Tuhan Pak Rahimii adalah 1+1=2

Benturan dan bentrokan antara Islam dengan agama-agama dan peradaban lain di seluruh penjuru dunia.
User avatar
JANGAN GITU AH
Posts: 5266
Joined: Sun Jan 04, 2009 1:39 pm
Location: Peshawar-Pakistan

Re: Tuhan Pak Rahimii adalah 1+1=2

Post by JANGAN GITU AH »

Tambahan lagi ayat yang menjadi sumber kebodohan muslim...

Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (QS Al-'Anbya' 21: 33)

itu sebabnya logika si Kuisa mampet karena ajaran Quran... :rolling:
Mirror 1: Tuhan Pak Rahimii adalah 1+1=2
Follow Twitter: @ZwaraKafir
kuisa
Posts: 706
Joined: Mon May 05, 2014 12:33 pm

Re: Tuhan Pak Rahimii adalah 1+1=2

Post by kuisa »

rahimii wrote:Bagus, pengakuanmu sebagai anak didik sekolah taliban itu memang benar menggambarkan dirimu. Modal nyablak, asal mangap, tak berisi. Sainsmu ala padang pasir. Berlindung dibalik bahasa, yakin benar bahwa dingin dan panas hanyalah kata sifat belaka. Kau baca lagi statementmu yang memalukan ini “Panas dan dingin itu kata sifat. Tau kata sifat? suatu keadaan untuk menjelaskan suatu benda. Jadi tentu saja keduanya tidak eksis karena bukan benda itu sendiri.” Coba kau belajar lagi apa itu concrete nouns tong..dogolmu jangan dipelihara. Concrete nouns adalah nomina atau kata benda yang menunjuk pada benda yang dapat dirasakan atau dilihat, adalah kata-kata untuk hal-hal yang bisa dialami oleh salah satu panca indera, mereka dapat dilihat, didengar, dicium, dirasa atau disentuh, misalnya: kursi, buku, batu, mobil, dingin, panas, hangat, dll. Sok ngerti bahasa, padahal isi otak amburadul.
kuisa wrote:Ngaco, panas, dingin hangat kok disebut concrete??? yang concrete itu bendanya, air panas, air dingin, air hangat. Koreksi diri dulu sana.
Seluruh dunia boleh salah, asal islam terlihat benar. Bahkan grammar bahasa inggris pun jadi salah, demi argument islam kuisa sang koplak jadi benar.
A concrete noun is the name of something or someone that we experience through our senses, sight, hearing, smell, touch or taste.
Ice cream, for example, is a concrete noun. You can see the pink. You can taste the berry flavor.You can feel your tongue growing numb from the cold. Any noun that you can experience with at least one of your five senses is a concrete noun. -bold by pak rahimii-
Tuh, kau baca pengertian concrete noun berdasarkan english grammar pake mata dan proses pake otak tong, jangan pake dengkul. Sudah sekolah taliban, tinggal kelas lagi..
kuisa wrote:Ma sya Allah Pak Rahimii, macam mana saya harus menjelaskan kesalahan mendasar anda ini? Concrete bos, concrete..... contohnya tuh es krim.
Kalimat yang anda bold itu penjelasan dari es krimnya.
Nih penjelasan ttg es krimnya:
1. You can see the pink.
2. You can taste the berry flavor.
3. You can feel your tongue growing numb from the cold.

Paham! Ga nyangka saya harus ngajar bahasa inggris juga ](*,)

Kalau begini caranya anda memahami, apa yang bisa diharapkan dari penjelasan anda???
Is cold an abstract noun?
The noun cold is a concrete noun because cold can be felt physically. There is no abstract noun form for the concrete noun cold.
An abstract noun is a word for something that can't be seen, heard, smelled, tasted, or touched.
The cold can be physically felt. The noun form for the adjective cold is coldness, which can also be physically felt.

Tuh, saya kutipkan lagi dari grammar bule nya langsung, bukan dari tata bahasa arabmu yang tak karuan. Inderamu memang tidak bisa merasakan dingin ya tong? Kau itu jangan-jangan juga tidak bisa merasakan kram pada otakmu yang cacat. Kau bisa bahasa inggris ya..coba tunjukkan mana sanggahan bahasa inggrisnya kalau cold itu bukan concrete noun. Kelakuanmu dimana-mana jadi tukang nyampah saja. Bahasan soal kondisi keberadaan dan ketiadaan, yang kau ributkan malah tata bahasa. Asal mangap pula..
Mirror 1: Ice cream, for example, is a concrete noun
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Ada yang ga tau malu rupanya :-k

Gagal memahami ice cream di satu referensi, bukannya mengakui kesalahan kegagalan paham, malah langsung pindah mencari referensi yang lain, masih mending kalau referensi beneran, yang dipake cuma pendapat seseorang di answer.com.

Kelihatannya anda perlu saya sekolahkan ke taliban biar rada pinter dikit :finga:
Concrete nouns

Concrete nouns are perceivable by the senses and name something you can see, hear, smell, taste or touch. These include people, animals, places and objects. Consider the following concrete nouns:

People: dentist, firefighter, man, Rita

Animals: barracuda, gorilla, puppy, tiger

Places: Empire State Building, island, mountain, Turkey

Objects: cake, fruit, keys, coffee cup

Abstract nouns

Abstract nouns name things you cannot see, hear, smell, taste or fell. In other words, abstract nouns are not tangible. They name actions, events, ideas, states of mind and qualities. Consider the following abstract nouns:

Actions and events: childhood, Friday, September, war

Ideas: energy, freedom, ideas, luck

States of mind: anger, courage, depression, freedom

Qualities: beauty, truth, kindness, truth

Conditions: cancer, a cold, the flu, diabetes

Siapkan resume anda, saya usahakan beasiswa di taliban :-"
rahimii
Posts: 311
Joined: Sun Mar 06, 2011 6:33 pm

Re: Tuhan Pak Rahimii adalah 1+1=2

Post by rahimii »

kuisa wrote:Wah, rupanya saya yang harus mengajar logika kepada ahli logika :-k
di saat bersamaan harus ngajar bahasa juga.


Panas dingin
Panas dan dingin itu kata sifat. Tau kata sifat? suatu keadaan untuk menjelaskan suatu benda. Jadi tentu saja keduanya tidak eksis karena bukan benda itu sendiri.

Apa yang terukur untuk menentukan panas dingin? Temperatur/suhu. Untuk membuat sebuah benda menjadi panas, butuh energi untuk memanaskan, demikian juga sebaliknya untuk membuat sesuatu menjadi dingin, butuh energi untuk mendinginkan. Ada yang disebut transfer panas, lebih tepat transfer energi, dua benda dengan suhu berbeda akan mengalami transfer energi sampai suhu keduanya sama.

Sebutan panas dan dingin relatif terhadap kebutuhan, yang terukur adalah suhu, suhu sekian bisa disebut panas atau dingin tergantung apa yang diukur. Panas bisa diukur, dinginpun bisa diukur. :goodman:
Si murid sekolah taliban ini muter-muter seperti gasing. Dari pernyataannya sebelumnya yang saya quote, bilang dingin itu hanya kata sifat, bahkan dengan dogolnya menciptakan teori baru bahwa diperlukan energi untuk mendinginkan, bahwa dingin pun bisa diukur. Di kesempatan lain mengigau bahkan gelap pun bisa diukur.. :lol:

Lalu setelah disanggah bahwa hal-hal semacam dingin, panas, yang bisa dirasakan oleh indera manusia ternyata termasuk dalam klasifikasi noun juga, bukan mempertahankan pendapatnya dingin adalah kata sifat, malah koar-koar soal concrete dan abstract noun supaya terlihat sedikit pintar meski cuma mendompleng punya orang, persis kelakuan nabinya yang tak tahu malu. Hei, tong..dingin itu kata sifat atau noun nih..yang mana yang betul menurut guru sekolah taliban mu?
Mirror 1: Panas dingin
Follow Twitter: @ZwaraKafir
kuisa
Posts: 706
Joined: Mon May 05, 2014 12:33 pm

Re: Tuhan Pak Rahimii adalah 1+1=2

Post by kuisa »

@pak rahimii
Si murid sekolah taliban ini muter-muter seperti gasing. Dari pernyataannya sebelumnya yang saya quote, bilang dingin itu hanya kata sifat, bahkan dengan dogolnya menciptakan teori baru bahwa diperlukan energi untuk mendinginkan, bahwa dingin pun bisa diukur. Di kesempatan lain mengigau bahkan gelap pun bisa diukur.. :lol:

Lalu setelah disanggah bahwa hal-hal semacam dingin, panas, yang bisa dirasakan oleh indera manusia ternyata termasuk dalam klasifikasi noun juga, bukan mempertahankan pendapatnya dingin adalah kata sifat, malah koar-koar soal concrete dan abstract noun supaya terlihat sedikit pintar meski cuma mendompleng punya orang, persis kelakuan nabinya yang tak tahu malu. Hei, tong..dingin itu kata sifat atau noun nih..yang mana yang betul menurut guru sekolah taliban mu?
Dingin itu aslinya memang kata sifat, tapi kata sifat pun bisa di-benda-kan, misal baik menjadi kebaikan, dingin jadi kedinginan, cold jadi a cold atau coldness juga bisa... Masa sih yang begitu aja mesti diajarin :-k

Nyatanya kulkas saya sama kulkas anda dirumah butuh energi untuk menghasilkan dingin. Gelap pun berbeda2, bisa saja cukup gelap, lebih gelap dll, untuk kondisi pencahayaan tertentu bisa saja disebut gelap karena membaca menjadi sulit.

Kok saya yang dibilang koar2 ttg concrete secara anda sendiri yang bawa2 istilah concrete, anda ga mau kan saya kirimkan plat nomer JILAT LUDAH??? Kalau salah itu ngaku, masa ga gentle begitu. [-X
Yang dibahas sebagai concrete itu ES KRIM, ujug2 anda bilang dingin, sama halnya iblis yang ujug2 nongol sendiri tanpa diciptakan. Hadeeh.

Nih saya baru nemu, untuk dibaca2


ALKISAH, seorang profesor filsafat menantang mahasiswanya: “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”

Seorang mahasiswa menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.

“Tuhan menciptakan semuanya?”, tanya professor sekali lagi.

“Ya, Pak, semuanya”, kata mahasiswa tersebut.



Profesor itu menjawab, Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”



Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab pernyataan professor tersebut.



Seorang mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”



“Tentu saja,” jawab si professor, “itulah inti dari diskurus filsafat.”



Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”



“Tentu saja,” ungkap si professor. Raut muka si professor tidak berubah karena ia sudah mendengar argumen buruk seperti ini berulang kali.



Si murid menanggapi, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”



Sang professor pun menjawab dengan tegas: “Kamu ingat bab mengenai kesesatan semantik dalam bukumu?”



Si murid tampak bingung.



Biar saya ulangi secara singkat. “Panas” dan “dingin” adalah istilah subjektif. Menurut John Locke, keduanya merupakan contoh “kualitas sekunder”. Kualitas sekunder merujuk kepada bagaimana kita merasakan suatu fenomena yang memang ada, dan dalam kasus ini pergerakan partikel atomik. Istilah “dingin” dan “panas” merujuk kepada interaksi antara sistem saraf manusia dengan variasi kecepatan dalam partikel atomik di lingkungan. Jadi apa yang sesungguhnya ada adalah suhu… istilah “panas” dan “dingin” hanyalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan pengalaman kita mengenai suhu.”



“Maka argumen Anda salah. Anda tidak membuktikan bahwa “dingin” itu tidak ada, atau bahwa “dingin” ada tanpa status ontologis, apa yang Anda lakukan adalah menunjukkan bahwa “dingin” adalah istilah subjektif. Hapuskanlah konsep subjektif tersebut, dan suhu yang kita sebut “dingin” akan tetap ada. Menghapuskan istilah yang kita gunakan untuk merujuk kepada suatu fenomena tidak menghapuskan keberadaan fenomena tersebut.”



Murid: (agak shock) “Uh… oke… em, apakah gelap itu ada?”



Professor: “Anda masih mengulangi kesesatan logika yang sama, hanya kualitas sekundernya yang diganti.”



Murid: “Jadi menurut professor kegelapan itu ada?”



Professor: “Apa yang saya katakan adalah bahwa Anda mengulangi kesesatan yang sama. “Kegelapan” adalah kualitas sekunder.



Murid: “Professor salah lagi. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. “Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”



Professor: “Gelap dan terang” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar cahaya secara visual. Foton itu memang ada, sementara “gelap” dan “terang” hanyalah penilaian subjektif kita… yang sekali lagi terkait dengan interaksi antara sistem saraf manusia dengan fenomena alam yang lain, yaitu foton. Jadi, sekali lagi, hapuskanlah istilah subjektif itu dan foton akan tetap ada. Jika manusia menyebut “foton sebanyak x” sebagai “gelap” sementara kucing menyebutnya “cukup terang untukku”, foton sebanyak x yang kita sebut sebagai “gelap” tetap ada, dan akan tetap akan ada walaupun kita tidak menyebutnya gelap. Sudah paham, atau masih kurang jelas?”



Sang murid tampak tercengang. Sang professor berkata, “Tampaknya Anda masih bingung dengan kesesatan dalam argumen Anda. Tapi silakan lanjutkan, mungkin Anda akan paham.”



Sang murid berkata, “Professor mengajar dengan dualitas. Professor berargumen tentang adanya kehidupan lalu mengajar tentang adanya kematian, adanya Tuhan yang baik dan Tuhan yang jahat. Professor memandang Tuhan sebagai sesuatu yang dapat kita ukur.”



Professor langsung memotong, “Berhati-hatilah. Jika Anda menempatkan Tuhan di luar jangkauan nalar, logika dan sains dan membuatnya “tak terukur”, maka yang tersisa hanyalah misteri yang Anda buat sendiri. Jadi jika Anda menggunakan dalih bahwa Tuhan ada di luar jangkauan untuk menyelesaikan masalah, Anda juga tak bisa mengatakan bahwa Tuhan Anda bermoral. Bahkan Anda tak bisa menyebutnya sebagai apapun kecuali tak terukur. Jadi solusi Anda tidak ada bedanya dengan membersihkan ketombe dengan memangkas rambut.”



Murid tersebut tercengang, namun tetap berusaha melanjutkan, “Professor, sains bahkan tidak dapat menjelaskan sebuah pemikiran. Ilmu ini memang menggunakan listrik dan magnet, tetapi tidak pernah seorangpun yang melihat atau benar-benar memahami salah satunya..”



Professor: “Anda mengatakan bahwa sains tak bisa menjelaskan pikiran. Saya sendiri kurang paham apa yang Anda maksud. Apakah Anda mencoba mengatakan bahwa masih banyak misteri dalam neurosains?”



Murid: “Begitulah.”



“Dan bahwa pikiran, listrik dan magnetisme itu kita anggap ada walaupun tak pernah kita lihat?”



“Benar!”



Sang professor tersenyum dan menjawab, “Bukalah kembali bukumu mengenai kesesatanfalse presumption. Perhatikan bab “kesalahan kategoris.” Kalau Anda pernah membacanya, Anda akan ingat bahwa kesalahan kategoris adalah saat Anda menggunakan tolak ukur yang salah untuk suatu entitas, misalnya menanyakan warna dari suara. Meminta seseorang melihat magnetisme secara langsung merupakan kesalahan kategoris.”



“Namun, masih ada kesalahan lain dalam argumen Anda. Anda berasumsi bahwa empirisisme atau bahkan sains hanya didasarkan kepada pengamatan langsung. Ini tidak tepat. Penglihatan bukanlah satu-satunya cara untuk memahami dunia, dan sains juga bukan ilmu yang mempelajari apa yang kita lihat. Kita dapat menggunakan indera lain untuk melacak suatu fenomena. Dan kita juga dapat mempelajari pengaruh fenomena tersebut terhadap dunia.”



“Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan menyatakan bahwa karena sains itu belum lengkap berarti Tuhan itu ada. Mungkin Anda perlu mempelajari kembali kesesatan “argumentum ad ignoratiam” atau argumen dari ketidaktahuan.”



“Dan juga, seperti yang dikatakan oleh Neil deGrasse Tyson, gunakanlah contoh yang lebih baik karena sains sudah mampu menjelaskan bagaimana pikiran terbentuk dan bahkan Maxwell sudah lama menggabungkan elektrisme dan magnetisme menjadi elektromagnetisme. Contoh yang lebih baik itu misalnya materi gelap yang membuat perluasan alam semesta menjadi begitu cepat. Fisikawan tak bisa menjawab itu, dan mungkin Anda akan mengatakan jawabannya Tuhan. Namun dengan begitu, Anda justru sedang menyusutkan Tuhan. Anda melakukan kesesatan ad ignoratiam bahwa yang belum dijelaskan sains itu adalah keajaiban Tuhan, dan itu berarti Anda menempatkan Tuhan untuk mengisi gap dalam sains. Nah, dahulu manusia juga tak mampu menjawab mengapa hujan terbentuk atau mengapa gunung meletus, dan orang-orang dulu menyebutnya karena Tuhan. Kini kita sudah memahami hujan dan gunung meletus, begitu pula pikiran, listrik dan magnetisme, dan ke depannya materi gelap juga mungkin akan kita pahami. Dengan begitu Tuhan yang mengisi gap pun terus menciut.”



“Masih ada yang mau ditambahkan? Apakah penjelasan saya sudah cukup jelas?”



Sang murid tampak bingung dan mencoba melakukan ad nauseam, “Em… kembali ke diskusi awal kita. Untuk menilai kematian sebagai kondisi yang berlawanan dengan kehidupan sama saja dengan melupakan fakta bahwa kematian tidak bisa muncul sebagai suatu hal yang substantif. Kematian bukanlah kontradiksi dari hidup, hanya ketiadaan kehidupan saja.”



Professor pun berkata, “Apakah Anda jatuh cinta dengan kesesatan kualitas sekunder? Lagi-lagi Anda melakukan kesalahan yang sama.” “Kematian” dan “kehidupan” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan fenomena keadaan-keadaan biologis. Menghapuskan istilah subjektif kematian tidak menghapuskan keberadaan kematian.



Si murid pun mencoba mengalihkan pembicaraan, “Apakah imoralitas itu ada?”



Si professor menggelengkan kepalanya dan berkata, “Keledai pun tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama. Ada yang masih kurang jelas, atau perlu saya ulangi lagi?”



Sang murid yang terus berusaha menjustifikasi kepercayaannya berkata, “Begini.. imoralitas itu adalah ketiadaan moralitas. Apakah ketidakadilan itu ada? Tidak. Ketidakadilan adalah ketiadaan keadilan. Apakah kejahatan itu ada? Bukankah kejahatan itu ketiadaan kebaikan?”



Sang professor menanggapi, “Jadi, jika seseorang membunuh ibumu malam ini, tidak terjadi apa-apa? Hanya ada ketiadaan moralitas di rumah Anda? Tunggu… dia tidak mati… cuma ketiadaan hidup kan?”



Si murid berkata, “eh…”



“Sekarang sudah mengerti di mana salahnya?”, ujar sang professor, “Anda mencampur kualitas sekunder dengan fenomena. “Imoralitas” adalah istilah deskriptif untuk perilaku. Istilah tersebut bersifat sekunder, namun perilaku tetaplah ada. Jadi jika Anda menghapuskan kualitas sekunder itu, Anda tidak menghapuskan perilaku yang sesungguhnya terjadi. Dengan mengatakan imoralitas sebagai ketiadaan moralitas, Anda tidak menghapuskan keinginan atau perilaku imoral, tetapi hanya istilah subjektifnya. Begitu lho.”



Si murid masih kukuh, “Apakah professor pernah mengamati evolusi itu dengan mata professor sendiri?”



Sang professor sudah bosan mendengar argumen “pernah lihat angin tidak”.



“Evolusi itu bisa diamati karena hingga sekarang masih berlangsung. Misalnya, pada tahun 1971, beberapa kadal dari pulau Pod Kopiste di Kroasia dipindah ke pulau pod Mrcaru. Pulau Pod Kopiste tidak banyak tumbuhan sehingga memakan serangga, sementara di pulau Pod Mrcaru ada banyak tumbuhan. Setelah ditinggal selama beberapa dekade, ketika ditemukan kembali, kadal di pulau Pod Mrcaru mengalami proses evolusi. Kadal tersebut mengembangkan caecal valve, yaitu organ yang penting untuk mengolah selulosa dalam tumbuhan, yang sebelumnya tidak ada. Atau, jika Anda pergi ke laboratorium Richard Lenski di Amerika Serikat, Anda bisa saksikan sendiri bagaimana bakteri e coli yang sebelumnya tak bisa mengolah asam sitrat, karena evolusi dengan seleksi alam muncul e coli yang bisa mengolah asam sitrat.”



“Lagipula, Anda lagi-lagi terjeblos dalam kesesatan ad ignoratiam. Jika ingin konsisten dengan logika Anda, Anda akan mengatakan bahwa pohon tidak pernah tumbuh karena Anda tak pernah melihat langsung bagaimana pohon tumbuh. Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan mengasumsikan bahwa sains itu hanya terdiri dari pengamatan langsung…. “


Si murid memotong, “Apakah ada dari kelas ini yang pernah melihat otak Profesor? Apakah ada orang yang pernah mendengar otak Profesor, merasakannya, menyentuhnya atau menciumnya? Tampaknya tak seorang pun pernah melakukannya. Jadi, menurut prosedur pengamatan, pengujian dan pembuktian yang disahkan, ilmu pengetahuan mengatakan bahwa professor tidak memiliki otak. Dengan segala hormat, bagaimana kami dapat mempercayai pengajaran professor?”


Si professor tertawa dan menjawab, “Terima kasih sudah hadir di kelas ini sehingga saya bisa membenarkan kesalahan Anda walaupun Anda terus menerus mengulanginya. Sekali lagi, sains itu tidak terbatas kepada “melihat” sesuatu. Sains itu juga rasional. Kita dapat menyimpulkan berdasarkan bukti yang ada. Dan salah satu simpulan yang dapat saya tarik dengan mengamati perilaku Anda hari ini adalah bahwa Anda telah membuang-buang uang karena tidak membaca buku logika yang sudah Anda beli. Jadi saya sarankan bacalah buku itu kembali dari halaman satu agar tidak terus menerus mengulangi kesalahan yang sama.”


- Dan murid itu adalah orang yang tidak banyak membaca.

Profesor Taliban sama Harvard ga jauh beda kok, masalahnya cuma si murid saja yang sok2an berlogika.

Segera siapkan RESUME dan POTO anda, ntar saya kirimkan TALIBAN HIGH SCHOOL APPLICATION FORM
:finga:
rahimii
Posts: 311
Joined: Sun Mar 06, 2011 6:33 pm

Re: Tuhan Pak Rahimii adalah 1+1=2

Post by rahimii »

rahimii wrote:Si murid sekolah taliban ini muter-muter seperti gasing. Dari pernyataannya sebelumnya yang saya quote, bilang dingin itu hanya kata sifat, bahkan dengan dogolnya menciptakan teori baru bahwa diperlukan energi untuk mendinginkan, bahwa dingin pun bisa diukur. Di kesempatan lain mengigau bahkan gelap pun bisa diukur.. :lol:

Lalu setelah disanggah bahwa hal-hal semacam dingin, panas, yang bisa dirasakan oleh indera manusia ternyata termasuk dalam klasifikasi noun juga, bukan mempertahankan pendapatnya dingin adalah kata sifat, malah koar-koar soal concrete dan abstract noun supaya terlihat sedikit pintar meski cuma mendompleng punya orang, persis kelakuan nabinya yang tak tahu malu. Hei, tong..dingin itu kata sifat atau noun nih..yang mana yang betul menurut guru sekolah taliban mu?
kuisa wrote:Dingin itu aslinya memang kata sifat, tapi kata sifat pun bisa di-benda-kan, misal baik menjadi kebaikan, dingin jadi kedinginan, cold jadi a cold atau coldness juga bisa... Masa sih yang begitu aja mesti diajarin :-k

Nyatanya kulkas saya sama kulkas anda dirumah butuh energi untuk menghasilkan dingin. Gelap pun berbeda2, bisa saja cukup gelap, lebih gelap dll, untuk kondisi pencahayaan tertentu bisa saja disebut gelap karena membaca menjadi sulit.

Kok saya yang dibilang koar2 ttg concrete secara anda sendiri yang bawa2 istilah concrete, anda ga mau kan saya kirimkan plat nomer JILAT LUDAH??? Kalau salah itu ngaku, masa ga gentle begitu. [-X
Yang dibahas sebagai concrete itu ES KRIM, ujug2 anda bilang dingin, sama halnya iblis yang ujug2 nongol sendiri tanpa diciptakan. Hadeeh.
Coba kau baca dengan seksama tong..es krim itu bisa dilihat warnanya, dirasakan flavornya, dirasakan dinginnya. Saat kau mencicipi dinginnya es krim, menjadi apakah dingin dalam hal itu, concrete atau abstract? Begitu saja kau tidak bisa nangkap. Sekarang kita akan lihat lagi bagaimana kau akan berjungkir balik memahami noun dalam bahasa inggris. Ini saya ambil dari situs grammar bahasa inggris, bagaimana aturan dan penggunaan noun menurut grammar inggris :

1.They come with articles. If it follows "a," "an" or "the" fairly closely, it’s probably a noun. If there’s an adjective in there, it’ll be between the article and the noun, so you’ll have to ask yourself, “Is this something I can feel, see, smell, taste or touch? Or does it describe something I can feel, see, smell, taste or touch?” If it’s the former, it’s a noun. If it’s the latter, it’s probably an adjective.
2.They are described by adjectives. If something is described as being blue, old, shiny, hot or wonderful (all adjectives), it’s probably a noun.
3.They act as subjects. Generally, the subject of a sentence is the thing that comes right before the verb. When you say, “The Dingo ate my baby,” the subject is “the Dingo.” It comes right before the verb (ate). Subjects are a little tricky because they can consist of just one word or a whole, long phrase that can contain several nouns. Gerund and infinitive verbs can also act as subjects of a sentence, but in that role, they are serving as nouns. Why? Because nouns act as subjects.

Belajar lagi tong,tapi jangan sama guru dan di sekolah taliban. 2 hari ini kamu absen masa belajarnya tetap bikin otakmu mampet..
kuisa wrote:Nih saya baru nemu, untuk dibaca2 :



ALKISAH, seorang profesor filsafat menantang mahasiswanya: “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”

Seorang mahasiswa menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”.

“Tuhan menciptakan semuanya?”, tanya professor sekali lagi.

“Ya, Pak, semuanya”, kata mahasiswa tersebut.



Profesor itu menjawab, Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.”



Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab pernyataan professor tersebut.



Seorang mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?”



“Tentu saja,” jawab si professor, “itulah inti dari diskurus filsafat.”



Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?”



“Tentu saja,” ungkap si professor. Raut muka si professor tidak berubah karena ia sudah mendengar argumen buruk seperti ini berulang kali.



Si murid menanggapi, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas.”



Sang professor pun menjawab dengan tegas: “Kamu ingat bab mengenai kesesatan semantik dalam bukumu?”



Si murid tampak bingung.



Biar saya ulangi secara singkat. “Panas” dan “dingin” adalah istilah subjektif. Menurut John Locke, keduanya merupakan contoh “kualitas sekunder”. Kualitas sekunder merujuk kepada bagaimana kita merasakan suatu fenomena yang memang ada, dan dalam kasus ini pergerakan partikel atomik. Istilah “dingin” dan “panas” merujuk kepada interaksi antara sistem saraf manusia dengan variasi kecepatan dalam partikel atomik di lingkungan. Jadi apa yang sesungguhnya ada adalah suhu… istilah “panas” dan “dingin” hanyalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan pengalaman kita mengenai suhu.”



“Maka argumen Anda salah. Anda tidak membuktikan bahwa “dingin” itu tidak ada, atau bahwa “dingin” ada tanpa status ontologis, apa yang Anda lakukan adalah menunjukkan bahwa “dingin” adalah istilah subjektif. Hapuskanlah konsep subjektif tersebut, dan suhu yang kita sebut “dingin” akan tetap ada. Menghapuskan istilah yang kita gunakan untuk merujuk kepada suatu fenomena tidak menghapuskan keberadaan fenomena tersebut.”



Murid: (agak shock) “Uh… oke… em, apakah gelap itu ada?”



Professor: “Anda masih mengulangi kesesatan logika yang sama, hanya kualitas sekundernya yang diganti.”



Murid: “Jadi menurut professor kegelapan itu ada?”



Professor: “Apa yang saya katakan adalah bahwa Anda mengulangi kesesatan yang sama. “Kegelapan” adalah kualitas sekunder.



Murid: “Professor salah lagi. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. “Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.”



Professor: “Gelap dan terang” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar cahaya secara visual. Foton itu memang ada, sementara “gelap” dan “terang” hanyalah penilaian subjektif kita… yang sekali lagi terkait dengan interaksi antara sistem saraf manusia dengan fenomena alam yang lain, yaitu foton. Jadi, sekali lagi, hapuskanlah istilah subjektif itu dan foton akan tetap ada. Jika manusia menyebut “foton sebanyak x” sebagai “gelap” sementara kucing menyebutnya “cukup terang untukku”, foton sebanyak x yang kita sebut sebagai “gelap” tetap ada, dan akan tetap akan ada walaupun kita tidak menyebutnya gelap. Sudah paham, atau masih kurang jelas?”



Sang murid tampak tercengang. Sang professor berkata, “Tampaknya Anda masih bingung dengan kesesatan dalam argumen Anda. Tapi silakan lanjutkan, mungkin Anda akan paham.”



Sang murid berkata, “Professor mengajar dengan dualitas. Professor berargumen tentang adanya kehidupan lalu mengajar tentang adanya kematian, adanya Tuhan yang baik dan Tuhan yang jahat. Professor memandang Tuhan sebagai sesuatu yang dapat kita ukur.”



Professor langsung memotong, “Berhati-hatilah. Jika Anda menempatkan Tuhan di luar jangkauan nalar, logika dan sains dan membuatnya “tak terukur”, maka yang tersisa hanyalah misteri yang Anda buat sendiri. Jadi jika Anda menggunakan dalih bahwa Tuhan ada di luar jangkauan untuk menyelesaikan masalah, Anda juga tak bisa mengatakan bahwa Tuhan Anda bermoral. Bahkan Anda tak bisa menyebutnya sebagai apapun kecuali tak terukur. Jadi solusi Anda tidak ada bedanya dengan membersihkan ketombe dengan memangkas rambut.”



Murid tersebut tercengang, namun tetap berusaha melanjutkan, “Professor, sains bahkan tidak dapat menjelaskan sebuah pemikiran. Ilmu ini memang menggunakan listrik dan magnet, tetapi tidak pernah seorangpun yang melihat atau benar-benar memahami salah satunya..”



Professor: “Anda mengatakan bahwa sains tak bisa menjelaskan pikiran. Saya sendiri kurang paham apa yang Anda maksud. Apakah Anda mencoba mengatakan bahwa masih banyak misteri dalam neurosains?”



Murid: “Begitulah.”



“Dan bahwa pikiran, listrik dan magnetisme itu kita anggap ada walaupun tak pernah kita lihat?”



“Benar!”



Sang professor tersenyum dan menjawab, “Bukalah kembali bukumu mengenai kesesatanfalse presumption. Perhatikan bab “kesalahan kategoris.” Kalau Anda pernah membacanya, Anda akan ingat bahwa kesalahan kategoris adalah saat Anda menggunakan tolak ukur yang salah untuk suatu entitas, misalnya menanyakan warna dari suara. Meminta seseorang melihat magnetisme secara langsung merupakan kesalahan kategoris.”



“Namun, masih ada kesalahan lain dalam argumen Anda. Anda berasumsi bahwa empirisisme atau bahkan sains hanya didasarkan kepada pengamatan langsung. Ini tidak tepat. Penglihatan bukanlah satu-satunya cara untuk memahami dunia, dan sains juga bukan ilmu yang mempelajari apa yang kita lihat. Kita dapat menggunakan indera lain untuk melacak suatu fenomena. Dan kita juga dapat mempelajari pengaruh fenomena tersebut terhadap dunia.”



“Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan menyatakan bahwa karena sains itu belum lengkap berarti Tuhan itu ada. Mungkin Anda perlu mempelajari kembali kesesatan “argumentum ad ignoratiam” atau argumen dari ketidaktahuan.”



“Dan juga, seperti yang dikatakan oleh Neil deGrasse Tyson, gunakanlah contoh yang lebih baik karena sains sudah mampu menjelaskan bagaimana pikiran terbentuk dan bahkan Maxwell sudah lama menggabungkan elektrisme dan magnetisme menjadi elektromagnetisme. Contoh yang lebih baik itu misalnya materi gelap yang membuat perluasan alam semesta menjadi begitu cepat. Fisikawan tak bisa menjawab itu, dan mungkin Anda akan mengatakan jawabannya Tuhan. Namun dengan begitu, Anda justru sedang menyusutkan Tuhan. Anda melakukan kesesatan ad ignoratiam bahwa yang belum dijelaskan sains itu adalah keajaiban Tuhan, dan itu berarti Anda menempatkan Tuhan untuk mengisi gap dalam sains. Nah, dahulu manusia juga tak mampu menjawab mengapa hujan terbentuk atau mengapa gunung meletus, dan orang-orang dulu menyebutnya karena Tuhan. Kini kita sudah memahami hujan dan gunung meletus, begitu pula pikiran, listrik dan magnetisme, dan ke depannya materi gelap juga mungkin akan kita pahami. Dengan begitu Tuhan yang mengisi gap pun terus menciut.”



“Masih ada yang mau ditambahkan? Apakah penjelasan saya sudah cukup jelas?”



Sang murid tampak bingung dan mencoba melakukan ad nauseam, “Em… kembali ke diskusi awal kita. Untuk menilai kematian sebagai kondisi yang berlawanan dengan kehidupan sama saja dengan melupakan fakta bahwa kematian tidak bisa muncul sebagai suatu hal yang substantif. Kematian bukanlah kontradiksi dari hidup, hanya ketiadaan kehidupan saja.”



Professor pun berkata, “Apakah Anda jatuh cinta dengan kesesatan kualitas sekunder? Lagi-lagi Anda melakukan kesalahan yang sama.” “Kematian” dan “kehidupan” adalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan fenomena keadaan-keadaan biologis. Menghapuskan istilah subjektif kematian tidak menghapuskan keberadaan kematian.



Si murid pun mencoba mengalihkan pembicaraan, “Apakah imoralitas itu ada?”



Si professor menggelengkan kepalanya dan berkata, “Keledai pun tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama. Ada yang masih kurang jelas, atau perlu saya ulangi lagi?”



Sang murid yang terus berusaha menjustifikasi kepercayaannya berkata, “Begini.. imoralitas itu adalah ketiadaan moralitas. Apakah ketidakadilan itu ada? Tidak. Ketidakadilan adalah ketiadaan keadilan. Apakah kejahatan itu ada? Bukankah kejahatan itu ketiadaan kebaikan?”



Sang professor menanggapi, “Jadi, jika seseorang membunuh ibumu malam ini, tidak terjadi apa-apa? Hanya ada ketiadaan moralitas di rumah Anda? Tunggu… dia tidak mati… cuma ketiadaan hidup kan?”



Si murid berkata, “eh…”



“Sekarang sudah mengerti di mana salahnya?”, ujar sang professor, “Anda mencampur kualitas sekunder dengan fenomena. “Imoralitas” adalah istilah deskriptif untuk perilaku. Istilah tersebut bersifat sekunder, namun perilaku tetaplah ada. Jadi jika Anda menghapuskan kualitas sekunder itu, Anda tidak menghapuskan perilaku yang sesungguhnya terjadi. Dengan mengatakan imoralitas sebagai ketiadaan moralitas, Anda tidak menghapuskan keinginan atau perilaku imoral, tetapi hanya istilah subjektifnya. Begitu lho.”



Si murid masih kukuh, “Apakah professor pernah mengamati evolusi itu dengan mata professor sendiri?”



Sang professor sudah bosan mendengar argumen “pernah lihat angin tidak”.



“Evolusi itu bisa diamati karena hingga sekarang masih berlangsung. Misalnya, pada tahun 1971, beberapa kadal dari pulau Pod Kopiste di Kroasia dipindah ke pulau pod Mrcaru. Pulau Pod Kopiste tidak banyak tumbuhan sehingga memakan serangga, sementara di pulau Pod Mrcaru ada banyak tumbuhan. Setelah ditinggal selama beberapa dekade, ketika ditemukan kembali, kadal di pulau Pod Mrcaru mengalami proses evolusi. Kadal tersebut mengembangkan caecal valve, yaitu organ yang penting untuk mengolah selulosa dalam tumbuhan, yang sebelumnya tidak ada. Atau, jika Anda pergi ke laboratorium Richard Lenski di Amerika Serikat, Anda bisa saksikan sendiri bagaimana bakteri e coli yang sebelumnya tak bisa mengolah asam sitrat, karena evolusi dengan seleksi alam muncul e coli yang bisa mengolah asam sitrat.”



“Lagipula, Anda lagi-lagi terjeblos dalam kesesatan ad ignoratiam. Jika ingin konsisten dengan logika Anda, Anda akan mengatakan bahwa pohon tidak pernah tumbuh karena Anda tak pernah melihat langsung bagaimana pohon tumbuh. Lebih lagi, Anda kembali melakukan kesalahan dengan mengasumsikan bahwa sains itu hanya terdiri dari pengamatan langsung…. “


Si murid memotong, “Apakah ada dari kelas ini yang pernah melihat otak Profesor? Apakah ada orang yang pernah mendengar otak Profesor, merasakannya, menyentuhnya atau menciumnya? Tampaknya tak seorang pun pernah melakukannya. Jadi, menurut prosedur pengamatan, pengujian dan pembuktian yang disahkan, ilmu pengetahuan mengatakan bahwa professor tidak memiliki otak. Dengan segala hormat, bagaimana kami dapat mempercayai pengajaran professor?”


Si professor tertawa dan menjawab, “Terima kasih sudah hadir di kelas ini sehingga saya bisa membenarkan kesalahan Anda walaupun Anda terus menerus mengulanginya. Sekali lagi, sains itu tidak terbatas kepada “melihat” sesuatu. Sains itu juga rasional. Kita dapat menyimpulkan berdasarkan bukti yang ada. Dan salah satu simpulan yang dapat saya tarik dengan mengamati perilaku Anda hari ini adalah bahwa Anda telah membuang-buang uang karena tidak membaca buku logika yang sudah Anda beli. Jadi saya sarankan bacalah buku itu kembali dari halaman satu agar tidak terus menerus mengulangi kesalahan yang sama.”


- Dan murid itu adalah orang yang tidak banyak membaca.


Profesor Taliban sama Harvard ga jauh beda kok, masalahnya cuma si murid saja yang sok2an berlogika.

Segera siapkan RESUME dan POTO anda, ntar saya kirimkan TALIBAN HIGH SCHOOL APPLICATION FORM
:finga:
Aneh ni si otong..kau sendiri mengerti tidak apa yang kau quote? Dalam percakapan diatas, si profesor mengatakan dingin dan gelap ada atau tidak? Apakah menurut si profesor, masalah semantik dan subjektifitas menjadikan sebuah fenomena itu tidak ada? Menurutmu, si profesor memandang gunung meletus karena kehendak tuhan atau fenomena alam? Sejauh perdebatan kita disini, posisimu mewakili si profesor atau si mahasiswa? Coba kau jawab dulu, jangan-jangan kau sendiri tidak menyadari posisimu karena penyakit kram otakmu makin parah.. :roll:
Mirror 1: Biar saya ulangi secara singkat. “Panas” dan “dingin” adalah istilah sub
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Post Reply