Belajar Toleransi dari Seren Taun

Gambar2 dan Berita2 kekejaman akibat dari pengaruh Islam baik terhadap sesama Muslim maupun Non-Muslim yang terjadi di Indonesia.
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Belajar Toleransi dari Seren Taun

Post by Laurent »

Belajar Toleransi dari Seren Taun

Selasa, 30 November 2010 01:24
Linggarjati Organizer
Kunjungan: 1532

E-mail
Cetak
PDF

inShare
SocButtons v1.5

saerentaun2011

Perayaan seren taun di Kampung Adat Cigugur, Kuningan telah berakhir. Prosesi ritual tahunan dari tanggal 18 sampai 22 Rayagung ini bukan sekadar pesta sedekah bumi, melainkan perwujudan toleransi masyarakat yang tidak tersekat batasan apa pun. Kegiatan budaya ini juga menjadi salah satu bentuk pelestarian kearifan lokal.
Puncak pergelaran adat yang dirayakan tiap 22 Rayagung bertepatan dengan tanggal 29 November 2010 merupakan manifestasi rasa syukur penduduk agraris Sunda atas limpahan kesejahteraan yang selama ini mereka peroleh. Namun, inti pe- rayaan pesta budaya dan seni ini adalah melestarikan nilai-nilai toleransi dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Jibardi (50), warga Kampung Cipager, Desa Cigugur, mengatakan, persiapan dan pelaksanaan pesta adat dilakukan oleh semua warga Cigugur tanpa memandang agama dan suku. ”Baik yang beragama Nasrani, Katolik, Islam, atau kepercayaan, semuanya sukarela menyiapkan pesta seren taun. Bukan hanya orang Cigugur yang sibuk. Orang dari luar (Cigugur) juga ikutan membantu,” ujarnya.
Sistem kerja saling berbagi tugas dan tidak ada pengotak-ngotakan peran berdasarkan keyakinan juga merupakan bentuk toleransi yang tetap terpelihara. Kesih (70), warga Cigugur, menuturkan, tidak pernah ada perselisihan karena latar belakang agama akibat salah satu pihak merasa dirugikan. Sebab, semua masalah diselesaikan bersama-sama tanpa memandang siapa yang tertimpa musibah.
Menurut sesepuh adat Cigugur, Pangeran Djatikusumah, toleransi masyarakat yang berbeda keyakinan dan kepercayaan di Cigugur sudah berlangsung puluhan tahun. Namun, tidak mudah mempertahankan toleransi, terlebih di masyarakat yang mulai melupakan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Terlebih lagi, banyak pihak sudah dibutakan oleh kesejahteraan kebendaan sehingga muncul konflik dan persaingan.
Untuk itu, memberikan pendidikan budaya dan seni kepada anak-anak dan orang tua menjadi metode efektif menanamkan kembali nilai-nilai kearifan lokal, yang di dalamnya ada semangat gotong royong dan toleransi.
Eka Santosa selaku Duta Sawala Dewan Musyawarah Kasepuhan Masyarakat Adat Tatar Sunda mengakui, toleransi yang terbentuk dan terpelihara di Cigugur adalah nilai kearifan lokal yang perlu ditumbuhkan. Sebab, selama ini pemerintah pusat dan daerah cenderung mengabaikan nilai-nilai toleransi yang dulu pernah ada. Padahal, toleransi antarwarga adalah hal terpenting untuk menciptakan keharmonisan pembangunan.
Keragaman dan persatuan masyarakat juga terlihat dari peserta dan tamu yang hadir, seperti dari Kesultanan Brunei Darussalam, Keraton Surakarta Hadiningrat, sejumlah pemuka agama, serta masyarakat adat di Jawa Barat dan luar Jawa. Wisatawan mancanegara, di antaranya Sarah Brikke (27) asal Perancis, pun telah merasakan toleransi agama di Cigugur. Tak ada perbedaan yang harus dipermasalahkan sehingga dia merasa nyaman berkunjung ke Cigugur.
Seren taun juga merupakan bentuk refleksi bagi masyarakat untuk introspeksi diri, kembali melestarikan alam, dan selalu mengabdi kepada Pencipta. Hal itu menjadi tema seren taun 1943 Saka Sunda kali ini, yakni ”Ngatik Diri, Ngarawat Buwana, Ngabdi ka Sang Hyang Cipta” (Kompas, 30/11)
Dalam perjalannya acara seren taun sempat pasang surut. Bahkan, pernah dilarang pemerintahan Orde Baru melalui Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor 44/1982 atau satu tahun setelah Gedung Bale Paseban Tri Panca Tunggal, ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional yang diresmikan 10 Oktober 1981 oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Sejarah dan Purbakala Depdikbud Pusat, Prof. Dr. Haryati Subadio. Sejak pelarangan, para wisatawan domestik maupun mancanagara tidak bisa lagi menyaksikan pesta adat yang sakral itu.
Hampir dua puluh tahun upacara seren taun di Cigugur tak pernah muncul. Yang tersisa hanya tari buyung, itu pun hanya boleh tampil di Taman Mini Indonesia Indah.
Ritual itu kembali dihidupkan setelah kunjungan Presiden K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) tanggal 6 Juli 2000. Didampingi Gubernur Jawa Barat H.R. Nuriana, ia meninjau Bale Paseban Tri Panca Tunggal. Setelah kunjungan itu, seren taun Cigugur kembali dapat digelar.
Kendati menampilkan berbagai atraksi seni tradisional, seren taun tidak menempatkan diri sebagai tontonan. Ritual ini sebagai luapan syukur kepada Tuhan.
“Upacara ini bukan tontonan, tetapi lebih sebagai ungkapan syukur kepada Sang Hyang Cipta,” tutur Ny. Emaliya Djatikusumah.
Seren taun juga diisi sesi dialog kebudayaan. Para tamu berdiskusi terkait dengan keberadaan masyarakat adat, perlindungan dan kemungkinan pemberdayaan. Berbagai pendapat mengemuka dalam diskusi tersebut.
Adalah Haji Eka Santosa (51) yang dikukuhkan barisan olot menjadi Sekretaris Jenderal Masyarakat Adat Tatar Sunda atau Duta Sawala. Dia aktif memperjuangkan kesamaan hak bagi masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan.
“Apa yang salah dari masyarakat adat. Pemerintah mesti melindungi mereka. Mereka memerlukan persamaan hak-hak sipil,” katanya
Berdasarkan titah tetua adat, Duta Sawala bertugas memperjuangkan agar masyarakat adat Tatar Sunda bisa diterima secara luas. Diberikan wewenang menyusun, membuat struktur serta program kerja sesuai kebutuhan.
Eka memprioritaskan tiga pokok. Pertama memperjuangkan pengakuan dan kesamaan. Kedua, perlunya pemberdayaan masyarakat adat. Ketiga, perlu advokasi. Selama ini masyarakat adat di sekitar hutan, mengeluh soal hak tanah yang berbatasan dengan Perhutani.
Tidak hanya Cigugur yang melaksanakan seren taun. Masyarakat adat Banten Kidul juga melakukan hal sama dengan waktu berbeda. Termasuk masyarakat adat lainnya. Hanya, mereka terkendala kebijakan pemerintah yang masih diskriminatif.
Eka menyatakan perlu ada komunikasi masyarakat adat dengan pemerintah dengan prinsip “Tri Tangtu” yakni parentah, panyaur, dan pemundut. Masyarakat adat taat dan patuh kepada ciri sabumi dan cara sadesa karena ada keberagaman dalam kehidupan. Melalui pemahaman nilai-nilai tradisional, kita kembali ke jati diri. Selain itu, juga tetap memperjuangkan dan mempertahakan empat pilar negara, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Paku Buwono XIII, Sinuhun Tedjowulan, menuturkan perlunya pemahaman terhadap khazanah budaya yang beragam, bukan seragam. “Sinergitas budaya tidak membuat seragamnya kebudayaan, tetapi bagaimana keragaman bekerja sama sebagai sebuah kekuatan,” katanya.
Persoalan yang masih perlu mendapat perhatian serius adalah bagaimana satuan-satuan budaya yang ada dapat bekerja dalam sistem yang fungsional bagi masyarakat. Dengan demikian, dapat menghasilkan kekuatan lebih dan berguna bagi masyarakat umumnya. (Pikiran Rakyat, 30/11)

http://www.visitkuningan.com/id/index.p ... -serentaun
Mirror: Belajar Toleransi dari Seren Taun
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Post Reply