Netralikum wrote:
konseling pra-nikah apaan sih? apakah seperti kursus pernikahan?
Ya, tapi menikahnya yang dikursusi, bukan aktifitas ML lho ya
Foxhound wrote:
Saya akan kasih info buat anda mbakyu untuk studi banding aja. Bagaimana sih agama yang disempurnakan oleh Islam ini, yang alkitabnya dirubah-rubah dan disesatkan, yang saking sesatnya sampe Tuhannya bisa jadi tiga, berbicara soal pernikahan.
Pernikahan di dalam Kristen/Katolik sangat sakral, ada janji di hadapan Tuhan segala yang diucapkan kedua belah pihak bahwa dalam setiap suka maupun duka, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit akan tetap setia terhadap pasangannya satu-satunya. Jadi menikah itu tidak bisa dianggap main-main, karena itu pihak gereja selalu mempersiapkan pasangan yang akan menikah dengan sungguh2.
Di beberapa gereja yang melibatkan konsultan2 perkawinan dengan latar belakang psikolog di luar pendeta. Kadang ada sesi yang digunakan untuk melihat beberapa masalah prinsipil yang memunculkan ketidakcocokan yang harus diselesaikan sebelum pernikahan terjadi.
Karena cinta itu kadang atau bahkan seringkali bohong... kalau sudah menikah, apalagi sudah punya anak, priority sudah berubah, manisnya madu bisa jadi pahitnya racun. Tidak hanya di pernikahan Islam, tetapi semua pernikahan termasuk pernikahan Kristen. Karena itu pasangan yang belum menikah, perlu dipersiapkan untuk mengerti bagaimana sih pernikahan itu sebenarnya. Apa yang akan muncul nantinya, tuntutan2 baru yang dapat memicu konflik2 yang tidak pernah ada selama berpacaran. Atau bahkan terkadang ditemui juga adanya kepahitan2 psikologis yang tidak terlihat pd waktu pacaran yg bs berpotensi merusak perkawinan suatu pasangan baru.
Contoh kepahitan2 psikologis yang potential: Ada junior saya, sebut aja Agnes, papanya punya istri kedua, mamanya yang istri pertama sangat down dengan kelakuan papanya dan akhirnya sering sakit2an dan penuh tekanan batin. Saya tidak ingat apakah akhirnya papamamanya bercerai atau tidak. Tetapi Agnes ini, meskipun tidak memperlihatkan di permukaan, dia memendam rasa benci pada papanya, ini adalah yang disebut kepahitan psikologis. Agnes ini kemudian membina hubungan dengan Beni, sewaktu pacaran ya tentu saja biasa, sampai pada waktu akan menikah dan diharuskan mengikuti konseling pra-nikah. Counselornya baru mengerti bahwa ternyata mereka sewaktu pacaran sering bertengkar, hampir setiap hari.
Lucunya mereka berdua seringkali tidak mengerti akar masalah pemicunya apa, dan merasa bahwa mereka akan bisa menjadi lebih baik setelah menikah. Kenapa mereka memutuskan tetap berpacaran dan menikah, masing2 punya alasan saling cinta. Tetapi lucu bukan, cinta koq setiap hari bertengkar. Counselornya segera memisah sesi konseling jadi dua secara private, dan mencoba meneliti akar permasalahannya. Dan ternyata problemnya adalah kepahitan yang tidak terselesaikan sehingga si Agnes ini tanpa disadari cenderung posesif, tetapi juga jaga jarak mencoba untuk tidak terlalu mencintai di mana kedua sikap tersebut sebenarnya bertentangan dan akhirnya menimbulkan masalah komunikasi antara pasangan ini. Andaikata si Counselor tidak bisa mendeteksi problem ini di awal dan terbawa ke pernikahan, bisa dijamin bahwa masalah komunikasi ini tidak selesai dan justru akan lebih parah di kemudian hari. Pernikahan mereka ditolak pihak gereja dan diminta menunda, saling introspeksi sampai mereka benar2 siap. Mereka menunda hingga 2 tahun, ikut konseling pra-nikah hingga sekitar 4 kali di luar konseling pribadi baru akhirnya bisa menikah.
Kalau konseling ini diikuti dengan serius dan rasa kejujuran dari yang ikut konseling, faedahnya akan luar biasa. Tapi terkadang, saya juga alami di gereja saya, ada pasangan yang memutuskan batal menikah justru pada saat konseling pra-nikah. Dan tidak semua yang ikut konseling berarti masalahnya selesai memang, tetapi perceraian adalah sesuatu yang sangat tabu di dalam etika kekristenan meskipun tidak disebut adalah dosa di dalam alkitab.
_____________________________________________________________________
Saya juga ingin mengambil sudut pandang yang lain dr cerita junior saya di atas. Poligami dan perceraian, kalau mau tanya di mana-mana dengan psikiater yang netral, nggak nyinggung masalah agama... pasti membawa dampak buruk bagi keluarga terutama anak-anak. Tuhan yang bener... masak kalah pinter ama psikiater? Kenapa justru agama yang katanya 'sempurna' mendorong terjadinya poligami dan perceraian (dengan mempermudahnya)?
Anda muslimah, silahkan anda berteriak melawan hati nurani bahwa anda rela dipoligami karena bagi anda itu adalah perintah AwlohSWT. Tetapi poligami dan perceraian bukan cuma masalah antara suami dan isteri. Efeknya pasti meluas ke seluruh anggota keluarga termasuk yang namanya anak-anak.
Anak-anak selalu melihat orang tua sebagai figur yang diteladani. Dan pernikahan yang solid dan setia akan mengajarkan pada mereka arti integritas dan kesetiaan.
Apa sih esensi berpoligami itu? Hanya orang **** yang percaya itu adalah perintah ibadah! Pakai berkelit bilang justru kalau berpoligami baru bisa menunjukkan sikap adil. Bah! Baca itu ayat 129nya! Dengarkan kesaksian nabimu sendiri yang tidak bisa adil. Dan kalau saya teruskan debat saya dan saya kejar muslimnya, mereka tidak akan bisa kemana-mana selain berkata bahwa lho memang dalam pernikahan Islam itu tidak dituntut adil dalam urusan kasih sayang....
Kalau bukan karena urusan kasih sayang, apa gunanya menikah? Supaya legal dan tidak bisa disebut berzinah? Legal ketika melakukan apakah? Tidak bisa disebut berzinah ketika melakukan apakah? Jawabannya adalah 'ketika melakukan hubungan sex'!!
Jadi memang urusan pernikahan dalam Islam hanyalah masalah hubungan sex... masalah syahwat semata.
Saya, juga lelaki... saya juga pernah pacaran bbrp kali. Pernah merasa cinta luar biasa dengan pacar pertama, dan sudah lupa dgn rasa cinta itu begitu pacaran dengan yang kedua. Apa yang bisa menjamin bahwa ketika saya menikah saya akan tetap punya rasa cinta dengan istri pertama yang akan kekal dan tidak hilang ketika ada yang lewat lebih menarik di depan saya? Yang bisa menjamin hanyalah integritas dan kesetiaan yang terwujud dalam penguasaan diri.
Penguasaan diri, itu adalah esensi humanity. Yang membedakan manusia dengan binatang, yang membedakan kenapa binatang bisa sembarangan berhubungan sex, manusia tidak. Ketika kehilangan penguasaan diri, manusia sudah menurunkan derajad dirinya mendekati binatang. Tetapi di dalam Islam, justru nafsu itu diumbar tanpa penguasaan diri, dan kemudian dilegalkan.
Ijin berpoligami, jelas memberi kelonggaran muslim untuk tidak melakukan penguasaan diri. Ijin untuk bercerai, bahkan memberikan kemudahan di mana-mana, jelas memberi kelonggaran muslim untuk juga tidak melakukan penguasaan diri.
Poligami + Perceraian = gonta ganti pasangan secara legal, dan secara bersamaan boleh simpan empat.
Wanita yang bersedia berpoligami, sadarkah bahwa anda menyerahkan komitmen anda pada seseorang yg hanya berkomitmen seperempat atau bahkan kurang kepada anda? Di dunia ini, tidak ada cinta yang benar-benar kekal abadi kecuali pada diri sendiri... Cinta penuh romance yang tak pernah pudar itu semua adalah mitos. Andaikata ada pun mungkin satu dari sejuta pasangan.
Ketika usia pernikahan menanjak, tanggung jawab dan integritas kadang mengambil alih. Bahkan dalam monogami pun cinta dan perhatian harus terbagi kepada anak. Memang seiring waktu, cinta yang pudar bisa bersemi kembali dan kasih yang stagnant mungkin bisa dipulihkan. Rasa cinta bisa seperti gunung yang naik turun dan berliku. Tetapi dengan adanya poligami dan perceraian, orang cenderung akan mengambil jalan yang mudah dan terlihat di depan mata.
Belum lagi aturan untuk yg sudah cerai ingin rujuk, sang istri harus melakukan pernikahan dgn orang lain dulu, melakukan hub sex dulu, bercerai, baru boleh balik ke yang ingin dirujuk.
So jawab sekarang, kalau bkn about legal sex... apakah esensi pernikahan di dalam Islam?
Islam sungguh ajaran yang sempurna...... sempurna amburadulnya.