Kelakuan TKW Muslim di negeri kafir
Posted: Mon Jan 08, 2007 11:18 am
Sumber : Koran Sinar Harapan edisi Sabtu 6 Januari 2007
Kisah Buruh Migran di Hongkong
Seri ke 10 : Sang Pendakwah
Flat itu berada di lantai 12 di sebuah gedung yang tengah dibangun di
ruas Moreton Terrace, di samping Hong Kong Library yang terletak di
depan taman Victoria Park.
Saya disambut seorang perempuan berjilbab di sebuah flat yang di pintu
masuknya terpasang plakat bertuliskan Forum Komunikasi Mukminat Peduli Umat (FKMPU).
Nama perempuan itu Tini Hartati, usianya 26 tahun. Ia mengenakan jubah
panjang dan mempersilahkan saya duduk di lantai. Ruangan tengah yang
dijadikan tempat berkumpul belasan penghuni itu memang tak ada kursi.
Hanya ada TV dan rak buku yang dipenuhi buku-buku islami di sebelah
kanan.
Flat tersebut disewa dengan biaya HK$ 9.500 (sekitar Rp. 11 juta) per
bulan untuk dipakai sebagai shelter atau penampungan bagi buruh migran
Indonesia yang tengah punya masalah di Hong Kong. Ongkos sewa tersebut, menurut Tini, diambilkan dari iuran anggota sebesar HK$ 20/bulan dan juga dari para donatur. Untuk pengurus FKMPU, seperti Tini, iuran yang diambil untuk sewa rumah tersebut jauh lebih besar.
FKMPU berdiri setelah proses panjang kegelisahan Tini. Sebagai mantan
aktivis mahasiswa Islam di Indonesia, ia jengah menyaksikan dandanan
dan perilaku liberal warga Indonesia yang berprofesi sama dengannya
sebagai PRT di HK.
Tini adalah sedikit dari 100.000 lebih buruh migran asal Indonesia di
HK yang sempat mencecap bangku perguruan tinggi. Meski masing-masing hanya dua semester, Tini sempat merasakan sebagai mahasiswa di Universitas Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Malang. Di kampus terakhir ini, Tini menekuni bidang dakwah.
Dari Malang ini pula, Tini kemudian terpikat dengan bujukan kerja ke
luar negeri lewat sebuah agen penyalur tenaga kerja.
"Saya ditampung di Malang selama dua bulan, sebelum kemudian dikirim ke Hong Kong", kisahnya. Ia masuk ke Hong Kong pada tahun 2000. Di Hong Kong, Tini dibuat bingung saat ditempatkan di rumah majikan yang
memiliki tiga anak kecil. "Saya bungsu dari tiga bersaudara, saya
bingung bagaimana harus mengurus anak kecil", ungkapnya.
Namun, Tini memaksa bertahan. Dengan gaji HK$ 2.400/bulan yang kemudian naik menjadi HK$ 3.600 pada bulan kelima, ia merasa beban pekerjaan masih bisa ia tahan. Meskipun, sama seperti buruh migran lainnya, selama tujuh bulan ia mesti menyetor seluruh gajinya ke agen.
Tini juga tak protes saat ia hanya mendapatkan libur dua kali sebulan.
Padahal, menurut aturan hukum HK, pekerja sektoir rumah tangga berhak
mendapatkan libur sekali dalam sepekan.
Namun, dalam waktu liburnya yang singkat itu, ide kreatif Tini justru
lahir. Saat bertemu dengan rekan-rekan seprofesi dalam waktu liburnya,
ia jengah mendapati mereka berdandan dan berperilaku yang, menurutnya, liberal.
Bersama temannya yang bernama Yayuk, Tini mulai mengetik selebaran yang berisi ajakan untuk kembali ke cara-cara hidup islami. Selebaran ini
dikopi dengan ongkos mereka berdua dan disebar secara gratis ke
lokasi-lokasi yang kerap menjadi tempat berkumpulnya para buruh migran Indonesia saat libur.
Setela membagi selebaran, mereka berdua mulai memikirkan upaya membikin kelompok. Mulailah Tini dan Yayuk bergerilya mencari anggota lewat selebaran yang mereka bagikan. Saat terkumpul 13 anggota, Tini dan Yayuk pun mendaftarkan organisasi yang mereka namai FKMPU itu ke
Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong. Pada 5 Oktober 2000,
empat hari setelah didirikan, FKMPU resmi mendapat izin.
Majikan Masuk Islam
Uniknya, semangat dakwah Tini tak sebatas hanya pada rekan profesi.
Pada kontrak ketiganya di majikan baru tahun 2004, Tini bahkan berhasil
membujuk majikannya untuk memeluk Islam di bulan ketiga setelah ia
bekerja di situ.
Majikannya yang masih lajang ini bahkan setahun kemudian berhasil
meyakinkan ayah ibunya untuk juga menjadi muslim. Padahal, sang ayah
sebelumnya adalah seorang pendeta Kristen.
Di majikan inilah, Tini bertahan hingga sekarang dengan gaji HK$
4.000/bulan (sekitar Rp. 4,6 juta). Jumlah ini jauh diatas standar upah
minimum Hong Kong sebersar HK$ 3400. Dengan upah sebesar itu, Tini juga menikmati keleluasaan untuk
beraktivitas dalam organisasinya karena majikannya hanya menyuruhnya
bekerja dua kali dalam sepekan. "Setelah ayahnya meninggal, majikan
saya menyusul ibunya di London. Jadi, rumah di Hong Kong ini hanya
sesekali dikunjungi dan saya hanya diberi tugas bersih-bersih rumah itu
dua kali seminggu", jelas Tini.
Hal ini membuat Tini bisa beraktivitas penuh di organisasinya. Ia juga
lebih banyak menghabiskan waktunya di shelter milik FKMPU.
Menariknya, sebagai organisasi muslim, FKMPU tak semata memfokuskan
aktivitasnya pada kegiatan pengajian atau aktivitas dakwah yang melulu
bicara soal akidah.
"Kami juga menggelar training advokasi bekerja sama dengan organisasi
lain", ungkapnya. Ini artinya, FKMPU juga terlibat dalam memberi
kesadaran hukum dan hak-hak buruh migran.
Sesekali, beberapa anggotanya bahkan bergabung dalam aksi untuk
memprotes kebijakan pemerintah, baik Indonesia maupun Hong Kong, yang dirasakan tak berpihak pada buruh migran.
Gara-gara sikap ini, hubungan FKMPU dan KJRI pun tak bisa dibilang
dekat. Namun, Tini bergeming. Baginya, persoalan buruh migran tak
melulu akidah, tapi juga pengabaian hak-hak mereka oleh negara.
Kisah Buruh Migran di Hongkong
Seri ke 10 : Sang Pendakwah
Flat itu berada di lantai 12 di sebuah gedung yang tengah dibangun di
ruas Moreton Terrace, di samping Hong Kong Library yang terletak di
depan taman Victoria Park.
Saya disambut seorang perempuan berjilbab di sebuah flat yang di pintu
masuknya terpasang plakat bertuliskan Forum Komunikasi Mukminat Peduli Umat (FKMPU).
Nama perempuan itu Tini Hartati, usianya 26 tahun. Ia mengenakan jubah
panjang dan mempersilahkan saya duduk di lantai. Ruangan tengah yang
dijadikan tempat berkumpul belasan penghuni itu memang tak ada kursi.
Hanya ada TV dan rak buku yang dipenuhi buku-buku islami di sebelah
kanan.
Flat tersebut disewa dengan biaya HK$ 9.500 (sekitar Rp. 11 juta) per
bulan untuk dipakai sebagai shelter atau penampungan bagi buruh migran
Indonesia yang tengah punya masalah di Hong Kong. Ongkos sewa tersebut, menurut Tini, diambilkan dari iuran anggota sebesar HK$ 20/bulan dan juga dari para donatur. Untuk pengurus FKMPU, seperti Tini, iuran yang diambil untuk sewa rumah tersebut jauh lebih besar.
FKMPU berdiri setelah proses panjang kegelisahan Tini. Sebagai mantan
aktivis mahasiswa Islam di Indonesia, ia jengah menyaksikan dandanan
dan perilaku liberal warga Indonesia yang berprofesi sama dengannya
sebagai PRT di HK.
Tini adalah sedikit dari 100.000 lebih buruh migran asal Indonesia di
HK yang sempat mencecap bangku perguruan tinggi. Meski masing-masing hanya dua semester, Tini sempat merasakan sebagai mahasiswa di Universitas Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Malang. Di kampus terakhir ini, Tini menekuni bidang dakwah.
Dari Malang ini pula, Tini kemudian terpikat dengan bujukan kerja ke
luar negeri lewat sebuah agen penyalur tenaga kerja.
"Saya ditampung di Malang selama dua bulan, sebelum kemudian dikirim ke Hong Kong", kisahnya. Ia masuk ke Hong Kong pada tahun 2000. Di Hong Kong, Tini dibuat bingung saat ditempatkan di rumah majikan yang
memiliki tiga anak kecil. "Saya bungsu dari tiga bersaudara, saya
bingung bagaimana harus mengurus anak kecil", ungkapnya.
Namun, Tini memaksa bertahan. Dengan gaji HK$ 2.400/bulan yang kemudian naik menjadi HK$ 3.600 pada bulan kelima, ia merasa beban pekerjaan masih bisa ia tahan. Meskipun, sama seperti buruh migran lainnya, selama tujuh bulan ia mesti menyetor seluruh gajinya ke agen.
Tini juga tak protes saat ia hanya mendapatkan libur dua kali sebulan.
Padahal, menurut aturan hukum HK, pekerja sektoir rumah tangga berhak
mendapatkan libur sekali dalam sepekan.
Namun, dalam waktu liburnya yang singkat itu, ide kreatif Tini justru
lahir. Saat bertemu dengan rekan-rekan seprofesi dalam waktu liburnya,
ia jengah mendapati mereka berdandan dan berperilaku yang, menurutnya, liberal.
Bersama temannya yang bernama Yayuk, Tini mulai mengetik selebaran yang berisi ajakan untuk kembali ke cara-cara hidup islami. Selebaran ini
dikopi dengan ongkos mereka berdua dan disebar secara gratis ke
lokasi-lokasi yang kerap menjadi tempat berkumpulnya para buruh migran Indonesia saat libur.
Setela membagi selebaran, mereka berdua mulai memikirkan upaya membikin kelompok. Mulailah Tini dan Yayuk bergerilya mencari anggota lewat selebaran yang mereka bagikan. Saat terkumpul 13 anggota, Tini dan Yayuk pun mendaftarkan organisasi yang mereka namai FKMPU itu ke
Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong. Pada 5 Oktober 2000,
empat hari setelah didirikan, FKMPU resmi mendapat izin.
Majikan Masuk Islam
Uniknya, semangat dakwah Tini tak sebatas hanya pada rekan profesi.
Pada kontrak ketiganya di majikan baru tahun 2004, Tini bahkan berhasil
membujuk majikannya untuk memeluk Islam di bulan ketiga setelah ia
bekerja di situ.
Majikannya yang masih lajang ini bahkan setahun kemudian berhasil
meyakinkan ayah ibunya untuk juga menjadi muslim. Padahal, sang ayah
sebelumnya adalah seorang pendeta Kristen.
Di majikan inilah, Tini bertahan hingga sekarang dengan gaji HK$
4.000/bulan (sekitar Rp. 4,6 juta). Jumlah ini jauh diatas standar upah
minimum Hong Kong sebersar HK$ 3400. Dengan upah sebesar itu, Tini juga menikmati keleluasaan untuk
beraktivitas dalam organisasinya karena majikannya hanya menyuruhnya
bekerja dua kali dalam sepekan. "Setelah ayahnya meninggal, majikan
saya menyusul ibunya di London. Jadi, rumah di Hong Kong ini hanya
sesekali dikunjungi dan saya hanya diberi tugas bersih-bersih rumah itu
dua kali seminggu", jelas Tini.
Hal ini membuat Tini bisa beraktivitas penuh di organisasinya. Ia juga
lebih banyak menghabiskan waktunya di shelter milik FKMPU.
Menariknya, sebagai organisasi muslim, FKMPU tak semata memfokuskan
aktivitasnya pada kegiatan pengajian atau aktivitas dakwah yang melulu
bicara soal akidah.
"Kami juga menggelar training advokasi bekerja sama dengan organisasi
lain", ungkapnya. Ini artinya, FKMPU juga terlibat dalam memberi
kesadaran hukum dan hak-hak buruh migran.
Sesekali, beberapa anggotanya bahkan bergabung dalam aksi untuk
memprotes kebijakan pemerintah, baik Indonesia maupun Hong Kong, yang dirasakan tak berpihak pada buruh migran.
Gara-gara sikap ini, hubungan FKMPU dan KJRI pun tak bisa dibilang
dekat. Namun, Tini bergeming. Baginya, persoalan buruh migran tak
melulu akidah, tapi juga pengabaian hak-hak mereka oleh negara.