Al-Ghasali Murtadin dari Maroko: Islam Tak Bisa Direformasi

Orang-orang dari seluruh dunia yang murtad (termasuk dari FFInternasional). Siapa mereka dan mengapa mereka meninggalkan Islam ? Murtadin2 dari FFIndonesia silahkan masukkan pengakuan ke 'Mengapa Saya Murtad ?'
Post Reply
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Al-Ghasali Murtadin dari Maroko: Islam Tak Bisa Direformasi

Post by Adadeh »

Apakah Islam Bisa Direformasi?
Mar. 12, 2013 11:10am
Oleh Tiffany Gabbay

Image
Al-Ghasali, blogger Maroko yang murtad dan harus lari ke Swiss.

Setelah murtad meninggalkan Islam dan jadi atheis, blogger muda Kassim al-Ghasali menjadi target amarah Muslim di tanah airnya Maroko. Karena menerima ancaman bunuh terus-menerus, dia akhirnya mencari suaka politik di Switzerland, di mana dia sekarang hidup dalam lingkungan penuh kemerdekaan dan toleransi.

Al-Ghasali tidak sungkan untuk mengumumkan keyakinannya yang baru. Dia berpidato dalam pertemua Hak² Azasi Kemanusiaan dan Demokrasi di Genewa, di bulan February lalu. Setelah itu dia lalu diwawancarai koran berbahasa Jerman Die Welt. Dalam wawancara tersebut, dia lalu mengutarakan pendapatnya tentang Arab Spring (Kebangkitan Bangsa Arab), kenapa dia yakin Islam tidak bisa diubah bentuk (diformasi) seperti yang terjadi pada agama Kristen dulu, dan mengapa Muslim moderat harus jujur mengakui unsur “teror dan kekerasan” – atau lebih tepatnya “horor (kengerian) seutuhnya” – sebagai bagian dari Qur’an.

Al-Ghasali juga menambahkan bahwa Qur’an merupakan “buku politik dan sejarah, dan bukan firman Allah” dan bahwa Islam tidak dapat direformasi karena isinya sangat bertentangan dengan pandangan pencerahan (enlightment = mengutamakan pemikiran berdasarkan akal, ilmu pengetahuan, pengamatan sekuler) dalam dunia Barat, yang dulu merupakan faktor utama untuk mereformasi Kristen.

Menurut pendapatku, tidak mungkin terjadi reformasi atau pencerahan dalam Islam Sunni atau Syiah, karena tiada mesjid yang bisa diubah,” kata al-Ghasali pada Die Welt.

“Dalam Islam, umat Muslim merupakan budak yang tunduk di bawah kekuasaan Qur’an yang mengandung perintah untuk ditaati. Identitas dan pengenalan diri umat Muslim berasal dari Qur’an. Jika Muslim bisa menggunakan akalnya tanpa perintah dari Qur’an yang dipercayai sebagai firman Tuhan, maka Muslim bisa mengalami pencerahan (sadar Islam itu ngawur). Tapi di jaman sekarang sih kebanyakan Muslim menolak gagasan Pencerahan Barat.

Dia menyinggung sejarah, “Ada beberapa usaha di jaman dulu untuk mereformasi Islam, tapi gak diterima Muslim pada umumnya.”

“Setiap Muslim moderat yang ingin mereformasi Islam harus mengakui terlebih dahulu bahwa terdapat pesan teror dan kekerasan dalam Islam. Pesan horo yang sejati. Tapi tiada Muslim yang bisa mengakui bahwa Islam adalah buku bertujuan politik, berisi keterangan sejarah saja, dan bukan firman Allah.”

Dr. Zuhdi Jasser , penulis “Battle for the Soul of Islam” (Peperangan untuk Jiwa Islam) dan pendiri American Islamic Forum for Democracy (AIFD)tidak setuju dengan pendapat Al-Ghasali, akan tetapi, dia mengatakan pada majalah The Blaze bahwa blogger itu “mencampurkan beberapa konsep pemikiran yang berbeda” sehingga “dia menyamaratakan seluruh Muslim.”

Image
M. Zuhdi Jasser, M.D.

“Sesuka dia mau percaya bagaimanapun,” kata Jasser. Dia juga berpendapat bahwa tidaklah benar bahwa Pencerahan Barat berperan dalam reformasi Kristen karena reformasi iman dilakukan oleh beberapa orang saja dan bukan oleh gerakan massal menyeluruh.

“Aku setuju bahwa perubahan tidak bisa terjadi dari atas ke bawah, tapi ada banyak sekali Muslim yang telah menjelaskan perlunya pemisahan antara mesjid dan negara,” kata Jasser sebelum menjelaskan bahwa keseluruhan Islam tidak bisa dijabarkan berdasarkan pendapat ulama yang bermotivasi politik Islam.

“Dia (Al-Ghasali) tidak mengajukan pemecahan masalah apapun. Apakah maksud dia semua Muslim harus meninggalkan Islam?” tanya Jasser. Penulis dan pemegang gelar doktor (S3) ini juga menjelaskan bahwa dia “setuju sekali” bahwa Qur’an mengandung “unsur horror sejati” dan dia menjelaskan bahwa, sama seperti beberapa pasal di Alkitab Perjanjian Lama, ada bagian kitab yang mengandung keterangan tentang neraka. “Islam itu bukan agama untuk orang pasif, dan ada latar belakang sejarah di mana Allah mengatakan pada Muslim bahwa mereka boleh berperang untuk membela diri.”

“Kami menggunakan ayat² ini untuk menguatkan diri kita pribadi dan bukannya untuk menyelenggarakan perang seperti yang dulu terjadi di abad ke 6 M,” kata Jasser.

Tapi bagaimana dengan Arab Spring? Apakah gerakan ini merupakan gerakan moderat Islam dan bukan fanatik Islam?

Tentang hal ini, Al-Ghasali mengajukan pemikiran cemerlang berdasarkan pertanyaan APA, dan bukan SIAPA, yang benar² memotori gerakan Arab Spring. Dia menjelaskan bahwa para pendukung Arab Spring “ingin agar setiap orang berpikir sama, berbaju sama, dan bersholat dalam waktu yang sama.

Kebanyakan pendukung Arab Spring tidak percaya sama hak azasi kemanusiaan model Barat. Bagi mereka, demokrasi hanyalah tangga untuk mencapai kekuasaan. Setelah berkuasa di puncak, mereka akan mengasah pisau dan memotong tali tangga agar tidak ada partai politik lain yang bisa naik ke atas. Yang terjadi di Dunia Arab sekarang ini serupa dengan apa yang dialami Eropa di abad ke 17 dan 18. Perbedaannya adalah masa itu di Eropa memunculkan berbagai filsuf dan pemikir pencerahan. Sebaliknya dengan dunia Arab, yang muncul malahan pendukung hukum Allah dan pengikut Islam yang lalu berkuasa."

Dalam hal ini, Jasser setuju akan pendapat Al-Ghasali. Dia mengatakan pada The Blaze bahwa tingginya tingkat buta huruf dan rendahnya pendidikan di negara² Timur Tengah dan Maghrib membuat para wanita dan pria tiap hari tertipu para ulama yang tak punya niat baik.

Karena generasi muda Muslim Maroko berminat menjalankan hukum Syariah dan ibadah Islam seperti yang dijabarkan oleh para ulama dan imam untuk mencapai dominasi dunia, maka dia terpaksa meninggalkan negaranya dan agamanya.

“Di Islam berlaku budaya yang mengontrol segalanya: hubungan pribadi, pendapat pikiranmu, bahkan juga khayalanmu dan impian²mu,” jelasnya tentang Islam.

“Budaya Islam tidak mengijinkan orang untuk berbeda pendapat atau pikiran. Budaya Islam menancapkan hidungnya ke segala hal.”

Dia berkata bahwa sungguhlah “tak masuk akal untuk mengajak Muslim menghormati hak azasi manusia, sedangkan Islam menyuruh mereka membunuh kafir, menindas wanita, dan menjajah masyarakat minoritas.”

Tentang hal ini, aktivis HAM di negara² Islam yakni Nonie Darwish setuju. Direktur Arabs for Israel dan pengarang buku “Now They Call Me Infidel” ini meninggalkan Islam karena alasan serupa dengan Al-Ghasali.

Image
Nonie Darwish

Dia mengatakan pada The Blaze bahwa baginya, Islam dan perdamaian dunia sungguhlah “tidak sejalan.”

“Aku tak bisa menjadi Muslim dan berdamai dengan dunia,” katanya. “Aku tidak bisa berdamai dengan Islam dan dunia pada waktu yang bersamaan. Masalahnya dengan Islam adalah agama ini sangat kaku dalam melihat orang lain yang berbeda. Islam tidak bisa bersanding dengan sikap damai di dunia.”

Darwish mengatakan bahwa jika dia ingin tetap jadi Muslimah, maka dia harus “menipu diri sendiir” atau “menciptakan Islam versi lain yang sebenarnya tak ada.”

“Ideologi Islam itu sangat ngotot menentang non-Muslim. Sebagian besar isi Qur’an berkutat mengutuki non-Muslim. Aku pikir sungguh munafik untuk menyebut diri sebagai Muslim dan lalu mengaku mengasihi seluruh dunia karena jika Muslim membaca kitab sucinya, yang mereka dapatkan hanyalah caci-maki dan kutuk terhadap kafir saja. Sungguh munafik untuk menjajarkan Islam dengan cinta damai.”

Darwish juga menjelaskan bahwa Muslimah “membuat kontrak perjanjian dengan negara Islam, dan bukan hubungan dengan Allah.”

“Jika kau meninggalkan dunia Islam, maka Pemerintah Islam atau Muslim manapun bisa membunuhmu,” jelasnya. “Islam itu bukan agama.”

Akan tetapi, Jasser yakin bahwa orang tetap bisa jadi Muslim moderat, dan ini lebih mudah dilakukan di dunia Barat. Jika reformasi Islam benar² bisa dilaksanakan, maka hanya di dunia Barat saja hal ini bisa terjadi, katanya.

“Ini merupakan tantangan pekerjaanku dan kerjasama pimpinan Islamiah,” katanya pada The Blaze. “Semua juga sadar bahwa ini perjuangan yang sukar melawan institusi² agama yang sudah bertekad untuk menggunakan tafsir Islam utama akan kepercayaan kami.”

Dia juga menjelaskan bahwa sekitar 200 keluarga Muslim lokal yang mengenalnya dan keluarganya di tempat tinggalnya di Arizona bukanlah orang² munafik yang tak bisa mengasihi sesama atau tak punya kapasitas mengasihi orang lain. Bagi Jasser, pendapat bahwa Muslim tak bisa mengasihi non-Muslim tidaklah berdasar pada realitas.

Dia tidak menyangkal fakta adanya pasal² sarat kekerasan dalam Qur’an dan ahadis dan bahkan mengakui jumlahnya sangat banyak. Tapi dia mengatakan bahwa penjelasan Qur’an tentang api neraka adalah tentang “peringatan Allah bagi Muslim bahwa yang melupakan Allah akan menderita,” dan ini bukannya “hal yang bisa diterapkan seorang manusia pada orang lain.”

Dengan kata lain, Jasser bersikeras bahwa firman Allah di Qur’an adalah bagi setiap individu saja dan bukan untuk membuat Muslim atau Muslimah menghakimi orang lain.

Meskipun banyak Muslim yang yakin bahwa Islam bisa direformasi, Darwish tetap berpendapat bahwa hal itu tak mungkin bisa dilaksanakan. Dia berkata pada The Blaze bahwa dia tidak meninggalkan Islam agar bisa jujur pada diri sendiri.

“Menurut pendapatku, Islam tidak bisa diubah, tapi aku tak akan mengambil keputusan bagi Muslim lain.”

“Muslim moderat itu malah sebenarnya membuka jalan bagi Muslim radikal,” katanya. “Hal ini karena mereka tidak mengecam Muslim radikal, dan malah cari berbagai alasan untuk membuat Islam tampak baik.”

Al-Ghasali juga setuju dengan pendapat Darwish. Dalam wawancaranya dengan Die Welt, blogger Maroko ini menjelaskan bahwa keluarganya sendiri tidak mendukungnya sewaktu dia murtad dari Islam.

“Mereka juga tidak mendukungku saat berbagai demonstrasi protes berlangsung di depan rumahku,” katanya. “Karena itu aku harus meninggalkan rumahku dan kotaku dan menyembunyikan diri sampai dapat ijin untuk masuk ke Switzerland.”

Sebagai Muslim, meninggalkan Islam atau pindah agama membuat mereka disebut sebagai murtadun – dan inilah gelar yang disandang Darwish dan Al-Ghasali saat ini. Hukuman murtad dalam Islam sangatlah berat di negara² Islam yang menerapkan Syariah. Murtadun bisa dipenjara dan dihukum mati.

Al-Ghasali berkata bahwa dia hanya akan balik lagi ke Maroko jika negara itu “sudah sembuh dari kanker Islam.”

Al-Ghasali Murtadin dari Maroko: Islam Tak Bisa Direformasi
Al-Ghasali Murtadin dari Maroko: Islam Tak Bisa Direformasi Alternative
Alternative Rss Feed
Faithfreedompedia
Post Reply