Kedudukan Ibu Dalam Islam
Posted: Tue Apr 10, 2007 10:38 am
SERPIHAN-SERPIHAN SEBUAH CINTA
Oleh Febty Febriani
Seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam dan berkata: 'Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak aku hormati dengan baik?', Beliau bersabda, 'ibumu', laki-laki itu bertanya lagi: 'kemudian siapa?', Beliau menjawab, 'ibumu', laki-laki itu kembali bertanya: 'kemudian siapa?', Beliau menjawab, 'ibumu', laki-laki itu bertanya kembali: 'kemudian siapa?', Beliau menjawab, 'ayahmu'. Ibu, tiga kali engkau disebut Rasulullah SAW sebagai orang yang patut dihormati oleh anak-anaknya. Sungguh begitu terhormat posisimu.
Lalu, mengapa Islam sangat mengutamakan berbuat baik kepada ibu dibanding ayah? Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Anak dalam Islam mencoba menguraikan jawaban mengapa diatas. Beliau menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal ini di dalam Pasal Tanggung Jawab Pendidikan Sosial, pada Bab Hak terhadap Kedua Orang Tua. Menurut beliau, ada dua alasan mengapa Islam sangat mengutamakan berbuat baik kepada ibu, yaitu : pertama, sesungguhnya perhatian seorang ibu kepada anak dengan cara mengandung, melahirkan, dan menyusui anak-anaknya, serta bertanggung jawab atas segala urusan dan pendidikan anak-anaknya lebih banyak dibandingkan ayah. Kedua, sesungguhnya seorang ibu dengan perasaan, kecintaan dan kasih sayangnya yang menggunung adalah lebih banyak pemeliharaan dan perhatiannya pada anak-anaknya dibandingkan ayah.
Hmm, aku tergelitik untuk memperhatikan bentuk-bentuk kasih sayang seorang ibu pada anak-anaknya. Tentunya, kasih sayang yang benar-benar berwujud sebagai ungkapan cinta seorang ibu pada anak-anaknya. Bukan sebuah kasih sayang, yang atas namaya, nyawa sang buah hati terenggut dengan paksa. Ah, miris rasanya ketika menyaksikan sebuah berita di sebuah televisi swasta suatu malam. Tentang pembunuhan keempat putra-putri yang manis dan beranjak dewasa yang dilakukan sang bunda di kota Apel. Atau, tentang kisah yang sadis lainnya. Atas nama cinta juga, hal yang sama dilakukan oleh seorang ibu di Kota Kembang pada ketiga putranya. Apakah benar perbuatan itu dilakukan sebagai ungkapan cinta dan kasih sayang seorang ibu pada putra-putrinya? Atau, benarkah perbuatan itu dilakukan demi kebahagiaan putra-putri tercinta. Rasanya, hatiku menjawab dengan sebuah kata : tidak.
Tentang ibuku, sebanyak apapun aku menulis tentang beliau, aku yakin belum juga cukup mampu untuk menguraikan kasih sayangnya padaku. Sembilan bulan aku berada di dalam rahim beliau. Kurang lebih enam bulan aku mendapatkan ASI dari beliau. Doa-doa yang terlantun dari lisan beliau di setiap lima waktu sholat beliau untuk aku, rasanya adalah menjadi bukti kalau cinta seorang ibu memang tiada bertepi.
Banyak saat-saat ketika aku menemukan arti cinta seorang ibu, yang membuat aku semakin mengerti tentang arti kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Tentunya, arti kasih sayang dalam wujud yang seutuh dan sebenarnya.
Di suatu hari, di akhir bulan Agustus 2006, ibu kos aku bercerita bahwa hari adalah hari ulang tahunnya. Dan sampai dengan pagi itu, ketika dia bercerita pada aku, keempat anaknya belum ada yang satupun mengucapkan selamat hari lahir pada beliau. Aku terenyuh dengan cerita beliau, dan jadilah aku saat itu sebagai orang yang pertama mengucapkan selamat hari lahir pada beliau. "Biarlah, Fet, mungkin keempat anak ibu sedang sibuk dengan urusannya masing-masing", begitulah jawab beliau ketika aku bertanya mengapa ibu tidak memberitahukan kepada keempat anaknya bahwa hari itu adalah hari lahir beliau. Aku yakin ungkapan beliau tersebut adalah bentuk kasih sayang beliau kepada keempatnya. Kesepuhan beliau tidak membuat beliau menjadi seorang anak kecil yang selalu minta diperhatikan, pun juga di hari miladnya.
Di suatu pagi yang lain, aku menemukan seorang ibu yang dengan penuh cinta menuntun anaknya mengucapkan doa sebelum makan sebelum beliau menyuapi makan pagi untuk sang anak.
Di suatu pengajian di sebuah masjid, aku menemukan arti cinta seorang ibu yang lain. Beliau tetap menggendong anaknya sambil menyempurnakan wudhunya. Sang anak memang tidak mau lepas dari pangkuan bundanya, termasuk untuk membiarkan sang bunda menyelesaikan wudhunya dengan penuh sempurna. Tapi, sang ibu tetap mengalah. Sambil menggendong sang buah hati, beliau berusaha untuk menyempurnakan wudhunya.
Di hari yang lain, sebuah slide kehidupan membuat aku mengerti tentang kekuatan cinta sang ibu. Memiliki dua orang anak kembar yang berkebutuhan khusus pada saat berjalan, tentu kadang membuat seorang ibu merasa minder dan tidak siap untuk berhadapan dengan situasi seperti itu. Situasi yang hampir semua orang tidak menginginkannya. Tapi tidak dengan sang ibu yang aku temui di hari itu. Tetap ada wajah kegembiraan. Tetap ada wajah kebahagiaan. Tetap ada wajah kebanggaan. Tetap ada wajah cinta. Tetap ada wajah kasih akung. Pada siapakah? Pada kedua anak perempuan kembarnya yang mempunyai kebutuhan khusus pada saat berjalan yang saat itu dengan suara merdu melantunkan lagu, Surga-Mu. Senyum yang menghiasi wajahnya yang bercerita padaku.
Di beberapa malam di bulan Ramadhan 1426 H, aku menemukan dua orang ibu yang membawa serta anak-anaknya untuk beritikaf di masjid. Bayangkan saja, sang ibu rela membawa sebegitu banyak perlengkapan tidur untuk si anak, sekedar untuk memastikan si anak akan merasa nyaman ketika menemani sang bunda berkhalwat dengan Sang Khalik. Ada cinta yang lain aku temukan di sini, sang ibu tidak hanya ingin sendirian menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba. Putra-putrinya juga diajak serta, untuk memastikan si buah hati akan mempunyai pengalaman spiritual yang, Insya Allah, akan membentuk si buah hati menjadi putra-putri yang berakhlak mulia.
Rekan kerja aku memiliki cara lain, sebagai bentuk ekspresi kasih sayangnya kepada anaknya yang masih teramat belia. Foto sang buah hati yang berumur kurang lebih 3 bulan dipajang sebagai wallpaper di desktop komputernya di kantor. Bahkan, terkadang setiap jam istirahat dia menyempatkan pulang ke rumah sejenak, sekedar untuk memenuhi hak si buah hati terhadap ASI sang bunda.
Atau di suatu sore yang lain, saat aku berada di rumah seorang teman. Saat itu, aku dan beberapa orang teman sedang akan memulai acara rutin kami di setiap minggu sore. Ketika, acara pokok sore itu akan dimulai, tiba-tiba rengekan sang buah hati terdengar. Suaranya memecah sampai ke ruang tamu yang tidak cukup luas itu. Sang putrinya baru bangun tidar dalam kondisi yang tidak nyaman. Dan, akhirnya, tangisnyapun pecah. Sore itu, kesabaran seorang ibu kutemukan. Cukup lama, dengan segala pujian, temanku mencoba membujuk sang buah hati. Namun, ternyata, ketidaknyamanan sang buah hati masih terasa di kalbunya. Dan, bujukan temanku pada anaknya tetap berujung pada tangis yang tidak kunjung reda. Hari pun tetap merambat sore, acara kami sore itu terbengkalai dan segurat lelah terlihat di wajah temanku serta sebuah ucapan bernada sesal : maaf yah, acaranya jadi terganggu.
Rasanya memang benar sabda Rasulullah SAW di atas. Apapun kondisi fisik anaknya, tetap tidak membuat cinta seorang ibu pada anaknya tergantikan oleh apapun. Rasanya, batinku pun membenarkan. Serpihan-serpihan cinta para ibu di atas adalah benar ungkapan sebuah cinta dan kasih sayang seorang ibu pada putra-putrinya. Kasih sayang yang seutuh dan sebenarnya. Bukan sebuah kasih sayang yang diwujudkan pada sebuah perbuatan perenggutan nyawa dengan paksa.
Lalu, sudahkah kita sebagai anak melukiskan senyum di wajah ibu kita? Lalu, sudahkan kita sebagai anak melakukan pengorbanan yang agak sedikit mendekati pengorbanan ibu kita mengandung, melahirkan dan membesarkan kita? Mengapa aku mengatakan "agak sedikit", bukan "setara"? Bagiku, tidak ada pengorbanan seorang anak, apapun itu, yang bisa menyetarai pengorbanan sang ibu. Bukankah seorang Ibnu Katsir telah bercerita kepada kita : "Seorang laki-laki melakukan tawaf sambil menggendong ibunya. Kemudian ia bertanya kepada Rasulullah SAW. 'apakah aku telah melaksanakan haknya?'. Beliau menjawab, 'Belum, tidak sebanding dengan satu kali jeritan (yang dirasakan oleh seorang ibu ketika hamil dan melahirkan)'".
Pengorbanan apapun yang kita lakukan memang tidak akan mampu membalas pengorbanan ibu kita. Beliau telah mengandung, melahirkan, membesarkan dan mendidik kita dengan penuh cinta dan kasih sayang. Namun, bisakah kita membuat ibu kita tersenyum bahagia di sepanjang usianya, sebelum waktu merenggutnya dari kehidupan kita? Pertanyaan ini tidak hanya untuk Anda, temanku, tapi juga untukku.
Bandung, Maret 2006
Kala ada tetesan air yang miris di hatiku kala mendengar sebuah ungkapan cinta seorang ibu terwujud dalam perenggutan nyawa dengan paksa.
Oleh Febty Febriani
Seorang laki-laki telah datang kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam dan berkata: 'Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak aku hormati dengan baik?', Beliau bersabda, 'ibumu', laki-laki itu bertanya lagi: 'kemudian siapa?', Beliau menjawab, 'ibumu', laki-laki itu kembali bertanya: 'kemudian siapa?', Beliau menjawab, 'ibumu', laki-laki itu bertanya kembali: 'kemudian siapa?', Beliau menjawab, 'ayahmu'. Ibu, tiga kali engkau disebut Rasulullah SAW sebagai orang yang patut dihormati oleh anak-anaknya. Sungguh begitu terhormat posisimu.
Lalu, mengapa Islam sangat mengutamakan berbuat baik kepada ibu dibanding ayah? Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Anak dalam Islam mencoba menguraikan jawaban mengapa diatas. Beliau menjelaskan dengan sangat gamblang tentang hal ini di dalam Pasal Tanggung Jawab Pendidikan Sosial, pada Bab Hak terhadap Kedua Orang Tua. Menurut beliau, ada dua alasan mengapa Islam sangat mengutamakan berbuat baik kepada ibu, yaitu : pertama, sesungguhnya perhatian seorang ibu kepada anak dengan cara mengandung, melahirkan, dan menyusui anak-anaknya, serta bertanggung jawab atas segala urusan dan pendidikan anak-anaknya lebih banyak dibandingkan ayah. Kedua, sesungguhnya seorang ibu dengan perasaan, kecintaan dan kasih sayangnya yang menggunung adalah lebih banyak pemeliharaan dan perhatiannya pada anak-anaknya dibandingkan ayah.
Hmm, aku tergelitik untuk memperhatikan bentuk-bentuk kasih sayang seorang ibu pada anak-anaknya. Tentunya, kasih sayang yang benar-benar berwujud sebagai ungkapan cinta seorang ibu pada anak-anaknya. Bukan sebuah kasih sayang, yang atas namaya, nyawa sang buah hati terenggut dengan paksa. Ah, miris rasanya ketika menyaksikan sebuah berita di sebuah televisi swasta suatu malam. Tentang pembunuhan keempat putra-putri yang manis dan beranjak dewasa yang dilakukan sang bunda di kota Apel. Atau, tentang kisah yang sadis lainnya. Atas nama cinta juga, hal yang sama dilakukan oleh seorang ibu di Kota Kembang pada ketiga putranya. Apakah benar perbuatan itu dilakukan sebagai ungkapan cinta dan kasih sayang seorang ibu pada putra-putrinya? Atau, benarkah perbuatan itu dilakukan demi kebahagiaan putra-putri tercinta. Rasanya, hatiku menjawab dengan sebuah kata : tidak.
Tentang ibuku, sebanyak apapun aku menulis tentang beliau, aku yakin belum juga cukup mampu untuk menguraikan kasih sayangnya padaku. Sembilan bulan aku berada di dalam rahim beliau. Kurang lebih enam bulan aku mendapatkan ASI dari beliau. Doa-doa yang terlantun dari lisan beliau di setiap lima waktu sholat beliau untuk aku, rasanya adalah menjadi bukti kalau cinta seorang ibu memang tiada bertepi.
Banyak saat-saat ketika aku menemukan arti cinta seorang ibu, yang membuat aku semakin mengerti tentang arti kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Tentunya, arti kasih sayang dalam wujud yang seutuh dan sebenarnya.
Di suatu hari, di akhir bulan Agustus 2006, ibu kos aku bercerita bahwa hari adalah hari ulang tahunnya. Dan sampai dengan pagi itu, ketika dia bercerita pada aku, keempat anaknya belum ada yang satupun mengucapkan selamat hari lahir pada beliau. Aku terenyuh dengan cerita beliau, dan jadilah aku saat itu sebagai orang yang pertama mengucapkan selamat hari lahir pada beliau. "Biarlah, Fet, mungkin keempat anak ibu sedang sibuk dengan urusannya masing-masing", begitulah jawab beliau ketika aku bertanya mengapa ibu tidak memberitahukan kepada keempat anaknya bahwa hari itu adalah hari lahir beliau. Aku yakin ungkapan beliau tersebut adalah bentuk kasih sayang beliau kepada keempatnya. Kesepuhan beliau tidak membuat beliau menjadi seorang anak kecil yang selalu minta diperhatikan, pun juga di hari miladnya.
Di suatu pagi yang lain, aku menemukan seorang ibu yang dengan penuh cinta menuntun anaknya mengucapkan doa sebelum makan sebelum beliau menyuapi makan pagi untuk sang anak.
Di suatu pengajian di sebuah masjid, aku menemukan arti cinta seorang ibu yang lain. Beliau tetap menggendong anaknya sambil menyempurnakan wudhunya. Sang anak memang tidak mau lepas dari pangkuan bundanya, termasuk untuk membiarkan sang bunda menyelesaikan wudhunya dengan penuh sempurna. Tapi, sang ibu tetap mengalah. Sambil menggendong sang buah hati, beliau berusaha untuk menyempurnakan wudhunya.
Di hari yang lain, sebuah slide kehidupan membuat aku mengerti tentang kekuatan cinta sang ibu. Memiliki dua orang anak kembar yang berkebutuhan khusus pada saat berjalan, tentu kadang membuat seorang ibu merasa minder dan tidak siap untuk berhadapan dengan situasi seperti itu. Situasi yang hampir semua orang tidak menginginkannya. Tapi tidak dengan sang ibu yang aku temui di hari itu. Tetap ada wajah kegembiraan. Tetap ada wajah kebahagiaan. Tetap ada wajah kebanggaan. Tetap ada wajah cinta. Tetap ada wajah kasih akung. Pada siapakah? Pada kedua anak perempuan kembarnya yang mempunyai kebutuhan khusus pada saat berjalan yang saat itu dengan suara merdu melantunkan lagu, Surga-Mu. Senyum yang menghiasi wajahnya yang bercerita padaku.
Di beberapa malam di bulan Ramadhan 1426 H, aku menemukan dua orang ibu yang membawa serta anak-anaknya untuk beritikaf di masjid. Bayangkan saja, sang ibu rela membawa sebegitu banyak perlengkapan tidur untuk si anak, sekedar untuk memastikan si anak akan merasa nyaman ketika menemani sang bunda berkhalwat dengan Sang Khalik. Ada cinta yang lain aku temukan di sini, sang ibu tidak hanya ingin sendirian menunaikan kewajibannya sebagai seorang hamba. Putra-putrinya juga diajak serta, untuk memastikan si buah hati akan mempunyai pengalaman spiritual yang, Insya Allah, akan membentuk si buah hati menjadi putra-putri yang berakhlak mulia.
Rekan kerja aku memiliki cara lain, sebagai bentuk ekspresi kasih sayangnya kepada anaknya yang masih teramat belia. Foto sang buah hati yang berumur kurang lebih 3 bulan dipajang sebagai wallpaper di desktop komputernya di kantor. Bahkan, terkadang setiap jam istirahat dia menyempatkan pulang ke rumah sejenak, sekedar untuk memenuhi hak si buah hati terhadap ASI sang bunda.
Atau di suatu sore yang lain, saat aku berada di rumah seorang teman. Saat itu, aku dan beberapa orang teman sedang akan memulai acara rutin kami di setiap minggu sore. Ketika, acara pokok sore itu akan dimulai, tiba-tiba rengekan sang buah hati terdengar. Suaranya memecah sampai ke ruang tamu yang tidak cukup luas itu. Sang putrinya baru bangun tidar dalam kondisi yang tidak nyaman. Dan, akhirnya, tangisnyapun pecah. Sore itu, kesabaran seorang ibu kutemukan. Cukup lama, dengan segala pujian, temanku mencoba membujuk sang buah hati. Namun, ternyata, ketidaknyamanan sang buah hati masih terasa di kalbunya. Dan, bujukan temanku pada anaknya tetap berujung pada tangis yang tidak kunjung reda. Hari pun tetap merambat sore, acara kami sore itu terbengkalai dan segurat lelah terlihat di wajah temanku serta sebuah ucapan bernada sesal : maaf yah, acaranya jadi terganggu.
Rasanya memang benar sabda Rasulullah SAW di atas. Apapun kondisi fisik anaknya, tetap tidak membuat cinta seorang ibu pada anaknya tergantikan oleh apapun. Rasanya, batinku pun membenarkan. Serpihan-serpihan cinta para ibu di atas adalah benar ungkapan sebuah cinta dan kasih sayang seorang ibu pada putra-putrinya. Kasih sayang yang seutuh dan sebenarnya. Bukan sebuah kasih sayang yang diwujudkan pada sebuah perbuatan perenggutan nyawa dengan paksa.
Lalu, sudahkah kita sebagai anak melukiskan senyum di wajah ibu kita? Lalu, sudahkan kita sebagai anak melakukan pengorbanan yang agak sedikit mendekati pengorbanan ibu kita mengandung, melahirkan dan membesarkan kita? Mengapa aku mengatakan "agak sedikit", bukan "setara"? Bagiku, tidak ada pengorbanan seorang anak, apapun itu, yang bisa menyetarai pengorbanan sang ibu. Bukankah seorang Ibnu Katsir telah bercerita kepada kita : "Seorang laki-laki melakukan tawaf sambil menggendong ibunya. Kemudian ia bertanya kepada Rasulullah SAW. 'apakah aku telah melaksanakan haknya?'. Beliau menjawab, 'Belum, tidak sebanding dengan satu kali jeritan (yang dirasakan oleh seorang ibu ketika hamil dan melahirkan)'".
Pengorbanan apapun yang kita lakukan memang tidak akan mampu membalas pengorbanan ibu kita. Beliau telah mengandung, melahirkan, membesarkan dan mendidik kita dengan penuh cinta dan kasih sayang. Namun, bisakah kita membuat ibu kita tersenyum bahagia di sepanjang usianya, sebelum waktu merenggutnya dari kehidupan kita? Pertanyaan ini tidak hanya untuk Anda, temanku, tapi juga untukku.
Bandung, Maret 2006
Kala ada tetesan air yang miris di hatiku kala mendengar sebuah ungkapan cinta seorang ibu terwujud dalam perenggutan nyawa dengan paksa.