Tujuan DIPONEGORO: ISLAMISASI JAWA !
Posted: Fri Dec 18, 2009 12:37 am
http://www.opensubscriber.com/message/z ... 68555.html
Diponegoro tidak berjuang untuk tanah Mataram, tetapi untuk tanah miliknya (tanah perdikan?) yang akan digusur oleh kompeni untuk pelebaran jalan. Diponegoro justru ingin lepas dari lingkaran Kraton dengan mengenakan busana ala Timur Tengah. Jadi boleh dibilang ia membelot dari Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat. Jadi kalau boleh saya menilai, gerakan Diponegoro tak ubahnya Syariatisasi Islam di wilayah DIY dan Jawa Tengah pada khususnya.
Sekilas tentang Perang Jawa (Java Oorlog, 1925 - 1830):
Menurut catatan sejarah, pada Mei 1825 Belanda punya rencana membuat sebuah jalan baru yang akan dibangun di dekat Tegalrejo, pinggiran Yogyakarta. Proyek itu akan melewati makam dan tanah leluhur Diponegoro yang membuat Diponegoro tersinggung. Ia menentang keras rencana itu.
Pada 20 Juli 1825 Belanda mengirim serdadunya dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Tegalrejo berhasil direbut oleh Belanda. Namun Diponegoro berhasil melarikan diri dan mencanangkan panji pemberontakan. Sejak saat itu hingga pertengahan 1830 meletuslah perlawanan yang disebut Perang Jawa (Java Oorlog), pusatnya di daerah Yogyakarta. Sekira 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Pemberontakan ini juga menyerang orang-orang Cina karena mereka dituding telah bertindak curang dan juga banyak mendapat kemudahan dari pihak Belanda.
15 Oktober 1826, Diponegoro aka Ngabdul Kamidi mengalami kekalahan di Gawok, dekat Surakarta. Sejak saat itulah sang pangeran semakin menyadari pada akhirnya ia tak akan berhasil mewujudkan niat dan rencananya yang telah dicanangkan sejak memulai peperangan yaitu untuk menegakkan keluhuran agama Islam di seluruh Tanah Jawa:
"Mamangun luhuripun Agami Islam wonten ing Tanah Jawi"
Sasaran ganda moral dan agama itu memang sudah tumbuh dalam diri sang pangeran sejak ia muda dan hidup sebagai santri yang berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Pengembaraan fisik dan rohani itu membuat ia menampik semua jabatan politik: "mapan ingsun banget lumuh". Ia tanggalkan pakaian Jawa dan menggantinya dengan pakaian rasul yang serba putih.
Pada 1827 Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng. Gerombolan pemberontak dipaksa bertempur sebelum mereka sempat tumbuh dalam jumlah besar. Pasukan Diponegoro terjepit. Penyakit kolera, malaria, disentri merajalela menyerang kedua belah pihak.
Pada April 1829 Kyai Modjo tertangkap, lalu diasingkan. Pada September 1829, Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro dan panglima utamanya Sentot Alibasyah Syahbana menyerah.
Pada 28 Maret 1830 Diponegoro bersedia melakukan perundingan di Magelang, tetapi itu hanya taktik Belanda saja. Diponegoro dinaikkan kereta tahanan untuk dibawa ke Semarang. Lalu dengan kapal laut ia diasingkan di Manado, kemudian di Makassar. (BAGUS !!!)
Berakhirlah Perang Jawa yang merupakan perlawanan elite bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban. Di pihak pemerintah menelan 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 berkebangsaan Indonesia, 200.000 orang Jawa tewas. Sehingga jumlah penduduk Yogyakarta kala itu menyusut separuhnya. (HANYA KRN SI PENGIKUT MAMAT ITU MAU MENANG SENDIRI !!! TIDAK MEMIKIRKAN RAKYATNYA. YG PENTING ISLAM, ISLAM, ISLAM !!!)
Pelukis Raden Saleh Boestaman yang keturunan Arab lahir di Solo pada 1814. Setelah pergi ke Belanda selama 23 tahun lamanya untuk mengabdi pada Raja Willem III, ia kembali ke Jawa pada 1857. Dialah yang melukis penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang yang diberi judul 'Historisches Tableau, die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro'. Raden Saleh wafat di tahun 1880. Peninggalan beliau diantaranya adalah kebun binatang yang kini berubah fungsi menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta. Juga rumah miliknya yang kini berubah fungsi menjadi rumah sakit Katholik di Jl. Raden Saleh, Jakarta Pusat.
Buku: "Asal-usul Perang Jawa, pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh"
Penulis: Peter Carey
Pengantar: Onghokham
Penerbit: LkiS, Yogyakarta, 2004
Tebal: 197 halaman
__________________________________________________________
Kisah yang aku cuplikkan dari sebuah buku tersebut dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya Pangeran Diponegoro ingin mendirikan sebuah kekhalifahan Islam di Tanah Jawa - minimal di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Ia dan para pengikutnya rela melepas busana kerabat kraton Jawanya dengan busana khas Timur Tengah. Kala itu sungguh amat jarang seorang bangsawan kraton keturunan Mataram mau menanggalkan tradisi kejawaannya demi apa yang diyakininya.
Tercatat pada 1813 wilayah Mataram pecah menjadi empat dengan naik tahtanya Pangeran Notokusumo sebagai Paku Alam I. Wilayah lainnya menjadi milik Kasunanan dan Mangkunegaran yang berkedudukan di Surakarta. Di Yogyakarta berbentuk Kasultanan. Ini bisa menjadi penelitian yang amat menarik terkait dengan proses Islamisasi di Indonesia pada masa lalu.
Catatan:
Kisah Perang Jawa pernah difilmkan oleh almarhum Teguh Karya dengan judul "November 1828". Namun itu hanya sepenggal kisah dari ratusan kisah yang belum sempat terungkapkan.
Diponegoro tidak berjuang untuk tanah Mataram, tetapi untuk tanah miliknya (tanah perdikan?) yang akan digusur oleh kompeni untuk pelebaran jalan. Diponegoro justru ingin lepas dari lingkaran Kraton dengan mengenakan busana ala Timur Tengah. Jadi boleh dibilang ia membelot dari Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat. Jadi kalau boleh saya menilai, gerakan Diponegoro tak ubahnya Syariatisasi Islam di wilayah DIY dan Jawa Tengah pada khususnya.
Sekilas tentang Perang Jawa (Java Oorlog, 1925 - 1830):
Menurut catatan sejarah, pada Mei 1825 Belanda punya rencana membuat sebuah jalan baru yang akan dibangun di dekat Tegalrejo, pinggiran Yogyakarta. Proyek itu akan melewati makam dan tanah leluhur Diponegoro yang membuat Diponegoro tersinggung. Ia menentang keras rencana itu.
Pada 20 Juli 1825 Belanda mengirim serdadunya dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Tegalrejo berhasil direbut oleh Belanda. Namun Diponegoro berhasil melarikan diri dan mencanangkan panji pemberontakan. Sejak saat itu hingga pertengahan 1830 meletuslah perlawanan yang disebut Perang Jawa (Java Oorlog), pusatnya di daerah Yogyakarta. Sekira 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Pemberontakan ini juga menyerang orang-orang Cina karena mereka dituding telah bertindak curang dan juga banyak mendapat kemudahan dari pihak Belanda.
15 Oktober 1826, Diponegoro aka Ngabdul Kamidi mengalami kekalahan di Gawok, dekat Surakarta. Sejak saat itulah sang pangeran semakin menyadari pada akhirnya ia tak akan berhasil mewujudkan niat dan rencananya yang telah dicanangkan sejak memulai peperangan yaitu untuk menegakkan keluhuran agama Islam di seluruh Tanah Jawa:
"Mamangun luhuripun Agami Islam wonten ing Tanah Jawi"
Sasaran ganda moral dan agama itu memang sudah tumbuh dalam diri sang pangeran sejak ia muda dan hidup sebagai santri yang berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Pengembaraan fisik dan rohani itu membuat ia menampik semua jabatan politik: "mapan ingsun banget lumuh". Ia tanggalkan pakaian Jawa dan menggantinya dengan pakaian rasul yang serba putih.
Pada 1827 Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng. Gerombolan pemberontak dipaksa bertempur sebelum mereka sempat tumbuh dalam jumlah besar. Pasukan Diponegoro terjepit. Penyakit kolera, malaria, disentri merajalela menyerang kedua belah pihak.
Pada April 1829 Kyai Modjo tertangkap, lalu diasingkan. Pada September 1829, Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro dan panglima utamanya Sentot Alibasyah Syahbana menyerah.
Pada 28 Maret 1830 Diponegoro bersedia melakukan perundingan di Magelang, tetapi itu hanya taktik Belanda saja. Diponegoro dinaikkan kereta tahanan untuk dibawa ke Semarang. Lalu dengan kapal laut ia diasingkan di Manado, kemudian di Makassar. (BAGUS !!!)
Berakhirlah Perang Jawa yang merupakan perlawanan elite bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban. Di pihak pemerintah menelan 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 berkebangsaan Indonesia, 200.000 orang Jawa tewas. Sehingga jumlah penduduk Yogyakarta kala itu menyusut separuhnya. (HANYA KRN SI PENGIKUT MAMAT ITU MAU MENANG SENDIRI !!! TIDAK MEMIKIRKAN RAKYATNYA. YG PENTING ISLAM, ISLAM, ISLAM !!!)
Pelukis Raden Saleh Boestaman yang keturunan Arab lahir di Solo pada 1814. Setelah pergi ke Belanda selama 23 tahun lamanya untuk mengabdi pada Raja Willem III, ia kembali ke Jawa pada 1857. Dialah yang melukis penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang yang diberi judul 'Historisches Tableau, die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro'. Raden Saleh wafat di tahun 1880. Peninggalan beliau diantaranya adalah kebun binatang yang kini berubah fungsi menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta. Juga rumah miliknya yang kini berubah fungsi menjadi rumah sakit Katholik di Jl. Raden Saleh, Jakarta Pusat.
Buku: "Asal-usul Perang Jawa, pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh"
Penulis: Peter Carey
Pengantar: Onghokham
Penerbit: LkiS, Yogyakarta, 2004
Tebal: 197 halaman
__________________________________________________________
Kisah yang aku cuplikkan dari sebuah buku tersebut dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya Pangeran Diponegoro ingin mendirikan sebuah kekhalifahan Islam di Tanah Jawa - minimal di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Ia dan para pengikutnya rela melepas busana kerabat kraton Jawanya dengan busana khas Timur Tengah. Kala itu sungguh amat jarang seorang bangsawan kraton keturunan Mataram mau menanggalkan tradisi kejawaannya demi apa yang diyakininya.
Tercatat pada 1813 wilayah Mataram pecah menjadi empat dengan naik tahtanya Pangeran Notokusumo sebagai Paku Alam I. Wilayah lainnya menjadi milik Kasunanan dan Mangkunegaran yang berkedudukan di Surakarta. Di Yogyakarta berbentuk Kasultanan. Ini bisa menjadi penelitian yang amat menarik terkait dengan proses Islamisasi di Indonesia pada masa lalu.
Catatan:
Kisah Perang Jawa pernah difilmkan oleh almarhum Teguh Karya dengan judul "November 1828". Namun itu hanya sepenggal kisah dari ratusan kisah yang belum sempat terungkapkan.