Page 1 of 2

Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskrimina

Posted: Wed Nov 14, 2012 5:36 pm
by Laurent
Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskriminasi
Reporter : Arbi SumandoyoJumat, 9 November 2012 14:46:44

Penghayat agama leluhur. ©2012 Merdeka.com
109


Walau pemerintah telah mengeluarkan UU No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan rupanya tidak menyelesaikan masalah untuk para penganut Agama Leluhur dan Kepercayaan. Mereka kerap terbentur masalah administrasi kependudukan dan sulit untuk mendapatkan KTP.

Berbagai diskriminasi timbul ketika kolom agama tidak terisi dan hanya bertuliskan tanda strip dalam KTP.

"Jika di KTP itu bertuliskan tanda strip, maka akan ada pertanyaan dan diskriminasi. Bisa dibilang banyak orang menilai mereka tidak punya agama atau sering disebut atheis. Padahal mereka punya kepercayaan," terang Nia Syarifudin dari Aliansi Nasional Bhineka Tungalika.

Hal tersebut dikatakan Nia, dalam diskusi Komnas Perempuan dengan Tokoh Perempuan Adat Penganut Agama Leluhur dan Kepercayaan di Griya Patria Jl Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (9/11).

Nia mengatakan bahwa bentuk diskriminasi tersebut terjadi dalam berbagai hal. Mulai dari kesulitan untuk mendapatkan KTP, pembuatan surat Nikah, akte kelahiran anak hingga hak untuk mendapatkan bantuan ekonomi dan pelayanan kesehatan.

Tenri Bibi, salah satu tokoh perempuan yang juga sebagai penganut Agama leluhur Tolotang mengatakan bahwa diskriminasi lewat KTP dampaknya begitu luas. Dijelaskan Tentri bahwa identitas dalam KTP mengenai agama menjadi sebuah masalah. Pemerintah sendiri menyarankan untuk penganut Tolotang tergabung dalam organisasi.

"Negara menyarankan untuk mengikuti organisasi," jelasnya.

Sebagai contoh diskriminasi yang dialami dari dampak KTP tersebut diantaranya, ketika seorang anak masuk sekolah. Saat ditanyakan mengenai akte kelahiran, maka muncul berbagai pernyataan bahwa tersebut anak yang lahir di luar nikah. Padahal kedua orang tuanya menikah secara sah dengan kepercayaan adat.

"Ketika masuk sekolah, maka akan timbul stigma, dengan pernyataan anak lahir di luar nikah atau haram," jelas Tenri.

Tidak berbeda dengan Seni, masyarakat dari Watutelu Dayak Maayam, Lombok, Kalimantan Tengah mengatakan hal yang sama. Ada warga dari Adat Watutelu mencoba mencalonkan menjadi Camat atau Lurah, namun lantaran kepercayaan mereka tidak diakui, mereka dianggap kumuh dan kotor sehingga tersisihkan.

"Hak-hak masyarakat di sana kurang, misalnya ingin mencalonkan camat atau lurah, mereka disisihkan dan dinilai kotor, kumuh. Kesempatan untuk pemilihan kepala daerah kurang," ucap Seni.

Dengan segala keterbatasan, Masyarakat Adat Watutelu ternyata cukup kreatif. Mereka telah membuat lembaga pranata adat dimana isinya koperasi, perpustakaan dan eko wisata yang intinya agar diketahui bahwa mereka juga berpendidikan.

"Kami mempunyai lembaga pranata adat, kami di sana telah membuka koperasi dan perpustakaan dan eko wisata supaya dianggap berpendidikan dan intinya dianggap oleh pemerintah di sana," kata Seni.

Mulai dengan
[hhw]

http://www.merdeka.com/peristiwa/pengha ... inasi.html

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Wed Nov 14, 2012 5:38 pm
by Laurent
..Identitas Agama Hambat Warga Akses Layanan Publik
TEMPO.CO – Jum, 9 Nov 2012....Email
Share0Cetak......Konten Terkait.
..
Lihat Foto.Identitas Agama Hambat Warga Akses Layanan Publik

TEMPO.CO, Jakarta - Kolom identitas agama di kartu identitas penduduk dinilai mempersulit masyarakat adat penganut kepercayaan. Ketua Subkomisi Pemantauan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Arimbi Heroepoetri, mengatakan, ketiadaan KTP berujung pada sulitnya masyarakat mengakses layanan publik.


"Kesulitan memperoleh KTP sebagaimana lazimnya warga negara menyebabkan kelompok penghayat kepercayaan yang mayoritas masyarakat adat, menjadi orang terpinggirkan di negerinya sendiri," kata Arimbi dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat, 9 November 2012.


Komisi menilai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebenarnya sudah berupaya mencegah diskriminasi bagi warga negara Indonesia yang penganut kepercayaan. Pasal 61 undang-undang itu mengatur penduduk yang agamanya belum diakui atau bagi penghayat kepercayaan,tetap dilayani, meski kolom agama dalam KTP-nya dikosongi.


Kenyataannya, kata Arimbi, pasal tersebut tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Menurut catatan Komisi, masih banyak masyarakat adat di Indonesia yang kesulitan mengakses program pemerintah akibat dipersulit dalam pengurusan KTP. Tidak adanya KTP membuat mereka tidak bisa memperoleh surat nikah, akta kelahiran anak, mendapat layanan kesehatan dan bantuan ekonomi, serta pengurusan perizinan pemakaman.


Kondisi di lapangan tersebut disayangkan Komisi. Apalagi hal itu diperparah dengan masih sulitnya mereka mendapatkan hak beribadah karena distigma sebagai kafir. "Mereka mesti berhadapan dengan kesulitan membangun rumah ibadah dan dalam memberi pendidikan agama leluhur bagi anak-anak di sekolah," ujar Arimbi.


Menurut Arimbi, seharusnya masyarakat adat tetap mendapat hak konstitusional yang diatur Pasal 28E dan Pasal 29, yang mengatur kemerdekaan beragama dan berkeyakinan, Pasal 28I ayat 3 tentang identitas budaya dan masyarakat adat, serta Pasal 28I ayat 2 UUD 1945 tentang bebas dari diskriminasi.


Aktivis dari Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Nia Syarifudin, berharap pemerintah memberi perhatian terhadap masalah ini. "Perjuangan masyarakat adat sah karena ada jaminan konstitusi. Ini persoalan kemauan pemerintah saja untuk menghilangkan diskriminasi," ujarnya.


ISMA SAVITRI

http://id.berita.yahoo.com/identitas-ag ... 03007.html

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Sun Nov 18, 2012 7:45 pm
by Kartika
Ini pasti ulah muslim2, mereka pada takut kehilangan pengikut. Islam kan memang agama paksaan, jumlahnya mayoritas cuma karena tekanan.

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Sat Nov 24, 2012 11:12 am
by Laurent
Kartika wrote:Ini pasti ulah muslim2, mereka pada takut kehilangan pengikut. Islam kan memang agama paksaan, jumlahnya mayoritas cuma karena tekanan.
betul sekali, buktinya ada di sini

http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... am-t21526/

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Thu Nov 29, 2012 7:43 pm
by Laurent
Ketika Mengabdi Sang PenciptaPun Dipersulit Nov 13th, 2012 @ 12:02 am › Wahyu Dramastuti / SH / IM ↓ Skip to comments

Like Sign Up to see what your friends like.

Para penganut agama asli/penghayat kepercayaan terdiskriminasi sejak lahir hingga setelah meninggal.

Tenribibi tak sanggup lagi menahan bulir-bulir air yang mengambang di sudut matanya. Syal yang menggelantung di leher hanya sedikit membantu mengusap pipinya yang basah. Emosinya membuncah mendengar cerita Evi Mauboy yang datang dari Boti, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tenribibi dan Evi Mauboy menyusuri jarak ribuan kilometer menuju Jakarta, hanya untuk sama-sama menyuarakan nasib para penganut agama asli/penghayat kepercayaan.

Perjuangan yang sangat menyakitkan. Karena belum lagi menyampaikan aspirasi, perjalanan fisik untuk menuju ke tempat bersuara di Jakarta sudah penuh liku.

Evi harus keluar dari kotanya, Kupang. Kemudian naik bus tiga jam, lalu disambung ojek atau menumpang truk sejauh 50 kilometer di jalanan berbatu. Lantas diteruskan naik ojek khusus yang sudah terbiasa melewati jalan berbatu sejauh 30 kilometer.

“Batu-batunya segede baskom,” Evi bercerita sampai berbusa-busa, sementara air mata Tenribibi semakin tak terbendung mendengarnya.

Menurut Evi, perjalanan itu untuk memberikan sirih pinang kepada tetua adat di Desa Boti, guna meminta restu atas keberangkatannya ke Jakarta mengikuti acara dialog yang diselenggarakan Komnas Perempuan. Setelah restu diberikan tetua adat, kembali Evi menapaki “sepanjang jalan kenangan” tadi untuk menuju Kota Kupang. Selanjutnya ia terbang ke Jakarta sekitar tiga jam.

Dialog oleh Komnas Perempuan itu terkait pengaduan masyarakat adat penganut agama asli/penghayat kepercayaan. Tenribibi mewakili Komunitas Adat Tolotang, Sidrap, Sulawesi Selatan; Evi dari Komunitas Adat Boti, NTT. Juga ada peserta lain, di antaranya Dian Jennie dari Komunitas Penghayat Kepercayaan Sapto Dharmo, Jawa Timur; Mahniwati dari Komunitas Wetu Telu, Sasak, Nusa Tenggara Barat (NTB); Dewi Kanti dari Komunitas Adat Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Kuningan, Jawa Barat; juga ada dari Komunitas Adat Penganut Agama Kaharingan, Kalimantan Tengah; serta Komunitas Adat Minahasa dan Bantik, Sulawesi Utara.

Kepada SH, Sabtu (10/11), kelima perempuan tangguh itu sahut-menyahut mengungkapkan kisah masing-masing. Keluhan mereka sama, didiskriminasi oleh pemerintah dan masyarakat hanya karena menganut agama asli atau penghayat kepercayaan. Tekanan hidup mereka alami sejak lahir hingga kembali menjadi debu. Sejak lahir mereka sudah dipersulit untuk mengakses Kartu Tanda Penduduk (KTP), hingga saat kematian pun sulit mencari tanah kuburan.

Dian dari Komunitas Penghayat Kepercayaan Sapto Dharmo, Jawa Timur, mengisahkan, di Brebes sekitar lima tahun lalu ada penghayat kepercayaan Sapto Dharmo yang sudah dimakamkan. Tapi kemudian datanglah beberapa lelaki dengan pedang terhunus. Mereka protes.

“Terus mau tak mau jenazah dibawa lagi untuk dimakamkan di belakang rumah,” kata Dian dengan senyum hambar. Tempat Pemakaman Umum (TPU) disekat-sekat berdasarkan agama. “Akhirnya, sekarang beberapa orang dari Sapto Dharmo memilih kalau meninggal diperabukan kemudian abunya dilarung ke laut. Jadi, dalam hal kematian pun kami terdiskriminasi,” ia menambahkan.

Sulit KTP Kesulitan mengakses KTP yang dialami oleh masyarakat adat penganut agama asli/penghayat kepercayaan berimplikasi panjang terhadap layanan publik bagi mereka. Tak punya KTP berarti tak bisa memperoleh surat nikah dan akta kelahiran anak, serta sulit mengakses layanan kesehatan dan bantuan ekonomi. Mereka juga dilarang menjalankan keyakinan yang dianut. Malah, oleh masyarakat distigma sebagai kafir.

Pada setiap KTP, pada kolom agama dikosongkan. Ini karena tak boleh tertulis agama selain enam agama atau kepercayaan yang diakui Indonesia: Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Konghucu. Padahal, KTP juga menjadi syarat untuk menikah. Setelah menikah pun anaknya tidak diakui sehingga anak tidak punya legalitas sebagai anak dari orang tua kandungnya.

Dewi Kanti dari Komunitas Adat Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Kuningan, Jawa Barat, mencontohkan, ada seorang anak yang di akta kelahirannya hanya tertulis “…telah terlahir seorang anak perempuan bernama Dwi Mahardika Rahayu Ningsih anak kedua dari perempuan bernama Enjar Jarmanah (ibunya) yang telah diakui oleh seorang laki-laki bernama Ebo Saboga (sebagai ayahnya)…”.

Kata “diakui” sebagai anak itu bertentangan dengan faktanya, sebab anak itu adalah anak kandung. “Seperti itulah. Di sekolah pun ada stigmatisasi dan kekerasan psikologis. Teman-temannya mencibirkan karena menganggap anak haram,” jelas Dewi. “Saya waktu SD juga terintimidasi oleh guru. Orang tua saya dianggap murtad. Ini masalah psikologis dan inilah yang dialami oleh para pelestari adat leluhur,” katanya.

Murid juga tidak diberi kesempatan untuk mempelajari mata pelajaran agama asli/penghayat kepercayaan di sekolah. Para siswa merasa keberatan jika harus ikut salat atau misa atau kebaktian dan lain-lain yang tidak sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Akhirnya yang dilakukan Dewi bersama para ibu adalah mengekspresiken lewat budaya, semisal tembang Sunda. Pertunjukan itu bukan sekadar tontonan tetapi dimaksudkan juga sebagai tuntunan.

Komunitas adat juga diharuskan masuk dalam salah satu organisasi. Yang lebih parah, mereka sulit memperoleh pekerjaan. Contohnya, untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus memiliki agama yang “jelas”. Akhirnya mereka “sembunyi-sembunyi”. Namun mereka tetap terancam, kalau ketahuan tidak diangkat sampai memasuki umur pensiun.

Ada lagi kasus di mana seorang PNS ditulis sebagai bujangan karena tidak memiliki legalitas perkawinan. “Tetapi untuk istrinya tetap dipotong setiap bulan sebagai iuran Dharma Wanita,” Dewi melanjtkan. Para ibu yang mendengar penuturan Dewi tertawa terbahak karena juga menyaksikan hal yang sama di komunitas mereka.

Ada lagi kasus di mana seorang PNS ditulis sebagai bujangan karena tidak memiliki legalitas perkawinan. Anehnya, setiap kali menjelang pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada), mereka tanpa meminta malah diberi kartu pemilih.

Undang-undang Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama merupakan akar dari berbagai tindak diskriminasi itu. Sebelum ada UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, anggota kelompok penghayat kepercayaan bahkan dipaksa untuk menyatakan diri menjadi bagian dari salah sati agama “resmi”, yang disebut di dalam UU No 1/PNPS/1965.

Pasal 61 UU itu menyatakan bagi penduduk yang agamanya belum diakui atau bagi penghayat kepercayaan maka keterangan pada kolom agama tidak diisi. Kesulitan untuk memperoleh KTP menyebabkan kelompok penghayat kepercayaan, yang sebagian besar adalah masyarakat adat yang memegang teguh ajaran agama leluhurnya, menjadi orang yang terpinggirkan di negerinya sendiri.

Untuk KTP di Kaharingan, Kalimantan Tengah, di KTP tertulis agama Hindu Kaharingan. Padahal menurut masyarakat adat Dayak, Hindu adalah agama tersendiri, sedangkan Kaharingan terkait kepercayaan asli Dayak. Kedua hal ini, Hindu dan Kaharingan, tidak bisa dicampur aduk. Karena itu masyarakat adat setempat menuntut agar Kaharingan tertulis di KTP sebagai agama, tanpa embel-embel lain.

Hal serupa dialami oleh agama Hindu Tolotang di Sulawesi. Mereka pun menuntut hal yang sama: jadikan Tolotang sebagai agama tersendiri tanpa embel-embel. Mereka hanya ingin mengabdi pada Sang Pencipta dan mengasihi sesama tanpa dipolitisasi. (Yuliana Lantipo)

http://www.indonesiamedia.com/2012/11/1 ... ipersulit/

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Thu Nov 29, 2012 8:18 pm
by Laurent
Masih Terjadi di Indonesia

Senin, 12 November 2012 | 06:25 WIB

Munas Penghayat Kepercayaan Kapribaden di Purworejo.Foto: Jarot S

PURWOREJO(KRjogja.com)- Sikap diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan masih terjadi di Indonesia. Kendati dilindungi Undang-undang, namun masih ada kelompok masyarakat yang belum memahami sehingga melakukan tindakan yang menyakiti penghayat kepercayaan.

Ketua Umum Penghayat Kepercayaan Kapribaden Suprih Suhartono mengatakan, bentuk diskriminasi antara lain pada bidang administrasi kependudukan.

"Sudah diatur jika penghayat kepercayaan bisa membuat KTP, dengan kolom agama dikosongkan atau diisi tapi bukan nama agama. Itu sudah bisa, namun giliran mau mencari pekerjaan susah karena dianggap tidak lengkap," ucapnya kepada KRjogja.com, disela Musyawarah Nasional (Munas) Penghayat Kapribaden di Hotel Plaza Purworejo, Minggu (11/11).

Menurutnya, penolakan itu sebagai wujud belum adanya kesepahaman masyarakat terhadap aturan yang melindungi aliran kepercayaan. Padahal setiap aktivitas kepercayaan tidak mengganggu masyarakat karena aliran itu mengajarkan kebaikan.

"Kami bukan agama, hanya penghayat kepercayaan terhadap Tuhan. Bukan juga sesat karena yang kami lakukan adalah kebaikan, bagaimana menjalani hidup agar tentram," tuturnya.(Jas)

http://krjogja.com/m/read/150267/masih- ... donesia.kr

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Sat Dec 22, 2012 6:34 am
by Laurent
http://www.beritasatu.com/mobile/nasion ... rjadi.html

Jumat, 21 Desember 2012 | 17:08

Ilustrasi: Suku Baduy adalah salah satu suku yang masih memeluk agama adat Sunda Wiwitan. Mereka menuntut agama dan kepercayaan mereka dicantumkan dalam E-KTP
Diskriminasi bagi Penghayat Kepercayaan Masih Terus Terjadi
Otoritas pemerintah menentukan agama resmi atau bukan resmi sudah diluruskan Mahkamah konstitusi yang menyatakan pemerintah tidak punya otoritas menentukan legalitas suatu agama.

Diskriminasi pelayanan publik akibat tak menganut salah satu agama ternyata masih terjadi hingga saat ini.

Hal itu terungkap dalam curahan hati para ibu-ibu Penganut Kepercayaan Kepada Tuhan yang Maha Esa dalam Seminar 'Pesan Ibu Nusantara bagi Arah Kebangsaan Indonesia: Akui dan Penuhi Hak-hak Konstitusional Pemeluk Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan' di Jakarta.

Anggota Komisi Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari, yang turut hadir dalam acara itu mengatakan merasa miris mendengar curhat para ibu yang memberi kesaksian atas diskriminasi dalam pelayanan publik oleh Pemda-pemda.

"Khususnya dalam pembuatan KTP atau e-KTP. Pemasangan tanda strip dalam kolom agama menyebabkan mereka kehilangan hak-hak sipil kependudukan seperti pencatatan kelahiran, perkawinan, kematian hingga pelayanan kesehatan. Belum lagi hak atas pendidikan dan pekerjaan semata karena mereka dianggap tidak beragama," tutur Eva di Jakarta, hari ini.

Para ibu itu merupakan anggota Penghayat agama-agama leluhur Sunda Wiwitan Jabar, Tolotang Sulsel, dan Sapto Darmo Yogyakarta. Mereka mengikuti seminar yang diprakarsai Komnas Perempuan dan Aliansi Bhinneka Tunggal Ika.

Acara itu juga dihadiri 35 perwakilan komunitas-komunitas di daerah seperti Parmalim, Suku Anak Dalam Jambi, Langka Mama Riau, Kepribaden, Sedulur Sikep, Romo Tegal, Osing Banyuwangi, Budho Tengger, Kaharingan Kalimantan, Bali Aga, Wetu Telu Sasak, hingga Komunitas Boti NTT.

"Diskriminasi terhadap para penghayat agama-agama leluhur ini bisa dikatakan sistematis dari lahir hingga meninggal. Mayatnya sering ditolak masyarakat untuk dikuburkan di pemakaman umum," kata Eva.

Politisi dari PDI Perjuangan itu menyebut sudah mendapat informasi Kemendagri sudah memberikan alasan soal hal itu bukanlah diskriminasi. Perlakuan demikian hanya melaksanakan perintah UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang menyatakan untuk kolom agama tidak resmi harus diberi tanda strip atau tidak diisi.

"Tapi terobosan Kemendagri dengan menyarankan para penghayat untuk melampirkan surat keterangan tentang kepercayaan yang dianut sesuai organisasi masing-masing ternyata tidak menyelesaikan masalah diskriminasi terhadap penghayat," ujarnya.

Padahal soal otoritas pemerintah menentukan agama resmi atau bukan resmi sudah diluruskan MK dalam Putusan 140/PUU-VII/2009 atas UU No 1/1965 tentang PNPS. Dalam putusan ini MK secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa pemerintah tidak punya otoritas menentukan legalitas suatu agama.

"Sehingga keputusan bahwa hanya ada enam agama resmi yang diakui oleh negara secara otomatis juga gugur. Atas dasar Putusan MK itu, maka harusnya semua pelaksanaan UU termasuk pihak Dirjen Adminduk Kemendagri harus mematuhinya. Artinya soal pengisian kolom agama itu dianggap tidak sesuai Konstitusi lagi," kata Eva.
Penulis: Markus Junianto Sihaloho/ Didit Sidarta

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Sat Dec 22, 2012 9:39 am
by Laurent
http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=629

Akui Hak Penghayat Kepercayaan "Pemerintah tidak memiliki otoritas untuk menentukan legalitas agama. Hak penganut agama leluhur dan penghayat kepercayaan harus diakui."

VHRmedia, Jakarta – Diskriminasi layanan publik terhadap para penghayat kepercayaan masih terjadi. Mereka misalnya ditolak membuat kartu tanda penduduk, kerena dalam kartu keluarga tidak dicantumkan agama.

Tanpa dokumen kependudukan, para penghayat kepercayaan sulit mengurus akta kelahiran, surat nikah, dan surat kematian. Akibatnya banyak dari mereka yang tidak mendapat layanan kesehatan dan pendidikan.

Hal itu terungkap dalam seminar “Pesan Ibu Nusantara Bagi Arah Kebangsaan Indonesia: Akui dan Penuhi Hak-hak Konstitusional Pemeluk Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan” di gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (20/12).

Dalam seminar yang diprakarsai Komnas Perempuan dan Aliansi Bhinneka Tunggal Ika, hadir para ibu penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, Tolotang (Sulawesi Selatan), Sapto Darmo (Yogyakarta), Parmalim, Suku Anak Dalam (Jambi), Langka Mama (Riau), Sedulur Sikep, Osing (Banyuwangi), Kaharingan (Kalimantan), Bali Aga, Wetu Telu Sasak, dan Komunitas Boti (NTT).

Diskriminasi terhadap para penganut agama leluhur dan penghayat kepercayaan ini sistimatis. Bahkan jenazah mereka sering ditolak masyarakat untuk dikuburkan di pemakaman umum.

Terobosan Kementerian Dalam Negeri agar para pengayat kepercayaan melampirkan surat keterangan dari organisasi masing-masing ternyata tidak menyelesaikan masalah diskriminasi.

Jaminan persamaan hak para penganut kepercayaan diluruskan Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materiil UU 1/1965 PNPS. Dalam putusannya Hakim MK menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki otoritas untuk menentukan legalitas agama. Aturan bahwa pemerintah hanya mengakui 6 agama resmi otomatis gugur.

Sehingga aturan dalam UU Adminisrasi Kependudukan (Pasal 61 ayat 2) yang mengosongkan kolom agama dalam kartu keluarga penghayat kepercayaan tidak sesuai konstitusi. Kolom tersebut harus diisi sesuai keyakinan penghayat agama. (E1)

Foto: Penghayat kepercayaan Bonokeling (VHRmedia/Prayitno)

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Sat Dec 22, 2012 3:24 pm
by Laurent
Anggota Komisi III DPR RI, Eva K. Sundari (tiga kiri) bersama sejumlah peserta seminar "Pesan Ibu Nusantara bagi Arah Kebangsaan Indonesia: Akui dan Penuhi Hak-hak Konstitusional Pemeluk Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan" di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (20/12). (Foto Istimewa)

Berita Terkait

Facebook Twitter

Tangisan Ibu-Ibu Penghayat pada Hari Ibu Jumat, 21 Des 2012 19:54:12 WIB

Jakarta, ANTARA Jateng - Sangguh menyayat hati mendengarkan kesaksian para ibu-ibu penghayat atas diskriminasi dalam pelayanan publik oleh pemerintah daerah, khususnya dalam pembuatan KTP elektronik (e-KTP), kata anggota Komisi III (Bidang Hukum dan HAM) DPR RI, Eva Kusuma Sundari, kepada ANTARA Jateng, Jumat.

Menurut dia, pemasangan tanda strip dalam kolom agama menyebabkan mereka kehilangan hak-hak sipil kependudukan, seperti pencatatan kelahiran, perkawinan, kematian, hingga pelayanan kesehatan dan hak atas pendidikan dan pekerjaan semata karena mereka dianggap tidak beragama.

Kesaksian tersebut, kata Eva, diungkap oleh para ibu penghayat agama-agama leluhur Sunda Wiwitan Jabar, Tolotang Sulsel, dan Sapto Darmo Yogya dalam seminar "Pesan Ibu Nusantara bagi Arah Kebangsaan Indonesia: Akui dan Penuhi Hak-hak Konstitusional Pemeluk Agama Leluhur dan Penghayat Kepercayaan" di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (20/12).

Seminar yg diprakarsai Komnas Perempuan dan ANBTI (Aliansi Bhinneka Tunggal Ika) itu dihadiri 35 perwakilan komunitas-komunitas di daerah, seperti Parmalim, suku Anak Dalam Jambi, Langka Mama Riau, Kepribaden, Sedulur Sikep, Romo Tegal, Osing Banyuwangi, Budho Tengger, Kaharingan Kalimantan, Bali Aga, Wetu Telu Sasak, hingga Komunitas Boti NTT.

Diskriminasi terhadap para penghayat agama-agama leluhur ini bisa dikatakan sistimatis dari lahir hingga meninggal karena mayatnya sering ditolak masyarakat untuk dikuburkan di pemakaman umum.

Berbagai bentuk diskriminasi dan marginaliasasi masy smkn intensif karena ketika neg ikut mendiskriminasi melalui kebijakan e-KTP yang tidak mencantumkan agama mereka (setrip).

Terhadap hal tersebut, kata Eva, pihak Kemendagri memberikan penjelasan bahwa mereka hanya melaksanakan perintah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bahwa untuk kolom agama tidak resmi diberi tanda strip/tidak diisi, sebagaimana Pasal 61 Ayat (2).

Terobosan Kemendagri dengan menyarankan para penghayat untuk melampirkan surat keterangan tentang kepercayaan yangdianut sesuai dengan organisasi masing-masing ternyata tidak menyelesaikan masalah, termasuk diskriminasi terhadap penghayat.

Soal otoritas Pemerintah menentukan agama resmi, menurut Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI itu, sudah diluruskan MK dalam Putusan 140/PUU-VII/2009 atas UU No. 1/1965 tentang PNPS.

Dalam putusan ini, lanjut Eva, MK secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa Pemerintah tidak punya otoritas menentukan legalitas suatu agama sehingga keputusan bahwa hanya ada enam agama resmi yang diakui oleh negara secara otomatis juga gugur.

Atas dasar bahwa Putusan MK bersifat final dan binding, maka semua pelaksanaan UU, termasuk pihak Dirjen Adminduk Kemendagri harus mematuhinya.

"Artinya Pasal 61 Ayat (2) UU Adminduk tersebut secara material juga tidak sesuai dengan konstitusi sehingga kolom agama harus diisi sesuai dengan fakta warga negara yang bersangkutan tidak dikosongkan," kata Eva.

Dengan demikian, kata Eva, Kemendagri akan memenuhi tujuan utama UU Adminduk, yakni sebagai perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap warga negara, temasuk para penghayat agama leluhur di Nusantara.

Sumber : -

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro Penyunting : D.Dj. Kliwantoro

http://www.antarajateng.com/detail/inde ... NVrUEMt3ms

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Sun Jan 20, 2013 11:48 am
by Laurent
http://elsaonline.com/?p=1624

Problem Hak Sipil Penghayat Kepercayaan
By Admin ⋅ 07/12/2012 ⋅ Post a comment


Oleh: Tedi Kholiludin

Pada 25-28 September 2012 kemarin, masyarakat Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah selesai menghelat Kongres Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Komunitas Adat dan Tradisi di Surabaya.

Ada empat tema utama yang menjadi bahan pembicaraan di Kongres tersebut. Pertama, Konsepsi Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, Komunitas Adat dan Tradisi. Kedua, advokasi dan pemberdayaan/peningkatan kapasitas. Ketiga, kelembagaan dan sumber daya manusia. Keempat, kebijakan dan strategi.

Suara yang paling kencang terdengar dalam pembicaraan itu adalah soal diskriminasi. Memang ini menjadi pokok soal dalam kehidupan penghayat kepercayaan. Di banyak tempat, mereka bermasalah mulai lahir sampai meninggal. Kesulitan mengurus akta kelahiran, kartu tanda penduduk, surat pernikahan dan penguburan jenazah.

Pasca reformasi ada upaya hukum untuk melindungi hak mereka. Meski tak sempurna dan masih menyisakan banyak persoalan di level implementasi, kita memiliki Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk), Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 tahun 2006, serta Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 dan 41 tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME.

Meski demikian, persoalan yang menghimpit kelompok penghayat kepercayaan ini sesungguhnya bukan semata-mata posisi hukum yang lemah. Saya mencatat setidaknya ada empat masalah yang mendera. Pertama adalah problem yuridis-politis. Meski di atas ada kemajuan dalam bidang hukum, tetapi peraturan lain yang diskriminatif masih bercokol. Kita bisa mencatat misalnya UU No. 1 PNPS 1965, tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Posisi penganut aliran kepercayaan dalam UU ini sangatlah lemah. Beda halnya dengan ”agama resmi” yang mendapat jaminan dan bantuan, serta penganut ”world religions” (Yahudi, Shinto, Zoroaster dan Taoism) yang dijamin eksistensinya seperti dalam pasal 29, penganut kepercayaan dibedakan pengaturannya. Terhdap mereka, pemerintah mengupayakan untuk menyalurkan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa

Masalah yang kedua, bersifat filosofis. Ini tentu saja berkaitan dengan apa itu Kepercayaan dan apa yang membedakannya dengan Agama. Tahun 1952, Menteri Agama pernah mengeluarkan Peraturan no. 9 yang salah satunya mendefinisikan Aliran Kepercayaan (via Ramstedt: 2004, 9). “Aliran kepercayaan . . . ialah suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih terbelakangan. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa”. Konsepsi ini, hemat saya kurang memadai.

Di Indonesia, pengaturan tentang agama dan kepercayaan memang ambigu. Asumsi yang dibangun, kepercayaan itu bukan agama sesuai dengan Tap MPR No. IV/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam dokumen-dokumen internasional, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) kata “religion” itu selalu bergandeng dengan “belief”. Dalam general comment (komentar umum) disebutkan, pemahaman terhadap religion dan belief itu harus diperluas termasuk diantaranya agama dan keyakinan yang bersifat lokal. Meski ada pembedaan, tetapi perlakuan terhadap penganut keduanya sama saja, harus dihormati dan dilindungi. Sementara, penganut Kepercayaan dalam produk perundangan kita tidak diperlakukan sebagaimana penganut belief seperti yang ada dalam ICCPR.

Problem ketiga yang berkaitan dengan penganut Kepercayaan adalah problem sosiologis. Masalah pemakaman penganut kepercayaan adalah bukti bahwa eksistensi kelompok ini masih dianggap sebagai “yang lain”. Kondisi ini juga dialami saat mereka hendak membangun sanggar atau sarana meditasi, ibadah lainnya. Ironisnya, banyak yang menerima perlakuan diskriminatif itu adalah anak-anak di level pendidikan dasar.

Masalah keempat adalah citra mereka seperti yang terekam di layar kaca atau media lainnya. Di banyak tayangan film atau sinetron, mereka yang kental dengan nuansa mistik, dukun, dan hal yang berbau jahat lainnya selalu digambarkan dengan manusia berpakaian hitam, memakai ikat kepala, membawa keris dan aksesoris lainnya. Padahal penganut kepercayaan, kebanyakan memakai pakaian-pakaian seperti itu. Politik tanda yang dimainkan media berhasil mewujud dalam diskursus tentang identitas penghayat kepercayaan.

Di internal penghayat Kepercayaan, memang masih ada perdebatan, apakah mereka tepat dikategorisasikan sebagai pemeluk adat, penghayat kepercayaan, kebatinan, kerohanian atau kejiwaan. Mereka juga masih belum bersepakat apakah perlu ada pengakuan negara sebagaimana “agama-agama resmi”. Pun pula ada perbedaan pandangan dalam melihat aspek manajemen organisasi, apakah penghayat harus berorganisasi lalu mendaftar ke pemerintah atau tidak harus berorganisasi.

Meski berbeda dalam hal-hal di atas, tetapi yang tidak pernah diperselisihkan adalah soal tanggung jawab negara untuk menjamin hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Kelompok masyarakat yang berbeda paham mungkin menganggap penghayat ini sebagai pemuja api, pohon, gunung dan lainnya. Segelintir oknum mungkin saja melakukan diskriminasi. Tentu ini tidak bisa dibenarkan.

Tetapi akan menjadi ironis jika yang melakukan diskriminasi itu adalah negara. Adalah hak semua warga negara termasuk penghayat kepercayaan untuk menjadi pegawai negeri sipil, TNI, Polri dan lainnya. Hak mereka juga untuk dicatatkan pernikahannya di Catatan Sipil, mendapatkan pendidikan agama dan atau religiusitas sesuai dengan keyakinannnya. Dan mereka juga berhak untuk menyatu dengan tanah tempat mereka berpijak saat nyawa tak lagi di kandung badan.

Klik Alternatif Diskusi Kalau FFI Terblokir
Mirror
Mirror Rss Feed

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Mon Jan 21, 2013 5:13 pm
by Laurent
http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=988

Hak Penghayat Kepercayaan Terabaikan
"Konstitusi menjamin hak penghayat kepercayaan, namun masih banyak dilanggar. Dianggap sebagai warga kelas dua."

Priyatno / VHRmedia
Rabu, 16 Januari 2013

VHRmedia, Jakarta - Perlindungan terhadap penghayat kepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa belum berjalan baik. Kerap terjadi kasus penghayat kepercayaan dianggap sebagai warga kelas dua. Itu menunjukkan hak konstitusi penghayat kepercayaan masih terabaikan.

Kenyataan itu diakui Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri, Tanribali Lamo. “ Ada kasus mereka yang meninggal ditolak saat mau dimakamkan di pemakaman umum. Hal itu menunjukkan memang perlindungan dan penghormatan kepada para penghayat kepercayaan pada Ketuhanan Yang Maha Esa belum begitu baik,” kata Tanri di Jakarta, Selasa (15/1).

Hal itu, kata Tanri, tak boleh lagi terjadi. Sebab, penghayat kepercayaan juga dijamin eksistensi dan aktivitasnya oleh konstitusi. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah konkret untuk memberikan perlindungan yang setara kepada para penghayat kepercayaan. “Oleh karena itu dikeluarkanlah Peraturan Bersama Menteri antara Mendagri dan Menbudpar, yakni PBM Nomor 40, 41, 42, dan 43 tahun 2009.”

Regulasi tersebut diharapkan semakin menjamin hak konstitusi para penghayat dalam menjalankan kepercayaannya, terutama di daerah-daerah. “Jadi, bagaimana para penghayat dilindungi, dalam melakukan penghayatannya, objek gedungnya, dan dalam menjalankan tata cara silahturahminya,” kata Tantri.

Sehingga tak ada lagi penghayat yang dianggap sebagai warga nomor dua. Pada pemerintah daerah, terutama instansi yang memang terkait dengan urusan itu, harus mengetahui seberapa banyak jumlah para penghayat dan apa nama organisasinya.
“ Ini penting untuk melakukan perlindungan pada mereka. Jangan lagi mereka selalu didiamkan kalau diabaikan haknya. Mereka juga dijamin konstitusi. Karena harus diakui, perlindungan dan pengayoman pada mereka belum berjalan baik,” kata Tanribali Lamo. (E4)

Klik Alternatif Diskusi Kalau FFI Terblokir
Mirror
Mirror Rss Feed

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Wed Jan 30, 2013 10:01 pm
by Laurent
Perlu Wadah Tunggal bagi Penghayat Kepercayaan Senin, 07 Jan 2013 19:28:28 WIB

Semarang, ANTARA Jateng - Anggota Komisi III (Bidang Hukum dan HAM) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, memandang perlu wadah tunggal bagi penghayat kepercayaan mengingat jumlah anggotanya relatif tidak banyak.

"Jumlah anggota penghayat yang tidak banyak, sepatutnya ditampung di satu wadah tunggal sehingga tidak tercerai-berai," katanya kepada ANTARA di Semarang, Senin malam.

Hal itu, kata Eva K. Sundari, merupakan bagian dari aspirasi pengurus Badan Kerja Sama Organisasi Penghayat dan Kepercayaan (BKOK) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Guna mengantisipasi kebutuhan majelis adat, lembaga tradisional, dan penghayat, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, maka pengurus BKOK berharap adanya peleburan organisasi antara BKOK dan Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK).

Pada reses kali ini, anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan Jatim VI (Blitar, Kediri, dan Tulungagung) itu sempat bertemu dengan pengurus BKOK Kabupaten Tulungagung yang terdiri atas 31 organisasi, Sabtu (5/1).

Kegiatan tersebut, kata Eva, dilatarbelakangi oleh pertemuan dengan ibu-ibu kelompok penghayat dari Nusantara di Gedung Mahkamah Konstitusi, 20 Desember 2012.

Saat bertemu Eva, mereka mengeluhkan praktik diskriminasi akibat pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) dalam hal pembuatan kartu tanda penduduk (KTP).

"Cukup melegakan sikap aparat pemerintah di Kabupaten Tulungagung yang cukup ramah dan tidak mempersulit para penghayat kepercayaan," kata Eva.

Meski di KTP tetap diberi tanda setrip, lanjut dia, hal tersebut tidak membatasi akses kelompok penghayat terhadap pelayanan-pelayanan publik lainnya. Misalnya, dalam pengurusan kartu sehat, kartu keluarga (KK), pernikahan, dan pemakaman.

Kendati demikian, mereka setuju dan mendukung usulan agar kolom agama dihilangkan karena menjadi sumber diskriminasi bagi kelompok penghayat pada wilayah lainnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Seperti keluhan para penganut agama-agama minoritas lainnya, para penghayat juga memprihatinkan keterpaksaan anak-anak mereka mengikuti pelajaran agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Hal ini mengingat sekolah tidak menyediakan guru untuk penghayat kepercayaan.

Aspirasi lainnya dari kelompok penghayat adalah berkaitan dengan masa penugasan yang diberikan oleh Direktorat Kepercayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI kepada 'pemuka penghayat' yang bertugas menikahkan pasangan penghayat.

"Demi keadilan, kelompok penghayat meminta penugasan untuk 'pemuka penghayat' juga berlaku seumur hidup, seperti modin. Artinya, tidak per lima tahun seperti yang saat ini terjadi," demikian anggota Komisi III DPR RI asal Dapil Jatim VI, Eva K. Sundari.

Sumber : -

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro Penyunting : D.Dj. Kliwantoro

http://www.antarajateng.com/detail/inde ... Qk0z0Mt3mt

Klik Alternatif Diskusi Kalau FFI Terblokir
Mirror
Mirror Rss Feed

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Tue Feb 05, 2013 5:20 pm
by Laurent
Gugat Diskriminasi, Penghayat Kepercayaan Gelar Kongres

Thursday, 29 November 2012 18:53
Guruh Dwi Riyanto
Hits: 22

0 Comments

Ilustrasi

Ilustrasi
KBR68H- Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi korban diskriminasi sejak datang melalui pemerintahan Hindia Belanda.

Hal itu dinyatakan Dosen Sosiologi Agama Universitas Indonesia Iqbal Djajadi. Ia menambahkan, ironisnya, pemerintah Indonesia ketika merdeka tetap melestarikan diskriminasi tersebut. Ia mengisahkan munculnya gagasan untuk membentuk departmen Agama Islam di bawah pemerintahan Soekarno di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dorongan ini muncul dari sekelompok muslim yang merupakan minoritas di Indonesia. Untuk menanggapi diskriminasi berkepanjgangan, para penghayat bertemu pada Kongres Nasional Komunitas Adat Dan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME di Surabaya, Jawa Timur, 25-28 November 2012.

Diskriminasi Kepercayaan

Diskriminasi terhadap penghayat menjadi pembicaran dalam kongres tersebut. Seorang tokoh Sunda Wiwitan, Dewi Kanthi menceritakan, kepercayaan mereka tidak mendapat sebutan “agama” dari pemerintah, sistem administrasi tidak bisa menampung para penghayat. Pernikahan mereka akibatnya tidak dapat pengakuan pemerintah dan ini berujung pada permasalahan bagi anak para penghayat kelak. Diskriminasi juga terjadi dalam bidang pendidikan. Contohnya, kepercayaan yang disebut “agama” mendapatkan fasilitas pendidikan di sekolah dan kepercayaan lainnya tidak. Djajadi menambahkan, pemerintah member gelontoran dana bagi kepercayaan yang mereka sebut “agama”.

Akar diskriminasi penghayat berasal dari keberpihakan negara. Pemerintah memberikan keberpihakan pada satu agama tertentu dan mengakibatkan ketidakadilan bagi kepercayaan lainnya. Ini tercermin dari gelontoran dana yang diberikan pemerintah pada kelompok kepercayaan tertentu dan tidak kepada kelompok lainnya.

Salah satu legitimasi diskriminasi itu ada pada pembedaan antara agama dan kepercayaan. Padahal, dalam ilmu sosial, pembedaan antara agama dan kepercayaan merupakan hal yang janggal. Dosen Sosiologi Agama Universitas Indonesia Iqbal Djajadi mengatakan, “iIlmuwan sosial justru mendefinisikan agama sebagai seperangkat kepercayaan. Definisi agama dan kepercayaan, ini ada kitab suci dan nabi, itu adalah definisi yang dibuat oleh birokrat. “ Padahal, konstitusi Indonesia, mau tidak mau, bersifat sekuler."ujarnya.

Permasalahan diskriminasi mencuat juga dalam administrasi kependudukan sebagaimana diatur oleh Undang-undang no. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Bekas anggota komisi dalam negeri Tumbu Saraswati mengatakan, pencantuman agama di Kartu Tanda Penduduk turut menjadi sumber diskriminasi untuk mengokohkan pembedaan berjenjang agama yang diakui dan kepercayaan. Ia menceritakan, upayanya menghapus kolom agama di KTP mendapat tentangan banyak anggota DPR lain. “Kalau ada yang meninggal di jalan, mau dimakamkan secara apa? “ kisahnya tentang argumen yang menentang penghapusan itu.

Sebagai kompromi, muncullah pasal 64 yang membolehkan penghayat tidak mencantumkan agama dalam KTP. Pasal itu berbunyi “(2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”

Rekomendasi Penuntasan Diskriminasi

Untuk menghapuskan diskriminasi tersebut, kongres Nasional Komunitas Adat Dan Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME di Surabaya memberikan sejumlah rekomendasi. Tokoh Sunda Wiwitan Dewi Kanthi mengatakan, para penghayat menuntu hak-hak mereka. “Yang kami minta dan harapkan dari pemerintah adalah perlakuan yang sama untuk memenuhi hak-hak konstitusi kami,"ujarnya.

Untuk itu, mereka meminta kolom agama di Kartu tanda penduduk dihapus. Ini akan menuju pada penghapusan pembedaan antara kepercayaan dan agama. Ia mengatakan, hal itu akan membantu penghapusan diskriminasi dalam catatan kependudukan. Selain itu, Dewi menambahkan, pemerintah diminta mengakui kepercayaan tanpa member syarat dan tedeng aling-aling. Ia menyebut, selama ini pemerintah menetapkan syarat agar suatu kepercayaan mendapat pengakuan pemerintah. Di antaranya adalah kepemilikan organisasi. Padahal, “Kebanyakan agama leluhur untuk hal spiritual sangat pribadi dan tidak dilembagakan. “ protes kanthi. Jikapun berorganisasi, pemerintah meminta organisasi itu harus memiliki tiga cabang di tiga kota. Padahal, tidak semua agama leluhur bersifat ekspansif dan memiliki syiar.

Dari ilmu sosial, Dosen Sosiologi agama Universitas Indonesia Iqbal Djajadi mengatakan, pemerintah perlu berhenti mengklasifikasikan kepercayaan-kepercayaan orang. “Apakah yang mengklasifikasi itu, sebagai orang lain, bisa memahami suatu kepercayaan untuk dapat mengklasifikasikan?” ujarnya. Selain itu, para penganut kepercayaan sebaiknya tidak meminta peningkatan status menjadi agama. Menurutnya, yang harus dihapuskan adalah pemebedaan antara agama dan kepercayaan karena bersifat bias. Selain itu, negara mesti tidak berpihak ketika sekelompok orang menuding aliran kepercayaan lain sesat. Menurutnya, negara harus netral dalam hal agama.

http://kbr68h.com/perbincangan/agama-a- ... ar-kongres



Klik Alternatif Diskusi Kalau FFI Terblokir
Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Sat Feb 09, 2013 10:23 pm
by Laurent
Menimbang Kemaslahatan Legalisasi Perkawinan Penghayat Kepercayaan
Dec 4th, 2012 @ 12:26 pm › Indonesia Toleran
↓ Leave a comment

Persoalan diskriminasi di negeri ini belum terselesaikan. Salah satunya adalah soal legalisasi perkawinan sesama penghayat kepercayaan. Selama ini Catatan Sipil selalu menolak mencatat perkawinan dengan dalih aliran kepercayaan bukan sebagai agama negara. Meskipun, keberadaan aliran kepercayaan di Indonesia secara yuridis diakui oleh Undang-Undang. Pasal 28 E ayat (1) dan (2) UUD 1945 dengan jelas memberikan ruang kebebasan bagi setiap orang untuk memeluk agama dan berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Namun, realitanya di lapangan tidak demikian. Negara dengan otoritasnya yang besar dapat menentukan apakah aliran kepercayaan itu layak disebut agama atau bukan. Kendati terkesan berlebihan karena telah melampaui otoritas Tuhan, namun mesin-mesin kekuasaan itu terbukti telah mencederai kurang lebih 300 aliran kepercayaan yang tersebar di tanah air.

Diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan tidak terlepas dari kultur birokrasi yang diwariskan Orde Baru. Selama Orde Baru berkuasa, kita menyaksikan politisasi agama terjadi secara massif yang kerap disertai pula penyingkiran pelbagai aliran kepercayaan selain ke enam agama besar (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Konghucu) yang diakui Negara. Seorang analis sejarah intelektualisme Indonesia, Daniel Dhakidae, dalam bukunya “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” (2003) mengatakan bahwa kalau memang agama begitu penting, mengapa hanya boleh ada enam agama? Dengan kehadiran kelompok etnik, bahasa dan budaya yang langsung berhubungan dengan hal itu, bisa diduga ada kurang lebih 300 agama tersebar di antero tanah air. Tapi ironisnya kekuasaan telah menyingkirkannya.

Analisa Yuridis

Dalam Undang-undang No. 1/1974 pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Namun pada ayat (2) dijelaskan pula bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan hadirnya pasal 28 A s/d J sebagai amandemen ke dua Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, semestinya pasal 2 UU No. 1/1974 tersebut ambivalen dengan ketentuan pasal 28 E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang memberikan ruang kebebasan bagi setiap orang untuk memeluk agama dan berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Sehingga, sudah saatnya UU No. 1/1974 juga menghormati perkawinan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menganut kepercayaan, karena UUD 1945 yang menjamin hal itu secara sistematis lebih tinggi hirarkinya ketimbang undang-undang perkawinan.

Jikalau Negara tidak menyesuaikan dengan konstitusi, berarti Negara hanya memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk sekadar meyakini kepercayaanya tanpa memberi jaminan atas implikasi kebebasan yang diberikan tersebut. Itu berarti pula Negara telah mengingkari kewajibannya dalam melindungi, menghormati, memajukan dan menegakkan hak asasi warga negaranya, sebagaimana diamanatkan oleh pasal 71 dan 72 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Mereka merasa dihadapkan pada suatu paksaan untuk menganut agama tertentu manakala ia ingin memperoleh label sahnya perkawinan menurut UU No. 1/1974. Dapat dikatakan pula bahwa Pemerintah ikut mendorong masyarakat untuk memilih sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani demi memperoleh legalitas semata. Sungguh ini tindakan pemerkosaan terhadap agama.

Pemanfaatan norma-norma agama sebagai simbol untuk memperkuat kekuasaan tanpa memedulikan bahwa kebijakan itu justru menjadi politik diskriminasi, tentu sangat rawan akan munculnya disintegrasi bangsa. Apalagi, agama adalah hak fundamental manusia. Menganut atau tidak suatu agama, meyakini atau tidak suatu kepercayaan adalah hak seseorang secara pribadi yang melekat pada harkat dan martabatnya sebagai manusia. Negara tidak berhak mencampuri. Sebaliknya memberikan fasilitas yang layak dan mengintruksikan kepada seluruh birokrasi terkait agar perkawinan yang dilakukan menurut hukum diluar agama negara wajib dicatat. Ini lebih demokratis karena telah memberikan ruang kepada masyarakat yang masih menjadikan adat istiadat, budaya dan kepercayaannya sebagai way of life.

Derita Batin

Sedih mendengar kisah para penghayat kepercayaan yang menikah tanpa mendapatkan legalitas hukum dari Catatan Sipil. Akibatnya, status hukum anak yang dilahirkan juga tidak jelas. Dampaknya, anak yang dilahirkan tidak mengantongi Akta Kelahiran. Menurut data yang dihimpun harian Kompas, diperkirakan sekitar 15 juta anak Indonesia tidak memiliki akta kelahiran sebagai dampak perlakuan diskriminatif negara. Padahal, tanpa Akta Kelahiran, anak akan kesulitan untuk mengurus izin pernikahan. Kasus ini amat memprihatinkan. Memang sudah menjadi kewajiban Negara memberikan jaminan atas hak-hak mereka untuk membangun keluarga dan melanjutkan keturunan sebagaimana termaktub dalam UU No. 39 tahun 1999. Oleh karena itu, saya sangat berharap agar Pemerintah tidak sekadar mengesahkan UU Adminduk, tetapi juga melakukan “pemutihan” terhadap anak-anak yang bermasalah. Apalagi, masalah tersebut jelas bukan karena kesalahannya. Mereka harus diberikan Akta Kelahiran sebagaimana mestinya sebagai wujud perlindungan Negara terhadap anak-anak (UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Betapa beratnya konsekuensi pengingkaran hak tersebut. Sikap itu akan membawa dampak psikologis bagi si anak sepanjang hidupnya lantaran mendapat status “anak luar nikah” menurut hukum. Itu berarti anak hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja, sementara dengan ayahnya terputus. Hal ini juga melemahkan status ibunya sebagai perempuan yang tak berhak menuntut warisan manakala suaminya meninggal dunia. Demikian pula jika terjadi “perceraian”, si perempuan tidak berhak mendapat harta gono-gini yang diperoleh bersama selama “perkawinan”. Ini sangat merendahkan harkat dan martabat perempuan selaku manusia yang memiliki hak asasi.

Oleh : Achmad Fauzi, S.HI
Calon Hakim di Pengadilan Agama Balikpapan, alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta

Sumber: http://www.badilag.net/index.php?option ... &Itemid=54

http://indonesiatoleran.or.id/2012/12/m ... percayaan/

Klik Alternatif Diskusi Kalau FFI Terblokir
Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Sun Feb 10, 2013 4:19 pm
by scheherazade
Bukankah seharusnya aliran kepercayaan leluhur yang sudah ada entah sejak kapan itu dilestarikan dan malah diistimewakan?
Katanya Indonesia kaya akan budaya... Bhinneka Tunggal Ika... tapi nasibnya begini jua.

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Wed Feb 20, 2013 8:12 pm
by Laurent
Kamis, 27 Desember 2012 – dibaca:560
Hak Konstitusional Kelompok Penghayat Masih Dikebiri
Kementerian Agama dituding sebagai salah satu penyebabnya.
HRS

Para penghayat kepercayaan tampaknya masih menghadapi masalah di Indonesia. Upaya mereka untuk mencatatkan perkawinan ala penghayat belum sepenuhnya berhasil meskipun aturan administrasi kependudukan sudah memungkinkan pencatatan.

Banyaknya perkawinan yang tidak tercatat ditengarai bersumber dari sikap Kementerian Agama yang hanya mengakui enam agama, dan berkorelasi dengan tata cara perkawinan yang sesuai ‘agama dan kepercayaan’. Anggota Majelis Adat Karuhun Cigugur, Dewi Kanti, menuding andil Kementerian Agama terhadap masalah ini. “Ini adalah dosa kemanusiaan. Ini adalah kekejian spiritual,” tuding Dewi, di sela-sela seminar di Jakarta, Rabu (26/12) lalu.

Menurut Dewi, dosa yang dilakukan institusi ini adalah telah menentukan enam agama resmi yang diakui di Indonesia. Enam agama yang disebut dalam UU No. 1 Tahun 1956 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

Meski penduduk Indonesia boleh memeluk ajaran di luar enam agama tersebut, faktanyaInstruksi Menteri Agama No.4 Tahun 1978 ‘mengharuskan’ penghayat kepercayaan kembali ke agama induk, yang tak lain adalah keenam agama yang diakui tadi. Akibatnya, kelompok penghayat dalam posisi tersudut.

Menurut Dewi, aliran kepercayaan bersumber pada ajaran leluhur nusantara. Ajaran leluhur nusantara telah ada jauh sebelum enam agama besar masuk ke Indonesia. Ajaran leluhur nusantara justru yang memberikan restu kepada enam agama besar tersebut masuk ke Indonesia. “Leluhur kami telah memberikan restu kepada agama pendatang itu, tetapi sekarang kami yang justru disingkirkan. Kami ditaruh di pojok ruang gelap,” tukas Dewi.

Dewi memberi contoh, kelompok penghayat tidak dapat mencatat perkawinanmerekadi Kantor Catatan Sipil. Pegawai pencatat perkawinan enggan mencatatkan perkawinan para penghayat karena dianggap tidak memenuhi syarat sah perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Saat ini, ada sekitar seribu pasangan kelompok penghayat yang perkawinannya tidak tercatat di kantor catatan sipil. Jumlah ini berasal dari kelompok penghayat yang masih ada di Indonesia, di antaranya adalah Parmalim dari Sumatera Utara, Langkah Lamo dari Jambi, Sedulus Sukep atau Jawa Wiwitan dari Jawa Tengah. Begitu juga dengan Sunda Wiwitan, Wetu Telo, dan Kaharingan. Pasangan-pasangan ini terus berupaya dan bertahan agar pegawai pencatat nikah mau mencatat perkawinan ini.

Selain tidak dapat mencatatkan perkawinannya, dampak lain dari tidak diakuinya ajaran ini di Indonesia, hak-hak sipil bagi kelompok penghayat tidak dipenuhi negara. Jika perkawinan tidak tercatat,kelompok penghayat kesulitan dalam memperoleh akta kelahiran dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dewi merasa mirismelihat realitas bahwa negara melanggar hak konstitusi rakyatnya untuk bebas memeluk suatu kepercayaan. Negara telah menempatkan kelompok penghayat sebagai seorang yang perlu dibina karena dianggap tidak bertuhan. Padahal, aliran kepercayaan dari kelompok penghayat adalah suatu aliran yang menggali nilai-nilai spiritual nusantara yang diwariskan leluhur. Ajaran nusantara memiliki “Tuhan”nya masing-masing dengan caranya masing-masing.“Sekarang, mari kita dengan niat tulus menghentikan dosa kemanusiaan ini,” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bidang pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama Republik Indonesia, Kustini menolak berkomentar terkait hal ini. Kendati demikian, Ia menampik persoalan ini disebabkan karena Kementerian Agama.

Menurutnya, Kementerian Agama tidak pernah mengatakan Indonesia hanya mengakui enam agama sebagaimana tertuang dalam UU No.1 Tahun 1965. Redaksi yang terdapat dalam undang-undang tersebut hanya menyebutkan agama mayoritas yang dipeluk rakyat Indonesia, bukan agama yang diakui.

Namun, Kustini memang mengakui bahwa dalam implementasinya adalah redaksi dari agama mayoritas yang dipeluk rakyat Indonesia menjadi agama yang diakui. Hal ini telah terjadi salah kaprah terkait pengertian agama yang diakui. Salah kaprah pemahaman ini, terlihat dari Pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menggunakan kata-kata “diakui”.

Persoalan ini, kata dia, justru ranah Kementerian Dalam Negeri. Karena erat hubungannya dengan persoalan administrasi kependudukan. “Persoalan ini lebih banyak menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri. Karena, persoalan pencatatan kependudukan adalah tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri,” pungkasKustini.

Berdasarkan catatan hukumonline, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sudah pernah membuat Peraturan Bersama No. 43 dan 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt ... h-dikebiri

Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskrimina
Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskrimina Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Wed Feb 20, 2013 8:15 pm
by Laurent
Perempuan Penghayat Melawan Diskriminasi
Written by Damar Fery Ardiyan24 / 01 / 2013 16:00PrintEmail Twitter Facebook


KBR68H - Diskriminasi terhadap kaum penghayat kepercayaan di tanah air masih terus terjadi. Sebut saja diantaranya kewajiban mencantumkan agama di kolom kartu tanda penduduk. Sampai keharusan ikuti pelajaran agama tertentu di bangku sekolah. Cerita itu disampaikan sejumlah perempuan penghayat dari berbagai daerah di Mahkamah Konstitusi.


Puluhan perempuan berpakaian adat tampak wara-wiri di aula Mahkamah Konstitusi, Jakarta pagi itu. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Kuningan, Jawa Barat, Surabaya, Jawa Timur, hingga yang berasal dari seberang timur pulau Jawa, Sulawesi.

Di sana, mereka membeberkan berbagai diskriminasi pelayanan publik yang kerap diterima penghayat kepercayaan. Penghayat adalah pemeluk ajaran atau keyakinan leluhur yang berkembang di nusantara. Dewi Kanti, Dian Jennie dan Tentri Bibi diantara para penganutnya.

Dialog publik yang digagas Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan ini dihadiri 35 perwakilan penghayat kepercayaan. Mulai dari Sunda Wiwitan Jawa Barat, Sapta Darma dan Budho Tengger di Jawa Timur sampai Tolotang, Sulawesi Selatan.

Salah satu diskriminasi yang kerap menimpa kaum penghayat adalah tidak diakuinya perkawinan mereka, ujar Dewi Kanti. “Saya belum punya surat nikah. Jadi tidak diakui, meskipun kami sudah menikah. Tetapi negara tidak mengakui status hukum perkawinan kami.”

Penganut Sunda Wiwitan ini sudah lebih dari 10 tahun menikah dengan Okky Satrio. Upaya mereka mencatatkan pernikahan di Catatan Sipil, Kabupaten Kuningan sia-sia.

KBR68H: Pernikahan bagaimana?
Dewi: Tidak dilayani pemerintah. Tidak ada juklak dan juknis. Untuk perkawinan aliran kepercayaan. Setelah UU Adminduk, alasannya organisasi. Jadi selalu ada penyekatan-penyekatan.”

Akibatnya, suami Dewi tak bisa menerima tunjangan gaji untuk istri dan anak. Karena dinilai belum menikah. Dampak lain, Dewi tidak terdaftar sebagai penerima asuransi. Ia juga sulit mengajukan kredit perumahan dan kendaraan bermotor.

Undang-Undang Administrasi Kependudukan atau Adminduk lah yang membuat hak sipil Dewi terenggut. Pasalnya, pemerintah hanya mengakui pernikahan adat yang ajarannya telah dilembagakan.

Sedangkan, Sunda Wiwitan yang dipeluknya belum berbentuk organisasi. “Peraturan yang dibuat pemerintah itu, di situ dinyatakan memang untuk pelayanan penghayat, ada syarat di mana mendaftarkan sebagai organisasi, baru pemuka penghayat itu bisa mencatatkan atau mengesahkan perkawinan. Di situ masalahnya. Ketika sebetulnya perwakilan para penghayat itu kan dasarnya perkawinan adat. Perkawinan adat itu disahkan oleh kedua orangtua mempelai atau yang dituakan, sesepuh adat. Nah, ketika misalnya yang mengesahkan perkawinan itu. Sederhananya harus meminjam orangtua tetangga sebelah. Jadi, dalam sisi tradisi itu menyalahi tata karma,” jelas Dewi.

Berdampak ke Anak

Aturan yang dibuat pemerintah ia nilai tidak adil dan sangat dipaksakan. “Selama ini kami sadar hukum, segala peristiwa yang berakibat hukum selalu kami laporkan, perkawinan, kelahiran, bahkan kematian. Cuma problemnya ketika negara menjawab tidak ada peraturan untuk itu, karena kami tidak legal, karena tidak terdaftar itu masalah. Mengapa syarat organisasi itu dipaksakan,” imbuhnya.

Diskriminasi juga merembet ke anak-anak kaum penghayat. Kembali Dewi Kanti. “Pada kenyataanya, anak-anak kami masih di sekolah itu masih didiskriminasi dalam arti pelajaran agama itu dipaksakan. Itu kan lebih pada kekerasan psikologis, meskipun hanya dengan sindiran tetapi itu menurunkan mental. Sehingga mental anak kami kepercayaan dirinya kurang. Apa salahnya si kami menjalani atau mewarisi tradisi spiritual kami sendiri. Toh kami tidak melakukan perbuatan melawan hukum, pidana atau merugikan orang lain.”

Penghayat Kepercayaan Sapta Darma, Dian Jenni ikut menimpali. Menurut dia, tidak sedikit anak penghayat kepercayaan yang tinggal kelas karena tidak menyakini 6 agama resmi yang diakui negara. Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu.


“Ada juga yang tidak lulus di tahun kemarin. Karena, dia mau melakukan ujian tertulis, tetapi dia tidak mau melakukan sembahyang, ujian praktek. Jadi, dia hanya mau melakukan ujian tertulis. Itu tidak diterima oleh gurunya, dan dia tidak lulus. Karena dia tidak lulus, mau tidak mau untuk tahun ini dia harus tunduk. Kasus yang seperti ini banyak,” jelas Dian.

Siswa yang tak lulus itu dua murid SMP kelas 3 di Karanganyar, Jawa Tengah. Menurut Dian, kasus itu seharusnya tidak perlu terjadi. Pasalnya, Oganisasi Penghayat Sapta Darma telah memberikan sejumlah silabus dan soal ujian kepada Dinas Pendidikan, Kabupaten Rembang.

Situasi serupa sempat menimpa anaknya, Nendio Agung saat duduk dibangku kelas 3 Sekolah Dasar. Bocah itu menolak pelajaran agama Islam. “Saya kira anak saya itu enjoy saja (di sekolah). Ketika di rumah menganut penghayat kepercayaan, di sekolah dia dipaksa untuk memilih salah satu agama, saya pikir itu bisa berjalan normal. Tetapi ternyata, kalau berangkat sekolah dia selalu cemberut. Suatu hari, saya dipanggil kepala sekolah dan dikatakan bahwa setiap pelajaran agama, anak ibu selalu sembunyi di kamar mandi. Saya kaget. Saya Tanya, kenapa kamu lakukan itu, karena yang diajarkan mama tidak sama yang diajarkan guru. Kalau anak lain bisa mendapatkan pelajaran yang sama, mengapa aku tidak bisa mendapatkan pelajaran seperti yang aku yakini. Baru saya merasa, ada masalah yang harus diselesaikan di sini. Dan ternyata itu tidak hanya dialami anak saya, banyak. Kadang mereka bisa mengungkapkan, kadang juga tidak,” jelasnya.

Meski begitu, menurut Dian, tidak semua sekolah berlaku diskriminatif terhadap para penghayat. “Soal ujian, beserta kurikulum dan silabus yang kami kirim ke Karanganyar untuk membantu seorang anak yang sudah mengatakan bahwa saya penghayat kepercayaan dan itu pun tidak diterima oleh sekolah dan dia dipaksa untuk mengikuti ujian yang sudah ada. Tetapi, di Sidoarjo, Jawa Timur hal itu bisa kita lakukan. Nah, ini tergantung dari pemahaman dan mindset dari masing-masing sekolah.”

Kolom Agama

Kisah diskriminasi terhadap perempuan penghayat lainnya diceritakan Tentri Bibi penganut Tolotong saat urus Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP). “Setelah adanya EKTP saya sangat resah, karena sebelum ada ektp saya bebas menuliskan agama saya di KTP.
Agama saya tolotang. Tetapi, setelah EKTP muncul, saya di-Hindu-kan. Saya tidak pernah mengaku Hindu. Saya mohon yang menangani ini, minta tolong seluruh Indonesia jangan lagi begitu,” kata Tentri.

Yang menyakitkan tuduhan sesat yang kerap mereka dengar kata penganut Sapta Darma, Dian Jenni menuturkan, “Terlepas dari rasa diskirimnasi ini juga terkait dengan subjektifitas dari aparat pemerintah yang masih menstigma penghayat itu manusia yang tidak punya Tuhan, tidak beragama dan sepertinya kami tidak punya hak konstitusi.”

Untuk menghindari stigma atau cap buruk itu, tutur Dewi Kanti tidak jarang penghayat kepercayaan terpaksa mencantumkan salah satu agama resmi dalam kolom KTP. “Banyak, karena tidak setiap warga kami punya mental cukup kuat untuk bertahan. Yang penting masalah hati. Tetapi untuk urusan administratif banyak yang bersampan dua untuk selamat, karena kami butuh kehidupan wajar. Meskipun secara spiritual dan keyakinan kami tetap bertahan,” ungkapnya.

Tetapi, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maria Farida Indrati meminta jalan ke luar yang ditawarkan Dewi itu tidak dilakukan para penghayat. “Dalam Undang-Undang Dasar Negara kita. Khususnya terhadap jaminan tentang keagamaan dan penganut kepercayaan. Jaminan pemenuhan hak asasi warga negara Indonesia untuk memluk agama dan kepercayaannya telah diatur dalam Pasal 29 (2) UUD 1945. Menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu,” tegasnya.

Benarkah negara telah menjamin kemerdekaan bagi penganut kepercayaan?

Pemerintah Sangkal

Berbagai perlakuan diskriminasi yang dialami Dewi Kanti, Dian Jennie dan Tentri Bibi dalam diskusi bertajuk Pesan Ibu Nusantara di Mahkamah Kontitusi (MK) langsung disangkal pemerintah.
Ini penegasan Direktur Pencatatan Sipil Ditjen Kependudukan, Kementerian Dalam Negeri, Joko Mursito, “Masalah pencatatan sipil ini sudah clear. Tidak ada lagi diskriminasi terhadap pelayanan yang timbul terhadap penghayat kepercayaan Tuhan yang Maha Esa. Tidak ada lagi diskriminasi mulai dari pencatatan kelahiran, percerain, pengakuan anak, pengesahan anak, pencatatan kewarganegaran semua sama. Itu tidak ada. Mohon itu dilihat kembali.”

Joko mengklaim, pemerintah juga telah melindungi secara hukum anak penghayat. “Di dalam regulasi pencatatan sipil itu haknya sama. Dengan hadirnya PP 37 itu sama. Status anak itu sama, ada empat. Sebagaimana penduduk Indonesia pada umumnya. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah, anak seorang ibu, anak yang tidak diketahui asal-usulnya, atau status yang keempat kemarin baru dimunculkan dengan putusan MK. Tidak ada diskriminasi,” terangnya.

PP 37 tahun 2007 yang disebut Joko tadi maksudnya Peraturan Pemerintah yang mengatur pencatatan perkawinan para penganut kepercayaan. Menurut ia jika masih terjadi perlakuan diskriminatif itu akibat belum semua aparat di daerah tahu aturan tersebut. Kondisi ini diperparah buruknya komunikasi dengan lembaga penghayat.
“Organisasi penghayat yang selalu komunikasi dengan kita tahu masalah ini. Tetapi yang hidup inklusif ya tentu saja tidak terjadi komunikasi. Kita kan hidup di dalam Indonesia, rumah kita semua. Apa susahnya. Jangan komunikasi di saat ada masalah,” jelas Joko.
Dia menegaskan,“Kalau ada Dinas Catatan Sipil di kabupaten/kota, yang masih menolak pelayanan pencatatan sipil yang membedakan penghayat kepercayaan tolong dilaporkan kepada saya.”

Terapkan Putusan MK

Suara berbeda datang dari anggota parlemen anggota Komisi Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari. Dia yakin, diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan masih terjadi. Pemicunya akibat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Undang Undang No. 1 PNPS/1965 tentang Penodaan Agama belum dimasukan ke dalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk).

“Ini kan sudah beres di tingkat konten, di UU. Tetapi ada aspek yang harus diluruskan. Seperti temuanku tadi, bahwa Undang-Undang Adminduk, Putusan MK tidak dijadikan rujukan pelaksanaan UU-nya. Ketika MK menjudicial review Undang-Undang PNPS kan salah satu putusannya adalah negara tidak berhak untuk menentukan resmi tidaknya suatu agama dan tidak benar kalau agama yang resmi enam itu saja. Jadi artinya bukan otoritas negara untuk menentukan mana resmi mana tidak. Jadi, adminduk kan harusnya merujuk pada putusan MK itu. Karena argument pak Joko itu tersandera oleh UU Adminduk yang menyatakan bagi agama yang belum resmi diakui negara maka dikosongkan. Loh, pelaksanaan hukum ini tidak merujuk pada putusan MK terbaru tahun 2009 tadi. Jadi ada gap tentang pelaksanaan hukum dan itu menjadi problem,” beber Eva

Oleh sebab itu, politisi PDI Perjuangan ini mendesak pemerintah segera menerapkan Putusan MK. Menurut dia, penerapan putusan itu bisa diawali dengan merevisi UU Adminduk dan menghilangkan kolom agama dari KTP. “Agama itu menjadi sumber diskriminasi ternyata. Dalam revisi itu, rujukanku ya Putusan MK. Negara tidak berhak mengurusi atau mendefinisikan agama-agama resmi,” ungkap Eva.
Penghapusan kolom agama ini pula yang diinginkan Dian Jenni dan penghayat lainnya. “Saya inginnya kolom Agama di KTP itu dihapuskan. Sebab itu hanya memicu konflik dan diskiriminasi bagi bangsa ini. Karena yang mencantumkan identitas agama di seluruh dunia itu kalau tidak salah hanya ada dua negara, Indonesia dan Mesir,” katanya.
Dengan begitu, harap Dewi Kanti, mereka bisa beribadah dan merawat tradisi dengan tenang. Tak terus disibukan urusan administratif dan perlakuan diskriminatif. “Kami ingin menjaga tradisi, misalnya berdoa dengan bahasa kami, berdoa tata cara ritual yang leluhur kami ajarkan. Jadi tidak lebih ingin mempertahankan apa yang sudah dikodratkan. Bukan ingin diakui agama baru. Kami bukan untuk itu,” pungkasnya.

(Dmr, Fik)

http://www.portalkbr.com/berita/saga/2440825_4216.html

Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskrimina
Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskrimina Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Mon Mar 11, 2013 5:37 pm
by Laurent
Penghayat Kepercayaan Anggap Pemerintah Abai
Laporan:
Senin, 04 Maret 2013 | 18:33 WIB
ANTARA/Str-Hari Atmoko/fz

Metrotvnews.com, Jakarta: Korban pelanggaran terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan telah membentuk komunitas berskala nasional untuk mendesak pemerintah untuk bertindak. Selama ini, para korban merasa pemerintah berlaku abai terhadap mereka. Parahnya, para korban mengaku hak asasinya telah dilanggar, mengingat peristiwa peristiwa menyedihkan yang menimpa kaum minoritas tersebut.

Salah satu korban, Dian Jennie, mengaku mengalami kesulitan dalam berbagai hal. Setidaknya, ia merasa haknya sebagai warga negara sama sekali tidak dipenuhi. Penghayat kepercayaan ini mengaku sangat sulit saat mengurus KTP. Berdasarkan UU, pada kolom agama hanya diisi tanda strip.

"Ini diskriminasi, karena artinya kami tidak beragama. Kami sudah perjuangkan, muncullah UU. Namun praktiknya tidak mudah. Aparat pemerintah setempat masih banyak alasan, belum ada sosialisasilah, sistem komputer belum bisa lah,” ujar Dian dalam jumpa pers di Hotel Ibis, Slipi, Jakarta Barat, Senin (4/3) sore.

Selain itu, anak-anak mereka pun didiskriminasi di sekolah. Pemerintah yang hanya mengaku enam agama pun membuat anak-anak penghayat kepercayaan harus memilih salah satu agama yang disesuaikan.

Masalah tidak berhenti di situ. Kaum penghayat kepercayaan yang tak tergabung dalam organisasi pun kebanyakan tidak bisa mencatatkan pernikahan mereka di catatan sipil. Selain itu, di akte kelahiran anak juga tidak tertera nama ayah. "Ini membuat stereotipe jelek pada kami. Seolah kami berbuat asusila,” ujar Dian.

Parahnya lagi, ketika ada yang meninggal, kaum penghayat kepercayaan tidak bisa dimakamkan di tempat pemakaman umum. "Walaupun tinggal digali dan ditanam di tanah negeri sendiri. Mau memakamkan saja harus ‘perang’ dulu sama penjaga makam dan masyarakat," kisah Dian.

Ia mengaku, dari lahir hingga wafat, kaum mereka selalu dipersulit. Dian berharap pemerintah segera ambil tindakan dalam kasus semacam ini. (Githa Farahdina/Agt)

Editor:

http://www.metrotvnews.com/metronews/re ... intah-Abai

Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskrimina
Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskrimina Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Sat Mar 16, 2013 7:49 pm
by Laurent

Re: Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskri

Posted: Fri Apr 05, 2013 6:56 am
by Laurent
Laporan Advokasi UU Adminduk
Cigugur, Sejuk di Hati, Damai bagi Bumi


Cigugur, desa yang terletak di kaki Gunung Ciremai, berjarak sekitar 3 kilometer dari kota Kuningan, Jawa Barat, banyak menyimpan budaya yang unik dan patut dilestarikan. Selain situs purbakala yang ada di daerah Cipari, Cigugur juga terkenal dengan acara Seren Taun, dan sebuah aliran kepercayaan terhadap ajaran leluhur mereka yang beretnis Sunda. Adat cara karuhun urang.

Beberapa hari yang lalu berlangsung perkawinan masyarakat penghayat di Cigugur. Masyarakat Penghayat adalah mereka yang meyakini ajaran leluhur dan tidak memeluk satupun agama di Indonesia. Di Cigugur, Kuningan, kepercayaan yang dianut kebanyakan warganya dikenal dengan sebutan agama Djawa Sunda atau adat cara Karuhun Urang.

Ini adalah pernikahan Susi Suwarsih dan Maman Sudirman. Dalam masyarakat Penghayat, yang bertugas menjadi penghulu cukup sang ayah dari calon mempelai perempuan sekaligus mensahkan perkawinan itu.

Secara keseluruhan, upacara perkawinan kaum Penghayat tidak berbeda dengan perkawinan penganut agama lain, yang berlatar belakang etnis Sunda. Siraman dan Ngeuyeuk Seureuh juga dilakukan sebagai bagian dari ritual perkawinan.

Ngeuyeuk Seureuh, salah satu bagian dari rangkaian upacara perkawinan adat Sunda, sebelum kedua mempelai disahkan sebagai pasangan suami istri. Disini, kedua mempelai diberi wejangan, dan ajaran dari pihak keluarga yang dituakan.

Seputar kesiapan, dan bekal dalam menjalani bahtera rumah tangga. Tidak hanya dengan kata-kata, dalam Ngeuyeuk Seureuh, wejangan atau nasihat, juga diwakilkan dengan benda-benda, antara lain, buah kelapa, beras, umbi-umbian, dan sapu lidi, yang tentunya mengandung makna.

Setelah melaksanakan upacara pra nikah, tibalah hari pernikahan. Kedatangan calon mempelai pria, yang didampingi kedua orang tua, disambut keluarga calon mempelai perempuan, dengan tarian Pang bage’, tarian penyambutan untuk pengantin pria.

Kini sudah tidak banyak lagi masyarakat penghayat di Desa Cigugur. Tidak diakuinya perkawinan mereka di mata negara, akhirnya membuat kebanyakan dari mereka, memilih untuk memeluk agama yang diakui di Indonesia. Dalam peraturan negara, hingga saat ini hanya ada enam agama yang diakui.

Karena itu, berdasarkan hukum negara, sahnya sebuah pernikahan pun haruslah berdasarkan agama yang diakui negara tersebut. Tapi bagi para Penghayat, peraturan itu bertentangan dengan hak tiap manusia sebagai warga negara. Mereka merasa, perkawinan adat yang selama ini dilaksanakan, telah memenuhi peraturan yang ada, serta tata cara adat di nusantara ini.

Selama kepercayaan yang diyakini kaum Penghayat, tidak termasuk dalam agama yang ada di Indonesia, maka catatan sipil tidak dapat mengeluarkan akte perkawinan. Hingga kini, belum ada satupun masyarakat Penghayat yang tidak berorganisasi yang disahkan perkawinannya, dan dibuatkan akte pernikahan, oleh Catatan Sipil Kuningan. Selama undang-undang perkawinan masih belum berubah, masyarakat Penghayat kepercayaan hanya bisa berharap dan terus melakukan perjuangan untuk mencatatkan perkawinan mereka. (KH)

http://www.anbti.org/content/cigugur-se ... -bagi-bumi

Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskrimina
Penghayat Agama Leluhur & Kepercayaan masih alami diskrimina Mirror
Mirror Rss Feed
Faithfreedom forum static