Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Aceh & Tanah Batak

Khusus ttg sepak terjang/sejarah jihad dan penerapan Syariah di INDONESIA & negara jiran (MALAYSIA)
Post Reply
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Aceh & Tanah Batak

Post by ali5196 »

http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... php?t=4737
http://batarahutagalung.blogspot.com/20 ... chive.html

Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
oleh: Batara R. Hutagalung

Image
Jihadi Islam : Imam Bonjol yg menyebarkan islam Wahabi di Sumatera Utara di abad 19 dan menentang peran kuat wanita dlm budaya matrilineal Minangkabau. Masih patutkah ia disebut sbg pahlawan Indonesia ?

Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang.

Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.

Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.

Image
Batak asli

Image

Image
http://naipospos.blogspot.com/

Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.

Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya.

Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X.

Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara.

Image
Datuak-datuak ... siap2 perang ?

Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar menantang Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.

Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.

Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanko Rao)- memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.

Image
Muslim dijaman Tuanku Rao SAMA dgn Muslim sekarang : tentara Muslim Bosnia memenggal kepala perwira Kristen Serbia
http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... sc&start=0

Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.

Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini.

Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datuk (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datuk Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.

Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngolan. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datuk, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.

Tubuh Rao yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu, Rao berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung.

Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Rao memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau, ia mula2 bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau, yang menganut aliran Syi’ah.

Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi perwira di pasukan kavaleri Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.

Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Rao. Ia memperhitungkan, bahwa Rao yang adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Rao kepadanya untuk dididik olehnya.

Pada 9 Rabiu’ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat2 Khitanan dan Syahadat, Rao diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!

Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution.

Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekah dan Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1Ramadhan 1231H (thn 1816M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan. (Persis Muhamad bukan ?)

Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri.


Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X.

Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atas kuda.

Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah.

Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.
Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun ]uanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.

Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.

Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari.

Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.

Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.

Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.


----------------

Catatan:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Pongkinangolngolan, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.

Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja Onggang Parlindungan ( hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar, seorang guru sejarah, M.O. Parlindungan memperoleh warisan sejumlah catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman. Sebenarnya ia hanya bermaksud menulis buku untuk putra-putranya. Buku tersebut memuat banyak rahasia keluarga, termasuk kebiadaban yang dilakukan oleh Tuanku Lelo tersebut.

Mayjen TNI (purn.) T.Bonar Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung sejarah Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda Batak. Parlindungan Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untuk publik. Parlindungan Siregar meminta T.B. Simatupang, Ali Budiarjo, SH dan dr. Wiliater Hutagalung memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku tersebut.

HORAS !! :wink:
Last edited by ali5196 on Wed Dec 12, 2007 6:18 am, edited 10 times in total.
Krishnaji
Posts: 101
Joined: Mon Apr 10, 2006 11:14 pm

Post by Krishnaji »

ALI, KAMU MERUPAKAN FAVORIT SAYA, termikasih atas ditulisnya artikel ini. islam disebarkan di indonesia dengan cara kekerasan menjadi semakin jelas
thank's
Krishnaji
Posts: 101
Joined: Mon Apr 10, 2006 11:14 pm

Post by Krishnaji »

batak dulu nya buddha mahayana, cirikasnya bisa dilihat tatacara pemakamanya mirip ama tibet.
betsy baca ini gimana yach..... tersinggung ga ya, soale betsy kan sahabat muslim ?
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Krishnaji wrote:ALI, KAMU MERUPAKAN FAVORIT SAYA, termikasih atas ditulisnya artikel ini. islam disebarkan di indonesia dengan cara kekerasan menjadi semakin jelas.thank's
Thanks terutama harus ditujukan kpd Mr Fajar K, yg mengirim artikel ini dan tentu kpd sang penulis buku, pak Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar.

Thanks buat pujiannya. Ini hanya akan semakin memacu semangat kita bersama. :wink:
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Pepatah Fajar K dari link Laurent yg diatas itu :

Kalau dari buku sejarah resmi yang kita semua sudah pelajari ya Islam masuk Indonesia lewat jalan damai dong?! Malah itu yang sering dibanggakan oleh intelektual muslim sini: Islam masuk ke Indonesia lewat jalan damai tidak seperti di luar negeri.

Betul bang ! Begitu kita di luar negeri, mata kita terbuka oleh banjirnya informasi yg tidak disensor pemerintah, termasuk oleh pemerintah Indonesia. Biar mampus ! Sekarang kebenaran semakin terkuak.

Bagi mereka yg cuma mau percaya informasi resmi yg membagus2kan Islam, SILAHKAN ! Tapi arus informasi tidak lagi bisa dibendung. :lol: :lol: :lol:
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Mohtar Lubis : Islam masuk secara damai ?
dari forum 'Islam dan Peradaban lain'
http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... .php?t=299
"Sesuatu terjadi dlm sejarah perkembangan rakyat Indonesia. Pada masa JAHILYAH (masa pra-islam), ketika nenek moyang kami masih hidup secara primitif, orang2 Batak dan Lampung sudah memiliki bahasa tertulis. Berbagai sistim sosial juga sudah eksis.

Memang ada nilai2 yg tidak lagi dianggap cocok bagi jaman sekarang. Contoh, praktek Batak Tua, orang Kalimantan dan Irja memakan musuh yg tewas dalam perang.

Tetapi mencap jaman itu sbg JAHILIYAH juga tidak tepat. Pada saat itu, bahkan sebelum timbulnya Hinduisme, orang Jawa sudah mengembangkan sistim sosial yg 'sophisticated'. Ada desa2 yg sudah dapat mengatur diri sendiri dan unit2 sosial kecil yg diperintah secara demokratis. Juga sudah ada sistim desa di Minangkabau dan pemerintah di Mandailing dimana raja dianggap bapak rakyatnya. Tentu, ada saja orang yg menyelewengkan kekuasaan.

...

Dgn timbulnya Hinduisme, kreativitas membaik di Sumatera, Jawa dan Bali. Pengaruh Islam dan Kristen (Protestan) yang datang kemudian mengekang kreativitas artistik ini secara drastis - khususnya dlm seni memahat patung yg marak dijaman agama kuno Indonesia. Ketika kaum Paderi MENYERANG orang Tapanuli di Sumatera, MENYEBARKAN ISLAM DENGAN UJUNG PEDANG, mereka MENGHANCURKAN BENDA2 UKIRAN TERINDAH DI INDONESIA DAN MELARANG PEMBUATAN KARYA2 BARU.

Dgn menyebarnya Islam di Jawa, penduduk asli MENGUNGSI KE BALI, membawa agama asli dan bakat2 artistik mereka. Di Irian Barat, gereja (protestan) menantang pembentukan patung2 baru, tetapi misionaris Amerika disitu, yg juga pedagang ulung, TIDAK MEMBAKAR ATAU MENGHANCURKAN PATUNG2 YANG ADA (berbeda dgn Muslim). Sebaliknya, mereka menjualnya ke AS. "
Image

Image
Wanita 'Jahiliyah' Minang = kuat dlm tradisi matrilineal, keluar rumah tak perlu muhrim, bebas bergaul, bebas menikahi siapa saja, bebas menuntut ilmu, bebas jadi pemimpin & Jangan berani cambuk mereka !

Image
Muslimah soleh Minang [mirip pocong] = tradisi matrilineal dihapus, kontrol patrilineal menentukan gerak gerik Muslimah, keluar rumah perlu muhrim, tidak bebas menikah dgn non-Muslim, ketahuan bergaul dgn lelaki tidak semuhrim akan dikenakan hukum cambuk, selektif dlm menuntut ilmu kalau2 melanggar Islam, kadang dinikahkan dibawah umur, melanggar aturan keluarga bisa kena honor killing, alat kelamin wanita bisa kena sunat.

Image
Muslimah Aceh sedang dicambuk karena berani pacaran
http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... php?t=6735

SO, yang mana sebenarnya yg jahilyah ? :wink:


Image
Pemuda Minang meniup suling adat bernama "Pupuik Sarunai" yg terbuat dari daun kelapa. Bunyinya sangat unik, namun Islam tulen melarang musik. Lihat: http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... php?t=3081.

Minangkabau....ranah nan den cinto/
Pusako Bundo, nan dahulu nyo/
Rumah gadang, nan sambilan ruang/
Rangkiang balirik, di halaman nyo/
Bilo den kana, hati denai taibo/
Tabayang-bayang, diruang mato/
http://hendryallen.blogspot.com/
Last edited by ali5196 on Sun Oct 28, 2007 2:24 am, edited 8 times in total.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

oh ya, gue baru membaca buku yg menceritakan sejarah Islamisasi ke Minangkabau & Tapanuli yg sebenarnya. Isinya sangat mengejutkan. Nih Sebagian isi dr buku tsb

http://www.korantempo.com/korantempo...729,41.id.html

Menguak Sejarah Kelam Tanah Batak

Image

Judul: Tuanku Rao
Penyusun: Mangaradja Onggang Parlindungan
Penyunting: Ahmad Fikri AF.
Penerbit: LKiS, Jogjakarta
Cetakan: I, Juni 2007
Tebal: iv + 691 Halaman


Sejarah adalah tapak yang seringkali harus ditengok, karena dari situ kita dapat menengarai pola yang sama dari peristiwa yang berlainan dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Sejarah mengajak kita untuk menyadari, pada akhirnya setiap peristiwa dapat tersimpan dalam ingatan masyarakatnya dan menjadi tidak saja "living memories", tapi juga "living traditions" yang melintasi batas ruang dan waktu melalui penuturan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Karya M.O. Parlindungan yang pernah diterbitkan penerbit Tandjung Pengharapan, Jakarta, 1964, dengan judul Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao; Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman masa lalu itu, terutama yang terkait dengan perang Padri dan sentimen atau dendam antar marga. Namun, setelah menuai kontroversi yang sukar diterima oleh pandangan umum karena dianggap fiktif, memalsukan sejarah, dan menguak rahasia keluarga, buku ini akhirnya ditarik dari peredaran.

Setelah 43 tahun buku ini selalu dirujuk, tapi juga dikritik dan dicerca, penerbit LKiS menghadirkan kembali seperti adanya, tanpa ada perubahan isi. Bahkan, ejaan sengaja tidak diubah. Ini dilakukan karena, menurut penyunting, selain atas permintaan ahli waris, juga untuk mencoba menampilkan dan menangkap emotional senses sebuah periode di mana buku ini terbit, sekaligus mengajak kita mengunjungi kembali masa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror dan kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali (Wahabi) di Tanah Batak pada 1816-1833.

Di samping menggunakan sistem Max Weber, penyusun memilih untuk menuliskan sejarah Batak dengan gaya bercerita (story telling style), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Lewat dokumen-dokumen pemberian sang ayah, Sutan Martua Raja Siregar, penyusun berargumentasi bahwa teror yang dilakukan pasukan Padri dalam menyebarkan agama Islam Mazhab Hambali telah membuat sejarah Batak menjadi cermin mengenai diri mereka sendiri, tentang siapa mereka dan apa yang membuat kekerasan itu terjadi.

Dengan kreatif, penyusun berkonsultasi dengan pelbagai sumber tertulis, baik itu dokumen Tionghoa berusia 400 tahun dari klenteng Sam Po Kong Semarang hasil penyelidikan Residen Poortman, maupun sumber-sumber Eropa hasil penelitian Willem Iskandar, yang berhubungan dengan perang Padri dan penyebaran Wahabi di Tanah Batak.

Di sinilah sesungguhnya letak menariknya buku ini, ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah itu sendiri ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini. Naskah-naskah tertulis yang digunakan sumber buku ini telah menjadi kekuatan pendorong bagi orang Batak untuk berupaya memahami masa lalu mereka. Ini jelas sebuah indikasi evolusi dalam alam kesadaran sejarah orang Batak masa itu.

Mengacu pada Sutan Martua Raja, penyusun menjelaskan bahwa setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan dan teror; bahwa, selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan ini juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Dan Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, mengucapkan sumpah yang diikuti oleh seluruh marga Siregar, yaitu kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.

Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin oleh orang-orang Batak sendiri. Beberapa nama dapat disebut: Pongkinangolngolan Sinambela yang bergelar Tuanku Rao dan Idris Nasution yang bergelar Tuanku Nelo, serta Jatengger Siregar yang bergelar Tuanku Ali Sakti.

Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap dan incest antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya (hlm. 355).

Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkan di Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan malah terselamatkan arus hingga mencapai sungai Asahan dan ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh lalu dikirim ke Mekkah dan Syria dan sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815 Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Padri dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan guna menyebarkan agama Islam Mazhab Hambali.

Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan pada 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.

Penyerbuan pasukan Padri terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Padri yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran dengan Belanda di Air Bangis pada 5 September 1821.

Selain mengisahkan Tuanku Rao, buku ini juga memberikan porsi yang cukup banyak tentang kekejaman Tuanku Lelo, kakek buyut penyusun (hlm. 358), dalam menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak. Dikisahkan bahwa pasukan yang dipimpin Tuanku Lelo membakari rumah-rumah penduduk yang tidak mau masuk Islam dan menangkapi wanita-wanita untuk dijadikan selir.

Akhirnya, pada 15 Muharram 1249 H (1833M) Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya (hlm. 348).

Hadirnya buku ini jelas telah membuat pemahaman kita akan sejarah Batak makin mendalam dan bernuansa. Penyusunnya harus dihargai atas upayanya melebarkan horizon penelitian berspektrum luas, walau dengan pelbagai kendala subjektivitas yang menyertainya dan dari segi metodologi masih patut dipertanyakan. Tak pelak, Prof. Hamka pun menulis buku: Antara Fakta dan Khayal "Tuanku Rao" (Jakarta: Bulan Bintang, 1974) sebagai sanggahan atas karya M.O. Parlindungan.

Meskipun kita tak perlu menyetujui keseluruhan ulasan penyusun maupun perdebatan-perdebatan yang kemudian menyertainya, buku bertebal 691 halaman ini demikian berharga, terutama untuk beberapa aspek atau dimensinya. Dengan keruntutan bahasanya, buku ini jelas sangat imajinatif. Diperkaya dengan 34 lampiran yang antara lain berisi silsilah raja-raja Batak, serta dimuati serangkaian kritik terhadap sejarah konvensional, prestasi kesejarahan yang telah dicapai M.O. Parlindungan lewat buku ini sayang diabaikan, terutama bagi yang memerlukan bahan rujukan atau karya pembanding tema ini.

Buku ini merupakan satu dari sedikit karya sejarah lokal Indonesia yang telah menyulut perdebatan di kalangan lintas disiplin, dalam cara melihat, menafsirkan, dan memahami kompleksitas sejarah kelam Tanah Batak pada awal abad ke-19, di mana sejarah Indonesia termasuk di dalamnya.

RAKHMAD ADI RODIYAT, Peminat sejarah, bermukim di Surabaya

Penyebaran agama langit (samawi) - baik itu Islam maupun
Kristen (Katholik/Protestan) - di Nusantara dan di manapun di pelbagai
pelosok dunia sebenarnya tidak berjalan dengan damai, tetapi penuh pertumpahan darah dan jalan kekerasan. Dan itu terjadi di semua wilayah. Dengan memahami kisah sejarah yang sebenar-benarnya, tanpa ditutup-tutupi, semoga kita semua bisa lebih arif dalam meniti perjalanan di masa depan.
----------
Note:

Buku Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak terbit pertamakali tahun 1964 oleh Penerbit Tandjung Pengharapan. Segera setelah terbit buku ini ditarik kembali dari peredaran oleh karena memicu kontroversi yang berkepanjangan. Prof. Hamka bahkan setelah 10 tahun buku ini terbit, menulis sebuah buku berjudul: Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1974).

Di luar kontroversi itu, buku ini layak untuk dilihat dan dibaca. Pertama, Buku ini, khususnya oleh generasi muda Batak menarik untuk melihat
sejarah mereka dan asal-usul mereka. Kedua, Buku ini banyak memuat cerita tentang SISI GELAP PERANG PADERI di tanah Minang. Ketiga, buku ini pada awalnya merupakan warisan catatan harian Sutan Martua Radja yang kemudian disusun ulang oleh M.O. Parlindungan untuk anak-anaknya. Jadi, boleh dibilang buku ini menyimpan begitu banyak rahasia-rahasia keluarga. Tapi, dengan alasan spesifik buku ini dapat dibaca publik kembali setelah 43 tiga tahun menjadi barang antik !

Hard Cover @Rp. 135.000
dapat buku ini seluruh Toko Buku Gramedia NUSANTARA dan Toga Mas serta toko buku lain di kota anda.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007

Iqra Kontroversi Kebrutalan Kaum Padri

Gerakan Padri selama ini diidentikkan dengan kepahlawanan Imam Bonjol dan kelompoknya melawan Belanda. Tapi belakangan sebuah buku lama yang kontroversial dan menguak sisi gelap Padri, Tuanku Rao, diterbitkan kembali. Lalu muncul buku baru dengan judul Greget Tuanku Rao sebagai reaksi.

Kedua buku ini memperlihatkan bahwa gerakan Padri sesungguhnya adalah gerakan Wahabi, gerakan pemurnian Islam yang dilakukan secara keras terhadap Islam kultural di Minang dan Batak. Dan itulah gerakan yang membuat puluhan ribu nyawa jadi korban. Imam Bonjol dianggap dengan sadar melakukan itu, sehingga ada usul gelar pahlawan nasional dicabut darinya. Betulkah demikian? Ikuti pembahasan Tempo.

Petisi ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan pengangkatan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan…. Imam Bonjol adalah pimpinan Gerakan Wahabi Paderi…. Gerakan ini memiliki aliran yang sama dengan Taliban & Al Qaeda…. Invasi Paderi ke Tanah Batak menewaskan jutaan orang….

Petisi online itu tersebar di banyak mailing list seminggu lalu. Seorang anak muda, Mudy Situmorang—lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember, kelahiran Simanindo, Pulau Samosir—telah mengirimnya. Dalam petisi itu, ia membeberkan dosa-dosa gerakan Padri, antara lain pembantaian massal keluarga Kerajaan Minangkabau Pagaruyung dan penyerbuan Padri ke Batak yang menewaskan Sisingamangaraja X.

Ia mengatakan petisi itu atas nama pribadi, bukan organisasi, dan semata2 untuk pelurusan sejarah. "Kita tunggu sampai 500 pendukung. Hasilnya dikirim ke pemerintah," katanya saat dihubungi Tempo. Sampai sekarang, petisi itu memang belum "berbunyi".

Namun petisi ini mengingatkan orang akan dua buah buku bertema sama yang baru-baru ini terbit. Yang satu adalah buku lama karya Mangaradja Onggang Parlindungan berjudul Tuanku Rao. Buku itu pertama kali dicetak penerbit Tanjung Pengharapan, 1964, dan diluncurkan kembali oleh penerbit LKiS Yogya, Juni lalu, tanpa suntingan apa pun, bahkan tetap dalam ejaan lama.

Itulah buku yang pada 1964 menghebohkan. Buku itu tidak bercerita langsung tentang Imam Bonjol, tapi berisi kronologi penyerangan komandan2 Padri. Parlindungan sendiri menyusun buku itu berdasarkan data sejarah Batak yang dimiliki ayahnya, Sutan Martua Radja. Pada 1918, ayahnya adalah guru sejarah di Normaalschool Pematangsiantar. Ayahnya memiliki warisan dokumen sejarah Batak turun-temurun dari tiga generasi sepanjang 1851-1955.

Di samping itu, Parlindungan memakai bahan2 milik Residen Poortman. Posisi Poortman sama dengan Snouck Hurgronje. Snouck adalah seorang ahli Aceh, yang informasinya diminta oleh pemerintah Belanda. Sedangkan Poortman adalah seorang ahli Batak. Poortman pensiun pada 1930 dan kembali ke Belanda. Di Leiden, Belanda, Poortman lalu menemukan laporan2 para perwira Padri sepanjang 1816-1820 untuk Tuanku Imam Bonjol. Parlindungan mengenal Poortman secara pribadi dan pernah bertemu di Belanda. Poortman mengirimkan bahan2 laporan itu saat Parlindungan menulis bukunya.

Parlindungan bukan sejarawan profesional. Caranya menulispun serampangan. Data yang diramunya itu sering ditampilkan cut and glue atau dinarasikan kembali dengan bahasa campuran: bahasa Indonesia lisan, kadang disisipi kalimat-kalimat Inggris yang panjang. Di sana-sini, ia memberikan komentar yang cara penulisannya seperti seorang ayah yang menerangkan kisah kepada anaknya. Kata ganti yang dipakai untuk dirinya adalah "Daddy". Sedangkan anak laki-lakinya di situ disebut "Sonny Boy".

Ketika polemik menghangat, buku itu ditarik dari peredaran. Buku itu pun jadi buku langka. Di sebuah pameran buku di Jakarta, buku itu beberapa tahun lalu bahkan sempat dihargai Rp 1,5 juta. Buku kedua, Greget Tuanku Rao, ditulis Basyral Hamidy Harahap, terbit September lalu. Basyral adalah Ketua Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV). Ia ingin mengoreksi beberapa info tentang Tuanku Rao yang dianggapnya kurang tepat. Tapi, pada garis besarnya, ia sepakat dan bahkan menambahkan data kekerasan yang dilakukan Padri. "Buku Parlindungan banyak salahnya, tapi buku itu ada di jalan yang benar."

l l l


Siapakah Parlindungan? Tak banyak yang tahu sosok pengarang ini. Basyral sendiri pada 1974 pernah bertemu dengannya di dekat rumah Hamka di Jakarta. Ia langsung menanyakan kabar polemik antara Parlindungan dan Buya Hamka. Agaknya Parlindungan tak suka. "Saat
itu ia langsung mengarahkan tongkatnya yang berkepala gading ke arah dahi saya. Saya kaget, mengelak," kenang Basyral.

Hal ini sedikit terkuak ketika anaknya, Dorpi Parlindungan Siregar, kini 59 tahun, mau bercerita kepada Tempo—dialah anak yang dipanggil Sonny Boy dalam bukunya.

"Ayah saya seorang perwira KNIL. Perjalanan karier ayah saya dimulai ketika pada 1 Oktober 1945, Jenderal Mayor Oerip Soemohardjo mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Beliau mengumpulkan 17 anak muda di Yogyakarta, di antaranya Soeharto, Ibnu Sutowo, dan
ayah saya."

Pada usia 27 tahun, menurut Dorpi, ayahnya memperoleh pangkat letnan kolonel. Sebagai insinyur kimia lulusan Jerman dan Belanda, ayahnya menjadi bawahan dr Willer Hutagalung, dulu dokter pribadi Jenderal Soedirman. Mereka kemudian mengambil bekas pabrik mesiu dan
peralatan senjata Belanda, yang lalu menjadi Pindad.

Pada 1960, ayahnya ditahan rezim Soekarno karena dianggap pro-Masyumi. Tempat tahanan ayahnya berpindah-pindah, dan akhirnya menjalani tahanan rumah. Di sanalah, dengan data milik kakeknya dan
Residen Poortman, ayahnya menulis buku Tuanku Rao.

Dan yang mengejutkan, bagian terbesar halaman buku ayahnya menceritakan kisah kejahatan algojo Padri bernama Tuanku Lelo, sosok yang tak lain menurut Parlindungan adalah kakek dari kakeknya sendiri. "Jadi ia seperti menceritakan aib keluarga sendiri. Tak banyak penulis yang berani seperti itu," kata Ahmad Fikri dari LKiS. Buku itu awalnya, menurut Dorpi, tidak diperuntukkan bagi umum, tapi bagi anak-anaknya saja. "Sehabis membaca Al-Quran setiap hari, Ayah membacakan cerita ini untuk saya dan adik," kenang Dorpi akan ayahnya yang meninggal pada 1975 itu. Atas desakan teman-temannya, buku itu akhirnya diterbitkan.

Buku itu intinya berisi informasi bagaimana gerakan Wahabi masuk Minang. Waktu itu, tahun 1803, Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin kembali ke Minang setelah bermukim di Mekkah lebih dari 12 tahun. Mereka adalah bekas perwira tentara Turki. Mereka mencoba menanamkan mazhab Hambali di Sumatera, menekankan pemurnian Islam.

Gerakan pembersihan agama Islam ini menarik hati seorang mubalig besar bernama Tuanku Nan Rentjeh, yang tengah gundah lantaran di Minang berkembang Islam Syiah. Mereka bersama-sama kemudian mencita-citakan suatu Darul Islam. Piobang membentuk pasukan Padri yang sangat profesional. Pakaian mereka serba putih.

Persenjataannya cukup kuat. Mereka, misalnya, menurut Parlindungan, memiliki meriam 88 milimeter bekas milik tentara Napoleon yang dibeli "second hand" di Penang. Dua belas perwira Padri dikirim belajar di Turki.

Tuanku Rao, yang aslinya seorang Batak bernama Pongkinangolngolan Sinambela, dikirim untuk belajar taktik kavaleri; Tuanku Tambusai, aslinya bernama Hamonangan Harahap, belajar soal perbentengan. Pasukan Padri juga memiliki pendidikan kemiliteran di Batusangkar.

Sasaran pertama "gerakan kaum putih" ini adalah Istana Pagaruyung, karena istana itu dianggap sebagai boneka Belanda yang merintangi Darul Islam. Pada 1804, ribuan rumah dibakar dan keluarga Istana Pagaruyung dibantai. Untuk cita-cita Darul Islam, pasukan Padri ingin meluaskan agresinya ke luar alam Minangkabau—ke tanah Batak.

Salah satu tamatan pendidikan militer Batusangkar, bernama Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin, oleh Tuanku Nan Rentjeh diperintah mencari lokasi yang bakal digunakan sebagai benteng—basis tentara Padri menyerang Tanah Batak. Peto menemukan bekas sarang perampok di rute Minangkabau-Batak bernama Bonjol. Ia mengislamkan kawasan Bonjol, membangun benteng di sana, serta melatih kekuatan 10 ribu tentara. Sejak itu, ia dijuluki Imam Bonjol.

Buku Tuanku Rao ini menjelaskan cukup detail bagaimana persiapan dan kronologi invasi Padri ke Batak Selatan (1816) dan Toba (1818- 1820). Dari etape-etape dan serangan kilat (blitzkrieg), siasat-siasat, sampai
notula rapat-rapat para panglima dideskripsikan.


Pendiri Padri, Haji Piobang dan Tuanku Imam Bonjol, mengkoordinasi penyebaran pasukan di bawah pimpinan Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lelo, Tuanku Asahan, Tuanku Maga, dan Tuanku Kotapinang.

Toba dikepung dari empat penjuru. Tuanku Asahan dengan kavaleri berkekuatan 11 ribu tentara menyerang dari samping kanan; Kolonel Djagorga Harahap dengan kekuatan 4.000 anggota pasukan dari sayap kiri; Tuanku Maga menusuk dari sisi tengah atas dengan 5.000 anggota pasukan; Tuanku Lelo bersama 9.000 tentaranya merangsek dari sisi tengah bawah. Pada 1820, Sisingamangaraja X, yang bertahan di Benteng Bakkara, akhirnya tewas. Kepala Sisingamangaraja X ditusuk di atas tombak, dipancang di tanah.


Penyerbuan yang paling bengis dilakukan oleh Tuanku Lelo. Parlindungan sendiri menganggap "eyangnya" itu "kriminal perang". Tuanku Lelo bernama asli Idris Nasution. Sosoknya besar, berjanggut hitam, berambut panjang, berombak-ombak. Ia mengenakan baju jubah dan serban yang seluruhnya putih serta suka memakai selempang dan ikat pinggang berwarna merah bertaburan emas—yang dirampasnya di Pagaruyung. Ia dikenal sebagai algojo pembantai, juga maniak seks.

Parlindungan bahkan sampai menyebut eyangnya itu seorang big scoundrel yang memiliki kelakuan binatang. Di tiap kawasan, sang eyang mengumpulkan ratusan wanita, lalu memerkosanya. Di Toba, 14 malam berturut-berturut pasukannya dibiarkan melakukan pesta seks besar-besaran.

Ketika pasukan bergerak meninggalkan Toba, Tuanku Lelo memerintahkan ribuan wanita dikumpulkan di Red Light District di Sigumpar Toba. Dari Sigumpar, mereka digiring berjalan kaki melalui Siborong-borong, Pangaribuan, Silantom, Simangambat, Sipirok, menuju
Natal Mandailing. Sesampai di Mandailing, hanya 300 wanita selamat; 900 mati. Yang capek dipenggal.

Kemudian Belanda memutuskan menyerang Padri. Pertempuran pada 1820, menurut Parlindungan, meletus di Benteng Air Bengis. Imam Bonjol turun sendiri. Tuanku Rao tewas di situ. Nah, di pertempuran Air Bengis ini, secara licik Tuanku Lelo melakukan desersi. Melihat Imam Bonjol terdesak, ia lalu memimpin kavalerinya sendiri menuju Angkola dan Sipirok. Ia melanjutkan petualangannya, menjarah, membunuh, melampiaskan nafsu seksualnya. Ia lalu menjadi warlord di Angkola dan Sipirok selama 1822-1833. Ia di sana mendirikan sebuah harem di bentengnya di Padang Sidempuan.

Buku Tuanku Rao hanya sedikit menyinggung peran Tuanku Tambusai. Namun, menurut Basyral, Tuanku Tambusai tak kalah kejam dibanding Tuanku Lelo. "Kebrutalan Tuanku Tambusai terjadi di daerah Padang Lawas, Dolok, dan Barumun. Salah satu kawasan yang paling parah terkena adalah daerah nenek moyang saya, Simanabun," tutur Basyral (lihat "Tambusai dan Pasukan Putih-putih").

l l l


Para sejarawan berbeda pendapat soal kebrutalan ini. "Sebetulnya masuknya Padri ke Batak bukan ekspansi. Kelompok-kelompok musuh Padri saat itu dapat dipukul mundur hingga ke Tapanuli Selatan. Karena itu, mereka bertempur sampai ke daerah tersebut," tutur Dr Mestika
Zed, sejarawan dari Universitas Negeri Padang.

"Sebagai sebuah buku sejarah, buku Parlindungan sumbernya sangat lemah. Dokumen Poortman sendiri diragukan. Banyak yang tidak faktual," kata Dr Asvi Warman Adam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Hamka bahkan pernah menganggap Tuanku Lelo hanyalah karangan Parlindungan belaka (lihat "Mengenang Sanggahan Hamka"). Memang, sekarang mustahil untuk mengecek semua sumber yang digunakan Parlindungan, karena semua data itu dimusnahkan oleh Parlindungan sendiri.

Dalam bukunya itu, Parlindungan menyebutkan data yang diwariskan ayahnya kepadanya hanya meliputi 20 persen dari yang dimiliki ayahnya. Ia menyaksikan sendiri, pada 1941, ayahnya membakar sisanya sambil bercucuran air mata di tepi Sungai Bah Bolon.

"Daddy tidak mau risiko," katanya kepada anaknya. "Our family secrets yang ketahuan pada outsiders cukup yang terbatas dalam buku ini. No more." "Saya menduga, itu adalah alibi dia, yang sebenarnya tak cukup memiliki data otentik, atau bisa juga ia tak mau sejarawan lain menelitinya," kata J.J. Rizal dari Yayasan Bambu, yang menerbitkan Greget Tuanku Rao.

Akan halnya Dr Gusti Asnan, pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, menganggap tidak semua sumber Belanda yang digunakan Parlindungan mengandung bias. Dari 100 laporan, ada
20-50 persen data yang benar. Menurut dia, historiografi Perang Padri sendiri dimulai pada 1950-an. "Saat itu terjadi dekolonialisasi
historiografi Indonesia, termasuk Perang Padri. Demi persatuan dan kesatuan, bagian-bagian miring dari data yang ada, seperti kebrutalan Perang Padri, sengaja tidak disiarkan."


Ia juga melihat gerakan pasukan Padri tak semata-mata bermotif agama, tapi juga ekonomi. Sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, perkembangan ekonomi di Sumatera Barat memang luar biasa karena booming kopi.

Dr Gusti pernah membaca sebuah kisah tentang saudagar bernama Peto Magik di Pasaman. Ia dikenal sebagai saudagar Padri—bisa dianggap konglomerat. Seorang Belanda bernama Bulhawer yang melakukan kerja sama dengan Peto mengaku tidak melihat sedikit pun gambaran islami padanya. "Kesan yang dilihat Bulhawer, Peto Magik adalah seorang kapitalis. Dan gambaran ini saya rasa juga menggambarkan sebagian besar kaum Padri," ujar Gusti.

Maka, menurut Gusti, ketika daerah kekuasaan di Tanah Datar dan Agam mulai direbut Belanda, kaum Padri pun meluaskan ekspansi ke utara: Bonjol, Pasaman, dan Tapanuli Selatan. Mengapa ke utara? Karena daerah utara memiliki basis kekayaan yang sangat tinggi. Apalagi, dng menguasai area tersebut, Padri masih dapat melakukan hubungan dng kaum lain, seperti Aceh, melalui jalur sungai.

Sekalipun mengakui kekerasan yang dilakukan Padri, sebagian orang memandang dari sudut berbeda. "Soalnya saat itu kan tidak ada HAM," kata sejarawan Taufik Abdullah.

Basyral sendiri melihat Imam Bonjol mengetahui segala perampokan, pemerkosaan, dan mutilasi yang dilakukan perwira-perwiranya. "Mustahil Imam Bonjol tak tahu. Ia kan komandan," kata Basyral.

Tapi Taufik Abdullah tak sependapat. Menurut dia, kekerasan di awal gerakan Padri bukan tanggung jawab Tuanku Imam Bonjol. Saat gerakan Padri masih radikal di awal, Tuanku Imam Bonjol masih muda dan baru
menjabat sebagai asisten Tuanku Bandaro, salah satu pemimpin gerakan Padri saat itu.

"Buat saya, pencabutan gelar pahlawan itu nonsens. Justru di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol pasukan Padri lebih menitikberatkan serangan pada pihak Belanda," kata Taufik.

Menurut Taufik, keliru jika melihat sosok Imam Bonjol dalam Padri disamakan dengan Diponegoro. "Diponegoro merupakan pemimpin tunggal, sementara gerakan Padri merupakan gerakan sosial kolektif, dengan banyak pemimpin," katanya.

Taufik mengatakan, bahkan, Tuanku Imam Bonjol sempat mengirim empat anak buahnya ke Mekkah untuk naik haji, termasuk Tuanku Tambusai. Tujuannya untuk melihat kondisi Islam di Mekah. Ternyata Islam saat itu jauh lebih moderat. Sehingga, ketika kembali ke Minang,
Tuanku Tambusai pun menjadi lebih moderat. Sekembali dari Mekah, seperti disebut dalam Tuanku Rao, ia pun menyesal melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana wanita-wanita ditawan oleh pasukan Tuanku Lelo.

Menurut Taufik, adat basandi syarak justru mengemuka di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Imam Bonjol wafat pada usia 93 tahun di Manado, pada 1864. Tak banyak orang yang tahu, ia meninggalkan sebuah "catatan harian" (lihat "Dari Catatan Harian Bonjol").

Seno Joko Suyono, Sita Planasari

Bagi yang ingin melihat atau ikut menandatangani petition online tentang pencabutan gelar pahlawan Imam Bonjol, bisa kunjungi tautan berikut:

http://www.petitiononline.com/bonjol/petition.html
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007

Iqra Tambusai dan Pasukan Putih-putih

Seorang pustakawan mendapatkan data-data Belanda yang melaporkan kekejaman Tuanku Tambusai di daerah Padang Lawas.

Ro Bonjol… Ro Bonjol (Bonjol datang… Bonjol datang)...

Basyral Hamidy Harahap, 67 tahun, peneliti sejarah Mandailing, masih ingat cerita-cerita lisan turun-temurun di kampungnya di Simanabun, Padang Lawas. Kisah tentang bagaimana takutnya penduduk ketika pasukan Padri pimpinan Tuanku Tambusai datang menyerbu. Masyarakat Simanabun memukul kentungan sembari berteriak, "Bonjol datang, Bonjol datang." Lalu mereka naik perbukitan Dolok menyelamatkan diri.

Basyral Hamidy Harahap adalah turunan dari Raja Datu Bange yang bermarga Babiat di Simanabun, Distrik Dolok. Datu Bange adalah raja yang paling gigih melawan Padri di kawasan Padang Lawas. Basyral
mewarisi banyak kisah lisan dari marga Babiat mengenai perjuangan Datu Bange.

Pada 1836, kawasan Padang Lawas dianggap sebagai daerah paling biddah oleh serdadu Padri. "Mereka datang pakai kuda, mengenakan kostum dan serban putih-putih," katanya. Dari data dokumen lokal, ia
mengetahui bagaimana Datu Bange habis-habisan mempertahankan Padang Lawas.

Sewaktu pertama kali menyerang, Tambusai dapat dipukul mundur. Raja Portibi, Kadhi Sulaiman, pengikut setia Tuanku Tambusai, tewas dalam perang ini. Tambusai balik ke Mandailing. Dan dalam perjalanannya,
pasukannya membabi-buta menangkapi anak gadis dan perempuan dewasa di lembah timur Bukit Barisan. "Para perempuan itu ditukar dengan mesiu," kata Basyral.

Untuk mengamankan diri, Datu Bange bersama keluarga dan pasukan intinya mengungsi. Mereka memanjat tebing menuju ke puncak perbukitan Dolok. Bukit itu sendiri begitu licin, hampir tegak lurus, dan sesungguhnya sukar didaki. Datu Bange mengetahui jalan aman untuk
ke puncak bukit. Selama setahun Datu Bange berada di atas bukit.

Setahun kemudian, Tambusai menyerang Datu Bange lagi. Datu Bange tetap bertahan di atas bukit. Celakanya, adik kandung Datu Bange, Ja Sobob, berkhianat menunjukkan jalan menuju ke puncak Dolok,
memberitahukan persembunyian abangnya. Segera Tuanku Tambusai merangsek, menyerbu ke atas bukit. Datu Bange lolos—ia terluka—dan bersama pasukannya lari melewati pegunungan Bukit Barisan.

"Datu Bange meninggal dengan infeksi pada luka-lukanya," kata Basyral. Sesungguhnya, menurut Basyral, Datu Bange mau menyerah, tapi dengan syarat Tuanku Tambusai membiarkan pengikut Datu Bange
selamat. Kenyataannya, pasukan Tambusai kemudian memutilasi ratusan penduduk Padang Lawas.

Sebagai Ketua Jurusan Perpustakaan Universitas Indonesia 1965-1967 dan pensiunan pustakawan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Basyral tidak menerima mentah-mentah cerita
khazanah lokal kampungnya itu. Ketika beberapa kali mendapat kesempatan ke Belanda, ia mencari-cari dokumen yang berkenaan dengan serbuan Padri ke Padang Lawas. Dan ia menemukan data dari pihak Belanda yang membenarkan semua kisah tentang pembantaian yang dilakukan Tuanku Tambusai.

Data itu ia dapat dari catatan-catatan J.B. Neumann, Jughuhn, Ypes, Schnitger, dan terutama T.J. Willer. Willerlah yang banyak mencatat brutalisme gerakan Padri di daerah Padang Lawas. Dua bukunya menjadi
referensi utama Basyral. Siapakah T.J. Willer ? Dalam Almanak van Nederlandsch Indie, Willer disebut menjabat Ketua Komite untuk Wilayah Padang Lawas, Tambusai, Pane, dan daerah Bila pada 1838-1843.
Jabatan berikutnya adalah Asisten Residen Mandailing Angkola yang berkedudukan di Panyabungan pada 1843.

Laporan T.J. Willer, misalnya, sampai memetakan luas wilayah yang menjadi kekuasaan Datu Bange. Seluruh kawasan Simanabun dalam catatan Willer saat itu dihuni 606 rumah tangga. Dalam buku Willer itu juga ditampilkan silsilah Marga Babiat—mulai leluhur sampai Datu Bange—sampai generasi XII. Dari situlah Basyral tahu bahwa dirinya termasuk generasi cicit Datu Bange.

Willer, sebagaimana dikutip Basyral, menuliskan demikian: "…. Padri yang dipimpin oleh Tambusai membakar kampung demi kampung…. Mereka memaksakan ajaran Islam (Wahabi) di mana-mana. Jika penduduk tidak serta-merta mau masuk Islam akan segera dibunuh…."

Sebagaimana Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai di zaman Orde Baru diangkat sebagai pahlawan negara. "Mengapa ia dianggap pahlawan?" tanya Basyral. Menurut Basyral, dia sama sekali tidak punya dendam dengan tragedi yang menimpa pendahulunya itu. Tapi sebuah revisi sejarah harus digelar.

Berdasarkan catatan panitia yang mengusulkan gelar pahlawan nasional untuk Tuanku Tambusai, Datu Bange dianggap sebagai perampok yang sering membuat kekacauan. Tuanku Tambusai ingin mengakhiri perlawanan kelompok parbegu yang dipimpin Datu Bange, sehingga
serangan pun dilakukan sampai dua kali.

"Itu sama sekali tak benar. Datu Bange merupakan raja paling karismatik di Padang Lawas. Sebelum kaum Padri masuk pun, warganya telah memeluk Islam," ungkap Basyral kesal. Masyarakat daerah Padang Lawas sebelum kedatangan Tuanku Tambusai, menurut dia, sudah sekian
lama memeluk mazhab Syafii yang egaliter.

Di wilayah Padang Lawas memang banyak peninggalan candi Hindu—Bhairawa. Sebagaimana halnya penganut Islam di pedalaman, warga Simanabun masih mempertahankan tradisi kultural. Tradisi ziarah kubur,
misalnya, waktu itu masih sehari-hari dilakoni penduduk. Mereka memasang lampu, lalu membuat cungkup-cungkup di kuburan. "Mereka masih berdoa kepada Tuhan di kuburan."

Tapi gejala itu, menurut Basyral, ada di bagian mama pun di Sumatera. Bahkan, dalam catatan Basyral, di wilayah pesisir seperti pantai Natal, tradisi mistik pun masih kuat. Dokumen perjanjian Bagindo Martia
Lelo, Raja Natal, dengan Moschel, penguasa VOC, bertarikh 7 Maret 1760, misalnya, menyebutkan bahwa ia bersumpah atas Al-Quran dan asap pedupaan.

Islam demikianlah, menurut gerakan Tuanku Tambusai, yang menyeleweng dan perlu dimurnikan akidahnya. "Upacara pemakaman yang menggunakan berbagai usungan jenazah di Padang Lawas adalah salah satu hal yang dibenci Tambusai," kata Basyral. Pasukan Putih-putih Padri lalu melakukan pembersihan total. "Cungkup-cungkup makam dipapras sedemikian. Juga manusianya disembelih," kata Basyral—berdasarkan data milik pemerintah Belanda yang dibacanya.

Sita Planasari Aquadini, Seno Joko Suyono
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007

Iqra Mengenang Sanggahan Hamka

Hamka pernah menjadi sahabat Parlindungan. Namun, suatu ketika, mereka berselisih tentang Tuanku Rao. Hamka menuliskan pendapatnya dalam Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao.

Di tahanan, Buya Hamka banyak membaca dan menulis. Waktu itu, tahun 1964, Hamka berada di rumah tahanan kepolisian Mega Mendung. Sebagai salah satu fungsionaris Partai Masyumi, oleh rezim Soekarno ia
dianggap anti-Nasakom. Kemudian ia dipindahkan ke Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun, Jakarta, karena sakit—selama 17 bulan, sampai 1966, Hamka menghasilkan karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar.

Salah seorang muridnya, Sofjan Tanjung, mengirimi ulama itu buku tebal berjudul Tuanku Rao, dua eksemplar—kiriman yang diiringi permintaan agar Hamka memberikan komentar serta kritik atas buku tersebut.

Dan ketika Hamka keluar dari tahanan, ia berkenalan dengan Parlindungan. Mereka bersahabat. Parlindungan biasa menjemput Hamka ke rumahnya sebelum salat Jumat. Parlindungan selalu mengenakan kopiah sampir buatan Gorontalo, bersarung, dan bertongkat kecil.

Hamka mulanya mengagumi buku Tuanku Rao. Polemik terjadi saat Hamka mulai meragukan isi Tuanku Rao. Salah satu peristiwa penting dalam polemik mereka terjadi dalam seminar di Padang pada Juli 1969. Baik Hamka maupun Parlindungan hadir sebagai pembicara. Pada acara tersebut, Hamka mempertanyakan informasi Parlindungan mengenai Haji Piobang, pendiri Padri yang disebut Parlindungan pernah menjadi salah satu kolonel tentara Turki di bawah pimpinan Jenderal Muhammad Ali
Pasya. "Sampai seminar habis, Parlindungan tidak dapat memberi jawaban tegas," tulis Hamka.

Hamka meluncurkan kritik-kritik cukup pedas menanggapi Tuanku Rao. Kritik ini ia tulis dalam beberapa artikel yang dimuat di harian Haluan, Padang, 1969-1970. Ia menyebut Parlindungan ****. Parlindungan menganggap Hamka childish dan kampungan.

Sebuah buku khusus pun diluncurkan oleh Hamka bertajuk Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao. Dalam buku setebal 364 halaman yang diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada 1974 itu, Hamka menuding isi Tuanku Rao 80 persen bohong, sedangkan sisanya diragukan
kebenarannya. Pasalnya, setiap kali Hamka menanyakan data dan fakta buku itu, Parlindungan selalu menjawab, "Sudah dibakar."

Selain itu, Hamka mempertanyakan kebenaran berbagai isu yang dilontarkan Parlindungan. Isu yang cukup sensitif adalah pernyataan bahwa selama 300 tahun daerah Minangkabau menganut mazhab Syiah Qaramithah. Hal ini menurut Hamka dusta belaka.

Hamka juga menolak menanggapi isu tentang adanya pemerkosaan massal dan orgy tawanan perempuan oleh sebagian pasukan Padri. Cerita tentang bagaimana anggota Padri melampiaskan nafsu syahwatnya secara terbuka terhadap tawanan-tawanan cantik dituding Hamka sebagai khayalan Parlindungan belaka. Hamka juga menuduh cerita-cerita seks itu sengaja dipasang Parlindungan untuk menarik hati para pemuda ketimbang mencari data ilmiah.

Hamka membandingkan kisah Parlindungan—tentang pembunuhan keluarga Kerajaan Pagaruyung yang disertai pemerkosaan para putri kerajaan dalam Tuanku Rao—dengan data sumber Belanda. Versi Belanda, menurut Hamka, menuliskan pembunuhan oleh Tuanku Lintau
terhadap keluarga kerajaan pada 1804. "Tapi tidak ada disebut-sebut seorang Mandailing bernama Idris Nasution dan pasukannya yang menawan puluhan gadis, lalu memperkosa di hadapan umum, di udara terbuka," tulis Hamka.

"Cerita tentang Tuanku Lelo mengumbar nafsu syahwatnya itu bumbu cerita porno yang dibuat Parlindungan yang tidak kalah dengan cerita-cerita film cowboy tahun 1972," demikian Hamka mengejek Parlindungan. Di mata Hamka, Tuanku Lelo yang menurut Parlindungan bernama
asli Idris Nasution itu tokoh karangan Parlindungan belaka.

Toh, meski tak mengupas secara spesifik soal kekerasan kaum Padri terhadap masyarakat Mandailing, khususnya perempuan, Hamka mengutip keterangan Faqih Shagir dari Hikayat Syaikh Jalaluddin, yang juga banyak berkisah mengenai kaum Padri:

"…. Adapun yang jahat daripada Padri yaitu membunuh segala ulama-ulama dan membunuh orang yang cerdik cendekia, mengambil perempuan yang bersuami, menikahkan perempuan yang tidak sekufu dengan tidak ridhanya, bepergundik tawanan dan menghinakan orang yang mulia-mulia dan mengatakan kafir orang yang beriman…."


Sita Planasari Aquadini
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

Edisi. 34/XXXVI/15 - 21 Oktober 2007

Iqra Dari Catatan Harian Bonjol

Imam Bonjol meninggalkan sejumlah catatan hidupnya saat diasingkan. Ada catatan tentang jalannya pertempuran dan negosiasi dengan Belanda. Tak ada tentang kebrutalan.

"Ini ada surat kumpeni menyuruh saya datang kepada kumpeni sekarang. Bagaimana kiranya segala datuk-datuk atau baik saya pai (pergi—Red.) atau tidak?"

Imam Bonjol wafat di Manado. Selama di Manado, ia ternyata menulis semacam otobiografi dalam huruf Arab Melayu. Oleh anaknya, Naali Sutan Chaniago dan Haji Muhammad Amin, yang ikut dibuang ke Manado, naskah itu diselamatkan.

Dalam catatan itu, kita temukan kesaksian Imam Bonjol menyerang daerah-daerah yang belum menjalankan syariah, juga kisah bagaimana ia mengirim Tuanku Tambusai ke Mekkah, yang kemudian membuat Tambusai bergelar Haji Muhammad Saleh.

Atau bagaimana di sebuah salat Jumat, ia menyerukan hukum adat basandi syarak. Ia melukiskan dengan agak rinci betapa ganasnya perang mempertahankan benteng Bonjol. Tapi bagian paling panjang adalah pengakuannya bernegosiasi dengan Belanda.

Diceritakan, utusan Belanda, Kroner (Kolonel) Elout, memintanya menyerah. Ia menolak, lalu terjadi pertempuran sengit. Dikisahkannya ia memasang meriam sendiri untuk menggempur Belanda. Tapi benteng Bonjol jatuh, dan utusan datang lagi. Di Padang, ia bertemu
dengan Residen Francis.

Resident Francis: Dulu saya minta Tuanku, Tuanku tidak mau datang bertemu kami….

Tuanku Imam Bonjol: Tempo tuan kirim surat yang dahulu tuan minta saya. Saya kasih lihat surat itu kepada raja-raja dan penghulu. Hampir saya dibunuh orang tempo itu dan dicabik-cabiknyo dek surat itu. Surat
kemudian tidak kasih lihat pada penghulu. Maka itulah sekarang mencari tuan….

Imam Bonjol akhirnya mau dibawa kapal ke Betawi, Surabaya, Buton, Ambon, sampai Manado. Di sanalah, di Lotak Pineleng, ia tinggal sampai wafatnya. Keberadaan naskah Tuanku Imam Bonjol pertama kali dilaporkan oleh Ph.S. van Ronkel dalam artikel Inlandsche
getuigenissen aangaande de Padri-oorlog (Kesaksian Pribumi mengenai Perang Padri) dalam jurnal De Indische Gids, 1915.

Ronkel menyebutkan bahwa dia telah menyalin satu naskah berjudul Tambo Anak Tuanku Imam Bonjol setebal 318 halaman. Pada 2004, Sjafnir Aboe Nain dari Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, Padang, menerbitkan transliterasi naskah Tuanku Imam Bonjol.

Kata pengantar yang ditulis Sjafnir menyebutkan bahwa salinan Ronkel itu sesungguhnya gabungan antara catatan Imam Bonjol yang berjumlah 191 halaman dan catatan anaknya, Naali dan Amin. Naskah itu sendiri,
menurut dia, dikenal dengan nama Tambo Naali Sulthan Chaniago.

Transliterasi dilakukan Sjafnir ke dalam bahasa Minang-Melayu, membuat naskah ini agak sulit dipahami dalam waktu singkat. "Saya butuh waktu lama untuk memahami naskah ini," kata peneliti sejarah Tapanuli
Selatan, Basyral Hamidy Harahap.

Tak ada bagian dari naskah ini yang menampilkan sikap Imam Bonjol akan kekerasan yang dilakukan Padri. "Tapi saya yakin Imam Bonjol mengetahui kekejaman kaum Padri, baik penculikan maupun pemerkosaan. Tapi ia diam saja," kata Basyral.

Ia merujuk, ada halaman yang menampilkan masalah penculikan dan jual-beli perempuan ternyata dibicarakan secara terbuka dalam suatu pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh umat, yakni Sultan Chaniago, Nan Pahit, Datuk Kayo, Datuk Limo Koto, Rajo Minang, Punjuak Batuah, dan Pado Alim.

"Pailah (pergilah—Red.) ke rumah Malin Kecil, basua (bertemu) perempuan. Ditanyalah dek (oleh) Datuk Limo Koto perempuan itu. 'Siapo nan manangkap di lading Batang Silasung?' kata Datuk Limo Koto. Alah (kemudian) menjawab perempuan, 'Nan manangkap saya dicari (si Cari) orang Durian Tinggi. Dijualnya dek si Cari itu saya kepada Rajo Manang. Dek Rajo Manang dijual pula ke Bamban.'"

Sejarawan dari Universitas Andalas, Padang, Dr Gusti Asnan, melihat, untuk sebuah catatan harian, Tuanku Imam Bonjol sangat tidak mungkin menuliskan fakta-fakta kebrutalan Padri. "Bila dibandingkan
dengan sumber sejarah Belanda, Tuanku Imam Bonjol tidak memasukkan peristiwa pembakaran, perampokan, serta penculikan dan pemerkosaan perempuan. Tapi saya pikir dia tahu mengenai kejadian itu," ungkap Gusti.

Baik Basyral maupun Gusti melihat proses negosiasi Tuanku yang diwakili anaknya, Sutan Chaniago, dengan pemimpin Belanda sama sekali tidak menunjukkan ketegangan. Mengherankan, Imam Bonjol yang dikenal sebagai sosok penentang Belanda yang gigih kemudian seperti melemah. Bahkan Gusti melihat keakraban Tuanku dengan Residen Elout dan Residen Francis aneh.

"Sekarang Tuanku pergi ke negri Menado, karena negri Menado baik, tempat baik, makanan murah…."

"Sebagai seorang pahlawan nasional, apa iya Tuanku tidak merasa curiga terhadap niat Belanda?" tanya Gusti.

Sita Planasari Aquadini, Seno Joko Suyono
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

WOWwwww Laurent, tenks man ! Gua udah isi petisinya. Elu udah belon ?
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

ali5196 wrote:WOWwwww Laurent, tenks man ! Gua udah isi petisinya. Elu udah belon ?
gue udah nih. Jangan lupa ajak peserta FFi utk isi petisinya ya
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

thanks to nabicabul:

Tuanku Lelo lebih sadis dari Muhamad
http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... hp?t=18461

Tuanku Lelo adalah anak buah Tuanku Imam Bonjol.
Dia dikirim oleh tuanku Imam bonjol untuk mengislamkan tanah batak.

Tahu dah cerita selanjutnya, kalau menolak ....
yang laki - laki dibunuh dan mencapai 50.000 orang
yg WANITA DIJADIKAN TAWANAN.

kalau Moh memancung kepala tawanan
kalau Tuanku Lelo ditusuk dulu matanya baru dipancung.

kalau anak buah mamat memperkosa di dalam tenda
anak buah tuanku lelo memperkosa di ruangan terbuka.

kalau moh hanya mengambil tidak sampai 5 orang wanita sebagai
istri dari tawanan.
Tuanko Lelo mengambil 200 orang.
100 orang dibunuh akhirnya karena sudah bosan.
Dan sebelum balik ke Selatan dia mengambil lagi 100 orang.

Ada stock tawanan wanita 700 orang untuk dipakai ramai ramai
sebelum balik ke selatan itu semua di pancung.

Ketika balik ke daerah asalnya di Batak Selatan dia mengambil
12.000 wanita sebagai tawanan perang.
Di malam hari diperkosa rame rame, di siang hari dipaksa berjalan.
Hasilnya 9000 mati di jalan, 3000 bunting.
Dan akhirnya ditinggalkan anak buahnya di daerah rawa2.

Kalau moh mengambil 20 % dari anak buahnya sebagai pajak.
Tuanko Lelo tidak sampai 5 %.

Kalau di bulan puasa pemerkosaan tawanan perang dilarang di siang hari, malam hari boleh. Kalau pembunuhan untuk membela diri dari orang yg dendam keluarga di bunuh, boleh di siang hari.

Bacalah Buku "Tuanku Rao" bisa dibeli di Gramedia.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

http://en.wikipedia.org/wiki/Padri_War

Image
Jihadi Imam Bonjol
http://www.minahasa.net/en/history-imambonjol.html

Pd permulaan abad 19 di Sumatra Barat pecah konflik antara kaum adat dan kaum paderi. Keduanya dari suku Minangkabau dan keduanya Muslim. Kaum Adat adalah kaum trandisionalis Minangkabau yg ingin melanjutkan praktek religius pra-islam dan tradisi sosial (Islam Abangan).

Kaum Paderi, mirip jihadi2 modern sekarang ingin menerapkan Islam dlm bentuk murni dan ingin menghapuskan tradisi2 yg mereka anggap bertentangan dgn Islam spt kepercayaan2 takhayul, adu ayam jago, judi, minum alkohol dan tradisi matrilineal Minangkabau.

Perang dan Perjanjian Masang

Setelah sebagian besar anggota kerajaan Minangkabau dibantai oleh Muslim Paderi pada thn 1815, kaum Adat mencari bantuan Belanda pd thn 1819. Antara 1821-1824, pecah bentrokan yg hanya berakhir dgn perjanjian Masang. Perang mendingin selama 6 thn, karena Belanda menghadapi peperangan yg lebih besar di P Jawa (Perang Diponegoro).

Konflik kembali pecah di Sumatera pd thn 1830 dgn kemenangan dipihak Belanda. Setelah itu, peperangan berpusat pada Bonjol, benteng kekuatan terakhir kaum Paderi. Akhirnya benteng itu jatuh pd th 1837 setelah dikepung selama 3 thn, dan dgn dibuangnya pemimpin Perang Paderi, leader Tuanku Imam Bonjol, konflik itu padam.

Dampak

Dgn kemenangan Belanda di Sumatera Barat, setelah perang, para pemimpin adat dan agama di Minang menyatukan pandangan mereka : "adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah" (tradisi yg didasarkan pada hukum Islam, hukum Islam yg didasarkan pada Qur'an). :shock:
Last edited by ali5196 on Sun Oct 28, 2007 2:06 am, edited 1 time in total.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

dari murtadmama:
http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... hp?t=18541
Posted: Thu Oct 18, 2007 8:14 pm

nenek mama adalah orang batak (bakkara) dari gereja HKBP pernah dulu mama baca Almanak HKBP waktu kecil ttg datang islam dibawah komando tuanku imam bonjol yg membantai kaum batak disana, nenek mama asli bakkara dan tau persis kejadian itu, ceritera nenek mama dulu inilah yg membekas pada hati mama dan benih kebenician mama terhadap islam pertama kali karena itu, makanya orang batak sgt sensitive trhdp orang padang sampai sekarang ini.
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Sejarah Jihad di Tapanuli (perang Padri)
http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... 19#p468119" onclick="window.open(this.href);return false;
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Aceh & Tanah Batak

Post by Laurent »

Kisah Pahlawan Tuanku Imam Bonjol “Pemimpin Utama Perang Padri”

Oleh: Suryadi

Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.

Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.


Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html).

Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).

Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).

Mitos kepahlawanan

Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademisi, khususnya sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang berpotensi memecah belah bangsa ini.

Ujung pena kaum akademisi harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademisi, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.

Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan.

Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia.

Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan.

Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa.

Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.

Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.

Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional.

Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.

Bukan manusia sempurna

Tak dapat dipungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat.

Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah Darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi.

Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda. Memori Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.

Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.

Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39).

Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB.

Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka. (Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda).

http://belanegarari.wordpress.com/2009/ ... ang-padri/

http://www.lebaran.com/kisah/item/87-ki ... 80%9D.html

Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Aceh & Tanah Batak
Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Aceh & Tanah Batak Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static
Post Reply