Sejarah Jihad di Tapanuli (perang Padri)
Posted: Sat Apr 04, 2009 8:23 pm
Dikutip dari buku "Batak Toba : Kehidupan di Balik Tembok Bambu"
oleh Dr. Ir. Bisuk Siahaan
Hal. 149-150
-----------------------------------
Setelah bermukim selama 12 tahun di Mekkah, pada tahun 1803 Haji Piobang, Haji Sumanik dan Haji Miskin pulang ke kampung halamannya Minangkabau.
Ketiga haji itu berusaha mengembangkan agama Islam/Mazhab Hambali di Minagkabau. Mereka mempropagandakan ajaran baru yang mereka sebut "Gerakan Pembersihan Agama Islam".
Setelah gerakan baru ini semakin berkembang, atas permintaan Haji Piobang, supaya dibedakan antara orang-orang yang sudah menganut agama Islam/Mazhab Hambali dengan orang yang menganut mazhab lain. Semua pengikut Gerakan Pembersihan Agama Islam diwajibkan memakai jubah dan sorban putih, oleh karena itu mereka disebut "Gerakan Islam Kaum Putih". Gerakan baru ini sadar tanpa kekuatan yang tangguh mereka sulit mengembangkan ajarannya, oleh karena itu Haji Piobang mengusulkan membentuk sekolah atau latihan tentara.
Menurut Mangaraja Onggang Parlindungan, tamatan pendidikan militer yang pertama dari Kamang antara lain : Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai.
Tentara bentukan Haji Piobang tersebut diberi nama Tentara Padri.
Dalam buku yang ditulis oleh Mangaraja Onggang Parlindungan : "Pongkinangongolan Sinambela gelar Tuanku Rao", dijelaskan bahwa antara tahun 1816-1818 tentara Padri mulai menyerbu Tapanuli Selatan dan menduduki Mandailing, Sipirok, dan Padang Lawas sekaligus mengislamkan penduduk yang masih menyembah berhala. Setelah Tapanuli Selatan dikuasai, beberapa tahun kemudian dilakukan penyerbuan ke Tapanuli Utara dengan sasaran Pahae, Silindung, Humbang dan Toba.
Dalam Penyerbuan ke Toba, tentara Padri membakar berpuluh-puluh rumah; menawan dan membunuh penduduk tanpa memperdulikan apakah mereka wanita, anak-anak atau orang tua yang tak berdaya. Bahkan kekejaman yang tidak ada taranya terjadi di daerah Pahae, Humbang dan Silindung. Penduduknya yang tidak mau tunduk kepada tentara Padri ditawan, lalu matanya dicungkil.
Selama penyerangan tersebut beratus-ratus penduduk tidak bersalah dibunuh secara kejam, mayat bergelimpangan menutupi jalan setapak, sehingga tidak mungkin lagi menguburkannya dengan baik. Di mana-mana terlihat bangkai membusuk, menyebabkan wabah penyakit kolera dan tiffus mengganas. Epidemi berjangkit secara tiba-tiba, tidak hanya menyerang penduduk setempat, tetapi juga tentara Padri.
Disebabkan sangat banyak penduduk dan tentara Padri yang meninggal terserang penyakit kolera, pimpinan tentara Padri memerintahkan supaya semua serdadunya segera meninggalkan Tapanuli Utara.
Sangat sulit membayangkan, betapa kejamnya perlakuan tentara Padri kepada penduduk yang tidak berdosa, menyebabkan sampai hari ini bila masyarakat hendak mengggambarkan sesuatu yang sangat bengis dan tak beradab, dikatakan "seperti dimasa Padri" ('di tinggki ni Pidari").
Bukeksiansu
oleh Dr. Ir. Bisuk Siahaan
Hal. 149-150
-----------------------------------
Setelah bermukim selama 12 tahun di Mekkah, pada tahun 1803 Haji Piobang, Haji Sumanik dan Haji Miskin pulang ke kampung halamannya Minangkabau.
Ketiga haji itu berusaha mengembangkan agama Islam/Mazhab Hambali di Minagkabau. Mereka mempropagandakan ajaran baru yang mereka sebut "Gerakan Pembersihan Agama Islam".
Setelah gerakan baru ini semakin berkembang, atas permintaan Haji Piobang, supaya dibedakan antara orang-orang yang sudah menganut agama Islam/Mazhab Hambali dengan orang yang menganut mazhab lain. Semua pengikut Gerakan Pembersihan Agama Islam diwajibkan memakai jubah dan sorban putih, oleh karena itu mereka disebut "Gerakan Islam Kaum Putih". Gerakan baru ini sadar tanpa kekuatan yang tangguh mereka sulit mengembangkan ajarannya, oleh karena itu Haji Piobang mengusulkan membentuk sekolah atau latihan tentara.
Menurut Mangaraja Onggang Parlindungan, tamatan pendidikan militer yang pertama dari Kamang antara lain : Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai.
Tentara bentukan Haji Piobang tersebut diberi nama Tentara Padri.
Dalam buku yang ditulis oleh Mangaraja Onggang Parlindungan : "Pongkinangongolan Sinambela gelar Tuanku Rao", dijelaskan bahwa antara tahun 1816-1818 tentara Padri mulai menyerbu Tapanuli Selatan dan menduduki Mandailing, Sipirok, dan Padang Lawas sekaligus mengislamkan penduduk yang masih menyembah berhala. Setelah Tapanuli Selatan dikuasai, beberapa tahun kemudian dilakukan penyerbuan ke Tapanuli Utara dengan sasaran Pahae, Silindung, Humbang dan Toba.
Dalam Penyerbuan ke Toba, tentara Padri membakar berpuluh-puluh rumah; menawan dan membunuh penduduk tanpa memperdulikan apakah mereka wanita, anak-anak atau orang tua yang tak berdaya. Bahkan kekejaman yang tidak ada taranya terjadi di daerah Pahae, Humbang dan Silindung. Penduduknya yang tidak mau tunduk kepada tentara Padri ditawan, lalu matanya dicungkil.
Selama penyerangan tersebut beratus-ratus penduduk tidak bersalah dibunuh secara kejam, mayat bergelimpangan menutupi jalan setapak, sehingga tidak mungkin lagi menguburkannya dengan baik. Di mana-mana terlihat bangkai membusuk, menyebabkan wabah penyakit kolera dan tiffus mengganas. Epidemi berjangkit secara tiba-tiba, tidak hanya menyerang penduduk setempat, tetapi juga tentara Padri.
Disebabkan sangat banyak penduduk dan tentara Padri yang meninggal terserang penyakit kolera, pimpinan tentara Padri memerintahkan supaya semua serdadunya segera meninggalkan Tapanuli Utara.
Sangat sulit membayangkan, betapa kejamnya perlakuan tentara Padri kepada penduduk yang tidak berdosa, menyebabkan sampai hari ini bila masyarakat hendak mengggambarkan sesuatu yang sangat bengis dan tak beradab, dikatakan "seperti dimasa Padri" ('di tinggki ni Pidari").
Bukeksiansu