Penghayat Kepercayaan, Bagaimana Kabar Mereka?

Gambar2 dan Berita2 kekejaman akibat dari pengaruh Islam baik terhadap sesama Muslim maupun Non-Muslim yang terjadi di Indonesia.
Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Penghayat Kepercayaan, Bagaimana Kabar Mereka?

Post by Laurent »

Penghayat Kepercayaan, Bagaimana Kabar Mereka?

Nofia Ridwan

08 Aug 2014 | 16:36
14074925632072348113

Sumber: sunda wiwitan



Satu hal yang saya yakini dan sejak dulu saya insyafi, bahwa kita adalah manusia yang beradab, maka jadilah baik jadilah benar. Mengenai apakah kita sekarang sudah benar-benar baik atau sesungguh-sungguhnya benar, itu hal lain. itu adalah tentang kemampuan dan mungkin kemauan atau keteguhan hati. beranjak dari pemikiran ini, maka sejak saya belajar ilmu hukum sampai dengan sekarang, hanya satu insting yang saya fahami terkait dgn hukum. Bahwa apabila ada ketidakadilan, maka seharusnya ada yang salah disana, entah memang hukumnya, dari segi strukturnya, substansinya, atau dirinya selaku institusi, atau memang dari segi penerapannya. Karenanya begitu ada yang tidak adil, saya selalu tergelitik untuk berpikir apa yang salah.

Sebagaimana fajar yang biasa terjadi beberapa malam ini, kali ini saya kembali terbangun di saat sang fajar masih bersiap. jam 3.40 pagi. tak bisa tidur, jemari dengan lihainya mengubah channel, memencet berulang2 di remote tv ke arah decoder tv berlangganan (kebetulan apabila anda tinggal disini, anda tak bisa menikmati indahnya tv gratis dgn antena). sampailah di satu stasiun tv berita besar, milik salah satu tokoh besar Indonesia yang berjenggot. Judul programnya realitas. Kebetulan pada saat itu sedang membahas mengenai Ajaran Sunda Wiwidan. Awalnya saya anggap ini liputan yang mengingatkan saya pada ajaran Samin di Blora atau Suku Baduy atau kampung naga. Liputan ttg ajaran dan budaya di masyarakat tersebut. Namun seiring berjalannya program tersebut, ternyata program tersebut ingin menggambarkan realitas yang dialami oleh orang2 yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. bahwa mereka akhirnya termarjinalkan dari hak-hak mereka sebagai warga negara, mereka 'terpaksa' harus menjadi islam dan lain sebagainya untuk dapat hidup sebagai manusia Indonesia. Akhirnya yang tidak enak adalah, komen2 nyinyir ttg penghapusan kolom agama dari tokoh kepercayaan tersebut.

Kolom Agama

Sebenarnya, saya ga ingin mempermasalahkan ttg kolom agama yang ada atau tidak di KTP kita. Namun mempermasalahkannya layaknya yang pertama-tama harus dirubah terlebih dahulu seelum mengubah semuanya itu bagaikan kita ingin langsung saja menghapuskan negara israel yang kita kenal sebagai penjajah dari peta Timur tengah. itu tentu bukanlah solusi yang mudah karena pencatuman kolom agama ini sarat dg kepentingan dan pastinya akan ditentang banyak pihak. Karenanya untuk menyelesaikan permasalahan kebebasan beragama harus dgn sangat hati-hati dan tidak langsung ceplas ceplos berpikir sedmikian liberal dan liar lalu solusinya adalah ini dan ini yang harus dituju.

Sejujurnya saya resah dgn marjinalisasi yang sangat mungkin terjadi bagi para penghayat kepercayaan. satu hal yang saya insyafi, bahwa seharusnya semua jenis manusia berhak tinggal di negara ini. Bahwa penganut aliran kepercayaan adalah manusia yang berhak atas tanah mereka, berhak tinggal di negara ini. kita bukanlah bangsa israel yang mengusir dgn mudah bangsa arab dari tanah mereka, atau kita bukanlah bangsa amerika yang menghilangkan indian dari tanah mereka, kita bukanlah bangsa australia yang membuat punah suku aborigin dan menjadikan mereka sekedar museum hidup. bahwa Sunda wiwitan berhak untuk hidup sebagaimana biasa, sebagaimana kita, orang yang agamanya diakui. mereka adalah subyek, bukan sekedar obyek penelitian karena menjaga budaya sunda. mereka bukan museum berjalan. mereka adalah satu dari ratusan juta subyek yang membentuk Indonesia. bahkan mungkin ajaran mereka jauh lebih lama hidup di tanah kita ini bahkan sebelum ajaran agama masuk ke nusantara.

Perlindungan bagi Penghayat Kepercayaan

Karenanya, seharusnya hak mereka dilindungi oleh negara ini. Namun pertanyaannya, apakah mereka benar2 tidak dilindungi untuk hidup menjalankan kepercayaannya? setelah saya sedikit melakukan pencarian atas beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku atas para penghayat kepercayaan, setidaknya terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait, yaitu:

1. UU No. 23/2006

2. PP No. 37/2007

3. Permendagri No. 12/2010

4. Peraturan Bersama Mendagri dan Menbudpar No. 43/41 2009

Sebelum kita membahas lebih detail dari sisi perundang-undangannya, mengenai kebebasan beragama secara jelas diatur dalam konstitusi kita sebagai grondwet bahasa kerennya atau sebagai dasar dari undang-undang yang ada dan berlaku di negara kita. Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjelaskan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Ini adalah janji yang 'diucapkan' negara kepada kita, rakyat. selain janji ini, negara juga berjanji pada forum negara di dunia dengan meratifikasi konvenan hak sipil politik (UU Nomor 12/2005). Dalam konvenan internasional tersebut juga dnyatakan bahwa negara menjamin hak atas kebebasan beragama yang memiliki dua spektrum yaitu forum internum dan forum eksternum. forum internum adalah hak untuk memeluk agamanya. sedangkan forum eksternum adlah hak dalam memanifestasikan agamanya salah satunya adalah mendirikan tempat ibadah. hak manifestasi agama ini dapat saja dibatasi oleh negara dengan alasan melindungi ketertiban umum, keamanan publik, hak-hak atau kebebasan orang lain dan lain sebagainya (biasanya yang sering jadi sengketa adalah hak manifestasi beragama ini). Berdasarkan uraian tersebut, maka disimpulkan bahwa dengan memeluk suatu agama atau kepercayaan, tidak akan mengurangi hak seorang warga negara. Jelas, ini adalah rasa yang pas dengan rasa yang saya yakini. artinya, dari segi konstitusi dan UU ratifikasi, gelombangnya sama dengan perasaannya, insting saya berkata ini benar. harusnya tidak ada yg salah dengan hukumnya. dalam tataran ini.

Namun perlu kita ketahui bahwa pelaksanaan hak-hk sipil politik diturunkan k dalam banyak Undang-Undang. Penjaminan atas hak-hak ini diturunkan dalam banyak peraturan. yang paling hakikat dan dasar menurut saya adalah administrasi kependudukan, karena bagian inilah yang akirnya jadi dasar untuk pelayanan lain2 bagi warga negara kita. dari liputan dalam metro realitas, permasalahan besar yang dihadapi oleh para penghayat kepercayaan adalah memang prmaslahan administasi kependudukan. Bahwa mereka kadang 'terpaksa' mencantumkan agama islam dalam KTP mereka karena susah ketika berhadapan dengan Bank untuk membuat buku tabungan dan lain sebagainya. hal ini jelas tidak sesuai dengan rasa keadilan saya. mereka selayaknya dapat hak dan kewajiban yang sama atas segal jenis layanan. lebih jauh lagi ketika bicara tentang pernikahan. kebanyakan yang terjadi adalah akhirnya pernikahan mereka tidak tercatat, pastinya efek domino dari hal ini akan kemana2 dan bukan efek yang kecil. karena akan menyangkut keabsahan kelahiran anak2 mereka dan lain sebagainya. kalaupun 'diakali' tentu tidak sesuai dengan apa yang terjadi sebenarnya, misalkan anak tersebut dicap sebagai anak luar kawin, tentu pelanggaran prinsip adanya pengaturan administrasi kependudukan jelas terjadi dalam hal ini. administasi kependudukan yang seharusnya mengahsilkan data yang valid atas apa yang terjadi pada penduduk Indonesia, malah jadi sekedar kegiatan 'adminsitrasi' saja, yang sekedar menyajikan data, tidak benar secara faktual.

sebenarnya dalam UU No. 23/2006, keberadaan penghayat kepercayaan telah diakui pada pasal 8, 58, 61 dan 64. Apabila kita melihat lagi keperaturan turunannya yaitu PP No. 37/2007, keberadaan penghayat kepercayaan ini lebih tegas lagi diakui. mengenai penghayat kepercayaan ini dengan tegas definisinya diatur dalam Pasla 1 PP 37 pada bagian definisi. Karenanya secara struktur perundang-undangan, pengakuannya ada pada bagian konsep dari PP 37 dan menrut saya pengakuan itu cukup tegas. tinggal bagaimana dari segi teknis pengaturannya sebagaimana dijelaskan dalam batang tubuh (pasal perpasal yang lebih khsuus).

Pada UU No. 23/2006 diatur bahwa Instansi Pelaksana (atau biasa dikenal Disduk di tingkat kabupaten/kota) di bidang urusan Administasi Kependudukan salah satu kewajibannya adalah Pencatatan Peristiwa Penting bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan. artinya secara tugas dan fungsi, menjadi salah satu tugas dari pemerintah untuk melayani masyarakat penghayat kepercayaan. mengenai penghayat kepercayaan selanjutnya termasuk dalam data kependudukan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 58 UU 23. Namun memang, untuk KK dan KTP, aliran kepercayaan tidak dimasukan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 dan 64 UU 23, namun tetap dimasukan ke dalam database kependudukan. tidak dimasukannya aliran ini sejauh ini belum saya ketahui alasannya apa, karna dalam penjelasan pasal tersebut hanya dicantumkan "cukup jelas". hal ini disinyalir akan merugikan para penghayat kepercayaan dalam hal berhubungan dengan pihak ketiga karena pihak ketiga yang tidak paham akan menyangka mereka "atheis" atau "komunis". kalau saya liat mengapa masalahnya tidak dicantumkan dalam KK dan KTP, lebih ke arah untuk menghindari liarnya pencantuman "aliran kepercayaan". karena ketidakmampuan dari pemerintah untuk mendata aliran kepercayaan dan disamping itu belum efektifnya surat keterangan terdaftar aliran kepercayaan (mengingat aliran kepercayaan wajib dapat surat keterangan terdaftar (Perber Mendagri dan Menbudpar 43 dan 41/2009)). Jadi aliran kepercayaan belum dimasukan ke KK dan KTP namun dimasukan ke dalam database kependudukan.

Selain itu, apabila kita menilik PP No.37/2007, maka banyak terdapat aturan-aturan yang menegaskan bahwa seharusnya tidak masalah menganut aliran kepercayaan. seharusnya instansi pelaksana tetap harus melayani mencatat peristiwa penting penduduk walaupun mereka penghayat aliran kepercayaan. sebagaimana diatur dalam Pasla 81 sampai dengan 83, pejabat instansi pelaksana administrasi kependudukan mencatatkan perkawinan penghayat aliran kepercayaan dengan syarat-syarat sebagaimana dinyatakan dalam peraturan tersebut. cuma yang menjadi catatan dalam pecatatan perkawinan ini adalah sikap pro aktif dari organisasi penghayat kepercayaan yang harus mendaftarkan diri pada Instansi yang berwenang (Bupati/Walikota atau Gubernur untuk mendapatkan surat keterangan terdaftar dan Menbupar untuk mendapat surat keterangan terverifikasi). Perlunya sikap ini, saya lihat lebih karena memang untuk menilai suatu aliran kepercayaan itu ada atau tidak, mengingat banyak sekali aliran keprcayaan yang ada di Indonesia, perlu adanya inisiatif dari pemeluk aliran kepercayaan tersebut.

Simpul

Karena itu, berdsarkan uraian di atas, memang menurut saya pemerintah masih belum mampu mengamankan, menyamaratakan aliran kepercayaan dgn beberapa agama besar yang banyak dianut di Indonesia, namun bukan berarti hal tersebut tidak dijamin. amatlah mudah menilai kegagalan pemerintah, namun apabila menjadi regulator atau eksekutor, banyak sekali kebijakan yang perlu diperhatikan. karenanya semangat yang harusnya adalah adalah semangat memperbaiki bangsa ini bersama, bukan sekedar menuntut hak, tapi menyelesaikan masalah bersama. Pagi para pelaksana administasi kependudukan, ahrus paham bahwa semua orang memiliki hak yang sama, jangan melihat ketidak adilan lantas diam saja, lantas bilang, yah sudah diatur kayak gitu bu, ya kalo mau nikah ya cara islam ajalah, kalau mau ada akta ya nikahnya diislamin aja. akhirnya data faktual dan data yuridis berbeda. akhirnya ga ada gunanya itu sistem bagus2 dibuat. Selain itu kepada para pemuka, tokoh aliran kepercayaan, mohonlah agar tidak terus 'nyinyir' pemerintah. daftarkanlah organisasi penghayat kepercayaan anda. mungkin setelah ini regulasi akan berubah dan mungkin akan ada lagi kemudahan bagi para penghayat kepercayaan. tapi menurut saya, secara prinsip hak anda sudah cukup dilindungi paska reformasi ini.

Adapun adanya pendapat tidak dicantumkannya aliran kepercayaan di KTP dan KK sehingga menimbulkan persepsi bahwa mereka tidak beragama seharusnya ditanggapi ke inti permasalahannya, yaitu memang masyarakat kita yang harus diedukasi tentang perbedaan, tentang bahwa bukan berarti tidak adanya agama di KTP dan KK lantas mereka tidak beragama. ini yang harus disosialisasikan. bukan malah akhirnya nyinyir dan menyimpelkan masalahnya pada adanya kolom agama di KTP. menurut saya hal ini simplifikasi maslah. padahl kita tau, untuk menghilangkan kolom agama bukan hal yang mudah, karena sejatinya KTP digunakan sebagai identitas kita, apapun latar belakang kita. identitas itu untuk apa? jelas untuk menunjukan siapa orang itu karena pasti ketika ada peristiwa yang terkait dengan dia dan kita hanya punya kTP, mungkin ada yang dapat membantu dia dari identitasnya, termasuk bagi para penghayat kepercayaan. apakah kita akan menguburkannya secara islam, padahal haram bagi mereka untuk dikuburkan diluar kepercayaan mereka kalau tiba2 terjadi kecelakaan misalnya? Karenanya jangan akhirnya stigma di masyarakat yang salah ini, yang menganggap tidak adanya kolom agama itu menyimpulkan jadi atheis dan lainnya, dan tidak menerima perbedaan beragama, akhirnya mengaburkan esensi kartu tanda penduduk yang didalamnya berisi identitas penduduk. obatilah penyakit sesuai dgn penyakitnya. Sedang untuk golongan mayoritas (islam) dan para ulama, mohon jangan 'memaksakan' agama pada saudara kita yang tidak ingin beragama layaknya kita, ada satu ayat di Surah Albaqoroh. letaknya bersebelahan persis dengan ayat Kursi. ayat itu berkata "Tidak ada Paksaan dalam beragama...."

Sekian

http://m.kompasiana.com/post/read/67887 ... ereka.html
Mirror: Penghayat Kepercayaan, Bagaimana Kabar Mereka?
Follow Twitter: @ZwaraKafir
Post Reply