Mendesak: UU Perlindungan Buruh Migran Indonesia

Membahas pengalaman kerja orang di SAUDI pada umumnya dan kasus2 penganiayaan
terhdp TKW asal Indonesia di Malaysia, Saudi, pada khususnya.
Post Reply
User avatar
NoMind
Posts: 442
Joined: Tue Sep 13, 2005 11:25 pm

Mendesak: UU Perlindungan Buruh Migran Indonesia

Post by NoMind »

Mendesak: UU Perlindungan Buruh Migran Indonesia

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=73169

Kasus penganiayaan dan perkosaan terhadap tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri terus berulang sepanjang tahun. Terminal III Bandara Internasional Soekarno-Hatta agaknya telah menjadi saksi mati dari sisa-sisa peristiwa tragis yang dialami para TKW Indonesia di tempat kerjanya dan dengan terpaksa harus kembali ke kampung halaman.

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Komnas Perempuan, di Jakarta, pekan lalu, Ketua Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia (Kopbumi) Wahyu Susilo memaparkan, bagaimana nyawa buruh migran Indonesia sangat tidak berharga di Singapura. Kopbumi mencatat hingga Mei 2003 lalu ada 89 orang yang mati sia-sia akibat terpelanting dari apartemen karena tanpa sabuk pengaman.

Di Timur Tengah, ditambahkan Wahyu Susilo, tembok-tembok tinggi yang memagari rumah majikan menjadi penjara bagi perempuan pekerja rumah tangga asal Indonesia. Mereka diperlakukan sebagai budak, disiksa, diperkosa bahkan nyawapun bisa hilang. Kasus terakhir ditemukannya 118 perempuan Indonesia yang dilacurkan di Arab Saudi. Kasus itu makin memperumit problem buruh migran di Arab Saudi.

"Karena itu, perlu ada perubahan mendasar atas perangkat hukum yang mengatur buruh migran kita di luar negeri agar kasusnya tidak terjadi berulang dan tidak ada nyawa yang mati sia-sia di negeri orang," ujarnya. Menurut Wahyu Susilo, carut marutnya persoalan buruh migran Indonesia itu tidak terlepas dari ketiadaan instrumen proteksi bagi buruh migran Indonesia. Ketiadaan instrumen legal bagi buruh migran Indonesia menjadi ironi jika dihadapkan pada realitas kerentanan yang dihadapi buruh migran Indonesia saat ini. Di dalam negeri, persoalan muncul adalah masih maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, berbelitnya birokrasi, kurang transparannya pemerintah dalam prosedur penempatan, penipuan, percaloan, kekerasan dan perampasan kebebasan dan lemahnya penegakan hukum.

"Puluhan ribu calon buruh migran Indonesia berada di penampungan-penampungan yang kondisinya tidak layak sebagai tempat hunian. Terminal II Bandara Soekarno Hatta sebagai terminal kedatangan buruh migran menjadi ladang pemerasan dan perampokan terhadap buruh migran Indonesia yang sistematik dan tersembunyi dari kontrol publik," katanya.

Hal itu bisa terjadi, ditambahkan Wahyu Susilo, karena hingga saat ini penempatan buruh migran masih berlandas pada paradigma komoditasasi. Buruh migran dianggap sebagai aset, bukan manusia. Kebijakan tentang penempatan tenaga kerja ke luar negeri lebih mengatur masalah teknis operasional dan administratif dan target pemenuhan devisa dengan mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan.

"Kebijakan penempatan buruh migran tidak berlandas pada perencanaan yang menyeluruh mulai dari tahapan persiapan, penempatan dan kepulangan. Akibatnya kebijakan yang dihasilkan sangat parsial dan tidak menjawab probleman mendasar buruh migran Indonesia," tuturnya.

Di Indonesia, kebijakan tertinggi mengenai buruh migran hanya pada tingkat Kemenakertrans No 104A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri. Sebagai sebuah keputusan menteri, Kemenakertrans itu disusun secara sepihak tanpa melalui konsultasi dengan rakyat. Hingga saat ini pun Indonesia belum memiliki Undang-Undang (UU) yang melindungi Buruh Migran Indonesia, pemerintah juga belum meratifikasi International Convention on the protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families.

Jika dibandingkan dengan Pilipina, lanjut Wahyu Susilo, Indonesia sangat ketinggalan. Dalam kaitannya dengan kebijakan buruh migran, Pilipina menempatkan dalam produk UU yang bernama Republic Act No 8042, June 1995, Omnibus Rules and Regulations Implementing The Migrant Workers and Overseas Filipinos Act of 1995.

"Sebagai sebuah UU, kebijakan itu lahir dari proses legilasi yang partisipatif, dalam arti melakukan konsultasi dengan rakyat, setidaknya melalui perdebatan di parlemen. Kebijakan nasional itu juga didukung oleh ratifikasi International Convention on The Protection of the Rights of All Workers and Members of Their Families pada Juli 1995 yang isinya sangat sensitif gender," tutunya.

Pemerintah Pilipina memberi perhatian pada masalah buruh migran, karena substansi kebijakan buruh migran Pilipina terfokus pada upaya perlindungan buruh migran yang telah berjasa bagi kemajuan ekonomi Pilipina, dengan menetapkan upaya perlindungan buruh migran sebagai salah satu fokus utama politik luar negeri Pilipina. Konsekuensi dari kebijakan itu, pemerintah Pilipina menempatkan atase perburuhan dan mendirikan crisis center di negara-negara tujuan bekerja buruh migran Pilipina.

"Di Indonesia, regulasi tentang buruh migran lebih terfokus pada pengaturan mekanisme operasional penempatan buruh migran, mulai dari tata cara pendirian PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia), struktur pembiayan dan persoalan-persoalan teknis lainnya. Pembicaraan mengenai hak-hak buruh migran sama sekali tidak tersentuh," ujarnya menegaskan.

Ditambahkan, walau sebagian besar jumlah buruh migran Indonesia adalah perempuan, Kemenakertrans tidak menampakkan sensitif gender. Bahkan, dalam pelaksanaannya cenderung mendiskriminasikan perempuan. Misalnya, dalam kasus wajib pulang setelah masa kontrak habis di Hongkong. Dalam peraturan pelaksanaan Kemenakertrans, persyaratan-persyaratan untuk buruh migran perempuan lebih banyak ketimbang buruh migran laki-laki.

"Karena itu, sudah saatnya semua pihak yang terkait dalam penanganan permasalahan buruh migran Indonesia saling berkontribusi dalam merumuskan kebijakan perlindungan buruh migran Indonesia. Dengan mengakumulasi semua potensi secara maksimal, akan menjadi landasan yang kokoh bagi proses pembenahan permasalahan buruh migran Indonesia," tutur Wahyu Susilo.

Terkait dengan masalah itu, Kopbumi mengajukan sejumlah usulan yang dapat memperbaiki kondisi buruh migran Indonesia. Disebutkan, antara lain, perumusan bilateral agreement dengan beberapa negara tujuan bekerja, pengusulan RUU Perlindungan Buruh Migran Indonesia, pengusulan Peraturan Daerah mengenai Buruh Migran dan pengusulan Ratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 mengenai perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya. (Tri Wahyuni)
KELIHGO
Posts: 698
Joined: Thu Jan 04, 2007 2:08 pm

Post by KELIHGO »

Kebetulan gue kerja di IMIGRASI
Banyak TKW yang tidak diperhatikan karena mereka dalam bepergian tidak melakukan syarat sebagai berikut

1. LAPOR KEKEDUTAAN,Ini syarat sahnya,LAPOR KE DUTAAN yang ditanya adalah ALAMAT MAJIKANNYA,dan memiliki banyak kegunaan

1. Tidak perlu Surat Cuti kalau mau Pulang untuk berlibur,atau cuti
2. Bebas Fiskal
3. Jika ada kejadian sama majikan,maka Kedutaan Indonesia bisa melaporkan ke badan Hukum dinegara tersebut LApor kedutaan harus dilakukan setelah sampai dinegara tujuan

2. Surat Tenaga Kerja = Syarat Syah TKW yag memulai pekerjaan di Negeri Orang
Post Reply