Menyadarkan Ayahku tentang Islam dan Akibatnya yang Fatal
Posted: Sat Jul 30, 2011 9:10 am
Menyadarkan Ayahku tentang Islam dan Akibatnya yang Fatal
Jum’at, 29 July 2011 03:15
Oleh: Mirza Ghalib (Murtadin yang menulis tentang Ramadan di Saudi)
Artikel ini ditujukan bagi Muslim yang berharap untuk menemukan fakta sebenarnya akan Islam, sadar akan kesukaran dalam menghadapi wajah Islam yang sebenarnya; dan bahwa kesadaran itu bisa berakibat fatal seperti yang terjadi pada ayahku.
Aku adalah bekas Muslim non-Arab dari India. Aku pergi ke Saudi Arabia sebagai Muslim taat dan bekerja di sana selama sepuluh tahun. Setelah itu aku pulang kembali ke negaraku tercinta India sebagai seorang Atheis. Sejak kecil aku dididik orangtuaku untuk melakukan sholat lima waktu dan membaca Qur’an setiap hari dalam bahasa Arab. Berdasarkan standard India Muslim, aku dianggap sebagai Muslim yang sempurna.
Terdapat beberapa faktor yang membuatku meninggalkan Islam dan jadi Atheis di Saudi Arabia. Salah satunya yang terpenting adalah: Aku diejek para kolega Arabku sebagai Muslim yang tak sempurna. Ejekan ini menghina kebanggaanku sebagai Muslim, karena aku pikir aku adalah Muslim yang sempurna.
Siksaan mental dari mereka ini mendorongku untuk mempelajari dan menganalisa Islam. Mereka mentertawakanku setelah tahu aku tak mengerti makna Qur’an dalam bahasa Arab. Karenanya, aku membaca terjemahan Qur’an dalam bahasa asliku yakni Urdu, dan ini belum pernah kulakukan sebelumnya. Di India, kami tidak pernah membaca Qur’an dengan bahasa kami sendiri. Kami harus membacanya dengan bahasa suci Allah dan Nabi – “bahasa surgawi” – yakni bahasa Arab. Meskipun kami tak tahu satu pun makna huruf Arab, kami kira kami akan mendapatkan pahala dengan melafalkan ayat² Qur’an dalam bahasa Arab.
Ketika teman² kerja Arabku mengejekku karena tak mengerti makna Qur’an, aku lalu membaca Qur’an dalam bahasa Urdu agar aku mengerti maknanya dan bisa jadi Muslim sempurna.
Ketika mulai membaca Qur’an dalam bahasa Urdu, aku sangat kaget dan bingung setelah beberapa halaman. Banyak ayat yang mengandung pesan yang sangat barbar. Bukannya curiga akan ajaran Islam, aku malahan mengira mungkin pengertianku akan bahasa Urdu tidak cukup baik. Maka aku membaca terjemahan bahasa lain, termasuk Inggris. Ternyata semua terjemahan mengandung makna yang sama: baik Qur’an terjemahan Urdu atau Inggris menjelaskan makna ayat² yang sama. Setelah itu aku yakni pengertian bahasa Urduku benar, dan yang jadi masalah adalah makna Qur’an itu sendiri.
Setelah pulang dari Saudi Arabia ke India sebagai seorang Atheis, aku merasa kasihan terhadap kedua orangtuaku yang telah uzur. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu sholat lima kali sehari, ditambah sholat tahajud tengah malam. Selain itu, mereka selalu ketakutan menghadapi kematian dan siksaan yang akan mereka terima di kuburan sebagai bagian dari ajaran Islam. Sebagai putra yang mencintai orangtua dan sebagai manusia yang bertanggung-jawab, aku bersumpah untuk memerdekakan kedua orangtuaku dari jerat dan tirani dogma Islam.
Tapi ternyata susah banget untuk menjelaskan kesalahan Islam pada Muslim yang telah berusia 70 tahunan. Aku jelaskan pada orangtuaku kisah lengkapku di Saudi Arabia: perilaku kurang ajar dan menghina dari para Muslim Saudi terhadap non-Muslim dan juga Muslim non-Arab.
Kedua orangtuaku seketika menolak keteranganku karena tak siap menghadapi fakta aneh tentang saudara² Arab Muslim mereka. Para Muslim non-Arab sangat memandang tinggi para Muslim Saudi karena merekalah yang memiliki Tanah Suci, tanahnya Muhammad, nabi junjungan mereka. Perlu kutekankan bahwa aku tak membenci orang² Saudi, yang telah ditipu habis²an oleh Muhammad dan Islamnya. Sebaliknya, aku merasa kasihan pada mereka, karena merekalah korban Islam yang pertama dan yang paling jelek nasibnya.
Karena aku tak menyerah dalam rangka meyakinkan kedua orangtuaku akan Islam, akhirnya mereka percaya akan keteranganku akan orang² Muslim Saudi. Tapi untuk membebaskan Islam dari tingkah dan perbuatan jelek Muslim² Saudi, mereka mengeluarkan argumen baru: “Mungkin kamu benar, sebab tingkah laku jelek orang Saudi juga telah membuat Nabi kita tercinta jadi susah di masa hidupnya.”
Kedua orangtuaku mencoba membela Nabi Muhammad, satu²nya orang Saudi, gara² begitu banyak kisah bagus yang mereka dengar akan dia. Lalu aku pun menjelaskan tentang sifat Muhammad yang sebenarnya, seperti yang tertulis di berbagai hadis, dan inilah yang membuat orang² Saudi berperilaku sama jeleknya seperti Nabi mereka. Orangtuaku berkata bahwa mereka tak percaya hadis, karena kebanyakan telah ditulis oleh para musuh Islam.
Karena mereka berkata tak percaya pada ahadis (hadis²), dengan frustasi aku katakan pada mereka bahwa mereka tak perlu sholat lima waktu sebab Qur’an tak menyebutkan apapun tentang sholat lima waktu, dan bahwa keterangan itu hanya ada di hadis.
Meskipun kebanyakan Muslim percaya bahwa ahadis merupakan perbuatan dan perkataan suci Nabi, tapi sekarang banyak Muslim non-Arab yang menggunakan taktik baru dalam mengahadapi ahadis yang tak mereka sukai. Kata mereka, jika ahadis bertentangan dengan moral dan etika budaya lokal, maka ini berarti ahadis itu lemah. Mereka diajari para mullah bahwa kebanyakan ahadis, yang sebenarnya menunjukkan perilaku asli Muhammad, yang tak sesuai dengan budaya² lokal berarti ditulis oleh para musuh Islam.
Budaya Saudi Arabia, yang sangat cocok dengan ajaran² Islam dalam Qur’an, tidak cocok dengan budaya lain di seluruh dunia. Aku beri satu contoh perbedaan budaya yang kusaksikan sendiri di Saudi Arabi. Aku menyaksikan seorang pria tua berusia lebih dari 75 tahun, dengan dua istri yang masih hidup, menikah lagi dengan gadis remaja Yordania usia 17 tahun. (Ini karena “harga” gadis remaja di Yordania lebih murah daripada di Saudi Arabia. Maaf saja, tapi begitulah yang sebenarnya.) Setelah pria uzur ini kembali bersama istri mudanya, para putranya yang berpendidikan tinggi, usia antara 40 sampai 50 tahun, semuanya memberikan sambutan hangat padanya. Mereka merangkulnya, bertepuk tangan dan bernyanyi baginya. Mereka semua tak peduli sama sekali terhadap nasib para ibu mereka. Mereka berbagi sukacita dengan memuji-muji “kejantanan” ayah mereka dengan para tetangga dan teman². Bahasa yang mereka gunakan untuk memuji-muji “kejantanan” sang ayah tak bisa kujabarkan di sini karena terlalu kasar dan porno. Perilaku para anak laki dewasa ini sungguh bertentangan dengan pendidikan tinggi mereka. Tidaklah mungkin masyarakat beradab bisa mengadopsi budaya rendah seperti ini, bahkan tidak pula masyarakat Muslim non-Arab sekalipun.
Dengan begitu, kesalahan tertuju pada budaya Islam yang diciptakan dan dianjurkan oleh Muhammad, yang jelas tampak dalam berbagai hadis. Di atas semuanya, doktrin Islam mewajibkan Muslim untuk meniru tingkah laku dan perbuatan Muhammad sepersis mungkin.
Untuk mengatasi hal ini, para mullah (Muslim non-Arab) berusaha sebisa mungkin untuk menolak hadis² bermoral rendah yang tak sesuai dengan budaya lokal (Muslim non-Arab) dengan mengatakannya sebagai lemah dan tak asli, sekalipun hadis² itu berasal dari koleksi hadis Al-Bukhari Sahih – yang sebenarnya dianggap sebagai buku kedua tersuci Islam setelah Qur’an.
Aku jelaskan pada kedua orangtuaku tentang enam koleksi hadis dari berbagai ahadis yang luar biasa banyaknya. Iman Islam mereka begitu dalam sehingga aku gagal meyakinkan mereka. Tapi aku bukanlah orang yang mudah putus asa. Aku lalu tunjukkan pada mereka ayat² Qur’an yang meminta Muslim untuk mengikuti sunnah Nabi dan juga ayat² Qur’an lain yang sukar untuk dilaksanakan.
Lalu ayahku, di usia 70 tahunan, mulai membaca Qur’an untuk pertamakalinya dalam bahasanya yang asli yakni Urdu, persis seperti yang kulakukan dulu. Dalam sepanjang usia 70 tahunnya, dia telah membaca Qur’an dalam bahasa Arab setiap hari, tapi dia tak pernah mengerti maknanya. Ibuku buta huruf, sama seperti kebanyakan Muslimah di India dan tak pernah membaca Qur’an, baik dalam bahasa Arab sekalipun.
Setelah membaca beberapa halaman Qur’an dalam bahasa Urdu, ayahku juga jadi merasa terganggu karena tak bisa menerima pesan ayat² tersebut. Karena merasa sangat kaget, dia mulai meragukan kebenaran sang penerjemah dan penerbit buku Qur’an itu dan lalu berhenti membaca. Dia lalu mulai menegurku karena membeli Qur’an yang menurutnya tentu dicetak oleh para musuh Islam – yakni orang² Hindu dan Kristen.
Aku mampu meyakinkan ayah dengan fakta tercantum bahwa terjemahan dilakukan oleh para ahli Islam dan diterbitkan bagi Muslim. Ayah lalu bertanya padaku: Mengapa Muslim mencetak terjemahan Qur’an yang salah? Aku jelaskan padanya bahwa para ahli Islam dan pihak penerbit tidak bersalah; dan masalahnya terletak pada keyakinan seumur hidupnya yang salah akan Islam sebagai agama illahi yang sempurna. Ayahku tidak siap untuk menerima keteranganku, dan dia pun tak sanggup untuk membaca Qur’an lebih lanjut karena takut kehilangan imannya.
Aku berusaha menganjurkannya untuk terus membaca Qur’an, dengan berkata alasan takut kehilangan iman tidaklah masuk akal. Tapi dia benar² menolak untuk terus membaca dan aku pun gagal lagi dalam usahaku. Di sini para pembaca bisa melihat tingginya taraf kebodohan Muslim umum akan Islam. Mereka tidak mengerti wajah Islam yang sebenarnya, dan mereka juga menolak mentah² usaha untuk mencerdaskan diri sendiri akan Islam.
Aku terus berharap bahwa ayahku akhirnya akan bisa menyadari ajaran Islam yang sebenarnya dan membebaskan dirinya dari jeratan Islam. Akhirnya setelah hampir 10 tahun berlalu, ayahku membaca seluruh Qur’an dalam bahasa Urdu. Aku sangat gembira karena ayahku di usia 80 tahu berani membaca Qur’an secara menyeluruh. Kejahatan yang dilakukan Osama bin Laden dan Al-Qaeda-nya di tahun² belakangan ini merupakan bagian penting dari usahaku untuk mendorongnya membaca Qur’an dan mengerti maknanya. Dulu ketika dia mendengar berita² terorisme Al-Qaeda yang keji, dia lalu akan mulai memaki Osama. Tapi aku mengatakan padanya, seakan-akan mau membela Osama, bahwa dia adalah Muslim terbaik karena mengikuti ajaran Qur’an dan hadis sepenuhnya. Kekejian yang dilakukan para Muslim pengikut Osama dalam nama Islam, ditambah lagi dengan argumenku akan Osama, membuat ayah ingin tahu dan membaca Qur’an dalam bahasa Urdu dengan harapan akan menemukan pesan Islam yang sebenarnya. Terima kasih, Osama.
Lalu ayah meminta padaku untuk menunjukkan beberapa hadis yang dulu kugunakan untuk meyakinkan dirinya akan sisi gelap Islam. Tapi aku terlalu malu untuk menjelaskan berbagai hadis porno tentang Muhammad pada ayahku. Malahan sebagian besar hadis mengutamakan sex dan kekerasan. Maka aku beritahu ayah untuk membacanya sendiri, dan jangan mendengarkan dari orang lain. Dia membaca beberapa hadis dan lalu berhenti karena tak sanggup membaca lebih lanjut. Imannya runtuh sudah dan mengatakan isi hadis itu hanyalah kotoran belaka.
Membaca Qur’an, Sira Nabi, dan beberapa hadis dalam bahasa yang dimengertinya membuat ayah jadi depresi dan kemungkinan hal ini juga berakibat buruk bagi kesehatannya. Dia tak mampu bangkit dari rasa terkejutnya. Dia berulang kali bertanya padaku, bagaikan anak kecil inosen, tentang apa hasil yang akan diterimanya selama 80 tahun membaktikan diri pada Islam, dan bagaimana dengan waktunya yang berharga yang terbuang sia² karena melakukan sholat lima waktu, sholat tahajud, dan berbagai ibadah Islam lainnya. Aku menghibur dirinya dengan mengatakan bahwa dia tak usah khawatir akan masa lalu. Aku menganjurkannya untuk berbahagia karena dia telah bebas dari rasa takut hukuman di kuburan atau siksaan di neraka. Dia lalu percaya akan keteranganku, tapi dia masih tidak bisa terima bahwasanya dia telah ditipu para mullah seumur hidupnya. Dia berterima kasih padaku karena menyelamatkannya dari horor kuburan dan neraka Islam.
Sedihnya, aku kehilangan ayahku beberapa bulan setelah dia mengetahui wajah Islam yang sebenarnya, karena dia tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Tidak hanya iman Islamnya yang hancur, tapi juga kesehatannya.
Ayah merupakan Muslim yang sangat taat dan menghabiskan seluruh hidupnya (termasuk beberapa bulan terakhir sebelum wafat) untuk sholat dan membaca Qur’an dalam bahasa Arab – “bahasa surgawi” – tanpa mengerti maknanya. Di hari² terakhirnya, dia merasa sangat kecewa tidak hanya karena telah menyia-nyiakan waktu berharga dalam hidupnya, tapi juga karena sebagai orang yang berpendidikan tinggi, dia ternyata telah ditipu para mullah selama 80 tahun, dan ini semua membuat kesehatannya semakin memburuk sehingga akhirnya dia mati.
Awalnya, aku merasa bersalah atas kematiannya. Ini semua berhubungan dengan usahaku dalam meyakinkan dirinya tentang ajaran Islam. Tapi jika kuingat hari² terakhir ayah, aku juga merasa puas karena melihat ayah menghadapi kematian dengan penuh percaya diri, tanpa takut akan siksaan dan hukuman neraka yang diajarkan Islam. Sebenarnya aku merasa bangga karena telah berhasil memerdekakan ayahku dari ajaran jahat Islam. Aku yakin dia telah menerima usahaku menyadarkannya akan Islam sebagai pemberian terbaik dari seorang anak kepada bapak yang telah mencintai dan mengasihiku.
Bagi seorang Muslim, menyadari kebenaran akan Islam merupakan perjuangan terberat dalam hidup. Rasa terkejut yang mereka alami sangat sukar ditanggung, dan pada ayahku hal ini bisa berakibat fatal. Para Muslim yang mencari kebenaran akan wajah Islam sebenarnya haruslah siap mental sebelum melakukannya.
Jum’at, 29 July 2011 03:15
Oleh: Mirza Ghalib (Murtadin yang menulis tentang Ramadan di Saudi)
Artikel ini ditujukan bagi Muslim yang berharap untuk menemukan fakta sebenarnya akan Islam, sadar akan kesukaran dalam menghadapi wajah Islam yang sebenarnya; dan bahwa kesadaran itu bisa berakibat fatal seperti yang terjadi pada ayahku.
Aku adalah bekas Muslim non-Arab dari India. Aku pergi ke Saudi Arabia sebagai Muslim taat dan bekerja di sana selama sepuluh tahun. Setelah itu aku pulang kembali ke negaraku tercinta India sebagai seorang Atheis. Sejak kecil aku dididik orangtuaku untuk melakukan sholat lima waktu dan membaca Qur’an setiap hari dalam bahasa Arab. Berdasarkan standard India Muslim, aku dianggap sebagai Muslim yang sempurna.
Terdapat beberapa faktor yang membuatku meninggalkan Islam dan jadi Atheis di Saudi Arabia. Salah satunya yang terpenting adalah: Aku diejek para kolega Arabku sebagai Muslim yang tak sempurna. Ejekan ini menghina kebanggaanku sebagai Muslim, karena aku pikir aku adalah Muslim yang sempurna.
Siksaan mental dari mereka ini mendorongku untuk mempelajari dan menganalisa Islam. Mereka mentertawakanku setelah tahu aku tak mengerti makna Qur’an dalam bahasa Arab. Karenanya, aku membaca terjemahan Qur’an dalam bahasa asliku yakni Urdu, dan ini belum pernah kulakukan sebelumnya. Di India, kami tidak pernah membaca Qur’an dengan bahasa kami sendiri. Kami harus membacanya dengan bahasa suci Allah dan Nabi – “bahasa surgawi” – yakni bahasa Arab. Meskipun kami tak tahu satu pun makna huruf Arab, kami kira kami akan mendapatkan pahala dengan melafalkan ayat² Qur’an dalam bahasa Arab.
Ketika teman² kerja Arabku mengejekku karena tak mengerti makna Qur’an, aku lalu membaca Qur’an dalam bahasa Urdu agar aku mengerti maknanya dan bisa jadi Muslim sempurna.
Ketika mulai membaca Qur’an dalam bahasa Urdu, aku sangat kaget dan bingung setelah beberapa halaman. Banyak ayat yang mengandung pesan yang sangat barbar. Bukannya curiga akan ajaran Islam, aku malahan mengira mungkin pengertianku akan bahasa Urdu tidak cukup baik. Maka aku membaca terjemahan bahasa lain, termasuk Inggris. Ternyata semua terjemahan mengandung makna yang sama: baik Qur’an terjemahan Urdu atau Inggris menjelaskan makna ayat² yang sama. Setelah itu aku yakni pengertian bahasa Urduku benar, dan yang jadi masalah adalah makna Qur’an itu sendiri.
Setelah pulang dari Saudi Arabia ke India sebagai seorang Atheis, aku merasa kasihan terhadap kedua orangtuaku yang telah uzur. Mereka menghabiskan begitu banyak waktu sholat lima kali sehari, ditambah sholat tahajud tengah malam. Selain itu, mereka selalu ketakutan menghadapi kematian dan siksaan yang akan mereka terima di kuburan sebagai bagian dari ajaran Islam. Sebagai putra yang mencintai orangtua dan sebagai manusia yang bertanggung-jawab, aku bersumpah untuk memerdekakan kedua orangtuaku dari jerat dan tirani dogma Islam.
Tapi ternyata susah banget untuk menjelaskan kesalahan Islam pada Muslim yang telah berusia 70 tahunan. Aku jelaskan pada orangtuaku kisah lengkapku di Saudi Arabia: perilaku kurang ajar dan menghina dari para Muslim Saudi terhadap non-Muslim dan juga Muslim non-Arab.
Kedua orangtuaku seketika menolak keteranganku karena tak siap menghadapi fakta aneh tentang saudara² Arab Muslim mereka. Para Muslim non-Arab sangat memandang tinggi para Muslim Saudi karena merekalah yang memiliki Tanah Suci, tanahnya Muhammad, nabi junjungan mereka. Perlu kutekankan bahwa aku tak membenci orang² Saudi, yang telah ditipu habis²an oleh Muhammad dan Islamnya. Sebaliknya, aku merasa kasihan pada mereka, karena merekalah korban Islam yang pertama dan yang paling jelek nasibnya.
Karena aku tak menyerah dalam rangka meyakinkan kedua orangtuaku akan Islam, akhirnya mereka percaya akan keteranganku akan orang² Muslim Saudi. Tapi untuk membebaskan Islam dari tingkah dan perbuatan jelek Muslim² Saudi, mereka mengeluarkan argumen baru: “Mungkin kamu benar, sebab tingkah laku jelek orang Saudi juga telah membuat Nabi kita tercinta jadi susah di masa hidupnya.”
Kedua orangtuaku mencoba membela Nabi Muhammad, satu²nya orang Saudi, gara² begitu banyak kisah bagus yang mereka dengar akan dia. Lalu aku pun menjelaskan tentang sifat Muhammad yang sebenarnya, seperti yang tertulis di berbagai hadis, dan inilah yang membuat orang² Saudi berperilaku sama jeleknya seperti Nabi mereka. Orangtuaku berkata bahwa mereka tak percaya hadis, karena kebanyakan telah ditulis oleh para musuh Islam.
Karena mereka berkata tak percaya pada ahadis (hadis²), dengan frustasi aku katakan pada mereka bahwa mereka tak perlu sholat lima waktu sebab Qur’an tak menyebutkan apapun tentang sholat lima waktu, dan bahwa keterangan itu hanya ada di hadis.
Meskipun kebanyakan Muslim percaya bahwa ahadis merupakan perbuatan dan perkataan suci Nabi, tapi sekarang banyak Muslim non-Arab yang menggunakan taktik baru dalam mengahadapi ahadis yang tak mereka sukai. Kata mereka, jika ahadis bertentangan dengan moral dan etika budaya lokal, maka ini berarti ahadis itu lemah. Mereka diajari para mullah bahwa kebanyakan ahadis, yang sebenarnya menunjukkan perilaku asli Muhammad, yang tak sesuai dengan budaya² lokal berarti ditulis oleh para musuh Islam.
Budaya Saudi Arabia, yang sangat cocok dengan ajaran² Islam dalam Qur’an, tidak cocok dengan budaya lain di seluruh dunia. Aku beri satu contoh perbedaan budaya yang kusaksikan sendiri di Saudi Arabi. Aku menyaksikan seorang pria tua berusia lebih dari 75 tahun, dengan dua istri yang masih hidup, menikah lagi dengan gadis remaja Yordania usia 17 tahun. (Ini karena “harga” gadis remaja di Yordania lebih murah daripada di Saudi Arabia. Maaf saja, tapi begitulah yang sebenarnya.) Setelah pria uzur ini kembali bersama istri mudanya, para putranya yang berpendidikan tinggi, usia antara 40 sampai 50 tahun, semuanya memberikan sambutan hangat padanya. Mereka merangkulnya, bertepuk tangan dan bernyanyi baginya. Mereka semua tak peduli sama sekali terhadap nasib para ibu mereka. Mereka berbagi sukacita dengan memuji-muji “kejantanan” ayah mereka dengan para tetangga dan teman². Bahasa yang mereka gunakan untuk memuji-muji “kejantanan” sang ayah tak bisa kujabarkan di sini karena terlalu kasar dan porno. Perilaku para anak laki dewasa ini sungguh bertentangan dengan pendidikan tinggi mereka. Tidaklah mungkin masyarakat beradab bisa mengadopsi budaya rendah seperti ini, bahkan tidak pula masyarakat Muslim non-Arab sekalipun.
Dengan begitu, kesalahan tertuju pada budaya Islam yang diciptakan dan dianjurkan oleh Muhammad, yang jelas tampak dalam berbagai hadis. Di atas semuanya, doktrin Islam mewajibkan Muslim untuk meniru tingkah laku dan perbuatan Muhammad sepersis mungkin.
Untuk mengatasi hal ini, para mullah (Muslim non-Arab) berusaha sebisa mungkin untuk menolak hadis² bermoral rendah yang tak sesuai dengan budaya lokal (Muslim non-Arab) dengan mengatakannya sebagai lemah dan tak asli, sekalipun hadis² itu berasal dari koleksi hadis Al-Bukhari Sahih – yang sebenarnya dianggap sebagai buku kedua tersuci Islam setelah Qur’an.
Aku jelaskan pada kedua orangtuaku tentang enam koleksi hadis dari berbagai ahadis yang luar biasa banyaknya. Iman Islam mereka begitu dalam sehingga aku gagal meyakinkan mereka. Tapi aku bukanlah orang yang mudah putus asa. Aku lalu tunjukkan pada mereka ayat² Qur’an yang meminta Muslim untuk mengikuti sunnah Nabi dan juga ayat² Qur’an lain yang sukar untuk dilaksanakan.
Lalu ayahku, di usia 70 tahunan, mulai membaca Qur’an untuk pertamakalinya dalam bahasanya yang asli yakni Urdu, persis seperti yang kulakukan dulu. Dalam sepanjang usia 70 tahunnya, dia telah membaca Qur’an dalam bahasa Arab setiap hari, tapi dia tak pernah mengerti maknanya. Ibuku buta huruf, sama seperti kebanyakan Muslimah di India dan tak pernah membaca Qur’an, baik dalam bahasa Arab sekalipun.
Setelah membaca beberapa halaman Qur’an dalam bahasa Urdu, ayahku juga jadi merasa terganggu karena tak bisa menerima pesan ayat² tersebut. Karena merasa sangat kaget, dia mulai meragukan kebenaran sang penerjemah dan penerbit buku Qur’an itu dan lalu berhenti membaca. Dia lalu mulai menegurku karena membeli Qur’an yang menurutnya tentu dicetak oleh para musuh Islam – yakni orang² Hindu dan Kristen.
Aku mampu meyakinkan ayah dengan fakta tercantum bahwa terjemahan dilakukan oleh para ahli Islam dan diterbitkan bagi Muslim. Ayah lalu bertanya padaku: Mengapa Muslim mencetak terjemahan Qur’an yang salah? Aku jelaskan padanya bahwa para ahli Islam dan pihak penerbit tidak bersalah; dan masalahnya terletak pada keyakinan seumur hidupnya yang salah akan Islam sebagai agama illahi yang sempurna. Ayahku tidak siap untuk menerima keteranganku, dan dia pun tak sanggup untuk membaca Qur’an lebih lanjut karena takut kehilangan imannya.
Aku berusaha menganjurkannya untuk terus membaca Qur’an, dengan berkata alasan takut kehilangan iman tidaklah masuk akal. Tapi dia benar² menolak untuk terus membaca dan aku pun gagal lagi dalam usahaku. Di sini para pembaca bisa melihat tingginya taraf kebodohan Muslim umum akan Islam. Mereka tidak mengerti wajah Islam yang sebenarnya, dan mereka juga menolak mentah² usaha untuk mencerdaskan diri sendiri akan Islam.
Aku terus berharap bahwa ayahku akhirnya akan bisa menyadari ajaran Islam yang sebenarnya dan membebaskan dirinya dari jeratan Islam. Akhirnya setelah hampir 10 tahun berlalu, ayahku membaca seluruh Qur’an dalam bahasa Urdu. Aku sangat gembira karena ayahku di usia 80 tahu berani membaca Qur’an secara menyeluruh. Kejahatan yang dilakukan Osama bin Laden dan Al-Qaeda-nya di tahun² belakangan ini merupakan bagian penting dari usahaku untuk mendorongnya membaca Qur’an dan mengerti maknanya. Dulu ketika dia mendengar berita² terorisme Al-Qaeda yang keji, dia lalu akan mulai memaki Osama. Tapi aku mengatakan padanya, seakan-akan mau membela Osama, bahwa dia adalah Muslim terbaik karena mengikuti ajaran Qur’an dan hadis sepenuhnya. Kekejian yang dilakukan para Muslim pengikut Osama dalam nama Islam, ditambah lagi dengan argumenku akan Osama, membuat ayah ingin tahu dan membaca Qur’an dalam bahasa Urdu dengan harapan akan menemukan pesan Islam yang sebenarnya. Terima kasih, Osama.
Lalu ayah meminta padaku untuk menunjukkan beberapa hadis yang dulu kugunakan untuk meyakinkan dirinya akan sisi gelap Islam. Tapi aku terlalu malu untuk menjelaskan berbagai hadis porno tentang Muhammad pada ayahku. Malahan sebagian besar hadis mengutamakan sex dan kekerasan. Maka aku beritahu ayah untuk membacanya sendiri, dan jangan mendengarkan dari orang lain. Dia membaca beberapa hadis dan lalu berhenti karena tak sanggup membaca lebih lanjut. Imannya runtuh sudah dan mengatakan isi hadis itu hanyalah kotoran belaka.
Membaca Qur’an, Sira Nabi, dan beberapa hadis dalam bahasa yang dimengertinya membuat ayah jadi depresi dan kemungkinan hal ini juga berakibat buruk bagi kesehatannya. Dia tak mampu bangkit dari rasa terkejutnya. Dia berulang kali bertanya padaku, bagaikan anak kecil inosen, tentang apa hasil yang akan diterimanya selama 80 tahun membaktikan diri pada Islam, dan bagaimana dengan waktunya yang berharga yang terbuang sia² karena melakukan sholat lima waktu, sholat tahajud, dan berbagai ibadah Islam lainnya. Aku menghibur dirinya dengan mengatakan bahwa dia tak usah khawatir akan masa lalu. Aku menganjurkannya untuk berbahagia karena dia telah bebas dari rasa takut hukuman di kuburan atau siksaan di neraka. Dia lalu percaya akan keteranganku, tapi dia masih tidak bisa terima bahwasanya dia telah ditipu para mullah seumur hidupnya. Dia berterima kasih padaku karena menyelamatkannya dari horor kuburan dan neraka Islam.
Sedihnya, aku kehilangan ayahku beberapa bulan setelah dia mengetahui wajah Islam yang sebenarnya, karena dia tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Tidak hanya iman Islamnya yang hancur, tapi juga kesehatannya.
Ayah merupakan Muslim yang sangat taat dan menghabiskan seluruh hidupnya (termasuk beberapa bulan terakhir sebelum wafat) untuk sholat dan membaca Qur’an dalam bahasa Arab – “bahasa surgawi” – tanpa mengerti maknanya. Di hari² terakhirnya, dia merasa sangat kecewa tidak hanya karena telah menyia-nyiakan waktu berharga dalam hidupnya, tapi juga karena sebagai orang yang berpendidikan tinggi, dia ternyata telah ditipu para mullah selama 80 tahun, dan ini semua membuat kesehatannya semakin memburuk sehingga akhirnya dia mati.
Awalnya, aku merasa bersalah atas kematiannya. Ini semua berhubungan dengan usahaku dalam meyakinkan dirinya tentang ajaran Islam. Tapi jika kuingat hari² terakhir ayah, aku juga merasa puas karena melihat ayah menghadapi kematian dengan penuh percaya diri, tanpa takut akan siksaan dan hukuman neraka yang diajarkan Islam. Sebenarnya aku merasa bangga karena telah berhasil memerdekakan ayahku dari ajaran jahat Islam. Aku yakin dia telah menerima usahaku menyadarkannya akan Islam sebagai pemberian terbaik dari seorang anak kepada bapak yang telah mencintai dan mengasihiku.
Bagi seorang Muslim, menyadari kebenaran akan Islam merupakan perjuangan terberat dalam hidup. Rasa terkejut yang mereka alami sangat sukar ditanggung, dan pada ayahku hal ini bisa berakibat fatal. Para Muslim yang mencari kebenaran akan wajah Islam sebenarnya haruslah siap mental sebelum melakukannya.