Serat Darmo Gandhul : Proses Islamisasi Nusantara Sebenarnya

Benturan dan bentrokan antara Islam dengan agama-agama dan peradaban lain di seluruh penjuru dunia.
spiderweb
Posts: 318
Joined: Sat Nov 05, 2005 4:29 am

Post by spiderweb »

ali5196 wrote:Lihat juga kelakuan Muslim di INdia :

Islam's War Against Buddhism
http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... 448#151448

Sedih sedih sedih .... kasihan amat orang Budha ... Muslim keparat !! Biar aja mereka dinuklir sampai abis ... :twisted: :twisted:
Kata gua amrik buang2 rudal and roket di afghanistan. harusnya dipake buat nuke saudi aja. beres... :lol:
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

ali5196 wrote: Laurent, gimana sih kau nak ! Kau sendiri yg memasukkan cerita ini : (lihat di halaman dua, terus cari nama Gajah Mada)
Sorry, Gue ingetnya dr Buku Sejarah Jaman Gue Sekolah dulu
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

Laurent wrote:Sorry, Gue ingetnya dr Buku Sejarah Jaman Gue Sekolah dulu
lebih tepatnya jaman Hayam Muruk dulu
User avatar
caberawit
Posts: 228
Joined: Mon Oct 16, 2006 12:59 am

Post by caberawit »

Sedikit mengomentari tulisan-tulisan di atas.
(Tulisan saya ini juga sekaligus menjawab pertanyaan dan tanggapan yang tidak sempat saya jawab di thread BANGKITLAH KEJAWEN, karena sudah keburu ditutup oleh moderator)

SIAPAKAH PENGARANG SERAT DARMOGANDUL?

Dari banyak tulisan mengatakan adalah Ranggawarsita, alias Bagus Burhan.
Uh, tidak mau saya membahas panjang lebar siapa si Bagus Burhan ini, karena tulisan-tulisan mengenai dia sudah banyak. Yang ingin saya bahas disini adalah agamanya.

Ranggawarsita jelas seorang muslim. Waktu berumur 12 tahun, dia masuk pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo.
Pujangga yang sangat produktif dan mumpuni. Dia mencampuradukkan ajaran Islam dengan Kejawen.
Darimanakah dia mendapat ajaran Kejawen? Tentu dari lingkungan hidupnya. Keluarganya (pujangga – priyayi), pengasuhnya (Ki Tanujaya), gurunya (Kyai Hasan Besari), dan pencariannya (belajar hingga ke Bali). Pengasuhnya, Ki Tanujaya, dikatakan banyak ilmunya. Sementara Kyai Hasan Besari, walaupun seorang ustad, beliau adalah seorang priyayi sehingga mengerti Kejawen. Tercatat, beliau (KHB) pernah menyuruh Ranggawarsita untuk tapa ngeli (tapa ngeli kan ngga ada dalam islam?). Sehingga dapat dikatakan, walupun Ranggawarsita seorang santri, dia bukan ‘Islam putihan’ (istilah untuk islam orthodox) melainkan Islam abangan, alias Islam Jawa.

Apa yang dimaksud Islam Jawa?
Menurut Geertz – sebagaimana dinyatakan Mark R. Woodward dalam bukunya “Islam Jawa; Kesalehan Normatif versus Kebatinan" (1999) – agama Islam tidak pernah sungguh-sungguh dipeluk di Jawa, kecuali di kalangan komunitas kecil para pedagang dan hampir tidak ada sama sekali di dalam lingkungan kraton jaman dulu.

Bagaimana pun, agama Islam yang berkembang di Tanah Jawa memiliki kekhasan tersendiri. Sebab, masyarakat Jawa sebelum datangnya agama Islam, sudah memeluk agama, yaitu Hindu-Budha dan agama asli. Maka, salah satunya diterapkanlah proses transformasi ‘Islam Jawa’ (semi-kebatinan); yakni lebih menonjolkan kelenturan dan kemoderatan dalam ber-Islam sehari-hari, sehingga tidak mengikis habis sisa-sisa tradisi atau adat-istiadat peninggalan kepercayaan nenek moyangnya.
swatantre wrote: Aliran Siti Jenar inilah yang kemudian berkembang menjadi aliran kejawen di Jawa...
Ah kau ini ngawur, swat.
Agama Jawa, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Kejawen berakar jauuuuuh sebelum kedatangan Islam. Sementara Syekh Siti Jenar ini adalah salah seorang dari penyebar agama Islam yang memasukkan unsur kebatinan di dalam ajarannya.

Coba kita lihat unsur-unsur agama Kejawen:
  • 01. Gunung. Simbolisasi gunung berasal tradisi asli, bukan dari Hindu atau Budha. Gunung menyimbolkan laku, juga menyimbolkan perjalanan roh dalam kepercayaan Jawa Kuno, yang seperti diketahui, digunakan bentuknya dalam berbagai macam tradisi kepercayaan di Jawa. Seperti: punden berundak (tradisi kuno), tumpengan (tradisi yang masih berlaku hingga kini), gunungan dalam wayang (kayon), dan lain-lain.
    Jadi bentuk bangunan suci berupa punden berundak, merupakan bentuk bangunan asli.
    Penggunaan unsur-unsur agama asli dalam candi Hindu dan Budha dapat dilihat misalnya pada Pura Besakih di Bali dan Borobudur di Jawa.
    Pura Besakih: terletak di atas gunung dan berteras. Pembagian ruang pada pura-pura di Bali jaba - jaba tengah - jero yang bernilai nista-madya-utama , juga merupakan pengaruh agama asli. Utama selalu lebih tinggi letaknya, merupakan simbolisasi laku, yaitu selalu menuju ke keutamaan.
    Borobudur: dibangun di atas bukit dan berteras (diambil dari bentuk punden berundak).
    Lubang-lubang pada stupa berbentuk belah ketupat (wajik) juga diambil dari tradisi nenek moyang, simbolisasi dari peleburan dosa. Dahulu, setelah melaksanakan laku penyucian diri biasanya diadakan selamatan dengan ketupat (bukan dengan tumpeng). Ketupat yang dibagikan kepada para tetangga mengandung makna permintaan maaf / mohon pengampunan atas segala kesalahan (Ngaku Lepat --> Kupat), lebar lebur (setelah laku penyucian diri/peleburan dosa). Tradisi inilah yang diambil oleh Islam jawa, yaitu bermaaf-maafan setelah/lebar ramadhan.
    02. Sesajen, yang merupakan ujud penghormatan kepada leluhur merupakan tradisi asli.
    Sesajen, hingga kini masih hidup dalam tradisi Kejawen. Simbol gunung, sebagai tempat tinggal roh untuk sementara, dan sesajen, sebagai makanan persembahan bagi roh leluhur diwujudkan dalam tumpengan (tumpeng – gunung dan lauk-pauknya – sesajen). Dan hingga kini dalam tradisi ritual Kejawen, orang masih menggunakan tumpeng.
    03. Dupa, yang merupakan simbol dari penyampaian doa, berasal dari leluhur. Dupa diperkirakan sudah digunakan sebelum Hindu – Budha masuk ke Jawa, sebab bahan baku dupa (serbuk kayu cendana dan getah pohon damar) berasal dari nusantara. Bahan-bahan tersebut kemudian dikenal oleh bangsa-bangsa lain setelah dibawa ke asia dan timur tengah oleh para pedagang.
    04. Wayang, yang menjadi bagian dari ritual Kejawen telah dikenal jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Buktinya, pertunjukan wayang sudah tertulis dalam prasasti Dyah Balitung th 899M (tahun segitu kan Syekh Siti Jenar belum lahir?).
    05. Lakon wayang, selalu diambil ceritanya dari kitab Mahabarata yang merupakan kitab suci agama Hindu, maupun Ramayana, yang merupakan epos India (memang tua mana, kitab Mahabarata dan Ramayana dengan Syekh Siti Jenar?)
    06. Semar, yang merupakan simbol Tuhan dalam tadisi Kejawen, berasal dari Jawa / Indonesia asli. Karena dalam kitab Hindu maupun Budha tidak ditemukan tokoh semar. Kaum Islam sekarang ini banyak mengaku-ngaku bahwa Sunan Kalijaga-lah yang menciptakan tokoh semar. Kata mereka semar dari kata Arab “ismar”. Wah… sama kasusnya dengan jamus kalimasada, yang diplesetkan menjadi kalimat sahadat.
    Memangnya berapa ratus tahun sih umur Sunan Kalijaga? Bukankah tokoh semar sudah tertulis dalam kitab-kitab kuno sebelum masuknya Islam ke Jawa, misalnya dalam Gatotkacaçraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh th 1188, juga pada candi-candi kafir, seperti candi Jago, candi Panataran, dan candi Sukuh?
Hal-hal tersebut di atas adalah unsur-unsur agama Kejawen yang telah ada sebelum Islam masuk ke Jawa, bahkan sebelum Hindu-Budha masuk ke Jawa. Dari point-point di atas, selain menolak pendapat swatantre bahwa Kejawen berasal dari Islam / Syekh Siti Jenar, saya juga menolak pendapat Gus Dur dan lain-lain orang yang menyatakan pendapat senada. Pendapat saya, Kejawen adalah agama leluhur, yang nasibnya kian mengenaskan. Masuknya agama Islam menyebabkan pendangkalan ajaran Kejawen yang amat sangat.
User avatar
caberawit
Posts: 228
Joined: Mon Oct 16, 2006 12:59 am

Post by caberawit »

Kembali ke Darmogandhul

Di sana disebut-sebut kitab Manik Maya. Kitab Manik Maya sendiri bukanlah kitab yang terlalu tua. Kitab itu ditulis lebih dari seabad setelah runtuhnya Majapahit oleh seorang Islam bernama Karta Mursadah. Karta Mursadah ini juga menulis Kitab Menak Ambya (yang terkenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah).

Kitab Manik Maya merupakan kutipan dari Kitab Tantu Panggelaran, yang kemudian dicampur dengan dongeng-dongeng Jawa yang sudah populer di kalangan masyarakat. Prof. Dr. Purbacaraka menilai kitab tersebut sukar dimengeti, karena cara pengutipan dan mendalami kitab Tantu Panggelaran kurang sempurna.
User avatar
caberawit
Posts: 228
Joined: Mon Oct 16, 2006 12:59 am

Post by caberawit »

Ada sesuatu yang menarik yang saya baca dari buku Pramudya Ananta Toer, berjudul “Arus Balik”, mengenai Raden Patah dan Sunan Kalijaga.

Dalam buku tersebut diceritakan ada tokoh bekas Syahbandar Tuban, yang mengangkat dirinya menjadi Sunan Rajeg bercerita kepada pengikut-pengikutnya (kata-katanya saya ringkas saja – pen):

“Kalian sudah tahu siapa yang menganggap dirinya Sultan Islam pertama-tama di Jawa. Kalian memanggilnya Raden Patah, bukan? Tidak, tidak sesederhana itu namanya. Lengkapnya: Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Sama sekali bukan nama Jawa. Memang dia bukan orang Jawa. Jangan dengar musafir-musafir Demak berkicau, dia ningrat Jawa, berdarah Majapahit. Bohong! Semua pemashuran Demak oleh musafir-musafir itu bohong belaka. Yang kalian sebut Sultan Demak itu orangnya sama sekali tidak bisa baca dan tulis Jawa, tak bisa bicara Jawa. Dia hanya bisa sedikit Melayu.

Bohong kalau dia keturunan Majapahit, anak Retna Subanci, cucu Babah Bantong dari Gresik. Dengarkan baik-baik. Babah bantong memang orang Tionghoa Islam. Nama sebenarnya Tan Go Hwat. Benar anaknya telah diselir oleh Bhre Wijaya. Ratna Subanci tidak pernah berlayar ke Palembang. Dia pernah dibawa oleh ayahnya ke Malaka semasa gadis kecil. Memang dia mengandung dan mendapat anak dari raja Majapahit, tapi anak itu kemudian mati. Dia sangat menderita dalam keputrian, hampir-hampir tak dapat dikendalikan, selalu merengek minta menjenguk orang tuanya. Sri Baginda dalam pada itu tidak terlalu suka padanya. Anak Babah Bantong itu dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban. Anak yang dilahirkannya di Tuban itu bernama Jaka Seca. Selanjutnya kalian tau sendiri. Oleh ibunya sebelum meninggalnya dia diserahkan pada Gow Eng Cu untuk dididik.”

“Seluruh Majelis Kerajaan Demak tidak bakal bisa bantah aku, Sultan Demak itu tak lain dari peranakan awak armada Ceng He. Itu ada dalam kitab para Syahbandar, boleh jadi juga dalam klenting-klenting di Tuban dan Lao Sam (Lasem – pen), boleh jadi juga di Semarang sendiri.”

Sebentar terjadi kegaduhan dan Mohammad Firman menjawab pertanyaan dari beberapa orang di dekatnya.

“Apa?” sambar Sunan Rajeg yang menangkap kegaduhan itu. “Betul, Jaka Seca itu kemudian jadi Raden Said, sekarang Sunan Kalijaga, tahu betul bahasa Cina, maka juga ikut mengelompok di Demak. Demak dan Islam dibikin jadi satu – dengarkan itu, karena kekuatan di Jawa sepenuhnya dipegang oleh pedagang-pedagang orang Islam…”


haa..
Jadi menurut si Sunan Rajeg ini Raden Patah dan Sunan Kalijaga sama-sama anak Retna Subanci, Cuma beda ayah:
- Raden Patah berayah awak armada Ceng He (Cheng Ho?)
- Sunan Kalijaga berayah Adipati Tuban
User avatar
satmata
Posts: 56
Joined: Thu Apr 19, 2007 2:24 pm
Location: Jakarta

Post by satmata »

Trus iki opo sing mau di diskusiin yooo.....koyo' baca cerita tapi kok ngalor ngidul....
User avatar
santri gagal
Posts: 818
Joined: Sat Apr 21, 2007 2:36 am
Location: somewhere in time

Post by santri gagal »

caberawit wrote:

06. Semar, yang merupakan simbol Tuhan dalam tadisi Kejawen, berasal dari Jawa / Indonesia asli. Karena dalam kitab Hindu maupun Budha tidak ditemukan tokoh semar. Kaum Islam sekarang ini banyak mengaku-ngaku bahwa Sunan Kalijaga-lah yang menciptakan tokoh semar. Kata mereka semar dari kata Arab “ismar”. Wah… sama kasusnya dengan jamus kalimasada, yang diplesetkan menjadi kalimat sahadat.



om caberawit, apa ini nda salah?
setau ana figur semar adalah pembawa pesan tuhan pada orang biasa/baik, sedangkan ada juga figur togog, adik semar yg membawa pesan tuhan pada orang jahat (begal, rampok dll) dg tujuan menobatkan mereka.
sedangkan tuhan sendiri sang hyang dumadi.

di sejumlah daerah ada yg menyebut semar dg nama sabdapalon, kalo nda salah daerah jateng perbatasan jabar.

User avatar
artends
Posts: 101
Joined: Sat Apr 07, 2007 8:35 am

Post by artends »

senengane kok repot, kalo saya sih gampang aja

masuknya islam ke indonesia versi dharmo gandhul masih perlu dibuktikan (sungguhpun mas dharmo itu betul, harus ada konfirm dari pihak ketiga)


yang jelas-jelas sudah dikonfirm oleh pihak ke tiga (orang eropa) adalah masuknya kristen ke indonesia, melalui semangat 3G's orang belanda, yang justru penyebaran gospelnya menjadi urutan kedua setelah Gold (kekayaan), artinya mereka terlebih dahulu mengambil kekayaan alam nusantara, kemudian ..... sebagai devisa (imbal balik)nya adalah Gospel.

masalahnya dalam rangka mendapatkan G yang pertama sering terjadi pertumpahan darah dengan penduduk setempat karena orang belanda cenderung memaksa daripada membujuk (hal ini sependapat dengan temen saya yg memang orang 'bule' belanda) dia mengakui kesalahan nenek moyang mereka thd bangsa kita jaman dulu, dia bilang : "walaupun saya orang belanda hati saya indonesia"

kalau "pelaku kriminal" nya aja udah ngaku, masak seh korbannya membantah.
dia juga mengakui semangat 3G's itu berangkat dari belanda (dan eropa umumnya) bareng2 lho.
User avatar
caberawit
Posts: 228
Joined: Mon Oct 16, 2006 12:59 am

Post by caberawit »

satmata wrote:Trus iki opo sing mau di diskusiin yooo.....koyo' baca cerita tapi kok ngalor ngidul....
Yang saya bahas adalah tulisan-tulisan di atas saya. Jika ada pendapat di thread ini yang menurut saya tidak benar, maka sebaiknya saya koreksi. Saya tidak OOT. Sebaliknya saya heran kepada anda, mengapa pengetahuan anda pertanyakan.



Mohon ijin kepada moderator, untuk menanggapi pertanyaan santri gagal di bawah ini, karena akan melenceng dari topik Serat Dharmogandul. Saya harap moderator mau mengerti karena pertanyaan ini memang tidak dapat dijawab di thread yang lain.
santri gagal wrote:om caberawit, apa ini nda salah?
Tidak salah sama sekali. Semar memang bukan Tuhan, seperti pendapat anda di thread BANGKITLAH KEJAWEN, tapi semar adalah simbolisasi Tuhan bagi orang Jawa (termasuk saya, tentunya). Sebab Semar memang tidak ada. Itulah sebabnya ia diberi nama Hyang Ismaya. Maya artinya tidak ada. Kalau ia dianggap tokoh nyata oleh orang Kejawen, tentu namanya bukan Ismaya, melainkan Isnyata atau malah mungkin menjadi Sunyoto (haha, jadi inget Gatot Sunyoto, ventrilog ngetop waktu gue masih kecil :P ).
Tokoh semar itu digunakan oleh orang Jawa untuk menggambarkan Tuhan yang sulit digambarkan (tidak dapat dibandingkan dengan apa pun - tan kena kinaya ngapa). Bagi orang Kejawen, Tuhan itu tan kena kinaya ngapa, berbeda dengan Allah Islam yang serba pasti.

Coba kita lihat sekelumit gambaran semar:
Image

-Tuhan itu Esa. Semar putra dari Hyang Tunggal (Hyang Tunggal yang dimaksud disini adalah Hyang Tunggal sebelum Islam masuk ke Jawa - yaitu istilah yang sama dengan yang digunakan oleh agama Tirta, sama dengan penyebutan bagi Hyang Widhi atau Ekam eva adwityam Brahman) ). Anda tahu, setelah Islam masuk, dewa-dewa Jawa mengalami desakralisasi, kedudukannya diacak-acak, ketentuan diinjak-injak. Dewa-dewa yang tidak boleh digambar, digambarkan, yang tidak kawin dikawinkan. Dan amat disayangkan, salah satu tokoh yang mengacak-acak kedudukan dewa-dewa Jawa ini adalah Ranggawarsita, pujangga yang amat dikagumi. Seandainya Ranggawarsita bukan Islam, mungkin dia tidak akan melakukan hal tercela tersebut (sangat disayangkan...:( )

- semar itu bukan lelaki dan bukan perempuan (pengertian sebelum Islam masuk ke Jawa-->tidak usah saya bahas lagi, sudah diterangkan di atas)
Ia tidak berkelamin. Maka bentuk tubuhnya digambarkan seperti perempuan, berpayudara dan berpantat besar, namun ia berkekuatan besar, melebihi kekuatan para dewa. Maka jelas pendapat anda di thread "bangkitlah Kejawen" yang menyatakan sifat semar maskulin adalah ngawur. Semar bersifat maskulin sekaligus feminin. Ia sakti sekaligus pengasih.

- semar itu misteri (samar).
Maka digambarkan warna kulitnya hitam. Hitam adalah lambang/ simbol misteri

- semar itu kakak dari tejamaya (teja = cahaya). Artinya, dia ada terlebih dahulu, sebelum terang/ cahaya diciptakan, sebelum segala-sesuatu.

- Semar itu kakak dari batara guru (batara guru = pemimpin para dewa). Artinya, dia lebih berkuasa dari para dewa

- dan masih banyak lagi yang menggambarkan semar adalah simbolisasi Tuhan.

Saya tidak berani membahas panjang lebar mengenai semar, karena di sini bukan tempatnya. Oleh karena itu pembahasan cukup disini, sekaligus saya mengucapkan terima kasih pada moderator yang membolehkan tulisan ini tampil.
swatantre
Posts: 4049
Joined: Thu Jul 20, 2006 7:40 pm
Location: Tanah Suci, dalem Ka'bah

Post by swatantre »

(Sebelumnya mohon maaf, saya tak tahu, apakah postingan ini pas ditempatkan di sini, mohon kebijakan Moderator. Tapi, saya melihat ini ada kaitannya dengan perkembangan Islam di Tanah Jawa. Sebab postingan ini memuat Serat Wedatama yang dibuat oleh seorang bangsawan petinggi di Surakarta, dimana tulisan di dalamnya banyak memuat sindiran thd ekspansi virus2 Islam di Tanah Jawa ini).

Serat Wedatama, sesuai namanya, merupakan serat yang berisi pendidikan yang utama (luhur), terutama bagi generasi muda. Menariknya, di serat ini banyak disinggung kegalauan seorang Pangeran Adipati (Mangkunegoro IV, penulis serat ini) tentang keterkikisan identitas Jawa akibat 'virus2' budaya dan agama Islam. Beliau banyak menyindir dan secara implisit menyebut budaya Islam sebagai budaya asing yang suka ribut, dibandingkan dengan budaya Jawa yang cinta kedamaian (pacifis). Bahkan, beliau juga mengejek para generasi muda yang lebih suka ikut2an budaya Arab Islam sambil merendahkan budaya sendiri, tanpa sebelumnya mempelajari dan mengalami sendiri keunggulan budaya yang telah dimiliki.Hal ini menandakan, kegelisahan akan kedatangan Islam sudah ada dan dirasakan sejak jaman dulu, dan keprihatinan tersebut dirasakan oleh para bangsawan petinggi yang teguh berjuang menegakkan identitas lokal (dalam hal ini Jawa) atas serbuan virus Islam. Dan, rasanya, kegelisahan itu justru kian relevan dan menjadi2 dengan keadaan di Indonesia (dan juga Tanah Jawa, pada khususnya) pada saat ini. Berikut beberapa syair dan pupuh2nya:

(Mohon maaf bila terjemah dan tafsirnya baru dikopi mentah2 ke Inggris. Bila ada netter lain yang berminat menterjemah ke Indonesia, silahkan. Bisa dg langsung tulis di postingan lain, bisa pm saya biar terjemahjan bisa saya masukkan dan rangkai dalam postingan ini, biar enak membacanya. Terima kasih...)

*************
Sumber: http://cip.cornell.edu/DPubS/Repository ... 9/body/pdf

I. Pangkur

1. mingkar mingkur ing angkara
akarana karenan mardi siwi
sinawung resmining kidung
sinuba sinukarta
mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
kang tumrap neng tanah jawa
agama ageming aji

2. jinejer neng wedatama
mrih tan kemba kembenganing pambudi
mangka nadyan tuwa pikun
yen tan mikani rasa
yekti sepi asepa lir sepah samun
samangsane pakumpulan
gonyak ganyuk nglelingsemi

3. gugu karsane priyangga
nora nganggo paparah lamun angling
lumuh ingaran balilu
uger guru aleman
nanging janma ingkang wus waspadeng semu
sinamun ing samudana
sasadoning adu manis

4. si pengung nora nglegewa
sangsayarda denira cacariwis
ngandar-andar angendukur
kandane nora kaprah
saya elok alangka longkanganipun
si wasis waskita ngalah
ngalingi marang si pingging

5. mangkono ngelmu kang nyata
sanjatane mung weh reseping ati
bungah ingaranan cubluk
sukeng tyas jen den ina
nora kaya si punggung anggung gumunggung
ugungan sadina-dina
aja mangkono wong urip

6. uripe sapisan rusak
nora mulur nalare ting saluwir
kadi ta guwa kang sirung
sinerang ing maruta
gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung
pindha padane si muda
pradene paksa kumaki

7. kikisane mung sapala
palajune ngandelken yayah wibi
bangkit tur bangsaning luhur
lah iya ingkang rama
balik sira sarawungan bae durung
mring atining tata-krama
nggon-anggon agama suci
-------------

I. Pangkur

1. Turning my back on desire
because I am happy to train children,
I compose in the beauty of chant,
embellishing and clarifying,
to bring about the unfolding of this high secret knowledge,
which pertains in the land of Java--
the religion which belongs to the king.

2. I record these teachings in this Wedatama,
in order that you will not slacken in the cleansing of your heart;
for, although you grow old,
if you donτt understand the feeling,
you will be truly empty, tasteless, like chewed pulp--
when meeting with others,
awkward and shaming,

3. following your own will,
not using propriety when speaking,
averse to being called ignorant,
groping for compliments.
But a man who already is aware of intimations,
wraps himself in irony,
and talks sweetly.

4. The idiot is not aware,
increasingly chattering
elaborate heaps of words.
His speech is queer,
more amazing, and without reflective pauses.
The wise man is clever to submit himself,
to conceal himself from the fool.

5. This then is the true knowledge,
truly giving gladness to the heart--
happy to be called a dullard,
glad-hearted when held in contempt--
unlike the idiot who constantly likes to be flattered
and spoiled every day.
Don!t be like him.

6. His one life-time is destroyed.
His mind is fragmented, in tatters;
like a dark cave
when the wind blows through--
droning, growling, constantly rumbling--
like that is the young man.
Nevertheless, he behaves pretentiously.

7. His resources are limited,
always falling back on his parents1 station.
Wise and of high birth
indeed is his father.
On the other hand, he hasn!t the faintest connection
with that core of good conduct
which is a part of a holy religion.
--------------

8. socaning jiwangganira
jer katara lamun pocapan pasti
lumuh asor kudu unggul
sumengah sesongaran
jen mangkono kena ingaran katungkul
karem ing reh kaprawiran
ora enak iku kaki

9. kekerane ngelmu-karang
kakarangan saking bangsaning gaib
iku boreh paminipun
tan rumasuk ing jasad
amung aneng sajabaning daging kulup
yen kapengkok panca-baya
ubayane mbalenjani

10. marma ing sabisa-bisa
babasane muriha tyas basuki
puruhitaa kang patut
lan trap ing angganira
ana uga angger uger ing kaprabun
abon-aboning panembah
kang kambah ing siang-ratri

11. iku kaki takokena
marang para sarjana kang martapi
mring tapak ing tepa tulus
kawawa nahan hawa
wruhanira mungguh sanyataning ngelmu
tan pasti neng janma wreda
tuwin muda sudra kaki

12. sapantuk wahyuning Allah
gya dumilah mangulah ngelmu bangkit
bangkit mikat reh mangukut
kukutaning jiwangga
yen mangkono kena sinebut wong sepuh
liring sepuh sepi hawa
awas roroning atunggil

13. tan samar pamoring suksma
sinukmaya winahya ing asepi
sinimpen teleng ing kalbu
pambukane warana
tar len saking liyep layap ing aluyut
pindha pesat ing supena
sumusup ing rasa djati

14. sajatine kang mangkana
wus kakenan nugrahaning hyang widi
bali alaming asuwung
tan karem karameyan
ingkang sipat wisesa winisesa wus
mulih mula-mulanira
mulane wong anom sami
-----------

8. The defect of his being
surely is visible when he converses:
he is not willing to lose; he must be supreme,
haughty and boasting.
If he is like that, he can be called reckless:
absorbed in matters of confrontation.
That's not pleasant, son.

9. The mystery of magic
derived from the world of the invisible
is like skin cosmetic.
It is not really absorbed into the body
but stays on the outside of the flesh, my boy.
When you unexpectedly meet any kind of danger,
its promise fails.

10. So, as much as you can,
so that your feelings are secure,
become a student, in a proper manner
and in keeping with your inclinations.
There are also rules belonging to kingship
the instruments of one who worships,
rules which are followed day and night.

11. About these, please ask
of wise men who have already done asceticism
in the footsteps of one who is a sound example,
and can suppress their passions.
Understand that real knowledge
is found in old and young men,
of high or low class.

12. After you have received the revelation from God,
be quick to become clear and able to work on spiritual knowledge,
able to get knowledge of how to die —
the end of being.
If like that, you can be called a mature man;
mature in the sense of empty of passions
and prepared for the two in one.

13. Clear indeed is the coming together with the spirit.
Felt deeply, it comes about in quietness
and is preserved within.
The removal of the veil
comes only from being half-awake and half-asleep,
like the twilight of a dream,
penetrating into the true feeling.

14. Truly, one who is like this
has already received the gifts of the All Wise,
and has returned to the condition of emptiness,
not indulging in worldliness;
his dominating qualities are dominated
and he goes home to his origin.
Because of that, all young men

* Di Sinom ini, dipaparkan model pendidikan ideal Jawa dengan pemodelan itu sendiri ialah pengalaman Panembahan Senopati

II. Sinom

1. nulada laku utama
tumrap ing wong tanah dj awi
wong agung ing ngeksiganda
panembahan Senapati
kapati amarsudi
sudane hawa Ian nepsu
pinesu tapa-brata
tanapi ing sijang ratri
amamangun karjenak tyas ing sasama

2. samasane pasamuwan
mamangun marta martani
sinambi ing saben mangsa
kala kalane asepi
lalana teki-teki
gayuh gejonganing kajun
kayungyun eninging tyas
sanityasa pinrihatin
puguh panggah tjegah dahar lawan nendra

3. saben mendra saking wisma
lalana laladan sepi
ngingsep sepuh ing sopana
mrih pana pranaweng kapti
tistis ing tyas marsudi
mardawa ing budya tulus
mesureh kasudarman
neng tepining djalanidi
sruning brata kataman wahju dyatmika

4. wikan wengkoning samodra
kederan wus den ideri
kinemat kamot ing ndriya
rinegem sagegem dadi
dumadya angratoni
nenggih kangdjeng ratu kidul
ndedel nggajuh nggagana
umara marak maripih
sor prabawa Ian wong agung ngeksiganda

5. dahat denira aminta
sinupeket pangkat kanti
djroning alam palimunan
ing pasaban saben sepi
sυmanggem anj anggemi
ing karsa kang wus tinamtu,
pamrihe mung aminta
supangate teki-teki
nora ketang teken janggut suku jaja

6. prajanjine abipraja
saturun-turun ing wuri
mangkono trahing awirja
yen ama sah mesu budi
dumadya glis dumugi
iya ing sakarsanipun
wong agung ngeksiganda
nugrahane prapteng mangkin
trah-tumerah darahe pada wibawa
-------------

II. Sinom

1. should imitate the highest example of behavior
for people in the land of Java--
that of the great man of Mataram,
Panembahan Senapati.
Strongly striving for
the decrease of his passions,
he disciplined himself through asceticism.
And day and night
he aroused agreeable attitudes in the hearts of all the people.

2. When meeting with others
he practiced gentleness.
Every now and then
at quiet times,
he went wandering about, practicing asceticism,
striving for the target of his will:
drawn to clearness of heart.
Continuously concerned,
he steadfastly restrained himself from eating and sleeping.

3. Every time he went out of his house,
wandering through quiet areas,
he sucked up the old, ripe way,
in order to get clear insight into his intentions;
striving for calmness in his feelings,
the serenity of virtuous thoughts,
he disciplined himself in love for his fellow-man.
There, at the border of the ocean,
the intensity of his asceticism was graced with a right
inspiration,

4. He knew the expanse of ocean,
having already encompassed it,
drawn it in and placed it in his heart.
Held in his hand, it became a handful.
So he came to have authority over
the queen of the south seas.
Up she came from the deeps,
drew near humbly,
overcome by the power of the great man of Mataram.

5. She intensely asked
to be close to him, to be his companion
in the invisible world,
in familiar territory, at quiet times.
She made a promise,
in accord with her fixed will.
Her intention was to ask
the benefits of his asceticism;
her submission was complete.

6. She promised that his family,
all of his descendants,
those of noble birth,
if still striving with their minds,
would soon attain
the objects of their intentions.
The great man of Mataram--
her blessing is still felt--
from generation to generation, his descendants prosper.
-----------

7. ambawani tanah djawa
kang pada djumeneng adji
satrija dibya sumbaga
tan lyan trahing Sδnapati
pan iku pantes ugi
tinulad labetanipun
ing sakuwasanira
enake lan djaman mangkin
sajektinέ tan bisa ngepleki kuna

8. lowung kalamun tinimbang
aurip tanpa prihatin
nanging ta ing jaman mangkya
pra muda kang den karemi
manulad nulad nabi
nayakengrat gusti rasul
anggung ginawe umbak
saben seba mampir masjid
ngajap-ajap mujijat tibaning dradjat

9. anggung anggubel sarengat
saringane tan den wruhi
dalil dalan ing ijemak
kiyase nora mikani
katungkul mungkul sami
bengkrakan mring masjid agung
kalamun maca kutbah
lalagone dandang-gendis
swara arum ngumandang cengkok palaran

10. lamun sira paksa nulad
tuladaning kangjeng nabi
o ngger kadohan panjangkah
wateke tan betah kaki
rehne ta sira jawi
satitik bae wus cukup
ajwa'guru-aleman
nelad kas ngeblegi pekih
lamun pengkuh pangangkah yekti karahmat

11. nanging enak ngupaboga
rehne ta tinitah langip
apa ta suwitweng nata
tani tanapi agrami
mangkono mungguh mami
padune wong dahat cubluk
durung wruh cara arab
jawaku bae tan ngenting
parandene paripaksa mulang putra

12. saking duk maksih taruna
sadhela wus anglakoni
abirag marang agama
maguru anggering kaji
sawadine tyas mami
banget wedine ing besuk
pranatan akir-jaman
tan tutug kaselak ngabdi
nora kober sembahyang gya tinimbalan
-------------

7. Those who become kings,
reigning over the land of Java,
excellent and glorious knights,
are none other than the descendants of Senopati.
It is also proper
to take as an example his merits,
to the best of your ability.
Truly, goodness of these times
can not equal that of the old times;

8. its sufficient, if compared to
life without any concern at all.
But in our times,
young men who indulge themselves in
imitating the Prophet,
the leader of the world, our lord messenger,
always use this indulgence boastfully:
every time they want to come before the king, they drop by the
mosque--
seeking a miracle, the arrival of a promotion.

9. Constantly practicing ritual,
they do not know the essence of the ritual:
Dalil,1 the way of Idjemak2
and Kijas3 are not known.
They are absorbed in
showing off in the great mosque;
when they read a sermon,
the tune is Dandang-gula
the fragrant voice reverberates singing the Palaran version.

10. When you persistently imitate
the example of our lord the Prophet,
oh son, you will have gone too far;
that quality is not able to be sustained, my boy;
because you are Javanese,
just a little is enough.
Donft be eager for compliments
when you imitate the way of the scholars of the Koran;
if you are constant in your desire, truly you will be blessed.

11. But, more pleasant is bread-winning,
because you are created poor and weak--
whether serving the king,
farming, or trading.
As for me, I like this way,
because I am very stupid--
I don!t yet know Arabic,
even my Javanese is not accomplished--
nevertheless, I compel myself to teach my children

12. because when still young
I experienced for a short time
zeal in religious matters;
apprenticed to any hadji,
actually,
I was very frightened of the future--
the order of the last judgement.
But I never finished: I had to serve the king;
I didnt have time to pray: I was quickly summoned
---------

13. marang ingkang asung pangan
jen kasuwen den dukani
bubrah kuwur ing tyas ingwang
lir kijamat saben ari
bot Allah apa gusti
tambuh-tambuh solah ingsun
lawas-lawas nggraita
rehne ta suta priyayi
yen muriha dadi kaum temah nista

14. tuwin ketip suragama
pan ingsun nora winaris
angur baya ngantepana
pranatan wajib ing urip
lampahan angluluri
aluraning pra luluhur
kuna-kυmunanira
kongsi tumekeng samangkin
kikisane tan lyan amung ngupaboga

15. bonggan kang tan merlokena
mungguh ugering aurip
uripe lan tri prakara
wirya harta tri winasis
kalamun kongsi sepi
saka wilangan tetelu
telas tilasing janma
aji godong jati aking
temah papa papariman ngulandara

16. kang wus waspada ing patrap
mangayut ayat winasis
wasana wosing jiwangga
melok tanpa aling-aling
kang ngalingi kalingling
wenganing rasa tumlawung
keksi saliring jaman
angelangut tanpa tepi
yeku aran tapa tapaking hyang Suksma

17. mangkono janma utama
tuman tumanem ing sepi
ing saben rikala mangsa
masah amamasuh budi
lahire anetepi
ing reh kasatriyanipun
susila anor-raga
wignya met tyas ing sasami
yeku aran wong barek berag agama

18. ing jaman mengko pan ora
arahe para taruni
yen antuk tuduh kang njata
nora pisan den lakoni
banjur njujurken kapti
kakekne arsa winuruk
ngandelken gurunira
panditane praja sidik
tur'wus manggon pamucunge mring makripat
--------------

13. by him who gives food.
If I was late, I got a scolding.
Broken and confused in my heart--
like the end of the world, every day--
which should I put more weight on, God or king?
I didnft know what to do.
Gradually I realized that,
because I was a son of a prijaji,1*
if I wanted to be a kaum, that would be contemptible--

14. or a ketib6 or suragama.7
I am not a descendant of these people.
Tt is better if I stick
to the order of the necessities of life,
the way of veneration
of the traditions of my ancestors;
from the old times
up to now,
finally, it isn't any different from bread-winning.

15. It is one's own fault if one doesn't heed
the main points in living.
Three principles--
honor, wealth, cleverness--
when empty
of these three,
gone are the marks of a human being;
worth more is the dried leaf of the teak-wood tree.
In the end, miserable, begging, aimlessly wandering.

16. One who is already alert in attitude
is clever at knowing the relevance of the verses of the Koran.
In the end, he sees the core of his being
clearly, without a veil.
That which veiled is seen.
The opening into the feeling--resounding from afar--
all the world is seen
far-reaching, without borders.
This is what is called doing asceticism on the path of the
Great Invisible.

17. Thus, an excellent person
is used to being planted in quietness.
At all times,
he engages in sharpening his mind:
on the outside, he keeps to
the rules of a knight--
good-mannered and humble,
skilled in attracting the sympathy of fellow-men.
This is a man who can be called zealous in religion.

18. In this age, the direction of young men
is not like that.
When they get explicit advice,
they don't follow it at all.
Instead, they insist on their own way.
Their grandfathers they will teach,
confident in their teachers,
the clever state priests
who are accustomed to seeking philosophical answers.
------------

III. Pucung

1. ngelmu iku
kalakone kanti laku
lekase lawan kas
tegese kas nyantosani
setya budya pangekese dur angkara

2. angkara gung
neng angga anggung gumulung
gogolonganira
tri loka lekere kongsi
yen den umbar ambabar dadi rubeda

3. beda lamun
wus sengsem reh ing asamun
semun ngaksama
sasamane bangsa sisip
sarwa sareh saking mardi martotama

4. tamat limut
durgameng tyas kang weh limput
karem ing karamat
karana karoban ing sih
sihing Suksma ngrebda ardi gengira

5. yeku patut
tinulad-tulad tinurut
sapituduhira
aja kaya jaman mangkin
keh pra muda mundi diri rapal ma'na

6. durung pecus
kasusu kaselak besus
ama'nani rapal
kaya sayid weton mesir
pendak-pendak angendak gunaning janma

7. kang kadyeku
kalebu wong ngakυ-aku
akale alangka
elok jawane den mohi
paksa nglangkah ngangkah met kawruh ing mekah

8. nora weruh
rosing rasa kang rinuruh
lumeketing angga
anggere pada marsudi
kana kene kahanane nora beda

9. uger lugu
dinta mrih pralebdeng kalbu
yen kabul kabuka
ing drajat kajating urip
kaja kang wus winahya sekar srinata
----------

III. Putjung

1. This knowledge
is achieved through practice,
the process is with Mkas.M
The meaning of Mkast is to strengthen
ones perseverance in suppressing evil passions.

2. The great passions
are always coiled in the body.
Their power
extends into the three spheres;8
if let loose, they develop and become disturbances.

3. Very different
is the man who is a lover of quiet matters;
forgiving
fellow-men who are in error;
always calm because practicing the highest form of patience.

4. Vanished is confusion,
the danger which clouds his heart;
engulfed in holiness,
because overflowing with love--
love from the Invisible, growing as large as a mountain.

5. Of this man, it is appropriate
to imitate and follow
all his instruction.
Don't be like many young men nowadays,
boasting about their interpretations of the Koran.

6. They don't really get it,
but they hurry to appear like wise-men;
interpreting the verses
like a sajid9 from Egypt;
always disparaging the skills of other men.

7. Men like that
are deceitful persons;
their reasoning is obscure;
surprisingly, they reject their MJava-ness,M
and force themselves to try for the knowledge of Mecca.

8. They don't know
that the core of the feeling that they search for
is stuck in the body.
If they really were striving, they would see
that there is no difference between here10 and there.11

9. Truly,
if you make deep knowledge your objective,
when successful,
the way is opened to the desired position in life
(as has already been explained in the Sinom song).
---------

10 . hasa ngelmu
mupakate lan panemu
pasahe lan tapa
yen satriya tanah jawi
kuna-kuna kang ginilut tri prakara

11. lila lamun
kelangan nora gegetun
trima yen kataman
sak-serik sameng dumadi
tri legawa nalangsa srah ing Batara

12. Batara gung
inguger nggraning jejantung
jenek hyang Wisesa
sana pasenedan suci
nora kaya simuda mudar angkara

13. nora uwus
kareme anguwus-uwus
uwuse tan ana
mung janjine muring-muring
kaja buta buteng betah nganiaja

14. sakeh luput
ing angga tansah linimput
linimpet ing sabda
narka tan ana udani
lumuh ala ardane ginawe gada

15. durung punjul
kasusu kaselak jujul
kaseselan hawa
cupet kapepetan pamrih
tangeh nedya anggambuh mring hyang Wisesa

IV. Gambuh

1. samengko ingsun tutur
sembah tjatur supaja lumuntur
dingin raga tjipta djiwa rasa kaki
ing kono lamun ketemu
tanda nugrahaning Manon

2. sembah raga puniku
pakartinέ wong amagang laku
susutjine asarana saking warih
kang wus lumrah limang wektu
wantu-wataking wawaton

3. ing nguni-uni durung
sinarawung wulang kang sinerung
lagi iki bangsa kas ngetokken anggit
mintokken kawignjanipun
saringate elok-elok
---------------

10. Knowledge
is thought
embued with asceticism;
as with the knights of Java,
in the old days, who worked diligently on these three matters:

11. when losing something,
calm and not regretful;
when hurt
by fellow-men, readily accepting it;
open-hearted, humble, surrendered to God.

12. The Great God
resided in their hearts,
the Almighty was at ease
in that hidden, holy place.
Not so with the young man who lets loose his passions;

13. impudently,
he likes to rebuke others.
But his rebuke has no meaning--
only discontented grumbling;
like a demon--coarse, endlessly persecuting,

14. All his faults
are camouflaged in his body;
wrapped in utterances
he claims that no one understands.
Not wanting to be called bad himself, he uses his passions
as a club.

15. Not yet excellent
he hurries to be preeminent;
filled with passions,
his mind is hindered by ulterior motives.
He still has far to go if he intends to unite with the Almighty,

IV. Gambuh

1. Now I will tell you about
the four kinds of worship, to enable Godτs grace to fall.
Worship with the body, the mind, the spirit, and feelings, sonin
these, if you can find it,
is the sign of the grace of God.

2. Worship with the body is
the conduct of the noviciate;
the ritual cleansing is with water,
usually done five times,
according to the norm.

3. In olden times, secret mystical teachings
were not made known to beginners.
Now, the "zealous" ones demonstrate their brilliance,
show off their cleverness,
using astounding rituals,

4. £itik kaja santri dul
gajeg kaya santri brahi kidul
saurute pacitan pinggir pasisir
ewon wong kang padha nggugu
anggere pada nyalemong

5. kasusu arsa weruh
cahyaning yang kinira jen karuh
ngarep-arep hurup arsa din kurebi
tan weruh jen urip iku
akale kaliru enggon

6. jen ta jaman rumuhun
tata titi tumrah tumaruntun
bangsa srengat tan winor lan laku batin
dadi nora duwe bingung
kang pada nembah hyang Manon

7. lire sarengat iku
kena uga ingaranan laku
dingin ajeg kapindone ataberi
pakolihe putraningsun
nyenyeger badan mrih kaot

8. wong seger badanipun
otot daging kulit balung sungsum
tumrahing rah mamarah antenging ati
antenging ati nunungku
angruwat ruweding batos

9. mangkono mungguh ingsun
ananging ta sarehning asnapun
beda-beda panduk panduming dumadi
sajektine nora jumbuh
tekad kang pada linakon

10. nanging ta paksa tutur
rehne tuwa tuwase mung catur
bok lumuntur lantaran ing reh utami
sing sapa temen tinemu
nugraha geming kaprabon

11. samengko sembah kalbu
jen lumintu uga dadi laku
laku agung kang kagungan narapati
patitis teteping kawruh
meruhi marang kang momong

12. sucine tanpa banju
amung nyunyuda ardaning kalbu
pambukane tata titi ngati-ati
atetep talaten atul
tuladan marang waspaos

13. mring jatining pandulu
panduking don dedalan satuhu
lamun lugu legutaning reh maligi
lagehane tumalawung
wenganing alam kinaot
----------

4. rather like the hypocritical santri,12
like the vain santri of the southern region
who live throughout Patjitan, on the coast.
Thousands of people believe them
when they are chattering.

5. They hurriedly wish to know
the light of God they think is clear.
They long to embrace the flame,
but they don't know if it is burning.
Their intellect is misused.

6. When, in early times,
accuracy and order were kept from generation to generation,
matters of ritual were not mixed with spiritual practice.
So, there was no confusion
for those who worshipped the All-Wise.

7. The meaning of ritual is such
that it can also be called a kind of practice.
It is done regularly and diligently.
The benefit, my son,
is a refreshed and perfect body.

8. In a man whose body is fresh--
the muscle, the flesh, the skin, the bones, the marrow--
the circulation of the blood causes calmness of the heart;
this calmness of heart tends
to banish confusion of spirit.

9. This is the way it is for me.
But, because of individual differences in men,
the shares of creatures on earth are different,
and so the convictions they practice
truly do not always agree with mine.

10. But, I am compelled to have my say,
because the compensation of old age is only the right to give
advice.
May it be effective as a way to virtuousness.
Whoever is serious will find
the mercy that belongs to king-ship.

11. Now, the worship with the mind,
which, if done regularly also becomes a practice--
the great practice which is the possession of the king.
Exact and accurate knowledge
enables one to know the Guardian.

12. The ritual cleansing is not with water,
but with lessening of the mind's desires.
The beginning of this worship is ordered, accurate, and careful,
perserveringly following
the example of clear insight.

13. Concentration on oneτs aim is the true way
to the true vision.
When the basic use of these matters is pure,
the experience is, resounding from afar,
the opening of the greater world.
-------------

14. jen wus kambah kadyeku
sarat sareh saniskareng laku
kalakone saka eneng-ening eling
ilanging rasa tumlawung
kono adiling hyang Manon

15. gagare ngunggar kajun
ngayun-ayun mring ayuning kayun
bangsa anggit jen ginigit nora dadi
marma den awas den emut
mring pamurunging lalakon

16. samengko kang tinutur
sembah katri kang sayekti katur
mring hyang Suksma suksmanen saari-ari
arahen dipun kacakup
sembahing jiwa sutengong

17. sayekti luwih prelu
ingaranan pupuntoning laku
kalakuwan kang tumrap bangsaning batin
sucine lan awas emut
mring alaming lama maot

18. ruktine ngangkah ngukud
ngiket ngruket tri loka kakukud
jagad agung ginulung lan jagad alit
den kandel kumandel kulup
mring kalaping alam kono

19. keleme mawi limut
kalamatan jroning alam kanyut
sanyatane iku kanyatahan kaki,
sajatine jen tan emut
sayekti tan bisa amor

20. pamete saka luyut
sarwa sareh saliring panganyut
lamun yitna kayitnan kang miyatani
tarlen mung pribadinipun
kang katon tinonton kono

21. nging ajwa salah surup
kono ana sajatining urub
yeku urub pangareb uriping budi
sumirat-sirat narawung
kadya kartika katonton

22. jeku wenganing kalbu
kabuka ta kang wengku-winengku
wewengkone wus kawengku ing sireki
nging sira uga winengku
mring kang pinda kartika bjor
-------------------

14. If this has already been experienced,
all acts are full of calmness.
The accomplishment is because of stillness, clarity, watchfulness.
After the resounding feeling is lost,
the justice of the All-Wise is found.

15. The failure is in letting loose the will--
wishing for the benefits of your will--
a kind of activity which, if tested, fails.
Therefore be watchful and attentive
to matters that may cause the practice to fail.

16. Now is discussed
the third worship, truly presented
to the Great Invisible. Practice it every day,
trying to worship perfectly
in your spirit, my son.

17. Truly it is most necessary;
called the essence of practice;
behavior in the area of spiritual matters.
The ritual cleansing is with watchfulness and attentiveness
to eternity.

18. This way of aiming for dissolution
binds and entwines. The three spheres are dissolved--
the macrocosmos is rolled up with the microcosmos.
Believe, son,
in the flash of that world.

19. The immersion is in unconsciousness--
lost to the world, swept away.
Truly, that is reality, son.
Truly, if you are not aware of it,
certainly you cannot be united.

20. The way of searching is through entrancement
in every respect calm in the experiences of letting everything go.
When you are watchful, with a watchfulness that is trustworthy;
nothing other than the self
is visible there.

21. But, don't misunderstand,
what is there is the true flame.
That flame signals the life of the mind--
dazzlingly bright,
like a star it is seen.

22. This is the opening of the mind;
the opening of the controlled controller--
this control is now controlled by you.
But you are still controlled
by that which is like a bright star.
-----------

23. samengko ingsυn tutur
gantya sembah ingkang kaping catur
sembah rasa karasa wosing dumadi
dadine wus tanpa tuduh
mung kalawan kasing batos

24. kalamun durung lugu
aja pisan wani ngaku-aku,
antuk siku kang mangkono iku kaki
kena uga wenang muluk
kalamun wus pada melok

25. meloke ujar iku
yen wus ilang sumelanging kalbu
amung kandel-kumandel marang ing takdir
iku den awas den emut
memet yen arsa momot
---------------

23. Now I speak,
changing to the fourth worship.
In the worship with feeling, the core of being is felt.
Its coming is without advice;
but with the strength of the spirit.

24. If that is not yet effective,
don't in any way dare to claim it.
That will get you only wrath, son.
You may achieve that higher power
only if you are "melok."

25. The meaning of "melok" is
all vacillation in your mind is vanished--
Only trusting in fate.
These matters you must watch for. These matters you must understand.
These matters you must strive for, if you are to contain much.
---------------

Notes to the Translation
1. Argument based on the Koran.
2. Consensus of opinion of Islamic scholars.
3. The teachings of the Koran analogized with present times.
4. A member of the aristocracy; a member of the court.
5. Muezzin.
6. Preacher,
7. Mosque official.
8. The mind, the body, and the spirit.

9. A title given to a man considered to be a descendant of the
Prophet.
10. Java.
11. Mecca,
12. A student or devotee of Islam.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

artends wrote:nice thread bro!!
sayangnya cerita darmo gandhul ini ga masuk pelajaran sejarah ya ?

sejarah yang dipelajari di sekolah2 paling juga penjajahan belanda 3,5 abad, dikaitkan dengan misi orang eropa 3G (gold gospel glory) nyebarin agama sambil ngeruk kekayaan untuk kemashuran orang perorang.

padahal ajaran cinta kasih Yesus itu tidak mencakup gold dan gloryapalagi dengan politik devide et impera.

pada semangat 3G sangat disayangkan Gospel hanya menduduki peringkat kedua setelah Gold, maka dari itu penjajah belanda mencari kekayaan alam berupa rempah2 dan imbalannya adalah Gospel sebagai devisa. maka dari itu menurut statistik negara2 eks jajahan belanda relatif lebih miskin daripada eks koloni inggris.

God Bless VOC!!
Jangan lupa juga bahwa Penjajah Kolonial Barat tdk pernah memaksakan agama Kristen mereka kpd rakyat jajahannya.
User avatar
artends
Posts: 101
Joined: Sat Apr 07, 2007 8:35 am

Post by artends »

Laurent wrote: Jangan lupa juga bahwa Penjajah Kolonial Barat tdk pernah memaksakan agama Kristen mereka kpd rakyat jajahannya.
oh ngono toh?

jadi mereka menyebarkan kristen melalui suri tauladan yang baik sebagai penganut ajaran cinta kasih Yesus? tanpa perang tapa pertumpahan darah?

tapi kok negara2 ex jajahan belanda pada umumnya relatif lebih miskin dan terbelakang daripada jajahan inggris ?

apa bangsa kita sudah lebih dulu menganut ajaran cinta kasih shg merelakan kekayaan alam kita dijarah oleh orang belanda.
no wonder setelah tahun 45 orang belanda pada pengin balik lagi menjajah
User avatar
santri gagal
Posts: 818
Joined: Sat Apr 21, 2007 2:36 am
Location: somewhere in time

Post by santri gagal »

masing2 penjajah beda strategi, yg memang menjalankan gospel secara sungguh2 bisa di bilang cuman portugis, yg laen cuman sebagai dampak interaksi antara penjajah dg yg dijajah.

inggris setelah nda menjajah masih sempat menjalankan common wealth/ persemakmuran, wajar aja mereka lebih makmur kan.

ndada satupun bangsa yg rela dijajah (kecuali "bangsa" muslim malah demen dijajah ideologi arab), semua para penjajah masa lampau masuk dg mulut madu.
setelah tahun 45 belanda pernah mau masuk lg tapi di wanti2 CIA, "lo skrg bakal rontok kalo coba2 serbu indo".
persenjataan AU indo waktu cs ama soviet & china masuk jajaran terkuat didunia!!!
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

nggak semuanya jajahan inggris makmur lho , ada yg miskin bahkan sebagian bsr mrpkn negara miskin . Liat aja negara2 jajahan Inggris spt Pakistan, Srilangka, Burma, Papua New Guinea, Guyana, Nigeria, Solomon, Tonga, dll. negara2 itu sebagian bsr mrpkn negara miskin. Tak cuma inggris yg aja yg bikin organisasi bekas jajahan macam Persemakmuran, negara kolonial lainnya spt perancis, Spanyol, bahkan Portugis juga Russia punya organisasi spt itu. Jangan lupa Jajahan Belanda tak semua makmur lho . Papua & maluku justru lebih suka di bawah Belanda bahkan Sebelum Operasi Trikora aja, Papua sdh disiapkan kemerdekaannya oleH Belanda . Jangan lupa juga tim sepak bola kita pernah main di piala Dunia 1938 justru ps saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda bandingkan dgn Inggris yg masternya Sepak bola justru jajahannya tdk ada yg main di Piala DUnia sebelum PD II. India maju bukan krn dijajah Inggris melainkan justru bebas dr imperialisme Islam sejak thn 1947. India khan juga pernah dijajah Islam selama 1000 tahun sebelum Inggris. Bandingkan aja dgn pakistan yg juga dijajah Inggris malah pernah disatukan dgn India & Sejak thn 1947 berpisah dgn India ketika Merdeka . Pakistan kini malah mundur & jadi negara Miskin. Ada yg tahu nggak, Mengapa India jadi Negara Maju & Pakistan jadi negara miskin. padahal sama2 dijajah Inggris bahkan waktu dijajah , wilayahnya jadi satu ?
User avatar
artends
Posts: 101
Joined: Sat Apr 07, 2007 8:35 am

Post by artends »

Laurent wrote: nggak semuanya jajahan inggris makmur lho , ada yg miskin
i know i know............. , that's why gw pake kata "relatif" untuk menunjukkan "ketidak-mutlakan"


kita kan lagi bahas ex-penjajah kita: belanda!!
nah hampir semua jajahan belanda miskin (perhatikan kata "hampir") dan fakta ini juga diakui oleh sebagian bangsa belanda juga pemerintahnya (makanya mereka bikin IGGI, maksudnya menebus kesalahan moyang mereka jaman dulu).

yang lebih menyakitkan lagi, sampai sekarang label "ex jajahan belanda" masih nempel dijidat kita (coba kalo ntar liat pesawat lokal, liat no registrasinya, pasti dimulai dengan PK :pay kolonie/eks jajahan)
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

Malah Belanda justru yg membuat Mayoritas Rakyat indo jadi beragama Islam, buktinya ada di bwh ini :


Pergumulan terberat untuk para penganut agama asli ini terjadi pada masa kolonial, Belanda. Pada masa itu para penganut agama asli sama sekali tidak dihargai (“a residual factor”) dan dianggap sebagai orang-orang kafir. Para penguasa kolonial itu hanya berhubungan dengan para pemimpin di Nusantara ini. Padahal seperti yang kita sudah lihat di atas mereka adalah para penganut agama dunia. Sedangkan mayoritas rakyat yang menganut agama asli diabaikan.

Pemerintah kolonial pun melakukan penyederhanaan administrasi dengan hanya mengakui agama dunia. Hasil dari kebijakan ini Islam diuntungkan sebab semua pernikahan orang-orang yang bukan Hindu, atau bukan Kristen dilakukan menurut hukum Islam. Demikianlah ketentuan dalam peraturan no 198 tahun 1895. Akibatnya mayoritas rakyat penganut agama asli secara administrasi berada di bawah Islam dan menyebut diri “selam” atau “seselaman”; demikian tulisan P. Zoetmulder pada tahun 1935 sebagaimana dikutip oleh Subagya (1981:241).
Peraturan-peraturan lain yang mendesak keberadaan agama asli ini pun dikeluarkan yang dibarengi dengan pemberian subsidi oleh pemerintah kolonial kepada lembaga-lembaga Islam. Maka berjuta-juta penganut agama asli yang menurut istilah Subagya : “Orang Islam surat kimpoi” digabungkan ke dalam Islam. Sekalipun demikian menurut hasil sensus tahun 1930 sebagaimana dikutip Subagya (1981:240), dari penduduk Indonesia yang berjumlah 60,7 juta, kaum Musliminnya “hanya” 29,5 juta (48,7%) sedangkan penganut agama asli masih berjumlah 28,6 juta (47,2%).

Memasuki masa kemerdekaan dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah NKRI meneruskan kebijakan pemerintah kolonial yaitu secara formal hanya mengakui keberadaan agama dunia. Hal itu ternyata dalam kebijakan politik pemerintah sepanjang sejarah NKRI. Para penganut agama asli dinilai sebagai orang-orang yang belum beragama dan perlu diberagamakan. Kebanyakan dari agama asli pun mengubah wujud menjadi berbagai aliran kebatinan. Inilah tahap regenerasi agama asli.


& Akibatnya spt ini :


http://tiranus.net/archives/2005/07/...na-agama-asli/

Agama Asli Dibalik Jubah Islam
Tidak pelak lagi aturan hukum yang ditetapkan sejak pemerintahan kolonial telah membuat Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk NKRI. Kini banyak kalangan mengklaim bahwa Islam dianut oleh tidak kurang dari 90% dari total penduduk NKRI. Suatu jumlah yang fantastik, jumlah ini menciptakan Indonesia menjadi Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.


Jadi kesimupulannya Rakyat indo jadi bermayoritas beragama Islam justru krn dijajah Belanda. Seandainya saja kita dijajah Inggris ato Portugis , mungkin mayoritas rakyat Indonesia tdk beragama ISlam ttp Hindu & budha serta Sedikit Kristen
alifmastur
Posts: 3
Joined: Thu Jun 21, 2007 11:28 am

Post by alifmastur »

Menarik untuk dibaca.. Bedah telisik spiritual wasiat leluhur nusantara : MENYIBAK TABIR MISTERI NUSANTARA di http:\\nurahmad.wordpress.com
User avatar
artends
Posts: 101
Joined: Sat Apr 07, 2007 8:35 am

Post by artends »

swatantre wrote: Note:
1. Sesungguhnya saya bersaksi, bentuk kalimasada sesungguhnya adalah senjata tajam (saya lupa kalo ndak cakra/pedang) - coba search aja. Memang kata ini mirip sekali dg kalimat sahada. Inilah kepandaian mereka dalam membelokkan sesuatu.
ga usah alergi dengan kalimah sahadah, sahadah artinya kesaksian
apa yang dipersaksikan? yaitu tuhan itu satu-satunya ialah Allah, yang lain itu adalah utusan Nya sebagai mana dilansir dalam Yohanes 17:3

"Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus"

duta besar adalah utusan presiden/kepala negara, artinya mereka bukan presiden/kepala negara
Post Reply