Page 1 of 1

Wamenag: Dampak ‘Agama Kepercayaan’ Sangat Besar

Posted: Tue Oct 01, 2013 6:19 pm
by Laurent
Butuh Pengakuan dalam Kolom KTP
18/09/2013 | Dalam Kategori: Berita Nasional |



Wamenag: Dampak ‘Agama Kepercayaan’ Sangat Besar


nazarudin

Nasaruddin Umar

DUTAonline, JAKARTA – Keputusan Mahkamah Agung (MA) mencantumkan kepercayaan terhadap Tuhan pada kolom agama di KTP terdakwa masih menuai pro-kontra. Sebab putusan MA itu secara otomatis mengakui aliran kepercayaan sebagai agama.


Untuk itu, Wakil Menteri Agama (Wamenag), Nasaruddin Umar, meminta masalah ini dibahas lebih mendalam dengan menggali nilai manfaat dari isu terkait aliran kepercayaan dimasukkan dalam kolom agama pada KTP tersebut. “Sebaiknya dilihat duduk persoalannya dulu,” kata Nasaruddin Umar kepada Duta Masyarakat di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Selasa (17/9) kemarin.


Dikatakan Wamenag, dampak pengakuan tersebut sangat besar, baik dari segi sosiologis maupun hukum. Karena itu harus dibahas secara arif dan bijaksana tentang kedudukan aliran kepercayaan tersebut. “Kalau pun kepercayaan diakui, misalnya, tentu harus ada forum besar untuk membahasnya,” ungkapnya.


Menurutnya, Indonesia adalah negara hukum sehingga tidak bisa sembarangan orang maupun instansi memutuskan sesuatu melainkan harus duduk bersama. Apalagi isu aliran kepercayaan ini dulu pernah dibahas hingga memicu demo besar-besaran. “Jadi, hal seperti itu jangan sampai terjadi lagi,” ujarnya.
Nasaruddin menambahkan isu ini sangat sensitif. Kesalahpahaman terhadap putusan dalam persoalan ini bisa berdampak luas. “Ini sudah sering diperdebatkan. Jadi lebih baik didiskusikan secara mendalam,” katanya.


Peneliti Wahid Institute, Rumadi, menilai, kebijakan diskriminatif negara terhadap kelompok kepercayaan yang hidup di Indonesia sudah waktunya dihentikan. Caranya dengan memberikan pengakuan kepada penghayat aliran kepercayaan dalam kolom status agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Ditegaskan Rumadi, sikap diskriminatif ini sudah lama dilakukan negara. Dengan semena-mena negara mengabaikan hak-hak sipil warga yang tidak menganut agama besar pada umumnya. “Lho agama-agama dari luar itu bisa diakui negara. Kenapa kepercayaan yang merupakan agama ‘asli’ Indonesia justru dilupakan. Ini kan diskriminatif,” ujarnya.


Menurutnya, Undang-undang mana pun tidak menyebutkan agama negara dan agama non negara. Bahkan konstitusi negara juga tidak mengadopsi konsep tersebut. Termasuk dalam UU No. 1 PNPS tahun 1965 tentang Pencegahaan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, tidak menganut konsep agama negara.


Dia memastikan sebutan enam agama negara yang diakui pemerintah itu tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). Artinya, terjadi ketidaksinkronan penerjemahan UU dalam bentuk peraturan menteri.
“Di sini persoalannya. Harusnya peraturan itu mengikuti undang-undang. Tidak memberikan terjemahan sendiri, yang berimplikasi pada teknis di lapangan seperti KTP,” tegasnya.


Rumadi mengakui selama terlibat dalam pendampingan kelompok penghayatan atau kepercayaan tidak ada tuntutan menjadikan kepercayaan sebagai agama negara. Para penganut penghayatan itu lebih berharap adanya pengakuan dalam kolom KTP saja.
Karena, lanjut dia, memang terjadi diskriminatif negara secara terang benderang pada persoalan ini. Kelompok penganut kepercayaan atau penghayatan tidak memiliki ruang dalam identitas dirinya sehingga semakin terisolasi dari komunitas luas. “Semakin jelas diskriminasi negara itu terjadi. Hal-hal seperti inilah yang sepatutnya dapat dihindari. Pemerintah perlu segera menuntaskannya,” katanya.


Menurutnya, hak-hak sipil warga negara tak boleh diabaikan. Pemerintah harus memenuhi hak-hak sipil itu. Pengabaian terhadap hak sipil merupakan bukti penganiayaan negara pada warganya sendiri.
Tentu saja, kata dia, kebijakan termudah dari pemerintah adalah mengakui kelompok penghayat atau kepercayaan itu. Cantumkan status kepercayaan dalam kolom status agama yang ada di KTP. “Dengan begitu tidak ada diskriminatif yang terjadi terang benderang,” imbuhnya.


Ketua YLBHI Alvon Kurnia Palma, juga menyebut senada. Dia mengapresiasi MA yang mengakui kepercayaan sebagai agama di luar 6 agama resmi sesuai UU Administrasi Kependudukan. “Apa yang dilakukan MA sekarang, bahwa Kepercayaan Penghayat Tuhan itu diakui, apakah itu merupakan sebuah terobosan baru, tetap harus diapresiasi,” katanya.


Menurut Alvon, keputusan yang keluar dari MA itu dapat menjadi preseden baik bagi hakim-hakim di bawahnya. Dapat dijadikan referensi jika menemukan kasus yang sama. “Tidak wajib bagi hakim untuk mengetahui agama atau kepercayaan seseorang, itu adalah kebebasan seseorang memilih,” ujarnya.
Alvon menambahkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pernah menyatakan tidak mempermasalahkan agama atau kepercayaan yang dianut seseorang. Peraturan yang tertera di UU Administrasi Kependudukan itu seakan membuat alur pemikiran kembali mundur. “Di UU Administrasi Negara itu, seolah negara telah memilihkan agama mana saja yang terbaik, tapi kembali lagi, kita tidak boleh mencari itu, itu masalah keyakinan,” ungkap Alvon.


Seperti diberitakan Duta Masyarakat, MA dalam putusan kasasi terdakwa KRA Basuki Adinogoro menerima identitas agama yang bersangkutan yaitu Kepercayaan Penghayat Tuhan. MA tidak mempersoalkan kepercayaan sebagai identitas agama seseorang dalam sidang pengadilan. Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur penulisan agama di KTP dan berbagai persyaratan sudah tidak diterapkan lagi di berbagai negara. Sebab hal tersebut merupakan hak asasi pribadi tiap individu.





Penulis: Huda Sabily, Jakarta

http://dutaonline.com/18/09/2013/butuh- ... kolom-ktp/

Wamenag: Dampak ‘Agama Kepercayaan’ Sangat Besar
FFI Alternative
Faithfreedompedia

Re: Wamenag: Dampak ‘Agama Kepercayaan’ Sangat Besar

Posted: Tue Oct 01, 2013 6:20 pm
by Laurent
Memburu pengakuan dari agama di KTP
Diperbaharui 21 September 2013, 11:40 AEST
Laban Laisila

Putusan Mahkamah Agung Indonesia yang tidak mempersoalkan identitas agama dalam ruang pengadilan mendapat sambutan baik dari berbagai kalangan, bahkan mulai muncul desakan untuk menghapuskan kolom agama dari KTP karena menghambat hak sipil dan pelayanan publik.
Laporan reporter kami di Jakarta, Laban Laisila. (Credit: ABC)
Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), salah satu organisasi yang menyerukan pluralisme dan kebebasan berkeyakinan, menyambut positif yang dilakukan oleh Mahkamah Agung untuk mengakui dan tidak mempersoalkan keyakinan orang yang berperkara.

Hal itu diketahui dari sebuah lampiran putusan perkara tingkat kasasi di Mahkamah Agung terkait kasus penipuan yang menulis keyakinan identitas terdakwa dengan kepercayaan penghayat Tuhan.

Sementara dalam kasus tuduhan kriminal lainnya di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, MA juga menuliskan dalam putusan diantara lima terdakwa memilih Kepercayaan Marapu.

Putusan tersebut tergolong baru karena mulai mencantumkan keyakinan lain di luar enam agama yang diakui Pemerintah Indonesia, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.

Wakil Ketua ICRP, Yohanes Hariyanto mengungkapkan, hal ini adalah sebuah langkah awal bagi negara mulai mengakui para penganut keyakinan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Namun menurutnya itu saja belum cukup dan perlu dilanjutkan untuk penghapusan kolom agama dari Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Hingga kini banyak para penganut kepercayaan dan agama leluhur di Indonesia masih terpaksa memilih agama yang diakui atau tidak membuat KTP.

Buat mereka yang tidak memiliki KTP karena menolak mencantumkan agama akan kehilangan hak hak sipilnya.

“Anda tahu ya di Indonesia kalau tidak punya KTP anda bukan siapa-siapa dan tidak bisa mengurus apapun untuk administrasi kependudukan yang lain. Untuk naik keretapun perlu KTP, begitu juga beli tiket pesawat,” ujar Hariyanto.

“Jadi bisa dibayangkan orang di cut hak-hak sipilnya justru dilakukan oleh negara,” tambah Hariyanto.

Untuk itulah, kata Hariyanto, perlu ada penghapusan kolom agama dan negara harus mengakui semua warganya, terlepas dari latar belakang pengakuan agamanya.

“Kalau negara mau tahu berapa jumlah penganut agama tertentu, tinggal lakukan saja sensus secara reguler, tidak ada masalah,” jelasnya.

Pengakuan para pengkhayat

Masalah dengan layanan publik dan respon negatif dari masyarakat memang kerap dirasakan oleh penganut kepercayaan.

Salah satunya adalah Tenri Bibi, penganut agama komunitas Tolotang dari Sidrap, Sulawesi Selatan.

Dia mengaku terpaksa mencatumkan agama yang diakui pemerintah dalam KTP agar tidak dipaksa sembahyang oleh penganut agama mayoritas.

“Itu tadi pemaksaaan untuk sembahyang, padahal kami tidak mau sujud. Dulu karena ga ada pengakuan kami bernaung di agama Hindu karena ga mau bersujud dan dengan perjanjian kita tidak melakukan ritual agama Hindu seperti di Bali,” cerita Bibi.

Menurut Bibi, kini penganut kepercayaan Tolotang memang sudah sedikit leluasa untuk melaksanakan ritual di daerahnya, meski sebagian tetap ada yang mencibir dengan kata kafir.

Tapi baginya yang tersulit tetap mendapat pengakuan dari Pemerintah melalui pencantuman di KTP.

Hal yang mirip juga dialami oleh para komunitas penghayat Sunda Wiwitan dari Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.

Ela Romlah, warga komunitas penghayat Sunda Wiwitan, terpaksa memilih mencatumkan agama Katolik untuk menyelamatkan masa depan keluarganya.

Romlah beralasan melakukan itu supaya tiga anaknya bisa punya akte kelahiran dan tidak sulit mendapat perkerjaan serta pengakuan pernikahan seperti yang sekarang dialami oleh banyak keturunan pengkhayat.

“Kalau ada yang mendapat kesempatan menjadi pegawai negeri dan perempuan kita menikah dengan seorang lelaki karena adat yang tidak punya akte kelahiran dan akte perkawinan, tunjangan keluarga yang biasa diterima oleh pegawai negeri itu tidak bisa diterima oleh kami,” katanya.

Kesulitan Romlah belum berhenti sampai di situ.

Dia mengenang peritsiwa 27 tahun lalu, saat jenazah suaminya tidak bisa dikuburkan di kampungnya karena otoritas setempat tidak mau mengakui.

“Lapor ke desa tapi belum juga dimakamkan sampai datang perwakilan departemen agama. Pertanyaan datang terus-menerus saat saya sedang berduka. Saya tidak mengerti soal politik soal kebijakan. Tapi yang saya tahu, mayat harus segera dikuburkan,” kenang Romlah.

Masih ada puluhan ribu orang lagi yang mungkin menghadapi diskriminasi dan berharap ada pengakuan dari negara seperti Ela Romlah dan Tenri Bibi.

Terdapat lebih dari seribu komunitas adat dan agama lokal di Indonesia yang terdaftar di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Kesempatan pengakuan komunitas penganut agama lokal ini juga semakin sempit sejak upaya uji materi Undang Undang Penodaan Agama ditolak Mahkamah Konstitusi.

Tapi sebagian besar masih berharap kesetaraan.

http://www.radioaustralia.net.au/indone ... tp/1193820

Wamenag: Dampak ‘Agama Kepercayaan’ Sangat Besar
Mirror
Faithfreedom forum static