juni 2007 setelah membaca berita dari Kantor Berita Nasional Antara.

Saya mencoba menunggu komentar lain dari kalangan netter karena Tuan Umar telah mengirim tulisannya tersebut ke sejumlah mailing list dan blog. Akan tetapi tanggapan lain yang saya tunggu tak juga muncul kecuali hanya beberapa, itupun tak begitu penting karena hanya memberikan suport kepada Tuan Umar dengan slogan ”salam kiri”.

Saya ingin menanggapi tulisan Tuan Umar dengan pertimbangan agar para pembaca juga mengetahui pendapat saya tentang apa yang sudah ditulis Tuan Umar tersebut. Saya juga tidak bisa menutup mata atau merasa cuek dengan tanggapan yang begitu serius dari Tuan Umar.

Tuan Umar menulis bahwa judul ”HM Soeharto Membangun Citra Islam” sebagai menyesatkan. Ia mengutip pernyataan saya yang dimuat Antara bahwa ”Banyak perjuangan yang sudah dilakukan Soeharto terhadap Islam. Pak Harto terbukti telah menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan memperjuangkan toleransi beragama.”

Lalu Tuan Umar beropini; ”Mungkin saja di antara kita ada yang tercengang, atau mungkin juga ada yang tertawa terkekeh-kekeh, atau, ada pula yang jengkel dan marah-marah. Sebab, mungkin saja, ada orang yang menganggapnya sebagai lelucon, atau sebagai bualan alias omong-kosong, atau bahkan sebagai hinaan yang amat besar kepada Islam.”

Saya baca berkali-kali kalimat tersebut; sangat terasa menghinakan, pernyataan tendensius dan apriori, tapi biarlah. Tuan Umar boleh beropini apa saja. Mungkin juga karena Tuan Umar jarang ke Indonesia dan terhanyut oleh provokasi kalangan pendendam Soeharto atau boleh jadi Tuan Umar adalah bagian dari para pendendam itu sehingga menganggap rakyat Indonesia ini sebagai sosok-sosok pembenci Soeharto sehingga perlu tertawa terkekeh-kekeh karena menganggap judul buku dan pernyataan saya sebagai lelucon, bualan atau omong kosong.

Akan tetapi begitu membaca tentang cv Tuan Umar serta beberapa tulisannya dalam situs pribadinya saya jadi maklum. Sebagaimana dikatakan KH. Dr. dr. Tarmizi Taher dalam bedah buku dimaksud saat mengomentari bahwa AM Fatwa memaaafkan Soeharto; ”Hanya orang-orang PKI yang tidak memaafkan Soeharto.” Lalu, saya pun mencoba menerka mungkin Tuan Umar adalah bagian dari tokoh yang disebut Tarmizi tersebut.

Selanjutnya mari kita baca ulang tulisan Tuan Umar. Ia mengajak para pembaca untuk merenungkan secara dalam-dalam apakah sebutan ”HM Soeharto membangun citra Islam” itu memang mengandung kebenaran, dan apakah sebutan itu akan mengangkat Islam, ataukah sebaliknya, malahan memperburuk atau merusak citra Islam. Sebab, terbitnya buku dengan judul yang demikian itu untuk memperingati hari ulangtahun Soeharto (Umar menulisnya Suharto-- sesuai EYD, katanya) mencerminkan bahwa di kalangan sebagian golongan Islam memang terdapat anggapan bahwa Soeharto adalah tokoh pembangun citra Islam dan “penegak prinsip-prinsip ajaran Islam”. Hal yang demikian ini adalah sangat serius sekali. Dan menyesatkan sekali!

”Oleh karena itu, alangkah baiknya, kalau masalah ini dibicarakan dan ditelaah dengan teliti oleh para tokoh agama Islam di Indonesia, dan dijadikan bahan studi atau riset di universitas-universitas dan lembaga-lembaga ilmiah Islam. Singkatnya, masalah ini perlu sekali menjadi kajian secara luas oleh ummat Islam di Indonesia. Sebab, masalah apakah Soeharto telah ”membangun citra Islam” atau malahan merusak citra Islam, adalah masalah penting yang bisa dipakai untuk menilai berbagai politik rejim militer Orde Baru, dan juga untuk menelaah sikap berbagai golongan Islam terhadap Soeharto dan Orde Baru. Sikap berbagai golongan Islam terhadap Soeharto dan Orde Baru adalah satu hal yang mempunyai pengaruh penting dalam persoalan politik dan sosial di negara kita, yang buntutnya masih sama-sama kita saksikan sampai sekarang ini.”

Sungguh, saya sepakat bahwa judul itu serius untuk direnungkan. Akan tetapi kalau judul itu dianggap menyesatkan tentulah kesimpulan yang terlalu dini, tanpa melalui analisa yang matang. Ini juga sangat berlebihan, bombastis—lebih sebagai pernyataan yang dilandasi sikap apriori dari sosok pendendam. Tuan Umar menggambarkan dirinya seakan-akan sangat peduli dengan Islam (semoga saja seperti itu) dan bukan sedang menghasut umat Islam untuk ikut-ikutan menghujat Soeharto. Teknik yang cukup cerdas dan matang sebagai seorang aktivis pergerakan ”kiri”.

Sayangnya, tulisan-tulisan Tuan Umar adalah hujatan yang tak berkesudahan; suatu sikap yang jauh dari nilai-nilai Islam. Nama Umar diambil dari nama salah seorang khulafaurrasyidin yang memberikan penegasan bahwa Umar seorang muslim. Itu sebabnya saya berharap sedang berdialog dengan sesama muslim, sehingga saya patut menanggapi apa yang ditulis Umar tersebut. Dan saya tidak ingin mempertanyakan kadar keislaman Umar, sebab bukankah itu urusan Allah semata. Sebagaimana saya juga tidak perlu mempertanyakan kadar keislaman Soeharto.
Tuan Umar selanjutnya menulis; ”Soeharto memang pernah memberikan bantuan kepada sejumlah pesantren, memberikan sumbangan untuk membangun mesjid-mesjid, dan memberikan dana kepada sejumlah kyai-kyai dan para pemuka agama Islam. Soeharto juga sering memberikan sedekah kepada anak-anak yatim piatu, atau memberi beasiswa kepada pelajar-pelajar.

Tetapi, perlulah sama-sama kita renungkan dalam-dalam, apakah itu semua telah dilakukan Suharto oleh karena memang ingin melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan sungguh-sungguh dan secara tulus, ataukah karena sebab-sebab dan pertimbangan lainnya. Selama pemerintahan rejim militer Orde Baru, memang Soeharto berusaha merangkul, menina-bobokkan, merekayasa, menggunakan, mensalahgunakan, bahkan menipu atau menjerumuskan sebagian golongan Islam.”

Sejauh mana atau sebesar apa, dan juga bagaimana saja cara-caranya Soeharto telah “merangkul” dan “menggunakan” sebagian golongan Islam ini, barangkali berbagai kalangan Islam sendiri dapat menganalisanya atau menelitinya berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit mereka masing-masing. Yang sudah jelas yalah adanya kebutuhan atau keharusan bagi Soeharto (artinya rejim militer Orde Baru) untuk “merangkul” sebanyak mungkin golongan Islam, demi kelanggengan diktatur militernya, dan untuk melawan lawan-lawan politiknya.

Pandangan Tuan Umar begitu tendensius, penuh fitnah dan menghasut dengan kelincahan goresan penanya tanpa data yang memadai. Kendati demikian, analisa seperti itu layak dikomentari. Menurut hemat saya, dalam kadar tertentu, tak ada salahnya menilai secara obyektif motivasi Soeharto menjalankan nilai-nilai Islam seperti itu. Lagi pula, Tuan Umar juga tidak sendirian dalam menilai ritual keagamaan Soeharto sebagai memiliki dimensi politis di samping tentu saja tak sedikit pula yang menilai secara obyektif, tak membabi buta seperti itu.

Donnald Emmerson, misalnya, menilai tidak semua aktivitas ritual Soeharto sebagai siasat politik melulu. Apalagi bila dihubungkan bahwa Soeharto pernah mengenyam pendidikan di Muhammadiyah. Dan lebih penting lagi adalah keputusan Soeharto untuk mengambil KH Qosim Nurzeha, seorang da’i dari Bintal Angkatakan Darat, sebagai pembimbing kehidupan keagamaan Soeharto dan keluarganya.

Peranan KH Qosim Nurzeha dalam melakukan “Islamisasi” keluarga Presiden Soeharto hampir menjadi persepsi umum terutama dikumandangkannya tahlil berkali-kali pada prosesi pemakanan Ibu Tien Soeharto pada 1996 yang jelas menampakkan kultur Islam.

Mengenai semakin meningkatnya penghayatan keagamaan Pak Harto, Ketua MUI, KH Hasan Basri mengatakan: “Sebagai orang Jawa, saya lihat nilai-nilai spiritualnya sangat dominan. Mungkin pengaruh pendidikan beliau yang sejak kecil sekolah Muhammadiyah. Sedangkan di rumah, ia belajar agama dengan gurunya, KH Qosim Nurzeha. Dan perubahan baru yang saya lihat justru setelah beliau pulang ibadah haji dengan membawa nama baru... Sejak itu keberagamaan Presiden lebih intens, imannya tambah kuat. Sekarang segala kebijakan yang diambilnya dikembalikan pada nilai-nilai agama. Pola pikir beliau tidak hanya berdasarkan akal semata.”

Pendapat KH Hasan Basri patut dijadikan rujukan karena selain beliau dekat dengan Soeharto, sebagai ulama, pendapatnya tentu tulus dan jujur. Tapi bila Tuan Umar juga memasukkan kiai yang sangat terhormat itu ke dalam golongan tokoh Islam yang ”dibeli” maka patut dipertanyakan tentang kejiwaan Tuan Umar.

Saat Soeharto mengakomodasikan kepentingan umat Islam, sampai kemudian berdirinya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) juga muncul tafsir bermacam-macam dari kalangan umat Islam sendiri. Sebagaimana ditulis Tuan Umar tadi, maka sebagian kalangan juga ada yang menganggap sikap presiden pada waktu itu sebagai bagian untuk mencari sandaran politik baru pasca renggangnya hubungan dirinya dengan ABRI terutama dengan LB Moerdani. Mengomentari pendapat seperti itu Dr. Imaduddin Abdurrahim menyatakan: “Kini yang terjadi bukan hanya sebuah upaya presiden untuk mengamankan dukungan sehingga bisa meredam pesaing-pesaingnya di militer. Tentu saja, terdapat ukuran-ukuran politik seperti itu, namun saya tak terlalu sinis. Saya kira Presiden Soeharto mempunyai mata dan ia menyadari bahwa 90% rakyatnya adalah muslim dan mereka harus diberikan peran dalam kehidupan nasional. Ini sebuah awal yang murni. Untuk pertama kali dalam 27 tahun kami diajak dalam kehidupan poltik negeri ini, dan kami harus mengambil keuntungan darinya. Kenyataan ini mungkin tak memuaskan harapan semua orang, namun sebuah kesempatan nyata.”

Imadudin Abdurahim adalah intelektual muslim yang bukan termasuk penikmat jabatan di zaman Orde Baru sehingga pendapatnya menjadi sangat penting untuk dikutip.

Tokoh lainnya, yakni Prof. Dr. Ismail Sunny menyatakan, “Tak perlu terlalu menyederhanakan motivasi Presiden. Presiden menyadari bahwa bila terdapat kelompok besar yang menentangnya, hal itu tak baik bagi kepentingan sendiri. Maka, tidak, ini bukan taktik sesaat di pihaknya, karena ia menaruh perhatian tak hanya pada pemilu tetapi juga dengan proses Islamisasi yang bakal memberikan pengaruh jangka panjang pada masyarakat Indonesia.”

Sebagai catatan, Ismail Sunny adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, yang punya pengalaman tidak menyenangkan saat berpolitik di zaman Orde Baru. Apakah Tuan Umar juga ingin mengatakan intelektual Islam sekaliber Imaduddin dan Ismail Sunny juga ”dibeli” Soeharto?

Selanjutnya, Tuan Umar mungkin merasa kurang pas dengan pendapat para tokoh tersebut. Okelah, saya mencoba menerima pendapat Tuan Umar, andaikata tindakan Soeharto mengadobsi kepentingan Islam dan umat Islam itu berdimensi politik sekalipun sesungguhnya siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Ataukah Tuan Umar menghendaki agar Soeharto tidak perlu melakukan itu dan menindas saja umat Islam supaya apa yang dipersepsikan Tuan tentang Soeharto menjadi kenyataan?

”Soeharto sebagai musuh umat Islam atau merusak citra Islam?”
Tuan Umar menulis; ”(Soeharto) Merangkul golongan Islam untuk bersekutu dengan AS.” Ah, Tuan Umar memfitnah lagi. Dan lagi-lagi, Tuan Umar tidak menunjukkan data yang kongkrit tentang persekutuan itu sehingga kita juga sulit menilai apakah persekutuan dimaksud merugikan umat Islam atau menguntungkan? Atau mungkin, Tuan Umar menganggap bersekutu dengan AS dalam bentuk apa pun sebagai tindakan haram, sebagaimana dikatakan pula oleh Osama bin Ladin.

Tentang apa yang disebut dengan ”persekutuan” dengan AS (baca Barat) hendaknya kita perlu berpikir jernih, tidak hantam kromo. Posisi ini pula yang telah diambil oleh Soeharto dan Orde Baru; bergaul dengan Barat dilakukan tanpa mengimpor secara mentah-mentah faham Barat, apalagi membebek dan mengabdi pada mereka. Satu pergaulan yang win win solution. Membenci Barat tak akan menyelesaikan masalah.

Kita juga tahu bahwa benturan kepentingan yang berlangsung ratusan tahun antara Islam, Kristen dan Barat telah menimbulkan reaksi umat Islam yang cukup beragam. Barat mengusung berbagai ideologi yang sedikit banyak mempengaruhi pola berpikir dan bertindak umat Islam. Di antara ideologi yang diusung oleh Barat adalah ide sekularisasi dan kapitalisme. Selain itu, keberagaman respon juga dipengaruhi oleh situasi lokal, kultur dan faham keagamaan. Secara kategoris, bentuk respon umat Islam tersebut terbagi ke dalam tiga kategori utama.

Pertama, sebagian kalangan menerima ide sekularisasi Barat tanpa ada reserve. Respon ini diperlihatkan terutama oleh gerakan Mustafa Kamal Attaturk ketika melakukan sekularisasi di Turki. Mustafa Kamal berhasil menghapus sistem kekhalifahan Islam yang terakhir. Sekularisasi yang dilakukan Mustafa juga berhasil mengubah praktik keberagamaan, misalnya praktik azan yang dibaca dengan bahasa Arab diubah dengan bahasa Turki.
Kedua, sebagian kalangan lagi ada yang mengambil sekularisasi tetapi dengan batasan dan berbagai revisi.

Respon ini diperlihatkan dalam pembentukan negara-negara Muslim yang dibangun dengan kerangka demokrasi, seperti pembentukan Republik Indonesia dan pembentukan negara Malaysia. Format kedua negara ini sebenarnya dibangun atas ideologi nasionalis, namun tetap mengupayakan okomodasi nilai-nilai religius dan kultur setempat. Hanya saja sedikit perbedaan, Malaysia menempatkan Islam sebagai agama resmi negara, tetapi Indonesia memposisikan Islam sebagai agama yang dilindungi negara. Meskipun Islam dijadikan agama resmi negara, akan tetapi Malaysia tetap menggunakan konstitusi sekuler (artinya tidak menempatkan Al-Qur’an dan Hadist sebagai konstitusi formal, sebagaimana layaknya negara Islam yang memposisikan al-Qur’an han Hadist sebagai konstitusi tertinggi).

Ketiga, kelompok yang menolak segala bentuk modernitas yang berasal dari Barat, lebih khusus lagi sekulerisme. Respon ini dapat dilihat dalam format pembentukan negara Pakistan dan sejumlah negara Arab yang kemudian diteruskan Iran ketika dipimpin Khomeini.

Pilihan ini, selain mendasarkan pendiriannya pada perkembangan rasional politik, mereka sebenarnya tengah melakukan ijtihad untuk tetap dapat survive dalam menghadapi perubahan zaman. Namun demikian sejarah membuktikan dari ketiga respon tersebut, hanya umat Islam yang moderat saja yang dapat dianggap bertahan, paling ideal dan paling mempunyai masa depan cerah.

Latar pemikiran muslim moderat itu berbeda sebagaimana respon yang pertama. Kelompok yang menerima secara total ide sekularisasi Barat ternyata telah membawa pada situasi yang mengisolasikan diri dalam siklus teologi Islam dan tradisinya. Kebijakan yang dilakukan oleh Mustafa telah membawa pada situasi yang tidak kondusif. Karena kebijakan radikal yang dilakukan Mustafa telah menimbulkan benturan yang sangat dahsyat, antara kebijakan strukturalnya dengan kultural dan tradisi Islam yang telah lama hidup dalam tradisi keagamaan umat Islam.

Paradigma pertama ini tidak jauh berbeda dengan respon ketiga, yang ekstrim. Mereka menolak segala bentuk modernitas dari Barat. Sebagai akibatnya, kelompok ini menjadi terisolasi Islam dalam lintasan global dan bahkan menjadi bahan atau obyek permainan negara Barat.

Sebagaimana negara-negara yang dibangun dengan semangat Islam fundamentalis sebagai negara-negara di Timur Tengah, Pakistan dan Afghanistan dalam perkembangan dinamika sosial-politik tidak menunjukkan prestasi yang dibanggakan. Negara-negara tersebut tetap menjadi negara yang terbelakang, meskipun memiliki sumber daya alam yang berlimpah, kondisi sosial dan ekonominya tidak mengalami kemajuan yang berarti.

Ini berbeda dengan negara-negara Islam yang mengambil sikap moderat, negara-negara ini telah mencapai kemajuan di berbagai bidang. Malaysia, misalnya, kini menjadi negara Islam modern yang telah sukses membangun berbagai sektor keagamaan baik yang menyangkut ekonomi, teknologi, pendidikan dan lembaga-lembaga keuangan Islam.

Demikian juga dengan Indonesia. Prestasi Malaysia dan Indonesia yang membanggakan itu, kini peta kekuatan Islam seolah telah mengalami pergeseran, semula di Timur Tengah beralih ke kawasan Asia Tenggara. Bukti ini juga diperkuat dengan dipercayai Malaysia sebagai pemimpin organisasi Islam yang bertaraf internasional itu. (hal 255-256).

Jadi, tidak ada yang salah dengan para pendiri bangsa ini dan penerusnya dalam merumuskan dan menerapkan sistem bagi bangsa ini. Begitu juga tentang persekutuan itu, sepanjang bermaslahat bagi umat, bangsa dan negara tidak ada salahnya. Meminjam istilah Ruslan Abdulgani; ”jangan gebyah uyah”.
Lalu apakah kita harus menyesali ’bersekutu” dengan AS lantaran negeri itu di kemudian hari ternyata menyerang negeri-negeri Islam. Fakta seperti itu tidak ada hubungannya dengan kerja sama yang dibangun Indonesia dengan AS maupun negara lainnya selama ini.

Selanjutnya Umar menulis; ”Seperti kita ketahui, stabilitas politik dan sosial telah dapat diciptakan rejim militer Orde Baru, dengan menggunakan tangan besi atau berbagai praktek otoriter, di samping merangkul, membujuk, menyiasati sebagian terbesar golongan Islam. Ada yang mengatakan bahwa Orde Baru telah berhasil ”membeli” berbagai golongan Islam, dan menjadikan mereka sebagai pendukung berbagai politik rejim militer Soeharto, yang dalam jangka lama adalah pro-Barat dan mengabdi kepada kepentingan politik AS...dst”

Lagi-lagi hujatan dan fitnah itu datang dari goresan tangan Tuan Umar. Sebagaimana Tuan Umar juga ketahui bahwa masyarakat Indonesia dalam visi Soeharto adalah masyarakat yang berdasar Pancasila, di mana warga negara Indonesia hidup selaras dan berdampingan tanpa mempedulikan perbedaan di antara mereka. “Orde Baru adalah orde Demokrasi Pancasila yang mengutamakan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan golongan atau pribadi.” Dalam sebuah kesempatan Pak Harto mengatakan Orde Baru “mengejar institusional dan menolak individualisasi”. (hal. 57)

Tuan Umar menyebut dalam kekuasaannya Soeharto menggunakan tangan besi. Bila yang Tuan maksud adalah terhadap kelompok ekstem kanan atau ekstrem kiri, Soeharto memang keras terhadap mereka. Jadi memang begitu adanya. Tuan mungkin juga telah mencatat bagaimana negara lain dalam menghadapi kelompok seperti itu.

Lagi pula kebijakan tersebut juga dilakukan di awal-awal pemerintahan Orde Baru yang memang ”harus” diambil karena tuntutan keadaan. Sebagaimana Tuan tahu bahwa Orde Baru dikonsepsikan sebagai koreksi total atas pemerintahan Orde Lama yang lebih berpihak pada kalangan kiri (komunis) dan Presiden Soekarno tidak mampu mempertanggungjawabkan kepemimpinan berkait dengan sejumlah persoalan seperti terbunuhnya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang dikenal dengan G30S/PKI, kemudian runtuhnya ekonomi bangsa dengan inflasi yang sangat tinggi serta pendapatan per kapita di tahun 1966 yang hanya 120 dollar Amerika.

Masa awal pemerintahan Orde Baru ini ditandai dengan integrasi yang kokoh antara umat Islam dengan militer serta kekuatan sosial lainnya ketika mereka menumpas pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pilihan stratejik Orde Baru adalah pembangunan yang berorientasi kepada modernisasi dengan antara lain rekayasa politik melalui restrukturisasi partai-partai politik. Soeharto tidak menjadikan politik sebagai panglima, ia lebih menitik-beratkan pada pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Pelajaran berharga tentang demokrasi yang dikembangkan Presiden Soekarno dengan Orde Lama-nya adalah carut marutnya tatanan politik. Itu sebabnya, pada masa Orde Baru pengalaman buruk itu tak perlu diulangi. Terlepas Tuan setuju atau tidak.

Tuan juga mungkin tahu bahwa sangat sulit memisahkan diri Soeharto dengan ideologinya yang anti-komunis dan menjunjung tinggi Pancasila. Saat menjadi prajurit ia terlibat langsung dalam memerangi pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada 1948 dan menempatkan garda paling depan menumpas pemberontakan G- 30 S/PKI. Bahkan dari sinilah jasa Pak Harto sampai sekarang dikenang.

Kisah tentang bagaimana Pak Harto menumpas PKI sudah banyak ditulis dan diceritakan dari mulut ke mulut oleh banyak orang dengan penuh kekaguman. Tuan mungkin tak suka dengan itu, tapi Tuan sebaiknya masuk ke pesantren-pesantren NU atau Muhammadiyah supaya Tuan tidak terkaget-kaget lagi bila ternyata nama Soeharto amat dipuja di sana.

Selama kepemimpinannya, Soeharto tampak sangat curiga dengan gerakan kaum komunis. Peringatan akan bahaya komunis ini muncul dari waktu ke waktu. Soeharto tak bosan-bosannya mengingatkan bahaya laten komunis tersebut. “Bila kita mempelajari doktrin dan taktik-taktik PKI .. (kita akan menyadari) bahwa partai itu akan terus melancarkan gerakan-gerakan ilegalnya untuk berusaha muncul kembali,” kata Soeharto pada 11 Maret 1969.

Pada akhir tahun itu juga dan awal 1970, Soeharto berbicara tentang perlunya untuk terus menindak sisa-sisa Gerakan 30 September yang masih ada di tengah-tengah masyarakat. Tujuan PKI pada 1965 sama dengan ketika pada 1948, kata Soeharto pada peringatan tahun kelima Supersemar pada 1971. Lalu beliau mengatakan, “Mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk diganti dengan sistem yang lain.”

Kini bahaya laten PKI masih disuarakan sejumlah tokoh masyarakat termasuk TNI, menyusul dibukanya kran bagi mereka untuk bergerak lebih leluasa. Bukannya tidak mungkin di kemudian hari apa yang dikhawatirkan Soeharto tentang bahaya laten komunis itu bakal terjadi. Jadi, Soeharto memang benci PKI terus menumpas gerakan mereka. Tuan Umar juga tentu tahu, bahwa gerakan itu didukung kuat umat Islam Indonesia.

Selain kepada PKI, Soeharto juga sangat keras terhadap gerakan radikal Islam yang ingin menegakkan negara Islam di Indonesia. Tapi Tuan Umar mungkin juga harus bersikap jujur bahwa kebijakan Soeharto itu wajar adanya dan ”harus” dilakukan untuk membangun bangsa yang plural seperti Indonesia.

Mungkin tepat bila kita mengaca pada kebijakan Gamal Abdul Naseer atau Anwar Sadat dalam menangani Ikhwanul Muslimin. Sadat yang lunak akhirnya tewas di ujung senapan pasukan khusus Al-Ikhwan. ”Pertanyaannya, apakah ada jaminan bahwa bila Soeharto membebaskan begitu saja kelompok ekstrem kanan untuk tumbuh dan berkembang tidak akan bernasib sama seperti Anwar Sadat?”

Tuan Umar menyebut Soeharto membeli umat Islam dan dalam jangka lama untuk mengabdi pada AS, satu pernyataan yang bisa jadi gegabah dan fitnah. Saya tidak mau berkomentar tentang asumsi bernada menghujat tanpa dasar seperti itu. Begitu juga Tulisan Tuan Umar selanjutnya; asumsi-asumsi, praduga tanpa bukti, hujatan dan fitnah.

Selanjutnya, Tuan Umar, tak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna, termasuk Soeharto. Hanya saja, menafikkan jasa para pemimpin bangsa ini adalah sikap yang tidak ada tempatnya di bumi Indonesia.

Boleh jadi kita sama-sama tidak sepakat terjadinya kekerasan dalam politik akan tetapi adalah suatu keniscayaan bahwa agama dan politik selalu diwarnai kekerasan bahkan teror. Secara konsepsional, doktrin Islam yang utama adalah penekanannya pada ajaran perdamaian. Kata Islam sendiri bermakna damai, aman, selamat dan penyerahan diri.

Kendati demikian, dalam sejarahnya, konsepsi di atas tidak selalu seiring dengan perjalanan umat Islam. Pada awal-awal lahirnya Islam, tidak kurang dari enam kali peperangan diikuti oleh Nabi, kendati dengan tujuan untuk menegakkan keadilan ekonomi, kesetaraan manusia dan bertahan dari penyerangan.

Demikian pula pada masa Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Peperangan yang dilakukan oleh mereka umumnya bermotifkan ekonomi, seperti penumpasan terhadap kelompok pembangkang yang enggan membayar zakat di masa Abu Bakar; pelebaran wilayah Islam, seperti yang terjadi pada masa Umar bin Khattab; dan perebutan kekuasaan seperti yang terjadi pada Ustman dan Ali.

Disebutkan dalam sejarah, sepeninggal Nabi Muhammad, tak kurang dari 70.000 orang Islam mati terbunuh dalam medan peperangan. Bahkan dua khalifah yang terakhir, yakni Usman dan Ali terbunuh secara mengenaskan dalam suatu peristiwa peperangan. Ahmad Amin menyebut peperangan besar dalam sejarah umat Islam ini sebagai fitnah kehidupan yang paling besar (al-fitnah al-Kubra).

Berbagai bencana kekerasan berlangsung sepanjang kekuasaan dinasti Islam, yakni pada masa Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Kekerasan pada masa ini tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga kekerasan intelektual yang diwujudkan dalam wujud pembunuhan terhadap beberapa pemikir yang dianggap dapat merugikan kekuasaan, seperti yang terjadi pada Ghaylan al-Dimasyqi dan Al-Ja’d bin Dirham yang berpandangan bahwa kekuasaan dalam masyarakat Islam bukanlah monopoli keturunan Arab (bangsa Quraisy) sebagaimana yang menjadi pandangan kelompok Sunni, atau dari keturunan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang menjadi garis politik Syiah, melainkan siapa saja dari umat Islam yang disetujui berdasarkan musyawarah (kesepakatan).

Kekerasan pada aspek politik lebih mengerikan lagi. Pada masa Dinasti Umayyah, tepatnya dimasa Yazid bin Muawiyah, kepala Husain bin Ali dipenggal dari tubuhnya, dan kepala tersebut dibawa ke istana untuk dipermainkan. Seorang tua yang tahu masa kecil Husain dengan gusar berkata: “Saya pernah melihat wajah itu diciumi oleh Rasulullah”. Peristiwa ini disebut sebagai “tragedi Karbala”, sebuah momentum perpecahan antara kelompok Islam Sunni dan Syiah pada tahun 64 Hijriah.

Demikian halnya pada masa Dinasti Abbasiyah. Akbar S Ahmed menggambarkan upaya kudeta militer Dinasti Abbasiyah terhadap Dinasti Umayyah sebagai berikut: “Sekali waktu Abdullah, seorang Jendral Abbasiyah mengundang 8 orang pemimpin Umayyah untuk makan malam pada musim panas bulan Juni tahun 750 M di rumahnya yang terletak di Jaffa. Ketika para tamu sedang makan, mereka ditangkap oleh para tentara. Setelah para tentara menikam semua pimpinan Umayyah tersebut, para pelayan menggelar tikar di atas tubuh mereka yang masih menggeliat-geliat dan para tamu lainnya melanjutkan makan malam sambil bersuka ria.” (Discovering of Islam).

Menjelang keruntuhan kekuasaan Umayyah di Spanyol dan Abbasiyah yang terbentang dari wilayah Afrika dan seluruh jazirah Arab itu, tentara Kristen dari Eropa Barat menyerang dua dinasti Islam tersebut. Dengan misi perang suci untuk menaklukkan orang-orang “kafir”, umat Islam saat itu dihadapkan pada dua pilihan: beralih ke agama Kristen atau keluar dari wilayah kekuasaannya (migrasi).

Perang ini kemudian diikuti oleh sebuah perang lain yang dalam sejarah dunia disebut perang salib, sebuah perang yang menghabiskan waktu tidak kurang dari seratus tahun dan menyisakan trauma pahit bagi Kristen dan Islam.
Pada awal-awal abad 20-an, beberapa wilayah yang berbasiskan umat Islam pun terdesak oleh negara-negara kolonial dari Eropa. Misalnya, Indonesia oleh Belanda; Mesir, Maroko, Aljazair oleh Perancis, Malaysia, Nigeria oleh Inggris dan Libia oleh Italia. Dan panggung sejarah umat Islam yang sempat penuh gemerlap itu terbenam ke bawah dasar permukaan, bagai sebuah cerita yang ditutup secara tiba-tiba.

Lalu bagaimana dengan terorisme? Syaikh Zaid bin Muhammad dalam kitabnya al-Irhab wa asaruhu ala al-afrad wa al-Umam menjelaskan bahwa sejarah terorisme dalam Islam telah berlangsung lama sejak masa awal Islam. Ia menyebut kasus-kasus pembunuhan khalifah Umar, Khalifah Ustman, khalifah Ali dan berbagai pemikiran Qodariyah dan Mu’tazilah merupakan tindakan yang dapat dikategorikan terorisme.

Pada Abad XX, umat Islam dikejutkan serentetan teror yang melanda dunia Islam yaitu dimulai dengan terbunuhnya Abdul Aziz al-Faisal al-Su’ud ketika tengah melakukan tawaf ifadah di putaran keempat. Selain peristiwa pembunuhan, masih di tempat yang sama di Masjidil Haram pada tahun 1400 H, pada awal bulan Muharam tiba-tiba sekelompok orang yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul al-Qathami dengan juru bicara Juhaiman bin Salf al-‘Utaibi melakukan intimidasi dan teror mengajak umat Islam untuk membaiat al-Mahdi. Dari dua kasus tersebut, fenomena makin berkembangnya terorisme mempengaruhi diskursus politik Islam.

Peristiwa lainnya adalah ketika dunia Islam dikejutkan dengan keganasan muslim fundamentalis membunuh Presiden Anwar Sadat dan Farag Faudah. Teror itu dilakukan oleh kaum fundamentalis yang tidak setuju atas kebijakan Anwar Sadat. Faktor utama pembunuhan terhadap Presiden Mesir ini lebih bermuatan politis dan mendapat legitimasi teologis yang mereka yakini.

Selain itu juga terjadi teror yang dialami oleh umat Islam di berbagai belahan dunia. Ketika umat Islam dijajah, seperti di Palestina, umat Islam mendapat teror dari kaum Yahudi. Di Bosnia telah terjadi pembersihan etnis, di Kasmir umat Islam terus mendapat teror dan mendapat perlakuan kekerasan, di Thailand dan di sejumlah negara yang penduduknya terdiri minoritas Muslim seperti di Rusia dan Cina di mana-mana partai komunis masih berkuasa umat Islam mendapatkan teror.

Setelah beratus-ratus tahun umat Islam menjadi sasaran gerakan teroris, muncul fenomena baru bahwa dunia luar membangun opini yang menuduh umat Islam sebagai dalang teroris. Opini ini didasarkan berbagai peristiwa seperti peledakan pesawat Okland, Peledakan kedubes AS di Nairobi, Kenya Darus Salam, Tanzania. Di Nairobi menewaskan 212 orang dan melukai 4000 di Darus Salam, menewaskan 11 orang dan melukai 72 orang lebih.

Selanjutnya juga teror yang dilakukan Usamah bin Ladin dengan pernyataannya; “Tuhan telah memberkati satu kelompok prajurit Muslim, yang menjadi baris terdepan Islam, untuk menghancurkan Amerika Serikat.” Serta fatwanya, “Kami telah mengeluarkan fatwa untuk seluruh umat Muslim: Perintah untuk membunuh warga AS dan sekutunya –baik sipil atau militer—adalah kewajiban pribadi bagi tiap Muslim yang bisa melakukannya di negara mana saja yang memungkinkan... Kami –dengan pertolongan Tuhan—berseru kepada setiap Muslim yang percaya pada Tuhan dan mengharapkan pahala agar mematuhi perintah Tuhan untuk membunuh rakyat Amerika dan merampas uang mereka di mana dan kapan saja.”

Dunia akhirnya mafhum bahwa gerakan Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin adalah gerakan yang dibangun di atas semangat Islam, pelakunya Muslim dan mempunyai jaringan dengan berbagai gerakan Islam lainnya, seperti gerakan Jihad Islam di Mesir, gerakan Islam Uzbekistan dan memiliki hubungan dengan Jamaah Islamiyah di ASEAN.

Pertanyaan kita selanjutnya, bila itu terjadi di Indonesia, apa yang ditempuh pemerintah yang berkuasa; menghidupkan atau membasmi gerakan seperti itu? Tuan mungkin tidak tahu, bahwa kini telah terjadi krisis moral dan etika begitu bangsa ini memasuki masa reformasi. Dan Tuan tentu sudah tahu bahwa kekerasan atas nama agama mulai merambah negeri kita. Apakah Tuan ingin pula menyalahkan Soeharto yang di masanya hal seperti itu tidak terjadi? Apakah Tuan juga ingin mengatakan itu adalah buah kebijakan Soeharto di masa lalu?

Jakarta, 27 Juni 2007

Blog: http://www.kuis-bola.blogspot.com/
Email: [email protected]
Big News Today..!!! Let's see here:
www.kabarindonesia.com

http://www.kabarindonesia.com/berita.ph ... 0628205733
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: SOEHARTO & ISLAMISASI INDONESIA

Post by Laurent »

ANALISIS MENDALAM TENTANG AGAMA, TUHAN DAN NEGARA [EDISI REVISI KE 3]

Sumber: apakabar@...

15:02:32 MDT; Indonesia-l Archives: [L] IBU PERTIWI

ANALISIS MENDALAM TENTANG AGAMA, TUHAN DAN NEGARA [EDISI REVISI KE 3]

Siapa tidak risau melihat kenyataan yang terjadi di Indonesia. Ada berbagai agama besar dengan umatnya yang besar (terutama Islam), namun kasih sayang, kebenaran dan keadilan malah nyaris tidak ada. Atau justru sebaliknya, kekerasan, kerusuhan, pembunuhan, ketidak adilan, keterbelakangan, korupsi dan berbagai pelanggaran HAM justru terjadi di Indonesia dan barangkali mencapai index prestasi nomor wahid didunia. Demikian pula yang terjadi dengan di negara2 yang kental sekali agamanya, seperti negara2 berbasis Nasrani: Amerika Latin (Colombia, Argentina, Chilie, Bolivia, Brasil), Philipina; dan negara2 berbasis Islam: negara2 di Timur Tengah (Arab Saudi, Mesir, Suriah, Aljasair, Maroko), Sudan, Nigeria, Pakistan, Afganistan, dst. Apanya yang salah? Berikut ini adalah butir2 analisis yang mendalam tentang Agama, Tuhan, dan Bangsa.

Dalil 1.

Tuhan itu tidak beragama, jadi Ia berlaku adil bagi semua manusia. Agama adalah sekedar sarana untuk mengenalkan Tuhan, namun Tuhan sendiri tidak beragama.

Dalil 2.

Pencapaian puncak pemahaman agama adalah religiositas. Salah satu definisi umum tentang religiositas adalah sbb.: sikap hatinurani, batin dan pikiran manusia yang selalu diarahkan kepada perbuatan baik, kasih sayang, kebenaran dan keadilan. Religiositas setingkat lebih atas daripada agama. Religiositas dapat diperoleh tanpa melalui agama, ia diperoleh terutama dari pengalaman hidup. Ibarat kuliah, ini adalah Philosophy Degree atau gelar Doktor. Setelah bergelar Doktor, maka ilmu lebih penting daripada almamaternya. Kalau baru taraf kuliah, seorang mahasiswa masih suka memamerkan identitas2 universitasnya; ia suka petentang-petenteng dengan jaket almamaternya. Kalau seorang sarjana yang sudah bekerja masih tersekat oleh kotak2 almaternya, dan setiap kekantor pakai jaket almamaternya, betapa kantor itu akan menjadi ajang sikut2an antar universitas, dan betapa menyedihkan jiwa orang itu (yang terbelenggu oleh almamaternya)! Demikian pula dengan agama, intisari agama yaitu Tuhan dengan sifat dasar Nya ("Maha Adil, Pengasih dan Penyayang") menjadi lebih penting daripada agama itu sendiri, atau bahkan agama menjadi tidak dominan lagi sekedar seperti almamater saja. Jadi, kalau sudah mumpuni keagamaan seseorang, bukan agamanya yang penting, melainkan religiositasnya yang amat sangat penting. Ia tidak lagi tersekat-sekat oleh kotak sempit yang disebut agama.

Dalil 3.

Agama mempunyai keterbatasan yang cukup mencolok seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci Al- Quran dan Injil. Misal dalam Al-Quran ditandaskan bahwa apabila semua ajaran Allah SWT dituliskan, maka tinta sebanyak samudera rayapun tidak akan mencukupi. Demikian pula dengan Injil yang menandaskan apabila semua ajaran Isa Almasih dituliskan maka dunia beserta isinya pun tidak akan bisa memuat. Ke "Mahabesaran Tuhan" tidak mungkin cukup diwadahi dalam buku setebal kitab suci. Ke "Mahabesaran Tuhan" juga tercermin pada luas dan dalamnya ilmu pengetahuan. Dengan terbatasnya kitab suci, ini berarti umat beragama diminta untuk lebih banyak belajar ilmu beserta kebenarannya diluar kitab suci masing2 agama (jadi isi masing2 kitab suci ternyata hanya sedikit sekali!). Dengan banyak belajar diluar kitabsuci, diharapkan IQ, EQ dan Iman terus berkembang sejajar, tidak timpang, dan tidak fanatik. Bila orang hanya dalam pada sisi "Iman" saja, maka ia mudah diperalat oleh para politisi.

Dalil 4.

Pemahaman akan Tuhan belum selesai dan tidak akan pernah selesai.

Banyak orang bijak berkata: “bukan agama yang dicari, melainkan kitab sucinya sebagai sumber agama yang dicari; dan bukan kitab suci yang sangat terbatas itu yang dicari melainkan kebenaran atau Tuhan yang selalu dicari”. Kitab suci (yang tipis sekali) beserta para nabinya adalah sangat terbatas seperti ditandaskan sendiri dalam ayat2nya seperti telah diuraikan diatas. Disamping itu, para nabi tsb. hidup dimasa lampau dan singkat (puluhan tahun), sedangkan Tuhan beserta kebenaranNya adalah tidak terbatas waktu dan tempat (s/d saat ini saja, bumi diduga sudah milyaran tahun umurnya!). Manusia tidak pernah tahu kapan berawal (alpha) dan berakhirnya (omega) Tuhan. Tuhan beserta kebenarannya adalah dinamis dan penuh menjanjikan ke masa depan, bukan hanya keindahan masa lampau yang statis (seperti yang diagung-agungkan agama2 besar yang ada). Sebagai gambaran, seorang ahli komputer merumuskan suatu hukum yang disebut hukum Moore; ia menyatakan bahwa setiap delapan belas bulan akan terjadi lompatan teknologi dibidang teknologi informasi. Ia benar, ternyata komputer berkembang dari XT, AT, …., Pentium 4; demikian pula software: dari DOS, Windows 98, …, Windows XP. Manusia pun terus berkembang, dari jaman batu s/d jaman ini yang ditandai teknologi informasi dan rekayasa genetika. Kalau komputer, software beserta manusia penciptanya saja berkembang terus menerus dan secara cepat, apalagi Tuhan YME!!! Oleh sebab itu, Tuhan beserta kebenaranNya adalah dinamis, bukan statis, serta lebih banyak bergerak mengacu ke masa depan, dan tidak terlampau sering menoleh kebelakang; dengan demikian Tuhan adalah bukan milik atau dominasi sesuatu agama (yang seolah-olah hanya berbasis sesaat dimasa lampau yang kuno), melainkan milik ruang dan waktu yang tidak terbatas dan tidak terhingga! Sebagaimana manusia tidak pernah selesai mencari tahu jatidirinya, demikian pula (atau apalagi) manusia belum selesai dan tidak akan pernah selesai mempelajari Tuhan yang dinamis (dan Maha Besar). Dan agama yang baik akan selalu ingin mencari tahu rahasia Tuhan yang belum terkuak; bukannya terus-menerus membelenggu, membatasi atau melecehkan Tuhan dengan mengatakan: Untuk mempelajari dan menghapalkan ke Maha Besaran Tuhan yang Tak Terbataskan, cukup melalui satu buku tipis saja yang disebut kitab suci; Tuhan itu cukup PC XT titik (statis) bukan Pentium 5 beserta penerusnya (Pentium X, dinamis, tak tahu s/d seri berapa), Tuhan itu cukup DOS bukan Windows Server 2003, Tuhan itu cukup jaman dulu dan tidak punya masa depan!!! Agama yang negatip hanya berkutat pada nabi2nya (yang sudah dahulu kala), pemahaman terhadap Tuhan sudah dianggap selesai, kemudian nabi utamanya begitu dibesar-besarkan seringkali melebihi Tuhan itu sendiri; sehingga agama menjadi Maha Tak Terbatas (mengenal Tuhan cukup dengan belajar satu agama saja), sedangkan Tuhan menjadi Maha Terbatas (cukup dijelaskan oleh satu kitab suci setebal kurang lebih 1000 halaman); pusat ibadat dan puja-puji lalu diarahkan kepada nabi2nya. Agama ditilik dari sisi organisasi dapat berbeda tujuan dengan kitab suci sumber agama itu sendiri. Kitab suci sudah menandaskan dan menyadari keterbatasan dirinya (buku setipis itu), dan KETIDAK terbatasan Tuhan; sedangkan agama dilihat dari sisi organisasi, terus menerus mengatakan “Pelajaran tentang Tuhan sudah selesai, yaitu Kitab suci KITA, jadi jangan membaca kitab suci yang LAIN, apalagi pindah agama, tetaplah taat-setia kepada agamamu (=KAMI, para pengurus organisasi agama)”. Dengan berpikir statis dan beku seperti diatas, agama justru dapat berperan menjadi sumber krisis kebudayaan. Agama yang baik diharapkan menghasilkan manusia yang religius, sekaligus cerdas dan selalu ingin lebih tahu lebih banyak lagi tentang hal yang baru (termasuk agama baru). Manusia religius tidak akan terbelenggu oleh agama, maka ia tidak takut berdoa di rumah ibadah apapun (sesuai caranya sendiri), entah itu kelenteng, mesjid, gereja, pura, vihara, dst.; sebab ia paham bahwa Tuhan tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia juga akan selalu tertarik dan mengikuti perkembangan agama2 baru serta science yang baru. Sayang sekali, kebebasan beragama di Indonesia termasuk semu, sebab agama2 baru yang ternyata banyak sekali jumlahnya dilarang masuk ke Indonesia (juga kebebasan untuk tidak beragama)! Mungkin takut mengganggu kemapanan agama2 yang sudah dahuluan masuk Indonesia. Silahkan search (cari tahu) agama baru di internet dengan Google dengan cukup mengetikan: new religion. Oleh agama yang statis beku, kita bagaikan diminta untuk terus menerus menggunakan komputer XT dengan DOS, dan dilarang mempelajari atau menggunakan komputer Pentium 5 dengan WINDOWS XP atau LINUX. Jadi, agama yang kaku-beku-statis justru membatasi Tuhan dan membatasi sesama manusia (tersekat-sekat atas nama agama) serta menjadi sumber krisis kebudayaan.

Dalil 5.

Tuhan itu demokratis, sedangkan agama seringkali otoriter.

Tuhan tidak melarang manusia untuk tidak beragama, karena Tuhan sendiri pada dasarnya tidak beragama. Tuhan mengharapkan agar manusia mencapai pemahaman tertinggi yang disebut religiositas melalui berbagai sarana seperti agama, "agama lokal" (misal Kejawen), dan ilmu pengetahuan. Keotoriteran agama nampak pada keinginan mau menangnya sendiri seperti melarang

berbagai hal yang tidak sepaham dan ingin menjadi anak emas dinegara yang majemuk/pluralis! Dinegara maju, apa saja boleh dan justru dianjurkan untuk diperdebatkan (termasuk keyakinan), asal debatnya bermutu dimana kaki dan tangan (kelahi) tidak boleh ikut dipakai dalam adu gagasan! Tuhan itu Maha Cerdas, Maha Cerdas pasti suka debat, bukan main sweeping, larang-melarang, dan otoriter. Jadi seseorang yang cerdas pasti suka debat, karena debat mengakibatkan kemajuan.. Dinegara maju, apa saja boleh dan justru dianjurkan untuk diperdebatkan (termasuk keyakinan), asal debatnya bermutu dimana kaki dan tangan (kelahi) tidak boleh ikut diapakai dalam adu gagasan! Memang, ada kemungkinan agama akan ambruk oleh adanya demokrasi, rasionalisasi, kebebasan berpendapat dan debat, seperti ambruknya gereja Katholik di Eropa pada sekitar abad 18 an. Monopoli dan otoritarian ajaran agama oleh pemuka agama menyebabkan posisi mereka tidak tergoyahkan dinegara berkembang. Tidak mengherankan bila di Timur Tengah yang penuh dikuasai kyai, ulama dan raja, takut setengah mati dengan demokrasi, rasionalisasi, dan kebebasan berpendapat. Pemuka agama seringkali memonopoli kebenaran dan takut berdebat untuk adu gagasan atau bersaing dengan kebenaran yang lain yang lebih modern; umatnya pun selalu di brain wash dengan mengatakan bahwa keyakinan tidak boleh diperdebatkan! Bukankah ini semua demi kelanggengan kedudukan para pemuka agama itu sendiri dan agar umatnya tidak terpikat oleh pengetahuan baru tentang Tuhan? Bukankah umat yang besar jumlahnya juga identik dengan income (zakat/persembahan) yang besar pula bagi para pemuka agama? Mengapa Tuhan Yang Maha Cerdas dianggap ****, tak boleh didebat, dan Tuhan diangap takut akan demokrasi, rasionalisasi, serta kebebasan berpendapat? Pemuka agama takut debat, lalu mereka mengatas namakan Tuhan bahwa Tuhan tidak suka debat, keyakinan adalah harga mati-sesuatu yang beku dan statis, sehingga Tuhan perlu dibela (ooh betapa lemahnya Tuhan)!

Dalil 6.

Agama adalah sesuatu yang abstrak dan sulit dicerna, oleh sebab itu sebaiknya tidak diberikan kepada anak-anak yang belum dewasa (disekolah dasar), apalagi dipaksakan sebagai pendidikan agama (ini pelanggaran HAM, agama adalah persoalan individu dan merupakan kebebasan untuk memilih); kalau sebagai pengajaran tentang berbagai agama, ini penting dan perlu diajarkan (misalnya keanekaragaman agama beserta ciri mereka masing2). Sebaiknya agama sebagai pendidikan (untuk menarik pengikut baru) diberikan kepada manusia dewasa, waktu belum dewasa cukup diberikan budi pekerti. Kalau sejak kecil sudah dicuci otak dengan agama, maka hasilnya mirip Indonesia saat ini. Bukan kekeluargaan atau kasih sayang melainkan kecurigaan, 'keterkotakan' (SARA), tidak pandai/biasa berdebat, kalau debat cepat marah, sulit menerima kekalahan, beku, kaku dan bahkan ini bisa menjadi cikal-bakal kekerasan nanti disaat dewasa. Dinegara modern seperi USA, Jepang, Korsel, Taiwan, Inggris, Australia, dst. agama memang tidak boleh diberikan pada anak2 SD/SMP/SMA (sekolah negeri) sebagai pendidikan (kecuali sekolah yang berafiliasi dengan agama tertentu), namun sebagai pengajaran (transfer of knowledge) yang mengajarkan berbagai agama beserta karakteristiknya diperbolehkan, pendidikan agama adalah merupakan tanggung jawab orang tua. Untuk anak, yang lebih baik dan lebih penting adalah budi pekerti (hubungan horisontal-antar sesama manusia, jadih lebih riel; agama: hubungan vertikal dengan Tuhan, lebih abstrak). Budi pekerti mengajarkan sopan-santun, taat hukum, menghargai alam dan isinya, keadilan dan hidup bersosial secara baik. Benarkah dan pernahkah Nabi Muhammad SAW dan Nabi Isa mengarahkan agama kepada anak2? Tidak kan? Oleh sebab itu, kasihanilah para anak2 dengan tidak membebani otak mereka kepada pengetahuan yang belum saatnya; dan yang lebih penting dan mendasar: agama syarat dengan dogma2 yang beku, bila diajarkan secara kurang tepat justru akan membelenggu kecerdasan anak2, bahkan justru anak2 akan mulai terkotak-kotak sejak dini! Dan mereka menjadi kurang kritis, pasif, tidak pandai debat, dan kalau debat mudah marah (kalau kalah)! Biarkan manusia memilih agamanya setelah dewasa! Seringkali para agamawan mencuci otak para anak2 dan remaja dengan slogan: membaktikan hidup demi agama dan …. (sangat sempit dan simplisitis); hal ini akan menimbulkan falsafah: right or wrong for my religion. Masih ingin bukti peran pendidikan agama? Lihatlah prestasi masyarakat RRC yang komunis, ternyata lebih religius, tidak main membunuh orang (maling ayam dan pencopet), prestasi olahraga dan IPTEK nya hebat, pemerintahnya bisa menghidupi 1,2 milyar (lima kali penduduk kita), berani menghukum mati para pelaku KKN, dst. Kemudian, tentang kualitas pendidikan, Indonesia berada dibawah Vietnam (yang komunis). Pendidikan dan pengajaran agama harus disertai dengan: -penekanan tentang keterbatasan agama, sejarah hitam agama (jangan ditutup-tutupi, misal: Katholik diabad 17 yang membuat Eropa mundur, dan Islam, bila tidak hati2, diabad ini bisa mengalami hal yang serupa dengan Katholik diabad 17), semua agama besar pernah mengalami pasang surut dalam sejarah, semua agama juga mengalami perpecahan internal (Katholik-Protestan, Syiah-Suni, Muhammadiah-NU, dst) serta mengalami pembusukan/kebekuan sebelum menjadi dewasa; -penekanan bahwa pemahaman agama tertinggi haruslah religiositas, -penekanan kemungkinan penyalah gunaan agama untuk politik, -penekanan bahwa Tuhan tidak akan pernah selesai dipelajari, - dan betapa berbahayanya pemuka agama (apabila mengajarkan hal yang salah dan berpolitik praktis)! Dengan penekanan demikian, umat yang mendalami agama mempunyai wawasan yang luas, tidak arogan dan terbuka!

Dalil 7.

Agama bukan jaminan moralitas, kesejahteraan, kedamaian dan keadilan; bahkan kadang2 agama justru dapat melunakan moral, etika dan hukum negara melalui persepsi yang salah.

Lihat saja, ada berbagai agama besar di Indonesia, namun persaudaraan, perdamaian dan keadilan justru tidak ada; yang marak justru kekerasan, kerusuhan, KKN dan pelanggaran HAM. Para elit (militer, politik dan birokrat), yang notabene berpendidikan tinggi justru merupakan sebab utama kehancuran bangsa Indonesia. Yang diatas rajin korupsi namun bebas dan terhormat, yang dibawah: begitu menangkap pencuri ayam langsung dibakar begitu saja! Demikian pula yang terjadi dengan di negara2 yang kental sekali agamanya, seperti negara2 berbasis Nasrani: Amerika Latin (Colombia, Argentina, Chilie, Bolivia, Brasil), Philipina; dan negara2 berbasis Islam: negara2 di Timur Tengah (Arab Saudi, Mesir, Suriah, Aljasair, Maroko), Sudan, Nigeria, Pakistan, Afganistan, dst. TKW kita di Timur Tengah yang sering mengalami penyiksaan dan perkosaan juga dapat menjadi salah satu bukti nyata (frekwensi perkosaan tertinggi). Mengapa hal ini terjadi? Jawabnya, dalam hal ini, agama seolah-olah menekankan dan mengeksploitasi sifat Tuhan yang hanya sebatas Maha Pengasih, Penyayang dan Pengampun; Maha AdilNya sengaja dihilangkan/dilupakan. Misalnya saja keyakinan bahwa apapun atau berapapun berat dosanya jika: -percaya Yesus dosanya akan diampuni dan masuk surga (agama Nasrani); atau – jika berpuasa secara benar atau meninggal di Mekah atau malam Laitul Kadar (malam seribu bulan dimana surga akan terbuka penuh) maka dosa satu tahun akan diampuni dan masuk surga (ini mirip dengan bisnis surat pengampunan dosa oleh Gereja Katholik di Eropa abad 17/18). Dengan konsep yang mengobral harga “surga” semurah dan semudah itu, maka tidak heran bila negara dengan agama yang kuat (tapi beku pemahaman) justru menjadi sumber KKN dan pelanggaran HAM! Agama justru dapat menjadi sumber krisis etika dan moral! Sebagai contoh kongkrit perilaku para agamawan dibumi nusantara, para koruptor kelas kakap, yang tinggal diperumahan-perumahan elit/eksklusip, adalah donatur penting bagi kegiatan sosial atau keagamaan; pemuka agama dan masyarakat disekitarnya tidak pernah mempertanyakan darimana para pejabat tinggi negara itu mempunyai dana lebih; atau justru sebaliknya, para koruptor ini dijadikan teladan kedermawanan lalu disanjung-sanjung! Demikian pula, melalui acara televisi, etika dan moral generasi muda terus-menerus dirusak setiap harinya: TV kita hanya memperlihatkan dan mementingkan wajah-wajah yang cantik, bagus, rupawan, seksi dan kayaraya, darimana asal kekayaan itu diperoleh tidak pernah digubris, tidak pernah ditayangkan adanya pejabat yang korup, polisi yang busuk, dan jaksa yang kolusi, melalui film2 di TV: Indonesia bak surga karena negara dipenuhi oleh manusia2 rupawan yang kayaraya, negara seolah-olah tanpa KKN dan pelanggaran HAM! Seharusnya sifat Maha Adil lebih ditekankan, agar manusia (pejabat) berpihak ke rakyat jelata yang tertindas, dan menuntut para oknum pelaku KKN dan pelanggar HAM untuk dituntut dimuka hukum. Jadi sebelum hukum horisontal (antar sesama manusia) terlunaskan/termaafkan, maka oknum tsb. tidak akan mungkin masuk surga (hukum vertikal).Ulama, pastor, begawan, biksu dan pendeta harus menandaskan bahwa kejahatan manusia juga harus dipertanggung jawabkan dahulu didepan manusia (pengadilan), jadi tidak hanya vertikal melainkan horisontalpun penting (sifat Maha Adil itu penting sekali)! Mereka harus rajin ke DPR/DPRD, Kejagung, presiden, dst., dalam hal membela kebenaran/moral, tanpa harus berpolitik praktis, mereka harus merasa malu dengan daya juang para mahasiswa/LSM dalam hal pembelaan moral dan kebenaran! Mereka, para agamawan, juga harus malu kepada seorang wanita ceking yang gigih membela manusia melarat dan tertindas, yang bernama Wardah Hafidz dan Dita Sari, atau pria ceking-kecil bernama Munir, yang tidak takut mengorbankan keamanan dan kenyamanan hidupnya! Mana ada ulama, pastur, pendeta atau biksu, yang turun tangan membela tukang becak, penjual asongan, buruh, tki/tkw, dst., secara nyata? Mana ada dari mereka yang menuntut tuntasnya kasus BLBI, Mei 98, Trisakti, Priok, Kudatuli, KKN, uang hibah haram, pelurusan sejarah 1965, korban cucu-cicit PKI, membela buruh dan TKI/TKW, dst.? (seandainya ada, jumlahnya hanyalah minim sekali, kurang dari 1%, alias satu orang dari seratus pemuka agama!). Sebaliknya, pandanglah negara RRC yang komunis, yang justru menampilkan kesejahteraan, kedamaian dan keadilan; koruptor kelas kakap diburu s/d liang kuburnya dan kalau ketangkap dengan tegas diadili kemudian ditembak mati. Kesejahteraan yang timbul dalam agama seringkali hanya terjadi pada para birokrat (pemimpin/pengurus) agama itu sendiri (karena zakat/derma). Penegakan hukum (legal formal) lebih menjamin tingginya moralitas dan pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya akan memberikan kesejahteraan, kedamaian dan keadilan bagi rakyat.

Dalil 8.

Agama Harus Menghormati Budaya Setempat.

Semua agama besar di Indonesia berasal dari luar negeri, maka bias budaya pasti ada. Artinya, budaya asing mendompleng agama akan masuk dan mempengaruhi budaya lokal. Alangkah sedihnya kita, apabila di jalan Malioboro, seorang menyapa dengan Amitaba ... (Budha, bhs. Cina), lalu dijawab yang lainnya dengan Assalam ..... (Islam, bhs. Arab), kemudian ada lagi yang menyahut Syallom .... (Kristen, bhs. Yahudi), tak ketinggalan ada yang berkata Hong wilaheng .... (Hindu, bhs. Hindi); kemudian ada yang menjawab secara rasional, sopan dan nasionalis: Selamat Siang. Demikian pula dengan budaya berpakaian, alangkah sedihnya apabila blangkon dan surjan Yogya terdesak oleh pakaian Arab atau sari India. Memeluk agama asing haruslah tidak boleh mengorbankan budaya setempat. Yang paling menakutkan adalah penjiplakan cara berpikir dan berperilaku, misalnya menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi itu "setan" yang harus dijauhi, dan kekerasan demi pembelaan agama, konsep yang salah "right or wrong for my religion" (sisi "wrong" sangat berbahaya bagi kesehatan nurani). Agama yang baik semestinya dapat berperan untuk mempengaruhi kebudayaan suatu suku atau bangsa kearah yang lebih baik. Alm. Mochtar Lubis dalam bukunya yang best seller di tahun 1977 (judul: Manusia Indonesia) mengkritisi secara habis-habisan budaya negatip manusia Jawa (sang mayoritas) yang: munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, percaya takhyul/mistis, berkarakter lemah, suka KKN, pelupa, tidak tahu malu, cuek, dst. Dalam konteks negara, agama yang baik semestinya bisa menghapus atau menipiskan kelemahan budaya suatu bangsa. Namun sayang, di Indonesia, peran agama justru kebalikannya, terbukti bangsa ini tidak bisa melepaskan diri dari sumber dari segala sumber krisis yaitu krisis moral dan kebudayaan! Bayangkan bila kita tidak kritis diberbagai bidang, pinjaman uang (utang) luar negeri yang bersyarat telah membelit kita, kurs nilai mata uang yang jauh dari keadilan telah menjajah kita, dan budaya asing yang lewat agama telah mendominasi budaya kita, lalu kita mau jadi bangsa apa? Sayang sekali, kebanyakan agama yang ada justru meninabobokan kebudayaan kita!

Dalil 9.

Agama mudah diperalat.

Oleh para elit politik maupun penipu biasa, agama sering diperalat. Kedunguan manusia telah mengubah ajaran suci Tuhan melalui para nabi menjadi belenggu bagi umat beragama. Dan sejarah juga sering menjadi saksi bagaimana penguasa politik, militer, birokrat, ekonomi maupun agama bahu-membahu mendungukan manusia agar dapat dikuasai oleh ambisi-ambisi mereka.Kesetiaan dan ketaatan hampir seratus persen kepada Tuhan melalui agama disalah gunakan oleh 'manusia cerdas tapi jahat'. Antara Agama dan partai politik sudah sulit dibedakan. Antara filsafati yang suci bersih dan politik yang hitam kelam bercampur baur. Umat beragama bingung, apakah ia sedang mendengarkan sabda Tuhan atau orasi politik yang ulung dari seorang Dai (misalnya Dai sejuta umat), atau apakah ia sedang ada di mesjid atau sedang ada di kantor partai politik? Awas, jika para politisi di Jakarta ahli mempolitisir agama, apalagi para pakar politik Barat yang bagaimanapun kita harus akui kualitasnya lebih unggul daripada para politisi kita, mereka pasti juga ikut dan lebih pandai menggunakan jurus politisasi agama; misalnya saja agar Indonesia terjebak dalam persoalan agama atau agar bangsa Indonesia mendem/mabok agama (semuanya mau diselesaikan dengan agama!) dengan demikian laju perkembangan IPTEKnya dapat dihambat. Dengan politisasi agama, kasih sayang dimanipulasi menjadi kekerasan dan bahkan pembunuhan, misalnya jihad bom bunuh diri dengan dicuci otak melalui “ayat”: bunuh diri dan membunuh orang lain yang sangat merugikan negara setempat (investor dan turis menjadi takut), dengan mengatas namakan demi kehendak “Tuhan” (padahal sebenarnya: demi tujuan politik), dan pelakunya akan mendapat pahala yaitu surga. Lihatlah fakta kekerasan dan pembunuhan di negara2 yang agamis seperti: Colombia, Argentina, Aljasair, Afganistan, Mesir, Sudan, Pilipina, Indonesia, Bosnia, Yugoslavia, dst. Lihatlah bagaimana mantan presiden Suharto yang tidak lulus SMA dengan begitu indahnya mempercundangi para akademisi (mahasiswa dan dosen yang notabene adalah bergelar profesor/doktor) di UI, ITB, UGM, IPB, dst., dan menaklukan reformasi melalui politisasi agama (sebagai salah satu strategi yang ampuh; tentang hal ini, harap baca artikel saya yang lain).

Dalil 10.

Agama dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

Lihatlah sejarah Eropa diabad 17 an. Agama Katholik saat itu sering menghukum ilmuwan, dengan alasan ilmuwan itu membuat pernyataan yang dianggap bertentangan dengan isi Injil. Ilmuwan besar yang dikucilkan antara lain adalah Copernicus, Galileo, Columbus, dan Darwin. Pada abad itu ketika agama Katholik begitu dominan (namun beku dan statis), Eropa justru mengalami jaman kegelapan. Sekarang, lihatlah perbedaan antara negara Amerika Latin (yang dominan agamanya) dan USA serta Kanada (yang dominan religiositasnya). Sangat kontras sekali, misalnya saja antara USA dan Meksiko yang berbatasan. USA sangat modern, makmur, tentram, sebaliknya Meksiko, padahal mereka sama2 pendatang dari Eropa. Negara-negara Islam juga sama saja, katakan saja Turki (Bosnia, Albania) adalah negara Islam paling modern, ternyata masih jauh dibelakang negara2 Eropa dalam IPTEK, demokrasi dan kemakmuran. Selama pemahaman agama itu masih sempit (fanatisme agama, bukan religiositas), maka selama itu pula negara akan terjebak dalam hiruk pikuk eforia agama. Bandingkan pula dengan pemahaman demokrasi kita, yang baru tarap belajar dan eforia, dengan negara2 Eropa/USA. Kita juga dibuat tercengang dengan para ilmuwan negara komunis, misal RRC, mereka maju pesat, lihat negara kita dibanjiri otomotif produk mereka. Berapa ribu jam belajar yang sudah dihabiskan oleh anak-anak SD untuk "menghapal" hal yang belum saatnya dipelajari (agama beserta bahasa asing dan budayanya)? Bukankah anak2 itu ibarat di "brain washing" sehingga daya kreativitas dan daya saing mereka untuk tingkat dunia menjadi rendah sekali. Karena cara mengajarnya yang kebanyakan doktriner, akibatnya para siswa menjadi kaku, pasip, tidak kreatip, tidak bisa debat, gampang marah kalau debat, dan tersekat-sekat. Hasilnya apa? Toh mirip P4, PMP, dst. Sementara itu, setelah SD, kita harus menghabiskan sekian ribu jam pelajaran lagi untuk belajar dan mengejar ketertinggalan dalam bahasa Inggris, lalu kapan SDM kita bisa maju kalau kita tidak effisien dalam menggunakan waktu dalam pendidikan?

Dalil 11.

Semakin udara suatu bangsa penuh polusi doa puja-puji kepada Tuhan, semakin rusak moral bangsa itu.

Kalau kita amati, seringkali tembok-tembok ditulisi: Ngebut, benjut; Yang Kencing disini hanyalah anjing; Daerah bebas narkotik; Dilarang buang sampah disini; dst... Dinegara maju yang masyarakatnya sudah mencapai religiositas, tulisan2 berisi ancaman dan aturan kasar semacam itu sudah tidak ada lagi, sebab aturan itu sudah tertulis dihati sanubari mereka semenjak dini/kecil, yaitu melalui pendidikan budi pekerti. Begitu pula dengan masalah agama, semakin bumi nusantara ini dipenuhi polusi suara yang keras dan hingar bingar tentang agama (Tabliq Aqbar, istigotsah, azan masjid, koor gereja, dsb.), dan orang2nya semakin suka memakai atau memajang aksesori keagamaan (seringkali untuk “sekedar sembunyi”), semakin menandakan bahwa masyarakatnya masih sekedar pandai berdoa dan sekedar bosa-basi agama (formalitas), namun tidak pandai melaksanakan ajaran agama. Siang maling atau korupsi, malam berdoa atau meditasi; para pegawai negeri yang mengaku abdi negara dan abdi masyarakat justru mempraktekan filosufi:”Mengapa (semua urusan) harus dipermudah, kalau semuanya bisa dipersulit (agar keluar uangnya)?”. Ucapan dan tindakan bangsa ini ternyata sangat kontras bedanya, alias hipokrit/munafik. Lihatlah kelihaian para politisi tua Orde Baru dalam ber "agama", kemudian lihatlah "track record" mereka. Alhamdulilah, seratus delapan puluh derajat bedanya! Dengan demikian, dapat kita katakan, apa yang terjadi di Indonesia adalah pelecehan agama, bukan penghormatan agama, apalagi pengamalan agama! Pelecehan agama akan menyebabkan kehancuran moral suatu bangsa (Tuhan menurunkan hukum Nya!).

Dalil 12.

Agama tidak akan berguna apabila rakyatnya lapar, miskin dan ****.

Ada pedoman hidup yang klasik dan bagus: “Kenyang dulu baru ber falsafah”. Sebaik-baiknya ajaran agama, namun apabila perut umatnya kosong, yang terjadi adalah justru kriminalitas: kerusuhan dan kekerasan. Oleh sebab itu, agama perlu meniadakan sumber-segala sumber kemiskinan dulu, terutama kemiskinan struktural yang disengaja dan sengaja dibiarkan terjadi berkelanjutan oleh para politisi busuk; misalnya: gaji yang tidak layak dan tidak adil. Dirut BUMN terima 50 juta; sedangkan buruh/pns terendah terima 0,5 juta per bulan; rasio 1:100! Sistim penggajian yang berbeda antar departemen dan antar BUMN! Sistem gaji di Indonesia telah menjadikan gap kekayaan yang luar biasa dan menjadikan sumber KKN. Kebodohan akan mengakibatkan kesempitan berfikir, kesempitan berfikir disalah gunakan oleh pemuka agama yang berjiwa preman, hasil utama didikannya adalah kefanatikan, kefanatikan (mengklaim paling suci dan paling berhak atas surga!) akan mengakibatkan radikalism agama! Kemiskinan dan kebodohan menyebabkan mudahnya umat untuk di cuci otak oleh pemuka agama preman, misalnya untuk melaksanakan jihad bunuh diri (kalau di agama Nasrani, misal beramai-ramai minum racun, melakukan bunuh diri masal) dan jihad membunuh orang lain (kalau di agama Islam, misal bom bunuh diri, melakukan pembunuhan masal); semuanya dilakukan demi masuk surga!

Penutup

Kedunguan manusia telah mengubah ajaran suci Tuhan melalui para nabi menjadi belenggu bagi umat beragama. Dan sejarah juga sering menjadi saksi bagaimana penguasa politik, militer, birokrat, ekonomi maupun agama bahu-membahu mendungukan manusia agar dapat dikuasai oleh ambisi-ambisi mereka. Bangsa yang besar sebaiknya jangan mabuk agama, artinya semua masalah dapat dipecahkan hanya dengan agama! Tuhan itu bukan melulu agama, melainkan juga science! Manusia religius tidak akan pernah: membatasi Tuhan sebatas agamanya, membatasi sesamanya atas dasar agamanya; sebab Tuhan adalah milik semua orang,
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: SOEHARTO & ISLAMISASI INDONESIA

Post by Laurent »

RENUNGAN IBU PERTIWI TENTANG SISI-SISI NEGATIP PERAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA

19-Dec-04
RENUNGAN IBU PERTIWI TENTANG SISI-SISI NEGATIP

PERAN AGAMA ISLAM DI INDONESIA

Bila anda seorang intelektual Muslim yang dewasa dan rasional, maka setelah membaca fakta2 sejarah dibawah ini, lalu merenungkannya secara mendalam, barangkali anda tidak akan emosi dan marah, bahkan menitikan air mata kepedihan dan mengucapkan terima kasih kepada penulisnya atas fakta, kritik dan saran yang terkandung didalamnya. Sama sekali tidak ada maksud negatip dari hati penulis, kecuali keinginan mengungkapkan keprihatinan hati nurani penulis. Kecintaan penulis yang tulus dan dalam kepada Tuhan YME serta negara RI menjadi sumber utama inspirasi untuk menulis artikel ini. Berikut ini fakta2 sejarah nyata tersebut:

- Jendral Soeharto beserta para jendral TNI AD telah memprovokasi/mendalangi massa NU (umat Islam, terutama di Jatim) untuk membantai ratusan ribu massa PKI yang tak berdosa dan tidak tahu menahu tentang politik di desa2, ditahun 1965, hal ini dilakukan untuk menutupi coup detat angkatan darat sekaligus mengkambinghitamkan PKI. Pembunuhan yang lebih kejam lagi adalah “pembunuhan kemanusiaan” terhadap anak cucu para anggota PKI yang tidak tahu menahu dan tidak terlibat politik dengan cara merintangi perkembangan kepribadian, emosi dan bisnis mereka (alat2 pembunuh yang diciptakan misalnya: litsus dan S.K bebas G30S). Operator pembunuhan nasional ini adalah pasukan KOPASUS/RPKAD dibawah pimpinan Sarwo Edhi (mertua presiden SBY). Baru Gus Dur saja (saat itu sebagai presiden) yang meminta maaf. Disini agama dipakai untuk memprovokasi masa dan membantai bangsanya sendiri!

- Dijaman Soeharto (Orba): agama diperalat untuk menggaet suara pemilih disaat Pemilu, misalnya saja penyalahgunaan dai Zainudin MZ yang sengaja sering ditampilkan di TV, kemudian sengaja digelari "Dai Sejuta Umat" agar rakyat mudah terpikat. Setelah populer, dai ini dibawa safari Ramadhan oleh menteri Harmoko untuk menipu rakyat demi kemenangan GOLKAR. Memenangkan suara pemilu suatu daerah diuamakan melalui para ulamannya. Semenjak regim ORBA s/d saat ini para kyai dan ulama terus diperebutkan oleh politikus untuk menjadi sekedar alat politik. Oleh regim Suharto, para ulama busuk ini dibuatkan wadah yang dinamai MUI. Saat ini adalah sulit untuk membedakan antara ceramah agama dan ceramah politik seorang ulama. Baru Gus Dur saja (saat itu sebagai presiden) yang berani memarahi para ulama di MUI dan saat itu disiarkan secara langsung di TVRI! Gus Dur menandaskan bahwa para ulama ini adalah para pengejar harta dan kekuasaan (ulama plasu). Disini agama kembali dipakai untuk menipu rakyatnya.

- Ketika regim militer sudah terdesak oleh kaum intelektual kampus, maka Habibie bersama para Jendral (Hartono, Ahmad Tirtosudiro, mbak Tutut, dsb.) mendirikan ICMI di Universitas Brawijaya Malang guna menarik simpati dan mengelabui kaum intelektual. Saat itu, banyak Profesor dan Doktor terpikat masuk ICMI terbius tuk menduduki jabatan birokratis yang tinggi. Hal ini paling tidak menandakan adanya: kebutaan politik dan tingginya napsu manusiawi (harta dan kedudukan) para ilmuwan Muslim. Disini agama dipakai untuk membius dan mengelabui cendekiawannya sendiri.

- Seiring dengan ICMI, Suharto juga mengganti para menterinya yang semula berwajah Nasionalis menjadi bernuansa Arab-Islami demi mengambil hati umat Islam guna menyelamatkan regim militer dan ORBA. Para menteri keturunan Arab tsb. adalah: Marie Muhamad, Ali Alatas, Saleh Affif, Fuad Hasan, Bedu Amang, Fuad Bawazir, dsb. Kemudian mbak Tutut Suharto yang cantik dan seksi ke Mekah naik haji, dan sepulangnya dari Arab, beliau memakai jilbab. Bob Hasan pun berganti nama menjadi Muhamad Hassan. Sebelumnya Suharto telah mengobral uang rakyat sebanyak 700 trilyun rupiah ke etnis Tionghoa yang nakal lewat BLBI (banyak Chinese yang baik, namun Suharto lebih memilih konglomerat hitam). Dengan demikian, regim ORBA ingin berganti baju, yang dulu: militeristik, pro nasionalis (dengan think-thank CSIS), dekat dengan Tionghoa, dekat dengan USA/IMF, dan terkesan menindas Islam, menjadi pro Islam atau bahkan ingin mengesankan diri sebagai pembela Islam, menjauhi Tionghoa dan Barat. Regim ORBA saat itu sudah diambang kejatuhan, maka strategi terjitu adalah politisasi agama. Suharto mulai sadar bahwa negara RI telah ia gadaikan ke USA dkk. sejak tahun 1965. Sejak 1965, USA dkk. (yang membantu terjadinya regim militer) menerima konsesi pertambangan dan industri yang luar biasa besarnya (Caltex, Freeport, Inalum, dsb) dan mulai menjajah ekonomi Indonesia melalui IMF. Boleh dikatakan bahwa yang menikmati kekayaan yang berlimpah di Indonesia itu bukan orang Dayak, Irian, Pakan Baru, Aceh; melainkan bangsa USA, Inggris, Jepang, Singapore, dst, serta para birokrat, petinggi militer/polisi, serta konglomerat hitam (terutama di pusat, Jakarta). Disini agama dipakai untuk meninggikan etnik keturunan bangsa lain, meremehkan suku-bangsa sendiri, mengalihkan perhatian, memprovokasi anti Barat, dan menipu rakyatnya sendiri!

- Seminggu sebelum tragedi Mei 1998 (yaitu pembantaian/perkosaan umat Tionghoa di Jakarta dan Solo, yang didalangi Wiranto dan Prabowo dengan operator RPKAD dan Pemuda Pancasila) para provokator telah diinstruksikan untuk menulisi rumah2 penduduk dengan kata2 bernuansa SARA yaitu:"Milik Pribumi Muslim". Dengan demikian, para oknum jendral AD tsb. berusaha mengadu domba Islam dengan etnis Tionghoa. Nampak bahwa regim Suharto/militer ingin mengalihkan tanggung jawab salah urus negara kepada etnis Tionghoa dan ingin membuat citra bahwa umat Muslim marah kepada Tionghoa. Padahal hampir semua bisnis militer, politisi dan pejabat tinggi kebanyakan dijalankan oleh konglomerat hitam Tionghoa (sekali lagi, di Indonesia tercinta ini jauh lebih banyak Tionghoa yang baik daripada yang “hitam”). Manusia Jawa lalu merasa: dianaktirikan (dibunuhi dijaman 1965) dan Tionghoa dianak emaskan (diberi BLBI 700 trilyun); sebaliknya manusia Tionghoa merasa: dianaktirikan (dibunuh dan diperkosa saat tragedi Mei 98, penindasan budaya, serta adanya persyaratan SKBRI) dan pribumi dianak emaskan (misalnya: diberi kesempatan lebih besar menjadi PNS); kemudian menjelang reformasi, keturunan Arab dianak emaskan. Dimulai semenjak regim Suharto, hubungan pribumi dan Tionghoa menjadi tidak harmonis bahkan cenderung saling curiga; demikian pula antara Jawa dan non luar Jawa (adanya sentralisasi mengakibatkan luar Jawa jauh tertinggal). Disini agama dipakai untuk adu domba, divide et’ impera (pemecah belah), kerusuhan, perkosaan bahkan pembantaian etnis.

- Ketika Akbar Tanjung diadili masalah penyelewengan dana Bulog, ia berdalih bahwa uang itu telah disalurkan ke yayasan Islam yang disebut Rudhatul Janah guna mengentaskan kemiskinan; padahal uang itu dipakai untuk mendirikan berbagai partai politik agar PDIP saat itu tidak menang mutlak. (Bila saat itu tetap hanya ada tiga partai, PDIP menang mutlak, pastilah regim ORBA sudah musnah!) Agama kok begitu mudahnya diselewengkan/diperalat untuk menyelamatkan regim Orde Baru (= pembangkrut bangsa).


- Ketika terjadi reformasi, Suharto dengan tenang, aman, nyaman dan tentram tetap bercengkerama di jl. Cendana bersama anak cucunya, ini sungguh luar biasa! Para politisi dan profesor dari Luar Negeri sampai tidak habis herannya, mereka meminta bangsa Indonesia untuk secara cerdas menganalisa hal ini mengingat fakta sejarah mengatakan bahwa semua presiden yang direformasi pasti lari terbirit-birit ke Luar Negeri untuk menyelamatkan diri (agar tidak terbunuh), misalnya Marcos, Shah Iran, Mobutu Seseseko, Jean Betrand Aristi, dst. Sayang, bangsa ini baru terlelap tidur sehingga otaknya tidak mampu menganalisanya. Para kaum supercerdas politik mengatakan bahwa disamping Suharto mendapat jaminan keamanan dari kelompoknya (TNI AD lewat Jendral Wiranto dan Prabowo), Suharto juga mendapat jaminan keamanan dari salah seorang tokoh reformasi yang berhasil diselundupkannya… hebat bukan? Dalam politik, cara terbaik melumpuhkan lawan adalah strategi penyusupan (ingat dimasa ORBA: berapa kali PDI disusupi dan dipecah belah dari dalam). Siapakah diantara ketiga tokoh reformasi (Mega, Gus Dur, dan Amien Rais) yang merupakan tokoh selundupan itu? Ia adalah Doktor Amien Rais, warga keturunan Arab asal Solo, sahabat lama Prabowo jauh hari sebelum reformasi (Prabowo = menantu Suharto); jadi regim Suharto sudah lama mempersiapankan strategi penyusupan Reformasi. Amien Rais, kader brilian ICMI, kemudian pura-pura bentrok dengan ICMI, keluar dari ICMI dan menyelundup sebagai tokoh reformasi. Ketika kaum intelektual kampus dan para mahasiswa ingin menurunkan Habibie, Amin selalu melindungi Regim ORBA dengan himbauannya agar Habibie diberi kesempatan tuk memimpin reformasi dan Amin sanggup menjadi sparing partnernya apabila Habibie menyeleweng. Padahal ingat bahwa Habibie sejak jaman Soeharto s/d saat ini adalah warga negara Jerman, jadi presiden kita pernah dijabat oleh orang Jerman! Dan saat turun dari singgasananya dengan seenaknya sendiri Soeharto menunjuk penggantinya (=pelindungnya!). Ketika PDIP menang pemilu (tidak bisa menang mutlak, karena partai peserta Pemilu disengaja banyak sekali), regim ORBA masih merasa takut sekali apabila Megawati menjadi presiden (siapa tahu Mgw akan balas dendam thd regim Suharto); maka perlu kelicikan untuk menjegal Mega, Amien menjadi dalangnya dengan membentuk poros tengah yang bernuansa Islami dan dengan jargon "Wanita belum bisa diterima oleh ulama Islam sebagai presiden”. Maka Gus Dur yang dianggap kurang berbahaya terhadap regim ORBA dinaikan menjadi presiden (walau dari persyaratan kesehatan jasmani jelas2 tidak mungkin ia menjadi presiden sebab buta; namun saat itu hanya Gus Dur yang dapat menandingi kepopuleran Megawati). Ketika dalam perjalanannya sebagai presiden, Gus Dur ternyata dianggap membahayakan regim Orba, maka Amin Rais kembali beraksi lagi melalui MPR/DPR dan berhasil menjatuhkan Gus Dur. Gebrakan gus Dur yang membahayakan regim Orba misalnya adalah: membubarkan Deppen dan menetralkan LKBN serta TVRI (senjata informasi paling canggih regim Orba, pembius dan pembodoh rakyat), pemulihan hak kebudayaan etnis Tionghoa, serta diangkatnya Baharudin Lopa menjadi Jaksa Agung, yang kemudian ditengah masa jabatannya, ia dihabisi oleh Regim ORBA (regim Orba yang pakar dalam bunuh membunuh dan adu domba juga menghabisi Munir-Kontras serta jendral bersih dan cerdas Agus Wirahadikusumah). Ditahun 2004, Gus Dur ngotot ingin jadi calon presiden lagi; namun karena tidak dibutuhkan lagi oleh regim ORBA, maka cacat matanya dipermasalahkan, kali ini tidak ada lagi yang membelanya! Megawati yang sudah bisa dijinakan dan mulai dekat dengan militer akhirnya direstui tuk jadi presiden. Kemudian, dalam salah satu pidatonya, Amin Rais menandaskan untuk tidak mengungkit-ungkit lagi Soeharto dengan alasan usia dan sakit; padahal Soeharto dkk. itu kunci keadilan, kunci KKN, kunci masalah dan pelurusan sejarah, kunci uang yang ada di bank2 L.N; Soeharto adalah sumber dari segala sumber malapetaka Indonesia (bagaikan Hitler bagi jerman); jadi sebaiknya Soeharto diadili dulu, mengakui bersalah, barulah diampuni. Dalam gerakan zig-zag si reforman palsu ini (Amin Rais), ia banyak mendapat dukungan dan restu dari HMI, KAHMI, Muhammadiyah, dan MUI. Sampai dengan saat ini Amien Rais beserta HMI, Muhammadiyah, dan MUI tidak pernah lagi mengusik Suharto, akhirnya Suharto dan regimnya ternyata selamat. Dengan demikian, kita bangsa Indonesia patut menjadi sangat heran: Agama kok dipakai untuk mencegah emansipasi wanita (menjegal Megawati) dan membodohi bangsanya sendiri demi keselamatan regim ORBA yang sudah membangkrutkan bangsa! Para oknum Jendral AD sungguh hebat, ditangan mereka: Islam ternyata hanya menjadi sekedar alat mainan belaka!

- Regim Orba dan regim militer (para oknum Jendral TNI AD, khususnya KOPASUS) menyadari bahwa rasa damai dan aman adalah kebutuhan mendasar manusia. Maka ketika terdesak oleh kaum Reformis, mereka mendanai, mengorganisasikan, dan menggerakan berbagai kerusuhan di bumi Nusantara, terutama menggunakan atribut Islam. Kerusuhan di Ambon, Pontianak, Poso, dst. adalah ulah mereka. Sebenarnya untuk menangkap otaknya/pendananya, cukup mudah sekali, cukup melacak aliran dana di Bank dan menyadap via telepon serta internet; namun Badan Intelijen (BIN) tidak melakukannya, mengingat BIN selama ini justru menjadi alat militer tuk berkuasa; musuh BIN yang terutama adalah justru manusia Indonesia yang baik dan idealis (bukan musuh dari luar). Pensiunan BrigJen Sumarsono, waktu itu Sekjen PBSI, ditangkap dengan milyaran rupiah uang palsu. Para pengamat politik supercerdas langsung tahu bahwa uang palsu itu untuk membayari para preman perusuh; jadi ada maksud untuk sekaligus mengacau keamanan (kerusuhan) dan mengacau ekonomi (uang palsu), luar biasa liciknya para oknum jendral AD itu. Dengan diciptakannya berbagai kerusuhan, patahlah kepercayaan rakyat pada Reformasi, dan rakyat rindu pada regim militer lagi. Rakyat juga dibodohi bahwa telah terjadi reformasi, padahal sama sekali belum terjadi mengingat yang baru turun dari singgasana hanyalah Suharto, sedangkan semua posisi penting dalam birokrasi dan militer (terutama TNI AD) masih dikuasai regim Suharto. Para oknum jendral AD di Mabes Cilangkap memang pintar, mereka selalu berada diantara bandul jam “radikal dan nasionalis”. Ketika mereka terdesak oleh kaum Nasionalis, maka kaum radikal sengaja dibesarkan/dihidupkan, dengan demikian kaum Nasionalis jadi keder nyalinya; sebaliknya bila regim Militer terdesak kaum radikal Islam, maka regim militer akan berbalik ke kaum Nasionalis untuk bersama-sama menghabisi kaum radikal. Pemilu terakhir yang dimenangkan SBY, regim militer menggunakan PKS (dari mana dana partai?). Partai reformis selain PKS, hampir tidak pernah di cover di televisi, sebaliknya PKS terus-terusan dimunculkan. Pemilu waktu itu didominasi oleh: rebutan para kyai (bukan para professor), rebutan sultan (Yogya/Solo/Cirebon), ziarah ke makam2 dan berdangdutan; nuansa keilmuan, kampus, science tidak ada sama sekali! Memang benar, reformasi tidak akan terjadi bila media informasi dikuasai regim ORBA. Disini nampak jelas bahwa di Indonesia agama sekedar jadi alat permainan untuk dipakai mengelabui bangsanya sendiri, tidak heran Tuhan sepertinya menjauhi Indonesia!

- Beberapa hari sebelum pemungutan suara pada pemilu presiden 2004, bom sengaja diledakan di depan Kedubes Australia. Saat pemungutan suara, TV BBC Inggris mewancarai seorang pencoblos, pencoblos itu mengatakan tidak mau memilih Megawati lagi dengan alasan banyaknya bom yang meledak, terutama yang barusan meledak di kedubes itu. Itu adalah salah satu faktor penentu kemenangan militer kembali. Sungguh jitu strategi para oknum Jendral AD ini! Kemudian, pengebomnya berhasil dibekuk, padahal strategi ini buatan mereka sendiri (memakai radikal Islam)! Jadi sekali tepuk mereka dapat dua point: menang pemilu & rakyat tambah percaya pada militer (bisa membekuk pelakunya). Berbagai kerusuhan dan adu domba di Nusantara di outsourcingkan (disubkontrakan) kepada pihak ketiga (misalnya Pemuda Pancasila, Laskar Jihad, FPI, dst) melalui makelar, kemudian makelarnya dibinasakan. Sebagai contoh, kasus dukun santet di Banyuwangi; otaknya di Jkt (pada umumnya petinggi RPKAD), pelaksananya preman2 luar Jkt dan luar Bwi; setelah sukses, makelarnya dihabisin, sehingga benang merah koneksi antara otak di Jkt dan pelaksana di BWI terputus; jadilah kasus itu sekedar kasus lokal, pejabat busuk di Jkt seolah-olah tidak pernah terlibat kerusuhan atau kekerasan didaerah. Kembali agama hanya jadi sekedar bulan2an para oknum pembesar AD di Cilangkap dan di BIN.

- Osama, Baasyir, dan ulama radikal selalu menggunakan tameng agama Islam guna memerangi lawan politik mereka, terutama negara Barat. Orang miskin dan **** terutama di negara berkembang di brain wash untuk menjadi senjata utama mereka yaitu bom bunuh diri! Seolah-olah ayat suci mereka buat dan tafsirkan sendiri misalnya: bunuh diri, membunuh orang lain dan merugikan negara setempat adalah kehendak Tuhan sehingga mendapat pahala yaitu surga. Mereka sendiri tidak mau melakukan bom bunuh diri! Kembali lagi, agama dijadikan alat sumber pembodohan, kekerasan dan kekejaman!

- Bila dicermati, kotbah2 agama selama bulan Puasa yang disiarkan radio dan televisi yang masih dikuasai regim Orde Baru (group Cendana, Sudwikatmono, Liem S. Liong, dst.), justru dipakai untuk melemahkan penegakan moral bangsa; kebanyakan isi kotbah bersifat "top down" (penuh titipan para pejabat bermasalah). Bagi rakyat jelata yang miskin, kotbah ditujukan agar rakyat selalu tetap tahan menderita dengan gaji yang rendah dan dapat selalu memahami berbagai ketidak adilan yang terjadi (jangan demo, jangan berontak, jangan ini, jangan itu, melainkan tetap patuh, mengalah, dan nrimo), karena semua penderitaan itu akan menghasilkan rahmat dan berkah. Rakyat juga terus dihimbau tuk memafkan kejahatan masa lalu para pelanggar HAM, sebab dengan memaafkan kita juga akan dimaafkan. Bagi pejabat tinggi/birokrat/jendral para pelaku KKN dan pelanggar HAM berat, kotbah disuasanakan sesejuk mungkin, misalnya dibulan rahmadan (malam seribu bulan) ini langit dan surga akan terbuka, akan terjadi pengampunan penuh, apapun kejahatannya dan betapapun besar kualitas kejahatannya, mereka akan diampuni dan masuk surga tanpa syarat apapun, misalnya syarat harus mengembalikan harta hasil jarahannya bagi pelaku KKN, dan syarat mengakui pelanggaran HAM yang telah terjadi, minta maaf, serta memberikan ganti rugi bagi korbannya. Disini Tuhan dipahami hanya sebatas Maha Pengasih dan Pengampun (mengenakan oknum Pejabat); Maha Adilnya sengaja dihilangkan (seharusnya Maha Adil lebih ditekankan, agar manusia berpihak ke rakyat jelata yang tertindas, dan menuntut para oknum untuk pengembalian harta KKN dan pengusutan hukum yang tuntas). Tidak heran bila dalam laporan internasional yang baru saja diterbitkan, ternyata 20 negara terkorup dan pelanggar HAM terberat justru negara-negara yang hiruk-pikuk dan hingar-bingarnya (formalitas) agama dinegara itu luar biasa kuatnya; misalnya negara2 Amerika Latin yang didominasi agama Katholik dan negara2 Timur Tengah, Banglades, Indonesia, Pakistan yang didominasi agama Islam. Bila dicermati, di perumahan2 mewah, para koruptor kelas kakap dan para pelanggar HAM berat ini menampakan diri sebagai kaum yang religius sekali; rajin sembahyang dan sedekah! Ulama, habib, ustadz, HMI, KAHMI, MUI, ICMI, Muhammadiah dan NU tidak pernah mau menuntaskan masalah KKN dan militerism. Mereka ini bak sekedar alat politik; mereka sekedar pemburu harta dan kekuasaan; mereka terus-menerus menina bobokan dan membuat **** bangsa Indonesia. Mereka tidak pernah memperjuangkan gaji yang layak dan adil bagi pegawai/PNS. Gaji yang rendah sekali bagi buruh dan PNS serta rasio gaji antara pegawai rendah dan tinggi yang luar biasa tingginya (misal gaji terendah 0,5 juta, pejabat tinggi BUMN menerima 50 juta, rasio 1:100!), inilah yang menyebabkan kemiskinan struktural yang disengaja dan sumber segala sumber berbagai KKN. KKN bagaikan disarankan dan dilegalkan oleh pemerintah dan agama Islam, maka hampir semua PNS melakukan korupsi: siang maling uang atau korupsi waktu kerja, malam berdoa untuk minta maaf atas kejadian siang harinya kepada Tuhan, sungguh bangsa ini dibikin munafik oleh pemerintah dan agamanya sendiri! KKN yang semestinya menjadi hantu nomor satu negara, justru tidak pernah dituntaskan dan diangkat menjadi sumber dari segala sumber berjihad!!! Agama kok justru dipakai untuk melemahkan penegakan moral bangsa dengan cara meniadakan sifat Maha Adil Tuhan! Agama kok justru menjadi sumber krisis moral dan etika bangsa!

- Setiap bulan Ramadhan, hampir 40 hari lamanya bangsa ini sangat turun produktivitas dan effisiensinya, bangsa yang kurang rajin bekerja ini malah tiap tahunnya dianjurkan untuk seolah-olah bermalas-malasan. Pengcoveran berita lewat berbagai media terutama TV pun luar biasa dan berlebihan: sebelum buka dan sebelum saur, lalu-lintas selama Lebaran; berapa jam kerja atau berapa jam tayang TV dihabiskan untuk hal yang semestinya dapat untuk memajukan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi; padahal isi khotbah kebanyakan titipan penjabat (mohon dibaca point diatas). Demikian pula bagi pejabat pemerintah yang naik haji (seringkali dengan biaya negara alias plat merah), seminggu sebelumnya sudah ijin untuk tidak bekerja, kemudian 30 hari ada di Mekah, sepulangnya masih minta ijin seminggu lagi untuk berpesta-pora, berhura-hura, dengan kerabat keluarga, tetangga dan teman sekerja. Kalau ditotal, hampir selama 45 hari (1,5 bulan) pejabat itu mangkir dari kerja, luar biasa!!! Sudah mangkir bekerja masih, dan pelaku KKN, masih mengaku mendapatkan surga, sungguh luar biasa paradoksnya. Demikian pula hobi umat Muslim untuk kumpul2 keagamaan, namun jarang kumpul2 keilmuan; kumpul2 keagamaan sering melahirkan penghakiman/kecurigaan terhadap kelompok/agama yang lain; dinegara maju/modern, masyarakatnya lebih tertarik untuk bekerja daripada kumpul2 bermalas-malasan. Semuanya hal diatas mengatas namakan Tuhan YME!!! Disini agama dipergunakan untuk menghambur-hamburkan uang negara, waktu dan membuat malas bangsanya!

- Praktek sehari-hari umat Islam yang tanpa disadari telah melakukan pelanggaran HAM, mengganggu ketertiban umum dan mendorong kekerasan masyarakat. Sebagai contoh: suara azan masjid yang luar biasa kerasnya di keheningan pagi (sekitar jam 4.30, subuh) yang bagaikan suara orang kesurupan setan Arab dan mengandaikan Tuhan itu bagaikan tuli! Saat dimana manusia yang lelah bekerja sedang tertidur pulas atau orang yang sakit keras sedang membutuhkan keheningan, eeehhh malah diganggu dengan suara hingar bingar lewat loud speaker yang bertengger dipuncak–puncak masjid. Demikian pula disiang hari bolong, semua orang disekitar masjid, diganggu hingar-bingar kotbah, manusia sekeliling mesjid senang atau tidak senang dipaksa mendengarkan kotbah (yang seringkali bermutu rendah). Hingar-bingar suara masjid ini menjadikan manusia waras-normal menjadi sangat terganggu privacynya. Dinegara Turki, negara Islam yang modern, hingar bingar suara masjid tidak diperkenankan! Selain itu, umat Islam diajarkan untuk selalu memberi salam khas Islam dan dengan bhs. Arab kepada siapapun, kapanpun, dimanapun, apapun agamanya (misalnya: Assalamulaikum …wr. Wb…), dengan diiming-imingi sebagai poin penting untuk masuk surga. Bukan main diktator dan tidak menghargai perasaan orang lain dan kebudayaan sendiri, bukankah dapat dengan salam: “Selamat pagi/sore/apakabar/dst? Disini agama terkesan suka mengganggu ketertiban umum, tidak menghargai perasaan umat lain serta tidak menghargai kebudayaan sendiri!

- Demikian pula penggunaan istilah2 Islam/Arab seperti kata islah dan hibah. Islah untuk menyelamatkan para pelanggar HAM kelas berat (misal kasus Priok, dimana para oknum jendral memanipulasi ulama untuk islah). Hibah untuk menyelamatkan para pelaku KKN kelas berat (banyak birokrat menjadi konglomerat plat merah, padahal boleh dikata tak mungkin pegawai negeri mempunyai kekayaan diatas 2 milyar kecuali KKN; maka digunakan istilah hibah untuk menjelaskan hartanya kepada Komisi kekayaan negara). Dinegara non Islam pasti mereka ini sudah dihukum mati, di bumi Nusantara ini, yang pasti mati adalah maling ayam, sedangkan yang semestinya dihukum mati (pelanggar HAM dan koruptor kelas berat) malah sering muncul di TV dan tetap dihormati! Agama kok tidak mendorong keadilan, malah terkesan sengaja menyediakan persembunyian yang aman bagi berbagai pelaku penyelewengan kelas berat.

- Sangat memprihatinkan bahwa berdasar fakta2 selama ini, ternyata berbagai kerusuhan di Indonesia justru diawali dari kumpul2 kegiatan keagamaan, misalnya pengajian, sholat Jum'atan, Tabliq Akbar ataupun Istigozah, suatu paradoxial yang maha luar biasa! Kegiatan keagamaan menjelma menjadi kegiatan kerusuhan yang seringkali membawa korban jiwa manusia. Sebelum Islam masuk Indonesia, dijaman kerajaan berbasis Kejawen, Budha dan Hindu, kekerasan, kerusuhan dan pertentangan berbasis agama/kepercayaan tidak pernah terjadi. Kota Solo yang dulunya terkenal dengan putri Solonya dengan adatnya yang halus, lembut, lemah gemulai, dan manusiawi telah disulap Baa’syir dkk (orang2 Arab) menjadi kota yang ganas, keji dan gemar kerusuhan! Kejawen yang indah, harmonis dan pembawa damai ditekan (tak boleh ada di KTP)! Aneh, disini agama menjadi 180 derajat beloknya, dari sembahyang langsung membuat amok masa dan kerusuhan!

- Bali di bom, hotel Meriot di bom, kedutaan di bom, gereja dibom, dst. Generasi muda dipedesaan dicuci otak melalui pesantren2 untuk membunuh orang lain dengan membunuh diri (bom dililitkan dibadan); padahal hal ini sangat merugikan negara (investor/turis jadi takut, lapangan kerja menyusut drastis; dan orang Indonesia yang keluar negeri menjadi dipersulit). Ini mereka sebut ajaran mati sahid dengan ganjaran masuk surga. Ketika diadili, pelaku pembom ini teriak2 bagaikan kesurupan setan Arab: “Allahuakbar.. Allahuakbar… Allahuakbar”. Begitu bodohnya mereka itu, yang mereka pahami cuma bahasa Arab yang artinya Tuhan yang Maha Besar bukan Maha Pengasih dan Penyayang. Begitu hebatnya orang Arab mencuci otak manusia Indonesia, begitu superiornya si Arab Baa’syir ketua Jemaah Islamiah itu, ia sendirian bisa mengobrak-abrik Indonesia, betapa menyedihkan dan rendahnya kualitas manusia Jawa (suku yang mayoritas) itu, yang tidak sadarkan diri (mabok agama) hingga detik ini!!! Agama kok dipakai untuk “menidurkan bangsanya sendiri”, mengajarkan bahwa bunuh diri, membunuhi orang lain serta merugikan negaranya sendiri itu masuk surga, aneh!

- Kepala arca Budha di candi Borobudur dipenggal oleh habib buta dari Malang, ketika diadili, ia juga kesurupan setan Arab (menggigau dan sholat didepan sidang: “Allahuakbar..). Di Afganistan, saat dikuasai Taliban: wanita bagaikan dipasung, tv dan musik tidak boleh didengarkan, relief Budha yang sangat bersejarah dihancurkan. Monumen2 sejarah Budha, Hindu, Kristen, yang berupa candi2, pertapaan, katedral, kelenteng, kraton2, begitu indah dan agungnya dan menghasilkan devisa bagi negara Indonesia (tourist); sedangkan monumen Islam adalah justru rusaknya monumen2 agama lain itu! Agama juga dipakai untuk: - agitasi/provokasi membenci suku dan bangsa lain, misalnya menanamkan perasaan anti orang Cina/Tionghoa (padahal Alquran mewajibkan untuk menuntut ilmu s/d ke Cina, bukan ke Arab); - menanamkan perasaan anti Barat karena kekalahan kebudayaan Arab dalam berbagai hal (terutama dalam science, teknologi dan bisnis); - eksklusip: misal maraknya kost2an dikota-kota besar dengan label: hanya untuk Muslim. Mereka ini aneh: marah2 kepada Barat namun mereka belajar IPTEK dan memakai produk Barat, bukan produk Arab. Agama kok mengajarkan anti pluralisme, mengajarkan ingin menangnya sendiri, mengajarkan iri-cemburu dengan kemajuan peradaban yang dicapai oleh kebudayaan/keyakinan diluar Islam/Arab!

- Buku2 bermutu yang mencerdaskan bangsa di sweeping, kadang2 penerbitannya dilarang, bahkan pengarangnya ada yang difatwa mati atau dibunuh (misal Salman Rusdi, politikus dan sastrawan Belanda, Ulil Absar Adhala, dst.). Sekolah2 Kristen/Katholik diganggu (kasus terakhir: SD Sang Timur di Tangerang/Jakarta diserbu radikal Islam; presiden SBY, DPR, Muhammadiyah, MUI, dst. diam saja, padahal mereka hanya beberapa km dari lokasi; justru Gus Dur yang turun tangan. Ketakutan umat Arab untuk berdemokrasi, berpikir secara rasional, berdebat (tertulis maupun lisan) dan berkebebasan berpendapat tentang keyakinan sungguh mengherankan; sebab Tuhan itu Maha Cerdas, Maha Cerdas pasti suka debat, bukan main sweeping dan larang-melarang, jadi seseorang yang cerdas pasti suka debat, karena debat mengakibatkan kemajuan.. Dinegara maju, apa saja boleh dan justru dianjurkan untuk diperdebatkan (termasuk keyakinan), asal debatnya bermutu dimana kaki dan tangan (kelahi) tidak boleh ikut diapakai dalam adu gagasan! Memang, ada kemungkinan agama akan ambruk oleh adanya demokrasi, rasionalisasi, kebebasan berpendapat dan debat, seperti ambruknya gereja Katholik di Eropa pada sekitar abad 18 an. Monopoli dan otoritarian ajaran agama oleh pemuka agama menyandikan posisi mereka tidak tergoyahkan dinegara berkembang. Tidak mengherankan bila di Timur Tengah yang penuh dikuasai kyai, ulama dan raja, takut setengah mati dengan demokrasi, rasionalisasi, dan kebebasan berpendapat. Pemuka agama takut debat, lalu mereka mengatas namakan Tuhan bahwa Tuhan tidak suka debat dan Tuhan perlu dibela, dan keyakinan adalah harga mati-sesuatu yang beku dan statis. Dengan karakter demikian ini, otomatis kebudayaan Indonesia menjadi merosot tajam sekali; dari kejayaan kebudayaan diera: Borobudur, Prambanan, Mahapatih Gajah Mada, dst., menjadi negara pengutang, pengekspor TKW, dijajah IMF dan mata uangnya dihinakan (1$ = 10000)! Akhirnya, negarapun mengalami krisis kebudayaan. Agama kok dipakai untuk memonopoli kebenaran dan takut berdebat untuk adu gagasan atau bersaing dengan kebenaran yang lain yang lebih modern, lebih rasional, dinamis, dan lebih manusiawi; bukankah sekolah, buku dan debat adalah sumber kemajuan, mengapa harus dihambat, dikacau dan dimusnahkan, mengapa Tuhan Yang Maha Cerdas dianggap ****, tak boleh didebat, dan Tuhan diangap bagaikan takut akan demokrasi, rasionalisasi, serta kebebasan berpendapat? Agama kok menjadi sumber krisis kebudayaan!

- Dept. Agama dan Dept. Pendidikan merintis kerjasama dengan negara Sudan dan Universitas Sudan. Saat ini Sudan (mayoritas Islam) dalam sorotan dunia karena disana telah terjadi genocide oleh suku Arab terhadap suku lokal Afrika melalui kekerasan, perkosaan dan pembunuhan. Barang siapa melihat wajah negara Sudan melalui TV akan sangat terkejut, negara ini ternyata sangat tertinggal dan miskin! Demikian pula, dalam suatu siaran TV, diberitakan bahwa Pemuda Pancasila (PP, organisasi preman) telah mendirikan Pesantren di Kalimantan Tengah/Palangkaraya. Dalam acara itu diperlihatkan bagaimana preman level Nasional: Sapto dan Yoris K (pimpinan PP) meresmikan pesantren yang telah dibangun, dan ini direstui oleh jendral Riamizad Riacudu. Manusia supercerdas tahu bahwa ada dana yang besar sekali (trilyunan rupiah) dari organisasi sumber kekerasan dunia yang berpusat di Timur Tengah (sekelompok dengan Alqaeda) yang mengalir lewat negara ketiga (misal Sudan, supaya dana sulit dilacak).

Pengamat Kebudayaan di Kuta Bali,

Tertanda

Begawan Kebudayaan

Pensiunan Professor di suatu PT


http://groups.yahoo.com/group/ETSA/message/3291
Post Reply