BUDAYA LELUHUR INDONESIA DIHANCURKAN OLEH TIONGHOA ISLAM

Benturan dan bentrokan antara Islam dengan agama-agama dan peradaban lain di seluruh penjuru dunia.
Post Reply
User avatar
seng-su
Posts: 787
Joined: Sun Feb 17, 2008 1:51 am

BUDAYA LELUHUR INDONESIA DIHANCURKAN OLEH TIONGHOA ISLAM

Post by seng-su »

Dikutip dari buku INDONESIA RAYA – ANAND KRISHNA


Sebelum bertemu kembali dengan Prof. Mulyana, sebaiknya kita bersalaman dulu dengan Qurtuby (“Arus Cina-Islam-Jawa” Hal. 99-101).

“…proses Islamisasi (di Kepulauan Nusantara-a.k.) tidak berjalan mulus seperti yg digambarkan orang, melainkan penuh dengan pergolakan, dialog tradisi yg rumit dan berliku, serta diwarnai proses saling menundukkan…

“(Babad-Babad lokal maupun berita-berita dari luar – a.k.) tidak mampu menjelaskan kronologi sosial-politik rezim, penjelasan intelektual pertentangan antar tradisi (maksudnya, antara Islam sebagai ‘entitas asing’ dengan tradisi lokal) termasuk persekutuan antar rezim, agen2 sejarah yg terlibat proses islamisasi atau bahkan ‘sisi2 gelap’ proyek islamisasi yg tentunya banyak menimbulkan korban baik secara politik, ekonomi maupun kebudayaan.
“Sepengetahuan penulis (baca: Qurtuby – a.k.), naskah yg sedikit bisa memberi penjelasan dari periode ‘the missing link’ Jawa Abad Pertengahan khususnya berkaitan dengan komunitas Muslim Cina adalah apa yg kemudian terkenal dengan Kronik Kelenteng Sam Po Kong dan Kelenteng Talang – sebuah naskah yg menuturkan peranan Muslim Cina bermazhab Hanafi dalam proses islamisasi.
Oleh Graaf dan Pigeaud, teks ini dinamai Malay Annals (‘Catatan Tahunan Melayu’). Karena wataknya yg kontroversial , Graaf dkk. membuat buku khusus untuk ‘membelajari’ (bahasa yg berbau sekolahan: memverifikasi) naskah itu di bawah tajuk Chinese Muslim in Jawa in 15th and 16th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon (baca: Cirebon – a.k.). Naskah ‘Malay Annals’ ini muncul dalam buku M.O. Parlindungan, Tuanku Rao tahun 1967 yg menurut pengakuannya berasal dari naskah kuno yg ditemukan di Kelenteng Sam Po Kong dan Kelenteng Talang oleh Residen Poortman saat ia menggeledah kedua kelenteng tersebut.
“Naskah ini kemudian pada thn 1968 dimuat ulang oleh Slamet Muljana dalam Runtuhnja Kerajdaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara yang menghebohkan waktu itu, dan akhirnya diberedel.”

Di zaman reformasi ini, naskah Prof. Dr. slamet Mulyana tersebut sudah diterbitkan kembali oleh penerbit LkiS Yogyakarta dengan judul yg sama, dan telah kita baca bersama di atas. Selanjutnya…

Hal. 184: “Dalam kehidupan yg serba mewah dan kesejahteraan rakyat yg sangat tinggi tingkatannya itu, para pembesar Majapahit sepeninggalan Gajah Mada, agak lengah.
Raja Wikramardhana alias Hyang Wisesa (1389-1427 Masehi) kawin dengan putri Cina. Dari perkawinan itu, lahir Swan Liong alias Arya Damar, kepala pabrik mesiu di Semarang pada tahun 1443, dan kemudian adipati Palembang…
“Kelihatannya, perkawinan Wikramardhana dengan putri Cina itu barang kecil, tetapi pada hakikatnya perkawinan itu menghasilkan kuman yg merongrong kerajaan Majapahit. Perkawinan itu perlu diletakkan dalam bidang yg lebih luas, dalam rangka perebutan kekuasaan perdagangan di antara orang Majapahit dan orang Tionghoa yg dikendalikan dari daratan Tiongkok (baca: Pemeritah/Kekaisaran Cina = Dinasti Ming – a.k.).

Di tempat lain (Hal. 90), Mulyana juga menjelaskan bahwa: “Kronik Kelenteng Semarang menguraikan bahwa Swan Liong, pada tahun 1443, dipindahkan oleh Gan Eng Chu sebagai Kapten Cina ke Palembang. Dapat dipastikan bahwa Swan Liong di Palembang mempunyai jabatan rangkap. Untuk masyarakat Tionghoa di Palembang, ia bertindak sebagai Kapten Cina; demi kepentingan Kerajaan Majapahit, ia bertindak sebagai Adipati Wakil Raja Majapahit di Palembang.

Tapi, siapakah Gan Eng Chu?
Mulyana menjelaskan di Halaman 63 dan 64:

“Tahun 1413: Armada Tiongkok Dinasti Ming selama satu bulan singgah di Semarang utk perbaikan kapal2. Laksamana Haji Sam Bo Po, Ma Huan dan Fe Tsin sering sekali datang ke Masjid Tionghoa/Hanafi di Semarang untuk bersembahyang.
“Laksamana Haji Sam Bo Po (Cheng Ho) menempatkan Bong Tak Keng di Campa utk mengepalai masyarakat Tionghoa/Hanafi yg sedang berkembang dan yg terbesar di pantai2 di seluruh Nan Yang. Bong Tak Keng menempatkan Haji Gan Eng Cu di Manila/Filipina.
“Tahun 1423: Haji Gan Eng Cu dipindahkan oleh Haji Bong Tak Keng dari Manila ke Tuban/Jawa untuk mengepalai masyarakat Tionghoa Muslim/Hanafi yg sedang berkembang di Nan Yang Selatan, termasuk pulau Jawa, Kukang, dan Sambas. Terhadap kerajaan Majapahit yg masih berkuasa, meskipun sudah turun gengsinya, Haji Gan Eng Cu menjadi semacam ‘Kapten Cina Islam’ di Tuban. Tetapi, karena armada Tiongkok dinasti Ming menguasai seluruh perairan Nan Yang, maka Haji Gan Eng Cu de facto melayani keraton Majapahit dari pelabuhan Tuban. Gan Eng Cu mendapat gelar “A Lu Ya” dari raja Majapahit. Yang menghadiahi gelar itu adalah raja Su king Ta, raja Majapahit yg memerintah dari tahun 1427-1447.”

Cukup jelas kiranya bahwa Gan Eng Cu adalah seorang ‘pejabat’ yang ‘digaji oleh Kekaisaran Cina’. Dan, dia mengangkat Swan Liong sebagai wakilnya untuk Palembang. Berarti, nama Swan Liong pun sudah pasti ada dalam pay-roll Kekaisaran Cina. Ia digaji oleh Pemerintahan Cina.
Dalam bahasa epionase modern, judulnya “Double Agent” atau “Double Cross” – itulah Swan Liong, itulah Gan Eng Cu.
Majapahit sudah menggaji orang2 yg akan menjadi parasit dan merusak Majapahit dari dalam tubuhnya. Selanjutnya…

Hal. 184-186: “Dari penyelidikan, terbukti bahwa perkawinan dengan putri Cina itu tidak hanya dilakukan oleh raja Wikramarwardhana (1389-1427 Masehi) saja, tetapi juga oleh raja2 Majapahit lainnya. Kertabhumi (raja terkhir, 1474-1478 Masehi) juga kawin dengan putri Cina. Dari perkawinan itu, lahir Jin Bun alias Raden Patah, yg pada tahun 1478 sebagai anak muda yg sedang berumur 23 thn berhasil merobohkan pemerintahan Majapahit. Sudah pasti bahwa banyak lagi pembesar Majapahit yg kawin dengan putri Cina, tetapi tidak tercatat dalam sejarah.
Ketegasan bertindak Raja Kertanegara terhadap utusan Tiongkok Meng Ki pada thn 1289, dan pengusiran tentara Tar-tar (=Mongol, Dinasti Yuan/Cina) oleh Kerta Wijaya pada thn 1294, menunjukkan kegagalan kaisar Kubilai untuk mengusai kerajaan Jawa yg sedang mulai berkembang. Semangat bangsa yg sedang berkembang masih menyala-nyala, tidak gampang dipatahkan. Perjuangannya dijiwai dengan semangat utk mempertahankan hidup…
“Tiongkok yg pada waktu itu mengakui kekalahannya, tetap menunggu kesempatan yg baik utk melaksanakan impiannya: menguasai lautan Asia Tenggara.
“Kubilai berhasil menguasai seluruh Tiongkok, menyebut dirinya Putra Langit, dan mengambil nama Yuan untuk dinastinya. Kubilai belum puas dengan penguasaan daratan Asia dan lautannya. Ia menginginkan agar semua negara di sepanjang pantai Asia mengakui kekuasaannya sbagai Putra Langit dan mempersembahkan upeti ke Istana Syang Tu.
“Barang siapa yg tidak mau mengakui kekuasaannya dan menyerahkan upeti ke Syang Tu, dipukul dengan kekerasan.
“Terhadap negara2 di sepanjang pantai Cina, terutama terhadap Campa, Anam, dan Kamboja, politik Kubilai berhasil baik. Negara2 itu mengakui kekuasaannya dan mengirim utusan ke Tiongkok untuk menyerahkan upeti. Campa, anam, dan Kamboja menjadi negara bawahan Tiongkok, dikendalikan dari Yunan.”

Terjadinya ‘pergantian Dinasti’ dari Yuan ke Ming, tidak mengubah ‘Rencana Besar Penguasa Cina’ untuk menaklukkan seluruh Asia. Dinasti Ming lebih ambisius lagi. Pendirinya seorang petani yg melakukan pemberotakan dan berhasil menaklukkan sebuah Dinasti.

Halaman 186: “Laksamana Cheng Ho diperintahkan memimpin armada Tionghoa mengunjungi negara2 di laut Selatan. Armada Tionghoa yg dikirim terdiri dari 62 kapal jung besar dengan penumpang 27.800 orang. Armada yg dikirim dari tahun 1431 sampai 1433 tidak hanya mengunjungi negara2 di laut Selatan saja, tetapi terus menjelajah ke jurusan barat, singgah di Srilangka, India, teluk Persia, dan Afrika Timur.
“Dalam perjalanan itu, para penumpang yg beragama Islam mendapat kesempatan untuk mengunjungi Mekah (Catatan Kaki: Dinyatakan bahwa orang2 Tionghoa Islam yg ikut serta, menumpang perahu Arab menuju Jedah. Dari Jedah mereka berkunjung ke Mekah. Lihat, Dr. L. Duyvendak, Wegen en Gestalten der Chineesche Geschiedenis, hlm 212).”

Halaman 187: “Di antara penumpang itu, banyak terdapat orang2 Tiongkok Islam berasal dari Yuan. Kiranya, Raden Rachmat alias Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel, yang dikatakan pulang dari Mekah sebelum ia berangkat ke Jawa, adalah salah satu seorang Tionghoa Yunan Islam, yg ikut serta dalam armada yang dipimpin oleh Cheng Ho pada thn 1431/1433 tersebut.
“Palembang, yg pada tahun 1397 jatuh di bawah kekuasaan Majapahit, direbut oleh armada Tiongkok dari rajakula (baca: Dinasti) Ming pada tahun 1407.
“Pada tahun itu juga, didirikan Masyarakat Tionghoa Islam di Sambas…
“Negara-negara pantai di Asia Tenggara dimasukkan dalam kekuasaan Laksamana Cheng Ho (Sam Po Bo).
Laksamana Sam Po Bo sangat giat membentuk masyarakat Islam Tionghoa di pelbagai kota Asia Tenggara yang dikuasainya.
“Kemudian, ia mengangkat Bong Tak Keng sebagai penguasa penuh di Campa untuk mengawasi perkembangan masyarakat Islam di Asia Tenggara.
“Untuk mempercepat proses pembentukan masyarakat Islam Tionghoa di Jawa, Bong Tak Keng memindahkan Ga Eng Cu dari Manila ke Tuban pada tahun 1419. Tuban merupakan kota pelabuhan yg sangat penting, karena Tuban menjadi pintu masuk dari lautan kerajaan Majapahit, yg pada waktu itu sudah mulai mengalami kemunduran.
“Swan Liong, kepala pabrik mesiu di Semarang yg mengaku keturunan raja Majapahit, dipindahkan ke Palembang, sebagai Kapten Cina untuk mengepalai masyarakat Tionghoa Islam di Palembang.
“Bong Swi Hoo (Sunan Ampel) pada tahun 1445 datang dari Campa, diperbantukan kepada Swan Liong di Palembang.
“Pada thn 1447, Bong Swi Hoo diangkat menjadi Kapten Cina di Bangil, di muara sungai kali Porong.”

Halaman 187-188: “(Demikian) semua kota pelabuhan di pantai utara, yg merupakan tempat berdagang dan urat nadi perekonomian kerajaan Majapahit, telah dikuasai oleh Tionghoa Islam dari Yunan.
“Sesuai dengan instruksi dari Tiongkok, mereka mengadakan hubungan politik dan hubungan dagang dengan negara2 tempat mereka menetap.
“Sebelum kedatangan mereka, tempat2 tersebut dimonopoli oleh para pedagang Majapahit. Dengan adanya masyarakat Tionghoa Islam di kota2 pelabuhan di pantai Jawa itu, sumber perekonomian Majapahit tersumbat. Majapahit telah dikepung oleh orang Tionghoa Islam dari laut.”

Berikutnya, “politik relasi”:

Halaman 188-189: “…putri2 Cina (barangkali ‘peranakan’ – a.k.)… dijadikan umpan untuk memancing para pembesar Majapahit.
“Jika kita boleh percaya pada berita dalam Serat Kanda, maka putri Cina itu dipersembahkan kepada raja Majapahit. Babah Bantong (Ban Hong) berpendapat bahwa hanya anak perempuannya yg pantas menjadi selir sang prabu. Sebagai ganti, ia meminta sebidang tanah kepada sang prabu demi kepentingan orang2 Tionghoa yg menetap di Jawa. Sang Prabu memberikan tanah di daerah Kedu.
“Dari penelitian, terbukti bahwa anak perempuan Babah Ban Hong ini yg melahirkan Jin Bun atau Raden Patah. Raden Patah adalah putra raja Majapahit Kog Ta Bu Mi, yakni raja Kertabhumi.
Hubungan antara Majapahit dan Tiongkok dibuka secara resmi pada tahun 1424. Pada masa pemerintahan Prabu Wikramawardhana alias Hyang Wisesa, ayah Swan Liong alias Arya Damar.
“Baru pada tahun 1475, datang lagi duta besar Tionghoa di keraton Majapahit. Duta besar itu tidak lain dari Kin San alias Raden Kusen dari Palembang, adik tiri Raden Patah alias Jin Bun. Ia diperintahkan oleh Bong Swi Hoo untuk bertindak sebagai mata-mata demi kepentingan masyarakat Tionghoa, memberikan segala keterangan seluk-beluk dalam kerajaan Majapahit, yg berguna bagi masyarakat Tionghoa.
“Kin San, yg memang sudah mendapat didikan matang dari Swan Liong, berhasil menggembirakan hati raja Kertabhumi. Demikianlah memang ada maksud dari pihak masyarakat Tionghoa Islam untuk merobohkan kekuasaan Majapahit, baik dari dalam maupun dari luar.


“Kerajaan Majapahit remuk dari dalam, dan jika telah tiba saatnya, akan ditekan dari luar.
“Serbuan tentara Islam Demak yg terdiri dari orang2 Tionghoa dan Jawa, yg telah masuk Islam sebagai pengikut Jin Bun (Raden Patah) dan Bong Shi Hoo terjadi pada tahun 1478.
“Majapahit telah kemasukan mata-mata Tionghoa (HARUS DIBACA: “PEMERINTAH CINA”, “KEKAISATAN Cina” – a.k.). tetapi tidak disadari. Mereka dianggap sebagai sahabat baik.

Memang banyak faktor yg turut mengambil andil dalam keruntuhan Majapahit, namun adalah ‘sebuah sarana’ yg digunakan untuk ‘menyelesaikan tugas dengan baik’, yaitu fanatisme agama, seperti yg dijelaskan oleh Mulyana:

Hal 189-190: “Orang Tonghoa (baca: Pemerintah Cina yg menggunakan kaki-tangan mereka di negeri kita sendiri) ingin meruntuhkan semangat dagang orang Majapahit dan merobohkan ekonomi kerajaan Majapahit. Mereka bermaksud merobohkan negara nasional Hindi-Jawa, dan kemudian mendirikan negara Islam di bawah pimpinan orang Tionghoa Asing/peranakan. Itlah maksud sebenarnya dari pembangunan masyarakat Islam.”

Jelas sudah bahwa ‘sentimen agama’ betul2 digunakan, ajaran agama diselewengkan dan disalahgunakan untuk meraih kekuasaan.
Apa yg oleh Mulyana disebut ‘negara nasional Hindu-Jawa’, lebih tepat bila diseburt ‘negara nasional saja’. Saya harus mengingatkan lagi bahwa di zaman itu istilah Hindu belum ada. Apa yang sekarang disalahartikan sebagai ‘agama’ Hindi, adalah budaya asal kita.

Masih bersama Mulyana di halaman yang sama: “Agama Islam dijadikan senjata ampuh untuk melawan kekuasaan nasional Majapahit. Agama Islam dihadapkan kepada agama Hindu. dengan tegas Raden Patah menolak Raden Kusen untk meneruskan perjalannya ke Majapahit dengan ucapan: “Saya sudah terlanjur memeluk Islam. Menurut keyakinan saya, itulah agama yang baik. Sayang keislaman saya, jika saya mengabdi kepada raja Majapahit yang kafir.” Dengan kalimat itu, pengarang Babad Tanah Jawi ingin menggambarkan dengan jelas inti persoalan pembentukan masyarakat Islam di Ngampel. Fanatisme agama dijadikan senjata ampuh bagi pengikut Bong Swi Hoo untuk memusnahkan agama Hindu yg disponsori oleh raja Majapahit.

Sayang, kita tidak belajar dari sejarah masa lalu.
Apa yang pernah terjadi dulu, hingga hari ini pun masih terjadi.
Isu2 tentang ‘kepala negara kafir’ hanya karena ia menghormati agama lain dan menghadiri sebuah upacara agama lain, masih tetap disebarluaskan demi kepentingan politik.
Bahkan pedukung seorang calon presiden pun pernah diisukan kafir supaya mereka yang merasa beriman tidak memilihnya. Komunitas2 eksklusif yg dibentuk berdasarkan ‘perbedaan agama’ masih tetap berlanjut.
Integrasi Nasional masih tetap harus diupayakan bila kita tidak menghendaki terulangnya sejarah Majapahit.

Kembali bersama Prof. Mulyana:

Hal 191-192: “Pangkat membawa kekuasaan; kekuasaan memberi kesempatan untuk memperoleh pengikut dan memperoleh sesuatu yang diinginkan. Untuk memperoleh derajat yg tinggi dalam masyarakat feodal Hindu-Jawa Majapahit, para pemuka Islam Tionghoa harus pandai melayani para pembesar, terutama raja Majapahit…
“Demikianlah Kapten Cina Gan Eng Cu… dianugerahi gelar Arya oleh Rani Suhita. Sekaligus Gan Eng Cu mengambil nama Jawa. Gelar dan nama lengkapnya lalu Tumenggung Wilatikta Arya Teja.
“Swan Liong mendapat gelar Arya, dan (atas usul Bong Swi Hoo), Jin Bun (Raden Patah) mendapat gelar Pangeran. Karena gelar itu, mereka memperoleh kehormatan di kalangan masyarakat… yang masih bersifat feodal. Dengan gelar itu, mereka lebih mudah memperoleh pengikut di antara pegawai kerajaan dan rakyat Majapahit…

“Pembukaan hutan belantara di Bintara oleh Jin Bun alias Raden Patah, yg pada hakekatnya adalah persiapan untuk merobohkan kekuasaan Majapahit, karena Raden Patah memperoleh gelar Pangeran dan pengakuan resmi oleh raja untuk mengerjakan pembukaan hutan itu, tidak ada yg mencurigai pekerjaan tersebut.
“Perbuatan Jin Bun itu pada hakikatnya adalah kegiatan rahasia atau kegiatan di bawah tanah untuk melawan kekuasaan Majapahit. Hadiah gelar2 itu dieksploitasi demi kepentingan masyarakat Islam Tionghoa.

“Swan Liong dan Jin Bun sebagai peranakan Tionghoa-Jawa, meskipun mereka putra raja Majapahit, hanya bekerja demi kepentingan masyarakat Tionghoa Islam. Pada mereka, tidak ada rasa kebangsaan sama sekali akan kejawaannya (baca: kebangsaan, ke-‘Indonesia’-annya – a.k.) meskipun pada waktu itu, raja Majapahit masih merupakan raja yg merdeka dan berkuasa di daerahnya…

Kemudian, masih di halaman 192, Mulyana memberi pendapatnya ttg watak dan pola pikir Raden Patah, “Dari pihak Tionghoa, Jin Bun mewarisi watak suka bekerja keras dan ulet serta ulet dalam segala usahanya.
“Dari pihak Jawa/Majapahit, ia mewarisi watak kepemimpinan.
“Dari Pergaulannya dengan Bong Swi Hoo (Sunan Ampel) sebagai ulama Islam, ia memperoleh fanatisme dlam keagamaan.
“Dari asuhan Swan Liong, Jin Bun memperoleh jiwa ketentaraan dan kepandaian menggunakan/ membuat senjata.
“Berkat keuletan dan kesungguhan kerja serta kepemimpinannya, dalam 3 tahun dia berhasil membuka hutan Bintara dan mengumpulkan pengikut lebih dari 1000 orang, yg telah dijiwai fanatisme agama.
“Kekuatan itu sudah cukup merebut kota Semarang pada tahun 1447, dari kekuasaan Tionghoa bukan-Islam, klenteng diselamatkan dari serbuan tentara Islam dari Demak dan menghindarkan sejauh mungkin kekejaman terhadap orang2 Tionghoa yang tidak beragama Islam. Jinbun, berkat kepemimpinannya, pandai membuat lawan menjadi kawan. Ia memerlukan tenaga dan kepandaian mereka di masa depan untuk mencapai cita2 merobohkan kekuasaan nasional Majapahit, dan kemudian mendirikan negara Islam yg mempunyai armada besar di pantai Jawa. Jin bun masih menunggu saat yg paling baik utk menyerbu Majapahit”

Persis seperti para politisi masa kini.
Tidak ada lawan, dan tidak ada kawan permanen dalam politik – yg ada hanyalah kepentingan sesaat!

Halaman 192-194: “Saat itu, tiba pada tahun 1478 ketika Bong Swi Hoo alias Sunan Ngampel wafat, Sunan Ngampel yg selalu menasehati agar jangan sekali-kali Jin Bun menggunakan kekerasan terhadap raja Majapahit, karena raja Majapahit tidak pernah mengganggu persebaran Agama Islam, telah mangkat.
“Orang berharap bahwa Jin Bun sebagai murid yg setia lagi tercinta, pasti melawat ke Ngampel. Alih2 melawat ke Ngampel, Jin Bun memimpin tentara Demak menyerbu Keraton Majapahit secara mendadak.
“Raja Majapahit sama sekali tidak menduga bahwa akan ada serangan musuh dari Demak. Oleh karena itu, tidak ada persiapan apa pun di pusat kerajaan Majapahit. Dengan mudah Jin Bun berhasil menawan Raja Kertabhumi, dan mengangkutnya ke Demak.
“Majapahit menyerah tanpa perlawanan, tanpa pertumpahan darah. Segala harta pusaka dan ube rampe kebesaran kerajaan Majapahit diangkut ke Demak sebanyak tujuh muatan kuda.
“Kim Sam, yg bertindak sebagai mata-mata di pusat kerajaan Majapahit selama 3 tahun, dibawa serta pulang ke Demak. Kota Majapahit tidak mengalami kerusakan apa pun. Seolah tidak terjadi apa2. Majapahit yg telah remuk dari dalam, rusak ekonomi dan akhlaknya, telah merosot semangatnya, secara mendadak ditekan dari luar, tidak sanggup mengadakan perlawanan.
“Majapahit yg telah berdiri selama 184 tahun, dan pernah mengalami masa kegemilangan dan pernah ditakuti serta disegani di segenap Nusantara, berhasil ditundukkan oleh seorang pemuda yg sedang berumur 23 tahun tanpa perlawanan, tanpa pertumpahan darah. Raja Kertabhumi diangkut ke Demak sebagai tawanan. Di Demak, diperlakukan dengan hormat, karena Kertabhumi adalah ayah pangeran Jin Bun.”

Slamet Mulyana mengutip dokumen2 yg ditemukan oleh Residen Poortman dari Kelenteng Sam Po Kong di Semarang…

Halaman 49: “Berdasarkan dokumen Tionghoa dari kelenteng Sam Po Kong di Semarang itu, Poortman mengutarakan bahwa Jin Bun , setelah ia berhasil menawan Raja Kertabhumi dan membawanya ke Demak, lalu mengangkat seorang Tionghoa bernama Nyoo Lay Wa sebagai penguasa di Majapahit.
“Namun pemerintah Nyoo tidak mendapat sambutan baik dari bekas rakyat Majapahit. Pada thn 1485, timbul pemberontakan anti-Tionghoa di pelbagai tempat di wilayah Majapahit. Pemberontakan itu memberi kesan sebagai balas dendam orang2 Jawa/Majapahit terhadap orang2 Tionghoa. Penguasa Nyoo terbunuh di pusat Majapahit.
“Sehabis itu Panembahan Jin Bun mengangkat iparnya yg dalam berita Tionghoa di Kelenteng Sam Po Kong disebut Pa Bu Ta La… Pa Bu Ta La adalah Girindrawardhana; nama Girindrawardhana tercantum dalam prasasti Jiyu dari tahun Saka 1408 atau tahun Masehi 1486. Nama kecilnya ialah Dyah Ranawijaya.”

Di tempat lain Slamet Mulyana memberi penjelasan lebih rinci tentang Girindrawardhana:

Halaman 193: “Dyah Ranawijaya Girinrawardhana, menantu raja Kertabhumi, diangkat oleh Jin Bun sebagai bupati atau raja bawahan Demak… Sebagai negara bawahan, Majapahit harus tunduk kepada pemerintah dan kemauan sultan Demak dan harus pula memberikan upeti setiap tahun.
“Sebagai negara bawahan Demak, Majapahit masih bertahan sampai 49 tahun di bawah pimpinan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana aliar Pa Bu Ta La.
“Baru pada tahun 1527, kerajaan Majapahit musnah dari permukaan bumi, karena dibumihanguskan oleh tentara Demak di bawah pimpinan Toh A Bo alias Sunan Gunung Jati, karena Dyah Ranawijaya Girindrawardhana mengadakan hubungan dagang dengan orang2 Portugis, musuh utama Negara Islam Demak.
Kerajaan Majapahit terpendam dalam abu sejarah.”

Kesimpulannya:
Kejayaan leluhur kita dihancurkan oleh orang Tionghoa Islam. Mereka menggunakan agama Islam sebagai senjata politiknya…
Penuh dengan taqqiya…!!!
Bahkan mereka tega menyerang orang Tionghoa sendiri yg bukan beragama Islam di Semarang…
Melalui tangan Raden Patah alias Jin Bun, mereka berhasil mendirikan kerajaan Demak yg hanya bisa bertahan sampai 70 tahun karena tidak mampu bersaing dagang dengan para pedagang Portugis.
Fakta sejarah ini sempat tertutup selama 37 tahun sejak buku ‘Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara’ –nya Slamet Muljana dibredel di tahun 1968…!!!
User avatar
Kutang_Belum_Dicuci
Posts: 428
Joined: Wed Dec 12, 2007 9:05 pm

Post by Kutang_Belum_Dicuci »

kalau dibredel, gimana caranya ogud dapat membelinya?
User avatar
seng-su
Posts: 787
Joined: Sun Feb 17, 2008 1:51 am

Post by seng-su »

Udah diterbitkan ulang sama penerbit LkiS Yogyakarta thn 2005, dgn judul yg sama (Tapi pake ejaan sekarang)
mungkin masih dijual di Gramedia...
Tapi kalo ada pameran buku, pasti ada tuh...
atau lu bisa baca jabarannya lewat buku INDONESIA RAYA - ANAND KRISHNA
azizgol
Posts: 454
Joined: Tue Dec 04, 2007 2:07 am

Post by azizgol »

dimana letak kraton mojopahit ?
mungkin pengarangnya juga tau ?
Jeleme_Lengeh
Posts: 118
Joined: Fri Apr 04, 2008 10:24 pm

Post by Jeleme_Lengeh »

Kata yang belajar sejarah sih di trowulan sana, deket mojokerto kalo gak salah, belum pernah kesana sih.
bilaperlu
Posts: 2
Joined: Tue Feb 26, 2013 7:02 am

Re: BUDAYA LELUHUR INDONESIA DIHANCURKAN OLEH TIONGHOA ISLAM

Post by bilaperlu »

jika agama (terutama islam)sudah dijadikan sebagai alat politik,maka dampak buruknya semakin nyata
nap.bon
Posts: 1011
Joined: Wed Jun 27, 2012 8:04 pm
Location: United States of Indonesia

Re: BUDAYA LELUHUR INDONESIA DIHANCURKAN OLEH TIONGHOA ISLAM

Post by nap.bon »

bilaperlu wrote:jika agama (terutama islam)sudah dijadikan sebagai alat politik,maka dampak buruknya semakin nyata
Pokoknya asal Islam, semua jadi hancur. Ga hanya di Indonesia, tapi di mana-mana. India harus pecah gara-gara Islam. Cina sampai sekarang harus siaga di Barat Laut gara-gara Islam. Demikian pula Rusia harus jaga-jaga di Kaukasus gara-gara Islam. Konflik Sudan-pun harus terjadi karena amanah Islam terhadap pemerintah Sudan.
walet
Posts: 5858
Joined: Wed Feb 11, 2009 4:52 am
Contact:

Re: BUDAYA LELUHUR INDONESIA DIHANCURKAN OLEH TIONGHOA ISLAM

Post by walet »

Dikutip dari buku INDONESIA RAYA – ANAND KRISHNA


Sebelum bertemu kembali dengan Prof. Mulyana, sebaiknya kita bersalaman dulu dengan Qurtuby (“Arus Cina-Islam-Jawa” Hal. 99-101).

“…proses Islamisasi (di Kepulauan Nusantara-a.k.) tidak berjalan mulus seperti yg digambarkan orang, melainkan penuh dengan pergolakan, dialog tradisi yg rumit dan berliku, serta diwarnai proses saling menundukkan…

“(Babad-Babad lokal maupun berita-berita dari luar – a.k.) tidak mampu menjelaskan kronologi sosial-politik rezim, penjelasan intelektual pertentangan antar tradisi (maksudnya, antara Islam sebagai ‘entitas asing’ dengan tradisi lokal) termasuk persekutuan antar rezim, agen2 sejarah yg terlibat proses islamisasi atau bahkan ‘sisi2 gelap’ proyek islamisasi yg tentunya banyak menimbulkan korban baik secara politik, ekonomi maupun kebudayaan.
“Sepengetahuan penulis (baca: Qurtuby – a.k.), naskah yg sedikit bisa memberi penjelasan dari periode ‘the missing link’ Jawa Abad Pertengahan khususnya berkaitan dengan komunitas Muslim Cina adalah apa yg kemudian terkenal dengan Kronik Kelenteng Sam Po Kong dan Kelenteng Talang – sebuah naskah yg menuturkan peranan Muslim Cina bermazhab Hanafi dalam proses islamisasi.
Oleh Graaf dan Pigeaud, teks ini dinamai Malay Annals (‘Catatan Tahunan Melayu’). Karena wataknya yg kontroversial , Graaf dkk. membuat buku khusus untuk ‘membelajari’ (bahasa yg berbau sekolahan: memverifikasi) naskah itu di bawah tajuk Chinese Muslim in Jawa in 15th and 16th Centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon (baca: Cirebon – a.k.). Naskah ‘Malay Annals’ ini muncul dalam buku M.O. Parlindungan, Tuanku Rao tahun 1967 yg menurut pengakuannya berasal dari naskah kuno yg ditemukan di Kelenteng Sam Po Kong dan Kelenteng Talang oleh Residen Poortman saat ia menggeledah kedua kelenteng tersebut.
“Naskah ini kemudian pada thn 1968 dimuat ulang oleh Slamet Muljana dalam Runtuhnja Kerajdaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara yang menghebohkan waktu itu, dan akhirnya diberedel.”

Di zaman reformasi ini, naskah Prof. Dr. slamet Mulyana tersebut sudah diterbitkan kembali oleh penerbit LkiS Yogyakarta dengan judul yg sama, dan telah kita baca bersama di atas. Selanjutnya…

Hal. 184: “Dalam kehidupan yg serba mewah dan kesejahteraan rakyat yg sangat tinggi tingkatannya itu, para pembesar Majapahit sepeninggalan Gajah Mada, agak lengah.
Raja Wikramardhana alias Hyang Wisesa (1389-1427 Masehi) kawin dengan putri Cina. Dari perkawinan itu, lahir Swan Liong alias Arya Damar, kepala pabrik mesiu di Semarang pada tahun 1443, dan kemudian adipati Palembang…
“Kelihatannya, perkawinan Wikramardhana dengan putri Cina itu barang kecil, tetapi pada hakikatnya perkawinan itu menghasilkan kuman yg merongrong kerajaan Majapahit. Perkawinan itu perlu diletakkan dalam bidang yg lebih luas, dalam rangka perebutan kekuasaan perdagangan di antara orang Majapahit dan orang Tionghoa yg dikendalikan dari daratan Tiongkok (baca: Pemeritah/Kekaisaran Cina = Dinasti Ming – a.k.).

Di tempat lain (Hal. 90), Mulyana juga menjelaskan bahwa: “Kronik Kelenteng Semarang menguraikan bahwa Swan Liong, pada tahun 1443, dipindahkan oleh Gan Eng Chu sebagai Kapten Cina ke Palembang. Dapat dipastikan bahwa Swan Liong di Palembang mempunyai jabatan rangkap. Untuk masyarakat Tionghoa di Palembang, ia bertindak sebagai Kapten Cina; demi kepentingan Kerajaan Majapahit, ia bertindak sebagai Adipati Wakil Raja Majapahit di Palembang.

Tapi, siapakah Gan Eng Chu?
Mulyana menjelaskan di Halaman 63 dan 64:

“Tahun 1413: Armada Tiongkok Dinasti Ming selama satu bulan singgah di Semarang utk perbaikan kapal2. Laksamana Haji Sam Bo Po, Ma Huan dan Fe Tsin sering sekali datang ke Masjid Tionghoa/Hanafi di Semarang untuk bersembahyang.
“Laksamana Haji Sam Bo Po (Cheng Ho) menempatkan Bong Tak Keng di Campa utk mengepalai masyarakat Tionghoa/Hanafi yg sedang berkembang dan yg terbesar di pantai2 di seluruh Nan Yang. Bong Tak Keng menempatkan Haji Gan Eng Cu di Manila/Filipina.
“Tahun 1423: Haji Gan Eng Cu dipindahkan oleh Haji Bong Tak Keng dari Manila ke Tuban/Jawa untuk mengepalai masyarakat Tionghoa Muslim/Hanafi yg sedang berkembang di Nan Yang Selatan, termasuk pulau Jawa, Kukang, dan Sambas. Terhadap kerajaan Majapahit yg masih berkuasa, meskipun sudah turun gengsinya, Haji Gan Eng Cu menjadi semacam ‘Kapten Cina Islam’ di Tuban. Tetapi, karena armada Tiongkok dinasti Ming menguasai seluruh perairan Nan Yang, maka Haji Gan Eng Cu de facto melayani keraton Majapahit dari pelabuhan Tuban. Gan Eng Cu mendapat gelar “A Lu Ya” dari raja Majapahit. Yang menghadiahi gelar itu adalah raja Su king Ta, raja Majapahit yg memerintah dari tahun 1427-1447.”

Cukup jelas kiranya bahwa Gan Eng Cu adalah seorang ‘pejabat’ yang ‘digaji oleh Kekaisaran Cina’. Dan, dia mengangkat Swan Liong sebagai wakilnya untuk Palembang. Berarti, nama Swan Liong pun sudah pasti ada dalam pay-roll Kekaisaran Cina. Ia digaji oleh Pemerintahan Cina.
Dalam bahasa epionase modern, judulnya “Double Agent” atau “Double Cross” – itulah Swan Liong, itulah Gan Eng Cu.
Majapahit sudah menggaji orang2 yg akan menjadi parasit dan merusak Majapahit dari dalam tubuhnya. Selanjutnya…

Hal. 184-186: “Dari penyelidikan, terbukti bahwa perkawinan dengan putri Cina itu tidak hanya dilakukan oleh raja Wikramarwardhana (1389-1427 Masehi) saja, tetapi juga oleh raja2 Majapahit lainnya. Kertabhumi (raja terkhir, 1474-1478 Masehi) juga kawin dengan putri Cina. Dari perkawinan itu, lahir Jin Bun alias Raden Patah, yg pada tahun 1478 sebagai anak muda yg sedang berumur 23 thn berhasil merobohkan pemerintahan Majapahit. Sudah pasti bahwa banyak lagi pembesar Majapahit yg kawin dengan putri Cina, tetapi tidak tercatat dalam sejarah.
Ketegasan bertindak Raja Kertanegara terhadap utusan Tiongkok Meng Ki pada thn 1289, dan pengusiran tentara Tar-tar (=Mongol, Dinasti Yuan/Cina) oleh Kerta Wijaya pada thn 1294, menunjukkan kegagalan kaisar Kubilai untuk mengusai kerajaan Jawa yg sedang mulai berkembang. Semangat bangsa yg sedang berkembang masih menyala-nyala, tidak gampang dipatahkan. Perjuangannya dijiwai dengan semangat utk mempertahankan hidup…
“Tiongkok yg pada waktu itu mengakui kekalahannya, tetap menunggu kesempatan yg baik utk melaksanakan impiannya: menguasai lautan Asia Tenggara.
“Kubilai berhasil menguasai seluruh Tiongkok, menyebut dirinya Putra Langit, dan mengambil nama Yuan untuk dinastinya. Kubilai belum puas dengan penguasaan daratan Asia dan lautannya. Ia menginginkan agar semua negara di sepanjang pantai Asia mengakui kekuasaannya sbagai Putra Langit dan mempersembahkan upeti ke Istana Syang Tu.
“Barang siapa yg tidak mau mengakui kekuasaannya dan menyerahkan upeti ke Syang Tu, dipukul dengan kekerasan.
“Terhadap negara2 di sepanjang pantai Cina, terutama terhadap Campa, Anam, dan Kamboja, politik Kubilai berhasil baik. Negara2 itu mengakui kekuasaannya dan mengirim utusan ke Tiongkok untuk menyerahkan upeti. Campa, anam, dan Kamboja menjadi negara bawahan Tiongkok, dikendalikan dari Yunan.”

Terjadinya ‘pergantian Dinasti’ dari Yuan ke Ming, tidak mengubah ‘Rencana Besar Penguasa Cina’ untuk menaklukkan seluruh Asia. Dinasti Ming lebih ambisius lagi. Pendirinya seorang petani yg melakukan pemberotakan dan berhasil menaklukkan sebuah Dinasti.

Halaman 186: “Laksamana Cheng Ho diperintahkan memimpin armada Tionghoa mengunjungi negara2 di laut Selatan. Armada Tionghoa yg dikirim terdiri dari 62 kapal jung besar dengan penumpang 27.800 orang. Armada yg dikirim dari tahun 1431 sampai 1433 tidak hanya mengunjungi negara2 di laut Selatan saja, tetapi terus menjelajah ke jurusan barat, singgah di Srilangka, India, teluk Persia, dan Afrika Timur.
“Dalam perjalanan itu, para penumpang yg beragama Islam mendapat kesempatan untuk mengunjungi Mekah (Catatan Kaki: Dinyatakan bahwa orang2 Tionghoa Islam yg ikut serta, menumpang perahu Arab menuju Jedah. Dari Jedah mereka berkunjung ke Mekah. Lihat, Dr. L. Duyvendak, Wegen en Gestalten der Chineesche Geschiedenis, hlm 212).”

Halaman 187: “Di antara penumpang itu, banyak terdapat orang2 Tiongkok Islam berasal dari Yuan. Kiranya, Raden Rachmat alias Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel, yang dikatakan pulang dari Mekah sebelum ia berangkat ke Jawa, adalah salah satu seorang Tionghoa Yunan Islam, yg ikut serta dalam armada yang dipimpin oleh Cheng Ho pada thn 1431/1433 tersebut.
“Palembang, yg pada tahun 1397 jatuh di bawah kekuasaan Majapahit, direbut oleh armada Tiongkok dari rajakula (baca: Dinasti) Ming pada tahun 1407.
“Pada tahun itu juga, didirikan Masyarakat Tionghoa Islam di Sambas…
“Negara-negara pantai di Asia Tenggara dimasukkan dalam kekuasaan Laksamana Cheng Ho (Sam Po Bo).
Laksamana Sam Po Bo sangat giat membentuk masyarakat Islam Tionghoa di pelbagai kota Asia Tenggara yang dikuasainya.
“Kemudian, ia mengangkat Bong Tak Keng sebagai penguasa penuh di Campa untuk mengawasi perkembangan masyarakat Islam di Asia Tenggara.
“Untuk mempercepat proses pembentukan masyarakat Islam Tionghoa di Jawa, Bong Tak Keng memindahkan Ga Eng Cu dari Manila ke Tuban pada tahun 1419. Tuban merupakan kota pelabuhan yg sangat penting, karena Tuban menjadi pintu masuk dari lautan kerajaan Majapahit, yg pada waktu itu sudah mulai mengalami kemunduran.
“Swan Liong, kepala pabrik mesiu di Semarang yg mengaku keturunan raja Majapahit, dipindahkan ke Palembang, sebagai Kapten Cina untuk mengepalai masyarakat Tionghoa Islam di Palembang.
“Bong Swi Hoo (Sunan Ampel) pada tahun 1445 datang dari Campa, diperbantukan kepada Swan Liong di Palembang.
“Pada thn 1447, Bong Swi Hoo diangkat menjadi Kapten Cina di Bangil, di muara sungai kali Porong.”

Halaman 187-188: “(Demikian) semua kota pelabuhan di pantai utara, yg merupakan tempat berdagang dan urat nadi perekonomian kerajaan Majapahit, telah dikuasai oleh Tionghoa Islam dari Yunan.
“Sesuai dengan instruksi dari Tiongkok, mereka mengadakan hubungan politik dan hubungan dagang dengan negara2 tempat mereka menetap.
“Sebelum kedatangan mereka, tempat2 tersebut dimonopoli oleh para pedagang Majapahit. Dengan adanya masyarakat Tionghoa Islam di kota2 pelabuhan di pantai Jawa itu, sumber perekonomian Majapahit tersumbat. Majapahit telah dikepung oleh orang Tionghoa Islam dari laut.”

Berikutnya, “politik relasi”:

Halaman 188-189: “…putri2 Cina (barangkali ‘peranakan’ – a.k.)… dijadikan umpan untuk memancing para pembesar Majapahit.
“Jika kita boleh percaya pada berita dalam Serat Kanda, maka putri Cina itu dipersembahkan kepada raja Majapahit. Babah Bantong (Ban Hong) berpendapat bahwa hanya anak perempuannya yg pantas menjadi selir sang prabu. Sebagai ganti, ia meminta sebidang tanah kepada sang prabu demi kepentingan orang2 Tionghoa yg menetap di Jawa. Sang Prabu memberikan tanah di daerah Kedu.
“Dari penelitian, terbukti bahwa anak perempuan Babah Ban Hong ini yg melahirkan Jin Bun atau Raden Patah. Raden Patah adalah putra raja Majapahit Kog Ta Bu Mi, yakni raja Kertabhumi.
Hubungan antara Majapahit dan Tiongkok dibuka secara resmi pada tahun 1424. Pada masa pemerintahan Prabu Wikramawardhana alias Hyang Wisesa, ayah Swan Liong alias Arya Damar.
“Baru pada tahun 1475, datang lagi duta besar Tionghoa di keraton Majapahit. Duta besar itu tidak lain dari Kin San alias Raden Kusen dari Palembang, adik tiri Raden Patah alias Jin Bun. Ia diperintahkan oleh Bong Swi Hoo untuk bertindak sebagai mata-mata demi kepentingan masyarakat Tionghoa, memberikan segala keterangan seluk-beluk dalam kerajaan Majapahit, yg berguna bagi masyarakat Tionghoa.
“Kin San, yg memang sudah mendapat didikan matang dari Swan Liong, berhasil menggembirakan hati raja Kertabhumi. Demikianlah memang ada maksud dari pihak masyarakat Tionghoa Islam untuk merobohkan kekuasaan Majapahit, baik dari dalam maupun dari luar.


“Kerajaan Majapahit remuk dari dalam, dan jika telah tiba saatnya, akan ditekan dari luar.
“Serbuan tentara Islam Demak yg terdiri dari orang2 Tionghoa dan Jawa, yg telah masuk Islam sebagai pengikut Jin Bun (Raden Patah) dan Bong Shi Hoo terjadi pada tahun 1478.
“Majapahit telah kemasukan mata-mata Tionghoa (HARUS DIBACA: “PEMERINTAH CINA”, “KEKAISATAN Cina” – a.k.). tetapi tidak disadari. Mereka dianggap sebagai sahabat baik.

Memang banyak faktor yg turut mengambil andil dalam keruntuhan Majapahit, namun adalah ‘sebuah sarana’ yg digunakan untuk ‘menyelesaikan tugas dengan baik’, yaitu fanatisme agama, seperti yg dijelaskan oleh Mulyana:

Hal 189-190: “Orang Tonghoa (baca: Pemerintah Cina yg menggunakan kaki-tangan mereka di negeri kita sendiri) ingin meruntuhkan semangat dagang orang Majapahit dan merobohkan ekonomi kerajaan Majapahit. Mereka bermaksud merobohkan negara nasional Hindi-Jawa, dan kemudian mendirikan negara Islam di bawah pimpinan orang Tionghoa Asing/peranakan. Itlah maksud sebenarnya dari pembangunan masyarakat Islam.”

Jelas sudah bahwa ‘sentimen agama’ betul2 digunakan, ajaran agama diselewengkan dan disalahgunakan untuk meraih kekuasaan.
Apa yg oleh Mulyana disebut ‘negara nasional Hindu-Jawa’, lebih tepat bila diseburt ‘negara nasional saja’. Saya harus mengingatkan lagi bahwa di zaman itu istilah Hindu belum ada. Apa yang sekarang disalahartikan sebagai ‘agama’ Hindi, adalah budaya asal kita.

Masih bersama Mulyana di halaman yang sama: “Agama Islam dijadikan senjata ampuh untuk melawan kekuasaan nasional Majapahit. Agama Islam dihadapkan kepada agama Hindu. dengan tegas Raden Patah menolak Raden Kusen untk meneruskan perjalannya ke Majapahit dengan ucapan: “Saya sudah terlanjur memeluk Islam. Menurut keyakinan saya, itulah agama yang baik. Sayang keislaman saya, jika saya mengabdi kepada raja Majapahit yang kafir.” Dengan kalimat itu, pengarang Babad Tanah Jawi ingin menggambarkan dengan jelas inti persoalan pembentukan masyarakat Islam di Ngampel. Fanatisme agama dijadikan senjata ampuh bagi pengikut Bong Swi Hoo untuk memusnahkan agama Hindu yg disponsori oleh raja Majapahit.

Sayang, kita tidak belajar dari sejarah masa lalu.
Apa yang pernah terjadi dulu, hingga hari ini pun masih terjadi.
Isu2 tentang ‘kepala negara kafir’ hanya karena ia menghormati agama lain dan menghadiri sebuah upacara agama lain, masih tetap disebarluaskan demi kepentingan politik.
Bahkan pedukung seorang calon presiden pun pernah diisukan kafir supaya mereka yang merasa beriman tidak memilihnya. Komunitas2 eksklusif yg dibentuk berdasarkan ‘perbedaan agama’ masih tetap berlanjut.
Integrasi Nasional masih tetap harus diupayakan bila kita tidak menghendaki terulangnya sejarah Majapahit.

Kembali bersama Prof. Mulyana:

Hal 191-192: “Pangkat membawa kekuasaan; kekuasaan memberi kesempatan untuk memperoleh pengikut dan memperoleh sesuatu yang diinginkan. Untuk memperoleh derajat yg tinggi dalam masyarakat feodal Hindu-Jawa Majapahit, para pemuka Islam Tionghoa harus pandai melayani para pembesar, terutama raja Majapahit…
“Demikianlah Kapten Cina Gan Eng Cu… dianugerahi gelar Arya oleh Rani Suhita. Sekaligus Gan Eng Cu mengambil nama Jawa. Gelar dan nama lengkapnya lalu Tumenggung Wilatikta Arya Teja.
“Swan Liong mendapat gelar Arya, dan (atas usul Bong Swi Hoo), Jin Bun (Raden Patah) mendapat gelar Pangeran. Karena gelar itu, mereka memperoleh kehormatan di kalangan masyarakat… yang masih bersifat feodal. Dengan gelar itu, mereka lebih mudah memperoleh pengikut di antara pegawai kerajaan dan rakyat Majapahit…

“Pembukaan hutan belantara di Bintara oleh Jin Bun alias Raden Patah, yg pada hakekatnya adalah persiapan untuk merobohkan kekuasaan Majapahit, karena Raden Patah memperoleh gelar Pangeran dan pengakuan resmi oleh raja untuk mengerjakan pembukaan hutan itu, tidak ada yg mencurigai pekerjaan tersebut.
“Perbuatan Jin Bun itu pada hakikatnya adalah kegiatan rahasia atau kegiatan di bawah tanah untuk melawan kekuasaan Majapahit. Hadiah gelar2 itu dieksploitasi demi kepentingan masyarakat Islam Tionghoa.

“Swan Liong dan Jin Bun sebagai peranakan Tionghoa-Jawa, meskipun mereka putra raja Majapahit, hanya bekerja demi kepentingan masyarakat Tionghoa Islam. Pada mereka, tidak ada rasa kebangsaan sama sekali akan kejawaannya (baca: kebangsaan, ke-‘Indonesia’-annya – a.k.) meskipun pada waktu itu, raja Majapahit masih merupakan raja yg merdeka dan berkuasa di daerahnya…

Kemudian, masih di halaman 192, Mulyana memberi pendapatnya ttg watak dan pola pikir Raden Patah, “Dari pihak Tionghoa, Jin Bun mewarisi watak suka bekerja keras dan ulet serta ulet dalam segala usahanya.
“Dari pihak Jawa/Majapahit, ia mewarisi watak kepemimpinan.
“Dari Pergaulannya dengan Bong Swi Hoo (Sunan Ampel) sebagai ulama Islam, ia memperoleh fanatisme dlam keagamaan.
“Dari asuhan Swan Liong, Jin Bun memperoleh jiwa ketentaraan dan kepandaian menggunakan/ membuat senjata.
“Berkat keuletan dan kesungguhan kerja serta kepemimpinannya, dalam 3 tahun dia berhasil membuka hutan Bintara dan mengumpulkan pengikut lebih dari 1000 orang, yg telah dijiwai fanatisme agama.
“Kekuatan itu sudah cukup merebut kota Semarang pada tahun 1447, dari kekuasaan Tionghoa bukan-Islam, klenteng diselamatkan dari serbuan tentara Islam dari Demak dan menghindarkan sejauh mungkin kekejaman terhadap orang2 Tionghoa yang tidak beragama Islam. Jinbun, berkat kepemimpinannya, pandai membuat lawan menjadi kawan. Ia memerlukan tenaga dan kepandaian mereka di masa depan untuk mencapai cita2 merobohkan kekuasaan nasional Majapahit, dan kemudian mendirikan negara Islam yg mempunyai armada besar di pantai Jawa. Jin bun masih menunggu saat yg paling baik utk menyerbu Majapahit”

Persis seperti para politisi masa kini.
Tidak ada lawan, dan tidak ada kawan permanen dalam politik – yg ada hanyalah kepentingan sesaat!

Halaman 192-194: “Saat itu, tiba pada tahun 1478 ketika Bong Swi Hoo alias Sunan Ngampel wafat, Sunan Ngampel yg selalu menasehati agar jangan sekali-kali Jin Bun menggunakan kekerasan terhadap raja Majapahit, karena raja Majapahit tidak pernah mengganggu persebaran Agama Islam, telah mangkat.
“Orang berharap bahwa Jin Bun sebagai murid yg setia lagi tercinta, pasti melawat ke Ngampel. Alih2 melawat ke Ngampel, Jin Bun memimpin tentara Demak menyerbu Keraton Majapahit secara mendadak.
“Raja Majapahit sama sekali tidak menduga bahwa akan ada serangan musuh dari Demak. Oleh karena itu, tidak ada persiapan apa pun di pusat kerajaan Majapahit. Dengan mudah Jin Bun berhasil menawan Raja Kertabhumi, dan mengangkutnya ke Demak.
“Majapahit menyerah tanpa perlawanan, tanpa pertumpahan darah. Segala harta pusaka dan ube rampe kebesaran kerajaan Majapahit diangkut ke Demak sebanyak tujuh muatan kuda.
“Kim Sam, yg bertindak sebagai mata-mata di pusat kerajaan Majapahit selama 3 tahun, dibawa serta pulang ke Demak. Kota Majapahit tidak mengalami kerusakan apa pun. Seolah tidak terjadi apa2. Majapahit yg telah remuk dari dalam, rusak ekonomi dan akhlaknya, telah merosot semangatnya, secara mendadak ditekan dari luar, tidak sanggup mengadakan perlawanan.
“Majapahit yg telah berdiri selama 184 tahun, dan pernah mengalami masa kegemilangan dan pernah ditakuti serta disegani di segenap Nusantara, berhasil ditundukkan oleh seorang pemuda yg sedang berumur 23 tahun tanpa perlawanan, tanpa pertumpahan darah. Raja Kertabhumi diangkut ke Demak sebagai tawanan. Di Demak, diperlakukan dengan hormat, karena Kertabhumi adalah ayah pangeran Jin Bun.”

Slamet Mulyana mengutip dokumen2 yg ditemukan oleh Residen Poortman dari Kelenteng Sam Po Kong di Semarang…

Halaman 49: “Berdasarkan dokumen Tionghoa dari kelenteng Sam Po Kong di Semarang itu, Poortman mengutarakan bahwa Jin Bun , setelah ia berhasil menawan Raja Kertabhumi dan membawanya ke Demak, lalu mengangkat seorang Tionghoa bernama Nyoo Lay Wa sebagai penguasa di Majapahit.
“Namun pemerintah Nyoo tidak mendapat sambutan baik dari bekas rakyat Majapahit. Pada thn 1485, timbul pemberontakan anti-Tionghoa di pelbagai tempat di wilayah Majapahit. Pemberontakan itu memberi kesan sebagai balas dendam orang2 Jawa/Majapahit terhadap orang2 Tionghoa. Penguasa Nyoo terbunuh di pusat Majapahit.
“Sehabis itu Panembahan Jin Bun mengangkat iparnya yg dalam berita Tionghoa di Kelenteng Sam Po Kong disebut Pa Bu Ta La… Pa Bu Ta La adalah Girindrawardhana; nama Girindrawardhana tercantum dalam prasasti Jiyu dari tahun Saka 1408 atau tahun Masehi 1486. Nama kecilnya ialah Dyah Ranawijaya.”

Di tempat lain Slamet Mulyana memberi penjelasan lebih rinci tentang Girindrawardhana:

Halaman 193: “Dyah Ranawijaya Girinrawardhana, menantu raja Kertabhumi, diangkat oleh Jin Bun sebagai bupati atau raja bawahan Demak… Sebagai negara bawahan, Majapahit harus tunduk kepada pemerintah dan kemauan sultan Demak dan harus pula memberikan upeti setiap tahun.
“Sebagai negara bawahan Demak, Majapahit masih bertahan sampai 49 tahun di bawah pimpinan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana aliar Pa Bu Ta La.
“Baru pada tahun 1527, kerajaan Majapahit musnah dari permukaan bumi, karena dibumihanguskan oleh tentara Demak di bawah pimpinan Toh A Bo alias Sunan Gunung Jati, karena Dyah Ranawijaya Girindrawardhana mengadakan hubungan dagang dengan orang2 Portugis, musuh utama Negara Islam Demak.
Kerajaan Majapahit terpendam dalam abu sejarah.”

Kesimpulannya:
Kejayaan leluhur kita dihancurkan oleh orang Tionghoa Islam. Mereka menggunakan agama Islam sebagai senjata politiknya…
Penuh dengan taqqiya…!!!
Bahkan mereka tega menyerang orang Tionghoa sendiri yg bukan beragama Islam di Semarang…
Melalui tangan Raden Patah alias Jin Bun, mereka berhasil mendirikan kerajaan Demak yg hanya bisa bertahan sampai 70 tahun karena tidak mampu bersaing dagang dengan para pedagang Portugis.
Fakta sejarah ini sempat tertutup selama 37 tahun sejak buku ‘Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara’ –nya Slamet Muljana dibredel di tahun 1968…!!!


============

Ini mungkin salah satu penyebab kenapa ANAND KRISHNA Dibungkam Muslim

melainkan penuh dengan pergolakan, dialog tradisi yg rumit dan berliku, serta di
melainkan penuh dengan pergolakan, dialog tradisi yg rumit dan berliku, serta di Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static
1234567890
Posts: 3862
Joined: Sun Aug 09, 2009 2:31 am

Re: BUDAYA LELUHUR INDONESIA DIHANCURKAN OLEH TIONGHOA ISLAM

Post by 1234567890 »

nap.bon wrote:
Pokoknya asal Islam, semua jadi hancur. Ga hanya di Indonesia, tapi di mana-mana. India harus pecah gara-gara Islam. Cina sampai sekarang harus siaga di Barat Laut gara-gara Islam. Demikian pula Rusia harus jaga-jaga di Kaukasus gara-gara Islam. Konflik Sudan-pun harus terjadi karena amanah Islam terhadap pemerintah Sudan.
tambahan

thailand selatan rusuh gara gara "yahudi"
filipina ... di mindanao ... juga rusuh gara 2x "yahudi"

mali ... mayoritas "yahudi" ... ada kelompok "yahudi" extremist yang mau pecah kongsi

di eropa ... "yahudi" ngebom ngegarong memperkosa sana sini
di negara kapir, lagi lagi para "yahudi" itu kerjanya menuhin bui

israel, tiap hari direcokin "yahudi" ada "yahudi" nyang ngeroket lah ... ngebom lah sampai nyerang pos penjagaan

pokoknya ... dimana ada "yahudi" pasti ada kekacauan !!!!!!!!!
User avatar
keeamad
Posts: 6954
Joined: Tue Aug 23, 2011 4:06 pm

Re: BUDAYA LELUHUR INDONESIA DIHANCURKAN OLEH TIONGHOA ISLAM

Post by keeamad »

Sekedar masukkan, laksmana Cheng Ho tidak berperan secara langsung atau aktif dlm penyebaran islam di nusantara,
ntar gw akan bahas lebih dalam di trit laksamana cheng ho murtadin ....
Post Reply