Page 1 of 1

Aida Ces: Asal muasal Puasa & Ramadhan

Posted: Fri Jul 27, 2012 5:02 pm
by Laurent
Aida Ces: Asal muasal Puasa & Ramadhan
Pembaca: 1023

SETIAP RAMADHAN tiba kata “PUASA’ menjadi kata yang paling popular di kalangan muslim Indonesia. Kata Ramadhan berasal dari bahasa Arab = Ramadhan, jamaknya Ramadaanaat atau armidaa’, merupakan bulan ke-9 dari tahun Hijriah. Dari pengertian bahasanya, arti Ramadhan = panas, yang diberikan oleh orang Arab karena pada bulan 9, padang pasir terasa sangat panas oleh terik matahari.

Hal ini sesuai dengan kebiasaan orang Arab yg memindahkan suatu istilah dari bahasa asing ke bahasa mereka yg sesuai dengan keadaan yg terjadi pada masa tersebut.

Redaksi dari surat al Baqarah 185 yang menyebutkan “syahru Ramadhana” dan redaksi hadis yang menjelaskan “imaanan wahtisaaban man shama Ramadhana”, harus dibaca bahwa puasa tidak bisa dilepaskan dari Ramadan, dan Ramadan tak bisa dipisahkan dengan puasa.

Dengan kalimat lain Ramadan tanpa puasa adalah batal sebagai bulan, dan puasa tanpa Ramadan adalah kurang bermakna sebagai pengabdian (ibadah). Ada banyak argumen untuk menjelaskan, mengapa misalnya, Ramadan identik dengan puasa dan sebaliknya puasa identik dengan Ramadan

Antara lain pendapat yang menyatakan bahwa kata atau nama Ramadhan merupakan salah satu nama Allah. Namun pendapat yang mungkin paling sahih, adalah pendapat yang menyandarkan kepada asal usul kata Ramadhan. Berasal dari kata dasar r-m-dh atau ra-mim-dhat, Ramadhan sebagai kata memiliki arti panas.

Dalam struktur Bahasa Arab yang membolehkan makna pada kata berkembang maka panas yang dimaksud oleh kata ra-mim-dhat bisa juga berarti panas yang menyengat, menjadi panas, sangat panas, atau hampir membakar.

Ungkapan seperti qad ramidha yaumuna dalam Bahasa Arab memiliki pengertian bahwa hari telah menjadi sangat panas, sementara kata ar ramadhu berarti panas yang diakibatkan sinar matahari.

Singkat kata, menurut Luthfi, Ramadhan sudah menjadi ism ghairi munsharif atau makna dan maksud kata itu sudah cukup terkenal sehingga tidak perlu lagi mengikuti kaidah-kaidah tata Bahasa Arab.

Keterangan-keterangan tentang asal usul kata Ramadhan semacam itu, bisa dibaca dan dijumpai antara lain di dalam kamus Mukhtaru ash Shihhah yang ditulis oleh oleh Muhammad bin Abu Bakar bin Abdul Qadir al Razi, atau di dalam buku Lisanul Arab karya Muhammad bin Mukarram bin Mandzur Al-Mashri.

Dua penulis besar itu, hidup pada periode yang hampir bersamaan yaitu antara tahun-tahun pertengahan abad keenam hijriah hingga tahun-tahun awal abad ketujuh hijriah.

***
Puasa, kata tersebut, adalah salah satu elemen dari rukun Islam, yang menjadi satu-satunya kata yang tidak berasal dari Bahasa Arab. Kenyataan itu berbeda dengan kata “syahadat”, “shalat”, “zakat” dan “hajj” yang kemudian diserap oleh Bahasa Indonesia menjadi syahadat, salat, zakat dan haji— yang semuanya berasal dari khazanah Bahasa Arab.

Kata puasa berasal dari Bahasa Sansekerta. Memang ada sebagian orang yang menggunakan kata salat dan sembahyang untuk menyebut salat. Namun baik salat maupun sembahyang masih memiliki relasi makna.

Sembahyang misalnya, berasal dari dua kata sembah dan hyang yang berarti menyembah Tuhan (Allah). Kata itu sengaja diserap dan kemudian digunakan oleh para penyebar Islam di Nusantara untuk menarik minat penganut Hindu yang telanjur datang terlebih dahulu ke Indonesia.

Melalui pendekatan kata tersebut, makna kata salat juga tak berkurang dari makna awalnya yaitu sebagai sebuah perbuatan untuk menyembah Allah. Tapi puasa?

Sama dengan kata sembahyang, kata itu berasal dari Bahasa Sansekerta. Berasal dari dua kata yaitu upa yang berarti dekat dan wasa yang berarti Yang Kuasa— makna kata puasa yang asli adalah dekat kepada Tuhan yang kuasa.

Jadi upawasa atau yang kemudian diserap dan dilafalkan menjadi kata “puasa” di dalam Bahasa Indonesia tidak lain adalah sebuah perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dengan pengertian itu, kata puasa sebenarnya tak berhubungan secara langsung dengan makna asli dari kata shaum yang dikehendaki dalam Bahasa Arab yaitu menahan diri untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan badan, dan tidak berbicara.

Tak lalu penggunaan kata puasa menjadi tak bermakna. Secara kelaziman, orang yang berhenti untuk makan, untuk minum, untuk berhubungan badan, dan untuk bicara seharusnya memang dekat kepada Tuhan (puasa).

Apalagi dalam perkembangannya, makna dari kata puasa juga sudah berubah, dari semula sebagai dekat kepada Tuhan menjadi menghindari makan dan minum dengan sengaja. Paling tidak, begitulah tafsir tentang kata puasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Kata saum makna aslinya berpantang dalam arti sebenar-benarnya (al-imsaku ‘anil-fi’li), mencakup pula berpantang makan, bicara, dan berjalan. Seekor kuda yang berpantang makan dan berjalan, disebut saim.

Demikian pula angin pada waktu mereda, dan siang hari pada waktu mencapai tengah-tengahnya, juga disebut saum (R). Kata saum dalam arti berpantang bicara, digunakan oleh Qur’an Suci dalam wahyu Makkiyah permulaan: “Katakanlah, aku bernazar puasa kepada Tuhan Yang Maha-pemurah, maka pada hari ini aku tak berbicara dengan siapa pun” (19:26).

Menurut istilah syari’at Islam, kata saum atau siyam berarti puasa, atau berpantang makan dan minum dan hubungan seksual mulai waktu fajar hingga matahari terbenam.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada Bahasa Inggris. Bahasa itu sebenarnya tak memiliki kata khusus untuk mengganti kata shaum. Kata fasting yang dianggap mewakili makna puasa, kalau digunakan untuk menjelaskan sebuah perbuatan yang sengaja tidak makan, tidak minum akan sulit dicerna oleh mereka yang dalam kesehariannya berbahasa Inggris.

Persoalannya karena pada mereka tidak lazim untuk melakukan fasting sehingga kata itu sangat jarang digunakan dan terabaikan. Sebaliknya kata fasting akan mudah dipahami jika terutama disertai konteks tentang Ramadan. Singkat kata, bagi mereka yang berbahasa Inggris (orang Barat) fasting baru bisa bermakna jika terutama disertai dengan kata Ramadhan.

Identik Kata dengan Makna Lalu apa yang sebetulnya yang disebut sebagai puasa atau fasting dalam konteks shaum? Kata dasar shaum atau shiyam adalah shat-wa-mim. Dua kata itu secara bahasa berarti menahan (imsaak).

Dalam Fathul al Qadir, al Syaukani memaknai kata itu sebagai sebuah tindakan untuk tidak bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Namun arus besar dari ahli tafsir sepakat bahwa makna shaum yang paling asli adalah tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks, dan tidak berbicara. Makna untuk tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan badan, dan tidak berbicara pada kata shaum itu bisa melekat secara sendiri-sendiri, maupun melekat sebagai satu kesatuan.

Argumen dari arus besar ini adalah bunyi dari redaksi surat al Maryam ayat 26 yang menyebut, “…aku telah bernazar kepada Pemelihara yang Penuh Kasih untuk menahan (shauman) bicara” Kata shauman dalam ayat tersebut merupakan indikasi bahwa makna kata shaum bukan hanya menyangkut urusan menahan lapar dan dahaga melainkan juga untuk menahan bicara.

Aturan saum dalam agama Islam

Dalam agama Islam, aturan saum itu ditetapkan setelah aturan shalat. Kewajiban saum itu ditetapkan di Madinah pada tahun Hijrah kedua, dan untuk menjalankan ini, ditetapkanlah bulan Ramadan. Sebelum itu, Nabi biasa melakukan saum sunnat pada tanggal 10 bulan Muharram, dan beliau menyuruh pula supaya para sahabat berpuasa pada hari-hari itu. Menurut Siti ‘Aisyah, tanggal 10 Muharram dijadikan pula hari puasa bagi kaum Quraisy (Bu. 30:1).

Jadi asal mula adanya aturan saum dalam Islam, ini terjadi sejak zaman Nabi masih di Makkah. Tetapi menurut Ibnu ‘Abbas, setelah Nabi hijrah ke Madinah, beliau melihat kaum Yahudi bersaum pada tanggal 10 Muharram, dan setelah beliau diberitahu bahwa Nabi Musa suka menjalankan puasa pada hari itu untuk memperingati dibebaskannya bangsa Israel dari perbudakan raja Fir’aun, beliau lalu menyatakan bahwa kaum Muslimin lebih dekat kepada Nabi Musa daripada kaum Yahudi, maka beliau menyuruh agar hari itu dijadikan hari saum (Bu. 30:69).

***

Terlanjur pemahaman Puasa adalah seperti yang sudah dilakukan oleh umat muslim maka catatan ini saya turut serta mengunakan kata Puasa sebagaimana pengertiannya dalam bahasa Indonesia.

Adapun aturan puasa dalam bulan Ramadan, itu dimaksud untuk melatih disiplin tingkat tinggi bagi jasmani, akhlak dan rohani, dan ini nampak dengan jelas dengan diubahnya bentuk dan motif puasa, yaitu dengan dibuatnya puasa menjadi aturan yang permanen, dengan demikian, puasa pada bulan Ramadan tak ada hubungannya dengan pengertian puasa pada waktu menderita kesusahan, kemalangan dan berbuat dosa, bahkan dalam Qur’an dijelaskan, bahwa tujuan puasa yang sejati ialah “agar kamu menjaga diri dari kejahatan (tattaqun)”.

Kata tattaqun berasal dari kata ittaqa artinya, menjaga sesuatu dari yang membahayakan dan bisa melukainya, atau menjaga diri dari yang dikuatirkan yang akan berakibat buruk pada dirinya (R).

Akan tetapi selain arti tersebut, kata itu digunakan oleh Qur’an Suci dalam arti menetapi kewajiban, seperti tersebut dalam 4:1, dimana diuraikan bahwa kata arham (ikatan keluarga) dijadikan pelengkap (object) dari kata ittaqu; demikian pula kata ittaqullah dimana Allah dijadikan pelengkap bagi kata ittaqu; oleh sebab itu arti kata ittaqa dalam hal ini ialah menetapi kewajiban.

Menurut bahasa Qur’an, orang yang bertaqwa (muttaqin), ialah orang yang telah mencapai derajat rohani yang amat tinggi. “Allah adalah kawan orang-orang yang bertaqwa (muttaqin)” (45:19).

“Allah mencintai orang muttaqi” (3:75; 9:4, 7). “Kesudahan yang baik adalah bagi orang muttaqin” (7:128; 11:49: 28:83). “Orang muttaqin akan memperoleh tempat perlindungan yang baik” (38:49).

Masih banyak lagi ayat yang menerangkan bahwa menurut Qur’an, orang muttaqi ialah orang yang telah mencapai derajat rohani yang tinggi. Oleh karena tujuan puasa itu untuk menjadi orang muttaqi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perintah Qur’an menjalankan puasa itu bertujuan agar orang dapat mencapai derajat rohani yang tinggi.

Disiplin rohani [pemahaman ambigu, bagaimana Rohani diketahui disiplinnya? Rohani bukan Materi kan.]

Puasa menurut Islam, terutama sekali untuk melatih disiplin rohani. Dalam dua tempat (9:112; 66:5), Qur’an Suci menerangkan bahwa orang yang puasa itu disebut sa-ih (berasal dari kata saha, makna aslinya, bepergian), artinya musafir rohani. Menurut Imam Raghib, jika orang menjauhkan diri, bukan saja dari makan dan minum, melainkan pula dari segala macam kejahatan, ia disebut sa-ih (R).

Pada waktu Qur’an Suci membicarakan puasa bulan Ramadan, tercantum satu ayat yang khusus menerangkan dekatnya manusia pada Allah, oleh karena dekatnya manusia dengan Allah itulah yang dituju oleh puasa. Lalu pada ayat itu ditambah kata-kata: “Maka hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku (dengan menjalankan puasa), dan beriman kepada-Ku, agar mereka dapat menemukan jalan yang benar” (2:186).

Dalam Hadits juga ditekankan bahwa tujuan puasa ialah untuk mencari ridla Ilahi. “Orang yang menjalankan puasa dalam bulan Ramadan, karena iman kepada-Ku dan mencari keridlaan-Ku” (Bu. 2:28). Nabi Suci bersabda: “Puasa itu perisai, maka dari itu orang yang sedang puasa janganlah berbicara kotor dan sesungguhnya bau mulut orang yang puasa itu lebih harum, menurut Allah, daripada minyak kesturi, ia berpantang makan dan minum dan syahwat hanya untuk mencari ridla-Ku; puasa hanyalah untuk-Ku” (Bu. 30:2).

Tak ada godaan yang lebih besar daripada godaan untuk memenuhi gejolak makan dan minum apabila makanan dan minuman telah tersedia, namun godaan dapat diatasi, bukan hanya sekali atau dua kali, yang seakan-akan hanya kebetulan saja, melainkan berhari-hari sampai satu bulan lamanya, dengan tiada tujuan lain kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Ia dapat saja menikmati makanan yang lezat, namun ia tetap memilih lapar; ia mempunyai minuman yang segar, namun ia tetap mengeringkan tenggorokkannya menahan dahaga. Ia tak mau menyentuh makanan dan minuman hanya karena ia sadar bahwa itu perintah Allah.

Di dalam rumah yang sepi, tak ada orang yang tahu bahwa ia bisa membasahi tenggorokannya dengan segalas minuman segar, namun dalam batinnya telah berkembang perasaan dekat kepada Allah, hingga ia tak mau meneteskan setetes air pun ke dalam mulutnya.

Apabila datang godaan baru, ia pasti dapat mengatasi itu, karena pada saat-saat kritis, terdengar suara batin: “Tuhan ada di sampingku, dan Tuhan melihatku”.

Tak ada ibadah yang dapat mengembangkan perasaan dekat kepada Allah dan perasaan berada di samping-Nya, selain ibadah puasa yang dijalankan terus-menerus hingga satu bulan lamanya.

Adanya Allah, yang bagi orang lain baru pada tingkat iman, tetapi bagi dia sudah merupakan realitas, dan kenyataan ini hanya dapat dicapai dengan disiplin rohani yang menjadi dasarnya puasa.

Kesadaran akan adanya hidup yang tinggi, lebih tinggi dari-pada hidup yang hanya untuk makan dan minum, telah menghayati dirinya, dan hidup itu ialah kehidupan rohani.

Disiplin Moral

Puasa itu juga dasarnya disiplin moral, karena, puasa merupakan tempat latihan, dimana manusia diajarkan akhlak yang tinggi, yaitu ajaran supaya manusia siap menghadapi penderitaan yang amat berat dan tahan menghadapi cobaan berat, dan pantang menyerah kepada sesuatu yang terlarang baginya.

Ajaran itu diulang setiap hari hingga sebulan lamanya, dan sebagaimana latihan jasmani dapat memperkuat tubuh manusia, demikian pula melatih akhlak dengan puasa, yaitu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang terlarang, akan memperkuat segi moral bagi hidupnya.

Pengertian bahwa segala sesuatu yang terlarang harus disingkiri, dan segala sesuatu yang buruk harus dibenci, ini hanya dapat dikembangkan melalui puasa. Dengan jalan puasa dapat dicapai pula aspek yang lain bagi perkembangan akhlak manusia, yaitu menaklukkan nafsu jasmaninya.

Manusia mengatur waktu makan dengan berselang-seling, dan ini memang aturan hidup yang baik; tetapi puasa selama sebulan mengajarkan kepadanya ajaran yang tinggi, yaitu bahwa ia bukan lagi menjadi budak nafsu makan dan nafsu jasmaninya, melainkan ia menjadi majikannya, karena dapat mengubah haluan hidupnya sesuai dengan kemauannya.

“Manusia yang dapat menguasai nafsunya, yaitu mengendalikan nafsu itu sesuai dengan keinginannya, bahkan kekuatan batinnya begitu kuat sehingga ia dapat memerintah nafsunya, ia adalah manusia yang telah mencapai derajat akhlak yang paling tinggi.”

Nilai Sosial Ibadah Puasa

Sebagaimana diuraikan dalam Qur’an Suci, puasa itu selain mempunyai nilai-nilai moral dan rohani, mempunyai pula nilai sosial yang lebih efektif daripada nilai sosial shalat. Pada waktu shalat, semua penduduk di sekeliling Masjid, baik kaya maupun miskin, orang besar maupun orang kecil, shalat berjamaah lima kali sehari di Masjid dalam kedudukan yang sama, dengan demikian, pergaulan masyarakat yang sehat dapat dicapai melalui shalat.

Tetapi dengan tibanya bulan Ramadan, maka gerakan massa menuju persamaan derajat bukan saja terbatas di sekeliling Masjid, atau di seluruh negeri, melainkan mencakup seluruh Muslim di dunia.

Mungkin orang kaya dan miskin berdiri bahu-membahu di Masjid, tetapi di rumah, mereka hidup dalam lingkungan keluarga yang jauh berbeda. Si kaya duduk menghadap meja yang penuh makanan enak, dan dengan makanan yang lezat ini mereka mengisi perutnya empat sampai enam kali sehari, tetapi si miskin, tak kecukupan untuk makan dua kali sehari.

Bagi si miskin seringkali merasakan lapar, sedang perasaan semacam ini tak pernah dirasakan oleh si kaya. Lalu bagaimana agar si kaya ikut merasakan rasa lapar seperti si miskin dan menaruh simpati kepadanya? Jadi dalam rumah tangga terdapat perbedaan sosial yang menyolok antara dua golongan masyarakat, dan rintangan ini hanya dapat disingkirkan dengan membuat si kaya ikut merasakan rasa lapar seperti saudara-saudaranya yang miskin, yang tempo-tempo satu hari penuh tak makan, dan pengalaman semacam itu harus mereka rasakan terus-menerus, bukan satu atau dua hari saja, melainkan selama satu bulan penuh.

Dengan demikian, orang kaya dan miskin di seluruh dunia Islam menjadi sama kedudukannya, yaitu hanya diperbolehkan makan dua kali sehari, yakni dikala buka dan sahur saja, dan walaupun makanan si kaya jauh berlainan dengan makanan si miskin, tetapi si kaya telah dipaksa untuk mengurangi menunya dan dipaksa makan yang lebih sederhana, sehingga si kaya semakin dekat dengan saudara-saudaranya yang miskin.

Sudah tentu perilaku semacam itu akan menimbulkan rasa simpati terhadap kaum miskin. Oleh sebab itu, khusus dalam bulan Ramadan, orang diperintahkan untuk banyak mengeluarkan sedekah, terutama sedekah fitrah guna menolong kaum fakir miskin.

http://superkoran.info/?p=3285

Re: Aida Ces: Asal muasal Puasa & Ramadhan

Posted: Mon Aug 13, 2012 5:14 pm
by KalduBening
fayhem wrote:Ini omong kosong,
apa setelah si kaya merasakan lapar lantas si miskin jadi kaya ?

kenapa harus merasakan lapar dulu untuk bisa simpati kepada orang yang miskin ?
Apakah dengan begitu kita harus cacat dulu agar kita bisa menaruh simpati kepada orang cacat ?

Bagaimana bisa menyatakan dengan makan sama maka kedudukannya sama ?
Apakah jika kamu makan dog food yang sama dengan anjingmu maka kedudukan anjingmu sama denganmu ?
Apakah jika kamu dan anjingmu sama-sama makan dua kali sehari maka kedudukan anjingmu sama denganmu ?

bagaimana jika si miskin tidak punya uang untuk sahur / buka ?
Tidak ada perintah pengurangan menu / makan sederhana saat buka / sahur

Puasa ga puasa, perbedaan sosial tetap ada.

Yang lebih penting adalah bagaimana menyikapi perbedaan sosial itu, bukan mengelabui pikiran dengan puasa seakan-akan perbedaan sosial itu tidak ada

PUASA ISLAM IS BULLSHIT !
Well said!

Muslim cuma membohongi diri sendiri dengan puasanya, seolah-olah mereka berbuat kebaikan padahal sama sekali tidak ada manfaatnya bagi orang lain... :roll: