Tak Lelah Melawan Diskriminasi

Gambar2 dan Berita2 kekejaman akibat dari pengaruh Islam baik terhadap sesama Muslim maupun Non-Muslim yang terjadi di Indonesia.
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Tak Lelah Melawan Diskriminasi

Post by Laurent »

Tak Lelah Melawan Diskriminasi
31 Juli 2014 20:48 Tutut Herlina Inspirasi dibaca: 38

Dok / Ist

Hartini.

Penganut kepercayaan terus berjuang mendapatkan pengakuan dari negara.

Panggilan suci bagi Hartini datang 36 tahun lalu, di Purworejo. Saat itu, bersama suami dan tiga pria lainnya, ia menghadap Romo M Semono Sastrohadidjojo, sesepuh sekaligus pendiri penghayat kepercayaan Kapribaden.

“Ada berapa kalian?” tanya Romo. “Berlima,” jawab sang suami, Wahyono Raharjo. Namun, Romo membantah. “Tidak kalian berempat,” ujar Romo. Bagi Romo, Hartini dan suaminya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

Dalam pertemuan itu, Romo berpesan kepada Wahyono dan Hartini untuk mendirikan Paguyuban Kapribaden. Sejak saat itu, Wahyono dan Hartini menjadi pinisepuh di Paguyuban tersebut. “Dituliskan pula kata-kata, kami harus meyakini bahwa kami adalah orang kepercayaan,” kata Hartini saat ditemui di kediamannya di daerah Cinere, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Saat ini, kepercayaan itu tersebar di 40 kabupaten/kota hingga luar negeri.

Namun, pembentukan paguyuban bukanlah pekerjaan yang mudah. Penganut kepercayaan Kapribaden tersebar di daerah-daerah yang jauh. Untuk berkomunikasi, mereka harus mendatangi satu per satu. Di sisi lain, faktor politik dan keamanan masih belum “membaik” setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Pada masa-masa itu, penghayat kepercayaan bisa dengan mudah dituduh sebagai anggota ataupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Guna menyelamatkan diri, mereka terpaksa memilih salah satu agama yang dinyatakan resmi oleh negara. Mereka juga berpura-pura sebagai salah satu umat agama tertentu, meskipun sehari-harinya mereka tidak melakukan aktivitas keagamaan yang diwajibkan.

“Pada April 1978, kami kumpulkan anggota. Lalu, 30 Juli kami mendeklarasikan secara resmi berdirinya paguyuban. Kami mendaftarakan ke Direktorat Kepercayaan,” ucapnya.

Dalam menjalankan kerja organisasi, Hartini lebih sering terlibat urusan internal, sedangkan suaminya bekerja untuk urusan eksternal. Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Paguyuban Kapribaden, Retnowati, secara internal, Hartini bertugas memberikan penguatan secara psikologi kepada warganya. Hartini juga meyakinkan para perempuan penganut kepercayaan Kapribaden untuk tidak terjebak dalam urusan domestik secara terus-menerus.

“Karena kami juga harus mengajarkan damai atau kasih (seperti di Kristen), sehingga mencapai ketenteraman. Ketenteraman ini tidak hanya untuk anggota penghayat kepercayaan, tetapi juga untuk lingkungan dan dunia,” ujar Retno.

Seperti kepercayaan lainnya, warga Kapribaden juga mendapatkan diskriminasi dari pemerintah. Kepercayaan masih dianggap sebagai aliran sesat. Ia dianggap menggunakan sebagian nilai-nilai ajaran agama tertentu. Padahal, menurut Hartini, kepercayaan sama sekali berbeda dengan agama-agama yang dinyatakan resmi oleh negara.

“Kami menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau Moho-Suci bagi kami,” tuturnya.

Administrasi Kependudukan
Hartini mengatakan, perjuangan untuk mendapatkan pengakuan negara dilakukan sejak 1973. Mereka berjuang agar aspek kepercayaan ini masuk di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR). Sejak 1978, mereka berjuang agar aspek kepercayaan juga masuk dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Sebagai realisasi GBHN, Presiden Soeharto membentuk instansi yang bernama Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan. Namun, setelah Reformasi, nama itu diganti menjadi Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

“Jadi, namanya lebih dipertegas. Instansi ini sampai sekarang masih ada,” katanya.

Melalui instansi ini, semua bentuk kepercayaan diinventarisasi dan didaftar. Masing-masing mengemukakan ajarannya secara bergiliran untuk dinilai oleh utusan agama-agama dan cendekiawan dari berbagai universitas negeri.

Jika dinilai baik, kepercayaan tersebut akan dinyatakan sah dan boleh dikembangkan di Indonesia. Detail ajarannya dibukukan dan diterbitkan pemerintah untuk diketahui khalayak. Seiring dengan adanya UU No 8/1985, organisasi-organisasi kepercayaan juga diperlakukan seperti organisasi kemasyarakatan lain.

“Kami diwajibkan mendaftar ke Depdagri (sekarang Kemendagri),” katanya.

Perjuangan terus-menerus itu bersama penganut kepercayaan lainnya itu membuahkan hasil gemilang ketika pemerintah dan DPR menerbitkan UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), yang kemudian direvisi menjadi UU No 24/2013.

Hartini menyebutkan, secara keberadaan mereka sudah diakui. Namun, hak-hak sipil mereka masih tetap dipasung. Ini terjadi karena UU dan aturan turunannya belum tersosialisasi ke pemerintahan daerah (pemda). Akibatnya, warga kepercayaan masih kesulitan untuk mengisi kolom agama atau kepercayaan di KTP. Aparatur daerah tetap “memaksakan” warga penghayat kepercayaan untuk memilih salah satu agama resmi.

“Kalau ingin kepercayaan yang dianut dicantumkan di KTP, kami harus membawa fotokopi dokumen-dokumen negara. Setelah itu baru mereka tahu bahwa kami telah diakui. Namun, itu pun prosesnya bisa sampai ke kantor catatan sipil,” katanya.

Meskipun sebagai pinisepuh Paguyuban Kapribaden, di dalam KTP, Hartini tetaplah seorang muslim. Ia tidak mungkin lagi mengganti kepercayaannya karena ia telah mengantongi KTP seumur hidup ketika UU Adminduk disahkan. Namun, ia yakin suatu saat nanti, Indonesia pasti mengakui kepercayaan sebagai sebuah aliran resmi.

Sumber : Sinar Harapan

http://sinarharapan.co/news/read/140731 ... skriminasi
Mirror: Tak Lelah Melawan Diskriminasi
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Post Reply