Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ????

Benturan dan bentrokan antara Islam dengan agama-agama dan peradaban lain di seluruh penjuru dunia.

Apakah Anda Yakin Bahwa Mayoritas Penduduk indonesia Beragama Islam

tidak, Karena Sebagai Negara Berbhinneka Tunggal Ika , Mushtahil Mayoritas Penduduk indonesia memilik Islam
72
91%
ya, Saya Yakin Muslim Indonesia Sekitar 90%
7
9%
 
Total votes: 79

Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

UPDATE TErbaru, Berdasarkan Sensus tahun 2010 lalu

Post by Laurent »

Jumlah Umat Islam Indonesia Hanya 180 Juta Jiwa ?
Abdul Halim | Senin, 21 November 2011 | 14:18:38 WIB | Hits: 717 | 1 Komentar
Share |

Bogor (SI ONLINE) - Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan jumlah umat Islam Indoensia saat ini mencapai 180 juta jiwa. Pernyataan Menag itu tentu menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa jumlah umat Islam berkurang sedemikian banyak. Padahal sesuai dengan sensus penduduk tahun 2010 lalu, jumlah penduduk Indonesia 238 juta jiwa. Dengan demikian jumlah umat Islam Indonesia saat ini hanya 70 persen, padahal sensus tahun 2000 lalu masih 88 persen.

“Dengan jumlah umat Islam di Indonesia sekitar 180 juta jiwa, maka kebutuhan mushaf Al Quran mencapai sedikitnya 36 juta eksemplar dengan asumsi setiap kepala keluarga diharapkan mempunyai minimal satu mushaf Al Qur’an.”

Hal itu dikatakan Menag Suryadharma Ali dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof Dr Abdul Jamil MA pada HUT ke-3 Lembaga Percetakan Al Quran (LPQ) di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini.

Selanjutnya Menag Suryadharma Ali berharap, LPQ terus melakukan terobosan dan kemitraan dengan berbagai pihak dalam upaya memenuhi kebutuhan mushaf Al Quran yang merata dan terjangkau ke seluruh lapisan masyarakat Muslim seantero nusantara.

"Dengan meningkatnya kebutuhan dan kepemilikan Al Quran di kalangan umat Islam, saya meyakini hal itu akan berdampak positif terhadap meningkatnya pemahaman umat terhadap ajaran Islam,” ungkapnya.

Untuk itu diharapkan LPQ dapat meningkatkan mutu dan produktivitas pencetakan Al Quran yang mampu memenuhi kebutuhan mushaf Al Quran kepada seluruh lapisan masyarakat Muslim di tanah air dengan harga yang terjangkau atau di bawah harga pasar.

Menag mengatakan, HUT ke-3 LPQ merupakan momentum bagi lembaga ini untuk meneguhkan dan memperkuat komitmen dalam pemberantasan buta huruf Al Quran di kalangan umat Islam terutama para anak-anak dan remaja. "Saya berpendapat bahwa pengertian buta huruf Al Quran tidak hanya terbatas pada buta baca tulis Al Quran, melainkan juga dalam pengertian buta isi atau kandungan Al Quran," paparnya.

Untuk menjamin mutu pencetakan Al Quran dan menghindari kesalahan cetak, Menag berharap LPQ bekerjasama dengan Lajnah Pentashih Al Quran terus meningkatkan standar mutu tinggi dan pengawasan yang ketat, sehingga LPQ menjadi lembaga yang amanah dan kredibel serta menjadi rujukan utama dalam pengembangan pencetakan Al Quran tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia muslim lainnya.

Direktur LPQ, Samidin Nashir mengatakan untuk menjadi lembaga penerbitan dan pencetakan Al Quran yang dibanggakan umat Islam Indonesia tentu masih memerlukan perjuangan dan kerja keras. "Sebenarnya kapasitas yang kami miliki dalam satu tahun bisa mencetak 1.000.000 eksemplar. Namun karena terterbatasan SDM, dalam tiga tahun ini kami baru mencetak Al Quran sebanyak 1.850.000 eksemplar," ujar Samidin. (*)

Red: Abdul Halim

Sumber: Kemenag

http://www.suara-islam.com/read3847-Jum ... iwa--.html
walet
Posts: 5858
Joined: Wed Feb 11, 2009 4:52 am
Contact:

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by walet »

Alhamduladi, 10% itu akibat baca FFI.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by Laurent »

Orang yang berktp ISlam bahkan bernama Arab pun belum tentu beragama Islam Lho. Untuk lebih jelasnya , silahkan ke link ini :

http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... ki-t47614/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by Laurent »

Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by Laurent »

satu lagi , bagaimana islam di indonesia menjadi mayoritas pasti mencengangkan anda

http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... ia-t44536/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by Laurent »

Asvi Warman Adam: Agama Mesti Menjadi Medium Pembebasan
OPINI | 20 January 2012 | 10:42 Dibaca: 167 Komentar: 0 Nihil

1327030805353704943
Dalam usaha mempertahankan kolom agama itu, memang tersirat keinginan terselubung untuk mempertahankan image Islam sebagai agama mayoritas. Makanya kadang muncul angka-angka yang sakral, seperti 80 sampai 90% penduduk Indonesia beragama Islam. Tapi sekali lagi, untuk apa angka-angka itu? Lebih baik angka-angka itu diterjemahkan ke dalam upaya-upaya lebih produktif, seperti proses pemberantasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan. Jadi kita tidak terpaku mempertahankan angkanya itu sendiri.
Proses pergaulan lintas agama atau budaya yang telah dijalankan seseorang sejak dini akan ikut mendorong terbentuknya watak toleran pada diri seseorang. Kekhawatirkan bahwa pergaulan semacam itu akan mencairkan keyakinan seseorang juga tidak selamanya terbukti. Paling tidak itulah yang ditunjukkan Dr. Asvi Warman Adam, sejarawan dan peneliti LIPI, kepada Burhanuddin dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK). Dalam perbincangan Kamis (5/5/2005) itu, Asvi mengutarakan pandangannya tentang apa makna dan bagaimana seharusnya peran agama dalam kehidupan umat beragama. Berikut petikannya.
Bung Asvi, bagaimana agama diajarkan pada Anda sejak kecil?
Saya seperti hidup dalam dua dunia. Sejak kecil, saya hidup di lingkungan Muhammadiyah. Keluarga dan paman saya merupakan pengurus Muhammadiyah Bukittinggi, Sumatera Barat. Salah seorang kakak saya juga pernah terlibat PRRI, sebuah pemberontakan yang jelas-jelas anti-komunis. Tapi di lain pihak, saya justru disekolahkan di sekolah Katolik. Sore atau malam saya mengaji Alqur’an di masjid, siangnya justru belajar pada guru-guru yang terdiri dari para suster atau pastur. Sekolah saya memang berada di komplek samping gereja.
Mengapa Anda menempuh pendidikan di sekolah Katolik?
Pada waktu itu, sekolahan yang sangat baik di daerah saya khususnya, adalah sekolah Katolik. Jadi yang dilihat orangtua saya ketika itu adalah soal disiplin, kualitas, dan cara berpikir sistematis yang diajarkan di sekolah tersebut. Sementara untuk soal agama diajarkan di rumah ataupun di masjid.
Jadi Anda sudah merasakan aura pluralisme beragama sejak kecil, ya?
Betul. Sejak TK sampai SMA, saya memang di sekolah Katolik. Jadi, selama 9 tahun lebih, saya berada di lingkungan Katolik, bergaul atau mengenal tentang kekatolikan, dan sedikit banyak telah bergaul dengan teman-teman etnis Tionghoa. Menurut saya, memang ada aspek pluralitas di sana. Dan di sekolah itu tentu lebih banyak yang non-muslim. Pada waktu itu juga, sekolah-sekolah Katolik juga bisa dimasuki kalangan etnis Tionghoa.
Sebagai minoritas di sekolahan, apakah Anda merasa didiskriminasi?
Kadang-kadang memang ada perlakuan kurang baik. Tapi saya tidak bisa menyebut itu perlakuan diskriminatif. Pengajaran agama Islam memang tidak diberikan di sekolah, tapi diberi di luar sekolah dan pada jam luar sekolah. Itulah kebijakan sekolah Katolik pada masa itu. Tapi yang saya sayangkan dari pengajaran agama Islam di luar sekolah kala itu justru bukan tempatnya, tapi cara pengajarannya. Pola pengajaran yang diberikan pada kami sejak SD sampai SMA, tidak banyak berbeda dengan apa yang saya terima di masjid atau sewaktu mengaji. Jadi tidak ada nilai tambah dari pengajaran itu. Di samping itu, cara mengajarkannya juga membosankan, terlalu didaktik, dan lebih banyak menghafal ayat atau semacamnya.
Setamat SMA, kemana Anda melanjutkan pendidikan?
Setamat SMA, saya sempat kuliah di Yogyakarta. Waktu itu saya juga sempat tinggal beberapa bulan di asrama Katolik, Realino. Yang ingin saya sampaikan adalah, selama belasan tahun di sekolah Katolik, bahkan bermukim di asrama Katolik, saya tidak pernah menjadi Katolik. Saya tetap seorang penganut Islam, dan menjalankan ibadah sesuai syariat. Ketika merantau ke Perancis tahun 1984 dan bermukim selama enam tahun di sana, saya juga tetap menjalankan ibadah Islam. Saya tetap sembahyang, walau lebih sering tidak 5 waktu karena berbagai alasan. Tapi puasa saya tetap penuh, meski jamnya jauh lebih panjang. Jadi, tidak ada halangan bagi saya untuk menjalankan ibadah sesuai agama yang saya anut, walau berada di lingkungan yang mayoritas tidak beragama Islam.
Bagaimana Anda menjalankan Islam selama di Perancis yang dikenal sekuler itu?
Tidak ada persoalan, karena tidak ada larangan beribadah, walaupun ada kesulitan-kesulitan teknis seperti dalam menyelenggarakan salat Jum’at. Tapi itu semua bisa dilakukan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Yang unik, ketika kami masih berstatus mahasiswa di sana, yang memberi khutbah justru calon doktor yang sedang menempuh pendidikan di sana. Khutbah yang disampaikan para ilmuwan atau calon ilmuwan itu, menurut saya jauh lebih bermutu dibandingkan khutbah-kutbah yang pernah saya dengar ketika kembali ke Tanah Air, tahun 1990.
Karena itu, saya selalu kecewa dengan khutbah Jum’at yang pernah saya dengar, misalnya di kantor atau di tempat lain. Menurut saya, khutbahnya seringkali tidak sistematis dan melelahkan para pendengar. Karena itu, reaksi yang saya ambil kadang-kadang: tetap salat Jum’at, tapi datang telat waktu. Saya tetap salat Jum’at, tapi datang di penghujung khutbah.
Selain materi khutbah yang kurang menarik, apakah juga ada aura kebencian yang ditebar melalui khutbah?
Itu juga salah satunya. Tapi yang juga tidak kalah penting, pengajaran agama di kita memang tidak disampaikan secara cerdas. Pengalaman saya berhadapan dengan guru-guru dari kalangan pastur sejak SD sampai SMA menunjukkan bahwa cara mereka berpikir dan menjelaskan persoalan memang lebih sistematis. Saya membandingkan itu dengan khutbah Jum’at yang kalaupun berisi bagus tetap saja melantur ke mana-mana. Kadang malah panjang-panjang, terkadang sampai satu jam. Padahal, khutbah Jum’at biasanya disampaikan saat orang sedang menjalankan jam kerja. Bagi saya, lebih baik khutbah yang singkat dan jelas inti pesannya. Itu akan jauh lebih efektif ketimbang bercerita tentang berbagai hal yang kadang-kadang justru tidak masuk akal.
Dalam sudut pandang Anda, bagaimana mestinya peran agama di masyarakat?
Bagi saya, agama mestinya berperan sebagai medium pembebasan, bukan medium penindasan. Kalau agama ikut berperan dalam menindas, termasuk menindas penganut agama lain, itu bukan lagi agama bagi saya. Kalau saya mengandaikan agama sebagai medium pembebasan, lalu apakah itu berarti perlu melakukan peledakan bom atau semacamnya? Apakah fundamentalisme dalam artian membuat, merakit dan meledakkan bom, masih dapat dianggap medium pembebasan? Saya tidak melihatnya begitu. Itulah pandangan saya tentang kelompok-kelompok yang biasa disebut kalangan radikal. Tapi selama mereka tidak mengganggu orang lain, tentu tidak ada persoalan. Tapi kalau sudah menimbulkan kerugian di masyarakat, itu jelas sesuatu yang tidak dikehendaki Islam.
Sebagai sejarawan, Anda telah ikut mendekonstruksi pengetahuan sejarah kita tentang pemberontakan G30S-PKI. Pertanyaan saya, apakah dalam sejarah kita PKI benar-benar bermusuhan dengan agama?
Saya beranggapan, bukan PKI sebagai partai yang menjadi dalang peristiwa G30S PKI. Selama ini, berawal dari tuduhan itulah proses penindasan terjadi terhadap orang-orang, keluarga dan keturunan yang dianggap atau dicap terlibat PKI. Itu menurut saya tidak pantas dilakukan. Bagi saya, permusuhan antara kelompok Islam dan kalangan komunis di Indonesia, sebetulnya dimulai sejak tahun 1948, tepatnya ketika terjadinya peristiwa Madiun. Waktu itu, isu yang berkembang adalah pembantaian terhadap para kiai. Tapi yang penting dikemukakan di sini, pembunuhan itu sebetulnya terjadi pada kedua belah pihak. Ada pimpinan agama yang dibunuh, tapi banyak juga pimpinan PKI yang dibunuh.
Jadi tidak tepat kalau dikatakan bahwa di masa itu hanya ada pembantaian para kiai. Sebaliknya, banyak orang-orang kiri yang dibunuh. Pengetahuan sejarah seperti ini bagi saya sangat penting, karena permusuhan biasanya berawal dari kesalahpahaman seperti itu. Bagi saya, permusuhan antara kalangan Islam dan komunis di Indonesia lebih banyak karena faktor politik, bukan karena faktor ideologi. Saya mengatakan demikian karena menjelang pemilu 1955, tepatnya bulan Desember 1954, Masyumi mengeluarkan fatwa bahwa komunisme sama dengan atheisme. Apa artinya fatwa itu? Itu adalah semacam black campaign atau kampanye hitam atas PKI, karena pemilu akan berlangsung beberapa bulan kemudian. Karena konteks sejarahnya seperti itu, saya mengatakan permusuhan antara agama dan PKI lebih banyak karena persoalan politik.
Apakah karena konteks pertarungan politik itu juga kartu identitas bernama KTP mesti memuat kolom tentang agama yang dianut orang Indonesia?
Sebelum tahun 1965, sebetulnya di KTP kita dicantumkan dua hal: kolom suku-bangsa, dan kolom agama. Tapi setelah tahun 1965, ada anggapan bahwa kita tidak lagi mementingkan kesukuan. Karena itu dihapuslah kolom suku bangsa. Itu terjadi di zaman Soekarno. Jadi dalam sejarahnya dulu, KTP kita memuat keterangan tentang suku Jawa, Minangkabau, atau Batak. Kadang-kadang cara menentukan status kesukuan orang yang kawin campur antar suku agak membingungkan juga. Karena itu, harus dipilih salah satunya untuk dicantumkan di KTP. Tapi setelah dipandang tidak relevan lagi, kolom itu lalu dihapuskan.
Sayangnya, kolom agama tidak pernah dihapus. Padahal menurut saya, soal ini juga punya dampak negatif. Sebab dengan melihat agama yang dianut pemilik KTP, pasti akan muncul sentimen keagamaan tertentu. Misalnya, kalau sedang melamar pekerjaan, akan muncul perasaan: “Wah, ini agamanya Katolik; kalau begitu kita terima saja!” Atau, “Yang ini Islam. Kita terima karena seagama dengan kita!” Manajer-manajer perusahaan akan selalu mempertimbangkan faktor agama. Padahal, apa gunanya? Bagi saya, lebih penting kalau di KTP kita dicantumkan golongan darah saja. Kalau terjadi kecelakaan, orang gampang melihat golongan darahnya untuk mempercepat proses penyelamatan.
Apa alasan pemerintah tetap mempertahankan kolom agama meski kolom suku-bangsa sudah dihapus?
Saya tidak tahu apa ada keberatan dari kelompok tertentu atau tidak. Mungkin alasannya, dengan tetap mencantumkan kolom agama, kita bisa berhitung sekaligus mempertahankan status Islam sebagai agama mayoritas. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, apa gunanya? Mungkin lebih banyak mudarat dari pada manfaatnya.
Apa terkait dengan kasus G30S-PKI, sehingga orang perlu memantapkan status agamanya?
Barangkali ada kaitannya dengan itu, karena waktu itu memang ada keinginan untuk membedakan apakah seseorang beragama atau tidak. Tapi setahu saya, orang-orang PKI itu mayoritas beragama Islam meski mungkin abangan. Tapi bagaimanapun juga, apalah guna pencantuman itu? Pada tahun 1965, memang ada peristiwa yang menarik secara statistik. Dalam sebuah artikel pernah disebutkan bahwa telah terjadi pelonjakan beberapa juta penganut Kristiani di Indonesia. Pertanyaannya ketika itu: apakah memang telah terjadi proses kristenisasi yang massif? Rupanya tidak! Banyak orang di masa itu yang sengaja memilih agama Katolik atau Protestan dalam kolom agama di KTP-nya dengan alasan-alasan tertentu. Jadi hanya sekedar itu. Tapi sekali lagi, apa gunanya?
Menurut hemat saya, dalam usaha mempertahankan kolom agama itu, memang tersirat keinginan terselubung untuk mempertahankan image Islam sebagai agama mayoritas. Makanya kadang muncul angka-angka yang sakral, seperti 80 sampai 90% penduduk Indonesia beragama Islam. Tapi sekali lagi, untuk apa angka-angka itu? Lebih baik angka-angka itu diterjemahkan ke dalam upaya-upaya lebih produktif, seperti proses pemberantasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan. Jadi kita tidak terpaku mempertahankan angkanya itu sendiri.
Sebagai sejarawan, bagaimana agama memaknai hidup Anda?
Saya sangat terbantu dan tertolong oleh agama. Agama menurut saya merupakan suatu medium atau wahana yang mengatur hubungan saya dengan Tuhan dan manusia. Istilahnya menjaga hablun minalLâh dan hablun minannâs. Saya merasa tidak bisa berdiri sendiri; selalu ada Tuhan dan yang lebih berkuasa dari saya sendiri. Dan, Dialah tempat saya mengadu kalau saya sedang mengalami sesuatu yang tidak bisa saya pecahkan sendiri. Agama juga ikut mengatur hubungan saya dengan manusia lain.
Tapi saya juga merasa bahwa di Indonesia, yang lebih dipentingkan atau ditonjolkan justru soal hubungan ritual manusia dengan Tuhan. Sementara hubungan sosial atau hubungan manusia dengan manusia kurang sekali mendapat perhatian. Orang ribut soal sah tidaknya salat dua bahasa, tapi tidak ribut ketika di sepanjang jalan ada yang memasang drum demi meminta sumbangan masjid, sekalipun menyebabkan macetnya lalulintas. Padahal, mereka yang memakai label agama itu jelas-jelas telah mengganggu secara sosial.
Orang ribut soal salat dua bahasa, padalah Tuhan mengerti semua bahasa, ya?
Betul. Kalau berdoa, saya sendiri selalu menggunakan bahasa Indonesia. Sebab itulah bahasa yang saya kuasai. Bahasa Arab yang saya kuasai sangat terbatas pada doa-doa seperti Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah. Hanya itu saja. Kalau di masjid ada pembacaan do’a dalam bahasa Arab, sejauh saya ketahui artinya, saya akan amini. Tapi kalau saya tidak mengerti, saya tidak akan amini. Sebab, saya tidak akan memberi cek kosong kepada sang imam, karena dia bisa berdoa apa saja. Karena itu, saya hanya akan mengamini doa-doa yang saya ketahui artinya.

http://sosok.kompasiana.com/2012/01/20/ ... embebasan/
User avatar
betdaniel99
Posts: 2252
Joined: Thu May 22, 2008 9:55 pm

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by betdaniel99 »

Numpang nandain thread..

Shukran.
Tattoo
Posts: 59
Joined: Sun Jan 23, 2011 8:23 pm

Re: UPDATE TErbaru, Berdasarkan Sensus tahun 2010 lalu

Post by Tattoo »

Laurent wrote:Jumlah Umat Islam Indonesia Hanya 180 Juta Jiwa ?
Abdul Halim | Senin, 21 November 2011 | 14:18:38 WIB | Hits: 717 | 1 Komentar
Share |

Bogor (SI ONLINE) - Menteri Agama Suryadharma Ali menegaskan jumlah umat Islam Indoensia saat ini mencapai 180 juta jiwa. Pernyataan Menag itu tentu menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa jumlah umat Islam berkurang sedemikian banyak. Padahal sesuai dengan sensus penduduk tahun 2010 lalu, jumlah penduduk Indonesia 238 juta jiwa. Dengan demikian jumlah umat Islam Indonesia saat ini hanya 70 persen, padahal sensus tahun 2000 lalu masih 88 persen.

“Dengan jumlah umat Islam di Indonesia sekitar 180 juta jiwa, maka kebutuhan mushaf Al Quran mencapai sedikitnya 36 juta eksemplar dengan asumsi setiap kepala keluarga diharapkan mempunyai minimal satu mushaf Al Qur’an.”

Hal itu dikatakan Menag Suryadharma Ali dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof Dr Abdul Jamil MA pada HUT ke-3 Lembaga Percetakan Al Quran (LPQ) di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, baru-baru ini.

Selanjutnya Menag Suryadharma Ali berharap, LPQ terus melakukan terobosan dan kemitraan dengan berbagai pihak dalam upaya memenuhi kebutuhan mushaf Al Quran yang merata dan terjangkau ke seluruh lapisan masyarakat Muslim seantero nusantara.

"Dengan meningkatnya kebutuhan dan kepemilikan Al Quran di kalangan umat Islam, saya meyakini hal itu akan berdampak positif terhadap meningkatnya pemahaman umat terhadap ajaran Islam,” ungkapnya.

Untuk itu diharapkan LPQ dapat meningkatkan mutu dan produktivitas pencetakan Al Quran yang mampu memenuhi kebutuhan mushaf Al Quran kepada seluruh lapisan masyarakat Muslim di tanah air dengan harga yang terjangkau atau di bawah harga pasar.

Menag mengatakan, HUT ke-3 LPQ merupakan momentum bagi lembaga ini untuk meneguhkan dan memperkuat komitmen dalam pemberantasan buta huruf Al Quran di kalangan umat Islam terutama para anak-anak dan remaja. "Saya berpendapat bahwa pengertian buta huruf Al Quran tidak hanya terbatas pada buta baca tulis Al Quran, melainkan juga dalam pengertian buta isi atau kandungan Al Quran," paparnya.

Untuk menjamin mutu pencetakan Al Quran dan menghindari kesalahan cetak, Menag berharap LPQ bekerjasama dengan Lajnah Pentashih Al Quran terus meningkatkan standar mutu tinggi dan pengawasan yang ketat, sehingga LPQ menjadi lembaga yang amanah dan kredibel serta menjadi rujukan utama dalam pengembangan pencetakan Al Quran tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia muslim lainnya.

Direktur LPQ, Samidin Nashir mengatakan untuk menjadi lembaga penerbitan dan pencetakan Al Quran yang dibanggakan umat Islam Indonesia tentu masih memerlukan perjuangan dan kerja keras. "Sebenarnya kapasitas yang kami miliki dalam satu tahun bisa mencetak 1.000.000 eksemplar. Namun karena terterbatasan SDM, dalam tiga tahun ini kami baru mencetak Al Quran sebanyak 1.850.000 eksemplar," ujar Samidin. (*)

Red: Abdul Halim

Sumber: Kemenag

http://www.suara-islam.com/read3847-Jum ... iwa--.html
Wah jika 36 juta eksemplar alquran tersebut dicetak dalam Bahasa Indonesia pasti akan lebih paham lagi dan menjadikan bangsa ini terbebas dari Islam dengan asumsi 1 keluarga teridiri dari 5 orang.
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by Laurent »

Arogansi Keagamaan dalam Kemasan Statistik Kolom: HD. Haryo Sasongko

Sejak kapan seseorang merasa memiliki hak veto untuk menyalahkan bahkan menghukum orang lain yang tidak seagama, tidak seiman atau tidak sama kepercayaannya? Sejak kapan pula komunitas pemeluk suatu agama yang menurut statistik paling banyak pengikutnya berhak mengklaim sebagai "golongan mayoritas" dan memperlakukan komunitas pemeluk agama lainnya sebagai "golongan minoritas" dan karena itu yang pertama merasa lebih unggul dari yang kedua?

Agama, atau kepercayaan, atau spiritualisme atau apa pun namanya, adalah suatu keyakinan yang bersifat personal. Karena itu, keberadaan seorang pemeluk agama atau penghayat kepercayaan yang bukan agama di tengah masyarakat tak bisa diukur secara statistik. Celakanya, sudah lama kita justru membuat pengelompokan keberagamaan masyarakat berdasarkan statistik. Munculnya teminologi, simbol-simbol dan istilah "mayoritas" dan "minoritas" dalam keberagamaan itu pun akibat hasil sensus penduduk yang kemudian dijadikan acuan laporan statistik. Padahal, hasil sensus, khususnya yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan, dasarnya adalah pengakuan. Agama apa yang diaku dipeluknya, itulah yang kemudiana dicatat petugas sensus.

Karena orang sudah "digiring" untuk "harus beragama", maka orang cenderung memilih jalan pintas yang aman dengan menyebut agama tertentu sebagai "pilihan"nya bukan karena dia memang mengikuti ajaran agama itu melainkan karena takut disebut "tidak beragama". Di negeri kita, tampaknya memang ada semacam pemahaman, bahwa setiap orang "harus beragama" sebagai penjabaran dari pengertian bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Posisi "tidak beragama" sudah merupakan hal yang tabu dan bahkan "terlarang" di negeri yang berlandaskan Pancasila ini. Lebih-lebih, karena "tidak beragama" bisa diidentikkan sebagai "atheis" atau malah dicap "komunis" yang masih menjadi momok.

Padahal, percaya pada Tuhan tidak berarti harus percaya pada suatu agama atau harus beragama. Banyaknya aliran kepercayaan kepada Tuhan yang dianut atau dihayati oleh banyak orang di negeri kita menunjukkan banyak orang yang mempercayai bahkan menyembah Tuhan tetapi apa yang dilakukannya tidak termasuk laku agama apa pun bahkan mereka tidak merasa memeluk agama apa pun. Tetapi jelas mereka bukan orang atheis. Kalau di masyarakat tradisional banyak ditemukan aliran kepercayaan bukan agama, di kalangan masyarakat modern (di seluruh dunia) banyak dikenali apa yang biasa disebut sebagai kalangan The New Age. Banyak pula gerakan "agama baru" atau new religious movements yang tidak termasuk dalam agama-agama yang kita kenali selama ini. Agama mereka adalah tanpa agama. Religion mereka adalah a religion. Salahkah mereka yang memilih untuk tidak memilih agama, seperti halnya salahkah mereka yang memilih untuk tidak memilih tanda gambar dalam pemilihan umum? Kita boleh tidak setuju, tetapi tidak berhak untuk mengklaim mereka yang salah dan kita yang benar. Lebih-lebih, lalu mengadilinya.

Yang kemudian menjadi masalah, akibat banyak orang yang mencantumkan status keagamaannya di KTP secara asal-asalan demi agar tidak mendapat cap "tidak beragama" dan karena memang tidak ada kolom lain yang bisa diisi, misalnya "Kepercayaan", maka muncullah suatu agama yang berdasarkan hasil sensus dipeluk banyak orang, mungkin sampai 90% dari seluruh jumlah rakyat Indonesia ini, dan lalu para "pemeluk"nya mendapat predikat "golongan mayoritas".

Ketika pada tahun 1978 dikeluarkan TAP MPR No. IV tentang GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), pernah timbul polemik dan perdebatan cukup sengit karena dicantumkannya "Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa". Dalam GBHN tesebut jelas ada pemisahan antara "pemeluk agama" dan "pemeluk aliran kepercayaan" yang harus sama-sama dihargai keberadaannya. Dan inilah yang tidak dapat diterima oleh pemeluk agama, khususnya Islam. Kenapa? Sudah jelas andaikata para penghayat kepercayaan itu konsisten untuk tidak mencantumkan Islam sebagai "agama"nya, maka angka statistik pemeluk agama Islam di negeri kita akan turun drastis bahkan mungkin posisi "golongan mayoritas" pun tak ada lagi. Selama ini yang ada sebenarnya adalah gambaran semu di mana sebutan Indonesia sebagai "negara dengan umat Islam terbesar di dunia" karena adanya "dukungan" dari jutaan para pemeluk "Islam KTP" atau "Islam Statistik".

Andaikata umat Islam memang mencapai "mayoritas", bahkan disebut-sebut menduduki posisi 90 atau 95% dari total jumlah penduduk Indonesia, maka partai Islam yang mengikuti pemilu logikanya pasti menang. Tetapi bagaimana kenyataannya? Sejak pemilu pertama tahun 1955 dan pemilu 1999 (pemilu selama Orde Baru tak usah diperhitungkan karena penuh rekayasa), partai Islam tak pernah menang. Pemilu 1955 pemenangnya PNI (nasionalis). Demikian juga dalam pemilu 1999, kembali pemenangnya adalah PDI-P (nasionalis). Bila jumlah pemilih partai-partai Islam dalam pemilu 1999 digabung, tetap masih kalah banyak bila dibandingkan dengan jumlah pemilih PDI Perjuangan yang jelas bukan partai Islam. Usulan memasukkan kembali Syariat Islam dalam UUD 1945 pun selalu kandas bukan karena ditolak oleh mereka yang tidak beragama Islam (yang jumlahnya hanya 5-10%), melainkan justru ditolak oleh "umat Islam" sendiri. Di sini pengertian "umat Islam" bisa berarti benar-benar orang beragama Islam yang menghargai pluralisme dan karena itu menolak Islam struktural, tetapi bisa juga penolakan ini terutama datang dari "Islam KTP" dan "Islam Statistik" itu tadi yang selama ini mungkin menduduki posisi mayoritas dalam "golongan mayoritas".

Jelas, klaim Indonesia sebagai "negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia" dan juga klaim bahwa "90% rakyat Indonesia beragama Islam" bukan saja tidak rasional tapi juga tidak proporsional. Semua ini merupakan data keagamaan yang dikemas oleh "fakta" statistik yang tidak faktual dan karena itu dapat menyesatkan. Tetapi selama ini pula "ketersesatan" tersebut justru telah menjadi komoditas kepentingan politik tertentu dengan mengatasnamakan "golongan mayoritas". Berbagai tindakan kekerasan, berbagai bentuk konflik keagamaan, pemaksaan kehendak, sweeping terhadap segala sesuatu yang dianggap salah dan bentuk-bentuk arogansi lainnya yang bermunculan yang selama ini terjadi, semua itu tidak terlepas karena adanya superioritas sebagai "golongan mayoritas".

Karena itu, demi tegaknya pluralisme demokrasi sebagai kenyataan konkit dalam kehidupan masyarakat Indonesia, "ketersesatan statistik" ini harus segera diakhiri. Terminologi dan simbol-simbol "mayoritas-minoraitas" harus didevaluasi. Keberagamaan dan ketidakberagamaan serta kepercayaan harus dikembalikan pada fungsinya sebagai suatu keyakinan pribadi yang harus dihormati dan tak dapat dicampuri, juga ditunggangi, oleh kepentingan politik mana pun. Tirani jiwa dan pemasungan hak asasi harus diakhiri dengan saling hormat-menghormati berasaskan setuju dalam perbedaan. Agree in disagreement. Dalam masalah kepercayaan, tak ada yang boleh ditundukkan dan bisa menundukkan. Pluralisme keagamaan tidak boleh mengarah pada political arrangement di mana kekuasaan mengambil peranan intervensi dan melakukan marjinalisasi dengan "mengakui" atau "tidak mengakui" suatu agama atau kepercayaan tertentu, meskipun hanya dianut oleh segelintir orang.

* * *
http://groups.yahoo.com/group/gandi/message/2389
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by Laurent »

http://victorfukkaz.blogspot.com/2009/0 ... agama.html

Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam? Bener ga?
Well, sebenarnya tanpa disurvey pun sebenarnya indikasi mayoritas orang Indonesia beragama Islam sudah bisa dirasakan dan dilihat di sekitar lingkungan tinggal kita, di hampir seluruh penjuru republik. Greeting Assalam-Wasalam sudah sering kita denger baik di kehidupan sehari-hari maupun dari media televisi atau radio, Masjid berdiri di hampir setiap perkampungan, apalagi kegiatan umat Muslim semakin menonjol di bulan puasa ini. Namun apakah survey-survey skala nasional mengenai berapa persen dari berapa juta penduduk itu menunjukkan hasil yang fair?
Pengalaman pribadi saya mengatakan TIDAK FAIR. Aku memang bukan pemeluk Islam, Aku juga tidak memeluk Hindu, Katolik, Kristen ataupun Buddha. Aku dilahirkan di keluarga Muslim, jadi wajar saja dulu Aku Islam, hingga suatu ketika Aku mencapai titik nalar pribadi dan meninggalkan segala jenis atribut agama. Kembali ke pernyataanku mengenai ketidak adilan survey atau kepincangan lembaga survey mengenai jumlah persen penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam, dimana Aku sebenarnya tidak mengetahui dengan persis bagaimana proses survey berlangsung, tapi Aku yakin hanya sebatas penarikan kesimpulan data dari biro statistik kependudukan terutama dalam hal administrasi kependudukan seperti KTP, KK, Surat Nikah dan lain lain. Mengapa Aku bilang surveynya tidak fair? Mengapa pincang? Aku punya pengalaman pribadi mengenai kepincangan lembaga administrasi negara saat Aku mengurus KTP baru karena KTP lamaku sudah habis. Mengikuti aturan, Aku mengajukan dari tingkat RT lalu ke RW, Kelurahan dan seterusnya. Tanpa ada dramatisasi, kehebohan pribadiku sudah dimulai di tingkat RT, dimana pengajuan formulir KTP ku ditolak dan disarankan untuk diganti atau ditulis kembali, karena di kolom agama Aku isi Buddha. Pak RT sepertinya sudah tau kebusukan lembaga administrasi negara mengenai susahnya merubah agama dari KTP lama yang sebelumnya Islam menjadi KTP baru dengan agama selain Islam. WOW! bukankah negara ini menjamin kebebasan beragama? Walaupun dilihat dari sudut manapun Aku hanya sekedar iseng mengganti agamaku di KTP baru menjadi Buddha, jaminan negara hanyalah omong kosong belaka. Aku tulis ulang formulir KTP lalu mengajukan lagi ke pak RT, lagi lagi ditolak dan anehnya diminta untuk menulis kolom agama dengan isian Islam saja biar lebih mudah mengurusnya nanti. Bahkan pak RT akhirnya cerita hal yang sama mengenai pengurusan KTP beliau pada saat menikah dahulu. Setauku pak RT memang beragama Katolik namun menikah dengan seorang wanita Islam, dan menikah di KUA secara Islam juga. Jadi pak RT menyarankan agar Aku, seorang Victor yang selalu melawan arus, untuk ikut arus saja. Akhirnya Aku memutuskan untuk berhenti saat itu juga, toh juga tidak ada razia KTP di kota sendiri. Beberapa waktu kemudian, Aku iseng coba menemui makelar KTP di kelurahan tempat tinggalku, makelar ini juga orang dalam kantor kelurahan, biasanya cukup memberi imbalan minimal 20 ribu dan fotokopi KK, dan pas foto, KTP baru akan diantarkan ke rumah model delivery service. Setelah saya lampirkan fotokopi KK, pas foto dan tips 20 ribu rupiah, sang makelar mengatakan KTP baruku akan diantar paling lambat 3hari. Sesaat kemudian Aku merogoh dompet dan menambahkan "imbalan" 50 ribu lagi. Makelar tersebut kaget dan sedikit kebingungan, lalu dia bilang untuk apa uang 50 ribu itu, Aku jawab buat ganti agamanya ke Buddha. Anehnya uang tersebut dia kembalikan dan bilang tidak bisa. Aku sodorkan lagi dan bilang ya sudah ganti apa aja yang penting diganti ke selain Islam, dia kembali menolak dan bilang ikut arus saja mas. Lagi lagi aku mendengar kata "ikut arus" sama seperti kata-kata pak RT yang sesaat itu juga mengiang di kepala. Apa arus yang harus Aku ikuti? Seperti inikah sistem birokrasi negara Indonesia? Dimana letak kebebasan memilih agama bila agama di KTP saja harus "ikut arus" agar besaran persen penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak menurun dan justru bertambah. Banyak sekali komunitas Chinese di sekitar tempat tinggalku yang memilik KTP beragama Islam padahal mereka tidak berkeyakinan Islam. Merekalah sedikit contoh korban sistem "ikut arus" tanpa memperjuangkan hak nya untuk bisa memiliki KTP sesuai keyakinan masing masing. Sadar ga sadar, di kota kecil seperti Magelang saja sudah serumit ini, apalagi di kota yang memiliki adat, budaya dan histori Muslim seperti Demak atau bahkan Aceh.
Pak RT, pak makelar KTP kelurahan, beberapa orang Chinese yang sudah disebutkan diatas adalah contoh skala minor, skala local. Bagaimana dengan skala regional? Nasional? Ditambah penduduk pendatang atau bule bule yang mau mau saja dicantumkan sebagai Islam KTP agar mudah ikut arus untuk bisa tinggal, atau berbisnis di negeri ini, atau bahkan menikah dengan penduduk setempat, maka wajar kan kalo persentasi kependudukan mengenai Agama mayoritas di Indonesia sedikit timpang dan wajib dipertanyakan valid atau tidaknya survey tersebut. Negara sudah melanggar beberapa pasal UUD45 mengenai hak warga negara.
-Aku, Victor Islam KTP, salah satu korban penjajahan hak Oleh sistem Birokrasi "ikut arus"-

Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ????
Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???? Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static
swatantre
Posts: 4049
Joined: Thu Jul 20, 2006 7:40 pm
Location: Tanah Suci, dalem Ka'bah

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by swatantre »

Yah, dari atas ampe bawah, simpulannya sama: Nyang islam (formal) banyak, yang muslim turun DRASTIS.. :finga: :supz:

Indonesia ini memang bukan negeri muslim sunni, tapi cocoknya disebut sbg negeri islam KTP aja. :finga: :supz:
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by Laurent »

http://cacianqalbukunderemp.blogspot.co ... e.html?m=1

Definisi Agama dan Diskriminasi

Definisi Agama dan Diskriminasi Terhadap Kepercayaan

Topik ini sebenarnya lanjutan dari topik Islam KTP[1] yang tampaknya masih belum jelas. Topik ini juga merupakan penegasan kembali atas pendapatku di diskusi yang kulakukan di Ajangkita[2]. Yang jelas topik ini adalah topik sensitif dan aku bersedia dicap sesat untuk menulis topik ini. Jadi harap baca dengan teliti.

Tidak Pernah Ada Definisi Agama di Indonesia Dalam bahasa hukum sebuah Undang-Undang atau Peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, definisi adalah sesuatu yang wajib ada. Dengan adanya definisi, sebuah diskusi tidak akan melebar melebihi ruang lingkup yang dibutuhkan. Dengan adanya definisi, perbedaan-perbedaan yang tidak penting bisa disatukan untuk melahirkan sebuah diskusi yang sehat. Sayangnya, tidak pernah ada definisi tentang agama di Indonesia.

Definisi Umum Menurut KBBI, agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut[3].

Seorang rekan muslim mengatakan, sebuah kepercayaan bisa disebut sebagai agama bila memiliki orang yang menyampaikan (alias nabi) dan memiliki kitab suci[4]. Lebih jauh lagi, rekan saya, seperti halnya pandangan klasik yang saya dengar dari ulama-ulama, membagi agama menjadi dua, agama Samawi dan agama Budaya di mana pada agama yang terakhir, Tuhan tidak didefinikan secara baku dalam kitab sucinya[5]. Tentu saja definisi ini sangat berbahaya, karena bila kita mempersyaratkan nabi sebagai sahnya agama, maka Hindu tidak dianggap sebagai agama (!!). Sementara kalau kita mempersyaratkan kejelasan konsep Tuhan dalam kitab suci sebagai tanda sahnya agama, maka Budha tidak bisa dianggap sebagai agama(!!).

Saya masih penasaran, siapakah yang membuat definisi agama seperti yang disebutkan oleh teman saya di Ajangkita tadi? Teman saya mengatakan bahwa mungkin Selo Soemardjan yang mengemukakan pendapat tersebut [6] tetapi berdasarkan pencarian melalui internet (saya belum sempat mencari buku-buku beliau) saya tidak menemukan pendapat Selo Soemardjan seperti itu.

Apakah pendapat tadi benar-benar pendapat seorang ahli Antropolog/Sosiolog ataukah sekedar pendapat seseorang yang terlalu picik (bahkan walau mungkin bekerja di LIPI dan mempunyai ijazah dari jurusan Antropolog/Sosiolog) yang jelas pendapat tersebut adalah tidak netral dan harus diubah karena mempunyai akibat-akibat yang membahayakan.

Definisi-definisi yang cukup netral saya dapatkan dari beberapa orang luar negeri dan beberapa di antaranya pernah saya kemukakan di diskusi saya di Ajangkita[7]. Definisi-definisi cukup netral tersebut antara lain:

Menurut Michael Shermer (agnostik non-theis), agama itu berfungsi untuk mengontrol moral. (dari buku The Science of Good and Evil karangannya.. [pada saat aku menulis, bukunya sedang tidak ada di hadapanku])

Menurut Religion for Dummies, sebuah kepercayaan bisa disebut agama bila: 1. mempunyai kepercayaan 2. mempunyai aturan moral 3. mempunyai ritual

Menurut Émile Durkheim: Seperangkat sistem keyakinan dan praktek yang diikatkan pada hal-hal yang sakral, atau bisa juga disebut, hal-hal yang disisihkan dan dilarang --keyakinan dan praktek-praktek ke dalam komunitas moral tunggal yang disebut Gereja

(catatan: dari latar belakangnya, yang dimaksud Gereja adalah instansi keagamaan tersebut, jadi jangan dipersempit menjadi tempat ibadah kristen)

(dari buku Agama & Teori Sosial karangan Bryant S. Turner)

Menurut Clifford Geertz: (1) sistem simbol yang gunanya (2) membentuk mood dan motivasi-motivasi yang begitu kuat, melingkupi dan bertahan lama dalam diri manusia dengan (3)memformulasikan konsepsi-konsepsi tatanan umum eksistensi dan (4) menyelubungi konsep-konsep tersebut dengan semacam aura faktualitas sehingga (5)mood dan motivasi-motivasi secara unik dapat ditangkap sebagai sesuatu yang realistis

(dari bukunya Turner)

Menurut Daniel Bell: Agama adalah jawaban-jawaban menyeluruh terhadap pertanyaan-pertanyaan inti eksistensial yang selalu dihadapi umat manusia, pengkodifikasian jawaban-jawaban ini ke dalam bentuk-bentuk kredo menjadi signifikan bagi para penganutnya, ritual dan upacara-upacaranya memberikan ikatan emosional bagi setiap individu yang melaksanakannya, dan pembentukan tubuh institusional membawa mereka yang sama-sama menganut kredo dan melaksanakan ritus dan upacara tersebut ke dalam kongregasi (jemaat), dan yang tak kalah pentingnya tubuh institusi mampu melanggengkan ritus-ritus tersebut dari generasi ke generasi.

(masih dari bukunya Turner)

Menurut Peter L. Berger: Agama adalah daya upaya manusia yang dengannyalah yang sakral dibentuk. Atau dengan kata lain, agama adalah kosmisasi hal-hal yang sakral. Yang sakral di sini diartikan sebagai sebuah kualitas kekuatan yang misterius dan menggetarkan, yang bukan manusia namun berhubungan dengannya, yang dia yakini ada dan terdapat dalam obyek-obyek tertentu pengalamannya... Kosmos sakral dihadapi manusia sebagai realitas yang begitu kuat melebihi kemampuannya. Akan tetapi kekuatan ini mengalamatkan diri pada manusia dan manusia menempatkan dirinya di dalam sebuah tatanan yang penuh makna.

Menurut Wikipedia berbahasa Inggris: It is commonly understood as a group of beliefs or attitudes concerning an object (real or imagined), person (real or imagined), or system of thought considered to be supernatural, sacred, or divine, and the moral codes, practices, values, institutions, and rituals associated with such belief or system of though Artinya: "Biasanya dipahami sebagai sekelompok kepercayaan atau minat terhadap sebuah obyek (nyata atau imajinasi), seseorang (nyata atau imaginasi), atau sistem pemikiran yang dianggap sebagai supernatural, suci, atau ilahi, dan aturan-aturan moral, praktek-praktek, nilai-nilai, institusi-institusi, dan ritual yang diasosiasikan terhadap kepercayan atau sistem pemikiran tersebut."

Dengan begitu, secara garis besar kita bisa melihat agama mempunyai ciri-ciri:

1. menciptakan atau membentuk sebuah ikatan atau komunitas 2. memiliki seperangkat aturan perilaku (moral) yang harus dipatuhi oleh warganya 3. memiliki upacara-upacara tertentu dalam rangka menjaga ikatan tersebut 4. memiliki sistem hadiah (pahala) dan hukuman (dosa) dalam bentuk yang tidak dikendalikan oleh manusia atau di luar kekuasaan manusia (seperti bencana, karma, surga dan neraka, arwah tersesat, menyatu dengan Tuhan), sehingga memaksa warganya untuk mematuhi peraturan dan menjalankan upacara walaupun tidak ada pengawasan dari rekan-rekannya

Dengan begitu, bisa dikatakan agama adalah bentuk primitif dari sebuah negara. Dalam sebuah diskusi serupa namun informal di tempat kostku di Australia, saya dan teman Hindu dari Gujarat menyetujui konsep agama sebagai bentuk tertua dari masyarakat. Sementara dalam diskusi di Ajangkita, seorang rekan Budha juga menyampaikan pandangan serupa[8] walau saya tidak sepakat dengan pendapat dia mengenai agama masa kini.

Yang jelas, dengan definisi yang saya coba simpulkan, Budha dan Hindu bisa dikategorikan sebagai agama, sementara Nasionalisme bisa dikeluarkan sebagai agama.

Apakah Kepercayaan di Indonesia Merupakan Agama? Setelah mencoba mendefinisikan agama secara netral, bagaimana sih hukum-hukum kita mencoba mengatur agama? Bagaimana mereka bisa mengatur agama sementara definisi agama saja tidak mempunyai kejelasan?

Di dalam UU No. 7 tahun 1989 mengenai Pengadilan Agama[9], seperti yang disebutkan di atas, agama tidak didefinisikan sama sekali. Justru agama di dalam undang-undang disini disempitkan pengertiannya menjadi hanya Agama Islam, dengan menggunakan definisi "Peradilan Agama adalah Peradilan bagi Orang-Orang yang Beragama Islam". Saya sampai heran, mengapa tidak dinamakan saja undang-undangnya menjadi UU mengenai Pengadilan Agama Islam?

KUHP pasal 156a mengenai penodaan agama juga tidak memberikan definisi tentang agama. Bahkan, bila dibandingkan dengan pasal-pasal lain yang merupakan warisan dari zaman kolonial, pasal ini tergolong baru karena baru ada setelah tahun 1965, lebih tepatnya setelah munculnya PNPS No 1 tahun 1965[10].

PNPS No 1 tahun 1965 mengenai Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama lagi-lagi tidak membahas definisi agama melainkan hanya memberi peraturan dalam pasal pertamanya yaitu "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu"[11]. Sementara bagian penjelasan hanya memuat penjelasan **** yakni agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu [12].

Mengapa definisi tersebut adalah kebodohan? Karena definisi tersebut membuktikan ketidakmampuan dari perancang peraturan yang hanya bisa memberikan definisi menggunakan contoh. Analoginya, seandainya ada peraturan mengenai korupsi dan dijelaskan bahwa koruptor adalah Mantan Presiden Soeharto, Tommy Soeharto, maka apakah selain dua orang tersebut tidak bisa digolongkan sebagai koruptor? Kalau bilangan cacah didefinisikan sebagai 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 maka apakah selain sebelas bilangan tadi tidak bisa dikategorikan sebagai bilangan cacah?

Lebih buruk lagi, Konghucu yang tadinya diakui sebagai agama di PNPS 1 tahun 1965, tiba-tiba tidak diakui menjadi agama pada tahun 1978 melalui surat Mendagri No 477 / 74054[13]. Inilah bukti betapa berbahayanya sebuah definisi yang sekedar menggunakan contoh tanpa kejelasan ciri-ciri yang akhirnya bisa menimbulkan penafsiran sembarang.

Kembali ke topik, apakah aliran-aliran kepercayaan bisa dikategorikan sebagai agama? Walaupun aku cenderung berpendapat "iya", seperti yang pernah kuceritakan di tulisanku sebelumnya, tampaknya para penghayat kepercayaan memilih untuk tidak menjadikan kepercayaan mereka sebagai agama[14]. Sikap ini tampaknya membuat pemerintah merasa aman walau merasa takut terhadap kepercayaan. Terbukti sejak tahun 1978, di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (kini Depdiknas) terdapat Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena menurut GBHN di tahun tersebut, Kepercayaan bukanlah agama.

Apa yang salah dengan direktorat tersebut? Kesalahannya adalah, kata pembinaan sangat tidak layak menjadi nama direktorat. Selain karena para penghayat kepercayaan bukanlah anak kecil yang butuh dibina, fungsi direktorat tersebut bukanlah membina melainkan mengawasi agar kepercayaan tersebut tidak berubah menjadi agama (!!)[15]. Walaupun di bagian lain mereka membela diri dengan mengatakan "Pembinaan merupakan suatu proses pemberian bantuan kepada pribadi ataupun organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa berupa bimbingan, dorongan, dan pengayoman agar yang bersangkutan mau dan mampu menampilkan diri dengan tangguh berdasarkan kekuatan potensi yang ada pada dirinya....[16]" namun harus diingat bahwa tujuan awalnya adalah mencegah kepercayaan ini menjadi agama baru.

Implikasi Lebih Dalam Selain tidak diakui sebagai agama, walaupun pemerintah menyatakan memberikan kebebasan terhadap penghayat untuk mengamalkan ajarannya, pemerintah juga menghalangi para penganut kepercayaan atas hak-hak mereka. Seperti pada tulisan saya sebelumnya, aliran kepercayaan ini, beberapa sama sekali bukan merupakan bagian dari agama resmi[17]. Dengan kata lain, seharusnya mereka berhak untuk tidak mengisi kolom "agama" pada kartu identitas mereka. Namun dengan diwajibkannya terisinya 'agama', banyak dari para penghayat ini yang hak-haknya disangkal oleh pemerintah seperti hak agar pernikahannya diakui, hak agar diberikan Kartu Tanda Penduduk, dan hak-hak lain karena tidak bersedia memilih salah satu dari agama resmi[18].

Sementara, beberapa penghayat menyerah dan memilih salah satu dengan keterpaksaan. Itu pun, dari bincang-bincang di warung kopi semalam bersama seorang teman kampus, masih dirintangi oleh halangan lain, yaitu memilih agama tertentu seperti Kristen atau Katolik, biasanya tetap akan dihalang-halangi oleh kantor catatan sipil(!!). Tidak heran, seperti dalam tulisan saya sebelumnya, banyak di antara para penghayat ini yang akhirnya memilih agama mayoritas yakni, bisa ditebak, Islam.

Apakah ini namanya kalau bukan pemaksaan terselubung?! Apakah ini sebuah keadilan?! Bahkan kitab suci kaum Muslim mengatakan "Tidak ada paksaan dalam agama" (2:256). Kenapa hal seperti ini masih terjadi? Apakah karena fanatisme sempit yang berlebihan?

Aku rela dicap sesat demi menulis ini. Aku rela dicap sebagai orang liberal yang mengizinkan pemurtadan demi menulis ini.

Kebenaran adalah kebenaran, walau sejuta umat menyangkalnya (Quran 6:116).

Hormat saya, Kunderemp Ratnawati Hardjito A.K.A Narpati Wisjnu Ari Pradana

Referensi [1] . Narpati Wisjnu Ari Pradana. Islam Ka-Te-Pe. (2006). Cacian Qalbu dan Aql. http://cacianqalbukunderemp.blogspot.co ... m-ktp.html (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[2]. Kunderemp. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopi ... 3&start=32 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[3]. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1997). Diakses melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Agama (terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[4] Wong. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopi ... 3&start=27 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[5] Wong. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopi ... 3&start=31 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[6] Wong. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopi ... 3&start=34 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006

[7] Kunderemp. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopi ... 3&start=32 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[8] Ishaputra. Re: Taat Pada Agama, Taat Pada Tuhan. (2006). Ajangkita.com http://www.ajangkita.com/forum/viewtopi ... 3&start=25 (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[9] Presiden Republik Indonesia. UU No. 7 Tahun 1989 mengenai Pengadilan Agama. (1989). Diakses melalui repositori bebas http://bebas.vlsm.org/v01/RI/uu/1989/uu-1989-007.txt (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[10] Hukum Online. Undang-Undang Penodaan Agama akan Dibawa ke MK. (2005).Hukum Online. http://hukumonline.com/detail.asp? id=13283&cl=Berita (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[11] ibid.

[12] Wikipedia Indonesia. Agama. (2006). Wikipedia. http://id.wikipedia.org/wiki/Agama (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[13] Anly Cenggana SH. Quo Vadis Pengakuan Lima Agama. (2005). Freelist http://www.freelists.org/archives/ppi/0 ... 00110.html (diakses terakhir tanggal 7 Juni 2006)

[14] Narpati Wisjnu Ari Pradana. Islam Ka-Te-Pe. (2006). Cacian Qalbu dan Aql. http://cacianqalbukunderemp.blogspot.co ... m-ktp.html (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[15]. Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sejarah Singkat. (1999). Departemen Pendidikan Nasional. http://www.depdiknas.go.id/kebudayaan/b ... ejarah.htm (diakses terakhir tanggal 17 Juni 1006)

[16] Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa . (1999). Departemen Pendidikan Nasional. http://www.depdiknas.go.id/kebudayaan/b ... binaan.htm (diakses terakhir tanggal 17 Juni 1006)

[17] Narpati Wisjnu Ari Pradana. Islam Ka-Te-Pe. (2006). Cacian Qalbu dan Aql. http://cacianqalbukunderemp.blogspot.co ... m-ktp.html (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

[18] Rumadi. Agenda Kebebasan Beragama. (2004). Kompas Cyber Media. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410 ... 326646.htm (diakses terakhir tanggal 17 Juni 2006)

Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ????
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by Laurent »

http://www.kadnet.org/web/index.php?opt ... &Itemid=66

KOLOM AGAMA DI KTP

Pada 9 Desember lalu, Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang dihadiri 80 orang di antara 550 anggota mengesahkan RUU Administrasi Kependudukan (Adminduk) menjadi undang-undang. Mestinya, itu menjadiberitagembira, mengingat selama ini kita menggunakan aturan administrasi kependudukan produk kolonial. Namun, pengesahan itu tidak serta merta menggembirakan mereka yang benar-benar mendambakan hilangnya praktik diskriminasi dalam soal administrasi kependudukan kita. Salah satu persoalan yang tidak menggembirakan, bahkan mengecewakan, adalah masih tetap dicantumkannya kolom agama dalam kartu tanda penduduk (KTP) kita. Pada pasal 65 disebutkan: (1) KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negaraRepublikIndonesia,memuat keterangan tentang NIK (nomor induk kependudukan), nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan,pasfoto,masaberlaku,tempatdan tanggaldikeluarkan KTP, serta memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.

Jika dibandingkan dengan aturan konstitusi yang kita punya, terlihat sekali betapa parahnya inkonsistensi dalam produk hukum baru kita itu. Pasal 28 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atasdasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Nah, korban diskriminasi yang paling nyata daripencantuman kolom agama itu, antara lain, kalangan penghayat dan aliran kepercayaan. Dr Wahyono Raharjo, penganut aliran Kapribaden yang juga ketua umum Badan Perjuangan Kebebasan Beragama dan Kepercayaan (BPKBB) menyampaikan surat protes mengiringi pembahasan RUU tersebut.

Konon, perjuangan Dr Wahyono dan kalangan penganut kepercayaan agar tidak didiskriminasi negara karena kepercayaan yang mereka anut sudah dimulai sejak puluhan tahun lalu. Puluhan tahun pula mereka telah mengalami apa yang mereka sebut psychological torture (penganiayaan psikis)yang tak berujung.Dalam kasus perkawinan misalnya, petugas catatan sipil tidak bersedia mencatatkan pengesahan perkawinan mereka. Karena itu, dalam suratnya, Pak Wahyono menawarkan alternatif: jikakolom agama tak dihapus, kolom kepercayaan mestinya juga dicantumkan (agama/kepercayaan) untuk mengakomodasi ratusan aliran kepercayaan yang tak kunjung diakui negara Pancasilaini.

Usul itu masuk akal karena banyak di antara aliran kepercayaan itu yang justru merupakan "agama asli" yang sudah bermukim di Indonesiasebelum adanyaenam agama yang "diakui" negara. Jutaan penganut agama asli itu selama ini terpaksa memilih satu di antara enam agama yang "diakui" negara; sebuah hipokrisi yang dilegalkan negara selama puluhan tahun. Lalu, selesaikah soal diskriminasi oleh negara itu jikakolom kepercayaan juga disandingkan dengan kolom agama? Ternyata tidak juga. Sebab, kita juga melihat adanya fakta dari korban lain: mereka yang disiksa dan dibunuh berdasar agama yang tercantum dalam kolom KTP mereka. Kasus konflik di Ambon dan Poso menunjukkan fakta bahwa seseorang bisa saja terbunuh seketikahanyakarena iaberadadalam waktu dan tempat yang salah. Beberapa kasus kerusuhan di Jakarta dan kota lain yang entah oleh siapa bergeser menjadi kerusuhan etnis dan agama- juga mencatatkan fakta serupa.

Mungkin, ada yang mengira bahwa itu adalah fakta yang kecil. Tapi, diskriminasi dan penderitaan orang lain bukanlah soal data statistik. Satu orang korban sudah lebih dari cukup untuk membuat kita menentukan opsi keberpihakan. Jika dalam faktanya ada ribuan, bahkan jutaan, orang terdiskriminasi dan menjadi korban akibat kolom agama pada KTP, betapa teganya para pengambil keputusan di Senayan mempertahankan keberadaan kolom itu. Betapa tumpulnya hati mereka menghadapi penderitaan berkepanjanganparakorban kolom agama.

Nada kesal dan putus asa tersirat tegas dalam surat Dr Wahyono: "Semoga semua dibukakan hati nuraninya dan bisa tenggang rasa. Bagaimana seandainya hal itu menimpa dirinya, anak-cucunya, saudaranya?. Mereka menutup mata hati dari keluhan sekian juta anak bangsayang didiskriminasidan ditindassecara berkelanjutan. Jawa Pos, Kalteng Pos, Biandoko

{Ralat: Ada kekeliruan di dalam pemuatan artikel di kolom ini pada edisi minggu yang lalu (27/8), yang seharusnya tidak dimuat. Untuk itu kami mohon maaf. Terima kasih atas perhatiannya, Redaksi.}

Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ????
Mirror
Faithfreedom forum static
User avatar
buncis hitam
Posts: 948
Joined: Sun May 13, 2012 9:35 pm
Location: Yang jelas di tempat yang aman jauh dari para jihadis

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by buncis hitam »

Laurent wrote:http://victorfukkaz.blogspot.com/2009/0 ... agama.html

Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam? Bener ga?
Well, sebenarnya tanpa disurvey pun sebenarnya indikasi mayoritas orang Indonesia beragama Islam sudah bisa dirasakan dan dilihat di sekitar lingkungan tinggal kita, di hampir seluruh penjuru republik. Greeting Assalam-Wasalam sudah sering kita denger baik di kehidupan sehari-hari maupun dari media televisi atau radio, Masjid berdiri di hampir setiap perkampungan, apalagi kegiatan umat Muslim semakin menonjol di bulan puasa ini. Namun apakah survey-survey skala nasional mengenai berapa persen dari berapa juta penduduk itu menunjukkan hasil yang fair?
Pengalaman pribadi saya mengatakan TIDAK FAIR. Aku memang bukan pemeluk Islam, Aku juga tidak memeluk Hindu, Katolik, Kristen ataupun Buddha. Aku dilahirkan di keluarga Muslim, jadi wajar saja dulu Aku Islam, hingga suatu ketika Aku mencapai titik nalar pribadi dan meninggalkan segala jenis atribut agama. Kembali ke pernyataanku mengenai ketidak adilan survey atau kepincangan lembaga survey mengenai jumlah persen penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam, dimana Aku sebenarnya tidak mengetahui dengan persis bagaimana proses survey berlangsung, tapi Aku yakin hanya sebatas penarikan kesimpulan data dari biro statistik kependudukan terutama dalam hal administrasi kependudukan seperti KTP, KK, Surat Nikah dan lain lain. Mengapa Aku bilang surveynya tidak fair? Mengapa pincang? Aku punya pengalaman pribadi mengenai kepincangan lembaga administrasi negara saat Aku mengurus KTP baru karena KTP lamaku sudah habis. Mengikuti aturan, Aku mengajukan dari tingkat RT lalu ke RW, Kelurahan dan seterusnya. Tanpa ada dramatisasi, kehebohan pribadiku sudah dimulai di tingkat RT, dimana pengajuan formulir KTP ku ditolak dan disarankan untuk diganti atau ditulis kembali, karena di kolom agama Aku isi Buddha. Pak RT sepertinya sudah tau kebusukan lembaga administrasi negara mengenai susahnya merubah agama dari KTP lama yang sebelumnya Islam menjadi KTP baru dengan agama selain Islam. WOW! bukankah negara ini menjamin kebebasan beragama? Walaupun dilihat dari sudut manapun Aku hanya sekedar iseng mengganti agamaku di KTP baru menjadi Buddha, jaminan negara hanyalah omong kosong belaka. Aku tulis ulang formulir KTP lalu mengajukan lagi ke pak RT, lagi lagi ditolak dan anehnya diminta untuk menulis kolom agama dengan isian Islam saja biar lebih mudah mengurusnya nanti. Bahkan pak RT akhirnya cerita hal yang sama mengenai pengurusan KTP beliau pada saat menikah dahulu. Setauku pak RT memang beragama Katolik namun menikah dengan seorang wanita Islam, dan menikah di KUA secara Islam juga. Jadi pak RT menyarankan agar Aku, seorang Victor yang selalu melawan arus, untuk ikut arus saja. Akhirnya Aku memutuskan untuk berhenti saat itu juga, toh juga tidak ada razia KTP di kota sendiri. Beberapa waktu kemudian, Aku iseng coba menemui makelar KTP di kelurahan tempat tinggalku, makelar ini juga orang dalam kantor kelurahan, biasanya cukup memberi imbalan minimal 20 ribu dan fotokopi KK, dan pas foto, KTP baru akan diantarkan ke rumah model delivery service. Setelah saya lampirkan fotokopi KK, pas foto dan tips 20 ribu rupiah, sang makelar mengatakan KTP baruku akan diantar paling lambat 3hari. Sesaat kemudian Aku merogoh dompet dan menambahkan "imbalan" 50 ribu lagi. Makelar tersebut kaget dan sedikit kebingungan, lalu dia bilang untuk apa uang 50 ribu itu, Aku jawab buat ganti agamanya ke Buddha. Anehnya uang tersebut dia kembalikan dan bilang tidak bisa. Aku sodorkan lagi dan bilang ya sudah ganti apa aja yang penting diganti ke selain Islam, dia kembali menolak dan bilang ikut arus saja mas. Lagi lagi aku mendengar kata "ikut arus" sama seperti kata-kata pak RT yang sesaat itu juga mengiang di kepala. Apa arus yang harus Aku ikuti? Seperti inikah sistem birokrasi negara Indonesia? Dimana letak kebebasan memilih agama bila agama di KTP saja harus "ikut arus" agar besaran persen penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak menurun dan justru bertambah. Banyak sekali komunitas Chinese di sekitar tempat tinggalku yang memilik KTP beragama Islam padahal mereka tidak berkeyakinan Islam. Merekalah sedikit contoh korban sistem "ikut arus" tanpa memperjuangkan hak nya untuk bisa memiliki KTP sesuai keyakinan masing masing. Sadar ga sadar, di kota kecil seperti Magelang saja sudah serumit ini, apalagi di kota yang memiliki adat, budaya dan histori Muslim seperti Demak atau bahkan Aceh.
Pak RT, pak makelar KTP kelurahan, beberapa orang Chinese yang sudah disebutkan diatas adalah contoh skala minor, skala local. Bagaimana dengan skala regional? Nasional? Ditambah penduduk pendatang atau bule bule yang mau mau saja dicantumkan sebagai Islam KTP agar mudah ikut arus untuk bisa tinggal, atau berbisnis di negeri ini, atau bahkan menikah dengan penduduk setempat, maka wajar kan kalo persentasi kependudukan mengenai Agama mayoritas di Indonesia sedikit timpang dan wajib dipertanyakan valid atau tidaknya survey tersebut. Negara sudah melanggar beberapa pasal UUD45 mengenai hak warga negara.
-Aku, Victor Islam KTP, salah satu korban penjajahan hak Oleh sistem Birokrasi "ikut arus"-

Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ????
Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???? Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static
Numpang copy, makasih....
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by Laurent »

Malah saya dengar dari orang2 tua, kalo jaman dulu, jamannya bung Karno, mayoritas penduduk Indonesia itu bukan beragama Islam seperti saat ini tetapi melainkan justru agama2 tradisional seperti kejawen , parmalim, sunda wiwitan, dll

Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ????
Mirror
Faithfreedom forum static
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Re: Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ???

Post by Laurent »

Indonesia Bukan Negara Muslim Terbesar di Dunia
Posted on Juni 23, 2008 by D
Standar

Sama, aku juga kaget ketika mikir gini. Selama ini yang kita tahu kan bahwa Indonesia adalah negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam? Bahkan sering disebut-sebut (walau hanya dalam candaan) sebagai target Bush perang melawan terrorist berikutnya.

Tapi kalo dipikir-pikir lagi …. bukankah Indonesia ini negara kepulauan dengan ragam macam adat istiadat yang menganut kepercayaan animisme dinamisne yang kental, termasuk di pulau Jawa. Bahkan ketika para wali memulai penyebaran Islam di nusantara pun, tidak lepas menggunakan cara-cara yang berbau adat setempat. Misalnya berdakwah melalui wayang, tembang-tembang dolanan dan lain sebagainya, yang bisa diterima oleh masyarakat pada masa itu.

Aku pernah diceritakan oleh seorang bapak yang telah mengalami masa-masa orde lama, orde baru dan orde ‘reformasi’, bahwa ketika negara ini baru terbentuk, rakyat Indonesia diwajibkan membuat kartu tanda penduduk dengan default keterangan agama yang dianut adalah Islam. Padahal orang yang bikin katepe belum tentu Islam, walaupun mungkin tidak menganut agama lainnya. Sebagian besar penduduk di pelosok bumi nusantara ini mungkin masih menganut kepercayaan yang diwarisi dari nenek moyang masing-masing.

Islam memang telah diakui menyebar dengan jalur-jalur perdagangan, tapi logisnya hanya sebatas daerah pantai dan sekitarnya. Sedangkan pulau-pulau terbesar di nusantara ini wilayah pedalamannya sangat luas sekali. Buktinya, setelah banyak penelitian dilakukan dan dipublikasikan, wilayah yang banyak muslimnya hanya di daerah pantai atau kota-kota yang sudah banyak didatangi pendatang dari pulau Jawa saja.

Waks.. jangan tanya data statistiknya ke aku ya. Aku bukan orang BPS, dan kalau mau tau, angka-angka statistik itu isinya hanya sedikit yang benar, yang banyak nggak benarnya. Dan karena data penduduk tidak statis, bisa aja aku nyebut angka sembarangan. Tapi mendingan enggak deh, takut ada yang menjadikannya referensi :P Kita pakai alur logika aja deh.

Kita ulik lagi fakta empiris, banyak orang Indonesia yang menyebut dirinya Islam KaTePe, dan apa itu artinya? Artinya dia bukan muslim yang asli, melainkan hanya status di katepe. Muslim adalah seseorang yang percaya kepada rukun Iman yang 6 dan melaksanakan rukun Islam yang 5 dengan konsisten. Itulah yang membedakan muslim dengan orang yang ‘Islam Katepe’.

Bukti lainnya, di negara ini masih banyak bau klenik warisan kepercayaan animisme dinamisme. Lainnya lagi, sistem pemerintahan kita aja masih berbau kerajaan walaupun dijuduli republik.

Kalau memang negara ini negara muslim, dulu itu piagam Jakarta tidak akan menemui hambatan dijadikan preambule UUD ’45. Kalau memang negara ini negara muslim, akan ada banyak hal yang mencegah perilaku korup yang membuat rusak bangsa ini.

Jadi, masih berpikir Indonesia adalah Negara Muslim Terbesar di Dunia?

Think again.

http://qomm.wordpress.com/2008/06/23/in ... -di-dunia/

Benarkah Mayoritas Penduduk Indonesia Beragama Islam ????
Mirror
Faithfreedom forum static
Post Reply