KOMITMEN SEORANG MUSLIM TERHADAP ISLAM
REP | 28 December 2010 | 04:05 Dibaca: 561 Komentar: 1 Nihil
KOMITMEN SEORANG MUSLIM TERHADAP ISLAM
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan nikmat yang banyak kepada kita sekalian. Saran dan shalawat ditujukan pula kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Tidak lupa pula memohon kepada Allah agar para pembaca yang budiman mendapat limpahan rahmat, hidayah, keberkahan, rizki dan nikmat sehat wal afiat.
Dengan dilandasi oleh firman Allah dalam Surat Al Ashr ayat 1-3 :
Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran. ( 103/1-3 )
Didasari pula oleh niat hati yang tulus suci,maka perkenankanlah penulis menyampaikan sesuatu yang sangat penting untuk diketahui oleh para pembaca yang budiman. Hal mana tulisan ini kiranya dapat dijadikan sebagai bahan renungan.:
Artinya : Hisablah dirimu sebelum dihisab oleh Yang Maha Kuasa.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis,ternyata ada perbedaan antara warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing didalam hal memeluk Dien Islam,yang kebanyakan menyebutnya “AGAMA”. Dimana jika warga Negara asing sebelum memeluk Dien Islam,pasti terlebih dulu mempelajarinya dengan membutuhkan waktu cukup lama. Setelah cukup lama dipelajarinya,barulah Dien Islam dipeluknya dengan diikuti timbulnya rasa keyakinannya. Lain halnya dengan warga Negara Indonesia,kebanyakan/pada umumnya tidak mempelajarinya gengan seksama terlebih dulu,tapi cukup dia tahu,bahwa orang tuanya telah memeluk Dien Islam,maka iapun merasa otomatis telah memeluk Dien Islam
Berkaitan dengan hal tersebut di atas,maka perlulah disampaikan kepada para pembaca yang budiman tentang : “Komitmen seorang muslim terhadap Islam”.
Adapun komitmen yang harus ada dan tertanam di dalam diri setiap individu,jika menginginkan kwalitas ke-Islamannya baik,diantaranya :
1. Mengimani/Meyakini Dien Islam
Setiap individu harus mengimani/meyakini,bahwa hanya Dien Islamlah satu-satunya Dien yang benar dan diridoi Allah SWT. Hal ini sesuai firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 19 sebagai berikut :
Artinya : Sesungguhnya Dien yang diridoi Allah hanyalah Dien Islam. (3/19).
Begitu pula pada Surat Ali Imran ayat 85-nya :
Artinya : Barangsiapa yang mencari Dien selain Dien Islam,maka sekali-kali tidaklah akan diterima Dien itu oleh Allah dan dia di ahiratpun termasuk orang-orang yang merugi.
(3/85).
2. Mempelajari Dien Islam.
Seseorang yang mnginginkan kwalitas ke-Islamannya baik,idealnya memang tidak ada kata lain,yaitu mempelajari Dien Islam dengan sungguh-sungguh dan sedalam-dalamnya. Bahkan bila bicara soal belajar,ada nasihat dari Allah SWT. Bagi setiap orang di dalam ber-Dien Islam,yaitu : “Jangan ikut-ikutan” alias “taqlid buta”,tapi “harus berdasarkan ilmu Allah”. Hal ini sesuai firmanNya Surat Al Isra ayat 36 sebagai berikut :
Artinya : Dan “janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.
Sementara itu, Rasulullah saw juga berpesan kepada seluruh umat Islam agar mempelajari Din Islam dengan tidak melihat batasan usia. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi :
Artinya : Tuntutlah ilmu dari sejak buaian hingga ke liang lahat.
Saking wajibnya mempelajari Din Islam, Allah swt memerintahkan kepada setiap individu untuk mencari tahu ( menanyakan ) kepada orang-orang yang berilmu. Hal ini sebagaimana firmanNya dalam Surat Al Anbiya ayat 7 yang berbunyi sbb :
Artinya : Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu ( Muhammad ), melainkan beberapa orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.
Para pembaca yang saya hormati, ada 2 faktor yang saling berperan berkenaan dengan hal seseorang mempelajari Dien Islam ini, dimana akan mempengaruhi hasil yang ingin dicapai. Kedua factor tersebut adalah pihak yang mempelajari Dien Islam dan pihak sebagai narasumber ( orang yang berilmu ). Ada nasihat dari Rasulullah saw yaitu : Siapapun akan memperoleh hidayah ( petunjuk ), ilmu dan kebenaran dari Allah, jika ia memiliki hati yang suci, lapang dada dan berjiwa besar. Adapun nasihat Rasulullah tersebut adalah :
Artinya : Lihatlah/perhatikanlah apa yang dikatakan dan janganlah melihat siapa yang mengatakan/menyampaikan.
Dan yang berikut lagi ;
Artinya : Katakanlah/sampaikanlah kebenaran itu walaupun akan menjadikan hati seseorang yang mendengarnya kaget/tercengang, bahkan sakit.
Kebanyakan orang Indonesia yang memeluk ajaran Islam, mengartikan Dien itu sebagai “agama”. Padahal istilah “agama” itu bukanlah berasal dari perbendaharaan kata Islam. Agama itu berasal dari bahasa Sansekerta, dari pemilik pemeluk ajaran Hindu/ Budha, dimana kata “a” berarti “tidak”, sedangkan “gama” berarti “kacau”. Jadi “agama” berarti “tidak kacau”. Jika Dien diartikan sebatas keinginan agar tidak kacau, maka sangatlah dangkal/sempitnya wawasan/pemahaman terhadap ruang lingkup ajaran Islam, dan kalau kata “tidak kacau” ini dijadikan kata pengganti dari terjemahan Surat Ali Imran ayat 19, yang bahasa Arabnya Inna dinna indallahil Islam, maka akan berarti : Sesungguhnya “tidak kacau” yang diridhoi oleh Allah adalah “tidak kacau” Islam.
Dari terjemahan diatas, tampaklah hal yang menggambarkan sesuatu yang tidak jelas, dangkal dan sempit. Dimana letak tidak jelasnya ? Ialah bahwa kita tidak dapat mengetahui, mengerti dan memahami batasan, apa dan bagaimana serta sejauh mana bentuk yang dimaksud dengan “tidak kacau” Islam tersebut.
Lagi pula lebih dari itu, sangatlah disayangkan, jika para pembaca sebagai pemeluk ajaran Islam, telah setuju/sepakat dan menerima arti Dien itu ialah “tidak kacau”. Menurut hemat penulis, ini merupakan sesuatu yang sungguh ironis dan menyedihkan, kok kita dibawa sepicik itu. Apa sebabnya ? Sebab para pembaca berarti sudah terjebak/terperangkap dan terpengaruh oleh pemikiran mereka ( orang Hindu/Budha ), yang notabene mereka itu tidak berpedoman kepada kitab suci Al Quran. Lagi pula sangat tidak relevan jika kata Dien yang berupa bahasa Al Quran diterjemahkan ke dalam bahasa Sansekerta milik orang Hindu/Budha yang tidak mengimani dan tidak meyakini ajaran Islam, tidak mengimani/meyakini Al Quran. Apa urusannya ?
Dari apa yang telah penulis uraikan diatas, mungkin para pembaca timbul pertanyaan : Kalau begitu, apa sebenarnya arti dari kata Dien itu ?.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh saudara Rahmat Taufik Hidayat, penerbit Mizan, yang berjudul “Khazanah Istilah Al Quran”, halaman 40, Dien berasal dari kata “Dana ya dinu”, dimana kata tersebut sudah dikenal oleh orang-orang Arab sebelum Islam yang dipopulerkan oleh Rasulullah Muhammad saw. Kenapa penulis katakan sebelum Islam yang dipopulerkan Rasulullah Muhammad saw, karena hakekatnya Dien Samawi dari Allah itu dari Rasul yang pertamapun hanyalah Islam. Untuk jelasnya bisa dilihat dalam Surat Al Haji ayat 78 yang berbunyi : Huwa samakumul muslimina min qoblu wa fii hada = Allah menamakan kamu orang Islam dari dulu dan juga didalam Quran ini ( 22/78 ).
Selanjutnya mengenai arti Dien dalam buku diatas, disebutkan mempunyai 4 pengertian dasar :
1.KEMAHARAJAAN/KEMAHANEGARAAN, kekuasaan tertinggi atau kehormatan pemerintahan
2.Hukum, undang-undang, peraturan-peraturan atau norma-norma yang wajib dilaksanakan.
3.Ketaatan, kepatuhan, dan penyerahan diri dari pihak yang lemah kepada pihak yang berkuasa dengan penuh kesetiaan
4.Ganjaran atau balasan,—katakanlah pahala—, yang diberikan oleh pihak yang memiliki kekuasaan tertinggi atas ketaatan dan ketulusan menjalankan hukum, undang-undang atau peraturan-peraturan itu tadi, begitupun ganjaran yang bersifat negative atau hukuman, atas penolakan dan pendurhakaan terhadapnya.
Dari 4 pengertian dasar Dien diatas, maka akan penulis ringkaskan dan sederhanakan menjadi 3 unsur, yaitu :
1.Dien mengandung unsure PEMERINTAHAN
2.Dien mengandung unsure HUKUM
3.Dien mengandung unsure MANUSIA/UMAT
Jika kata Dien dicermati, maka akan tergambar dan terungkap bahwa antara Pemerintahan, Hukum dan Manusia merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan satu sama lain dan tidak bisa atau tidak boleh dipisahkan. Manusia secara individu atau kelompok pasti berada dan terikat oleh suatu pemerintahan apapun dan bagaimanapun bentuk pemerintahan itu. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi adanya pemerintahan kalau tidak ada manusianya/umatnya. Dan manusia yang berada dalam satu pemerintahan pasti harus terikat oleh hokum. Selanjutnya, jika pemerintahannya ada dan manusianyapun ada, jika tidak ada hokum, maka akan lumpuh/runtuhlah pemerintahan itu. Begitu pula tidak ada artinya jika ada hokum, ada manusianya tapi tidak ada pemerintahannya. Dengan kata lain, maka “DIEN” itu berarti “SISTEM”.
Sekarang bagaimana jika makna/arti kata Dien adalah “SISTEM” diterapkan ke dalam terjemahan Surat Ali Imran ayat 19 yang berbunyi : Inna dina indallahil Islam, maka akan berpengertian sbb :
Sesungguhnya “SISTEM” yang diridhoi disisi Allah hanyalah system Islam
Sesungguhnya “PEMERINTAHAN” yang diridhoi disisi Allah hanyalah pemerintahan Islam.
Sesungguhnya “HUKUM” yang diridhoi disisi Allah hanyalah hokum Islam
Sesungguhnya “UMAT” yang diridhoi disisi Allah hanyalah umat Islam
Para pembaca yang budiman, istilah “Dien” kita temukan juga dalam Surat Ali Imran ayat 85 yang berbunyi : Wamay yabtaghi ghoerol Islami dinan, falay yukbala minhu wa huwa fil akhiroti minal khosirin, artinya :
Barangsiapa mencari “SISTEM” selain system Islam, maka sekali-kali idaklah akan diterima oleh Allah, dan diakhiratpun dia termasuk orang-orang yang merugi
Barangsiapa mencari “PEMERINTAHAN” selain pemerintahan Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima oleh Allah, dan di akhiratpun dia termasuk orang-orang yang merugi
Barangsiapa mencari “HUKUM” selain hokum Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima oleh Allah, dan di akhiratpun dia termasuk orang-orang yang merugi.
Barangsiapa mencari “UMAT” selain umat Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima oleh Allah, dan di akhiratpun dia termasuk orang-orang yang merugi.
Selanjutnya mengungkapkan makna/arti kata Dien, dapat pula dilakukan melalui penelaahan atau analisa dari Surat Al Fatihah dan An Nas, dimana antara Surat Al Fatihah ( yang berupa surat PEMBUKAAN ) dengan Surat An Nas ( yang merupakan surat PENUTUP Al Quran ), ternyata terdapat satu kesamaan yang sama-sama memiliki 3 unsur. Begitupun kedua surat ini ada kaitannya dengan Surat IBRAHIM ayat 24-25 yang juga memiliki 3 unsur.
Untuk lebih jelasnya, marilah akan penulis uraikan kajian diatas sebagai berikut di bawah ini :
Dari Surat Al Fatihah di atas,tampaklah 3 unsurnya,yaitu kata-kata : ROB – MALIK dan NA’BUDU,sedangkan pada Surat An Nas tampak pula ke-3 unsurnya yaitu : ROB – MALIK dan ILAH. Walaupun ada perbedaan ucapan antara NA’BUDU di Surat Al Fatihah dan ILAH di Surat An Nas,namun yang menjadi subjeknya adalah sama yaitu Manusia dan yang dituju (objeknya) yaitu Allah SWT.
Kenapa “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” diartikan manusia ? Sebab yang mengatakan : “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon”,itulah “Manusia”.
Selanjutnya,karena pada intinya antara NA’BUDU dengan ILAH tidak ada perbedaan essensinya,tapi hanya beda ucapan,maka kata NA’BUDU diganti dengan kata ILAH dan dari masing-masing kata dasar ROB – MALIK dan ILAH akan membentuk satu kata yang lebih luas sebagai berikut : Dari kata ROB menjadi RUBUBIYAH,dari MALIK menjadi MULKIYAH dan dari ILAH menjadi ULUHIYAH.
Menjadi
Menjadi
Menjadi
Dan selanjutnya :
Bunyinya : Rububiyah hiya madatun hukmiyah
Artinya : Rububiyah adalah wujudnya “HUKUM”
Bunyinya : Mulkiyah hiya madatun dhorfiyah
Artinya : Mulkiyah adalah wujudnya “TERITORIAL/WILAYAH KEKUASAAN”
Bunyinya : Uluhiyah hiya madatun syahshiyah
Artinya : Uluhiyah adalah wujudnya “MANUSIA/UMAT”
Kesimpulan : Surat Al Fatihah dan Surat An Nas sama-sama memiliki 3 unsur (Rububiyah = Hukum,Mulkiyah = Pemerintahan dan Uluhiyah = Umat) yang ketiuga-tiganya disebut “DIEN” atau “SISTEM”.
Para pembaca yang budiman,akhirnya anda telah mengetahui,bahwa “DIEN” itu ternyata adalah “SISTEM”,dan yang dinamakan System itu tidak boleh tidak harus memiliki 3 faktor utama,yaitu : “HUKUM” – “WILAYAH/TERITORIAL” – dan “MANUSIA” yang akan menjadi Subjeknya. Dengan demikian kini kita tahu,bahwa apa yang dibicarakan di seluruh Al Qur’an itu ialah tentang 3 hal tersebut,yaitu : “HUKUM”,”TEMPAT” dan “MANUSIA”. Ketiga factor ini harus diyakini “MUTLAQ” adanya oleh semua muslim,karena justru begitulah yang dimaksudkan oleh Allah “Muslim yang kaffah”.
Penulis berikan sebagai contoh ringan : Misal sebuah sekolah,tentu harus punya : Peraturan,punya tempatnya (gedung sekolah) dan punya manusianya (muridnya). Kalau punya peraturan,punya gedungnya tapi tidak punya muridnya (manusianya),siapa yang akan belajar ? Punya peraturan,punya muridnya (manusianya) tapi tidak punya gedung sekolahnya (tempatnya),apakah mau belajar di tengah jalan ? Punya gedung sekolahnya (tempatnya),punya muridnya (manusianya) tapi tidak punya peraturan,tentu murid yang belajar dan guru yang mengajar akan sekehendak hatinya saja. Muridnya ada yang datang jam 7,jam 12 dan ada yang seminggu Cuma datang 2 hari. Gurunya,bahjkan Kepala Sekolahnya jarang datang. Bagaimana itu ? Jadi jelas,ketiga factor tadi tidak boleh ada yang hilang. Itu artinya “Kaffah”,masuk seluruhnya.
Dan ternyata,kalau kita terus telusuri,maka sarana atau media untuk mencapaio Rububiyah = Hukum,Mulkiyah = Pemerintahan dan Uluhiyah = Manusia/Umat itupun harus melalui 3 jalan,yaitu : SHIROT,SABIL dan THORIQ. Secara jelasnya adalah sebagai berikut :
SHIROTH sebagai media untuk terwujudnya RUBUBIYAH/HUKLUM
SABIL sebagai media untuk terwujudnya MULKIYAH/PEMERINTAHAN
THORIQ sebagai media untuk terwujudnya ULUHIYAH/UMAT/MANUSIA
Kata Shiroth selalu berkaitan dengan Hukum (Pedoman Hidup) yaitu Al Qur’an yang membawa manusia ke jalan yang benar (lurus). Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Isra ayat 9 yang berbunyi :
Artinya : Sesungguhnya Al Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada mukmin (orang yang beriman) yang mengerjakan amal sholeh bahwa bagi mereka ada pahjala yang besar.(17/9).
Dan juga dalam Surat Al Fatihah ayat 6 yang berbunyi :
Artinya : Tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (1/6).
Sedangkan kata Sabil berkaitan dengan Pemerintahan sebagai tempat tinggal manusia untuk bisa beribadah (melaksanakan Hukum Allah) tersebut. Hal ini sebagaimana firmanNya dalam Surat An Nisa ayat 76 yang berbunyi :
Artinya : Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah,dan oranmg yang kafir berperang di jalan Thogut (berhala)…………dst.
Para pembaca yang budiman,uraian di atas dapat penulis ilustrasikan ke dalam bagan sebagai berikut :
Komitmen yang paling utama dan menentukan,yaitu,bahwa setiap individu harus mengamalkan DIEN ISLAM secara Keseluruhannya (Kaffah). Hal ini sebagaimana diperintahkan oleh Allah dalam Al Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 208 sebagai berikut :
Artinya : Hai orang-orang yang telah beriman,masuklah ke dalam Islam secara “Kaffah” (keseluruhan),dan jangan mengikuti langkah-langkah syaitan,sesungguhnya syaitan itu adalah mnusuhmu yang nyata. (2/208).
Menyimak ayat 208 Surat Al Baqoroh di atas,kita bisa mencermati,bajhwa Allah telah memberikan perintah kepada setiap individu pemeluk Dien Islam untuk melaksanakan segala aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek-aspek IPOLEKSOSBUDHANKAM (Ideologi,Politik.Ekonomi,Sosial,Budaya,Pertahanan dan Keamanan),haruslah berdasarkan tuntunan Islam yang bersumberkan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasul.
Perintah dari Allah harus masuk ke dalam Islam secara Kaffah ini,hukumnya “WAJIB”, Hal ini perlu kiranya penulis ingatkan,karena sebagian besar masyarakat Indonesia telah terpengaruh faham “sekulerisme”,yaitu sbuah pemikiran yang dibawa oleh kaum Yahudi dan Nasrani,dimana dalam faham sekuler tadi adanya “PEMISAHAN” antara aspek ideologis (seperti aspek religius,pandangan hidup, tentang ke-Tuhanan,keimanan)dengan asp Politik,Ekonomi,Sosial,Budaya,Pertahanan,Keamanan,
sehingga ahirnya telah terbentuk opini di masyarakat,bahwa kalau menyangkut masalah kenakalan remaja,kerusakan moral/ahlaq anak remaja dan pemuda,lalu disepakati bahwa ini adalah tugas dan tanggung jawab para ulama,para kyai,para ustadz,para da’i atau mubaligh dan bukan tanggung jawab pemerintah. Sementara,kalau menyangkut masalah politik,ekonomi,sosial,budaya,pertahanan dan keamanan,itu barulah urusan/tugas serta tanggungjawab Pemerintah dan sekali-kali bukan tanggungjawab pihak yang di atas itu tadi. Padahal di dalam Islam,tidak mengenal adanya pemisahan aspek-aspek tersebut. Apa sebabnya ? Kartena di dalam diri seorang muslim yang “Kaffah”,ia berjiwa militer dan juga sebagai sipil.
Lihatlah saja contoh pada diri Nabi Muhammad/Rasulullah saw.yang menjadi uswah/suri tauladan yang baik dalam kehidupannya. Beliau bukan hanya tukang mengajarkan membaca ayat-ayat Al Qur’an,tapi beliau melaksanakan segala aspek kehidupan,baik ideologi,politik,ekonomi,sosial,budaya,pertahanan dan keamanan dengan berdasarkan tuntunan Islam,yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Jadi tidaklah mengherankan,jika Nabi Muhammad/Rasulullah saw.,kata Siti Aisyah,ahlaq beliau itu ialah Qur’an yang berjalan. Inipun sekaligus memberi bukti,bahwa figure Nabi Muhammad/Rasulullah saw. adalah sebagai Negarawan (Kepala Negara/Presiden Negara Islam Madinah),artinya beliau itu sebagai Politikus,Ekonom (Pengusaha),Pimpinan Umat,Panglima Perang dan sekali-kali bukan hanya sebagai Imam pemimpin sholat ritual di dalam masjid.
Maka,dengan mengambil contoh pada diri Nabi Muhammad saw.jelaslah,bahwa beliau telah menjadi muslim yang “Kaffah” ssuai apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.dalam Surat Al Bqoroh ayat 208 di atas.
Tadi di atas telah dibahas,bahwa makna DIEN dalam Surat Ali Imran ayat 19 itu adalah SISTEM yang terdiri dari unsur HUKUM,PEMERINTAHAN,MANUSIA/UMAT. Kemudian diketahui pula,bahwa setiap individu itu tidak mungkin bisa melepaskan diri
dari unsur Hukum dan Pemerintahan. Jadi jelas sangat tepat jika Allah SWT.memerintahkan kepada manusia untuk masuk ke dalam Islam itu secara keseluruhan (Kaffah),maksudnya seluruh aspek kehidupan itu “mutlaq” harus dimasuki/dikuasai/difahami. Karena itu,salah sangat besar,kalau ada sementara ulama yang mengatakan : Kalau mengaku sebagai umat Nabi Muhammad/Rasulullah saw. sih jangan coba-coba terjun ikut-ikutan ke masalah politik ! Kalau begitu,dia itu ulama tapi tidak faham/mengerti apa yanmg dimaksud “Kaffah” olen Allah.
Lebih jauh untuk memberi tahukan kepada manusia,bahwa ada relevansi ke-3 unsur Dien dengan makna Kaffah itu,maka Allah SWT.memberi perumpamaan sebagai “POHON” dalam Surat Ibrahim ayat 24-25 yang berbunyi sbagai berikut :
Artinya : Tidakkah kamu perhatikan,bagaimana Allah telah memberi perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik. Akarnya teguh menghunjam ke bumi dan batangnya/cabangnya menjulang ke langit. Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap musim dengan seijin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan itu buat manusia supaya mereka selalu ingat (Ibrahim, 14/24-25).
Allah SWT.memberikan perumpamaan sebuah pohon untuk makna “Kaffah” dan makna “Dien”,sangatlah tepat. Kenapa ? Sebab pada garis besarnya pohon itu terdiri dari “AKAR”,”BATANG” dan “BUAH”. Katakanlah,jika pohon tersebut adalah “POHON ISLAM”,maka akarnya adalah “AKAR ISLAM”,batangnya adalah “BATANG ISLAM” dan buahnyapun tentu “BUAH ISLAM”. Mana ada pohon yang akarnya Nangka,batangnya Rambutan dan buahnya Duren ? Kalau begini,pohon tersebut bukan pohon yang Kaffah. Jika digambarkan,maka perumpamaan Surat Ibrahim ayat 24-25 itu dapatlah diilustrasdikan sebagai berikut :
Buah Islam
Batang Islam
Akar Islam
Pada Surat Ibrahim ayat 24 dan 25 tersebut,selain menyinggung pohon,Allahpun menyinggung “Kalimat yang baik”,yaitu kalimat “LA ILAHA ILLALLAH”. Dan ternyata kalimat La Ilaha illallah inipun terdiri dari 3 unsur,yaitu :
Artinya : Tak ada HUKUM kecuali HUKUM ALLAH
Surat Al An Am ayat 57 (6/57).
Tak ada PEMERINTAHAN/KEKUASAAN
kecuali PEMERINTAHAN/KEKUASAAN Allah.
Surat Al Mulk ayat 1,Ali Imran ayat 189. (67/1-3/189).
Tak ada PENYEMBAHAN/PERIBADAHAN
Kecuali PENYEMBAHAN/PERIBADAHAN
Kepada Allah. Surat An Nahl ayat 36 (16/36).
Sekarang,bila dicermati dan direnungkan,ternyata ada hubungan yang saling berkaitan erat antara Surat Ali Imran ayat 19,ayat 85 dengan Suat Al Baqoroh ayat 208 dan Surat Ibrahim ayat 24-25. Dari ke-3 surat di atas,dapatlah digambarkan sebagai berikut :
ISLAM KAFFAH POHON ISLAM
UMAT ISLAM Buah Islam
(Sebagai buah)
PEMERINTAHAN ISLAM Batang Islam
(Sebagai batang)
HUKUM ISLAM Akar Islam
(Sebagai akar)
Jadi kesimpulan dari Surat Al Baqoroh ayat 208,Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 serta Surat Ibrahim ayat 24-25,yaitu “UMAT ISLAM” harus melaksanakan “HUKUM ISLAM” di dalam wadah (territorial) “PEMERINTAHAN ISLAM”.
Yang begini inilah “BARU” yang disebut “MUSLIM KAFFAH” oleh Allah sebenarnya,yang diartikan seseorang itu “Dapat Hidayah” dari Allah,”Dapat Petunjuk” dari Allah ke Sirot al Mustaqiem (jalan yang lurus),sekarang terrealisasikan dengan Sirot TOL,jalan TOL = jalan bebas hambatan.
Para pembaca yang budiman,didalam mengamalkan DIEN ISLAM secara kaffah ini,ternyata “Adanya Peranan Pelaksanaan Syari’at Hukum Islam dalam kehidupan manusia di dunia ini” hukumnya “WAJIB”,karena ini sebagai Prinsip Syah atau Tidaknya ibadah manusia kepada Allah SWT.
Kenapa demikian ? Sebab hakikatnya di mata Allah,manusia “BARULAH” mendapat gelar/sebutan “Muslim yang haq/benar”,jika manusia itu menjadikan “Syari’at Hukum Islam” (Qur’an + Sunnah Rasul/Hadits soheh) sebagai “Pedoman Hidupnya” sebagaimana wasiat beliau sebelum wafat melalui hadits riwayat Al Hakim sebagai berikut : Taroktu fikumus nataeni lantadilu ma in tamasaktum bihima kitaballahi wa sunati,artinya : Aku tinggalkan 2 faktor.Tak akan sesat kamu selama berpegang teguh dengannya,yaitu Al Qur’an dan Sunnahku (Perkataan,perbuatan dan pengakuanku).
Sebaliknya,jika manusia selama hidup di dunia ini tidak mau berpedoman kepada “HUKUM ISLAM” yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Rasul/Hadits soheh tadi,alias berhukum kepada “Hukum Bikinan Manusia”,maka statusnya di mata Allah biar bagaimanapun kita menolak,masih tetap sebagai “ORANG KAFIR”,”ORANG DZALIM” dan “ORANG FASIK”,hal ini sebagaimana difirmankanNya dalam Surat Al Ma Idah ayat 44,45 dan 47 ahir yang berbunyi sebagai berikut :
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara kehidupannya menurut Hukum Allah (Syari’at Islam),maka mereka itu adalah orang-orang “KAFIR” .(ayat 44).
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara kehidupannya menurut Hukum Allah (Syari’at Islam),makla mereka itu adalah orang-orang “DZALIM”. (ayat 45).
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara kehidupannya menurut Hukum Allah (Syari’at Islam),maka mereka itu adalah orang-orang “FASIK”. (ayat 47).
Lebih seru lagi firman Allah dalam Surat Al Ma Idah ayat 68 ini :
Artinya : Katakanlah hai Muhammad : Hai Ahli Kitab ! “KAMU TIDAK DIPANDANG BERAGAMA SEDIKITPUN” selama kamu tidak mau menegakkan ajaran-ajaran Taurat,Injil dan Al Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Demi,kebanyakan mereka bertambah kedurhakaan dan kekafirannya karena Kitab yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Sebab itu janganlah engkau berduka cita terhadap kaum yang kafir. (Al Ma Idah,5/68).
Nah disini,Allah sampai mengatakan : Kita itu “tidak dipandang beragama sedikitpun,selama kita tidak mau menggunakan Syari’at Islam,tidak mau memakai Hukum Allah yang ada di dalam Al Qur’an”. Apa artinya ini ? Artinya kita sudah “DIMURTADKAN” oleh Allah,keluar dari Islam. Mari kita berpikir,apakah kita mau
dianggap keluar dari Islam oleh Allah ?
Makanya dalam hal ini,saya merasa heran kepada para Ulama kita lebih-lebih yang mengaku Ulama Langitan,para Pemuka Agama Islam,para Da’i yang kondang dan yang tidak kondang,kepada Menteri Agama terutama,kok sudah dicaci maki oleh Allah begini rupa,adem-adem saja tidak mau menggubris firman Allah ini. Masak sih kalau tidak pernah baca Al Qur’an ? Kayanya lebih memprioritaskan “Musabaqoh Tilawatil Qur’an” dengan tidak mengkaji isinya. Jadi nyata benar apa yang telah disinyalir olah Rasulullah kira-kira 15 abad yang lalu,sabda beliau : Nanti di suatu masa,muslim membaca Al Qur’an itu seperti yang minum susu. Rasa nikmatnya itu “hanya sampai tenggorokan”,cuma merasakan indahnya lantunan suara qori atau qori’ah,seperti mendengarkan biduan/biduanita mendendangkan lagu yang syahdu. Dasar memang sekarang lagi abad “Band”,”konser musik” dan “dangdut” yang sering berujung dengan “tawuran”. Saya kira dewasa ini,kalau anak-anak ABG disuruh mendengarkan ceramah agama dari seorang Da’i,walaupun diupahin,tak akan banyak yang datang seperti menghadiri konser musik suatu band yang lagi naik daun. Kalau memperhatikan fenomena seperti ini,saya sebagai warga Negara yang sudah berusia 75 tahun,amatlah sedih. Mau kemana/quo vadis generasiku yang akan datang ini ?
Pantesan Allah terus-terusan menurunkan berbagai macam bencana kepada bangsa Indonesia yang katanya mengaku muslim yang taqwa itu. Berbagai bencana alam yang sudah berupa “Adzab”,masih dianggap sebagai “Peringatan” saja dari Allah. Tsunami,gempa bumi,tanah longsor,angina taufan/putting beliung,kebakaran,pesawat jatuh,kapal tenggelam,tabrakan kereta api,kecelahaan lalu-lintas,tawuran antar kampung/antar masyarakat,budaya demo,menghilangkan nyawa orang,merampok,mem-
perkosa,demam berdarah,flu burung,antraks dan lain-lain penyakit mematikan. Kalau hujan lebat yang mengairi sawah dan kebun menumbuhkan tanaman para petani,itulah rahmat dari Allah. Tapi kalau hujan yang menimbulkan banjir,”Adzab” namanya !
Para pembaca yang budiman,sampai disini barangkali akan timbul pertanyaan : Bagaimana caranya agar setiap individu bisa memperoleh gelar dari Allah “MUSLIM YANG HAQ” ?
Caranya yaitu dengan “HIJRAH”. Makna Hijrah menurut Lughoh (bahasa) yaitu “Pindah”. Maksud dari pindah disini ialah secara kaffah atau secara system yang mencakup 3 unsur,yaitu Hukum,Pemerintahan dan Umat,sesuai perintah Allah Surat Al Baqoroh ayat 208.
Dengan kata lain setiap individu harus ber-HIJRAH (Pindah) dari Pemerintahan Batil (Pemerintahan yang berhukum bikinan manusia) ke Pemerintahan yang Haq (Pemerintahan Islam yang berhukum Islam).
Kenapa harus HIJRAH ke Pemerintahan Islam ? Supaya ibadahnya itu Syah serta diterima oleh Allah SWT dan memperoleh gelar sebagai “MUKMIN YANG HAQ”,dan sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw.yang berbunyi :
Artinya : Tidak syah IBADAH melainkan dengan ber-HIJRAH.
Selain dari itu Rasulullahpun menyampaikan sabda-sabdanya tentang adanya keterkaitan antara Hukum Islam,Pemerintahan Islam dan Umat Islam sebagai berikut :
Artinya : Hukum tanpa Negara (Pemerintahan)
tidak ada artinya.
Negara (Pemerintahan) tanpa Umat
Demikian juga.
Melaksanakan Hukum tanpa ada
Negara (Pemerintahan) adalah Mustahil.
Penjelasan dari ke-3 sabda Rasulullah di atas ialah : Hukum Islam tidak bisa dan tidak akan diberlakukan oleh suatu Pemerintahan yang bukan Pemerintahan Islam. Dengan kata lain,HUKUM ISLAM tidak ada artinya kalau tidak ada Pemerintahan Islam.
Oleh karena itu,agar UMAT ISLAM bisa menegakkan dan melaksanakan HUKUM ISLAM secara Kaffah,,maka adanya PEMERINTSHAN ISLAM hukumnya WAJIB.
Sementara firman Allah dalam Surat Al Anfal ayat 74 yang berbunyi :
Artinya : Dan orang-orang yang beriman dan BERHIJRAH serta berjihad pada jalan Allah dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan ( pada orang-orang Muhajirin ), mereka itulah orang-orang yang beriman ( Mu’min yang haq ). Mereka memperoleh ampunan dan rizki ( ni’mat ) yang mulia. ( Al Anfal, 8/74 )
Pada Surat Al Anfal ayat 74 di atas, ada disebut golongan orang “MUHAJIRIN”. Orang Muhajirin ialah orang-orang yang melaksanakan HIJRAH dari pemerintahan yang BUKAN PEMERINTAHAN ISLAM menuju ke PEMERINTAHAN ISLAM. Adapun golongan ANSOR adalah orang-orang yang lebih dulu BERHIJRAH dari pemerintahan yang BATHIL ( bukan pemerintahan Islam ) menuju ke pemerintahan yang HAQ ( pemerintahan Islam ). Jadi golongan ANSOR berarti sebagai tuan rumah di PEMERINTAHAN ISLAM, sedangkan golongan MUHAJIRIN sebagai tamu yang mengikuti jejak dan bergabung dengan golongan ANSOR di pemerintahan Islam.
Kiranya perlu diketahui juga,bahwa golongan MUHAJIRIN dan golongan ANSOR bukan hanya ada di jaman Nabi Muhammad saja,tapi di tahun 2010 M bahkan sampai kehidupan dunia ini ditutup oleh Allah,harus tetap ada. Kenapa begitu ? Sebab jika hanya ada di jaman Nabi Muhammad saw.saja,ini berarti anda memperlakukan Al Qur’an sebagai dongeng mengenai kisah orang-oang jaman dulu dan bukan dijadikan sebagai pelajaran/tuntunan hidup yang bersifat Rahmatan lil ‘alamin.
Secara lebih jelas dan lebih tegas, tentang perintah HIJRAH ke PEMERINTAHAN ISLAM, terdapat pada Surat Yunus ayat 25 yang berbunyi :
Artinya : Allah menyeru manusia ke DARISSALAM = DAR ISLAM ( Pemerintahan Islam ), dan menunjuki orang yang dikehendakinya kepada jalan yang lurus ( Islam ).
Pada Surat Yunus ayat 25 diatas, sengaja diadakan koleksi/pembetulan terjemahan kata Darissalam yang para ulama menterjemahkannya dengan “SYURGA” menjadi “PEMERINTAHAN ISLAM”, karena inilah arti yang sebenarnya, sebab sepengetahuan penulis, kalau bahasa Indonesianya Syurga, maka bahasa arabnya ialah JANNAH, maka ayatnya pun tentu berbunyi :
Artinya : Allah menyuruh manusia ke Syurga.
Kalaupun diterjemahkan dengan kata Syurga, ialah hanya untuk menggambarkan, bahwa : Sungguh benar, “Pemerintahan Islam” itu memiliki situasi, kondisi, yang nyaman, aman, damai, tentram, sejahtera seperti layaknya syurga, karena satu-satunmya pemerintahan yang terkendali oleh Sang Pencipta Allah swt, berdasarkan hukumNya, yaitu hokum Islam ( Quran ditambah Sunnah Rasul/Hadits Soheh ).
Demikianlah tulisan tentang : “Komitmen Seorang Muslim Tehadap Islam”. Mudah-mudahan bermanfaat dan kiranya dapat dijadikan sebagai bahan renungan. Billahi taufiq walhidayah wassalam mu’alaikum wr.wb.
http://agama.kompasiana.com/2010/12/28/ ... dap-islam/