perlu baca artikel di bawah ini
Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat Cireundeu
10 September 2011 | 10:11 WIB
Cireundeu merupakan salah satu kampung adat yang masih ada di Jawa Barat hingga kini. Kampung tersebut terletak di kota Cimahi, tidak jauh dari tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Leuwi Gajah yang beberapa tahun silam diguncang bencana longsor dan menelan korban ratusan jiwa. Sebagaimana kampung adat lainnya di tatar sunda, masyarakat kampung adat Cireundeu masih mempertahankan adat istiadat atau tradisi warisan leluhur (karuhun). Kendati demikian, pengaruh budaya modern juga telah hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Cireundeu, seperti halnya tempat tinggal mereka yang sebagian tidak lagi bertipe tradisional melainkan permanen.
Karakteristik masyarakat adat Cireundeu yang agak berbeda dengan masyarakat kebanyakan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ajaran Pangeran Madrais yang berakar dari konsepsi agama Sunda Wiwitan, sebuah kepercayaan masyarakat Sunda pra-Islam. Masyarakat Cireundeu mulai mengenal ajaran Pangeran Madrais sejak awal abad 20. Sejak saat itu hingga kini, mayoritas penduduk kampung Cireundeu tetap teguh menjadikan agama Sunda Wiwitan yang diajarkan Pangeran Madrais sebagai pedoman hidup.
Pangeran Madrais adalah salah satu keturunan Kesultanan Gebang Cirebon yang juga menyebarkan ajarannya di daerah Cigugur, Kuningan. Ajaran Pangeran Madrais menitik beratkan pada kebanggan akan identitas kebangsaan atau kesundaan yang sepatutnya dimiliki oleh seluruh orang Sunda. Meski demikian, ajaran Madraisme tidaklah bersifat chauvinis, melainkan menekankan toleransi dan kesediaan yang kuat dalam menerima perbedaan. Penguatan identitas kesundaan dijadikan landasan agar masyarakat Sunda tidak kehilangan jati dirinya ketika ‘berhadapan’ dengan kebudayaan (termasuk kepercayaan atau agama) asing yang ketika itu hadir melalui kolonialisme dan perdagangan.
Esensi ajaran Pangeran Madrais adalah pembangunan jati diri bangsa (nation character building) yang berkorelasi dengan kecintaan pada tanah air, yang diistilahkan sebagai “tanah amparan”. Disinilah terletak perbedaan mendasar antara agama Sunda Wiwitan dengan agama-agama yang diintrodusir dari luar nusantara seperti Islam dan Kristen, yakni kentalnya nilai-nilai kebangsaan dan kemandirian budaya dalam ajarannya. Ironisnya, para penganut agama Sunda Wiwitan termasuk masyarakat adat Cireundeu masih terbelenggu rantai diskriminasi dalam pemenuhan hak-hak sipil karena kepercayaan yang mereka anut. Tidak hanya penganut Sunda Wiwitan, tetapi seluruh kaum penghayat kepercayaan atau penganut agama asli nusantara dari berbagai suku dinegeri ini pun mengalami nasib serupa. Hal ini disebabkan oleh politik pembatasan agama yang dilakukan negara semenjak Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 diberlakukan di akhir masa Orde Lama, sebagai buah dari tuntutan kelompok agama/santri guna menghadang pengaruh kekuatan komunis yang dianggap dekat dengan kalangan penghayat kepercayaan.
Kedaulatan Pangan dalam Nasi Singkong
Selain aspek kepercayaan, masyarakat adat Cireundeu juga masih mempertahankan tradisi konsumsi nasi singkong yang diwariskan oleh leluhur mereka. Nasi yang terbuat dari singkong adalah makanan pokok masyarakat adat Cireundeu sampai sekarang. Tradisi ini telah terbukti menjadikan masyarakat Cireundeu mandiri dan tidak tergantung dengan beras yang menjadi makanan pokok mayoritas rakyat Indonesia. Oleh karena itu, semua dinamika yang terkait dengan beras seperti naiknya harga atau kelangkaan pasokan beras tidak terlalu berpengaruh bagi kehidupan mereka.
Sejak kapan dan mengapa masyarakat Cirendeu mengonsumsi nasi singkong? Sesepuh warga Cireundeu, Abah Emen, menuturkan bahwa tradisi tersebut bermula pada tahun 1924, ketika lahan pertanian yang ditanami padi oleh warga Cireundeu mengalami gagal panen (puso). Masyarakat Cireundeu pun terancam kelaparan, karena pemerintah kolonial Belanda tidak concern dengan problem pangan yang dihadapi warga Cireundeu.
Dalam kondisi itu, salah satu tokoh masyarakat Cireundeu,Haji Ali menggagas konversi lahan sawah menjadi kebun singkong. Dalam pemikirannya, resiko gagal panen dari kebun singkong relatif lebih kecil daripada lahan padi. Sejak itulah warga Cireundeu mulai beralih mengonsumsi nasi singkong.
Nasi singkong, yang oleh penduduk Cireundeu dinamakan rasi atau Sanguen, menjadi makanan pokok warga Cireundeu meskipun zaman telah berubah. Hal ini disebabkan oleh wejangan dari Haji Ali selaku leluhur mereka yang meminta masyarakat Cireundeu beralih mengonsumsi nasi singkong sebagai akibat dari peristiwa gagal panen tahun 1924. Masyarakat Cireundeu pun memegang teguh wejangan tersebut, sama halnya seperti mereka meyakini dengan teguh ajaran Pangeran Madrais hingga kini.
Diversifikasi Pangan yang Independen
Konsumsi nasi singkong oleh masyarakat Cireundeu semenjak puluhan tahun silam membuktikan keberhasilan masyarakat adat dalam menjaga eksistensinya yang independen dari intervensi kekuasaan politik. Peralihan konsumsi nasi beras menjadi nasi singkong oleh warga Cireundeu telah dilakukan jauh sebelum digalakkannya program diversifikasi pangan oleh berbagai instansi pemerintah akhir-akhir ini. Liberalisasi dan komersialisasi komoditi pangan yang cenderung mematikan daya beli konsumen dari kalangan miskin serta mengamputasi para produsen pangan lokal pun tidak dirasakan masyarakat Cireundeu.
Warga Cireundeu juga luput dari penyeragaman konsumsi beras di era Orde Baru yang menafikan keberagaman pangan nusantara. Karena luput dari kebijakan pangan Orde Baru itulah, masyarakat Cireundeu terhindar dari bencana kelaparan seperti yang dialami penduduk Papua atau Maluku kini. Banyak penduduk di kedua daerah tersebut menjadi korban dari kebijakan beras-isasi Orde Baru yang menyalahi kondisi geografis dan kultural daerah-daerah tersebut.
Ketahanan pangan yang diperlihatkan warga Cireundeu menarik perhatian pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kampung adat Cireundeu kerap dijadikan kampung percontohan ketahanan maupun diversifikasi pangan yang berhasil di Jawa Barat, bahkan Indonesia. Respon pemerintah terhadap tradisi masyarakat Cireundeu ini dapat dilihat sebagai suatu bentuk apresiasi pemerintah pada keberhasilan warga Cireundeu dalam menjaga ketahanan pangannya dengan berlandaskan kearifan lokal. Namun disisi lain, sikap pemerintah selaku pemegang otoritas tertinggi di republik ini kontradiktif bila meninjau kebijakan diskriminatif yang memasung kebebasan masyarakat Cireundeu untuk beragama dan berkeyakinan masih terus dipertahankan hingga era reformasi kini. Terlihat ironis pula bila kita melihat kebijakan pangan pemerintahan saat ini yang masih menghamba pada produk impor, tanpa keseriusan membenahi sektor pertanian negeri ini demi terwujudnya kedaulatan pangan. Sudah selayaknya kita belajar dari mereka yang telah teruji melewati dinamika sejarah tanpa mengabaikan hak-hak mereka guna menyonsong masa depan yang lebih baik, masa depan yang berdaulat.
*) Penulis adalah kader GMNI Cabang Sumedang dan alumni Antropologi Universitas Padjadjaran
http://m.berdikarionline.com/sisi-lain/ ... undeu.html