Page 1 of 1

Terpidana Mati Sumiarsih & Sugeng Dieksekusi

Posted: Fri Jul 18, 2008 8:58 am
by daniel-ntl
detiksurabaya

Surabaya - Meski dikabarkan sebelumnya eksekusi akan dilaksanakan Jumat dinihari namun entah mengapa dibatalkan. Batalnya eksekusi terhadap Sumiarsih dan Sugeng ini tidak ada penjelasan sama sekali dari yang berwenang.

Namun, informasi yang diperoleh belum dilaksanakannya eksekusi terhadap pembunuh Letkol (Mar) Poerwanto dan empat anggota keluarganya pada 1988 lalu itu karena pendamping rohani untuk Sumiarsih belum datang.

"Yang jelas tidak pagi ini. Tapi entah kapan waktunya," kata salah satu petugas rutan, Jumat dinihari (18/7/2008).

Meski waktu menunjukkan pukul 03.25 WIB dan tidak ada tanda-tanda dua terpidana mati itu akan dibawa menuju ruang eksekusi yang lokasinya dirahasiakan itu, wartawan tak pupus semangat.

Puluhan wartawan cetak dan elektronik tetap siaga di depan rutan meski sebagai sudah tumbang. Mereka yang tak kuat menahan kantuk terpaksa tidur di tempat-tempat seadanya dengan merangkul peralatan kerjanya seperti kamera maupun tas rangselnya.

Namun sejumlah wartawan sudah ada yang mulai gelisah. "Jika sampai Adzan Subuh berarti tidak ada eksekusi pagi ini. Kan tidak mungkin nembak di suasana sudah terang," kata salah satu wartawan media cetak.

Meski ada kabar eksekusi positif ditunda, namun pantauan detiksurabaya.com, di dalam rutan sudah disiapkan dua mobil. Selain itu tak jauh dari rutan terlihat 4 mobil dengan kaca gelap terparkir.

Kepastian dibatalkannya eksekusi dinihari ini dikuatkan oleh M Sholeh, kuasa hukum Sugeng. "Saya sampai sekarang tidak mendapat kabar mengenai klien saya sama sekali. Jadi atau tidak, tidak ada kabar," terang M Sholeh.

Sumber detiksurabaya.com lainnya mengakui bahwa� kemungkinan eksekusi paling lambat adalah Sabtu dinihari. "Sebab polwiltabes mengalokasikan pengamanannya hingga Sabtu. Artinya itutah deadlinenya," kata sumber ini menyakinkan.(gik/gik)


gimana sih hukum di indonesia? udah dipenjara 20 tahun baru sekarang mau di eksekusi mati?? :roll:

Posted: Fri Jul 18, 2008 10:06 am
by Nurlela
Yang jelas sejak masuk kedalam tahanan Sumiasih ( bukan sumiarsih ) telah berpindah agama alias murtad dari Muslimah menjadi pengikut Kristus.

Posted: Fri Jul 18, 2008 10:43 am
by daniel-ntl
yap :D ternyata ada rencana Tuhan dibalik lamanya penahanan mereka (sampai 20thn), yaitu supaya mereka menemukan kebenaran itu dan kebenaran itu memerdekakan mereka dan mendapat keselamatan kekal.

GOD HAVE MERCY

Posted: Fri Jul 18, 2008 11:49 am
by simelekete
Nurlela wrote:Yang jelas sejak masuk kedalam tahanan Sumiasih ( bukan sumiarsih ) telah berpindah agama alias murtad dari Muslimah menjadi pengikut Kristus.
Beneran nich? Berita dari mana?

Posted: Fri Jul 18, 2008 12:15 pm
by Borland
Ibu Sumiarsih kayaknya emang Kristen, tapi gak tau sejak kapan....soalnya nonton berita dia dijenguk sama aktivis gereja,,,tp si Sugeng Islam.

Posted: Fri Jul 18, 2008 2:13 pm
by Nurlela
Sumiasih sudah berpindah ke-agama kristen, sedangkan anaknya Sugeng tetap beragama islam.

adalah orang terkaya saat masih menjadi germo di kawasan Jalan Kupang Gunung Gang 1 Surabaya (atau lebih dikenal sebagai Gang Dolly), puluhan tahun silam. Ia setidaknya memiliki dua buah rumah bertingkat dua yang disewakan ke para PSK Gang Dolly.

Selain itu, Sumiarsih juga mengelola rumah bordil yang diberi nama Wisma Happy. Wisma inilah yang menjadi pemicu pembunuhan terhadap Letkol Marinir Poerwanto dan empat anggota keluarganya pada 13 Agustus 1988. Kini Wisma Happy telah berpindah kepemilikan dan berganti nama meski masih dipakai sebagai etalase PSK.

Menurut Pak De, seorang warga setempat yang juga kenalan baik keluarga Sumiarsih, jauh hari sebelum peristiwa pembunuhan itu hubungan antara Sumiarsih dan suaminya, Djais Adi Prayitno, dan Letkol Purwanto sangat akrab. Prayitno jugalah yang dipercaya mengelola keuangan Poerwanto.

“Setiap minggu Pak Poerwanto selalu menyerahkan uang Rp 60 juta dari hasil usaha koperasinya ke Pak Prayit untuk disimpan,” ungkap Pak De yang sudah sekitar 50 tahun berjualan makanan di Gang Dolly.

Karena kedekatan itulah warga tidak menyangka bahwa keluarga Sumiarsih justru yang menghabisi keluarga Poerwanto. Apalagi menjelang malam tanggal 13 Agustus 1988 (atau beberapa saat setelah pembunuhan dilakukan), Prayitno terlihat pergi memakai mobil dengan membawa Poerwanto di sampingnya.

“Saat itu kami sempat bertanya 'mau ke mana Pak Prayit' dan dijawab 'ada bisnis'. Ya, kami tidak curiga sama sekali,” kata pria tua yang hanya mau ditulis namanya dengan sebutan Pak De ini.

Padahal, kemudian terkuak bahwa saat diajak pergi itu sebetulnya Letkol Poerwanto baru saja tewas dibunuh. Poerwanto ditempatkan sedemikian rupa dan dipakaikan jas untuk menutupi baju seragam TNI AL-nya sehingga seolah-olah ia tidur di mobil yang ditumpangi Prayit.

Kecurigaan warga baru muncul ketika esok harinya ada kabar Poerwanto tewas dan dibuang di sebuah jurang di kawasan wisata Songgoriti, Kota Batu, yang saat itu masih masuk Kabupaten Malang. Pagi itu juga warga terperanjat karena mengetahui yang meninggal ternyata bukan hanya Purwanto, melainkan istri, dua anak, dan keponakannya pula. Polisi kemudian mengungkap, motif pembunuhan adalah utang-piutang berjumlah puluhan juta rupiah yang terkait dengan pengelolaan Wisma Happy.

PEMBUNUHAN tragis atas keluarga Letkol Poerwanti tersebut langsung membuyarkan anggapan warga tentang sosok Sumiarsih dan keluarganya. Diakui Pak De, di mata warga Gang Dolly, kala itu Sumiarsih dan keluarganya adalah sosok yang ramah dan baik. "Dia selalu boso (berbicara menggunakan bahasa Jawa halus) kepada setiap orang. Tutur katanya pelan, enggak pernah menyakiti orang," tutur Pak De.

Sumiarsih juga ringan tangan dan empatinya besar kepada warga lain. Pak De juga mengaku sering dibantu Sumiarsih. "Saya pernah mengeluh tidak bisa membelikan seragam anak saya (Darmawan dan Supriyadi) dan besoknya Bu Prayit langsung membelikan. Malah ada anak warga sini yang disekolahkannya sampai lulus SMA," kata Pak De.

Warga juga tidak segan mendatangi rumah Sumiarsih ketika kesulitan uang. Maklum, saat itu Sumiarsih tercatat sebagai orang kaya di wilayah Dolly. Selain itu, Sugeng, anak Sumiarsih, juga dikenal sebagai pemuda yang ramah dan baik kepada warga sekitar.

Sejak dulu Sugeng sudah menyukai bercocok tanam, khususnya merawat tanaman bonsai. Tidak heran jika selama menjalani hukuman di Lembaga Pemasyaratakan (Lapas) Kelas 1 Surabaya di Porong, Sugeng menjadi tukang taman.

"Kalau saya tahu bakal ada pembunuhan, mungkin sudah saya ajak pergi dia. Kasihan Sugeng, dia orang baik," kata Pak De.

Saat ditemukan dengan Sugeng (44) di Rutan Medaeng, Rabu (16/7) dini hari, Sumiarsih berkali-kali meminta maaf kepada anaknya itu karena telah melibatkannya dalam aksi pembunuhan.

Sementara itu, hingga kini satu dari dua rumah sewa berlantai dua yang disebut milik keluarga Sumiarsih tetap berdiri kokoh tepat di depan Gang Dolly meski beberapa bagian dindingnya mengelupas dan cat putihnya mulai memudar.

Sejak ditinggal keluarga Sumiarsih 20 tahun lalu, rumah ini tidak jelas pengelolaannya. Menurut Pak De, beberapa tahun rumah ini sempat dipakai sebagai klinik kesehatan oleh seorang dokter. Namun, sejak dua tahun lalu klinik itu ditutup.

HARAPAN Sugeng (44) untuk bertemu dengan penyanyi idolanya, Ebiet G Ade, menjelang akhir hayatnya memang tidak bisa terwujud. Namun, keinginan itu sedikit terobati dengan kedatangan Rachmawati Peni Sutantri, wanita yang dikaguminya saat masih duduk di bangku SMP.

KOMPAS/TIFPeni inilah yang disimbolkan Sugeng sebagai sosok Camelia seperti dalam album Camelia milik Ebiet G Ade. Peni, yang disapa Sugeng dengan panggilan Inep (kebalikan kata Peni), adalah teman sekelas Sugeng ketika di SMPN II Jombang. Kekaguman Sugeng akan Peni sebenarnya bersambut, tetapi karena minder dengan kesenjangan statusnya, Sugeng lantas menarik diri dari pertemanan lebih jauh dengan Peni.

"Ia merasa hanya anak seorang muncikari, sedangkan Peni anak orang terpandang sehingga ia lebih memilih memendam perasaannya saja," kata salah seorang teman Sugeng.

Menjelang akhir hidupnya, Sugeng tetap memendam rasa itu. Ketika diberi kesempatan mengungkapkan beberapa permintaan terakhirnya, Sugeng menyebut nama-nama orang yang ingin ditemuinya. Duda kelahiran Jombang, 15 September 1964, itu mencantumkan nama Peni dalam daftar.

Peni yang kini menjadi anggota Komisi D DPRD Jatim ini pun menyambutnya dengan menemui Sugeng di Rutan Medaeng, Sidoarjo, Kamis (17/7) siang.

Mata Sugeng tampak berkaca-kaca begitu menyambut jabat tangan dari perempuan yang dipujanya puluhan tahun ini. Namun, perasaan itu langsung mencair dan berganti dengan reuni masa lalu. "Dia tidak pangling (lupa) sama saya. Katanya, gaya omongan saya kok pancet ae (tetap saja), cuma saya agak melebar (lebih gemuk)," kata Peni saat ditemui seusai bertemu dengan Sugeng.

Sebutan Camelia buat Peni memang sudah diketahui Peni sendiri sejak di SMP itu. Peni juga sempat bertanya mengapa diberi julukan itu. "Kata Sugeng, ya seneng ae (ya suka aja)," kata Peni yang hadir di Medaeng ditemani suaminya, yang seorang dokter.

Di mata Peni, Sugeng termasuk orang yang slengean. Karena itu, ia dan teman-temannya memiliki panggilan khusus untuk Sugeng, yakni "Glendem". Meski glendem atau ndableg, ketika SMP Sugeng termasuk pemain basket yang andal.

Peni terakhir bertemu dengan Sugeng sekitar tahun 1984 atau empat tahun sebelum peristiwa pembunuhan keluarga Poerwanto terjadi.

Untuk menghapuskan kekhawatiran Sugeng menyambut kematiannya, Peni yang baru pulang umrah ini membawakan Sugeng air zamzam, kurma nabi, dan tasbih. "Ternyata ia sudah tatag (tegar) menghadapi eksekusi. Sudah siap. Saya bilang 'jangan menangis ya', dia setuju," cerita Peni dengan mata berkaca-kaca.

Dari pertemuan yang berlangsung sekitar setengah jam di kamar blok D 1 itu, kata Peni, Sugeng justru mengaku lebih senang segera dieksekusi. Dia juga meminta maaf kepada semua orang dan mengakui kesalahannya. "Kata dia 'kalau dibilang salah, saya memang salah. Tapi, salah atau tidak itu Allah yang menilai. Saya sudah di sini (penjara) 20 tahun. Ya, saya sudah mencoba sudah melaksanakan apa yang harus dilakukan sebagai manusia yang sempat bersalah. Saya ingin cepat-cepat menyelesaikasn tugas saya sebagai manusia',” kata Peni menirukan omongan Sugeng.

MENURUT Rachmawati Peni Sutantri, setelah berpisah puluhan tahun, Peni melihat religiusitas Sugeng cukup baik, bahkan Peni sempat diberi ceramah agama singkat. Sugeng berpesan kepada Peni agar jangan memprediksi tiga hal yang menjadi rahasia illahi, yakni maut (kematian), jodoh, dan rezeki karena hal itu tidak bisa diakalkan dengan cara apa pun.

Pada akhir pertemuannya, Sugeng memberikan Peni kenang-kenangan bonsai berupa bunga gelombang cinta (anthurium), jeruk kikit, dan bunga kamboja. Bunga-bunga itulah yang selama ini dirawat saat mengisi hari-harinya di Lapas Kelas I Surabaya di Porong.

"Saya bilang, wah ini warisanmu yo? Terus ia jawab iyo rek ramuten (iya, mohon dirawat)," ujar Peni.

Untuk memastikan pemberian itu, Sugeng mengirimkan surat kepada Aris Setiawan, teman sesama terpidana mati penghuni blok D III/5 Lapas Porong. Isinya meminta Aris untuk mengambilkan tiga tanaman tersebut untuk Peni.

Sugeng juga menitipkan surat buat Ita dan Yusak, dua temannya yang sebenarnya ingin ditemuinya, tetapi terkendala perizinan dari Kejari Surabaya.

Selain bertemu dengan Peni, Kamis kemarin (17/7) Sugeng juga ditemui adik kandungnya, Rosemeywati atau Wati, dan Felicia, teman dekat Sugeng. Felicia dikenal Sugeng dari Wati ketika menjenguknya. Tetapi, hubungan lanjut keduanya terkendala perbedaan keyakinan. Selain menemui orang-orang yang dikasihi, hari-hari terakhir Sugeng juga banyak diisi dengan membaca Al Quran dan salat.

Sementara itu, Sumiarsih, kemarin juga menerima kedatangan pembimbing rohani Jonathan Gie dari Gereja Bethel Indonesia Surabaya. Jonathan mengakui kondisi Sumiarsih sehat dan ia meminta didoakan agar proses eksekusinya berjalan lancar. Kemarin Sumiarsih juga masih menjalankan puasa.

Kepada Jonathan, Sumiarsih berpesan agar anak-anaknya diatur dengan baik. "Ibu sudah menyiapkan ini selama 20 tahun, jadi tidak ada kekhawatiran. Malah mungkin merasa bersalah dengan putranya (Sugeng). Seperti terbersit 'kalau bisa Ibu Sih sendiri yang dihukum, anaknya jangan'. Anaknya hanya membantunya saja,” ungkap Jonathan.

Kepada Wati, yang saat itu mengunjunginya, Sumiarsih berpesan agar tetap tegar menerima kenyataan ini. Seusai bertemu dengan Jonathan dan Wati, Sumiarsih banyak mengisi waktunya dengan membaca Al Kitab. Dari pertemuan itu, Sumiarsih diberikan minyak oles cap kapak oleh Wati. Setelah dilaporkan ke petugas, minyak itu akhirnya bisa dipakai untuk menghangatkan tubuhnya. k1

Posted: Fri Jul 18, 2008 3:50 pm
by audy_valentine
Mungkinkah si Amrozy nggak dieksekusi ama Indo karena Tuhan juga menginginkan dia bertobat sama? :lol:

Posted: Fri Jul 18, 2008 9:02 pm
by bahlul al-amin
tar kalo amrozy cs di eksekusi, ribuan yang mengelu elukan jenazahnya sbg pahlawan jihad yang mati sahid. tentunya ini akan membuat sakit hati keluarga para korban pemboman bali I . Aksi teror biadab itu kalo dianggap pahlawan, gimana yah harkat bangsa indonesia di mata dunia? malu ngga yah jadi orang indonesia?

Posted: Fri Jul 18, 2008 10:56 pm
by KIMPOEL
Amrozy ? Hoooeeek cuih cuih cuih !!! Jijay ...

UPDATE

Posted: Mon Jul 21, 2008 12:02 pm
by daniel-ntl
kompas.com

Sabtu, 19 Juli 2008 | 19:03 WIB

SURABAYA, SABTU - Pengacara dua terpidana mati Ny Sumiarsih (60) dan anaknya Sugeng (44) yakni Soetedja Djajasasmita, SH mengaku kecewa karena gagal mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.

"Saya kecewa, karena kedua terpidana akhirnya dieksekusi (19/7). Saya gagal memperjuangkan Sumiarsih dan Sugeng untuk hidup terus," katanya di Surabaya, Sabtu.

Ia berharap jangan sampai ada lagi kejadian seperti itu (hukuman mati). "Saya gagal mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Ke depan harus diperjuangkan lebih maksimal," katanya.

Oleh karena itu, ia meminta maaf kepada Sumiarsih-Sugeng. "Rabu (16/7), saya sudah minta maaf kepada almarhumah Sumiarsih dan almarhum Sugeng atas kegagalan itu," katanya.

Ia bersyukur kedua terpidana dapat memahami upaya dirinya yang dinilai sudah maksimal selama 20 tahun mulai dari grasi hingga PK (peninjauan kembali) beberapa kali.

Di tengah kegagalan itu, pengacara yang menjadi saksi eksekusi Sumiasih-Sugeng itu mengaku dapat berbangga, karena semua permintaan terakhir terpidana mati telah dipenuhi tim eksekutor.

"Tidak ada satu pun permintaan terpidana yang tak dipenuhi, karena permintaan untuk adanya pertemuan Sumiarsih-Sugeng, bertemu dengan keluarga, bertemu rohaniawan, dan bertemu orangtua (Suwadi / ayah dan Mbok Genuk/ibu) terlaksana," katanya.

Sebelumnya, Kajati Jatim H Purwosudiro, SH mengaku kedua terpidana mati itu ditembak dalam posisi duduk dengan kepala ditutup dan tembakan diarahkan ke dada bagian kiri (jantung).

"Keduanya ditembak dua regu (24 penembak), sehingga masing-masing terpidana dieksekusi di hadapan 12 penembak yang enam diantaranya diberi peluru hampa dan enam lagi diberi peluru tajam," katanya.

Oleh karena itu, katanya, kedua terpidana langsung meninggal dunia dengan luka tembak di dada kiri yang tembus akibat terjangan enam peluru. "Penembaknya dalam posisi tiarap," katanya.

Kedua terpidana mati dalam kasus pembunuhan berencana terhadap satu keluarga di Jl Dukuh Kupang VII No 24 Surabaya pada 13 Agustus 1988 itu telah dieksekusi di lapangan Mapolda Jatim pada 19 Juli 2008 pukul 00.20 WIB.

Selain Sumiarsih dan Sugeng, pelaku yang divonis hukuman mati dalam kasus pembunuhan tersebut adalah Serda (Pol) Adi Saputro (menantu) yang sudah dieksekusi, dan Djais Adi Prayitno (suami) yang meninggal tahun 2001 karena sakit di dalam penjara.

Adi Saputro telah dieksekusi pada 1 Desember 1992 oleh regu tembak anggota Kodam V/Brawijaya. Penyebab dari pembunuhan adalah permasalahan utang piutang yang menimbulkan dendam.

Sementara itu, korban pembunuhan adalah Letkol (Mar) Purwanto, Ny Sunarsih (istri Purwanto), Haryo Bismoko (anak), Haryo Budi Prasetyo (anak) dan Sumaryatun (keponakan Purwanto), kemudian mayat kelima korban dibuang ke jurang di Songgoriti-Batu.