superme wrote:
Kenapa kalau mengatakan "AKU MENINGGALKAN AGAMA" atau "AKAU DISELAMATKAN DARI ISLAM" dan yang sejenisnya - selalu menunjukkan dirinya sebagai muslim, terutama yang ditonjolkan hijabnya. Ada penjelasan yang bisa diterima akal dari cara ini?
INI JAWABANNYA :
Aku Tidak Berjilbab Lagi
Mira Julia Putri Utari (Lala)
Susah juga yaaa... Sebenernya aku sih masih pengen pakai jilbab. Di luar alasan keyakinan, buatku memakai jilbab itu lebih nyaman, sudah menjadi kebiasaan, enak pula karena nggak perlu mikir mode rambut. Kalau ada tamu tinggal 'syuut' pake jilbab, sudah kelihatan rapi tanpa harus nyisir, he he he... Apalagi, katanya wajahku yang bandel ini jadi kelihatan 'alim' kalo pakai jilbab.
dan yang asiknya lagi jilbab ini juga bisa menutupi para jerawat di jidat, he he he... Banyak keuntungannya kan?
Malaikat Jibril dan Bunda Lia juga tidak pernah meminta Kaum Eden yang berjilbab untuk melepas jilbabnya setelah kami tidak menjalankan syariat Islam lagi. Memangnya jilbab itu hanya milik orang Islam? Bukan, kan? Bunda Maria, Bunda Theresa dan banyak tokoh wanita non muslim lainnya juga memakai penutup kepala.
Jadi kenapa harus buka jilbab? Bukankah itu menjadi sebuah simbol kesalehan?
Nah, itu juga yang menjadi keyakinanku sebenarnya, bahwa penutup kepala alias jilbab itu bukan milik satu kaum saja, tapi bisa menjadi cara berpakaian siapa saja.
Tapi (mungkin) karena aku tinggal di Indonesia yang mayoritas wanita bertutup kepala itu adalah orang Islam, jadi jilbab itu seolah identik dengan Islam. Padahal, nggak seharusnya begitu, kan? Terus, kalau sudah tidak memeluk agama Islam tapi masih pakai jilbab, dianggap tak konsisten, bahkan munafik karena masih memakai atribut Islam (alias jilbab). Soalnya, sebagian orang Islam menganggap jilbab itu milik mereka dan tidak boleh dipakai orang lain.
Eiits, jangan tersinggung dulu. Masalah ini bukan mengada-ada. Soalnya aku mengalami beberapa kejadian yang agak-agak nggak enak dengan status "Jilbab dan Sudah Bukan Islam" lagi ini. Beberapa orang bertanya, "Kenapa mbak Lala masih berjilbab ya, padahal katanya sudah nggak Islam lagi?", atau "Wah, aku pikir kamu sekarang sudah bisa kelihatan kupingnya". Secara tidak langsung, sebenarnya mereka mempertanyakan aku yang masih memakai jilbab, kan..?
Sebenarnya kalau masih sebatas pertanyaan-pertanyaan model begitu, aku nggak masalah. Sah-sah aja dong orang komentar... wong bener kok, aku ini sudah bukan Islam. Tapi yang menurutku nggak bener itu, emangnya kalo sudah bukan Islam terus nggak boleh pake jilbab? Bukannya di tempat-tempat yang menjalankan syariat Islam seperti di Aceh semua orang (termasuk yang bukan beragama Islam) malah disuruh pakai jilbab? Terus, yang bener menurut orang Islam yang mana donk, buka jilbab atau pakai jilbab...?
Tapi bukan pertanyaan orang-orang yang mempertanyakan jilbab yang membuatku akhirnya membuka jilbab. Justru kalo hanya itu, aku malah pengen 'sengaja' mempertahankan jilbabku, supaya orang-orang Islam itu bisa berbaik hati mau berbagi model pakaian dengan kami-kami yang non Islam ini
Tapi sebuah kejadian merubah pendirianku.
Suatu hari aku diundang sahabat SMA-ku ke sebuah acara perayaan sebuah hari raya umat Kristen. Kebetulan kami sangat akrab dan sering bertukar pikiran. Walau secara keyakinan kami berbeda, namun cinta di antara aku dan sahabatku itu membuat hubungan kami tetap baik (sangat baik malah). Dia sering datang ke rumah dengan saudara seimannya untuk bertukar cerita. Aku tidak pernah merasa di-Kristen-kan olehnya dan aku pun tak berusaha mempengaruhi dia dengan keyakinanku.
Karena kami berdua yakin bahwa selama yang disembah itu sama, Dia Yang Maha Esa, maka semua jalan menuju Dia itu menjadi indah untuk diceritakan. Seperti kalau kita sama-sama pengen ke Monas, aku naik KA Express dari Bogor, dia naik mobil dari Pasar Minggu. Pemandangannya lain doong.., yang dialami juga beda. Jadi pengalaman berkeretaku itu yang kubagi dengan pengalaman berkendaraan sahabatku.
Ketika dia mengundang aku untuk hadir di acaranya, aku membuka diriku untuk hadir. Kepadanya aku mengatakan keinginanku untuk hadir, semoga Tuhan mengizinkan dan memberikan waktunya. Lalu aku pun bertanya kepada Tuhan dengan cara membuka Kitab Suci sebagaimana yang biasa diajarkan oleh Malaikat Jibril di Eden. Dari ayat yang pertama terpandang, di situlah ada petunjuk Tuhan untuk masalah itu. Begitulah cara Malaikat Jibril mengajarkan kepada kami untuk mencari petunjuk personal dari Tuhan bagi masalah-masalah keseharian yang kami alami.
Ternyata ayat yang terbuka dan kudapat waktu itu mendorong aku untuk pergi ke acara itu. Aku senang sekali dibolehkan pergi ke acara itu. Aku memang senang melihat keberagaman cara tiap umat berdoa. Apalagi acara ini hanya satu tahun sekali.
Sebelum berangkat, mas Aar (suamiku) memintaku untuk tidak memakai jilbab ke acara itu. Aku keberatan, memangnya kenapa? Apa salahnya? Mas Aar merasa bahwa bagaimanapun sebagian besar orang Indonesia masih merasa bahwa jilbab itu adalah simbol Islam. Dan sebaiknya untuk menghadiri kebaktian ini aku tidak memakai jilbab karena nanti orang bisa rancu, menyangka ada orang Islam datang kebaktian.
Aku masih belum bisa menerima logika itu, kalau toh aku disangka orang Islam yang ikut kebaktian terus kenapa? Dulu juga kaum Eden sering diundang ke acara Natal bersama (waktu itu kami semua masih Islam) dan memakai jilbab. Nggak apa-apa, kan?
Kata Mas Aar, justru karena waktu itu kami masih Islam, maka nggak apa-apa. Sebab, waktu itu pengajaran Tuhan memang dimaksudkan untuk meretas jalan hubungan Islam-Kristen yang lapang. Tapi karena kami sekarang sudah bukan Islam, tapi berkeyakinan netral sebagaimana nabi Ibrahim, Mas Aar menjaga agar orang tidak berasumsi yang tidak-tidak ketika melihat jilbabku.
Pada waktu itu aku masih keberatan membuka jilbabku. Aku betul-betul tidak merasa bermasalah dengan penutup kepalaku ini. Mau dibilang apa juga rasanya aku nggak peduli. Tapi karena Mas Aar terus mendesak, akhirnya aku berkompromi hanya menutup kepalaku dengan scarf (masih kelihatan kupingnya) seperti orang Gipsy.
Ternyata penutup kepala itu memang menimbulkan "masalah". Walau mereka (sahabatku dan teman-teman gerejanya) menyambut kami dengan sangat baik, tapi aku sempat diberondong beragam pertanyaan. Dan sebenarnya yang paling membuatku tidak nyaman dengan jilbabku ini adalah karena kemudian pembicaraan itu sering dimulai dengan, "Saya dulu juga orang Islam, tapi setelah saya percaya .....dst".
No matter how hard I try to tell them bahwa aku ini seorang Spiritualis dan "Bukan Orang Islam", tetap saja mereka melihat aku sebagai orang Islam.
Walaupun aku berusaha mempersingkat percakapan dan beralih ke orang lain, eeeh... orang yang lain itu juga menyangka aku orang Islam. Yah karena jilbabku ini mungkin...
Ternyata, aku peduli dengan komentar itu. Mereka memang tidak mempertanyakan mengapa aku berjilbab padahal bukan Islam. Tapi pandangan kawan-kawan non-muslim bahwa jilbab itu adalah simbol Islam itu yang membuatku sadar bahwa suka tidak suka, mau tidak mau, saat ini jilbab memang sudah sangat lekat menjadi simbol umat Islam dan akan menjadi pembatas bagiku untuk dapat menyatu dengan sahabat-sahabatku yang bukan Islam.
Ternyata, seakrab apapun hubunganku dengan teman-teman non-Islam, jilbab yang kupakai itu tetap akan menimbulkan jarak.
Bila aku bernyanyi dan menyebut-nyebut '
Haleluya',
'Puji Tuhan' atau menyapa dengan '
om santi santi om', tetap saja umat non-Islam itu merasa salam itu diucapkan oleh seorang Islam.
Atau, orang Islam yang melihat sambil lalu bisa jadi akan merasa tersinggung dan marah karena orang berjilbab kok ngomong begitu.
Nanti aku dikenai pasal penodaan agama pula seperti Bunda dan Yang Mulia
Tapi aku sih sebenarnya nggak terlalu peduli apa kata orang. Aku juga nggak terlalu risau dengan resiko saat aku menjalani apa-apa yang aku yakini sebagai kebenaran dari Tuhan. Tapi ketika kebenaran dan kepentingan pribadiku berbenturan dengan kehendak-Nya, sudah waktunya aku untuk merenungkan kembali kebenaranku.
Balik lagi ke masalah jilbab, aku sebenarnya masih senang memakai jilbab karena banyak alasan seperti yang sudah kutuliskan. Tetapi ketika jilbab itu menjadi penghalang untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan untuk seluruh umat manusia, maka sudah saatnya aku merenungkan kembali alasanku memakai jilbab. Ketika Malaikat Jibril mengajarkan di Eden mengenai perdamaian antar-kelompok agama yang sangat diprioritaskan Tuhan, ketika aku diberi tanggung jawab untuk menyanyikan pesan-pesan Tuhan untuk semua umat beragama, maka semua kepentingan pribadi yang menghalangi misi Tuhan itu harus dapat kukalahkan.
Jadilah aku akhirnya memutuskan untuk melepaskan jilbabku.
Buat Mas Aar, masalah pakai/tidak pakai jilbab ini mungkin sebuah hal yang sepele, tapi buat aku ...ehm, it's a girl thing laah, cuman cewek yang ngerti. Walaupun aku jengah dan sebenarnya enggan, tapi ketika kehendak Tuhan itu terbatasi, maka kejengahan dan keengganan itu harus dapat kukalahkan. Dan kepentingan Tuhan harus kuutamakan. Ya sudahlah, jerawat dan rambut yang kacau ini tak dapat kututupi lagi...
It's my personal call. Aku merasa harus melakukannya karena Tuhan telah memperlihatkan logika-Nya ke dalam nuraniku. Aku ingin, ketika lagu-lagu perdamaian itu kunyanyikan, tidak ada lagi sekat dan penghalang yang tak perlu.
Lalu, untuk apa aku masih mempertahankan selembar penutup kepalaku ini bila kemudian hanya menjadi pembatas hati di antara umat beragama?
.