Arab Saudi: Nasib
Posted: Wed Feb 15, 2006 2:28 pm
Nasib
http://www.gatra.com/2002-10-07/artikel.php?id=21096
Jakarta, 3 Oktober 2002 16:54
NAMANYA Dewi Khaerani, usia 23 tahun. Tubuhnya agak berisi. Warga Desa Labuhan, Kecamatan Labuhan Badas. Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ini bercita-cita membantu ekonomi keluarganya yang morat-marit. Ia pun menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi.
Sejak ayahnya, petani penggarap, meninggal, keluarganya memang kembang-kempis. Wanita berpendidikan SLTP ini pun mendaftarkan diri sebagai TKW di PT Safina Daha Jaya, Sumbawa. Dewi dibawa ke Jakarta, lalu digodok di tempat penampungan selama sebulan.
Tiba di Arab Saudi, ia disambut sang majikan dengan muka manis. Dewi senang. Namun, "bulan madu" itu tak sampai sepekan, dan Dewi jadi keranjang makian. Dia dipukuli tanpa alasan jelas. Tak hanya itu, tangannya ditoreh dengan pisau. Punggung, pangkal paha, dan pantatnya malah diseterika.
Pernah pula Dewi diguyur air panas. Dan, kemaluannya, maaf, disiram Bayclin (pemutih kain) dan dimasuki cabe oleh majikan wanitanya. "Akibatnya, saya tidak pernah mengalami menstruasi sejak setahun lebih, hingga saat ini," ujar Dewi.
Selain itu, mulut Dewi dihajar. Giginya rontok lima. Tubuhnya dipukul dengan besi pembuka ban. Bahkan, cerita Dewi, putingnya dijepit dengan tang. Kalau cuma kepala dibenturkan ke tembok seakan sudah menjadi menu rutin. Keberingasan majikan dan anak-anaknya benar-benar tak tercegah.
Akibatnya, pendengaran Dewi terganggu. Jari tangannya tak mampu menggenggam. Dewi tak mungkin melarikan diri, sebab jika majikannya pergi atau bekerja, dia disekap di kamar mandi. Penderitaan itu dialami selama dua tahun dua bulan.
Pernah, suatu ketika Dewi melaporkan kasusnya kepada Kedutaan Besar RI, namun tidak ditanggapi. Dia malah disarankan kembali ke majikannya. Padahal, Dewi sudah diperlakukan tak manusiawi. Mengontak keluarganya di Sumbawa pun dilarang.
Dewi mengaku menjadi TKW sejak April 2000. Sesuai dengan kontrak, dia digaji 600 riyal per bulan. Tapi, hingga dia dipulangkan ke Tanah Air pada 17 Juni 2002, gajinya tak dibayarkan. Oleh majikannya, dia cuma dibekali uang 500 riyal, plus tiket ke Jakarta.
Syukurlah, oleh sesama TKW dari Nusa Tenggara Barat yang lagi mudik, Dewi dibantu. Riyalnya ditukar dengan rupiah untuk ongkos pulang ke Sumbawa, dan untuk membeli makanan. Bibinya menyambut kepulangan Dewi dengan trenyuh. Sang keponakan segera diusung ke Rumah Sakit (RS) Umum Sumbawa.
Melihat kondisi Dewi yang parah, dokter merujuknya ke RS Jiwa Mataram. Hasil visum menyebutkan, tangan Dewi patah, bagian kepala retak, dan telinganya rusak. Lima giginya yang rontok telah membuat saraf mata dan telinga Dewi terganggu.
Sebab itu, dokter mencabut sisa gigi lainnya. Akibat gangguan saraf tersebut, Dewi sering pusing. Ia juga kerap bermimpi buruk, dan menangis sendirian. Bagi Dewi, Arab Saudi adalah negeri yang telah menghancurkan hidupnya. Dia kapok memburu riyal.
Kini, dia tinggal di rumah bibinya di Dasan Agung, Mataram. Duit pun dia tak punya. "Bayangkan, sekarang saja Dewi hanya punya uang Rp 50.000," kata Lina, dari Yayasan Panca Karsa (YPK), kepada Hernawardi dari Gatra. YPK adalah lembaga advokasi kasus Dewi. Dia minta pemerintah mengusut kasusnya, sekaligus menuntut gaji yang belum dibayar majikannya.
Tenaga kerja Indonesia (TKI) telantar, diuber-uber karena ilegal, terancam hukuman mati, atau dianiaya di negeri orang memang tak sedikit. Yang diperkosa juga ada. Itu yang dialami Sri Suryani, 19 tahun, asal Desa Grugu, Kecamatan Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah. Ia mengaku diperkosa 21 kali oleh majikannya, Tan Sri Datuk Chang Joo Chiang asal Johor Baru, Malaysia.
Pada hari keempat ia bekerja, majikannya yang mendekati usia 80 tahun mendekapnya. Sri Suryani tak berkutik karena diancam. Runtuh sudah mahkotanya. Ia kembali ke Wonosobo pada 25 Juni 2002. Kisah duka itu kemudian ditulisnya dan dikirimkan ke presiden, Menteri Luar Negeri, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Ombudsman, dan Ketua Komisi VII DPR-RI.
Adakah jeritan mereka direspons pemerintah secara serius, belum jelas. Yang pasti, dari 730.000-an TKI di luar negeri pada 2001 diperoleh devisa US$ 1,1 milyar. Menteri Tenaga Kerja, Jacob Nuwa Wea, malah pernah menargetkan pemasukan devisa dari sektor ini hingga tahun 2005 sebesar US$ 5 milyar.
Ringgit, dolar, riyal, dan dinar memang diburu ribuan "pahlawan" TKI. Hanya saja, giliran mereka kelaparan, disiksa lantaran dianggap kurang memenuhi standar profesi, atau diperkosa karena dianggap mudah dihinakan, kita seakan tak berkutik. Atau sengaja diam, karena menganggapnya sebagai suratan nasib?
Jika demikian adanya, agaknya, ketidakpekaan kita sudah begitu parah. Kebajikan moral kita seakan terkubur oleh tumpukan uang, dan pergi jalan-jalan. Jalaluddin Rumi, penyair sufi terbesar Iran, menulis dalam sajaknya:
Cobalah jadi orang miskin
untuk satu-dua hari
dan dalam kemiskinan
akan ditemukan kekayaan berganda.
http://www.gatra.com/2002-10-07/artikel.php?id=21096
Jakarta, 3 Oktober 2002 16:54
NAMANYA Dewi Khaerani, usia 23 tahun. Tubuhnya agak berisi. Warga Desa Labuhan, Kecamatan Labuhan Badas. Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ini bercita-cita membantu ekonomi keluarganya yang morat-marit. Ia pun menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Arab Saudi.
Sejak ayahnya, petani penggarap, meninggal, keluarganya memang kembang-kempis. Wanita berpendidikan SLTP ini pun mendaftarkan diri sebagai TKW di PT Safina Daha Jaya, Sumbawa. Dewi dibawa ke Jakarta, lalu digodok di tempat penampungan selama sebulan.
Tiba di Arab Saudi, ia disambut sang majikan dengan muka manis. Dewi senang. Namun, "bulan madu" itu tak sampai sepekan, dan Dewi jadi keranjang makian. Dia dipukuli tanpa alasan jelas. Tak hanya itu, tangannya ditoreh dengan pisau. Punggung, pangkal paha, dan pantatnya malah diseterika.
Pernah pula Dewi diguyur air panas. Dan, kemaluannya, maaf, disiram Bayclin (pemutih kain) dan dimasuki cabe oleh majikan wanitanya. "Akibatnya, saya tidak pernah mengalami menstruasi sejak setahun lebih, hingga saat ini," ujar Dewi.
Selain itu, mulut Dewi dihajar. Giginya rontok lima. Tubuhnya dipukul dengan besi pembuka ban. Bahkan, cerita Dewi, putingnya dijepit dengan tang. Kalau cuma kepala dibenturkan ke tembok seakan sudah menjadi menu rutin. Keberingasan majikan dan anak-anaknya benar-benar tak tercegah.
Akibatnya, pendengaran Dewi terganggu. Jari tangannya tak mampu menggenggam. Dewi tak mungkin melarikan diri, sebab jika majikannya pergi atau bekerja, dia disekap di kamar mandi. Penderitaan itu dialami selama dua tahun dua bulan.
Pernah, suatu ketika Dewi melaporkan kasusnya kepada Kedutaan Besar RI, namun tidak ditanggapi. Dia malah disarankan kembali ke majikannya. Padahal, Dewi sudah diperlakukan tak manusiawi. Mengontak keluarganya di Sumbawa pun dilarang.
Dewi mengaku menjadi TKW sejak April 2000. Sesuai dengan kontrak, dia digaji 600 riyal per bulan. Tapi, hingga dia dipulangkan ke Tanah Air pada 17 Juni 2002, gajinya tak dibayarkan. Oleh majikannya, dia cuma dibekali uang 500 riyal, plus tiket ke Jakarta.
Syukurlah, oleh sesama TKW dari Nusa Tenggara Barat yang lagi mudik, Dewi dibantu. Riyalnya ditukar dengan rupiah untuk ongkos pulang ke Sumbawa, dan untuk membeli makanan. Bibinya menyambut kepulangan Dewi dengan trenyuh. Sang keponakan segera diusung ke Rumah Sakit (RS) Umum Sumbawa.
Melihat kondisi Dewi yang parah, dokter merujuknya ke RS Jiwa Mataram. Hasil visum menyebutkan, tangan Dewi patah, bagian kepala retak, dan telinganya rusak. Lima giginya yang rontok telah membuat saraf mata dan telinga Dewi terganggu.
Sebab itu, dokter mencabut sisa gigi lainnya. Akibat gangguan saraf tersebut, Dewi sering pusing. Ia juga kerap bermimpi buruk, dan menangis sendirian. Bagi Dewi, Arab Saudi adalah negeri yang telah menghancurkan hidupnya. Dia kapok memburu riyal.
Kini, dia tinggal di rumah bibinya di Dasan Agung, Mataram. Duit pun dia tak punya. "Bayangkan, sekarang saja Dewi hanya punya uang Rp 50.000," kata Lina, dari Yayasan Panca Karsa (YPK), kepada Hernawardi dari Gatra. YPK adalah lembaga advokasi kasus Dewi. Dia minta pemerintah mengusut kasusnya, sekaligus menuntut gaji yang belum dibayar majikannya.
Tenaga kerja Indonesia (TKI) telantar, diuber-uber karena ilegal, terancam hukuman mati, atau dianiaya di negeri orang memang tak sedikit. Yang diperkosa juga ada. Itu yang dialami Sri Suryani, 19 tahun, asal Desa Grugu, Kecamatan Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah. Ia mengaku diperkosa 21 kali oleh majikannya, Tan Sri Datuk Chang Joo Chiang asal Johor Baru, Malaysia.
Pada hari keempat ia bekerja, majikannya yang mendekati usia 80 tahun mendekapnya. Sri Suryani tak berkutik karena diancam. Runtuh sudah mahkotanya. Ia kembali ke Wonosobo pada 25 Juni 2002. Kisah duka itu kemudian ditulisnya dan dikirimkan ke presiden, Menteri Luar Negeri, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Ombudsman, dan Ketua Komisi VII DPR-RI.
Adakah jeritan mereka direspons pemerintah secara serius, belum jelas. Yang pasti, dari 730.000-an TKI di luar negeri pada 2001 diperoleh devisa US$ 1,1 milyar. Menteri Tenaga Kerja, Jacob Nuwa Wea, malah pernah menargetkan pemasukan devisa dari sektor ini hingga tahun 2005 sebesar US$ 5 milyar.
Ringgit, dolar, riyal, dan dinar memang diburu ribuan "pahlawan" TKI. Hanya saja, giliran mereka kelaparan, disiksa lantaran dianggap kurang memenuhi standar profesi, atau diperkosa karena dianggap mudah dihinakan, kita seakan tak berkutik. Atau sengaja diam, karena menganggapnya sebagai suratan nasib?
Jika demikian adanya, agaknya, ketidakpekaan kita sudah begitu parah. Kebajikan moral kita seakan terkubur oleh tumpukan uang, dan pergi jalan-jalan. Jalaluddin Rumi, penyair sufi terbesar Iran, menulis dalam sajaknya:
Cobalah jadi orang miskin
untuk satu-dua hari
dan dalam kemiskinan
akan ditemukan kekayaan berganda.