Page 1 of 1

Pesantren - tempat berkembangbiaknya teroris

Posted: Mon Oct 10, 2005 5:07 pm
by ali5196
http://www.theaustralian.news.com.au/co ... 03,00.html

School that nurtured the Islamic call to arms
Radicalism is popular among the poor, writes Simon Kearney
October 10, 2005

IT is just on dusk at the Al-Islam boarding school, or pesantren, and the place is bustling. Earlier in the day, it might as well have been deserted, but with the call to evening prayers, the students have emerged, eager to break their Ramadan fast and chatter among themselves.

The Islamic school in Tenggulun has some of the most notorious alumni in the world, having been a place of learning, preaching and refuge to many of the key protagonists in the October 2002 Bali bombings, which killed 202 people.

Today, it has 150 students from all over the far-reaching archipelago and, according to its founder Muhammed Khozin, he teaches his students to do with words what his brothers chose to do with bombs.

The students The Australian met there yesterday quizzed this reporter about his religious beliefs and debated the issue of whether the holy trinity in Christianity was false. They muttered among themselves about whether I was really a reporter or an Australian intelligence agent.

They are used to being treated with suspicion by the media and receiving visits from police. But after a while, they relax and behave largely like high school students anywhere.


Welcome to the breeding ground of radical Islam in Indonesia. It started with Jemaah Islamiah spiritual leader Abu Bakar Bashir's Ngruki school in Solo, Central Java, and has spread into other pesantren across the country.

The schools are popular with poor families for their discipline and thorough religious curriculums. For the price of a cheap meal out in Australia, a family can send their son to this pesantren for a year. A boy from the island of Flores told The Australian his tuition cost 300,000 rupiah, about $40.

For poor villagers, some of whom live on subsistence rice farming and have annual earnings of just a few hundred dollars, it gives them the opportunity for their children to aspire to a better life, Airlangga University of Surabaya Associate Professor of Indonesian Culture, Kacung Marijan, said.

Al-Islam is on the outskirts of the village of Tenggulun, a two-hour drive west of Surabaya in East Java.

Khozin, as well as being one of the school's founders, is the brother of three of the 2002 Bali bombers, Ali Gufron, known as Mukhlas, Amrozi and Ali Imron, who all attended and taught at the school.

As head of one of Indonesia's most notorious families, he is keen to distance his community from the second Bali bombings, which he says are "different" to the first. His brand of Islam, he says, is different. He says the community has moved on and does not want to be linked to the new "tragedy".

But to Khozin, there is no difference in his ideology and his brothers'. The difference is in how they chose to act on their anger at Westerners flaunting their liberal values. He refers to the non-Muslim community as Kaffir Dhimmi, the name the prophet Mohammed gave to the non-Muslim communities. He says it is the responsibility of Muslims to fight this group by convincing them to behave with respect towards their Muslim neighbours.

He says the fight should not be "physical" but a fight with words.

Khozin does not believe that Westerners and Muslims can live side by side while Westerners continue to believe, for example, in allowing women to wear bikinis at the beach and to drink alcohol.

It is a "morality war" brought on by Australians and Westerners in general refusing to respect his culture.

He said his school "prepares the student to make sure foreigners do not do that in Indonesia". You only have to talk to his son, 19-year-old Afif, to know that the young people coming through the Islamic schooling system take that message to heart and maybe even beyond.

He says Bali will not be safe from terrorism until Australians and other Westerners visiting there behave in a way that is respectful of Muslim culture. Ask Afif what he wants to do when he grows up, the answer is simple: "Fight for Islam."

This is probably best interpreted as youthful spirit and not a declaration of jihad but his commitment is to ending what he sees as a Western corruption of his country. It shows that with such a hardline philosophy on what is and what is not acceptable, it is a fine line between fighting with words and fighting with bombs.

While Afif's uncles, Mukhlas -- the commander of the 2002 bombings -- and Amrozi, who played a key role procuring most of the equipment they needed, are facing the death penalty, he doesn't view what they did as wrong because they scared away many Westerners. He considers the Muslims who died as martyrs; he says the Westerners who died are not his concern because they were unbelievers.

Khozin said his brothers, Mukhlas and Amrozi, did not fear the death penalty and were not interested in an amnesty. He said the eldest of the three, Mukhlas, or Ali Gufron, remained devoted to JI's Bashir. "Gufron wants to become the next Bashir," Mr Khozin said.

Police investigating the latest tragedy have not visited Khozin. "If they want to come here, that's OK, we have nothing to hide," he said.

Ustad Arsal & Pesantren-nya Terlibat Terorisme Poso

Posted: Sun Nov 05, 2006 8:17 am
by Fajar K
Ustad Arsal Diminta Serahkan Tersangka Teror

Jakarta (Bali Post) -
Ustad Adnan Arsal diminta menyerahkan tersangka pelaku kasus teror Poso yang diduga bersembunyi di Pesantren Amanah, Poso yang dipimpinnya. Polisi tidak memberikan tenggat waktu (deadline) kepada pimpinan Forum Silaturahmi Umat Islam (FSUI) Poso, Sulawesi Tengah itu. Namun, polisi berharap tokoh muslim itu bersedia menyerahkan para tersangka secepatnya.

''Tidak ada pembatasan waktu (untuk menyerahkan para tersangka), namun kita meminta bantuan agar dia besedia menyerahkan para tersangka,'' kata Kapolri Jenderal Pol. Sutanto, Jumat (3/11) kemarin.

Kapolri yakin Ustad Arsal yang juga mertua Hasanuddin (salah satu tersangka kasus Poso) itu akan memenuhi komitmennya untuk menyerahkan para tersangka kasus teror di Poso. Namun sekali lagi, Kapolri mengakui permintaan polisi kepada Ustad Adnan Arsal ini tak akan mudah diwujudkan.

Selain meminta bantuan Ustad Adnan Arsal dan para tokoh agama di Sulteng, menurut Sutanto, polisi kini terus berupaya melacak keberadaan ke-29 tersangka yang sebelumnya telah dinyatakan buron itu. Alumnus Akademi Kepolisian (Akpol) 1973 ini yakin pengumuman nama-nama tersangka yang dilakukan oleh Polri beberapa hari lalu itu akan menuai hasil yang baik. ''Mudah-mudahan akan berhasil,'' harapnya.

Mengenai kondisi keamanan di Sulteng, kata Sutanto, sejauh ini dapat dikatakan cukup kondusif. Indikasinya, tidak ada lagi aksi teror dan ancaman keamanan yang terjadi di wilayah rawan konflik dalam beberapa hari terakhir ini. ''Mudah-mudahan keadaan aman ini dapat terus kita jaga,'' kata mantan Kapolda Jawa Timur ini. (kmb5)

[url]http://www.balipost%20.co.id/balipostc%20etak/2006/%2011/4/n1.htm[/url]

Posted: Sun Nov 05, 2006 8:19 am
by Fajar K
Ustad Arsal & Pesantren-nya Terlibat Terorisme Poso !!!

> "Ambon" <sea@...> wrote:
> Ustad Arsal Diminta Serahkan Tersangka Teror
> Ustad Adnan Arsal diminta menyerahkan tersangka pelaku kasus teror
> Poso yang diduga bersembunyi di Pesantren Amanah, Poso yang
> dipimpinnya. Polisi tidak memberikan tenggat waktu (deadline) kepada
> pimpinan Forum Silaturahmi Umat Islam (FSUI) Poso, Sulawesi Tengah
> itu. Namun, polisi berharap tokoh muslim itu bersedia menyerahkan
> para tersangka secepatnya.
>
> Tidak ada pembatasan waktu (untuk menyerahkan para tersangka), namun
> kita meminta bantuan agar dia besedia menyerahkan para tersangka,''
> kata Kapolri Jenderal Pol. Sutanto, Jumat (3/11) kemarin.


Kembali pesantren dan ulama Islam terlibat teror bakar gereja dan
tembak pendeta. Hal yang sama juga terjadi di Ambon, dan pulau2 lainnya.

Memang mereka yang non-Muslim selalu jadi korban, dan kalo mereka
berusaha membela diri, malah ditangkap dan dihukum mati.

Contohnya saja Tibo Cs, yang berusaha melindungi gerejanya dari
pembakaran dan usaha pemerkosaan dan pembunuhan umat seagamanya, malah
ditangkap dan dihukum mati. Bahkan mereka difitnah dikatakan membunuh
ribuan umat Islam. Tidak pernah ada pembunuhan masal ribuan umat
Islam baik oleh Tibo cs maupun oleh umat yang bukan Islam lainnya.
Tibo cs itu dihukum mati karena melakukan kesalahan fatal yaitu
"membunuh Polisi" yang bertugas. Dimanapun diseluruh dunia kalo
membunuh polisi pasti dihukum mati. Memang nasib, minoritas di
Indonesia harus selalu dijadikan korban sama seperti para penyembah
berhala, kafir, murtad, musyrik dan Yahudi yang dulu juga dijadikan
korban. Namun dinegara2 maju, tidak pernah minoritas dikorbankan,
malah mendapat perlindungan khusus yang lebih telaten dari mereka yang
mayoritas.

Yang paling menyedihkan, sekarang ini pelaku teror tembak pendeta2 dan
pembakaran2 Gereja justru berlindung di pesantren dimana polisi tidak
berani bertindak selain cuma memberi anjuran saja agar pemilik
pesantren menyerahkan pelaku teror ini tanpa batas waktu yang oleh
kepala POLRI sudah diduga bahwa anjurannya pasti ditolak oleh pemilik
pesantren.

Ny. Muslim binti Muskitawati.

Posted: Sun Nov 05, 2006 11:15 am
by Cucu Jusuf Estes
haha.. yg di lakukan bukannya di seret paksa, ini malah minta dengan sukarela. Mau jadi apa negara kita klo pemimpinnya KOMPROMI melulu dgn TERORIS..

di luar sana SBY teriak2 minta investor utk tanam saham di INA. Di dalamnya malah kompromi dgn TERORIS..

apa yg bs diharapkan ???

Posted: Sun Nov 05, 2006 3:11 pm
by aRcHaNoN
jadi itu yah yang namanya perang ama teroris? pake kompromi? apalagi tidak di deadline... apaan tu?? cuman orang idiot yang percaya indo mo perang ama teroris

Kalau begini terus , lebih baik merdeka saja.

Posted: Mon Nov 06, 2006 10:26 am
by hokahoka
Sudah dari dulu koq, sikap ambigue / standar ganda aparat / pemerintahan terlihat dengan gamblang berat sebelah ke mayoritas dan menggencet minoritas dipraktekan di seluruh Indoensia.

Apalagi kalau sampai melibatkan oknum elit pemimpin ormas yang mayoritas (spt Ustad Arsal itu), pasti aparat sungkan bertindak tegas terhadapnya. Tapi, di lain pihak kita menyaksikan minoritas sudah babak belur (3 siswi dipenggal, gereja-gereja dibakar, 2 pendeta ditembak mati), tak ada pembelaan sedikitpun.

Kalau sudah diperlakukan begini lebih baik, minoritas mendeklarasikan merdeka saja dari NKRI sebagai jalan keluarnya...seperti Timor Leste tempo hari.

Wong sudah jelas , pelaku / perusuh koq , malah dilindungi dan dikasih toleransi pula untuk diserahkan tanpa tenggang waktu. Jangan mentang-mentang se-aliran , lalu bersikap standar ganda dong ....kalau begini terus , mau dibawa kemana NKRI ini....bubar??...
Kalau perlu Ustad Arsal itu juga ditangkap sekaligus, kan sudah melindungi pelaku kejahatan...jangan malah dibiarkan ke Jakarta mencari dukungan dari ormas lain-nya ,...ini kan bahaya....

Memang yang dari dulu, yang bikin kerok adalah orang-orang seperti ini koq...
Kalau di Malaysia , orang seperti ini langsung di-gasak, makanya pada lari ke Indonesia (Dr. Azahari & Noordin Top) yang banyak komprominya dengan orang-orang yang merusak NKRI spt Ustad Arsal itu....

Re: Ustad Arsal & Pesantren-nya Terlibat Terorisme Poso

Posted: Mon Nov 06, 2006 10:35 am
by Azuresky
Fajar K wrote:Ustad Arsal Diminta Serahkan Tersangka Teror

Jakarta (Bali Post) -

......

''Tidak ada pembatasan waktu (untuk menyerahkan para tersangka), namun kita meminta bantuan agar dia besedia menyerahkan para tersangka,'' kata Kapolri Jenderal Pol. Sutanto, Jumat (3/11) kemarin.

.......[url]http://www.balipost%20.co.id/balipostc%20etak/2006/%2011/4/n1.htm[/url]
WTF IS THAT!!! Mbok ya kalo mau berat sebelah tuh jangan keliatan banget pak polisi....

Baru kali ini nih liat polisi yg dengan mau anteng nunggu ampe tersangkanya rela keluar sendiri dari persembunyiannya...

TANYA KENAPA!!!

Posted: Mon Nov 06, 2006 10:41 am
by yusuf_bin_sanusi
belum jadi negara syariah islam saja sudah mengelus-elus, membelai-belai teroris, dasar hipokrit..ini salah satu yang membuat investor enggan buat invest disini..apalagi benar2 jadi negara islam, benar-benar deh..

Posted: Mon Nov 06, 2006 11:53 am
by openyourmind
Mana ada investor yang mau invest di Indonesia, udah ada tersangka aja masih engga mau nangkep, malah diajak kompromi...udah gila apa yah? Bukannya yang melindungi juga harus diperiksa polisi juga? Atau polisi takut sama ormas-ormas agama tertentu? Belum lama tuh SBY lawatan ke Cina ketemu para investor. Pertanyaan mereka cuma satu, APAKAH INDONESIA SDH AMAN? APAKAH PEMERINTAH INDONESIA ADA KOMITMEN TIDAK MERUBAH PERATURAN SEENAKNYA? Nah mari kita jawab pertanyaan tersebut bersama...

Posted: Mon Nov 06, 2006 12:45 pm
by abdulah
Kelihatannya si Adnan Arsal ini bajingannya selevel dengan Arab sialan Abu Bakar Ba'asyir.

Arsal tiba di Jakarta Sabtu petang , dan agendanya adalah untuk meminta dukungan dari semua organisasai massa Islam.
Arsal juga berharap para anggota ormas Islam dapat bergabung di Poso untuk berjihad.

Cecunguk setan banjingan provokator semacam Arsal ini dapat bergerak seenak jidatnya , dan kejadian seperti ini hanya dapat terjadi di RI , dimana hukum negara dilecehkan oleh kesombongan mayoritas didalam pengaruh Islam Arab.
Sungguh memalukan aparat penegak hukum yang dipandang sebelah mata oleh cecunguk bajingan seperti Adnan Arsal & the gang !!

Posted: Mon Nov 06, 2006 9:05 pm
by openyourmind
Si Adnan Arsal bin sialan sepertinya engga bisa disentuh aparat. Kenapa? Karena dia punya pesantren dan ormas islam, jadi yah bisa seeenaknya aja pemerintah dipandang sebelah mata. Emang pemerintah berani ama yang beginian? Kita lihat saja...

Memerdekakan diri adalah cara paling pas.

Posted: Tue Nov 07, 2006 9:52 am
by hokahoka
Openyourmind,

makanya, dalam menghadapi keadaan spt ini, cara yang paling pas adalah seperti yang dilakukan Timor Leste tempo hari, yaitu memerdekakan diri, tentunya harus berjuang seperti mereka.

Analoginya :
Kalau seorang anak dalam keluarga sudah babak belur , dibenci , tidak dihargai lagi oleh saudara yang lainnya sementara orang tua nya tidak sanggup bersikap adil ( membela yang babak belur /tidak berani menghukum yang salah dst), maka tidak ada alasan bagi anak itu untuk bertahan di rumah tersebut ... keluar saja dari rumah tersebut, dan bikin rumah tersendiri.

Sebenarnya, Indonesia Timur bahkan Indonesia Tengah ( Papua, Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara dan juga Bali ) karakteristik penduduknya berbeda dengan Indonesia Barat (yang mayoritas muslim) dan sangat tidak memerlukan NKRI. Justru, sebaliknya NKRI yang membutuhkan mereka. Sehingga, bagi mereka keberadaannya di NKRI harus-nya diterima dengan baik bukan malah sebaliknya , seolah -olah mereka yang membutuhkan NKRI.

Lihat saja, Bali menderita karena kelakuan pendatang yang notabene adalah muslim (bom-nya berseri sementara baru seri ke 2). Maluku hancur lebur, juga karena pendatang (Laskar Jihad dari Jawa). dst.

Posted: Tue Nov 07, 2006 10:10 am
by Adadeh
Indonesia: Kekerasan Tak Terkendali di Sulawesi Tengah
Milisi Terus Mengancam Perdamaian di Indonesia

(New York, 4 Desember 2002) -
Kekerasan yang melanda Sulawesi Tengah saat ini adalah akibat langsung dari kegagalan pemerintah Indonesia menghukum para pelaku penyerangan dan melindungi masyarakat di propinsi tersebut sejak 1998, demikian menurut sebuah laporan baru yang dikeluarkan oleh Human Rights Watch hari ini.
Sekitar 1.000 orang diperkirakan tewas dan lebih dari 100.000 orang mengungsi setelah kekerasan antara umat Kristen dan Islam meledak di wilayah Poso, Sulawesi Tengah pada Desember 1998.

Laporan setebal 48 halaman yang berjudul Breakdown: Four Years of Communal Violence in Central Sulawesi (Porak Poranda: Empat Tahun Kekerasan Antarkelompok di Sulawesi Tengah), mengatakan bahwa aparat keamanan menutup mata terhadap kekerasan yang dilakukan kedua belah pihak, termasuk serangan oleh milisi Laskar Jihad. Human Rights Watch mengingatkan bahwa tidak adanya hukuman terhadap penembakan, peledakan bom dan serangan akan mengancam kelanjutan deklarasi damai yang ditandatangani setahun lalu.

"Sejumlah pemerintahan Barat ingin memperkuat hubungan dengan militer Indonesia untuk memerangi terorisme, tapi nyatanya militer bahkan tidak dapat mengontrol konflik yang terjadi di beberapa bagian negeri itu," kata Brad Adams, Direktur Eksekutif Divisi Asia dari Human Rights Watch. "Masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan memberi lebih banyak senjata dan pelatihan. Seharusnya yang diperhatikan adalah reformasi."

Berawal dari perkelahian antara pemuda empat tahun lalu, kelompok-kelompok Islam dan Kristen melakukan serangan terhadap pemukiman dan desa lain, dan membentuk lingkaran kekerasan yang terus berulang. Aparat keamanan gagal menghentikan serangan-serangan tersebut, dan jika bertindak, kadang justru memperparah keadaan dengan menembaki kerumunan dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Kejahatan yang terburuk pun tidak pernah dihukum, dan ledakan kekerasan yang terus terjadi terkait dengan tidak adanya penangkapan terhadap pelaku kekerasan sebelumnya. Pengadilan terhadap beberapa kasus sejauh ini menjatuhkan hukuman yang tidak konsisten dan berlangsung seperti sandiwara yang justru memicu ketegangan lebih lanjut, demikian laporan Human Rights Watch.

Penempatan polisi atau militer secara efektif dan tidak bias, dengan sistem peradilan yang dapat menuntut tanggung jawab pelaku secara baik sebenarnya dapat menghentikan masalah itu sejak awal, menurut Human Rights Watch.

Perhatian internasional saat ini terpusat pada kerjasama Indonesia untuk memerangi terorisme, khususnya sejak peledakan bom di Bali pada 12 Oktober tahun ini. "Jaringan teroris di Indonesia memang perlu diperhatikan oleh penguasa," kata Adams. "Tapi konflik wilayah di Indonesia merupakan ancaman yang lebih langsung bagi demokratisasi dan perdamaian. Dan konflik wilayah ini menciptakan kekacauan dan radikalisasi yang justru diharapkan oleh jaringan teroris."

Ada dugaan bahwa sebuah kamp pelatihan al-Qaeda pernah didirikan di wilayah Poso.

Laporan Human Rights Watch lebih jauh menggambarkan bagaimana organisasi Islam radikal, Laskar Jihad, yang pernah terlibat dalam konflik serupa di Maluku, tiba di Poso pada Juli 2001. Mereka bertemu dengan pejabat setempat dan disambut oleh orang Islam yang merasa bahwa polisi dan tentara telah gagal memberikan perlindungan bagi mereka. Kedatangan pasukan dengan persenjataan lengkap dan berpengalaman disusul oleh penghancuran desa-desa Kristen pada akhir 2001. Walaupun skala kekerasan mulai menurun setelah penandatanganan Deklarasi Malino pada Desember 2001, keputusan milisi untuk menetap di Poso menjadi penghalang bagi proses perdamaian.

Saat tekanan terhadap kelompok Islam radikal mulai meningkat setelah peledakan bom di Bali, pimpinan Laskar Jihad mengumumkan pembubaran organisasi tersebut. Mereka menyatakan bahwa keputusan itu dibuat berdasarkan alasan-alasan internal sebelum peledakan bom terjadi, yang memang tidak dikaitkan dengan kelompok tersebut. Tak lama kemudian sebuah kelompok lain, Front Pembela Islam (FPI), membuat pengumuman serupa di Jakarta. Para pemimpin kedua kelompok saat itu sedang didakwa melakukan tindak kejahatan dan sejumlah pengamat mengatakan bahwa dukungan yang diduga berasal dari kelompok-kelompok di tubuh Angkatan Darat mulai memudar.

"Pengumuman pembubaran diri milisi radikal Islam Laskar Jihad adalah saat penting bagi perdamaian di Poso dan Indonesia," kata Adams. "Pemerintah harus melakukan penyelidikan dan penghukuman untuk menunjukkan bahwa kekerasan oleh milisi atau mantan anggotanya tidak dapat dibiarkan."

Para pengamat khawatir bahwa mantan anggota milisi tidak akan kembali begitu saja ke desa-desa mereka. Banyak dari mereka telah menjadi milisi radikal yang berpengalaman karena bertahun-tahun terlibat dalam konflik. Saat ini masih ada kelompok-kelompok milisi yang belum dibubarkan di seluruh negeri dan beberapa di antaranya terikat pada partai-partai politik. Jika pemerintah sekarang bertindak menyeret para pelaku kekerasan terorganisir ke pengadilan dan memperjelas landasan hukum untuk melarang kelompok-kelompok paramiliter semacam itu, maka kekerasan yang meluas dapat dikurangi pada pemilihan umum tahun 2004 mendatang.

Human Rights Watch menyerukan perlunya penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengenai kegagalan pemerintah menangani kekerasan di Poso, dan mendesak agar program pelatihan yang mendapat dukungan internasional membangun kapasitas polisi di propinsi tersebut, termasuk langkah-langkah untuk meningkatkan pertanggungjawaban atas pelanggaran hak-hak asasi manusia.

"Sejumlah pemerintahan Barat ingin memperkuat hubungan dengan militer Indonesia untuk memerangi terorisme, tapi nyatanya militer bahkan tidak dapat mengontrol konflik yang terjadi di beberapa bagian negeri itu. Masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan memberi lebih banyak senjata dan pelatihan. Seharusnya yang diperhatikan adalah reformasi."
Brad Adams
Direktur Eksekutif Divisi Asia dari Human Rights Watch

Re: Memerdekakan diri adalah cara paling pas.

Posted: Tue Nov 07, 2006 11:51 am
by swatantre
hokahoka wrote:Openyourmind,

makanya, dalam menghadapi keadaan spt ini, cara yang paling pas adalah seperti yang dilakukan Timor Leste tempo hari, yaitu memerdekakan diri, tentunya harus berjuang seperti mereka.

Analoginya :
Kalau seorang anak dalam keluarga sudah babak belur , dibenci , tidak dihargai lagi oleh saudara yang lainnya sementara orang tua nya tidak sanggup bersikap adil ( membela yang babak belur /tidak berani menghukum yang salah dst), maka tidak ada alasan bagi anak itu untuk bertahan di rumah tersebut ... keluar saja dari rumah tersebut, dan bikin rumah tersendiri.

Sebenarnya, Indonesia Timur bahkan Indonesia Tengah ( Papua, Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara dan juga Bali ) karakteristik penduduknya berbeda dengan Indonesia Barat (yang mayoritas muslim) dan sangat tidak memerlukan NKRI. Justru, sebaliknya NKRI yang membutuhkan mereka. Sehingga, bagi mereka keberadaannya di NKRI harus-nya diterima dengan baik bukan malah sebaliknya , seolah -olah mereka yang membutuhkan NKRI.

Lihat saja, Bali menderita karena kelakuan pendatang yang notabene adalah muslim (bom-nya berseri sementara baru seri ke 2). Maluku hancur lebur, juga karena pendatang (Laskar Jihad dari Jawa). dst.
Hokahoka! saya sangat sependapat dgmu....
Bukan Indo Timur yg memerlukan Ind Barat. bahkan sebaliknya, maka smp ada kompromi penghapusan tujuh kata pro islamik di Piagam jakarta, itu guna meredam keinginan Ind Timur waktu itu utk tdk bersejalan/bersatu dg Jakarta membentuk NKRI. wakil Ind Timur waktu itu kl gak salah Leimena apa ya....
Yg jelas, org2 Indo Barat yg mayoritas Islam, jg Jakartalah yg ga tau diri selama ini... Tp kalo solusinya Ind Timur biar merdeka...jangan dooong..... Lebih baik islam2 dableg dan dogol yg kebanyakan bercokol di Indo bag Barat ini aja yg disapu bersih sih sih..... Gitu tokh?

Posted: Tue Nov 07, 2006 12:25 pm
by openyourmind
Saya setuju dgn pendapat hokahoka tapi sekaligus sedih juga kalo NKRI sampai terpecah karena kebodohan islam ektrimis. Yah tapi apa boleh buat jika Bali, Papua dan saudara-saudara yang lain menuntut merdeka karena sudah tidak tahan lagi daerahnya diobrak-abrik oleh laskar iblis jihad.