Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Benturan dan bentrokan antara Islam dengan agama-agama dan peradaban lain di seluruh penjuru dunia.
tanah merah
Posts: 19
Joined: Sun Aug 29, 2010 2:09 pm
Location: kalo sudah tau hakikat hidup, kitab suci itu terlalu banyak uraian

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Post by tanah merah »

salah satu yang saya suka dari Islam adalah Syech Siti Jenar (yang di kenal murtad oleh Islam).


setelah saya tanya2 dan browsing2...ternyata Gatholoco lebih extreme lagi...sayang yang saya baca versi bahasa jawa kuno.
ayo dong yang punya translate Indonesianya share di sini,,, =D>
mocopait
Posts: 45
Joined: Tue Aug 31, 2010 7:42 pm

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Post by mocopait »

Gatholoco versi bahasa jawa dan bahasa indonesia :

- http://apakabar.ws/gatholoco/serat.htm

Kumplitnya :

- http://www.apakabar.ws/content/view/2840/88888889/

isi :
- PengIslaman Nusantara & Runtuhnya Majaphit 1 s/d 5
- Sekelumit Kisah Sunan Kajenar atau Syeh Siti Jenar 1 s/d 5
- Serat Sabda Palon - Runtuhnya Majapahit
- Ki Ageng Pengging I s/d IV
- JAKA TINGKIR I s/d 5
- Arya Penangsang 1 s/d 7 (tamat)
- Serat Gatholoco
- BABAD TANAH JAWA 1 s/d 3
- RIWAYAT SUNAN KALIJAGA 1 s/d 5
- Ki Ageng Pengging
- Serat Darmagandhul 1 s/d 12

Jangan lewatkan juga tulisan HABE alias Hasan Basri orang yg Murtad dari Islam dan kini tinggal di vegas.

Disini : http://www.apakabar.ws/content/view/2443/88888889/


Wassalam
justlie
Posts: 7
Joined: Tue Nov 09, 2010 1:53 pm

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Post by justlie »

islam keren. itu bukan propaganda barat. tapi itu kenyataan. agama lain sudah memperlihatkan apa kebaikan dari agama nya. kalo ISLAM? selama ini yang kita saksikan di tv2. hanya membunuh org tidak berdosa. mencap agama lain selain ISLAM ADALAH KAFIR. tapi 1 pertanyaan saya kepada anda. APAKAH ANDA PERCAYA AJARAN SI MAMAD ONTA ARAB ITU BISA MEMBUAT ANDA MASUK SURGA, SEDANGKAN DIRINYA SENDIRI MINTA DI DOAKAN OLEH UMATNYA? APAKAH ANDA PERCAYA AJARAN SI MAMAD YANG BISA BERISTRI LEBIH DARI 1? :rolling: :rolling: alkuran, kitab2 dsb itu semua hasil karya manusia. yang nulis MANUSIA. anda merasa sakit kalo anda di sakiti. tapi islam yang selama ini saya perhatikan dari tv dan surat kabar. jarang ada yang benar. kebanyakan TIDAK BENAR.
agis
Posts: 57
Joined: Thu Nov 25, 2010 6:32 pm

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Post by agis »

Laurent wrote:Kontroversi Serat Darmo Gandhul:
Betulkah Ki Kalam Wadi adalah Ronggo Warsito?

Masuknya Islam ke Tanah Jawa ternyata menyimpan cerita yang sungguh luar biasa. Salah satunya terekam dalam Serat Darmo Gandhul yang kontroversial itu. Dalam serat yang aslinya berbahasa Jawa Kuno itu
dipaparkan perjalanan beberapa wali, juga hambatan dan benturan dng budaya dan kepercayaan lokal.

Image

Penulis serat ini tak menunjukkan jati diri aslinya. Ada yang menafsirkan,
pengarangnya adalah Ronggo Warsito. Ia pakai nama samaran Ki Kalam Wadi, yang berarti rahasia atau kabar yang dirahasiakan. Ditulis dalam bentuk prosa dengan pengkisahan yang menarik. Isi Darmo Gandhul tentu saja mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam di Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah, terpenggalnya kepala dan tetesan air mata. Kaburnya para pemeluk Hindu dan Budha ke berbagai wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan dan hutan rimba, adalah salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian massal oleh sekelompok orang yang ingin mengIslamkan P Ja

Yang patut kita hayati sekarang adalah kenyataan , Bahwa ALISINA adalah benar2 Nabi. untuk Abad ini. kita harus menyelami ajarannya demi penemuan kesadaran Universal dan persatuan umat manusia di muka Bumi. :stun:

Terkait dengan kisah Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, kebetulan saya ada terjemahan Serat Darmo Gandhul yang aslinya berbahasa Jawa Kuno. Yang saya kirimkan berikut ini adalah versi yang tidak lengkap, bersumber dari Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Anda bisa baca dan menilai sendiri. Hanya agar lebih enak untuk dibaca, Posmo menyuntingnya disana-sini. Yang perlu dicatat, pembaca sendiri harus kritis menyikapi isi cerita yang mungkin amat tendensius ini.

Serat Darmo Gandhul pernah diterbitkan oleh Dahara Prize - Semarang
berukuran 15 cm x 15 cm. Berikut ini adalah tulisan tentang Serat Darmo Gandhul yang dimuat berseri di Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Isi dari serat ini rasanya masih relevan dikaitkan dengan zaman sekarang, dimana mulai bermunculan kelompok fundamentalis Islam, terorisme yang mengatas namakan agama, dan juga kelompok-kelompok yang bermimpi untuk mendirikan kekhalifahan Islam di negeri ini, dan juga di negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Selamat membaca!


Tokoh2 terkait:

Para penulis :
- Darmo Gandhul - murid Ki Kalam Wadi
- Ki Kalam Wadi - penulis serat
- Raden Budi - guru Ki Kalam Wadi

Para pelaku :
- Prabu Brawijaya - Raja Majalengka (Majapahit), raja Majapahit
terakhir, yg dgn sedih harus menyaksikan kerajaannya dicabik2 oleh
puteranya, Raden Patah, yg melawan ayahnya yg dianggapnya 'Budha
kafir kufur'.

- Putri Campa (Dwarawati? Dara Petak?) - permaisuri Prabu Brawijaya
dari Cina yg memperkenalkan Islam pada PB, yg kemudian disesali PB

- Sayid Rahmad - kemenakan Putri Campa (Sunan Ampel) yg diberi ijin
PB utk menyebar Islam di Jawa

- Sayid Kramat - Sunan Bonang, tokoh licik
yg mengakibatkan permusuhan antara PB dgn puteranya sendiri, Raden
Patah. Ialah yg mengajarkan Raden Patah utk membenci ayahnya yg
kafir. Sesuai dgn buku 'suci' Islam :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pelindung-pelindungmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pelindung-pelindungmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. [9.24]

- Raden Patah (Babah) - putra Prabu Brawijaya, dikenal juga sbg Adipati
Demak/Senapati Jimbuningrat/Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul
Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak/Sultan Adi Surya Alam di
Bintoro. Putera lalim yg membawa kesengsaraan pada Majapahit &
akhirnya, tanah air kita ini.
(Di SMA, kami tidak pernah diajarkan bahwa kejatuhan Majapahit
sebenarnya diakibatkan oleh kerakusan seorang anak. Paling cuma
dikatakan : Majapahit vs Demak)

- Sunan Kalijaga : negosiator licik yg ingin merebut kembali hati PB
setelah RP menyesali perbuatannya. Sunan Kalijaga ini yg menarik PB
masuk Islam. Perbuatan PB ini kemudian dicela oleh tokoh bijak, Ki
Sabdapalon
.

dll :
- Raden Kusen (Raden Husen/Raden Arya Pecattanda) - saudara kandung
Raden Patah (lain ayah)
- Ki Bandar - sahabat Sunan Bonang
- Bandung Bondowoso
- Nyai Plencing - dedemit
- Buta Locaya - raja dedemit (mantan Patih Sri Jayabaya)
- Ni Mas Ratu Pagedongan (Ni Mas Ratu Angin-Angin)
- Kyai Tunggul Wulung
- Kyai Patih
- Syech Siti Jenar
- Tumenggung Kertosono
- Sunan Giri
- Arya Damar - Bupati Palembang
- Patih Mangkurat
- Setyasena - komandan pasukan Cina Islam
- Bupati Pati
- Adipati Pengging
- Adipati Pranaraga
- Sabdo Palon
- Naya Genggong
WIsanggeni
Posts: 1
Joined: Thu Feb 10, 2011 5:36 pm

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Post by WIsanggeni »

(TELAAH TERHADAP SERAT DARMA GANDUL)

PENDAHULUAN

Jawa adalah sebuah peradaban, walaupun belum diakui secara aklamasi oleh dunia. Kehidupan di Jawa telah dimulai jauh sebelum kedatangan Hindhu.[1] Jawa dalam kemandirian peradabannya merupakan sebuah manifestasi sistem yang sukar ditundukkan oleh pengaruh yang berasal dari luar. Hindhu sendiri misalnya, tidak sepenuhnya agama yang berasal dari India tersebut mampu mengubah ‘sifat bangsa’ Jawa yang egaliter. Sistem Kasta[2] dalam Hindhu tidak sepenuhnya merasuk dalam pemikiran Jawa. Bahkan sistem Kasta tersebut terdekonstruksi oleh pola pikir jawa dan mengalami proses jawanisasi.[3] Maka kemudian terbentuklah ajaran agama Hindhu menjadi ‘Hindhu kejawen’.

Di Jawa juga terdapat sejumlah aliran kebatinan yang tumbuh dan berkembang. Di antara banyak aliran kebatinan tersebut, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pemikiran Jawa banyak dipengaruhi oleh beberapa kitab antara lain Darmagandul, Gatoloco, Hidayat Jati, dan Serat Centhini. Dalam hal ini penulis akan coba untuk membahas buku darmagandul sebab tulisan tersebut menceritakan tentang ketidakpuasan para pendukung Majapahit melihat hancurnya kerajaan Hindhu tersebut dan digantikan oleh kerajaan Islam. Perlu diketahui bahwa buku Darmagandul menyatakan bahwa seolah-olah rakyat Jawa pada masa itu, termasuk kerajaan majapahit dan para penguasanya, adalah penganut agama Budha. Tentu saja keterangan ini berbeda dengan versi sejarah yang kita ketahui yang menyebutkan bahwa Majapahit adalah kerajaan Hindhu.

Buku Darmagandul merupakan tulisan yang sebagian besar mengisahkan tentang keruntuhan kerajaan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak. Dalam versi Darmagandul Majapahit runtuh akibat serangan dari Adipati Demak yang bernama Raden Patah. Sebenarnya Raden Patah masih merupakan putra Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir, dengan seorang putri dari China. Namun, menurut buku Darmagandul, para ulama yang dipimpin sunan Giri dan Sunan Benang (Bonang) yang tergabung dalam majlis dakwah wali sanga, memprovokasi Raden Patah agar merebut tahta kerajaan dari ayahnya yang masih kafir, karena memeluk agama Budha. Bujukan para wali berhasil, sehingga pada akhirnya Majapahit dapat dibumi hanguskan dan Prabu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Buku darmagandul juga mengupas tentang ‘budi buruk’ para ulama yang oleh Prabu Brawijaya diberi kebebasan untuk berdakwah diwilayah Majapahit, namun pada saat Islam telah menjadi besar mereka berbalik melawan Majapahit dan melupakan budi baik sang raja Brawijaya. Hal ini ditunjukkan dengan ekspresi penulis Darmagandul ketika mengartikan wali adalah walikan (kebalikan). Artinya diberi kebaikan namun membalas dengan keburukan.[4]



Penulis menggunakan buku Darmagandul terbitan Toko Buku “Sadu-Budi” Solo. Buku tersebut merupakan cetakan keempat dengan angka tahun 1959 yang ditampilkan dalam bentuk gancaran dengan Bahasa Jawa Ngoko.[5] Buku tersebut ditulis berdasarkan kitab induk yang dimiliki oleh K.R.T. Tandanagara. Buku Darmagandul tersebut diberi keterangan sebagai buku yang mengisahkan tentang cerita runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak yang dimulai sejak orang Jawa meninggalkan agama Budha dan beralih menganut agama Islam.

PERMASALAHAN

Secara umum buku Darmagandul tidak memberikan penjelasan tentang identitas instrinsik berupa nama penulis (anoname) dan masa kepenulisan. Selain itu buku tersebut menampilkan diri sebagai salah satu tulisan yang menampilkan cerita sejarah. Sebagaiman telah menjadi pandangan umum, sejarah adalah fakta tunggal yang bisa ditafsirkan berdasarkan motif dan rasionalisasi tertentu. Padahal kajian sejarah membutuhkan kepastian sumber sejarah atau setidaknya sebuah bentuk otoritas tertentu. Maka penulis akan mencoba mengkaji buku Darmagandul tersebut berdasarkan batu uji sebagai berikut:

Siapa penulis buku Darmagandul dan kapan masa penulisannya ?

Bagaimana kisah runtuhnya kerajaan majapahit dan Berdirinya Demak ?

Apa dan bagaimana intisari ajaran serat Darma gandul ?

MEMAHAMI IDENTITAS PENULIS DARMOGANDUL

Kitab Darmagandul (sering ditulis dengan Darmo Gandul atau Darma Gandhul atau Darmo Gandhul) merupakan sebuah buku kontroversial yang berusaha memojokkan agama Islam dan mengembalikan suku Jawa kepada kepercayaan nenek moyangnya yaitu agama Budha. Isinya secara dominan mengisahkan tentang kehancuran dan keruntuhan majapahit akibat serangan Demak dan Politik ‘kotor’ para wali. Sedangkan isinya yang lain merupakan bentuk pengajaran beberapa falsafah dan pemikiran ‘ilmu kehidupan’ dari seorang guru bernama Kyai Kalamwadi[6] dengan muridnya yang bernama Darmagandul.

Identitas pengarang Serat Darmagandul tidak jelas. Demikian juga latar belakang dan masa penulisannya. Sebagian besar kalangan meyakini bahwa Serat Darmagandul ditulis pada masa peralihan antara runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak. Jika asumsi ini benar, maka latar belakang penulisan Serat Darmagandul bisa ditebak yaitu kegundahan hati penulis Serat melihat banyaknya rakyat Majapahit yang memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Budha secara masal. Namun jika asumsi tersebut salah maka identitas penulis Darmagandul tetap bisa diidentifikasi sebagai oknum yang menderita islamophobia dan sekaligus menunjukkan kebencian terhadap eksistensi Islam.

Secara umum buku Darmagandul banyak memiliki kesalahan data dalam mengungkapkan fakta sejarah. Oleh karena itu sulit dipastikan bahwa buku tersebut benar-benar ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak. Bukti lebih kuat justru menekankan bahwa buku tersebut di tulis di era belakangan pasca penjajahan bangsa Eropa di Bumi Nusantara. Oleh karena itu cerita sejarah dalam serat tersebut boleh diabaikan dari kedudukannya sebagai sebuah fakta.

Misalnya diceritakan bahwa dalam sebuah peperangan, tentara Demak yang terdiri dari orang-orang Giri mengalami kekalahan kerana tidak mampu menghadapi tentara Majapahit yang menggunakan bedhil (senapan) dan mimis (peluru). Hal tersebut diungkapkan sebagai berikut :

… wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis, …[7]

Dari kalimat di atas, sulit dipahami bahwa tentara Majapahit telah mengenal senjata api berupa senapan. Sedangkan fakta sejarahnya, senapan dengan istilah bedil, baru dikenal oleh orang Jawa pasca kedatangan bangsa Eropa di bumi Nusantara. Maka jelas bahwa buku Darmagandul baru ditulis pasca kedatangan bangsa Eropa dan bukan pada masa peralihan antara kejatuhan Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak sebagaimana diyakini sebagian kalangan.

Selain itu buku ini juga telah menceritakan tentang hubungan antara para auliya’ dari berbagai negeri dengan pohon pengetahuan dalam bentuk perbandingan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut :

“ Sastra warna-warna paringane Kang Maha Kawasa, iku wajib dipangan, supaya sugih pangreten lan kaelingan, mung wong kang ora ngerti sastra paring Gusti Allah, mesti ora ngerti marang wangsit. Auliya’ Gong Cu kumentus niru sastra tulisan paring Gusti Allah, nanging panggawene ora bisa, sastrane unine kurang, dadi pelon, para auliya panggawene sastra dipatoki cacahe, mung aksara Cina kang akeh banget cacahe, nanging unine pelo, amarga Auliya kang nganggit kesusu mangan woh kawruh, ing mangka iya kudu mangan woh wit Budi, Auliya mau lali yen tinitah dadi manusa, ewadene meksa nganggo kuwasane Kang Maha Kuwasa, anggayuh kang dudu wajibe, kesusu tanpa panglulu nganggit aksara kang tanpa etungan cacahe, jenenge sastra godhong, godhonge wit budhi lan wit kawruh, dipethik saka satitik, ditata dikumpulake, banjur dianggit kanggo sastra, mulane aksarane nganti ewon, Auliya China kesiku, amarga arep gawe sastra urip kaya yasane Gusti Allah. Auliya Jawa enggone mangan woh Budi nganti wareg, mula enggone nganggit aksara sanadyan ora pati akeh cacahe, nanging wis bisa nyukupi, sarta unine ora pelo. Auliya Walanda enggone mangan woh wit kawruh uga ngati wareg, dene enggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Auliya Arab enggone mangan woh wit Kuldi akeh banget. Dene enggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Nanging yen sastra yasane Gusti Allah dadine saka sabda, wujude dadi dewe, mulane unine iya cetha, satrane ora ana kang padha.”[8]

Perbandingan dalam kategori sastra dan jumlah aksara antar bangsa kemudian digunakan untuk menetukan harkat dan martabat serta ‘ketinggian’ pengetahuan dan budi, jelas merupakan ide yang ahistoris. Aksara Jawa dalam kenyataan yang sebenarnya tidak cukup baik untuk menuliskan semua huruf yang bisa dilafalkan melalui suara. Sebagai contoh, dalam kaidah penulisan huruf Jawa terdapat konsep aksara swara dan aksara rekan. Aksara swara adalah huruf yang digunakan untuk menuliskan huruf vokal di awal kata yang digunakan pada kata-kata yang berasal dari manca, seperti pada kata Allah, Eropah, Umar, dan lain sebagainya. Sedangkan aksara rekan adalah huruf-huruf yang digunakan untuk menuliskan pelafalan huruf manca yang tidak terdapat dalam aksara Jawa,[9] seperti za, fa, gha, kha, dan dza.

Selain itu kata ‘Auliya Walanda’ menunjukkan bahwa Serat Darma Gandul ditulis pada masa atau pasca penjajahan Bangsa Belanda. Kata Walanda yang berarti Belanda (sebutan untuk Netherland dari bangsa Indonesia) tidak mungkin dikenal pada masa peralihan antara Majapahit dan Demak. Maka teori masa penulisan yang menyebutkan, antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak, dengan demikian jelas terbantahkan.

Buku Darmagandul seringkali menggunakan frase wit kawruh yang bermakna pohon pengetahuan. Idiom ‘pohon pengetahuan’ bukanlah kata-kata yang wajar dalam nalar Jawa. Falsafah Jawa lebih sering menampilkan kata-kata seperti banyu bening (air bening), banyu penguripan (air penghidupan), cahya, sunar, pepadhang, dan berbagai frase yang melibatkan air atau identik dengan cahaya, bukannya pohon semacam pohon pengetahuan. Penggunaaan kata pohon (wit atau taru) secara simbolis, dalam pemikiran Jawa, umumnya digunakan untuk menggambarkan kebijaksanaan, pengayoman, dan beberapa hal yang identik dengan kewibawaan penguasa. Jika dirunut kepada ajaran Budha sekalipun tidak akan dapat ditemukan ajaran yang identik dengan pohon pengetahuan. Pohon Bodhi, dalam ajaran Budha, yang dianggap sebagai pohon dimana Sidharta Gautama menerima ilham di bawahnya, secara harfiah lebih mudah dimaknai sebagai pohon penerangan agung atau kesadaran yang sempurna[10] atau ilham[11] atau pencerahan dan bukannya pengetahuan. Lantas dari mana ide tentang pohon pengetahuan tersebut bersumber ? Dari penggalan di bawah ini, ide tentang pohon pengetahuan akan dapat dilacak.

“ Darmogandul matur, nyuwun diterangake bab enggone Nabi Adam lan Babu Kawa pada kesiku dening Pangeran, sabab saka enggone padha dhahar wohe kayu kawruh kang ditandur ana satengahing taman firdaus. Ana maneh kitab kang nerangake kang didhahar Nabi Adan lan Babu Kawa iku woh Kuldi, kang ditandur ana ing swarga. Mula nyuwun diterangake, yen ing kitab Jawa diceritaake kepriye, kang nyebutake kok mung kitab Arab lan kitabe wong Srani ”.[12]

Ide tentang Pohon Pengetahuan dalam Serat Darmagandul, tidak bisa diingkari, dapat dilacak ke dalam pemikiran kekristenan. Hal ini dapat ditinjau dalam Kitab Perjanjian Lama dalam Kejadian 2 : 16-17 sebagai berikut :

Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,[13]

tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”[14]

Ide pohon pengetahuan dalam dalam Kitab Perjanjian Lama tersebut seolah-olah ditolak dengan kalimat dalam Darmogandul sebagai berikut :… Yen Kitab Jawa ora nyebutake mangkana[15] (maksudnya kisah Pohon pengetahuan atau Pohon Kuldi) ”. Akan tetapi ide-ide tentang pohon pengetahuan dalam Perjanjian Lama tersebut dalam berbagai tempat justru diakomodasi oleh serat Darma Gandul. Pada saat yang bersamaan terjadi miskonsepsi dalam buku Darmogandul tentang penilaiannya terhadap “Pohon Kuldi” dalam pandangan Islam. Pohon Kuldi (syajaratul khuldi) yang bermakna pohon kekekalan pada hakikatnya adalah upaya pendefinisian yang dilakukan oleh Iblis terhadap pohon yang tumbuh di jannah dimana Allah melarang Adam untuk mendekatinya. Dengan demikian nama pohon Kuldi dalam pandangan Islam bukan merupakan propername haqiqi yang dikenal dalam konsep Islam, namun secara substansial maupun aksi merupakan bentuk kekejian dan pengelabuhan Iblis terhadap Adam.[16]

Dalam beberapa tempat, penulis Darmogandul nampaknya lebih menguasai doktrin kekristenan dibandingkan ajaran Islam dan Budha,[17] dalam hal ini yang coba dibelanya. Bahkan penulis Darmogandul memiliki itikad untuk menampilkan bahwa agama Nashrani lebih memiliki keunggulan dibandingkan agama-agama lainnya. Motif ini dapat ditelisik dimana, agama lain dalam hal ini Islam, senantiasa ditempatkan dalam image negatif. Sementara nashrani ditempatkan secara positif dalam gambaran sebagai berikut :

“… Kang diarani agama Srani iku tegese sranane ngabekti, temen-temen ngabekti mrang Pangeran, ora naganggo nembah brahala, mung nembah marang Allah, mula sebutane Gusti Kanjeng Nabi Isa iku Putrane Allah, awit Allah kang mujudake, mangkana kang kasebut ing kitab Ambiya.”[18]

Dalam buku Darmagandul juga terdapat cerita tentang salah satu putra Nabi Dawud yang bernafsu untuk menggantikan kekuasaan ayahnya. Sang anak lantas melakukan kudeta (coup d’etat). Namun Nabi Dawud berhasil merebut kembali tahtanya dan sang anak kemudian melrikan diri dan tewas dengan kepala tersangkut di pohon saat menunggang kuda. Cerita tersebut dijabarkan sebagai berikut :

“…carita tanah Mesir, panjenengane Kanjeng Nabi Dawud, putrane anggege keprabone rama, Nabi dawud nganti kengser saka nagara, putrane banjur sumilih jumeneng nata, ora lawas Nabi Dawud saged wangsul ngrebut negarane. Putrane nunggang jaran mlayu menyang alas, jaranae ambandang kecantol-cantol kayu, putrane Nabi Dawud sirahe kecantol kayu, ngati potol gumantung ana ing kayu, iya iku kang di arani kukuming Allah.”[19]

Cerita tentang kisah putra Dawud yang durhaka sebagaimana cerita di atas sudah tentu tidak akan dijumpai dalam sumber-sumber Islam, baik Al Quran, hadits, maupun kitab klasik lainnya. Sebab cerita tersebut bersumber langsung dari kitab umat Nashrani yaitu Perjanjian Lama dalam kitab 2 Samuel pasal 15 sampai 18. Secara ringkas cerita dalam kitab 2 Samuel tersebut adalah Absalom, putra Raja Dawud, berniat menarik simpati rakyat dengan menangani perkara pengadilan di kerajaan ayahnya.[20] Hakikatnya, Absalom sedang mempersiapkan diri dan menghimpun kekuatan ntuk memberontak kepada sang Ayah. Maka sejumlah persepakatan gelap dibuat sehingga banyak rakyat memihak Absalom.[21] Mengetahui posisi politiknya kurang menguntungkan, maka Dawud kemudian meloloskan diri beserta pegawai dan keluarganya yang lain.[22] Pada giliran selanjutnya Dawud dapat memukul mundur tentara Absalom.[23] Absalom yang mengendarai bagal (binatang keturunan kuda dan keledai) berlari. Ketika melewati jalinan dahan pohon Tarbantin yang besar, kepala Absalom tersangkut, sedangkan bagal yang dikendarainya terus berlari.[24] Dengan demikian kisah dalam serat Darmagandul pada dasarnya merujuk langsung ke dalam Perjanjian Lama, kitab yang diakui oleh umat Kristen dan Yahudi sebagai kitab suci.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan di atas maka identitas penulis dan masa penulisan buku Darmagandul dapat disimpulkan point-point sebagai berikut :

Penulisan buku Darmagandul dilakukan pada masa penjajahan Belanda atau bahkan ada kemungkinan jauh setelahnya, mengingat telah ada bentuk pemahaman yang mendalam terhadap kitab Perjanjian Lama. Dengan asumsi bahwa penulis kitab Darmagandul merupakan orang Jawa, maka pada masa penulisannya seharusnya sudah ada terjemahan Bible dalam Bahasa Jawa atau bahasa lain yang mungkin dapat dipahami. Dengan demikian anggapan bahwa buku tersebut ditulis pada masa transisi antara keruntuhan majapahit dan berdirinya kerajaan Demak dengan sendirinya terbantahkan.

Identitas penulis buku Darmagandul adalah orang Kristen atau setidaknya pernah mempelajari kekristenan. Jika bukan keduanya maka setidaknya penulis buku tersebut adalah penghayat sinkretisme agama atau bahkan seorang ‘perenialis pilih kasih” sebab menganggap semua agama sama baiknya, kecuali Islam. Namun demikian identitas penulis Darmagandul sebagai seorang yang terjangkiti Islamophobia sukar dibantah.

Penulis buku Darmagandul bukan penganut agama Budha. Sebab telah gagal menjelaskan beberapa doktrin mendasar dalam ajaran Budha. Salah satu contohnya penulis buku Darmagandul mengadopsi konsep kedewaan[25] dalam doktrin agama Hindhu.

SEPUTAR KERUNTUHAN MAJAPAHIT

Buku Darmagandul menyebutkan bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan semata-mata karena serangan dari kadipaten Demak di bawah pimpinan Adipati Jimbun Patah. Dengan sangat yakin penulis Darmagandul memaparkan hal tersebut sehingga boleh dikatakan bahwa buku tersebut menolak kemungkinan selain itu. Akan tetapi telah kita buktikan di atas bahwa buku Darmagandul tersebut bukan ditulis pada masa transisi antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak, sebagaimana anggapan sebagian kalangan. Maka sejumlah item yang dipaparkan oleh buku Darmagandul boleh diabaikan sebagai sumber sejarah, sebab bukan merupakan sumber utama sejarah yang terpercaya sekaligus dimuati sejumlah kepentingan dan motif tersembunyi. Namun demikian keruntuhan Majapahit patut mendapatkan porsi pembahasan tersendiri.

Berdasarkan kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, Islam telah masuk ke wilayah nusantara sejak Abad pertama hijriyah.[26] Bahkan upaya ekspedisi ke Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya.[27] Berdasarkan literature China menjelang seperempat Abad VII telah berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir Sumatra. Sedangkan di Jawa Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah mengadakan korespondensi dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan,[28] salah seorang shahabat Nabi dan pendiri dinasti Umayyah.[29] Akan tetapi karena terpaut jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa berjalan secara lamban. Namun demikian secara jelas Islam telah disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul, bahwa Islam berkembang di tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu Brawijaya,[30] adalah tidak benar.

Pada masa kerajaan majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar asing maka pemerintah kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar.[31] Alasannya pegawai beragama Islam pada masa itu kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan beragama Islam.[32]

Sementara itu dakwah Islam telah menjangkau masuk ke dalam lingkungan istana Majapahit dan berpengaruh terhadap para bangsawan. Para bangsawan yang telah menganut agama Islam, umumnya pindah keluar istana menuju daerah pantai yang dikuasai oleh para bupati yang telah beragama Islam.[33] Alasannya adalah demi toleransi dan mendapatkan kemerdekaan beragama. Dengan semakin berkurangnya sejumlah bangsawan dilingkungan kerajaan dan didiringi dengan semakin banyaknya rakyat Majapahit yang memilih Islam maka bias dipastikan kerajaan tersebut menjadi semakin lemah.

Padahal, pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibat perang paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Perang tersebut merupakan perebutan tahta antara Suhita (putri dari Wikramawardana) dan Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada tahun 1478 ini Dyah Kusuma Wardhani dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari tahta Majapahit. Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada tahun 1479, Wirabumi, anak dari Hayam Wuruk, berusaha untuk menggulingkan kekuasaan sehingga pecah Perang Paregreg (1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan namun karena hal itulah Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah kekuasaannya berusaha untuk memisahkan diri. Dengan demikian penyebab utama kemunduran Majapahit tersebut ditengarai disebabkan berbagai pemberontakan pasca pemerintahan Hayam Wuruk, melemahnya perekonomian, dan pengganti yang kurang cakap serta wibawa politik yang memudar.[34] Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling menyerang satu sama lain dan berebut mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syech Siti Jenar.[35] Sehingga dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu dapat dikatakan tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah mengalami pengeroposan dari dalam.

Dengan demikian faktor penyebab melemahnya Majapahit juga disebabkan makin pudarnya popularitas kerajaan Hindhu tersebut di mata rakyat. Keberadaan Majapahit telah tertutupi dengan munculnya kerajaan Demak yang dianggap membawa angin dan perubahan baru. Selain itu Demak juga semakin menguat setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban, dan Madura,[36] dimana wilayah-wilayah tersebut sebelumnya merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Dengan demikian tuduhan bahwa keruntuhan Majapahit akibat ‘digerogoti’ oleh ulama muslim dari dalam[37] dan semata-mata karena penyerangan kerajaan Demak terbukti tidak benar.

INTISARI TULISAN DALAM DARMAGANDUL

Buku Darmagandul berusaha menggambarkan bahwa pengajar Islam di Jawa yang disebut wali sanga merupakan sekumpulan ulama yang memiliki moralitas dan integritas pribadi yang buruk. Melalui cerita yang disampaikan dalam bentuk dialog, digambarkan bahwa sejumlah wali senantiasa kalah dalam sejumlah dialog. Sehingga mereka kemudian dicitrakan sebagai pihak yang tersalah dan ****.

Sebagai contoh dalam perdebatan antara Sunan Benang (Bonang) dengan Raja Jin yang bernama Buto Locaya. Sebelumnya Sunan Benang digambarkan sebagi pribadi yang sewenang-wenang dan tidak berfikir panjang dalam melakukan sebuah tindakan. Diceritakan bahwa Sunan Benang mengutuk sebuah desa sehingga aliran sungai berpindah ke tempat lain. Akibatnya tempat baru yang dialiri sungai tersebut terjadi banjir bandang. Maka dengan marah Raja Jin Buto Locaya kemudian berdebat dengan Sunan Benang. Dalam perdebatan Buto Locaya selalu digambarkan sebagai pihak yang menang secara argumentasi sedangkan Sunan Benang berada pada pihak yang dikalahkan. Jika diamati, argumentasi yang digunakan dalam berbagai dialog dan isi keseluruhan buku darmagandul, dibangun berdasarkan bentuk silogisme yang mentah akibat kesalahan pengambilan premis dan penyimpulannya. Sebagai contoh misalnya premis pertama menyatakan bahwa Islam berasal dari Mekah,[38] premis kedua adalah Mekah itu tanahnya panas, tidak ada tanaman yang mau tumbuh, hawanya panas dan jarang hujan,[39] kemudian kesimpulannya adalah jika orang Jawa meninggalkan ajaran lamanya dan melakukan konversi agama beralih kepada Islam, maka tanah Jawa akan menjadi langka pangan, berhawa panas, dan jarang hujan.[40] Demikian bentuk silogisme tersebut. Ditinjau dari segi manapun konklusi yang diambil dari kedua premis tersebut merupakan argument yang tidak logis dan sukar diterima akal sehat bahkan oleh akal sakit sekalipun.

Kemudian Sunan giri digambarkan sebagai juru tenung atau tukang sihir. Hal ini terlihat bahwa dalam salah satu bagian cerita Sunan Giri mengusulkan agar Prabu Brawijaya ditenung saja agar tidak merusak kondisi politik dan ketentaraan.[41] Kemudian pasca Raden patah berkuasa, tersebutlah Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga yang tidak mau tunduk kepada kesultanan Demak. Kedua adipati tersebut juga merupakan putra dari Prabu Barwijaya sebagaimana Raden Patah. Maka keduanya kemudian disingkirkan oleh Sunan Giri dengan jalan ditenung sampai mengalami kematian.[42]

Sedangkan Sunan Kalijaga digambarkan menyesali keadaan yang telah berjalan. Maka sebagai tanda penyesalannya, dia mengganti penampilannya berbeda dengan para wali yang lain. Yaitu menggunakan baju wulung dan bukannya baju surban sebagaimana umumnya para wali.[43] Bahkan sampai pada kesimpulan bahwa untuk mencari ilmu sejati tidak harus berguru kepada orang Arab (Islam maksudnya) namun cukup dengan mengeksporasi dirinya sendiri.

Ide ‘nyleneh’ bertebaran ditampilkan dalam kitab tersebut. Antara lain serat Darmagandul berusaha meyakinkan pembaca bahwa Latta dan Uzza, berhala yang disembah oleh kaum kafir Quraisy, seolah-olah merupakan manifestasi Tuhan. Hal ini dapat dilihat dalam penyebutan penyebutan nama ‘Hyang Latawalhujwa’ dibeberapa tempat.[44] Selain itu terdapat pernyataan bahwa kaum muslimin pada dasarnya bukan menyembah Tuhan namun menyembah tugu batu yang bernama Ka’bah. Pernyataan demikian seringkali ditemukan pada era saat ini. Biasanya lahir dari kekurangmengertian terhadap ajaran Islam. Dalam anggapan Darmagandul, ka’bah adalah buatan Nabi Ibrahim, seorang manusia. Lantas buku tersebut mempertanyakan mengapa orang Islam tidak menyembah batu-batu besar di Gunung Kelud saja, padahal batu gunung tersebut justru adalah ciptaan Tuhan.[45] Tentu saja persoalannya bukan siapa menciptakan apa dan konsekuensinya. Namun Ka’bah merupakan batu penjuru bagi umat Islam, lambang kesatuan Kiblat sekaligus menjadi bukti bahwa Islam merupakan ajaran Tauhid. Pembinaan terhadap Ka’bah, dalam doktrin Islam, mengacu pada pembinaan Baitul Makmur dimana atas perintah Allah para Malaikat melakukan Thawaf mengitarinya.[46] Pada hakikatnya bukan menyembah Ka’bah ataupun Baitul Makmur namun menyembah kepada Allah dengan mengikuti perintah dan tata cara penyembahan yang telah di atur oleh-Nya.

Lantas apakan gambaran tentang tentang para wali sebenarnya adalah demikian adanya ? Atau Apakah Serat Darmagandul merupakan sebuah kebenaran ? Sulit dipastikan, apalagi jika menggunakan serat Darmagandul sebagai sumber sejarahnya. Sebagaimana telah dibuktikan di atas Serat darmagandul bukan merupakan sumber utama sejarah sebab tidak ditulis pada masa peralihan antara kerajaan majapahit dan Kesultanan Demak sebagaimana anggapan orang. Kemudian banyak disisipi dengan berbagai motif dan kepentingan tersembunyi. Sedangkan puncak dari motif dan kepentingan dalam penulisan buku Darmagandul digambarkan sebagi suara kutukan roh Prabu Brawijaya terhadap Raden Patah sebagai berikut :

“Entek katresnanku marang anak. Den enak mangan turu. Ana gajah digetak kaya kucing, sandyan matiya ing tata-kalaire, nanging lah eling-elingen ing besuk, yen wis ana agama kawruh, ing tembe bakal tak wales, tak ajar weruh ing nalar bener lan luput, pranatane mengku praja, mangan babi kaya dek jaman Majapahit.”[47]

Maksud kutukan roh prabu Brawijaya tersebut suatu ketika, agama Islam akan dikalahkan oleh agama kawruh. Agama kawruh sebagaimana telah dijelaskan sebangun dengan pohon pengetahuan yaitu yang dimaksud adalah Agama atau ajaran Kristen. Dengan demikian seolah-olah kitab Darmagandul merupakan kitab Jawa yang seolah-olah menggambarkan dan memberikan ramalan masa depan bahwa Islam di Jawa akan ditundukkan oleh agama Kristen yang salah satu cirinya adalah mengajar benar dan salah[48] serta memakan babi seperti umumnya orang Majapahit. Jelas umat Budha tidak semua makan daging. Demikian juga muslim tidak memakan daging babi. Dan hal ini merupakan bukti yang nyata bahwa buku Darmagandul sejak awal memang merupakan buku dimaksudkan dan dipersiapkan guna kepentingan misi penginjilan. Mengingat bahwa penyebaran ajaran Nashrani di Indonesia telah dilakukan semenjak penjajahan bangsa Eropa di bumi Nusantara yang dilakukan dengan kekerasan[49]. Hal itu mengingatkan kita bahwa penjajahan bangsa Barat terhadap dunia Timur selalu ditopang oleh slogan gold (kekayaan), glory (kekuasaan politik), dan gospel (penyebaran Injil).

PENUTUP

Berdasarkan uraian dalam makalah ini maka dapat dismpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Penulis buku Darmagandul adalah penganut agama Nashrani yang terobsesi dengan kegiatan missi atau setidaknya pernah berinteraksi secara intensif dengan Kitab Bible

2. Masa penulisan buku Darmagandul adalah pada saat penjajahan Belanda di bumi Nusantara atau bahkan pasca itu. Dengan demikian hal ini memabantah pendapat sebagian kalangan bahwa buku tersebut ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak.

3. Buku Darmagandul memiliki banyak kesalahan dari sisi sejarah dan miskonsepsi dalam sejumlah contentnya. Hal ini wajar sebagai bukti bahwa penulis Darmagandul bukan pelaku utama sejarah tersebut sehingga pada hakikatnya buku Darmagandul adalah sebuah buku fiksi.

4. Dengan demikian buku Darmagandul tidak dengan serta merta dapat digunakan dalam menggali sumber sejarah terkait keruntuhan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak.

Wallahu a’lam

[1] Berdasarkan cerita oral, telah ada pendahulu kerajaan di Jawa seperti Medang Kamulan, Medang Pura, dan lain-lain.

[2] Sistem Kasta dalam Hindhu menunjuk hierarkhi manusia berdasarkan martabat dan keturunannya. Dalam Hindhu dikenal 4 macam kasta yaitu Brahmana, Satria, Waisya, dan Syudra.

[3] Rahmad Subagya. Agama Asli Indonesia. (Sinar Harapan, Jakarta, 1981). Hal. 237

[4] Noname. Darmagandul. Cetakan IV. (Sadu-Budi, Surakarta, 1959). Hal. 48

[5] Bahasa Jawa memiliki penggunaaan yang berbeda untuk masing-masing strata social. Berdasarkan strata social tersebut Bahasa Jawa dibagi menjadi tiga yaitu Bahasa Jawa Ngoko, Krama, dan Krama Inggil. Bahasa Ngoko digunakan untuk strata social masyarakat umum atau oleh seorang bangsawan dan orang terhormat kepada bawahannya. Bahasa Kromo dipakai oleh orang yang memiliki derajad dan status sosial sama namun telah akrab. Sedangkan Bahasa Krama Inggil digunakan oleh seorang yang memiliki derajad dan status social rendah terhadap orang yang memiliki derajad dan status social lebih tinggi dengan tujuan untuk menghormati.

[6] Secara harfiah kata kalamwadi artinya perkataan yang menjadi rahasia.

[7] Noname. Darmagandul. Ibid. Hal. 21. Tulisan tersebut dapat diartikan sebagai berikut : tentara Majapahit menembak (dengan senapan = ambedil), sedangkan tentara Giri berjatuhan mati akibat tidak kaut menghadapi melesatnya peluru.

[8] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 54. Artinya : Beragam sastra pemberian Gusti Allah wajib dimakan agar kaya dengan pengetahuan dan ingatan, orang yang tidak mengenal sastra pemberian Allah pasti tidak akan mengerti ilham. Auliya Gong Cu dengan congkak meniru sastra pemberian Gusti Allah, namun pembuatannya tidak bisa, sastra bunyinya kurang, jadi pelat, para Auliya pembuatan sastra ditentukan jumlahnya, namun aksara China banyak sekali jumlahnya, namun bunyinya pelat, sebab Auliya China terburu-buru memakan buah pohon pengetahuan, padahal juga harus memakan buah pohon Budi, Auliya tadi lupa bahwa dirinya tercipta sebagai manusia, maka karenanya memaksa menggunakan kekuasaan Yang Maha Kuasa, mengharap yang bukan wajibnya, terburu-buru menerima panglulu (pujian yang menjerumuskan) menggunakan sastra yang tidak terhitung jumlahnya, dinamakan sastra daun, daun dari buah pohon Budi dan pohon Pengetahuan, dipetik dari sedikit, ditata dan dikumpulkan, lantas dikarang untuk sastra, maka aksara China ribuan jumlahnya, Auliya China dikutuk, sebab berkemauan membuat sastra hidup seperti buatan Gusti Allah. Auliya Jawa memakan buah pohon Budi sampai kenyang, maka mengarang aksara yang tidak terlalu banyak namun sudah bisa mencukupi dan bunyinya tidak pelat. Auliya Belanda memakan buah pohon pengetahuan sampai kenyang juga, sedangkan jumlah aksara yang dikarangnya ditetapkan jumlahnya juga. Auliya Arab memakan buah pohon Kuldi banyak sekali. Sedangkan aksara yang digunakan juga ditentukan jumlahnya. Akan tetapi sastra buatan Gusti Allah, tercipta dari Sabda, maujud dengan sendirinya, maka bunyinya jelas, sastranya tidak ada yang sama.

[9] Selengkapnya baca T. Hadisoebroto. Aksara Djawa : Tatanan Panulise Basa Djawa sarta Latin. (Pantjawarna, Solo, 1959). Hal. 29

[10] Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 35

[11] Drs. Abu Ahmadi. Perbandingan Agama. Jilid I. Cetakan VII. (AB Sitti Syamsiyah, Surakarta, 1974). Hal. 48

[12] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 50. Artinya : Darmogandul berkata, meminta keterangan tentang Kisah Nabi Adam dan Ibu Hawa yang dikutuk oleh Tuhan, karena telah makan buah dari Kayu (pohon) Pengetahuan yang ditanam ditengah taman Firdaus. Ada kitab lain yang menerangkan bahwa yang dimakan oleh Nabi Adam dan Ibu Hawa adalah buah Kuldi, yang ditanam di surge. Maka mohon diterangkan, kalau dikitab Jawa bagaimana ceritanya, yang menyebutkan mengapa hanya Kitab Arab dan Kitab agama Nasrani.

[13] Kejadian 2:16. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[14] Kejadian 2:17. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[15] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 50. Artinya : Kalau Kitab Jawa Tidak menyebutkan demikian. Yang dimaksud adalah kitab Jawa tidak menyebutkan tentang Kisah Nabi Adam dan Hawa memakan buah pohon pengetahuan sebagaimana ajaran Kristen atau makan buah pohon Kuldi sebagaimana diklaim dalam Darmagandul sebagai ajaran Islam.

[16] Syaikh Ahmad Musthafa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Juz I. (Terj. Drs. M. Thalib). (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 88

[17] Penulis Darmogandul seolah-olah mendedikasikan kitabnya untuk membela agama Budha dan ajarannya. Namun dalam banyak kesempatan agaknya sang penulis Darmogandul kurang memahami ajaran Budha itu sendiri. Hal tersebut terlihat dari pemaknaan Pohon Bodhi, konsep kedewaan, dan beberapa konsep kehidupan lainnya yang justru berlawanan dengan doktrin pokok dalam ajaran Budha.

[18] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 48. Artinya : Yang dinamakan agama Nasrani artinya sarana berbakti : benar-benar berbakti kepada Tuhan, tanpa menyembah berhala, hanya menyembah Allah, Maka gelar Gusti Kanjeng Nabi Isa adalah Putra Allah, karena Allah yang mewujudkannya, demikian yang termaktub dalam kitab Ambiya.

[19] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 27. Artinya : cerita dari Mesir, Beliau Nabi Dawud, putranya bernafsu menggantikan kekuasaan sang ayah. Nabi Dawud sampai terdesak meloloskan diri keluar dari Negara, Anaknya tersebut kemudian menggantikan sebagai raja, tidak seberapa lama Nabi dawud kembali berhasil merebut negaranya. Anaknya melarikan diri dengan mengendarai kuda menuju ke hutan. Kuda tersebut berlari tanpa tentu arah tersangkut-sangkut kayu. Putra Nabi dawud kepalanya menyangkut di kayu sampai terpotong menggantung dikayu. Itulah yang dinamakan hukum Allah.

[20] Lihat 2 Samuel 15 : 6. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[21] Lihat 2 Samuel 15: 12. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[22] Lihat 2 Samuel 15 : 14-16. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[23] Lihat 2 Samuel 18 : 7-8. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[24] Lihat 2 Samuel 18 : 9-10. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[25] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 52

[26] Panitia Seminar. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. (Panitia Seminar, Medan, 1963). Hal. 265

[27] Herry Nurdi. Risalah Islam Nusantara. (Sabili Edisi Khusus : Sejarah Emas Muslim Indonesia, No. 9 Th. X, 2003). Hal. 9

[28] Prof. DR. Hamka. Sejarah Umat Islam. Cetakan V. (Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapore, 2005).Hal. 671-672

[29] A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 77

[30] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 48

[31] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 370

[32] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan VI. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 325

[33] Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 57

[34] H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal. 364

[35] Syekh Siti Jenar merupakan tokoh kontrovesial yang eksistensinya sebagai sosok historis masih dipertanyakan. Namun demikian sejumlah pendapat menyatakan bahwa dia bertanggung jawab atas penyebaran ajaran syi’ah dan sekaligus paham wihdatul wujud di Pulau Jawa. Menurut salah satu sumber dia memiliki nama asli Syeh Jabaranta dan pernah tinggal lama di Persia. Lihat MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Wali Songo. (Amanah, Surabaya,tth). Hal. 139

[36] Prof. Abu Bakar Aceh. Sejarah Al Quran. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 234-235.

[37] Buku Darmagandul menggambarkan bahwa para ulama adalah seperti tikus yang merusak dari dalam. Mereka meminta jabatan kepada raja Majapahit dan pasca itu kemudian merusak kerajaan dari dalam. Lihat Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 46-47

[38] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 15

[39] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 15-16

[40] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 16

[41] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 29

[42] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 46

[43] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 49

[44] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 14, 37, 40, 31

[45] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 15

[46] Selengkapnya dapat dibaca Prof. Dr. H. Abubakar Aceh. Sejarah Ka’bah dan Manasik Haji. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1984). Hal. 49-50

[47] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 49. Artinya : telah sirna rasa cintaku keada anak. Sudah diberi kenikmatan makan tidur. Ada gajah digertak seperti kucing, walaupun mati dalam tata lahir, namun ingat-ingatlah suatu hari nanti, jika telah ada agama pengetahuan, maka akan akau balas, akan kuajarkan benar dan salah, peraturan tentang tatanegara, makan daging babi seperti jaman Majapahit.

[48] Lihat Kejadian 2:17 sebagai berikut : Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”

[49] Lihat Kolonel Inf. R. Soegondo. Ilmu Bumi Militer Indonesia. Jilid II. (Pembimbing, Jakarta, 1954). Hal. 227
:stun:
User avatar
nopain
Posts: 83
Joined: Mon Apr 05, 2010 10:03 pm

Re:

Post by nopain »

ALQURAN BUKU SEJARAH GA YA BRO, KAN LANDASAN CUMAN WAHYU YANG GAK KETAHUAN JUNTRUNGANYA[/quote]
Ah lagi-lagi mas Krishnajis bercanda aja, bisa ngomong kayak diatas itu dasarnya dari mana?.
Kalau Mas Krishnajis sudah pelajari sejarah bagaimana Al-Quran diturunkan, dan Mas Krishnajis sudah belajar Apa inti ajaran yang disampaikan dalam Al-Quran, pastilah panjenengan akan lebih terbuka mata hati untuk menerima kebenaran Islam.
Tapi jika mas Krishnajis menutup telinga dan mata untuk sebuah jalan kebenaran, maka panjenengan akan tahu jawabannya pada "hidup setelah mati".
[/quote]


nah ini ... mulai deh pake emosi, wkwkwkwkw... awal2nya ngomong bagus, ujung2nya ini yg bikin ketawa... :rolling:
User avatar
nopain
Posts: 83
Joined: Mon Apr 05, 2010 10:03 pm

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Post by nopain »

WIsanggeni wrote:(TELAAH TERHADAP SERAT DARMA GANDUL)

PENDAHULUAN

Jawa adalah sebuah peradaban, walaupun belum diakui secara aklamasi oleh dunia. Kehidupan di Jawa telah dimulai jauh sebelum kedatangan Hindhu.[1] Jawa dalam kemandirian peradabannya merupakan sebuah manifestasi sistem yang sukar ditundukkan oleh pengaruh yang berasal dari luar. Hindhu sendiri misalnya, tidak sepenuhnya agama yang berasal dari India tersebut mampu mengubah ‘sifat bangsa’ Jawa yang egaliter. Sistem Kasta[2] dalam Hindhu tidak sepenuhnya merasuk dalam pemikiran Jawa. Bahkan sistem Kasta tersebut terdekonstruksi oleh pola pikir jawa dan mengalami proses jawanisasi.[3] Maka kemudian terbentuklah ajaran agama Hindhu menjadi ‘Hindhu kejawen’.

Di Jawa juga terdapat sejumlah aliran kebatinan yang tumbuh dan berkembang. Di antara banyak aliran kebatinan tersebut, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pemikiran Jawa banyak dipengaruhi oleh beberapa kitab antara lain Darmagandul, Gatoloco, Hidayat Jati, dan Serat Centhini. Dalam hal ini penulis akan coba untuk membahas buku darmagandul sebab tulisan tersebut menceritakan tentang ketidakpuasan para pendukung Majapahit melihat hancurnya kerajaan Hindhu tersebut dan digantikan oleh kerajaan Islam. Perlu diketahui bahwa buku Darmagandul menyatakan bahwa seolah-olah rakyat Jawa pada masa itu, termasuk kerajaan majapahit dan para penguasanya, adalah penganut agama Budha. Tentu saja keterangan ini berbeda dengan versi sejarah yang kita ketahui yang menyebutkan bahwa Majapahit adalah kerajaan Hindhu.

Buku Darmagandul merupakan tulisan yang sebagian besar mengisahkan tentang keruntuhan kerajaan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak. Dalam versi Darmagandul Majapahit runtuh akibat serangan dari Adipati Demak yang bernama Raden Patah. Sebenarnya Raden Patah masih merupakan putra Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir, dengan seorang putri dari China. Namun, menurut buku Darmagandul, para ulama yang dipimpin sunan Giri dan Sunan Benang (Bonang) yang tergabung dalam majlis dakwah wali sanga, memprovokasi Raden Patah agar merebut tahta kerajaan dari ayahnya yang masih kafir, karena memeluk agama Budha. Bujukan para wali berhasil, sehingga pada akhirnya Majapahit dapat dibumi hanguskan dan Prabu Brawijaya berhasil meloloskan diri. Buku darmagandul juga mengupas tentang ‘budi buruk’ para ulama yang oleh Prabu Brawijaya diberi kebebasan untuk berdakwah diwilayah Majapahit, namun pada saat Islam telah menjadi besar mereka berbalik melawan Majapahit dan melupakan budi baik sang raja Brawijaya. Hal ini ditunjukkan dengan ekspresi penulis Darmagandul ketika mengartikan wali adalah walikan (kebalikan). Artinya diberi kebaikan namun membalas dengan keburukan.[4]



Penulis menggunakan buku Darmagandul terbitan Toko Buku “Sadu-Budi” Solo. Buku tersebut merupakan cetakan keempat dengan angka tahun 1959 yang ditampilkan dalam bentuk gancaran dengan Bahasa Jawa Ngoko.[5] Buku tersebut ditulis berdasarkan kitab induk yang dimiliki oleh K.R.T. Tandanagara. Buku Darmagandul tersebut diberi keterangan sebagai buku yang mengisahkan tentang cerita runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak yang dimulai sejak orang Jawa meninggalkan agama Budha dan beralih menganut agama Islam.

PERMASALAHAN

Secara umum buku Darmagandul tidak memberikan penjelasan tentang identitas instrinsik berupa nama penulis (anoname) dan masa kepenulisan. Selain itu buku tersebut menampilkan diri sebagai salah satu tulisan yang menampilkan cerita sejarah. Sebagaiman telah menjadi pandangan umum, sejarah adalah fakta tunggal yang bisa ditafsirkan berdasarkan motif dan rasionalisasi tertentu. Padahal kajian sejarah membutuhkan kepastian sumber sejarah atau setidaknya sebuah bentuk otoritas tertentu. Maka penulis akan mencoba mengkaji buku Darmagandul tersebut berdasarkan batu uji sebagai berikut:

Siapa penulis buku Darmagandul dan kapan masa penulisannya ?

Bagaimana kisah runtuhnya kerajaan majapahit dan Berdirinya Demak ?

Apa dan bagaimana intisari ajaran serat Darma gandul ?

MEMAHAMI IDENTITAS PENULIS DARMOGANDUL

Kitab Darmagandul (sering ditulis dengan Darmo Gandul atau Darma Gandhul atau Darmo Gandhul) merupakan sebuah buku kontroversial yang berusaha memojokkan agama Islam dan mengembalikan suku Jawa kepada kepercayaan nenek moyangnya yaitu agama Budha. Isinya secara dominan mengisahkan tentang kehancuran dan keruntuhan majapahit akibat serangan Demak dan Politik ‘kotor’ para wali. Sedangkan isinya yang lain merupakan bentuk pengajaran beberapa falsafah dan pemikiran ‘ilmu kehidupan’ dari seorang guru bernama Kyai Kalamwadi[6] dengan muridnya yang bernama Darmagandul.

Identitas pengarang Serat Darmagandul tidak jelas. Demikian juga latar belakang dan masa penulisannya. Sebagian besar kalangan meyakini bahwa Serat Darmagandul ditulis pada masa peralihan antara runtuhnya Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak. Jika asumsi ini benar, maka latar belakang penulisan Serat Darmagandul bisa ditebak yaitu kegundahan hati penulis Serat melihat banyaknya rakyat Majapahit yang memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Budha secara masal. Namun jika asumsi tersebut salah maka identitas penulis Darmagandul tetap bisa diidentifikasi sebagai oknum yang menderita islamophobia dan sekaligus menunjukkan kebencian terhadap eksistensi Islam.

Secara umum buku Darmagandul banyak memiliki kesalahan data dalam mengungkapkan fakta sejarah. Oleh karena itu sulit dipastikan bahwa buku tersebut benar-benar ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak. Bukti lebih kuat justru menekankan bahwa buku tersebut di tulis di era belakangan pasca penjajahan bangsa Eropa di Bumi Nusantara. Oleh karena itu cerita sejarah dalam serat tersebut boleh diabaikan dari kedudukannya sebagai sebuah fakta.

Misalnya diceritakan bahwa dalam sebuah peperangan, tentara Demak yang terdiri dari orang-orang Giri mengalami kekalahan kerana tidak mampu menghadapi tentara Majapahit yang menggunakan bedhil (senapan) dan mimis (peluru). Hal tersebut diungkapkan sebagai berikut :

… wadya Majapahit ambedili, dene wadya Giri pada pating jengkelang ora kelar nadhahi tibaning mimis, …[7]

Dari kalimat di atas, sulit dipahami bahwa tentara Majapahit telah mengenal senjata api berupa senapan. Sedangkan fakta sejarahnya, senapan dengan istilah bedil, baru dikenal oleh orang Jawa pasca kedatangan bangsa Eropa di bumi Nusantara. Maka jelas bahwa buku Darmagandul baru ditulis pasca kedatangan bangsa Eropa dan bukan pada masa peralihan antara kejatuhan Majapahit dan berdirinya kerajaan Demak sebagaimana diyakini sebagian kalangan.

Selain itu buku ini juga telah menceritakan tentang hubungan antara para auliya’ dari berbagai negeri dengan pohon pengetahuan dalam bentuk perbandingan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut :

“ Sastra warna-warna paringane Kang Maha Kawasa, iku wajib dipangan, supaya sugih pangreten lan kaelingan, mung wong kang ora ngerti sastra paring Gusti Allah, mesti ora ngerti marang wangsit. Auliya’ Gong Cu kumentus niru sastra tulisan paring Gusti Allah, nanging panggawene ora bisa, sastrane unine kurang, dadi pelon, para auliya panggawene sastra dipatoki cacahe, mung aksara Cina kang akeh banget cacahe, nanging unine pelo, amarga Auliya kang nganggit kesusu mangan woh kawruh, ing mangka iya kudu mangan woh wit Budi, Auliya mau lali yen tinitah dadi manusa, ewadene meksa nganggo kuwasane Kang Maha Kuwasa, anggayuh kang dudu wajibe, kesusu tanpa panglulu nganggit aksara kang tanpa etungan cacahe, jenenge sastra godhong, godhonge wit budhi lan wit kawruh, dipethik saka satitik, ditata dikumpulake, banjur dianggit kanggo sastra, mulane aksarane nganti ewon, Auliya China kesiku, amarga arep gawe sastra urip kaya yasane Gusti Allah. Auliya Jawa enggone mangan woh Budi nganti wareg, mula enggone nganggit aksara sanadyan ora pati akeh cacahe, nanging wis bisa nyukupi, sarta unine ora pelo. Auliya Walanda enggone mangan woh wit kawruh uga ngati wareg, dene enggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Auliya Arab enggone mangan woh wit Kuldi akeh banget. Dene enggone nganggit aksara iya dipathoki cacahe. Nanging yen sastra yasane Gusti Allah dadine saka sabda, wujude dadi dewe, mulane unine iya cetha, satrane ora ana kang padha.”[8]

Perbandingan dalam kategori sastra dan jumlah aksara antar bangsa kemudian digunakan untuk menetukan harkat dan martabat serta ‘ketinggian’ pengetahuan dan budi, jelas merupakan ide yang ahistoris. Aksara Jawa dalam kenyataan yang sebenarnya tidak cukup baik untuk menuliskan semua huruf yang bisa dilafalkan melalui suara. Sebagai contoh, dalam kaidah penulisan huruf Jawa terdapat konsep aksara swara dan aksara rekan. Aksara swara adalah huruf yang digunakan untuk menuliskan huruf vokal di awal kata yang digunakan pada kata-kata yang berasal dari manca, seperti pada kata Allah, Eropah, Umar, dan lain sebagainya. Sedangkan aksara rekan adalah huruf-huruf yang digunakan untuk menuliskan pelafalan huruf manca yang tidak terdapat dalam aksara Jawa,[9] seperti za, fa, gha, kha, dan dza.

Selain itu kata ‘Auliya Walanda’ menunjukkan bahwa Serat Darma Gandul ditulis pada masa atau pasca penjajahan Bangsa Belanda. Kata Walanda yang berarti Belanda (sebutan untuk Netherland dari bangsa Indonesia) tidak mungkin dikenal pada masa peralihan antara Majapahit dan Demak. Maka teori masa penulisan yang menyebutkan, antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak, dengan demikian jelas terbantahkan.

Buku Darmagandul seringkali menggunakan frase wit kawruh yang bermakna pohon pengetahuan. Idiom ‘pohon pengetahuan’ bukanlah kata-kata yang wajar dalam nalar Jawa. Falsafah Jawa lebih sering menampilkan kata-kata seperti banyu bening (air bening), banyu penguripan (air penghidupan), cahya, sunar, pepadhang, dan berbagai frase yang melibatkan air atau identik dengan cahaya, bukannya pohon semacam pohon pengetahuan. Penggunaaan kata pohon (wit atau taru) secara simbolis, dalam pemikiran Jawa, umumnya digunakan untuk menggambarkan kebijaksanaan, pengayoman, dan beberapa hal yang identik dengan kewibawaan penguasa. Jika dirunut kepada ajaran Budha sekalipun tidak akan dapat ditemukan ajaran yang identik dengan pohon pengetahuan. Pohon Bodhi, dalam ajaran Budha, yang dianggap sebagai pohon dimana Sidharta Gautama menerima ilham di bawahnya, secara harfiah lebih mudah dimaknai sebagai pohon penerangan agung atau kesadaran yang sempurna[10] atau ilham[11] atau pencerahan dan bukannya pengetahuan. Lantas dari mana ide tentang pohon pengetahuan tersebut bersumber ? Dari penggalan di bawah ini, ide tentang pohon pengetahuan akan dapat dilacak.

“ Darmogandul matur, nyuwun diterangake bab enggone Nabi Adam lan Babu Kawa pada kesiku dening Pangeran, sabab saka enggone padha dhahar wohe kayu kawruh kang ditandur ana satengahing taman firdaus. Ana maneh kitab kang nerangake kang didhahar Nabi Adan lan Babu Kawa iku woh Kuldi, kang ditandur ana ing swarga. Mula nyuwun diterangake, yen ing kitab Jawa diceritaake kepriye, kang nyebutake kok mung kitab Arab lan kitabe wong Srani ”.[12]

Ide tentang Pohon Pengetahuan dalam Serat Darmagandul, tidak bisa diingkari, dapat dilacak ke dalam pemikiran kekristenan. Hal ini dapat ditinjau dalam Kitab Perjanjian Lama dalam Kejadian 2 : 16-17 sebagai berikut :

Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,[13]

tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”[14]

Ide pohon pengetahuan dalam dalam Kitab Perjanjian Lama tersebut seolah-olah ditolak dengan kalimat dalam Darmogandul sebagai berikut :… Yen Kitab Jawa ora nyebutake mangkana[15] (maksudnya kisah Pohon pengetahuan atau Pohon Kuldi) ”. Akan tetapi ide-ide tentang pohon pengetahuan dalam Perjanjian Lama tersebut dalam berbagai tempat justru diakomodasi oleh serat Darma Gandul. Pada saat yang bersamaan terjadi miskonsepsi dalam buku Darmogandul tentang penilaiannya terhadap “Pohon Kuldi” dalam pandangan Islam. Pohon Kuldi (syajaratul khuldi) yang bermakna pohon kekekalan pada hakikatnya adalah upaya pendefinisian yang dilakukan oleh Iblis terhadap pohon yang tumbuh di jannah dimana Allah melarang Adam untuk mendekatinya. Dengan demikian nama pohon Kuldi dalam pandangan Islam bukan merupakan propername haqiqi yang dikenal dalam konsep Islam, namun secara substansial maupun aksi merupakan bentuk kekejian dan pengelabuhan Iblis terhadap Adam.[16]

Dalam beberapa tempat, penulis Darmogandul nampaknya lebih menguasai doktrin kekristenan dibandingkan ajaran Islam dan Budha,[17] dalam hal ini yang coba dibelanya. Bahkan penulis Darmogandul memiliki itikad untuk menampilkan bahwa agama Nashrani lebih memiliki keunggulan dibandingkan agama-agama lainnya. Motif ini dapat ditelisik dimana, agama lain dalam hal ini Islam, senantiasa ditempatkan dalam image negatif. Sementara nashrani ditempatkan secara positif dalam gambaran sebagai berikut :

“… Kang diarani agama Srani iku tegese sranane ngabekti, temen-temen ngabekti mrang Pangeran, ora naganggo nembah brahala, mung nembah marang Allah, mula sebutane Gusti Kanjeng Nabi Isa iku Putrane Allah, awit Allah kang mujudake, mangkana kang kasebut ing kitab Ambiya.”[18]

Dalam buku Darmagandul juga terdapat cerita tentang salah satu putra Nabi Dawud yang bernafsu untuk menggantikan kekuasaan ayahnya. Sang anak lantas melakukan kudeta (coup d’etat). Namun Nabi Dawud berhasil merebut kembali tahtanya dan sang anak kemudian melrikan diri dan tewas dengan kepala tersangkut di pohon saat menunggang kuda. Cerita tersebut dijabarkan sebagai berikut :

“…carita tanah Mesir, panjenengane Kanjeng Nabi Dawud, putrane anggege keprabone rama, Nabi dawud nganti kengser saka nagara, putrane banjur sumilih jumeneng nata, ora lawas Nabi Dawud saged wangsul ngrebut negarane. Putrane nunggang jaran mlayu menyang alas, jaranae ambandang kecantol-cantol kayu, putrane Nabi Dawud sirahe kecantol kayu, ngati potol gumantung ana ing kayu, iya iku kang di arani kukuming Allah.”[19]

Cerita tentang kisah putra Dawud yang durhaka sebagaimana cerita di atas sudah tentu tidak akan dijumpai dalam sumber-sumber Islam, baik Al Quran, hadits, maupun kitab klasik lainnya. Sebab cerita tersebut bersumber langsung dari kitab umat Nashrani yaitu Perjanjian Lama dalam kitab 2 Samuel pasal 15 sampai 18. Secara ringkas cerita dalam kitab 2 Samuel tersebut adalah Absalom, putra Raja Dawud, berniat menarik simpati rakyat dengan menangani perkara pengadilan di kerajaan ayahnya.[20] Hakikatnya, Absalom sedang mempersiapkan diri dan menghimpun kekuatan ntuk memberontak kepada sang Ayah. Maka sejumlah persepakatan gelap dibuat sehingga banyak rakyat memihak Absalom.[21] Mengetahui posisi politiknya kurang menguntungkan, maka Dawud kemudian meloloskan diri beserta pegawai dan keluarganya yang lain.[22] Pada giliran selanjutnya Dawud dapat memukul mundur tentara Absalom.[23] Absalom yang mengendarai bagal (binatang keturunan kuda dan keledai) berlari. Ketika melewati jalinan dahan pohon Tarbantin yang besar, kepala Absalom tersangkut, sedangkan bagal yang dikendarainya terus berlari.[24] Dengan demikian kisah dalam serat Darmagandul pada dasarnya merujuk langsung ke dalam Perjanjian Lama, kitab yang diakui oleh umat Kristen dan Yahudi sebagai kitab suci.

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan di atas maka identitas penulis dan masa penulisan buku Darmagandul dapat disimpulkan point-point sebagai berikut :

Penulisan buku Darmagandul dilakukan pada masa penjajahan Belanda atau bahkan ada kemungkinan jauh setelahnya, mengingat telah ada bentuk pemahaman yang mendalam terhadap kitab Perjanjian Lama. Dengan asumsi bahwa penulis kitab Darmagandul merupakan orang Jawa, maka pada masa penulisannya seharusnya sudah ada terjemahan Bible dalam Bahasa Jawa atau bahasa lain yang mungkin dapat dipahami. Dengan demikian anggapan bahwa buku tersebut ditulis pada masa transisi antara keruntuhan majapahit dan berdirinya kerajaan Demak dengan sendirinya terbantahkan.

Identitas penulis buku Darmagandul adalah orang Kristen atau setidaknya pernah mempelajari kekristenan. Jika bukan keduanya maka setidaknya penulis buku tersebut adalah penghayat sinkretisme agama atau bahkan seorang ‘perenialis pilih kasih” sebab menganggap semua agama sama baiknya, kecuali Islam. Namun demikian identitas penulis Darmagandul sebagai seorang yang terjangkiti Islamophobia sukar dibantah.

Penulis buku Darmagandul bukan penganut agama Budha. Sebab telah gagal menjelaskan beberapa doktrin mendasar dalam ajaran Budha. Salah satu contohnya penulis buku Darmagandul mengadopsi konsep kedewaan[25] dalam doktrin agama Hindhu.

SEPUTAR KERUNTUHAN MAJAPAHIT

Buku Darmagandul menyebutkan bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan semata-mata karena serangan dari kadipaten Demak di bawah pimpinan Adipati Jimbun Patah. Dengan sangat yakin penulis Darmagandul memaparkan hal tersebut sehingga boleh dikatakan bahwa buku tersebut menolak kemungkinan selain itu. Akan tetapi telah kita buktikan di atas bahwa buku Darmagandul tersebut bukan ditulis pada masa transisi antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak, sebagaimana anggapan sebagian kalangan. Maka sejumlah item yang dipaparkan oleh buku Darmagandul boleh diabaikan sebagai sumber sejarah, sebab bukan merupakan sumber utama sejarah yang terpercaya sekaligus dimuati sejumlah kepentingan dan motif tersembunyi. Namun demikian keruntuhan Majapahit patut mendapatkan porsi pembahasan tersendiri.

Berdasarkan kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia pada tanggal 17 sampai 20 Maret 1963 di Medan, Islam telah masuk ke wilayah nusantara sejak Abad pertama hijriyah.[26] Bahkan upaya ekspedisi ke Nusantara telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya.[27] Berdasarkan literature China menjelang seperempat Abad VII telah berdiri perkampungan Arab muslim dipesisir Sumatra. Sedangkan di Jawa Penguasa Kalingga yang bernama Ratu Shima telah mengadakan korespondensi dengan Muawiyah Bin Abu Sufyan,[28] salah seorang shahabat Nabi dan pendiri dinasti Umayyah.[29] Akan tetapi karena terpaut jarak yang jauh, maka dakwah di pulau Jawa berjalan secara lamban. Namun demikian secara jelas Islam telah disebarkan di Pulau Jawa jauh sebelum berdirinya kerajaan Majapahit. Dengan demikian anggapan penulis Darmagandul, bahwa Islam berkembang di tanah Jawa adalah semata-mata karena ‘kebaikan’ Prabu Brawijaya,[30] adalah tidak benar.

Pada masa kerajaan majapahit beberapa pelabuhan telah ramai dikunjungi oleh saudagar-saudagar asing. Guna kepentingan komunikasi dengan saudagar asing maka pemerintah kerajaan Majapahit mengangkat sejumlah pegawai muslim sebagai sebagai pegawai pelabuhan atau syahbandar.[31] Alasannya pegawai beragama Islam pada masa itu kebanyakan telah menguasai Bahasa asing terutama Bahasa Arab sehingga mampu berkomunikasi dan memberikan pelayanan kepada saudagar-saudagar asing yang kebanyakan beragama Islam.[32]

Sementara itu dakwah Islam telah menjangkau masuk ke dalam lingkungan istana Majapahit dan berpengaruh terhadap para bangsawan. Para bangsawan yang telah menganut agama Islam, umumnya pindah keluar istana menuju daerah pantai yang dikuasai oleh para bupati yang telah beragama Islam.[33] Alasannya adalah demi toleransi dan mendapatkan kemerdekaan beragama. Dengan semakin berkurangnya sejumlah bangsawan dilingkungan kerajaan dan didiringi dengan semakin banyaknya rakyat Majapahit yang memilih Islam maka bias dipastikan kerajaan tersebut menjadi semakin lemah.

Padahal, pada dasarnya Majapahit saat itu memang telah lemah secara politis akibat perang paregreg yang cukup lama dan menghabiskan banyak sumber daya. Perang tersebut merupakan perebutan tahta antara Suhita (putri dari Wikramawardana) dan Wirabumi (putra Hayam Wuruk). Pada tahun 1478 ini Dyah Kusuma Wardhani dan suaminya, Wikramawardhana, mengundurkan diri dari tahta Majapahit. Kemudian mereka digantikan oleh Suhita. Pada tahun 1479, Wirabumi, anak dari Hayam Wuruk, berusaha untuk menggulingkan kekuasaan sehingga pecah Perang Paregreg (1479-1484). Pemberontakan Wirabumi dapat dipadamkan namun karena hal itulah Majapahit menjadi lemah dan daerah-daerah kekuasaannya berusaha untuk memisahkan diri. Dengan demikian penyebab utama kemunduran Majapahit tersebut ditengarai disebabkan berbagai pemberontakan pasca pemerintahan Hayam Wuruk, melemahnya perekonomian, dan pengganti yang kurang cakap serta wibawa politik yang memudar.[34] Pada saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi kadipaten-kadipaten tersebut saling menyerang satu sama lain dan berebut mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati, yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syech Siti Jenar.[35] Sehingga dengan demikian keruntuhan Majapahit pada masa itu dapat dikatakan tinggal menunggu waktu sebab sistem dan pondasi kerajaan telah mengalami pengeroposan dari dalam.

Dengan demikian faktor penyebab melemahnya Majapahit juga disebabkan makin pudarnya popularitas kerajaan Hindhu tersebut di mata rakyat. Keberadaan Majapahit telah tertutupi dengan munculnya kerajaan Demak yang dianggap membawa angin dan perubahan baru. Selain itu Demak juga semakin menguat setelah bersekutu dengan Surapringga (Surabaya), Tuban, dan Madura,[36] dimana wilayah-wilayah tersebut sebelumnya merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Dengan demikian tuduhan bahwa keruntuhan Majapahit akibat ‘digerogoti’ oleh ulama muslim dari dalam[37] dan semata-mata karena penyerangan kerajaan Demak terbukti tidak benar.

INTISARI TULISAN DALAM DARMAGANDUL

Buku Darmagandul berusaha menggambarkan bahwa pengajar Islam di Jawa yang disebut wali sanga merupakan sekumpulan ulama yang memiliki moralitas dan integritas pribadi yang buruk. Melalui cerita yang disampaikan dalam bentuk dialog, digambarkan bahwa sejumlah wali senantiasa kalah dalam sejumlah dialog. Sehingga mereka kemudian dicitrakan sebagai pihak yang tersalah dan ****.

Sebagai contoh dalam perdebatan antara Sunan Benang (Bonang) dengan Raja Jin yang bernama Buto Locaya. Sebelumnya Sunan Benang digambarkan sebagi pribadi yang sewenang-wenang dan tidak berfikir panjang dalam melakukan sebuah tindakan. Diceritakan bahwa Sunan Benang mengutuk sebuah desa sehingga aliran sungai berpindah ke tempat lain. Akibatnya tempat baru yang dialiri sungai tersebut terjadi banjir bandang. Maka dengan marah Raja Jin Buto Locaya kemudian berdebat dengan Sunan Benang. Dalam perdebatan Buto Locaya selalu digambarkan sebagai pihak yang menang secara argumentasi sedangkan Sunan Benang berada pada pihak yang dikalahkan. Jika diamati, argumentasi yang digunakan dalam berbagai dialog dan isi keseluruhan buku darmagandul, dibangun berdasarkan bentuk silogisme yang mentah akibat kesalahan pengambilan premis dan penyimpulannya. Sebagai contoh misalnya premis pertama menyatakan bahwa Islam berasal dari Mekah,[38] premis kedua adalah Mekah itu tanahnya panas, tidak ada tanaman yang mau tumbuh, hawanya panas dan jarang hujan,[39] kemudian kesimpulannya adalah jika orang Jawa meninggalkan ajaran lamanya dan melakukan konversi agama beralih kepada Islam, maka tanah Jawa akan menjadi langka pangan, berhawa panas, dan jarang hujan.[40] Demikian bentuk silogisme tersebut. Ditinjau dari segi manapun konklusi yang diambil dari kedua premis tersebut merupakan argument yang tidak logis dan sukar diterima akal sehat bahkan oleh akal sakit sekalipun.

Kemudian Sunan giri digambarkan sebagai juru tenung atau tukang sihir. Hal ini terlihat bahwa dalam salah satu bagian cerita Sunan Giri mengusulkan agar Prabu Brawijaya ditenung saja agar tidak merusak kondisi politik dan ketentaraan.[41] Kemudian pasca Raden patah berkuasa, tersebutlah Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga yang tidak mau tunduk kepada kesultanan Demak. Kedua adipati tersebut juga merupakan putra dari Prabu Barwijaya sebagaimana Raden Patah. Maka keduanya kemudian disingkirkan oleh Sunan Giri dengan jalan ditenung sampai mengalami kematian.[42]

Sedangkan Sunan Kalijaga digambarkan menyesali keadaan yang telah berjalan. Maka sebagai tanda penyesalannya, dia mengganti penampilannya berbeda dengan para wali yang lain. Yaitu menggunakan baju wulung dan bukannya baju surban sebagaimana umumnya para wali.[43] Bahkan sampai pada kesimpulan bahwa untuk mencari ilmu sejati tidak harus berguru kepada orang Arab (Islam maksudnya) namun cukup dengan mengeksporasi dirinya sendiri.

Ide ‘nyleneh’ bertebaran ditampilkan dalam kitab tersebut. Antara lain serat Darmagandul berusaha meyakinkan pembaca bahwa Latta dan Uzza, berhala yang disembah oleh kaum kafir Quraisy, seolah-olah merupakan manifestasi Tuhan. Hal ini dapat dilihat dalam penyebutan penyebutan nama ‘Hyang Latawalhujwa’ dibeberapa tempat.[44] Selain itu terdapat pernyataan bahwa kaum muslimin pada dasarnya bukan menyembah Tuhan namun menyembah tugu batu yang bernama Ka’bah. Pernyataan demikian seringkali ditemukan pada era saat ini. Biasanya lahir dari kekurangmengertian terhadap ajaran Islam. Dalam anggapan Darmagandul, ka’bah adalah buatan Nabi Ibrahim, seorang manusia. Lantas buku tersebut mempertanyakan mengapa orang Islam tidak menyembah batu-batu besar di Gunung Kelud saja, padahal batu gunung tersebut justru adalah ciptaan Tuhan.[45] Tentu saja persoalannya bukan siapa menciptakan apa dan konsekuensinya. Namun Ka’bah merupakan batu penjuru bagi umat Islam, lambang kesatuan Kiblat sekaligus menjadi bukti bahwa Islam merupakan ajaran Tauhid. Pembinaan terhadap Ka’bah, dalam doktrin Islam, mengacu pada pembinaan Baitul Makmur dimana atas perintah Allah para Malaikat melakukan Thawaf mengitarinya.[46] Pada hakikatnya bukan menyembah Ka’bah ataupun Baitul Makmur namun menyembah kepada Allah dengan mengikuti perintah dan tata cara penyembahan yang telah di atur oleh-Nya.

Lantas apakan gambaran tentang tentang para wali sebenarnya adalah demikian adanya ? Atau Apakah Serat Darmagandul merupakan sebuah kebenaran ? Sulit dipastikan, apalagi jika menggunakan serat Darmagandul sebagai sumber sejarahnya. Sebagaimana telah dibuktikan di atas Serat darmagandul bukan merupakan sumber utama sejarah sebab tidak ditulis pada masa peralihan antara kerajaan majapahit dan Kesultanan Demak sebagaimana anggapan orang. Kemudian banyak disisipi dengan berbagai motif dan kepentingan tersembunyi. Sedangkan puncak dari motif dan kepentingan dalam penulisan buku Darmagandul digambarkan sebagi suara kutukan roh Prabu Brawijaya terhadap Raden Patah sebagai berikut :

“Entek katresnanku marang anak. Den enak mangan turu. Ana gajah digetak kaya kucing, sandyan matiya ing tata-kalaire, nanging lah eling-elingen ing besuk, yen wis ana agama kawruh, ing tembe bakal tak wales, tak ajar weruh ing nalar bener lan luput, pranatane mengku praja, mangan babi kaya dek jaman Majapahit.”[47]

Maksud kutukan roh prabu Brawijaya tersebut suatu ketika, agama Islam akan dikalahkan oleh agama kawruh. Agama kawruh sebagaimana telah dijelaskan sebangun dengan pohon pengetahuan yaitu yang dimaksud adalah Agama atau ajaran Kristen. Dengan demikian seolah-olah kitab Darmagandul merupakan kitab Jawa yang seolah-olah menggambarkan dan memberikan ramalan masa depan bahwa Islam di Jawa akan ditundukkan oleh agama Kristen yang salah satu cirinya adalah mengajar benar dan salah[48] serta memakan babi seperti umumnya orang Majapahit. Jelas umat Budha tidak semua makan daging. Demikian juga muslim tidak memakan daging babi. Dan hal ini merupakan bukti yang nyata bahwa buku Darmagandul sejak awal memang merupakan buku dimaksudkan dan dipersiapkan guna kepentingan misi penginjilan. Mengingat bahwa penyebaran ajaran Nashrani di Indonesia telah dilakukan semenjak penjajahan bangsa Eropa di bumi Nusantara yang dilakukan dengan kekerasan[49]. Hal itu mengingatkan kita bahwa penjajahan bangsa Barat terhadap dunia Timur selalu ditopang oleh slogan gold (kekayaan), glory (kekuasaan politik), dan gospel (penyebaran Injil).

PENUTUP

Berdasarkan uraian dalam makalah ini maka dapat dismpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Penulis buku Darmagandul adalah penganut agama Nashrani yang terobsesi dengan kegiatan missi atau setidaknya pernah berinteraksi secara intensif dengan Kitab Bible

2. Masa penulisan buku Darmagandul adalah pada saat penjajahan Belanda di bumi Nusantara atau bahkan pasca itu. Dengan demikian hal ini memabantah pendapat sebagian kalangan bahwa buku tersebut ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak.

3. Buku Darmagandul memiliki banyak kesalahan dari sisi sejarah dan miskonsepsi dalam sejumlah contentnya. Hal ini wajar sebagai bukti bahwa penulis Darmagandul bukan pelaku utama sejarah tersebut sehingga pada hakikatnya buku Darmagandul adalah sebuah buku fiksi.

4. Dengan demikian buku Darmagandul tidak dengan serta merta dapat digunakan dalam menggali sumber sejarah terkait keruntuhan Majapahit dan berdirinya kesultanan Demak.

Wallahu a’lam

[1] Berdasarkan cerita oral, telah ada pendahulu kerajaan di Jawa seperti Medang Kamulan, Medang Pura, dan lain-lain.

[2] Sistem Kasta dalam Hindhu menunjuk hierarkhi manusia berdasarkan martabat dan keturunannya. Dalam Hindhu dikenal 4 macam kasta yaitu Brahmana, Satria, Waisya, dan Syudra.

[3] Rahmad Subagya. Agama Asli Indonesia. (Sinar Harapan, Jakarta, 1981). Hal. 237

[4] Noname. Darmagandul. Cetakan IV. (Sadu-Budi, Surakarta, 1959). Hal. 48

[5] Bahasa Jawa memiliki penggunaaan yang berbeda untuk masing-masing strata social. Berdasarkan strata social tersebut Bahasa Jawa dibagi menjadi tiga yaitu Bahasa Jawa Ngoko, Krama, dan Krama Inggil. Bahasa Ngoko digunakan untuk strata social masyarakat umum atau oleh seorang bangsawan dan orang terhormat kepada bawahannya. Bahasa Kromo dipakai oleh orang yang memiliki derajad dan status sosial sama namun telah akrab. Sedangkan Bahasa Krama Inggil digunakan oleh seorang yang memiliki derajad dan status social rendah terhadap orang yang memiliki derajad dan status social lebih tinggi dengan tujuan untuk menghormati.

[6] Secara harfiah kata kalamwadi artinya perkataan yang menjadi rahasia.

[7] Noname. Darmagandul. Ibid. Hal. 21. Tulisan tersebut dapat diartikan sebagai berikut : tentara Majapahit menembak (dengan senapan = ambedil), sedangkan tentara Giri berjatuhan mati akibat tidak kaut menghadapi melesatnya peluru.

[8] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 54. Artinya : Beragam sastra pemberian Gusti Allah wajib dimakan agar kaya dengan pengetahuan dan ingatan, orang yang tidak mengenal sastra pemberian Allah pasti tidak akan mengerti ilham. Auliya Gong Cu dengan congkak meniru sastra pemberian Gusti Allah, namun pembuatannya tidak bisa, sastra bunyinya kurang, jadi pelat, para Auliya pembuatan sastra ditentukan jumlahnya, namun aksara China banyak sekali jumlahnya, namun bunyinya pelat, sebab Auliya China terburu-buru memakan buah pohon pengetahuan, padahal juga harus memakan buah pohon Budi, Auliya tadi lupa bahwa dirinya tercipta sebagai manusia, maka karenanya memaksa menggunakan kekuasaan Yang Maha Kuasa, mengharap yang bukan wajibnya, terburu-buru menerima panglulu (pujian yang menjerumuskan) menggunakan sastra yang tidak terhitung jumlahnya, dinamakan sastra daun, daun dari buah pohon Budi dan pohon Pengetahuan, dipetik dari sedikit, ditata dan dikumpulkan, lantas dikarang untuk sastra, maka aksara China ribuan jumlahnya, Auliya China dikutuk, sebab berkemauan membuat sastra hidup seperti buatan Gusti Allah. Auliya Jawa memakan buah pohon Budi sampai kenyang, maka mengarang aksara yang tidak terlalu banyak namun sudah bisa mencukupi dan bunyinya tidak pelat. Auliya Belanda memakan buah pohon pengetahuan sampai kenyang juga, sedangkan jumlah aksara yang dikarangnya ditetapkan jumlahnya juga. Auliya Arab memakan buah pohon Kuldi banyak sekali. Sedangkan aksara yang digunakan juga ditentukan jumlahnya. Akan tetapi sastra buatan Gusti Allah, tercipta dari Sabda, maujud dengan sendirinya, maka bunyinya jelas, sastranya tidak ada yang sama.

[9] Selengkapnya baca T. Hadisoebroto. Aksara Djawa : Tatanan Panulise Basa Djawa sarta Latin. (Pantjawarna, Solo, 1959). Hal. 29

[10] Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 35

[11] Drs. Abu Ahmadi. Perbandingan Agama. Jilid I. Cetakan VII. (AB Sitti Syamsiyah, Surakarta, 1974). Hal. 48

[12] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 50. Artinya : Darmogandul berkata, meminta keterangan tentang Kisah Nabi Adam dan Ibu Hawa yang dikutuk oleh Tuhan, karena telah makan buah dari Kayu (pohon) Pengetahuan yang ditanam ditengah taman Firdaus. Ada kitab lain yang menerangkan bahwa yang dimakan oleh Nabi Adam dan Ibu Hawa adalah buah Kuldi, yang ditanam di surge. Maka mohon diterangkan, kalau dikitab Jawa bagaimana ceritanya, yang menyebutkan mengapa hanya Kitab Arab dan Kitab agama Nasrani.

[13] Kejadian 2:16. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[14] Kejadian 2:17. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[15] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 50. Artinya : Kalau Kitab Jawa Tidak menyebutkan demikian. Yang dimaksud adalah kitab Jawa tidak menyebutkan tentang Kisah Nabi Adam dan Hawa memakan buah pohon pengetahuan sebagaimana ajaran Kristen atau makan buah pohon Kuldi sebagaimana diklaim dalam Darmagandul sebagai ajaran Islam.

[16] Syaikh Ahmad Musthafa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Juz I. (Terj. Drs. M. Thalib). (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 88

[17] Penulis Darmogandul seolah-olah mendedikasikan kitabnya untuk membela agama Budha dan ajarannya. Namun dalam banyak kesempatan agaknya sang penulis Darmogandul kurang memahami ajaran Budha itu sendiri. Hal tersebut terlihat dari pemaknaan Pohon Bodhi, konsep kedewaan, dan beberapa konsep kehidupan lainnya yang justru berlawanan dengan doktrin pokok dalam ajaran Budha.

[18] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 48. Artinya : Yang dinamakan agama Nasrani artinya sarana berbakti : benar-benar berbakti kepada Tuhan, tanpa menyembah berhala, hanya menyembah Allah, Maka gelar Gusti Kanjeng Nabi Isa adalah Putra Allah, karena Allah yang mewujudkannya, demikian yang termaktub dalam kitab Ambiya.

[19] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 27. Artinya : cerita dari Mesir, Beliau Nabi Dawud, putranya bernafsu menggantikan kekuasaan sang ayah. Nabi Dawud sampai terdesak meloloskan diri keluar dari Negara, Anaknya tersebut kemudian menggantikan sebagai raja, tidak seberapa lama Nabi dawud kembali berhasil merebut negaranya. Anaknya melarikan diri dengan mengendarai kuda menuju ke hutan. Kuda tersebut berlari tanpa tentu arah tersangkut-sangkut kayu. Putra Nabi dawud kepalanya menyangkut di kayu sampai terpotong menggantung dikayu. Itulah yang dinamakan hukum Allah.

[20] Lihat 2 Samuel 15 : 6. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[21] Lihat 2 Samuel 15: 12. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[22] Lihat 2 Samuel 15 : 14-16. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[23] Lihat 2 Samuel 18 : 7-8. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[24] Lihat 2 Samuel 18 : 9-10. Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)

[25] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 52

[26] Panitia Seminar. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. (Panitia Seminar, Medan, 1963). Hal. 265

[27] Herry Nurdi. Risalah Islam Nusantara. (Sabili Edisi Khusus : Sejarah Emas Muslim Indonesia, No. 9 Th. X, 2003). Hal. 9

[28] Prof. DR. Hamka. Sejarah Umat Islam. Cetakan V. (Pustaka Nasional Pte Ltd, Singapore, 2005).Hal. 671-672

[29] A. Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cetakan XXIX. (Penerbit Widjaya, Jakarta, 1992). Hal. 77

[30] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 48

[31] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 370

[32] Prof. Dr. Abubakar Aceh. Sejarah Al Quran. Cetakan VI. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 325

[33] Drs. Sentot D. Tj. Sejarah Nasional dan Dunia. (Prima Offset, Wonogiri, tth). Hal. 57

[34] H. Soekama Karya., et all. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Logos, Jakarta, 1996). Hal. 364

[35] Syekh Siti Jenar merupakan tokoh kontrovesial yang eksistensinya sebagai sosok historis masih dipertanyakan. Namun demikian sejumlah pendapat menyatakan bahwa dia bertanggung jawab atas penyebaran ajaran syi’ah dan sekaligus paham wihdatul wujud di Pulau Jawa. Menurut salah satu sumber dia memiliki nama asli Syeh Jabaranta dan pernah tinggal lama di Persia. Lihat MB. Rahimsyah. Legenda dan Sejarah Lengkap Wali Songo. (Amanah, Surabaya,tth). Hal. 139

[36] Prof. Abu Bakar Aceh. Sejarah Al Quran. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 234-235.

[37] Buku Darmagandul menggambarkan bahwa para ulama adalah seperti tikus yang merusak dari dalam. Mereka meminta jabatan kepada raja Majapahit dan pasca itu kemudian merusak kerajaan dari dalam. Lihat Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 46-47

[38] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 15

[39] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 15-16

[40] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 16

[41] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 29

[42] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 46

[43] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 49

[44] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 14, 37, 40, 31

[45] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 15

[46] Selengkapnya dapat dibaca Prof. Dr. H. Abubakar Aceh. Sejarah Ka’bah dan Manasik Haji. Cetakan IV. (Ramadhani, Surakarta, 1984). Hal. 49-50

[47] Noname. Darmagandul. Opcit. Hal. 49. Artinya : telah sirna rasa cintaku keada anak. Sudah diberi kenikmatan makan tidur. Ada gajah digertak seperti kucing, walaupun mati dalam tata lahir, namun ingat-ingatlah suatu hari nanti, jika telah ada agama pengetahuan, maka akan akau balas, akan kuajarkan benar dan salah, peraturan tentang tatanegara, makan daging babi seperti jaman Majapahit.

[48] Lihat Kejadian 2:17 sebagai berikut : Alkitab Terjemahan Baru. (LAI, Jakarta, 1974)tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”

[49] Lihat Kolonel Inf. R. Soegondo. Ilmu Bumi Militer Indonesia. Jilid II. (Pembimbing, Jakarta, 1954). Hal. 227
:stun:


wow... ada yg punya penjelasan tandingan?? ayo.. ayo... ( postingnya keren mas :supz: ) bravo...
kirana zulfa
Posts: 184
Joined: Tue Feb 22, 2011 6:30 pm
Location: Negri tandus bernama Saudi Arabia

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Post by kirana zulfa »

Dari SD aku sama guruku ditanamkan bahwa penyebaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat. Tpi setelah kuliah baca2 di internet, aku menemukan cuplikan artikel serat darmogandul. Ternyata gitu ya, pelajaran sejarah kita banyak yg diputarbalikkan. BTW, aku mau nanya ama temen2 FFI semuanya, serat darmogandul tu kisah nyata ato buku fiktif? :stun:
User avatar
hades
Posts: 83
Joined: Fri May 06, 2011 7:30 pm
Location: inside your heart

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Post by hades »

kirana zulfa wrote:Dari SD aku sama guruku ditanamkan bahwa penyebaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat. Tpi setelah kuliah baca2 di internet, aku menemukan cuplikan artikel serat darmogandul. Ternyata gitu ya, pelajaran sejarah kita banyak yg diputarbalikkan. BTW, aku mau nanya ama temen2 FFI semuanya, serat darmogandul tu kisah nyata ato buku fiktif? :stun:
klo masalh fiktif ato nggak susah membuktikannya. Tapi kmu bisa liat aja dengan kenyataan sekarang di luar sono ato di indonesia. Klo ribut2 trs sebut2 atas nama agama siapa coba??? Saya yakin anda punya nalar dan logika yg masih sehat dan tentu saja anda bisa memutuskan itu sendiri tanpa ada yg harus campur tangan. Yang jelas buat saya suatu hari siapa yang benar dan yang salah pasti akan kelihatan. Ini hanya masalah waktu saja. Dan saya sangat yakin Tuhan tidak tidur...Dan selanjutnya terserah anda...


salam sejahtera


hades.deathangel
swatantre
Posts: 4049
Joined: Thu Jul 20, 2006 7:40 pm
Location: Tanah Suci, dalem Ka'bah

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Post by swatantre »

PERINGATAN: Bukan promo bukan iklan, mari sama2 renungi dan resapi isinya...

http://www.apakabar.ws/content/view/3626/88888889/


Buku Damar Shashangka, Darmagandhul - akan terbit

User Rating: / 0
PoorBest

Kumpulan Tulisan Damar Shashangka:





Darmagandhul



Diterjemahkan dari Sêrat Darmagandhul catatan induk

asli peninggalan K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.



Hak cipta dilindungi undang-undang

All rights reserved



Penerjemah: Damar Shashangka

Editor : Salahuddien Gz

Pemindai Aksara: Muhammad Bagus SM

Penggambar Sampul: Yudi Irawan

Penata Letak: MT Nugroho



Cetakan I: 2011

ISBN: 978-979-16110-6-n





DOLPHIN

Jln. Ampera II No. 29, Jakarta Selatan

Telp.: +6221 78847301

Email: [email protected]





Inilah daftar Raja-Raja Majapahit sesuai penuturan Pararaton, Nagarakrêtagama dan beberapa prasasti yang ditemukan serta Kronik Tionghwa, klenteng Sam Po Kong, Semarang :



1. Nararyya Sanggramawijaya mengambil abhiseka (gelar) Sri Krêtarajasa Jayawarddhana (1294-1309 M), wafat di Antahpura



2. Sri Jayanagara mengambil abhiseka (gelar) Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara (1309-1328 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Daha I. Dicandikan di Kapopongan, nama candi Srênggapura. Arcanya dibangun di Antawulan.



3. Rani Wijayatunggadewi mengambil abhiseka (gelar) Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwarddhani (1328-1350 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kahuripan I. Dicandikan di Panggih, nama candi Giri Pantarapura.



4. Sri Hayam Wuruk mengambil abhiseka (gelar) Sri Rajasanagara Sang Hyang Wêkasing Sukha (1350-1389 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kahuripan II.



5. Aji Wikrama atau Wikramawarddhana mengambil abhiseka (gelar) Sri Hyang Wisesa Orang China mengenalnya sebagai Yang Wi Si Sa (1389-1427 M). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Mataram I. Wafat di Indrabhawana, dicandikan di Tanjung, nama candi Paramasukha Pura



6. Sri Ratu Prabhu Stri mengambil abhiseka (gelar) Rani Suhita. Orang China mengenalnya dengan nama Su King Ta (1427-1447). Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Pajang II lalu Bhre Daha IV. Dicandikan di Singajaya.



7. Bhre Tumapel II dikenal sebagai Krêtawijaya (1447-1451 M). Setelah beliau wafat, candinya dinamakan Krêtawijaya Pura



8. Sri Krêtarajasa (atau mungkin Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma) mengambil abhiseka (gelar) Sri Rajasawarddhana Sang Sinagara (1451-1453 M). Dicandikan di Sêpang.



Kosong selama tiga tahun.



9. Bhre Wêngkêr II mengambil abhiseka (gelar) Hyang Purwawisesa (1456-1466 M), dicandikan di Puri



10. Bhre Pandhan Salas III, dua tahun menjadi Raja lantas meninggalkan istana (1466-1468 M)



11. Sri Singawarddhana (1468-1474 M)



12. Bhre Krêtabhumi. Orang China mengenalnya dengan nama Kung Ta Bu Mi (1474-1478 M) Sebelumnya menjabat sebagai Bhre Kêling IV. Wafat dimakamkan di pemakaman Tralaya.

Sepeninggal Prabhu Hayam Wuruk pada tahun 1389 Masehi, tahta lantas diserahkan kepada Bhre Mataram I atau Wikramawarddhana, menantu sekaligus kemenakan beliau. Wikramawarddhana adalah putra tertua dari Bhre Pajang I atau Rajasadhuhiteswari, adik kandung Prabhu Hayam Wuruk yang menikah dengan Raden Sumana atau Bhre Paguhan I. Wikramawarddhana menikahi putri Prabhu Hayam Wuruk, Kusumawarddhani.



Dari pernikahan tersebut, lahirlah Hyang Wekasing Sukha. Sedangkan dari selir, Wikramawarddhana memiliki satu putri dan dua putra. Putri sulung bernama Sri Ratu Prabhu Stri yang kelak terkenal dengan gelar Rani Suhita, kedua Bhre Tumapel II yang kelak terkenal sebagai Krêtawijaya dan yang bungsu adalah Bhre Tumapel III atau Sri Krêtarajasa yang kelak terkenal dengan gelar Singawarddhana Sang Sinagara.



Sepeninggal Wikramawarddhana, tahta diserahkan kepada Sri Ratu Prabhu Stri pada tahun 1427 Masehi karena putra mahkota, Hyang Wekasing Sukha sudah meninggal diusia muda pada tahun 1311 Saka atau 1389 Masehi, tepat saat tahta baru dilimpahkan dari Prabhu Hayam Wuruk kepada Wikramawarddhana.



Sri Ratu Prabhu Stri atau Rani Suhita menikah dengan Aji Ratna Pangkaja atau Bhre Kahuripan V, putra sulung pasangan Surawarddhani atau Bhre Pawanawan I, putri bungsu Prabhu Hayam Wuruk dengan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I, putra Raden Sotor. Raden Sotor adalah saudara tiri Prabhu Hayam Wuruk.



Sepeninggal Rani Suhita, karena tidak dikaruniai seorang putra, maka tahta disepakati akan dipegang oleh kedua adik Rani Suhita secara bergiliran. Pertama kali yang dilimpahi tahta adalah Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya pada tahun 1447 Masehi. Pada tahun 1451 Masehi, Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya wafat, dicandikan dengan nama resmi candi Krêtawijaya Pura. Setelah Krêtawijaya, Pararaton, tidak begitu jelas dan terlalu singkat menguraikan siapa penggantinya. Bisa jadi adalah Krêtarajasa, adik bungsunya. Dan Krêtarajasa inilah yang dikenal dengan gelar Rajasawarddhana Sang Sinagara. Dan sosok inilah yang disebut-sebut sebagai ayah dari Bhre Mataram, Bhre Kahuripan, Bhre Pamotan dan Krêtabhumi dalam akhir Pararaton. Jika benar, maka ungkapan bahwa Bhre Pandhan Salas III adalah kemenakan dari keempat bersaudara ini, maka bisa ditetapkan bahwa Bhre Pandhan Salas III adalah putra Bhre Wêngkêr II yang menikah dengan Bhre Matahun II.



Namun menurut Prasasti Waringin Pitu, tahta lantas dilimpahkan kepada keponakan Krêtawijaya, putra Bhre Tumapel II atau Krêtarajasa yang sulung, yaitu Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma atau Rajasawarddhana Sang Sinagara pada tahun 1451 Masehi. Jadi yang dikenal sebagai Sang Sinagara menurut prasasti Waringin Pitu, tak lain adalah putra Krêtarajasa, keponakan Krêtawijaya.



Surawarddhani dan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I menurut Pararaton memiliki satu orang putra dan tiga orang putri. Yang sulung Bhre Kahuripan V atau Aji Ratna Pangkaja, yang menikahi Rani Suhita, kedua Sang Ratu di Mataram yang dinikahi oleh Wikramawarddhana, ayah Rani Suhita (jadi adik Aji Ratnapangkaja dinikahi oleh mertuanya sendiri), ketiga Bhre Lasem IV yang dinikahi Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya, adik Rani Suhita dan yang keempat Bhre Matahun II yang dinikahi oleh Bhre Wêngkêr II anak dari Krêtawijaya. Pernikahan ini sangat unik, dimana adik-adik Aji Ratna Pangkaja dinikahi oleh Wikramawarddhana, anak Wikramawarddhana (Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya) dan cucu Wikramawarddhana (Bhre Wêngkêr II, anak Krêtawijaya).



Bhre Tumapel II atau Krêtawijaya, menikah dengan Bhre Lasem IV, adik dari Aji Ratna Pangkaja, putri Surawarddhani dan Raden Sumirat atau Bhre Pandhan Salas I seperti disebutkan diatas. Dari hasil pernikahan itu lahirlah Bhre Wêngkêr II dan Bhre Paguhan III.[1] Sedangkan Bhre Tumapel III atau Krêtarajasa atau Rajasawarddhana, memiliki tiga orang putra, yaitu Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma, kedua Bhre Wêngkêr III Girisyawarddhana Dyah Suryawikrama dan Bhre Pandhan Salas III Singawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa.



Bhre Pamotan I Rajasawarddhana Dyah Wijayakusuma juga dikenal sebagai Sang Sinagara, memiliki empat orang putra yaitu Bhre Kahuripan VII Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya, Bhre Mataram V Girindrawardhana Dyah Wijayakarana, Bhre Pamotan II dan Bhre Kêling IV atau Bhre Krêtabhumi.



Sepeninggal Rajasawarddhana Sang Sinagara pada tahun 1453 dan dicandikan di Sêpang, terjadi perebutan tahta antara putra-putra Krêtawijaya dan Rajasawarddhana Sang Sinagara. Terjadi ketegangan sehingga tahta kosong selama tiga tahun (1453-1456 M). Baru pada tahun 1456, terpilih sebagai Raja adalah Bhre Wêngkêr II, putra sulung Krêtawijaya yang lantas mengambil gelar Hyang Purwa Wisesa. Memerintah hingga tahun 1466 Masehi, wafat dan dicandikan di Puri. Sepeninggalnya, seharusnya tahta dilimpahkan kepada keturunan Rajasawarddhana Sang Sinagara, namun berhasil diduduki oleh putra bungsu Krêtawijaya, adik Rajasawarddhana Sang Sinagara, yaitu Bhre Pandhan Salas III atau Singawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa. Selama pemerintahannya, keadaan istana terus terjadi ketegangan, sehingga baru dua tahun menduduki tahta, Bhre Pandhan Salas III meninggalkan istana. Lantas siapakah yang mengantikannya sebagai Raja Majapahit? Apakah keturunan Krêtawijaya atau Rajasawarddhana Sang Sinagara? Penuturan Pararaton terhenti sampai disini.



Baru pada tahun 1486 Masehi, Sri Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya mengeluarkan prasasti Jiyu yang berisi maklumat bahwa dirinya adalah penguasa Wilwatikta (Majapahit), Janggala dan Kadhiri. Disana juga menguraikan pengukuhan ulang hadiah tanah kepada Bharmaraja Ganggadhara yang pernah dilakukan oleh Singawarddhana. Ini membuktikan, bahwa sosok Singawarddhana berkuasa menghadiahkan tanah kepada seorang Brahmana, dan tentunyalah dia seorang Raja. Dalam prasasti Jiyu juga ditegaskan, pada tahun 1486 tersebut adalah bertepatan duabelas tahun wafatnya Singawarddhana sehingga Sri Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya mengadakan upacara Sraddha.



Maka jelaslah sudah, setelah kepergian Bhre Pandhan Salas III, tahta Majapahit berhasil diduduki oleh Singawarddhana hingga tahun 1474 Masehi. Siapakah Singawarddhana? Bisa jadi, Singawarddhana adalah kakak kandung Girindrawarddhana, dan keduanya adalah putra Bhre Pandhan Salas III yang pernah meninggalkan istana Majapahit. Dari sini bisa disimpulkan, setelah kepergian Bhre Pandhan Salas III, tahta lantas direbut oleh Singawarddhana sebelum dikuasai oleh keturunan Bhre Pamotan I Rajasawardhana Dyah Wijayakusuma. Lantas siapakah yang menggantikan Singawarddhana? Tak ada keterangan yang bisa didapatkan. Namun dari catatan China yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong Semarang oleh Residen Poortman pada tahun 1928, diketahui bahwa Raja Majapahit yang memerintah sebelum tahun 1478 Masehi adalah Kung Ta Bu Mi atau Bhre Krêtabhumi. Siapakah sosok ini? Dalam Pararaton nama Krêtabhumi disebut jelas sebagai putra Rajasawarddhana Sang Sinagara.



Dari sini bisa disumpulkan, semenjak kekosongan tahta Majapahit pada tahun 1453-1456, keturunan Rajasawarddhana Sang Sinagara baru bisa memerintah pada tahun 1474 dan berakhir pada tahun 1478 Masehi. Masa akhir pemerintahan Krêtabhumi inilah yang terus menjadi polemik berkepanjangan hingga sekarang. Menurut kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong, kejatuhan Krêtabhumi diakibatkan serangan tentara Demak Bintara. Namun ada juga yang menolak mentah-mentah data ini dan memunculkan hipotesa bahwa Sri Girindrawarddhana yang telah mengeluarkan prasasti Jiyu diatas adalah yang menyerang Krêtabhumi. Hipotesa ini bisa dimaklumi karena jika hal itu benar, maka Jim Bun atau Raden Patah sebagai Adipati Demak yang notabene adalah salah satu pemimpin masyarakat Islam diabad 15, selamat dari tuduhan durhaka kepada Krêtabhumi, ayah kandungnya sendiri yang beragama Siwa Buddha (Buda). Pengkambing hitaman sosok Girindrawarddhana ini terus digulirkan hingga sekarang. Walau cerita tutur masyarakat dari berbagai daerah jelas-jelas menunjukkan Raden Patah-lah yang berhasil menjebol Majapahit, didukung pula oleh berita dalam berbagai Babad Jawa dan juga berita dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong, Semarang, namun seolah-olah, data ini hendak ditenggelamkan begitu saja. Girindrawarddhana tetap dianggap bersalah walau data-data belumlah lengkap untuk menghakimi sosoknya.



Salah satu berita yang termuat dalam Prasasti Petak menyebutkan Kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“Kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang berhadapan dimedan perang melawan Majapahit”). Menyiratkan ada penyerangan ke Majapahit oleh sosok Sang Munggwing Jinggan. Siapakah Sang Munggwing Jinggan ini? Diperkiraan, Sang Munggwing Jinggan adalah kakak sulung Bhre Krêtabhumi, yaitu Bhre Kahuripan VII Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya. Lantas siapakah yang diserang? Tentunya adalah sosok yang pernah merebut tahta Majapahit, yaitu Bhre Pandhan Salas III. Namun bukankah Bhre Pandhan Salas III telah meninggalkan istana semenjak tahun 1468? Padahal prasasti Petak terbit sekitar tahun 1486, seusia dengan prasasti Jiyu? Berarti penyerangan itu terjadi tak jauh dari tahun 1486 tersebut. Dan yang menjadi pertanyaan, mengapa yang menerbitkan malah putra Bhre Pandhan Salas III yaitu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang terhitung rival dari Sang Munggwing Jinggan?



Hal ini menjadi terjawab manakala di compare dengan informasi dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong Semarang. Bahwasanya yang diserang oleh Sang Munggwing Jinggan, adalah sosok Raja boneka Majapahit yang diangkat oleh pemerintahan Demak Bintara, Nyo Lay Wa semenjak tahun 1478 Masehi! Dalam kronik tersebut jelas-jelas menyebutkan, bahwa pemerintahan Nyo Lay Wa memang berakhir pada tahun 1486, sesuai dengan tahun dimana prasasti Jiyu dan Petak dikeluarkan! Dan dari kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong Semarang itu pula, didapatkan informasi, bahwa Demak telah menginvasi Majapahit pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi, delapan tahun sebelum penyerangan Sang Munggwing Jinggan yang mungkin bersekutu dengan keluarga Bhre Pandhan Salas III !



Dan menjadi sangat masuk akal jika Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya lantas mengeluarkan sebuah maklumat bahwa dirinyalah sekarang Raja Majapahit yang kembali terbebas dari dominasi Demak, walau wilayahnya sekarang hanya sebatas Wilwatikta, Janggala dan Kadhiri. Sehingga dia memakai gelar (abhiseka) Sri Wilwatikta Jenggala Kediri Prabhu Natha



Kronik Tionghwa klenteng Sam Po Kong Semarang menguraikan, bahwa pada tahun 1478, Jim Bun, putra selir Kung Ta Bu Mi, Raja Majapahit, menyerang istana Majapahit dan memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Setelah berhasil menjatuhkan Majapahit, diangkatlah seorang Raja bawahan di Majapahit bernama Nyo Lay Wa. Yang dimaksud dengan Kung Ta Bu Mi, tak lain adalah Bhre Krêtabhumi. Ini berarti, setelah Bhre Krêtabhumi berakhir masa pemerintahannya pada tahun 1478, Majapahit memang sudah kehilangan kedaulatannya dan menjadi wilayah Demak Bintara. Dan semenjak saat itu, Raja yang berkuasa di Majapahit adalah peranakan China bernama Nyo Lay Wa (1478-1486 M)



Disebutkan disana dalam catatan tersebut, Nyo Lay Wa tewas dalam sebuah kerusuhan yang terjadi pada tahun 1486. Dan disusul kemudian dengan keluarnya prasasti Jiyu oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya seperti telah disebutkan diatas, yang merupakan sebuah maklumat kedaulatan Majapahit walau wilayahnya kini sebatas Wilwatikta, Janggala dan Kadhiri. Ditambah pula prasasti Petak yang menceritakan kehebatan Sang Mungwing Jinggan saat menggempur istana Majapahit hingga berhasil direbut kembali dari kekuasaan Demak Bintara, walau Sang Munggwing Jinggan, akhirnya gugur dimedan pertempuran.



Dan berlanjut, dalam kronik Tionghwa dicatat bahwa pada tahun 1517, Demak kembali melakukan penyerangan ke Majapahit yang sudah menyatakan lepas dari kekuasaannya. Penyerangan ini dipimpin oleh Yat Sun, putra Jim Bun. Raja Majapahit saat itu disebut dengan nama Pa Bu Ta La. Yat Sun tak lain adalah Adipati Yunus yang dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor karena pernah menyerang ke wilayah utara, yaitu Malaka untuk menggempur Portugis pada tahun 1512, setahun setelah Malaka dikuasai Portugis. Pada prasasti Jiyu jelas ditemukan bahwa Girindrawarddhana menyebut dirinya sebagai Prabhu Natha. Pa Bu Ta La yang dimaksud dalam kronik Tionghwa jelas tak lain adalah Prabhu Natha alias Sri Wilwatikta Janggala Kadhiri alias Girindrawardhana Dyah Ranawijaya! Yang menjadi pertanyaan, mengapa penyerangan Demak ini begitu terlambat semenjak direbutnya tahta Majapahit dari tangan Nyo Lay Wa pada tahun 1486 dan baru diserang pada tahun 1517? Hal ini bisa dijawab bahwasanya, Demak sedang pontang-panting mengkonsolidasikan kekuatannya untuk menundukkan wilayah-wulayah Majapahit yang lain. Disamping juga membantu prajurid Cirebon dan Banten untuk menundukkan Pajajaran. Ditambah menghadapi kedatangan Portugis di Malaka. Konsentrasi Demak masih terfokus pada menyelamatkan wilayah sepanjang pesisir pantai utara yang strategis.



Majapahit berhasil ditundukkan untuk kedua kalinya. Pa Bu Ta La tidak dijatuhi hukuman, mengingat dia adalah menantu Kung Ta Bu Mie, masih saudara dengan Jim Bun. Namun kota dan istana Majapahit, habis dirampas oleh tentara Demak.



Dan pada tahun 1527, saat Demak diperintah oleh putra Jim Bun, Tung Ka Lo, kembali dia mengirimkan angkatan perang Demak dibawah pimpinan putranya Toh A Bo untuk membumi hangguskan Majapahit. Tung Ka Lo bisa diidentifikasi sebagai Sultan Demak ke tiga Trênggana, sedangkan Toh A Bo bisa diidentifikasi sebagai Pangeran Timur, putra Sultan sendiri. Pembumihangusan ini terkait usaha Pa Bu Ta La yang hendak mengadakan kerjasama dengan Portugis, melalui Pate Vira, seorang Adipati Tuban. Hal ini tercatat dalam catatan orang Portugis Suma Oriental. Pada tahun 1513, pengembara Portugis bernama Tome Pires mengunjungi Jawa Timur. Dia berdiam di Malaka dari 1512 sampai 1515 dan menuliskan kisah perjalanannya dalam buku Suma Oriental (Catatan Dunia Timur). Tome Pires mengatakan bahwa raja Jawa saat itu adalah Batara Vigiaya, dan raja sebelumnya adalah Batara Mataram, yang menggantikan ayahnya, Batara Sinagara. Informasi ini diperoleh Tome Pires dari Pate Vira (Adipati Wira), penguasa Tuban yang beragama Islam tetapi sangat setia kepada Batara Vigiaya. Inilah penyerangan ke tiga yang benar-benar melenyapkan Majapahit dari muka bumi.



Apa yang direkam semua Babad Jawa mengenai kehancuran Majapahit oleh serangan Demak, adalah benar. Sebuah peristiwa besar, peristiwa yang sanggup mengguncangkan kebanggaan orang Jawa, tentu saja akan terekam dalam dari generasi ke generasi. Dari pelosok timur hingga barat, semua cerita tutur Jawa yang kita dapati hingga saat ini, tak ada yang kontradiktif. Semua merujuk pada satu hal, bahwa Majapahit, Negara besar yang pernah ada di Jawa, hancur oleh serangan militant Islam Demak. Baru memasuki era berdirinya NKRI, wacana penolakan bermunculan dari mereka yang merasa terpojokkan. Dimana-mana, usaha untuk menghindarkan Demak sebagai kambing hitam terjadi. Dan Girindrawarddhana diposisikan sebagai pihak yang harus dipersalahkan. Darmagandhul, adalah salah satu serat yang mengadopsi ingatan kelam ini. Tuturan Darmagandhul, mengenai kehancuran Majapahit oleh Demak adalah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Beberapa keluarga bangsawan Bali, adalah bukti nyata bahwa pernah terjadi eksodus besar-besaran dari Jawa ke Bali akibat keguncangan politik tersebut. Suku terasing di kaki gunung Bromo, suku Tengger, juga merupakan keturunan dari mereka yang menolak masuk Islam. Cerita tutur leluhur mereka, Jaka Sêgêr dan Rara Antêng, yang mengungsi ke pedalaman Bromo akibat desakan tentara Demak, masih bisa kita dengar hingga sekarang.



(Cuplikan ulasan Buku Darmagandhul oleh Damar Shashangka, akan segera terbit akhir Juni 2011 oleh Penerbit Dolphin)





1. Pararaton

2. Nagarakretagama

3. Prasasti Jiyu

4. Prasasti Petak

5. Prasasti Wringin Pitu

6. Babad Tanah Jawi

7. Serat Kandha

8. Kronik Klenteng Sam Po Kong, Semarang

9. Prasasti Kertarajasa

10. Prasasti Sidateka



(By Damar Shashangka 7 Juni 2011)
sodrun
Posts: 1957
Joined: Sat Apr 30, 2011 8:38 pm

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Post by sodrun »

Dalam "Serat Darmo Gandhul" yang saya baca, yang banyak dibahas adalah intrik politis di tingkat elit.
Adalah sangat menarik bila ada yang bisa memberikan informasi yang valid mengenai "Proses Islamisasi" ini di tingkat grassroot !
Silakan.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebena

Post by Laurent »

sepertinya serat darmogandul cocok diangkat ke layar lebar biar masyarakat tahu fakta yang sebenarnya mengenai runtuhnya majapahit
User avatar
drinz
Posts: 301
Joined: Wed Aug 17, 2011 12:04 am
Contact:

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebena

Post by drinz »

padahal raden patah sudah dilarang sama sunan ampel.....

aduh......gak tau malu.....
bonita
Posts: 12
Joined: Thu Aug 15, 2013 10:47 pm

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebena

Post by bonita »

:stun:

Saya sebal baca ini, sebal karena merasa "dibohongi" mengenai kebenaran sejarah masuknya islam ke Nusantara [-( dan parahnya lagi kebohongan ini memang berhasil memberikan citra bagus seolah-olah islam masuk Nusantara lewat jalan damai eh ujung-ujungnya lewat pertumpahan darah juga.

Tidak heran Nusantara kemudian dijajah bangsa asing berabad-abad (karena kualat atau orang-orangnya menjadi 'botol'?) setelah masuknya islam. Lebih bodohnya lagi orang yang menyalahkan penjajahan Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris (walau numpang lewat) padahal ujung-ujungnya yang ngasih akses pendidikan luas ke Indonesia ya Belanda juga...biar kata Belanda (dibantu beberapa pendeta Jerman) nyebarin Protestan lewat zending-nya (dan Katolik lewat missie-nya), mereka gak main todong pake pedang. Tuh misionaris malah dibunuh-bunuhin sama penduduk asli, tapi mereka akhirnya diterima setelah misionaris2 mau belajar bahasa dan kebudayaan setempat terlebih dahulu sebelum nyebarin ajaran agama. Bukannya pendekatan a la wali songong mengejar-ngejar pake pedang (eh dulu kan pakai keris ya....halal gak nih hukumnya bunuh kafir pake keris?) :finga: !

Hujat-hujat negara Barat seenak udel, kalo rusuh di dalam negeri, maunya lari ke negara yang dihujat-hujat. Munafik benar pengikut mohedon ini :-&

Terima kasih para senior disini yang sudah meluangkan waktu mengupas serat ini. Sekali lagi, salut untuk Ki Sabdapalon yang memegang janjinya :partyman:

Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya
Mirror
Faithfreedom forum static
User avatar
SegeN
Posts: 131
Joined: Tue Oct 08, 2013 1:26 am
Location: Manokwari Papua

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebena

Post by SegeN »

Laurent wrote:sepertinya serat darmogandul cocok diangkat ke layar lebar biar masyarakat tahu fakta yang sebenarnya mengenai runtuhnya majapahit
Seandainya hal itu terjadi, bagaimana reaksi bangsa Indonesia nanti? Bagaimana nasib sutradara yang membuat film yang ceritanya diambil dari Serat Darmo Gandhul?
Tapi saya setuju kok jika diangkat ke layar lebar. Malah, saya punya beberapa ide untuk
mengusahakan hal itu. Hihihihi... (sssst :-$ )

Kabuuuur..... :axe:
swatantre
Posts: 4049
Joined: Thu Jul 20, 2006 7:40 pm
Location: Tanah Suci, dalem Ka'bah

Re: Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebena

Post by swatantre »

Jadiin aja bro.. kita bantu usahakan sebarin...
Post Reply