Page 1 of 2

Mana Yang Lebih Berhala, Kuil Shao Lin Shi atau Kuil Kabah?

Posted: Thu Feb 15, 2007 9:01 am
by Fajar K
Mana Yang Lebih Berhala, Kuil Shao Lin Shi atau Kuil Kabah ????

Perdefinisi, kuil itu adalah tempat pemujaan. Konsekuensinya, Kabah
juga merupakan tempat pemujaan sehingga seharusnya dinamakan juga
Kuil. Namun umat Islam menolak menamakan Kabah sebagai kuil karena
dalam Islam, kuil itu diidentikkan sama sebagai tempat pemujaan
berhala. Karena Allah dianggap bukan berhala, maka Kabah juga
dianggap bukan kuil. Namun secara arti bahasa berhala itu sendiri
didefinisikan sebagai object utama yang dijadikan pusat pemujaan
sehingga Allah itu juga adalah berhala.

Sewaktu aku masih anak2, guru2 agama Islamku selalu menekankan bahwa
Islam itu adalah agama Tauhid yang artinya agama yang cuma menyembah
satu Allah bukan banyak illah seperti agama lain yang menyembah banyak
illah atau dewa2.

Tetapi setelah aku berkenalan dengan banyak umat lainnya seperti umat
Buddha, aku bertanya apakah agama mereka itu agama Tauhid??? ternyata
temanku yang umat Buddha ter-heran2, mereka sama sekali tidak mengerti
maksudnya meskipun aku menjelaskannya ber-ulang2 sehingga akhirnya
daripada berdebat kosong tanpa arah, aku tanya langsung saja
kepadanya, ada berapa Tuhan yang disembah mereka???? Jawabannya
jelas, agama Buddha tidak mengenal Tuhan sehingga juga tidak menyembah
Tuhan. Jadi dalam Buddha itu Tuhan itu bukan satu, tapi juga bukan
banyak karena memang tidak dikenal adanya Tuhan.

Disinilah aku belajar hal2 baru dimana pengetahuan umat Islam dizaman
Muhammad sekalipun tertinggal jauh dibelakang, mereka hanya mengenal
agama ada dua macam yaitu politheisme yang menyembah banyak tuhan, dan
monotheisme yang menyembah satu tuhan. Tak ada terpikir oleh umat
Islam waktu itu bahwa ada agama yang tidak menyembah tuhan satu
ataupun tuhan yang banyak karena mereka memang tidak menyembah Tuhan.

Demikianlah, kalo berhala diartikan menyembah satu tuhan atau banyak
tuhan....... MAKA AGAMA BUDDHA TIDAK MENYEMBAH BERHALA KARENA MEREKA
TIDAK MENYEMBAH TUHAN SATU ATAU TUHAN BANYAK, MEREKA TIDAK PERCAYA
ADANYA TUHAN SEHINGGA WAJAR TIDAK MERASA PERLU MENYEMBAH TUHAN.

Kalo dalam Islam aku cuma berdebat kusir hanya untuk masalah istilah
berhala yang cuma ber-putar2 membedakan arti untuk hal yang sama.
Pernah aku berdebat dengan umat Buddha, aku bilang bahwa menyembah
patung Buddha itu adalah bukti menyembah berhala. Lalu umat buddha
bilang, kapan pernah ada umat Buddha menyembah patung Buddha???
Patung Buddha itu tidak pernah disembah, karena patung Buddha itu
hanyalah simbolisme yang tidak pernah disucikan seperti umat Islam
mensucikan Kabahnya. Setiap orang bebas untuk membuat patung2 Buddha
sesuai versi angan2 masing2 umatnya saja karena memang patung2 Buddha
yang cuma simbol itu bukanlah object untuk disembah ataupun disucikan.
Beda dengan kabah yang harus disucikan dijadikan pusat penyembahan,
tidak boleh dibuat tiruannya, hanya ada satu kabah yang dijadikan
pusat arah penyembahan semua umat. Kenyataannya, memang Kabah itu
cuma satu, tidak boleh dibuat Kabah tiruannya sebagai simbolisme
ditempat lainnya. Apakah di Indonesia ada kabah??? Jelas tidak ada
dan juga tidak boleh dibangun karena harus disucikan cuma satu kabah
sebagai rumah Allah di Mekkah. Sangat2 berbeda dengan patung2 Buddha,
setiap orang bebas menciptakan patung Buddha dengan posisi macem2 yang
tidak ada aturannya karena memang patung2 Buddha hanyalah simbol yang
tidak perlu disembah ataupun disucikan.

Lalu siapa Tuhan yang disembah umat Buddha ??? Jelas tidak ada,
karena umat Buddha bukan menyembah Yesus, dan juga tidak menyembah
Allah. Buddha tidak memiliki banyak Tuhan, dan juga tidak memiliki
satu Tuhan, bahkan Buddha tidak memiliki Tuhan sama sekali karena
memang agama Buddha yang dituduh oleh umat Islam selama ini dianggap
sebagai agama penyembah berhala padahal tidak dikenal berhala dalam
agama Buddha itu sendiri.

Kesimpulannya, memang Kabah adalah berhala yang disembah umat Islam
karena Kabah dijadikan satu2nya pusat yang disucikan, disembah sebagai
rumah Allah. Bahkan salah satu rukun wajib adalah bersujut dimuka
kabah dalam naik haji.

Kuil Shao Lin Shi jelas lebih terkenal didunia katimbang kabah karena
kuil Shao Lin Shi merupakan sejarah masa lalu sehubungan dengan
dijadikannya kuil ini sebagai pusat latihan ilmu silat atau Kung fu
oleh pendekar2 China yang membela kebenaran, melindungi si lemah, dan
menumpas kejahatan. Akibatnya Kuil Buddha ini menjadi terkenal dan
dikenal oleh semua umat manusia apapun agamanya. Sebaliknya Kuil
Kabah hanya dikenal oleh umat Islam karena kewajiban rukun Islam untuk
mensucikan kabah dan menyembahnya setiap Shalat dimana posisi Kabah
ini dijadikan arah satu2nya yang digunakan untuk penyembahan Allah.

Sulit memang untuk netral bagi umat Islam yang sudah diracuni ajaran
agamanya. Salah bagaimana pun jelasnya, tetap disangkalnya meskipun
untuk hal itu logika sekalipun dikorbankannya.

Dizaman sekarang, semua agama dimasukkan sebagai wadah kegiatan sosial
bagi masing2 umatnya yang bersifat hiburan, saling tolong menolong,
maupun sebagai wadah kerja sama antar golongan, bangsa, atau umat
antar agama itu sendiri. Dalam hal ini, kuil Shao Lim Shi telah
memberikan sumbangan hiburan yang luar biasa kepada dunia kita
sekarang, antara lain menjadi sumber inspirasi dari para pencipta
filem2 Hollywood maupun Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea, dan China
sendiri. Sayangnya, Kabah melalui umat Islamnya bukan menyumbangkan
inspirasi yang bersifat hiburan melainkan justru inspirasi2 yang
bersifat teror baik kepada umatnya sendiri maupun kepada umat lain
diluar agamanya. Betul, dalam segi2 tertentu, para pencipta Hollywood
juga memanfaatkan Kabah dengan Islamnya, tapi bukan untuk nilai2 budi
pekerti teladan melainkan digunakan sebagai pusat terorisme dan Islam
sendiri merupakan ajaran teror, yaitu menteror umat lainnya maupun
umatnya sendiri.

Kalo Kuil Shao Lim Shi mampu menyumbangkan seni hiburan kepada dunia
kita, kenapa sebagai umat Islam kita tidak mampu menyumbangkan sesuatu
yang bisa dihargai oleh umat lainnya didunia ini katimbang cuma
terorisme saja ?????

Ny. Muslim binti Muskitawati.

Posted: Thu Feb 15, 2007 11:42 am
by Laurent
Sidarta Gautama itu cuma manusia bukan Nabi spt halnya Yesus ato Muhammad

Posted: Sun Feb 18, 2007 5:48 pm
by anti islam
Laurent wrote:Sidarta Gautama itu cuma manusia bukan Nabi spt halnya Yesus ato Muhammad
sidahrta amupun yesus ajaran mereka lebih berharga drpd muh..

apa pelajaran yang paling utama dari muh ??

silahkan jawab para momek.........

Posted: Fri Feb 23, 2007 4:50 am
by Knight_Templar
Bagaimana pendapat muslimers mengenai Ka'bah?
saya baca itu sangat banyak pendapat :(

namun pertanyaan berkaitab.. siapa yang berkompeten menjawab ini?

Posted: Fri Feb 23, 2007 9:22 am
by Vlad
mendingan kuil shaolin shi wataaaaaaaaa!!!

Posted: Fri Feb 23, 2007 3:00 pm
by openyourmind
Kuil Shaolin lebih mengajarkan humanisme.

Posted: Tue Apr 10, 2007 8:19 am
by Laurent
Sidharta Gautama sendiri tak mau dituhankan begitu juga dgn Budha

aku ralat, sorry gw sok tau neh

Posted: Wed Apr 11, 2007 3:59 pm
by Jesuz_Masuk_Islam!
Menurut pendapat "pribadi" gw. Shalat ke Kabbah maksudnya Shalat kepada Allah..

Soalnya kalo arahnya ga beraturan ntar gimana kalo tabrakan coba?

Misal:

gw : ke utara
Gary: Ke selatan

githu aja ah... pribadi siah!!!

Gw lebih menjerumus ke Quran.

Hadits banyak yang di fake sama org2 kafir.

Nabi muhammad Nikah sama 9th year old girl, karena zaman dulu tuh org badannya pada gede2. segitu mah kata temen gw umur 9th tuh udah gede. GEDE bangeet yahhh.

Setahu saya di kampung gw, ga ada deh muslim yg dah tua nikah sama anak kecil. mungkin itumah dulu. pertama kalinya Nabi Muhammad Nikah sama yg perawan. Abiez kalo yg dah tua banyak yg ga perawan kali ya..

Posted: Thu Apr 12, 2007 6:23 pm
by ali5196
Jesuz_Masuk_Islam! wrote:NABI MUHAMMAD TIDAK MENIKAH SAMA GADIS 9thn. TANYA KE ORG ARAB SONO !!!
:lol: :lol: :lol:

SIlahkan baca buku yg ditulis orang Islam sendiri ! AYo click yg dibawah ini. BERANI NGGAK ??!!!

AISYAH umur 7 TAHUN (Dari buku islam yang ada di INDONESIA)
http://www.indonesia.faithfreedom.org/f ... php?t=9483

Wah, satu lagi Muslim yg ketangkap basah nggak tahu apa2 ttg Islam ! Eh Jezuz, ntar kalau udah baca ... gimana yah ... masih berpendapat bahwa nabi elu orang mulia ?? :oops: :oops:

Posted: Thu Apr 12, 2007 6:37 pm
by M-SAW
bang ali
gue yakin si Jesuz_Masuk_Islam! ga brani meng klik
mungkin kita kasih aja cuplikannya :

dari sirah nabi tertua,biasanya disebut juga sirah nabi IBNU ISHAQ

SIRAH NABAWIYAH IBNU HISYAM JILID 2
Penulis: Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri,
Penerjemah: Fadhli Bahri, Lc.;
Cetakan V, Darul Falah Jakarta, 2006
704 him; 15,5x24 cm.
Judul Asli: As-Sirah An-Nabawiyah li Ibni Hisyam
Penerbit: Darul Fikr, Beirut 1415 H/l994 M
ISBN 979-3036-17-6

Image


632 —Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam-Il

Aisyah binti Abu Bakar Radhiyallahu Anhuma

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa SaJ/am menikahi Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq di Makkah ketika Aisyah berumur tujuh tahun dan menggaulinya di Madinah ketika ia berusia sembilan atau sepuluh tahun. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sal/am tidak menikahi wanita gadis selain Aisyah binti Abu Bakar. Beliau dinikahkan dengan Aisyah oleh Abu Bakar dengan mahar empat ratus dirham.

atau yg ini
Majalah Salafy Edisi XV/Dzulqa’idah/1417/1997

Disini diceritakan Aisyah adalah ‘gadis’ umur 6 TAHUN.[/b]

http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu ... rtikel=889

Istri-istri Rasulullah : Aisyah binti Abu Bakar
Kamis, 10 Maret 2005 - 02:49:24 :: kategori Kewanitaan
Penulis: Majalah Salafy Edisi XV/Dzulqa’idah/1417/1997
.: :.

Hari-hari indah bersama kekasih Allah dilalui dengan
singkatnya ketabahan menghiasi kesendiriannya guru besar
bagi kaumnya pendidikan kekasih Allah telah menempanya.

Dia adalah putri Abu Bakar Ash-Shiddiq , yang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka memanggilnya
“Humaira”. ‘Aisyah binti Abu Bakar Abdullah bin Abi
Khafafah berasal dari keturunan mulia suku Quraisy.

Ketika umur 6 tahun, gadis cerdas ini dipersunting oleh
manusia termulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdasarkan perintah Allah melalui wahyu dalam
mimpi beliau.


itu penulisnya ARAB2 MUSLIM loh
coba kamu yang nanya ke situs itu..bener gak sih ?? :P


gimana bro Jesuz_Masuk_Islam ???
bener gak cuplikan dari KITAB tsb ??

PBNU

Posted: Wed Apr 18, 2007 11:11 am
by Laurent
kalo Kuil Shaolin dibandingkan dgn IPDN ato STPDN gimana ya

Posted: Tue May 01, 2007 7:39 pm
by satmata
Manusia ini adalah pribadi yang bebas....nggak ada satupun yang dikasih ototritas untuk menguasai makhluk lainnya

Jadi mau Nabi, ustadz, kyai, pastor, pendeta, pedande, biksu punya salah wajar-wajar ajalah...nggak ada yang istemewa kok...emangnya kita ngritik orang lain diri kita udah sempurna...?

Mendingan sekarang kita semua sering-sering berkaca yaaa....biar jadi orang baik ok

Posted: Sat May 19, 2007 2:17 am
by No_Name
Laurent wrote:kalo Kuil Shaolin dibandingkan dgn IPDN ato STPDN gimana ya
Laurent....kayaknya masih lebih bermoral biksu2 dari kuil Shaolin deh daripada Sheikh2 Arab dari Kuil Kabaah yg suka mancungin kapir tanpa ampun, ngebantai kapir, ngerampok kapir, polygami dan melihara + merkosa budak...

tul gak seh temen2? :roll:

Posted: Sat May 19, 2007 6:42 pm
by swatantre
No_Name wrote:

Laurent....kayaknya masih lebih bermoral biksu2 dari kuil Shaolin deh daripada Sheikh2 Arab dari Kuil Kabaah yg suka mancungin kapir tanpa ampun, ngebantai kapir, ngerampok kapir, polygami dan melihara + merkosa budak...

tul gak seh temen2? :roll:
Loh, gimana sei...... ya jelas betul dong.... heheh....

Posted: Wed Jan 09, 2008 7:45 am
by Laurent
Metta Dasmasaputra:
Agama-Agama Tak Mungkin Disamakan
22/05/2006

Sekelompok kaum muda yang tergabung dalam Forum Samantabadra, kemarin (10-12 Mei), memperingati waisak dengan mengadakan Festival Waisak. Acara itu digelar untuk menunjukkan bahwa umat beragama di Indonesia memang beragam, dan karena itu, menolak penyeragaman. Apa saja problematika umat Buddha Indonesia dewasa ini? Berikut perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Metta Darmasapurtra, salah satu pendiri dan aktivis Forum Samantabadra, Kamis (11/5) lalu.

NOVRIANTONI (JIL): Mas Metta, Anda dan teman-teman Buddha kemarin (10-12 Mei 2006) mengadakan Festival Waisak. Apa yang ingin dicapai festival ini?

METTA DARMASAPUTRA: Pertama saya ingin menjelaskan bahwa saya bukan seorang tokoh Buddha. Saya hanya bicara sebagai penganut Buddhisme yang baru dua bulan lalu mendirikan Forum Samantabadra. Ini adalah forum untuk memperjuangkan pluralisme dan humanisme universal. Untuk itu, kami menyelenggarakan Festival Waisak dari tanggal 10 sampai 12 Mei di Utan Kayu.

Makna waisak secara sederhana adalah peringatan tiga kejadian penting dalam agama Buddha yang kerap disebut Trisuci. Karena itu orang sering menyebutnya Trisuci Waisak. Trisuci adalah peringatan kelahiran, pencapaian kesadaran sempurna, dan “wafatnya” Siddharta Gautama. Tapi, kata wafat maupun kelahiran sebetulnya kurang tepat di dalam Buddhisme. Dalam Buddhisme, tidak dikenal konsep wafat yang abadi. Itu semua adalah proses mimbar lahir, atau lahir-mati, lahir-mati.

JIL: Bagaimana sejarah waisak itu sendiri?

Waisak adalah sebuah tradisi yang berawal dari perkembangan agama Buddha di jalur selatan. Dalam sejarahnya, Buddha lahir di India, lalu berkembang ke utara dan ke selatan. Ke utara melewati India bagian utara, lalu ke Asia Tengah, Cina, Jepang, dan Mongol. Jalur selatan berkembang ke Srilanka, Thailand, Birma, Kamboja, lalu masuk Indonesia. Nah, yang masuk ke Indonesia adalah kedua-dua aliran Buddhisme, Mahayana maupun Hinayana atau Theravada.

Nah, tradisi waisak yang bersumber dari Buddha di jalur selatan itu, sekarang sudah dianggap perayaan bersama, sesuai dengan kapan jatuhnya purnama. Kalau di Jepang atau Cina, bulan purnamanya tidak jatuh pada Mei, tapi bisa Desember atau Oktober. Nah, yang merayakan pada bulan Mei ini khas tradisi selatan.

JIL: Apa yang biasanya dilakukan umat Buddha dalam waisak?

Biasanya dirayakan dalam berbagai macam bentuk ritual yang sudah menjadi tradisi tahunan. Yang jelas, ada upacara di wihara-wihara atau kuil-kuil, dan berpuncak pada acara ke Borobudur. Pendek kata, ada macam-macam upacara, karena agama Buddha sendiri, organisasinya juga beda-beda. Jadi ada yang di Borobudur dan ada yang di tempat lain.

JIL: Kita tahu, agama Buddha lahir di India, tapi di India perkembangannya tidak begitu baik. Bisa dijelaskan sejarah sampainya di Indonesia?

Betul, agama Buddha memang berawal di India, tapi yang sangat menyedihkan, ia relatif “punah” di sana. Dia tidak lagi dikenal. Ketika saya ke India, sulit mencari informasi di mana taman Lubini, tempat lahirannya Siddharta Gautama. Tampaknya, itu bukan tempat yang populer di sana. Justru kakaknya (agama Hindu) yang tetap subur di India.

Baru-baru ini, majalah National Geoghrafic versi Indonesia memuat artikel tentang Buddhisme. Di situ dinyatakan, Budhisme saat ini berkembang pesat di Barat dan di Cina yang komunis. Tapi di Jepang, ternyata hampir punah juga. Jadi kuil-kuil di Jepang relatif menyempit dan Buddhisme disebut sebagai agama yang hanya untuk pemakaman. Jadi hanya dipakai untuk ritual keagamaan.

Di Indonesia, agama Buddha berkembang sejak lama, sejak zaman Sriwijaya. Salah satu peninggalannya yang sedang kami pamerkan di Festival Waisak adalah Situs Muara Jambi, yang luasnya 12 km persegi, peninggalan abad ke-9 sampai ke-14. Tapi kemudian, situs itu tidak berjejak sama. Ia punah dan baru ditemukan lagi tahun 1932. Waktu itu, muncul Java Buddhist Association dengan kedatangan Biksu Narada. Tapi setelah itu pun Buddhisme berkembang terbatas hanya di Jawa, khususnya Jakarta dan Bogor.

Kemudian ia tidak berkembang lagi dan baru muncul ketika kedatangan biksu yang di kalangan Buddha sangat legendaris, Mahabiksu Asin Jinarakkitha. Kalau kita ingat, dulu ada biksu yang jenggotnya panjang sekali. Nah, itulah Biksu Asin Jinarakkitha. Dia yang pertama kali memasukkan kembali dan mengembangkan agama Buddha di Indonesia. Kalau tidak salah, itu sekitar tahun 1954. Sejak itu, baru mulai ada kebangkitan agama Buddha di Indonesia. Tapi rupa-rupanya, itu pun sudah agak bergeser juga. Agama Buddha setelah itu lebih banyak berkembang di kalangan etnis Tionghoa, dan tidak lagi menjadi agama seperti di zaman Sriwijaya.

JIL: Mas Metta, dalam studi-studi tentang agama Buddha sering dikatakan bahwa Buddhisme adalah agama tanpa dewa-dewa. Bahkan, Sidharta sendiri tidak ingin dirinya disebut dewa. Apakah Buddhisme bisa disebut agama tanpa konsep Tuhan seperti yang dikenal dalam agama-agama semitik?

Menurut saya, sekarang kita harus mulai pengkajian yang lebih serius tentang konsep ketuhanan dalam agama Buddha. Dulu tidak ada ruang untuk melakukan pengkajian seperti itu, karena agama harus diakui oleh pemerintah yang waktu itu dibatasi hanya lima. Dan, prinsip dasarnya harus mengakui adanya Tuhan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Pancasila.

Nah, agama seperti Hindu dan Buddha itu tidak mengenal konsep Tuhan dalam pengertian “kata benda” seperti agama-agama samawi. Karena itu, sebetulnya dalam agama Buddha tidak dikenal konsep Tuhan. Cuma celakanya, kalau tidak mengakui itu, dulu dicap atheis, distempel sebagai orang komunis, dan itu akan repot sekali. Saya dan beberapa rekan pernah mengalami bagaimana harus bolak-balik membuat penjelasan buku putih ke badan intelijen negara.

Waktu itu, umat Buddha Indonesia, minimal sepengetahuan saya, berusaha menyiasati ketentuan. Kami memang tidak mengakui adanya konsep Tuhan, tapi mengakui konsep ketuhanan. Itu jalan tengahnya. Dengan konsep ketuhanan, kami tidak mengakui Tuhan dalam bentuk kata benda, tapi mengakui sifat ketuhanan. Kita mengakui adanya Zat atau sesuatu yang di luar kita, yang dalam pengertian Buddhisme sebetulnya lebih dikenal sebagai hukum yang Mahadahsyat, Mahabergerak sendiri, yang mengatur semua isi alam.

Nah, kita masuk dengan konsep ketuhanan seperti itu. Tapi akhirnya, mau tidak mau, karena diharuskan menyebut personifikasi Tuhan, dalam agama Buddha lalu dikenal nama Sang Hyang Adi Buddha yang dalam literatur-literatur internasional sebetulnya tidak pernah dikenal. Jadi itu adalah personifikasi Tuhan yang hanya ada di kalangan Buddha Indonesia.

Jadi, kita memang harus membongkar betul pola pikir yang sudah dibakukan, yang selama ini harus memandang Tuhan dalam konsep tertentu. Karena itu, mulai saat ini harus ada ruang-ruang diskusi tentang konsep ketuhanan; apa yang disebut konsep ketuhanan, bagaimana sebenarnya konsep ketuhanan itu, dan lain sebagainya?

Tapi yang jelas, banyak sekali buku yang diterbitkan literatur internasional yang menunjukkan sangat besarnya perbedaan konsep tentang Tuhan dalam agama samawi dengan agama bumi, khususnya Buddhisme. Itu tidak bisa disamakan, karena Siddharta sendiri mencapai kesadaran puncaknya dari diri sendiri, bukan dari wahyu. Dari situ saja sudah jelas perbedaan bagaimana nantinya konsep penghayatan keagamaan selanjutnya.

JIL: Bagaimana dengan aliran-aliran dan sekte-sekte dalam Buddhisme?

Di dalam Buddhisme, banyak juga sekte-sekte dan aliran-aliran. Semua beranjak dari beragam penafsiran tentang Buddha. Ketika Sidharta meninggal, belum ada yang namanya kitab suci. Setelah 3 bulan, baru diadakan pesamon pertama. Itu dipimpin oleh murid tertua Buddha untuk memulai rekonstruksi apa yang diajarkan Sakyamuni (julukan yang diberikan kepada Buddha) dan apa-apa aturan yang harus dimuat.

Nah, multitafsir itu menimbulkan banyak pemahaman tentang Buddisme. Karena itu, apa yang saya utarakan tentang konsep ketuhanan misalnya, sudah barang tentu tidak mutlak. Tapi sejauh yang saya tahu, memang tidak ada konsep Tuhan dalam artian seperti agama-agama samawi dalam Buddhisme. Yang ada hanyalah sebuah hukum alam semesta yang kekal dan hukum ini yang mengatur keseluruhannya secara harmoni. Ketika Siddharta mencapai kesadaran sempurna, dia memang sudah inheren dengan alam semesta itu sendiri.

JIL: Bagaimana dengan persepsi adanya kekuatan gaib di luar diri manusia yang diasumsikan akan membimbingnya untuk berbuat baik atau jahat?

Yang saya dalami, tidak ada konsep seperti itu. Sebab kesadaran sempurna Siddharta tidak diperoleh melalui wahyu, tapi dari tahap-tahap pencapaian dan peningkatan kesadaran kejiwaan. Nah, di sini memang ada perbedaan antara Theravada dan Mahayana. Di Mahayana, pencapaian kesadaran Buddha atau kebuddhaan itu menjadi ultimate goal atau tujuan utama seseorang. Karena itu dia terus mencari, berusaha seperti Siddharta untuk sampai ke tingkat kesadaran yang paling sempurna.

JIL: Bagaimana dengan pandangan Buddhisme tentang surga dan neraka?

Sejauh yang saya tahu, dalam Buddhisme tidak dikenal surga dan neraka seperti yang digambarkan dalam agama-agama samawi. Yang dikenal adalah proses hidup-mati, hidup-mati. Jadi kalau pun digambarkan sebuah surga dalam pengertian nirwana, nirwana itupun banyak tafsirannya. Tapi yang saya pahami, nirwana bisa diciptakan di dalam kehidupan kita. Karena itu, ketika kita beribadah, tujuannya tidak untuk mencapai surga yang kelak, tapi bagaimana mencapai keadaan surga itu di dalam kehidupan sekarang.

JIL: Kalau boleh tahu, berapa perkiraan umat Buddha di Indonesia kini?

Saya tidak punya data statistik yang pasti. Tapi sepengamatan saya, tampaknya umat Buddha kini mulai mengalami penurunan cukup jauh. Dulu, agama Buddha bisa berkembang pesat karena inheren dengan etnis Tionghoa. Perkembangan agama Buddha di Cina sendiri bercampur-baur dengan apa yang disebut agama-agama asli. Karena itu, orang-orang etnis Thionghoa di sini merasa dekat dan menganutnya. Tapi ketika orang-orang generasi pertama itu beranjak tua, generasi mudanya lebih memilih agama-agama yang dianggap lebih modern seperti Katolik, Kristen, dsb.

Memang harus diakui, Buddhisme di Indonesia yang berkembang di tahun 1952-an itu tidak seperti perkembangannya ketika zaman Sriwijaya. Kini, kesannya seperti barang antik, kuno, dsb. Kini, pusat penyebarannya memang lebih banyak di kota-kota, dan didominasi etnis Thionghoa. Tapi di desa-desa juga masih banyak, terutama di pucuk-pucuk gunung. Di sana masih banyak umat Buddha dari kalangan pribumi. Namun itu pun rata-rata sudah bercampur dengan Kejawen. Kira-kira penyebarannya seperti itu.

Yang saya tahu, di Indonesia saja minimal berkambang delapan sekte Buddha dari Mahayana dan Theravada. Itulah sekte-sekte yang terbentuk di Indonesia dan tidak ada di negara lain, seperti sekte Kasogata. Itu sebetulnya sekte Buddha yang berkembang di Jawa, kemudian berasimilisi dengan budaya Jawa. Kemudian ada sekte Tridarma; campuran antara Buddha, Konghuchu, dan Laotse. Sekte ini memang lebih terpengaruh Buddhisme di Cina.

JIL: Bagaimana dengan konsep misologinya atau dakwah?

Dari awalnya, Buddhisme hampir tidak punya konsep penyebaran agama, sehingga celakanya, ketika diserang, kerajaan-kerajaan Buddha bisa sampai punah. Kerajaan Sriwijaya itu terdesak dan akhirnya hilang.

JIL: Apakah karena Buddhisme lebih dipandang sebagai ajaran perbaikan diri, bukan untuk berkuasa?

Ya, memang lebih bernuansa seperti itu. Tapi kalau boleh mengkritisi, sebagai umat Budha, kita tidak bisa berlindung dari ciri seperti itu. Menurut saya, agama Buddha di Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding agama lain. Bahkan, tertinggal pula dibandingkan Konghuchu yang baru diakui pemerintah. Meskipun selama ini tidak diakui, mereka lebih maju dalam pengkajian-pengkajian filosofi, dan kiprah dalam dunia keagamaan internasional. Yang saya amati, penganut Buddha Indonesia lebih sibuk dengan urusan sendiri, dan ditambah perpecahan-perpecahan di dalam. Itu yang sangat disayangkan.

JIL: Beberapa bulan lalu, hak-hak sipil Konghuchu diakui pemerintah. Apa dampaknya bagi penganut Buddha di Indonesia?

Dampaknya mungkin merugikan, karena selama ini, agama Buddha diuntungkan dengan tidak diakuinya Konghucu sebagai agama resmi. Dulu, memang ada saja yang tetap bertahan sebagai Konghucu. Tapi sebagian memilih Buddha karena konsekuensinya memang tidak kecil. Saya sendiri pernah menulis tentang Konghuchu dan bagaimana sulitnya menjadi seorang penganut Konghuchu. Tapi saya tetap mendorong pemerintah untuk tetap mengakui Konghucu. Itu hak asasi yang harus mereka peroleh. Karena itu, saya rela-rela saja mereka diakui. Prinsipnya, agama tidak boleh dipaksakan. Kita harus berangkat dari keyakinan terdalam diri kita sendiri.

Namun sebelum agama Konghucu disahkan, di dalam agama Budha---meski diuntungkan—juga terjadi kebingungan. Salah satu contoh adalah bila orang bertanya apa rumah ibadah agama Buddha. Orang bingung antara vihara, kuil, atau kelenteng. Seharusnya jelas, tempat ibadah umat Buddha adalah vihara, sementara kelenteng itu sudah bercampur-baur dengan Konghuchu. Sekarang, ketika Konghuchu sudah diakui sebagai agama resmi, akan jadi PR sendiri; mana kelenteng yang vihara dan mana kelenteng yang Konghuchu. Itu memang harus dibedakan. Menurut saya, itulah problematika yang tersisa ketika sekarang kondisinya mulai berubah.

JIL: Mungkin pangkal soalnya bukan karena kini Konghucu disahkan, tapi mengapa negara harus mengatur-atur agama sedemikian dalamnya?

Betul. Menurut saya, harusnya negara tidak mencampuri urusan agama, karena begitu negara mencampuri urusan agama, semua akan jadi repot. Di Indonesia, dulu hanya diakui lima agama. Padahal, PBB sendiri mengakui lebih banyak lagi agama. Karena itu, aneh bila batasan agama dibuat oleh manusia, bukan oleh Tuhan. Kok kita sendiri yang menentukan mana yang agama dan mana yang bukan?!

Mas Metta, adakah fundamentalisme dalam agama Buddha?

Saya pikir, kalau melihat esensi kelahiran Buddhisme, seharusnya tidak ada fundamentalisme dalam artian sikap radikal, memaksakan, dan ekspansif. Seharusnya Buddhisme lebih pada penghayatan yang tenang untuk mencapai sebuah kesadaran. Tapi meski demikian, saya melihat dalam umat Buddha Indonesia tetap ada semangat-semangat yang tidak bisa menolerir perbedaan yang satu dengan yang lain. Akibatnya, Borobudur misalnya dijadikan ajang rebutan dua kelompok Buddha dan harus dipakai bergiliran. Ini kan agak disayangkan.

Menurut saya, seharusnya tidak ada sikap seperti itu jika kita bisa bergerak dengan keimanan, sesuai dengan aliran masing-masing. Fundamentalisme dalam Buddha lebih dalam artian mementingkan kebenarannya sendiri secara mutlak terhadap yang lain.

JIL: Bagaimana perasaan umat Buddha ketika Taliban menghancurkan patung Buddha di Bamiyan beberapat tahun lalu?

Soal itu tentu sangat disayangkan. Bukan karena itu milik orang Buddha, tapi lebih karena ia sebuah peninggalan yang bersejarah. Itu sebuah jejak peradaban manusia yang dihancurkan hanya dalam hitungan detik. Saya begitu sedih menonton film itu. Kalau saya tak salah, profesor arkeologi yang sekarang mencari patung Buddha tidur yang jauh lebih besar di sana bukanlah seorang Buddhis, tapi muslim Afganistan. Tentu sakit melihat kejadian seperti itu. Tapi yang juga patut disayangkan, sikap atau kepedulian umat Buddha Indonesia juga hampir tidak ada ketika Borobudur runtuh.

Ketika Pak Daoed Jusuf memperjuangkannya untuk direhabilitasi lewat Unesco, dia berjuang sendiri, tidak didukung pemerintah, dan menurutnya, tidak ada satu pun umat Buddha yang mendukung. Termasuk ketika stupa Borobudur diledakkan. Ketika itu, dia membuat protes terbuka. Tapi tidak ada juga umat Buddha yang peduli masalah itu. Umat Buddha sekarang dituntut untuk lebih bisa memperjuangkan pluralisme agar secara riil diterapkan di masyarakat.

JIL: Anda merasa ada ancaman terhadap pluralisme di Indonesia saat ini?

Saya merasakan itu. Bagaimana pun, Indonesia adalah negara yang dibangun atas kesepakatan bersama. Ketika ada batasan-batasan yang dibuat berdasarkan agama tertentu, ini tentu akan jadi problem. Misalkan batasan tentang aurat. Pemahaman Buddha tentu sangat berbeda dalam soal itu. Kalau itu diterapkan menurut standar tertentu saja, tentu eksistensi kami sebagai umat Buddha akan terbatasi.

JIL: Apa perjuangan pluralisme itu juga yang akan jadi agenda Forum Samantabadra ke depan?

Kalau menginginkan hak, itu harus kita perjuangkan. Nah, selama ini, tidak ada suara dari umat Buddha untuk mendukung perjuangan itu. Karena itu, saya ingin acara seperti Festival Waisak ini menjadi ajang. Meski kecil, minimal itu bisa mengingatkan orang bahwa ada ancaman terhadap pluralisme. Festival Waisak ini juga untuk menunjukkan bahwa pluralisme masih ada di tengah-tengah kita.

JIL: Apakah umat Buddha khawatir akan pluralisme agama atau justru mendorongnya?

Saya termasuk orang yang tidak sepakat dengan definisi pluralisme sebagai dengan semua agama, seperti yang diutarakan MUI. Menurut saya, agama-agama sangat tak mungkin untuk disama-samakan. Yang paling penting bukan semuanya harus satu warna, tapi biarkan berbeda warna tapi tetap serasi. Karena itu, kami membuat Festival Waisak untuk mengingatkan bahwa kita memang beragam dan tidak berangkat dari sesuatu yang homogen. []

^ Kembali ke atas
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1052

Posted: Thu Feb 28, 2008 4:30 pm
by anarchy
Mungkin setidaknya umat muslim harus ngaca dulu deh, apa isi dalam Ka'abah tersebut, setelah mengetahui apa isi dalam Ka'abah tersebut barulah kalian boleh menafsirkan agama yang lain.
Kenapa Aceh bisa kena tsunami, karena itu teguran buat umat muslim, apa ada seorang yang memakai jilbab lagi pacaran di tepi laut, begitu sudah terangsang, jilbab pun dibuka dan di jadiin alas tempat bercinta? Halal atau haram? Atau karena sudah enak?
Budha tidak menyembah berhala, karena itu hanya sebagai simbol atau lambang bahwa itulah Budha, bukannya muslim juga???? Apa yang kalian lakukan sewaktu sholat itu hanya menyembah dinding yang ada tulisan kaligrafinya "Awloh" bukannya itu juga berhala, makanya mikir dulu sebelum menulis.

Posted: Fri Apr 25, 2008 5:03 pm
by Laurent
Re: Menjadi Kristen bukan tionghoa lagi. Halo bung Erik: msg#00041


Subject: Re: Menjadi Kristen bukan tionghoa lagi. Halo bung Erik

Bung Erik yg penuh semangat,

Sdr. Erik, saya coba mengkoreksi dan meluruskan 'statement' anda yg cukup 'berbahaya' bahwa, kelompok Buddha(Tridharma) juga berperan terhadap pelunturan Budaya Tionghoa.
Justru!! sebaliknya umat Buddha(Tridharma) adalah korban langsung dari kebijakan anti Cina masa itu.
Justru!! sebaliknya umat Buddha (Tridharma) -karena kondisi-menjadi pelindung dan pemelihara kepercayaan-budaya tionghoa pada masa2 suram saat itu. Begitu banyak Pakme, Apak, yg begitu teguh dalam penderitaan dan ketakutan akan ancaman dan teror yg terorganisir dari negara. Mereka tetap menjalankan, melestarikan agama-budaya tionghoa walau secara terbatas dan diam-diam.
Sampai satu masa muncul seorang sastrawan tionghoa Kwee Tek Hoay yg menggalang persatuan vihara/klenteng2 dalam satu jaringan yg kemudian hari menjadi cikal bakal Sam Kauw Hwee.
Mau nangis rasanya saat melihat Klenteng dan atau Vihara dijadikan Tempat Penampungan Sampah Sementara. (waktu itu anda berusia berapa??)
Bayangkan Vihara/Klenteng kim tek ie (Cing Te Yen) di Jakarta kota yg katanya Vihara tertua, objek wisata mancanegara pun jadi TPS.

Seperti yg anda katakan bahwa pada masa itu, masa Orde Baru yg
anti Cina begitu banyak operasi2 anti Cina yg dioperasikan termasuk operasi membersihkan agama Buddha dari unsur2b budaya Cina.
Dalam perspektif itulah saya melihat kesulitan dan beban berat seorang Krishnanda maupun Girirakkhito. kalo pinjam kalimat sdr. Erik : ... keterpaksaan, terlalu besar risikonya kalo ingin tetap mempertahankan budaya Cina di bawah politik diskriminasi yang gencar waktu itu.
Mangkanya jangan heran kalo saat itu banyak orang tionghoa yg KTPnya mengaku beragama Islam bahkan Kristen. Bung Erik tahukan akan hal itu. Istilah yg populer saat itu adalah Cina 'Kapal Selam'.
Jangan Lupa! saat itu Khrisnanda maupun mendiang Girirakkhito dalam kapasitas potilis.
'Tragedi' sweeping yg terjadi pada masa itu bukan dilakukan oleh Pembimas Buddha DKI Jakarta melainkan oleh sebuah tim operasi bentukan Depdagri.
Begini kejadiannya : Entah pesanan dari mana atau siapa atau barangkali inisi atif dari Depdagri sendiri, dibentuklah satu tim operasi yg terdiri dari belasan instansi pemerintah termasuk Depag untuk melakukan sweeping di seluruh Indonesia!pada malam imlek ke Supermarket, (bayangkan makanan,pernak-pernik yg dijajakan menjelang imelk disita), pusat hiburan, vihara, klenteng, rumah abu dll.
Krishnanda justru dalam posisi dan tekanan yg sulit telah mengeluarkan surat edaran kepada seluruh Vihara/Klenteng yg masuk dalam daftar binaannya, menyatakan bahwa imlek adalah sembahyang uposatha. Dengan demikian umat Buddha boleh sembahyang pada malam imlek itu tanpa perlu takut disweeping.
Saya tidak menutup kemungkinan dilapangan terjadi kerancuan2 antara kurir Pembimas dgn orang2 vihara/klenteng dalam memberikan pengarahan untuk lebih 'low profile' karena 'cuaca' betul2 lagi tidak bersahabat.
Yang masalah vihara/klenteng yg tidak masuk dalam pembinaan Pembimas sehingga tidak dapat dilindungi hingga terjadilah 'tragedi' diangkutnya patung Dewa2. (versi lain mengatakan patung Buddha).
Mendiang Girirakkhito sebagai ketua Walubi menandatangani surat edaran yg menyatakan Imlek bukan hari besar agama Buddha karena seluruh majelis agama Buddha kecuali dari Majelis agama Buddha Tridharma sudah menandatanganinya terlebih dahulu surat tersebut. Sekali lagi kita sepakat mereka dalam tekanan teror negara. Hal yg sama juga pada sekolah2 buddhis yg jelas2 tidak punya kekuatan apa2 dibandingan institusi lainnya. Dengan demikian saya pastikan tidak ada sekolah buddhis yg melakukan gerakan anti tionghoa.
Dr. Surya memang 'rada2' geblek (maaf) bung Erik. Tapi ... harus jelas nih bung Erik, Theravada sangat tidak mungkin anti tapi barangkali tidak sekental yang lain nuansa budaya tionghoanya. Selamat Tahun Baru. I lap u.

AT

Erik <rsn_cc> wrote:
Sudah saya katakan, terlalu banyak kasus-kasus pelunturan budaya
Tionghoa yang juga dilakukan oleh lembaga pendidikan Buddhis, dan
tak bisa disebutkan lengkap semuanya di sini. Maksud saya kemukakan
contoh-contoh kasus itu adalah untuk mengatakan bahwa Upaya
Pelunturan Budaya Tionghoa adalah sebuah kebijakan yang memang
direkayasa oleh pihak penguasa, dan diikuti oleh segenap lembaga
masyarakat yang ada waktu itu.
Apa yang dilakukan kelompok Kristiani memang benar ada. Tetapi kita
juga jangan menafikan hal sama yang juga dilakukan oleh pihak
Buddhis!
Anda minta nama k onkret oknum dan vihara? Tidak mungkin saya
kemukakan di sini, itu tidak etis. Tetapi kalo pejabat dan lembaga
agama Buddha yang melakukan pemberangusan budaya Tionghoa bisa saya
sebutkan di sini :
1. dr. Krishnanda Wijaya Mukti : Waktu menjabat sebagai Kanwil Bimas
Buddha Jakarta, menerbitkan surat edaran yang isinya melarang umat
Buddha bersembahyang pada malam Tahun Baru Sin Cia, dan larangan
pada vihara-vihara yang ada di Jakarta untuk tidak buka (tidak
melayani) umat yang mau sembahyang di malam Sin Cia, karena
Sin Cia bukan hari raya agama Buddha!
2. dr. Ratna Surya Widya : waktu menjabat sebagai ketua harian
WALUBI (periode kepengurusan Bhante Giri sebagai ketua umum)
melakukan inventarisasi vihara-vihara mana saja yang selenggarakan
perayaan Sin cia, dan daftar itu dilaporkan kepada lembaga inteligen
Indonesia';
3. juga masih dr. Krishnanda Wijaya Mukti : waktu menjabat Kanwil
bimas Buddha DKI Jakarta, melakukan sweeping di vihara-vihara daerah
kota, memaksa pengurus vihara menurunkan papan nama beraksara Cina
serta Rupang-rupang dewa legendaris Tionghoa.
4. upaya pencaplokan (ato lebih halusnya pengambil alihan) Kelenteng
Boen Tek Bio oleh lembaga + oknum Theravada yang menjadi pengurus di
situ dan berusaha men-Theravada-kan kelenteng itu dengan mengganti
nama kelenteng Boen Tek Bio yang bersejarah itu dengan "Vihara
Padumuttara" yang menurut mereka lebih mncerminkan nilai Buddhis dan
tidak berbau Cina!
5. Seminar-seminar yang gencar diselenggarakan sekitar tahun 77 s/d
80-an (waktu itu anda berusia berapa??) dengan mendatangkan pejabat
BKMC (Badan Koordinasi Masalah Cina) dan pakar-pakar budaya Cina
dari UI untuk membersihkan agama Buddha dari sisa-sisa budaya Cina,
agar bisa menjadi agama yang tidak ekslusive dan dapat diterima oleh
semua lapisan bangsa Indonesia!

Tapi semua itu adalah masalah lampau yang sebetulnya ti dak perlu
diungkit-ungkit lagi sekarang. Semua orang memang dalam kondisi
keterpaksaan, terlalu besar risikonya kalo ingin tetap
mempertahankan budaya Cina di bawah politik diskriminasi yang gencar
waktu itu.
Kita harus jujur terhadap sejarah, kalo memang pernah melakukan ya
akui memang pernah. Bukan masalah hanya kasus per kasus atau memang
kebijakan yang tersistimatisir. Yang jelas memang hal itu dilakukan
oleh semua pihak, bukan hanya salah satu golongan saja.

Salam,


Erik
---------------------------------------------------------------------
In budaya_tionghua-hHKSG33TihhbjbujkaE4pw@xxxxxxxxxxxxxxxx, agung setiawan <agoeng_set>
wrote:
ini mah org gila yg sok tau aturan aja yg berlaku begitu. dimana2
juga tau kalo berduka itu pantang pake merah. kalo ada aliran /
vihara tertentu yg ajarin gitu g jamin 90% ga bakal ada umatnya.
kalo boleh kasih alamat viharanya, trus siapa gurunya or bhantenya
yg ajarin begitu. g s ering ikut kebaktian kematian tapi ga pernah
tuh nemu yg kayak begini.

aliran teravada ga pernah ngelarang makanan daging kok, asal ga
bunuh sendiri hal ini ga dipermasalahin, malah aliran mahayana yg
melarang makan daging.

ga ada larangan juga tuh buat bakar kim coa n gincoa,trus
sepengatahuan saya seh siripada puja pertama kali di adain di indo
itu thn 2003 pada waktu perayaan khatina kalo ga salah
>
> > tradisi orang Thai. Waktu upacara Waisak di
> > vihara-vihara dan
> > Borobudur, amoy-amoy penyambut tamu tidak boleh
> > berbusana gaun
> > Shanghai, dan harus berpakaian kebaya, katanya untuk
> > menunjukkan
> > nasionalisme Indonesia!
>
> agama budha yg merayakan waisak bukan budaya tionghua,
> itu mah ngajak ribut namanya kalo adain waisak puja
> tapi malah menonjolkan budaya tionghua, banyak aliran
> dalam agama budha di indo (9 kalo gak s alah) cuma
> mahayan aja yg bener2 bercorak tionghua.
>
> Baca sutra (Liam Keng)
> > dengan bahasa
> > Mandarin dan irama oriental seperti yang di vihara
> > suhu Benny dan
> > Lodan juga tidak boleh, alasannya bukan bahasa asli
> > yang digunakan
> > oleh sang Buddha, jadi keasliannya diragukan! Dan
> > masih banyak lagi
>
> ini mah sama aja kasusnya antara kristen protestan n
> kristen katolik roma, sama pengikut jesus tapi caranya
> bisa beda2 jadi pikir aja sendiri yah jawabannya
>
> > kasus-kasus lain yang tak bisa disebutkan satu per
> > satu di sini!
>
> laen kalo ambil kasus jgn sepotong2 atau kejadian yg
> cuma 1 -2 kasus aja tapi kasus umum, misal
> pemutarbalikan fakta tulisan tionghua berasal dari
> bahasa sansekerta sampe pake seminar segala, atau
> tripitaka adalah sumber2 kebudayaan tiong hua, kalo
> perlu yg udah diseminarkan segala pake panelis dan
> nara sumber lulusan tiongkok yg profesor, trus
> kesaksian bikhu yg mantan peramal sama penguasa jurus
> penghisap arwah, dan hal2 lain yg umum dah tau,

yup memang bener ada beberapa perdebatan antara budaya tionghua
dengan agama budha ( terutama terjadi terhadap budaya tionghua yg
banyak dipengaruhi KHC ama TAO ) tapi jarang ( mungkin ada tapi ga
pernah denger padahal g tiap minggu di vihara teravada ) yg sampe
> menghujat atau penghinaan terhadap budaya tersebut










--------------------------------------------------------------------------------
Do you Yahoo!?
With a free 1 GB, there's more in store with Yahoo! Mail.

.: Forum Diskusi Budaya Tionghua dan Sejarah Tiongkok :.

.: Kunjungi website global : http://www.budaya-tionghoa.org :.

.: Untuk bergabung : http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua :.

.: Jaringan pertemanan Friendster : budaya_tionghua-/E1597aS9LQAvxtiuMwx3w@xxxxxxxxxxxxxxxx :.

http://osdir.com/ml/culture.region.chin ... 00041.html

Posted: Sun Apr 27, 2008 7:28 pm
by Eneng Kusnadi
Hayooo Laurent kamu bisa , hayyyoo tunjukan taringmu!!! Kemon debat jangan cuma cut paste dari swara muslim doang. Keluarkan pendapatmu dan pertahankan kayak Doctoral Thesis. Paling tidak kamu jadi pinter.

Posted: Sun Apr 27, 2008 11:06 pm
by Luv_Pink
Emang Kaabah itu dulunya apa sih, kok sampe seluruh muslim dunia pada pengin kesono? Emg fungsinya selain jadi arah sholat apa lg?

Posted: Mon Aug 04, 2008 8:11 pm
by lazios
ini yang paling berhala
Image