Tujuan DIPONEGORO: ISLAMISASI JAWA !

Khusus ttg sepak terjang/sejarah jihad dan penerapan Syariah di INDONESIA & negara jiran (MALAYSIA)
Post Reply
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Tujuan DIPONEGORO: ISLAMISASI JAWA !

Post by ali5196 »

http://www.opensubscriber.com/message/z ... 68555.html

Diponegoro tidak berjuang untuk tanah Mataram, tetapi untuk tanah miliknya (tanah perdikan?) yang akan digusur oleh kompeni untuk pelebaran jalan. Diponegoro justru ingin lepas dari lingkaran Kraton dengan mengenakan busana ala Timur Tengah. Jadi boleh dibilang ia membelot dari Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat. Jadi kalau boleh saya menilai, gerakan Diponegoro tak ubahnya Syariatisasi Islam di wilayah DIY dan Jawa Tengah pada khususnya.

Sekilas tentang Perang Jawa (Java Oorlog, 1925 - 1830):

Menurut catatan sejarah, pada Mei 1825 Belanda punya rencana membuat sebuah jalan baru yang akan dibangun di dekat Tegalrejo, pinggiran Yogyakarta. Proyek itu akan melewati makam dan tanah leluhur Diponegoro yang membuat Diponegoro tersinggung. Ia menentang keras rencana itu.

Pada 20 Juli 1825 Belanda mengirim serdadunya dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro. Tegalrejo berhasil direbut oleh Belanda. Namun Diponegoro berhasil melarikan diri dan mencanangkan panji pemberontakan. Sejak saat itu hingga pertengahan 1830 meletuslah perlawanan yang disebut Perang Jawa (Java Oorlog), pusatnya di daerah Yogyakarta. Sekira 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Pemberontakan ini juga menyerang orang-orang Cina karena mereka dituding telah bertindak curang dan juga banyak mendapat kemudahan dari pihak Belanda.

15 Oktober 1826, Diponegoro aka Ngabdul Kamidi mengalami kekalahan di Gawok, dekat Surakarta. Sejak saat itulah sang pangeran semakin menyadari pada akhirnya ia tak akan berhasil mewujudkan niat dan rencananya yang telah dicanangkan sejak memulai peperangan yaitu untuk menegakkan keluhuran agama Islam di seluruh Tanah Jawa:

"Mamangun luhuripun Agami Islam wonten ing Tanah Jawi"

Sasaran ganda moral dan agama itu memang sudah tumbuh dalam diri sang pangeran sejak ia muda dan hidup sebagai santri yang berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Pengembaraan fisik dan rohani itu membuat ia menampik semua jabatan politik: "mapan ingsun banget lumuh". Ia tanggalkan pakaian Jawa dan menggantinya dengan pakaian rasul yang serba putih.

Pada 1827 Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng. Gerombolan pemberontak dipaksa bertempur sebelum mereka sempat tumbuh dalam jumlah besar. Pasukan Diponegoro terjepit. Penyakit kolera, malaria, disentri merajalela menyerang kedua belah pihak.

Pada April 1829 Kyai Modjo tertangkap, lalu diasingkan. Pada September 1829, Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro dan panglima utamanya Sentot Alibasyah Syahbana menyerah.

Pada 28 Maret 1830 Diponegoro bersedia melakukan perundingan di Magelang, tetapi itu hanya taktik Belanda saja. Diponegoro dinaikkan kereta tahanan untuk dibawa ke Semarang. Lalu dengan kapal laut ia diasingkan di Manado, kemudian di Makassar. (BAGUS !!!) :finga:

Berakhirlah Perang Jawa yang merupakan perlawanan elite bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban. Di pihak pemerintah menelan 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 berkebangsaan Indonesia, 200.000 orang Jawa tewas. Sehingga jumlah penduduk Yogyakarta kala itu menyusut separuhnya. (HANYA KRN SI PENGIKUT MAMAT ITU MAU MENANG SENDIRI !!! TIDAK MEMIKIRKAN RAKYATNYA. YG PENTING ISLAM, ISLAM, ISLAM !!!)

Pelukis Raden Saleh Boestaman yang keturunan Arab lahir di Solo pada 1814. Setelah pergi ke Belanda selama 23 tahun lamanya untuk mengabdi pada Raja Willem III, ia kembali ke Jawa pada 1857. Dialah yang melukis penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang yang diberi judul 'Historisches Tableau, die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro'. Raden Saleh wafat di tahun 1880. Peninggalan beliau diantaranya adalah kebun binatang yang kini berubah fungsi menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta. Juga rumah miliknya yang kini berubah fungsi menjadi rumah sakit Katholik di Jl. Raden Saleh, Jakarta Pusat. :rolling:

Buku: "Asal-usul Perang Jawa, pemberontakan Sepoy & Lukisan Raden Saleh"
Penulis: Peter Carey
Pengantar: Onghokham
Penerbit: LkiS, Yogyakarta, 2004
Tebal: 197 halaman

__________________________________________________________

Kisah yang aku cuplikkan dari sebuah buku tersebut dapat disimpulkan, bahwa sebenarnya Pangeran Diponegoro ingin mendirikan sebuah kekhalifahan Islam di Tanah Jawa - minimal di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Ia dan para pengikutnya rela melepas busana kerabat kraton Jawanya dengan busana khas Timur Tengah. Kala itu sungguh amat jarang seorang bangsawan kraton keturunan Mataram mau menanggalkan tradisi kejawaannya demi apa yang diyakininya.

Tercatat pada 1813 wilayah Mataram pecah menjadi empat dengan naik tahtanya Pangeran Notokusumo sebagai Paku Alam I. Wilayah lainnya menjadi milik Kasunanan dan Mangkunegaran yang berkedudukan di Surakarta. Di Yogyakarta berbentuk Kasultanan. Ini bisa menjadi penelitian yang amat menarik terkait dengan proses Islamisasi di Indonesia pada masa lalu.

Catatan:
Kisah Perang Jawa pernah difilmkan oleh almarhum Teguh Karya dengan judul "November 1828". Namun itu hanya sepenggal kisah dari ratusan kisah yang belum sempat terungkapkan.
Last edited by ali5196 on Fri Jul 22, 2011 3:39 am, edited 2 times in total.
ermanno
Posts: 2
Joined: Sun Mar 07, 2010 9:00 pm

Re: Tujuan DIPONEGORO: ISLAMISASI JAWA !

Post by ermanno »

kisah tentang Pngeran Diponogora yang anda ceritakan sebagian benar tapi ada sedikit koreksi
tentang busana Pangeran Diponegoro yang sebenarnya bukanlah berbusana ala timur tengah seperti gambaran anda dan sebgian besar masyarakat Indonesia, busana yang sebenarnya adalah busana jawa biasanya berwarna biru
kalau tidak percaya coba datang ke yogyakarta di goa selarong , tanyakan pada pemandunya
busana ala timur tengah hanyalah imajinasi pelukis untuk menggambarkan bhwa ia seorang ulama, sedangkan gambaran dalam film diponegoro itu karena memang sebagian besar masyarakat indonesia tidak tahu
sedangkan "Mamangun luhuripun Agami Islam wonten ing Tanah Jawi" itu adalah hal biasa karena ia seorang ulama, tapi tujuan sebenarnya untuk melawan kesewenang-wenangan belanda
ermanno
Posts: 2
Joined: Sun Mar 07, 2010 9:00 pm

Re: Tujuan DIPONEGORO: ISLAMISASI JAWA !

Post by ermanno »

juga ada tambahan lagi..,
sebetulnya masyarakat jawa yang bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah untuk melawan kesewenangwenangan belanda, coba anda bandingkan dengan kyai sadrach di Purworejo (seorang gembala pada jaman belanda), dulu banyak orang jawa masuk kristen karena kyai sadrach berani melawan aturan gereja belanda
jadi intinya orang jawa (khususnya mataraman) lebih berjiwa nasionalis
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Tujuan DIPONEGORO: ISLAMISASI JAWA !

Post by Laurent »

25 Oktober 2012 17:19
Islamisasi Jawa (I)


REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Islamisasi Jawa? Mengapa Islamisasi masyarakat Jawa merupakan subjek sangat penting? Pentingnya antara lain adalah karena suku Jawa merupakan salah satu kelompok etnis terbesar di dunia Muslim. Dengan jumlah sekitar 100 juta dari hampir 250 juta penduduk Indonesia, etnis Jawa sekaligus merupakan suku terbesar di Indonesia. Karena kenyataan demografi ini, etnis Jawa memainkan peran penting dalam berbagai dinamika Indonesia sejak dari sosial, budaya, agama, eko nomi, politik, dan seterusnya dalam perio - disasi sejarah nusantara.

Meski demikian, pandangan stereotipe yang dipercayai banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri, adalah sebagian besar Muslim Jawa hanyalah abangan atau Muslim nominal atau `Islam KTP'. Istilah `abangan' yang sudah lama beredar dalam masyarakat Jawa sendiri kemudian dipopulerkan ke lingkungan akademik internasional oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz, dalam karya klasiknya "Religion of Java" (1960).

Dengan judul seperti ini, Geertz menekankan apa yang dia sebut sebagai `agama Jawa'
dan pada saat yang sama secara implisit menolak frasa sema cam Javanese Islamatau Islam in Java.
Masihkah absah anggapan bahwa sebagian besar Muslim Jawa abangan?

Sejarawan terkemuka Merle Calvin Rick-lefs membantah anggapan itu secara meyakinkan dalam karya mutakhirnya "Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, and Religious History, c. 1930 to the Present" (Singapore: NUS Press, 2012, xxi 575 halaman). Karya ini merupakan sekuel ketiga atau terakhir dari dua karya sebelumnya, "Mystic Synthesis in Java: A History of Islamisation from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries" (2006) dan "Polarising Javanese Society: Islamic and Other Visions c. 1830-1930" (2007). Tidak ragu lagi, ketiga karya ini secara komprehensif membahas Islamisasi Jawa sejak abad ke-14 sam pai sekarang.

Islamisasi masyarakat Jawa merupakan proses yang terus berlanjut sejak kemunculan Islam dalam masyarakat Jawa pada abad ke- 14. Mengamati proses dan dinamika Islamisasi masyarakat Jawa selama berabad-abad hingga sekarang, Ricklefs menyimpulkan, masyarakat Muslim Jawa melewati masa sulit sejak awal penyebaran Islam, penjajahan kolonialisme Belanda dan Jepang, periode kemerdekaan, pemerintahan Presiden Soekarno yang kacau, totalitarianisme Presiden Soeharto, dan demokrasi kontemporer.

Menempuh berbagai perubahan, masyarakat Muslim Jawa kini menjadi contoh luar biasa dalam hal peningkatan religiositas keislaman. Kesimpulan Ricklefs ini senada dengan temuan para ahli sebelumnya, misal Harry J Ben da dalam karyanya tentang Islam Indonesia di masa Jepang, "The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942-1945" (1958).

Benda menyimpulkan, sejarah Islam Indonesia khususnya masyarakat Jawa, tidak lain adalah history of the expansion of santri culture. Jelas karya Benda telah outdated-keting- galan zaman. Bisa dipastikan, ketika Benda me nrbitkan karyanya, kaum abangan dalam ma syarakat Muslim Jawa masih amat domi- nan. Karena itu, "Islamisation and Its Opponents in Java" dan kedua karya Ricklefs sebe-lumnya jelas melampaui karya Benda dalam cakupan periodisasi dan proses sangat kompleks, yang menghasilkan `Islamisasi lebih dalam' (deeper Islamisation) masyarakat Jawa. Proses ini biasa saya sebut se- bagai `santrinisasi' sangat intens.

Tetapi, proses Islamisasi di Jawa, atau te pat nya `santrinisasi', yaitu kian menguatnya komitmen dan praktik keislaman masyarakat Muslim Jawa, tidak bergerak lurus (linear).

Awalnya, seperti diungkapkan Ricklefs dalam buku pertamanya, manuskrip lokal mengisyaratkan dua hal kontradiktif. Pada satu pihak ada yang mengisyaratkan, Islam yang mulai menyebar sejak abad ke-14 menemukan `sintesis mistik' dalam lingkungan budaya Jawa. Tetapi, sebagian naskah lain menyiratkan tidak terjadinya `sintesis mistik' tersebut.

Terlepas perbedaan perspektif naskah- naskah itu, jelas Islamisasi pada masa awal menampilkan adanya sinkretisme antara Islam, agama lokal, dan budaya Jawa. Bahkan, ada semacam ketidakcocokan antara keraton dan lingkungan masyarakat yang kian banyak memeluk Islam. Barulah ketika Sultan Agung (berkuasa 1613-1646) menjadi penguasa Mataram terjadi rekonsiliasi antara keraton dan tradisi Islam.

Walau tetap setia pada Ratu Kidul, Sultan Agung membuat istananya lebih `Islami'. Ia rajin berziarah ke makam para wali, memperkenalkan literatur pokok tentang Islam semacam Kitab "al-Uslubiyah", dan mengirim utusan kepada penguasa Hijaz untuk mengakuinya sebagai `sultan' yang merupakan khalifatullah zhillullah fil ardhi.

Hasilnya pada tahap Islamisasi ini adalah apa yang disebut Ricklefs sebagai `sintesis mistik' pada tiga hal pokok. Pertama, mewujudkan identitas keislaman yang kuat, menjadi orang Jawa sekaligus menjadi Muslim. Kedua, melaksanakan lima rukun Islam, dan ketiga, menerima realitas tradisi keagamaan dan budaya lokal yang menyangkut Ratu Kidul, Sunan Lawu, dan makhluk supranatural lainnya.
Red: M Irwan Ariefyanto

Sumber:resonansi

http://m.republika.co.id/berita/kolom/r ... asi-jawa-i

Klik Alternatif Diskusi Kalau FFI Terblokir
Mirror
Mirror Rss Feed
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Tujuan DIPONEGORO: ISLAMISASI JAWA !

Post by Laurent »

01 November 2012 08:01
Islamisasi Jawa (2)


REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Azyumardi Azra

Islamisasi Jawa jelas tak berjalan linear. Jika sejak Islamisasi mulai berlangsung pada abad ke-14 sampai awal abad ke-19 terjadi apa yang disebut sejarawan MC Ricklefs sebagai “sintesa mistik” antara tradisi spiritualisme Jawa dengan Islam, periode selanjutnya (1830-1930) ditandai dengan meningkatnya polarisasi masyarakat Jawa. Perkembangan ini tak lepas dari dinamika Islam di tingkat internasional, khususnya di Arabia, yang memengaruhi proses Islamisasi dan santrinisasi nusantara, termasuk di Jawa.

Kebangkitan gerakan Wahabiyah yang dinisbahkan pada Muhammad bin 'Abd al-Wahhab (masa hidup 1703-79) sejak pertengahan abad ke-18 mengubah arah gerakan pembaruan di kalangan pengikut Tarekat Syatariyah dan Naqsyabandiyah di Minangkabau yang mulai menemukan momentum pada 1870-an. Gerakan yang semula damai berubah menjadi gerakan Padri radikal-dengan paham dan praksis amat mirip Wahabi-setelah kembalinya tiga haji dari Tanah Suci pada awal abad ke-19.

Konflik atau tepatnya “perang saudara” di antara barisan pendukung pembaruan damai dengan kelompok pemurnian radikal ala Wahabi berubah menjadi Perang Padri (1821-37) ketika Belanda campur tangan atas permintaan kaum adat. Di Jawa, pada waktu hampir bersamaan terjadi Perang Jawa yang dikenal sebagai Perang Diponegoro (1925-30). Selain karena kebijakan yang merugikan pribumi, perang ini terkait transformasi dan intensifikasi keislaman Pangeran Diponegoro.

Seperti terungkap dalam penelitian Peter Carey, sejarawan Oxford University, Pangeran Diponegoro lewat lingkungan tarekat dan pesantren menempuh pengalaman keberagamaan sangat intens membuatnya tidak lagi bisa menerima kolonialisme Belanda kafir. Intensifikasi keislaman atau santrinisasi masyarakat Muslim Jawa selanjutnya terkait pertumbuhan jamaah haji dari kalangan kelas menengah Muslim yang mulai tumbuh.

Meski statistik kolonial abad ke-19 tidak bisa terlalu dipercaya, menurut Ricklefs, sebagai gambaran pada 1850 hanya 48 pribumi Jawa pergi naik haji. Tetapi, pada 1858 meningkat menjadi 2.283 orang dan pada tahun-tahun akhir abad ke-19 berfluktuasi antara 1.500 sampai 5.000 orang. Dalam waktu bersamaan, jumlah pesantren meningkat: sebagian didirikan para haji yang kembali dari Tanah Suci.

Memang pesantren sudah ada sejak masa awal penyebaran Islam di Jawa, tetapi baru pada abad ke-19 lembaga pendidikan ini menjadi salah satu “fenomena” utama Islam Jawa. Pada 1863, pemerintah kolonial mencatat hampir 65 ribu fungsionaris “profesional” keagamaan Islam (pengurus masjid dan guru agama) dan 94 ribu murid “sekolah agama” (pesantren). Menjelang 1872, jumlahnya masing-masing menjadi 90 ribu dan 162 ribu dan pada 1893 ada 10.800 pesantren di Jawa dan Madura dengan santri lebih dari 272 ribu.

Proses santrinisasi juga didorong penguatan reorientasi syariah penganut tarekat, khususnya Naqsyabandiyah Khalidiyah, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yang diikuti tarekat lain. Perkembangan ini mengikuti kecenderungan sama yang terjadi pada tarekat-tarekat di Aceh, Palembang, dan Banjarmasin sepanjang abad ke-17 sampai abad ke-18. Tarekat-tarekat ini selain menekankan kesetiaan kepada syariah dan menolak kecenderungan antinomian dalam tarekat juga amat anti-Belanda dan terjun berjihad melawan kolonial-dan selanjutnya, seperti ditegaskan Ricklefs-bersikap anti-Kristen.

Polarisasi dalam masyarakat Jawa dengan demikian terjadi tidak hanya di antara kelompok Muslim yang kian menjadi santri dengan golongan masyarakat Muslim yang tetap mempertahankan “sintesa mistik”, tetapi juga dengan kalangan warga Jawa yang beralih masuk Kristen. Seperti diungkapkan Ricklefs, untuk pertama kali, seusai Perang Jawa, misi Kristen mencapai sukses. Beberapa tokoh Jawa masuk Kristen, seperti Ky Ibrahim Tunggu Wulung dan Ky Sadrach.

Hasilnya, menjelang akhir abad ke-19 terdapat sekitar 20 ribuan Kristen Jawa plus sejumlah “Kristen Londo” di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan polarisasi terakhir ini, meminjam kerangka sejarawan terkemuka lainnya, Anthony Reid, terciptalah batas keagamaan lebih jelas dan tegas, baik di antara pemeluk Islam maupun penganut Kristen maupun di antara Muslim santri dengan Muslim pemegang sintesa mistik-atau “abangan”.

Di tengah polarisasi itu, Islam secara keseluruhan terus menemukan momentum-menciptakan proses Islamisasi lebih intens karena berhadapan dengan kekuasaan kolonial yang mendorong Kristenisasi. Perlawanan dengan motif Islam juga meningkat. Contoh terbaik adalah KH Ahmad Rifa'i (1786-1876) yang setelah kembali ke Kali Salak, Batang, Jawa Tengah, dari belajar di Makkah, Madinah, dan Kairo menolak tunduk kepada otoritas kolonial Belada.

Ia tidak mengakui keabsahan pernikahan yang dilakukan penghulu fungsionaris masjid yang diangkat Belanda. Ia menolak percampuran antara ajaran Islam dan tradisi Jawa dan mendorong penerapan Islam puritan dalam masyarakat Muslim Jawa.
Red: M Irwan Ariefyanto

Sumber:Resonansi

http://m.republika.co.id/berita/kolom/r ... asi-jawa-2

Klik Alternatif Diskusi Kalau FFI Terblokir
Mirror
Mirror Rss Feed
Post Reply