UU No 1/PPNS 1965 Mengancam kebebasan Beragama

Gambar2 dan Berita2 kekejaman akibat dari pengaruh Islam baik terhadap sesama Muslim maupun Non-Muslim yang terjadi di Indonesia.
Post Reply
mohamedbincamel
Posts: 733
Joined: Sat Jan 20, 2007 9:34 am
Location: The land of milk and honey

UU No 1/PPNS 1965 Mengancam kebebasan Beragama

Post by mohamedbincamel »

Senin, 01/03/2010 18:10 WIB
UU No 1/PPNS 1965 Mengancam Kebebasan Beragama
Ridwan al-Makassary



Jakarta - UU No 1/PPNS 1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama mengancam kebebasan beragama. Belakangan ini publik dibuat terbelah antara pihak yang mendukung implementasi UU No 1 PNPS 1965 tersebut.

Pada satu sisi dan pihak yang mendukung penghapusan UU tersebut oleh karena dinilai mengancam kebebasan bergama (religious freedom or religious liberty). Pada sisi yang lain, pihak yang membela UU tersebut, misalnya datang dari Menteri Agama Suryadharma Ali yang mengutarakan bahwa UU tersebut mesti dipertahankan karena dapat mempertahankan kerukunan umat beragama dan juga mampu mengawal bangsa Indonesia dalam kehidupan yang harmonis.

Sementara terdapat sejumlah tokoh agama yang mengajukan uji materi UU No 1/PPNS1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Pemohonnya antara lain (almarhum) Gus Dur dan Dawam Rahardjo. Argumennya adalah pasal 2 dan pasal 156 huruf a UU No 1/PNPS/1965 menyangkut ancaman pidana idana bagi organisasi dan pribadi yang melanggar ketentuan sesuai pasal 1 mencerminkan negara tidak melindungi dan menjamin kebebasan beragama sesuai pasal 28 huruf e dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Juga, alasan lainnya adalah pasal 4 UU Nomor 1/PNPS/1965 dianggap sebagai dasar negara berpihak kepada agama tertentu. Opini penulis lebih menekankan pada bagaimana kita memahami kebebasan beragama dari sebuah perspektif yang luas sehingga kita bisa melihat UU tersebut secara bijak dengan tidak tergopoh-gopoh mengambil kesimpulan.

Kebebasan beragama sejatinya adalah sebuah nilai yang telah dideklarasikan secara universal dan semakin berpengaruh di dunia. Pada kenyataannya religious freedom adalah sebuah konsep baru yang telah menyentuh setiap jengkal teritori di pelbagai belahan dunia yang ditandai dengan pemaktubannya dalam kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik, pada Pasal 18.

Menurut James T Richardson gagasan kebebasan beragama adalah sebuah produk yang nyata dari pelbagai kondisi sosiologi/ sejarah yang membimbing masayarakat dunia pada pembentukan gagasan kebebasan beragama. Secara singkat konsep modern tentang kebebasan beragama kerap dihubungkan dengan horor perang sipil berlatarkan agama yang merundung wilayah Eropa pada abad ke-16 dan 17 M.

Secara khusus 30 tahun perang yang melanda Jerman yang menelan kematian jutaan jiwa. Pada tahun 1618 Kekaisaran Jerman memiliki 10 Juta jiwa. Sedangkan pada tahun 1648 hanya tersisa 6 juta jiwa. Singkatnya sebuah dekade yang dilumuri tumpahan darah orang-orang tak berdosa tersebut telah membimbing penganut iman yang berbeda pada usaha-usaha menemukan jalan untuk mengayuh hidup bersama dalam damai dan sentosa.

Setelah jutaan jiwa terbunuh sia-sia, gagasan toleransi, sebagai ujung tombak konsep kebebasan beragama, tampaknya berusaha diejawantahkan oleh orang-orang yang berkuasa di Eropa ketika itu. Namun, perang agama yang belum sepenuhnya usai dan juga prosekusi di beberapa wilayah telah menyebabkan gelombang imigrasi.

Sebagian besar berhijrah ke Amerika Utara untuk menemukan sebuah kehidupan yang lebih baik terbebas dari kekerasan agama. Fakta sejarah yang menunjukkan bukti bahwa sejarah awal Amerika Serikat berhutang budi pada konflik agama di Eropa.

Kondisi Kebebebasan Beragama di Indonesia
Berbicara secara umum jika menelisik perlindungan negara terhadap kebebasan beragama khususnya melalui perundang-undangan maka Indonesia secara hukum telah mencapai beberapa kemajuan. Secara konstitusi kebebasan beragama telah diakui di pasal 29 UUD 1945, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No 12 Tahun 2005.

Sementara itu beberapa pelarangan terhadap sejumlah agama tertentu telah dicabut seperti Khong Hucu (Januari 2000), Jehovah's Witness (Juni 2001), Baha'i, serta Rosicrucian (Mei 2002). Juga telah berlalu cerita pelarangan atas Shinto, Tao, Zoroaster, Fahlun Gong, dan juga Yahudi, termasuk agama lokal, meskipun belum terwadahi dalam kantong agama resmi, dengan keluarnya UU No 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan.

Meskipun demikian, pada titik ini, masih ada dua UU yang berpotensi melanggengkan praktik anti kebebasan beragama. Yaitu KUHP pasal 156 a dan PNPS 1965 tentang Penodaan Agama. Aplikasi UU ini telah menelan sejumlah korban di antaranya Yusman Roy dan Lia Aminuddin. Termasuk Peraturan Bersama 3 Menteri No 3 tahun 2008 tentang Ahmadiyah.

Namun, berbicara secara praktik, terdapat pemasungan kebebasan beragama yang luar biasa di negeri ini. Menurut data dari SETARA Institute, pada tahun 2008 saja terdapat 367 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan di tanah air.

Secara singkat negara bersikap kurang tegas dalam persoalan kebebasan beragama ini. Misalnya dalam kasus Jemaat Ahmadiyah. Pemerintah terkesan ingin menyenangkan pihak umat Islam dan juga pihak penganjur kebebasan beragama.

Fenomena ini serupa untuk beberapa derajat dengan perang berlatar belakang agama yang telah dijelaskan di atas. Singkatnya jika negara tidak tegas dalam menegakkan UU kebebasan beragama yang telah termaktub dalam peraturan yang telah disebutkan di atas dan juga pemahaman masyarakat yang memandang pluralism agama hanya sebagai sinkretisme agama, bukan sebagai pluralitas yang bermakna, maka masa depan kebebasan beragama selalu dihantui kekerasan agama.

Ridwan al-Makassary
Jl Tanjung Lengkong RT 009/07 Jakarta Timur
[email protected]
0817853612
Post Reply