Ilmu Hadis: mana yg benar/palsu ?**
Posted: Fri Apr 21, 2006 9:32 am
http://www.sunnipath.com/resources/Ques ... 02867.aspx
Ilmu Pengetahuan tentang Hadis
Oleh Sheikh Abdur-Rahman ibn Yusuf
Bismillahi wal hamdulillah wassalatu wassalamu ala Rasoolillah,
Ilmul Hadis adalah ilmu pengetahuan untuk mempelajari Hadis. Apa yang ditentukan sebagai “Hadis” akan dibahas kemudian, tapi tulisan ini dimulai dengan penekanan bahwa ilmu pengetahuan Hadis adalah satu dari banyak ilmu pengetahuan agama. Ada beberapa ilmu pengetahuan fundamental seperti Usul-Al-Qur’an (dasar2 Qur’an), Usul Al-Hadis (dasar2 Hadis), Lughah (bahasa, termasuk balagha, Fasahah) dan Usul al-Fiqh (dasar2 Fiqh).
Ilmu pengetahuan Hadis bergantung pada ilmu pengetahuan akan Qur’an tapi juga dibutuhkan pengertian yang benar akan Qur’an.
Satu hal yang ingin kuajukan adalah terdapat orang2 yang mempertanyakan pentingnya hadis. Bahkan kaum Qura’niyoon (yang percaya Qur’an saja) mengatakan bahwa Hadis tidak relevan dan mereka hanya mempelajari Qur’an saja. Ini merupakan pandangan yang salah.
Allah mengatakan di Qur’an 2:129:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Kata kunci di sini adalah bahwa sang penyampai firman bertugas mengajar mereka isi buku DAN melaksanakan hikmat diantara mereka. Bahkan kaum Sahadah juga salah mengerti akan bahasa Qur’an.
Di Sura Al-Hasr Allah memberitahu kita (59:7)
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah….”
Dia juga berkata:
Q 4:65
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Akhirnya, Allah berkata:
Q 4:59
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Secara keseluruhan, aku percaya bahwa mengira Allah subhanahu wa taala mengirim utusan yang salah merupakan penghujatan. Jika utusan Allah itu tidak relevan dan tidak menambah apapun pada agama, mengapa Allah tidak mengirim satu buku komplit? Mengapa harus memberikan kepada kita melalui seorang utusan?
Sekarang mari lihat beberapa kata (terminologi) yang digunakan sehubungan dengan ilmu pengetahuan (i.p.) ini:
1-Hadis:
a) Dalam pengertian linguistik (bahasa), “hadis” berarti sebuah komunikasi atau sebuah cerita.
b) Dari sudut pandang teknis (yang relatif terhadap i.p. hadis): Ini adalah kumpulan perbuatan, perkataaan dan kebijaksanaan sang Nabi. Sebagai tambahan, semua tradisi yang menjabarkan tentang Nabi dan penampilan fisiknya dan harta miliknya juga termasuk hadis, seperti “Ash-Shama’il Al-Muhammadiyah.”
Dalam Qur’an, kata Hadis juga disebut. Allah mengatakan Qur’an sebagai “Ahsan Al-Hadith” (39:23) yang berarti pesan terbaik atau kata2 terbaik. Dia juga memperingatkan “[68:44] Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Hadis). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.”
2-Sunnah:
a) Hadis juga seringkali dianggap sebagai “As-Sunnah.” Kata “Sunnah” ini digunakan bergantian dengan kata “Hadis” terutama jika kita bicara tentang sumber2 Hukum Islam (pertama adalah Qur’an, kedua adalah Hadis atau Sunnah).
b) Sunnah juga berarti cara hidup Nabi
c) Sunnah juga dianggap bertaraf Fiqh jika menetapkan aturan2 tentang berbagai masalah. Tindakan penetapan aturan ini adalah sunnah dalam arti aturan itu dianjurkan atau ditekankan.
Pentingnya Hadis:
Sang Nabi adalah Qur’an berjalan. Dia adalah pengejawantahan Qur’an di dunia. Kawan2 karibnya tahu betul akan hal ini. Karena inilah mereka menemaninya. Karena inilah mereka digelar “Kawan2 sang Nabi”. Kata “kawan” di sini tidak berarti umum. Tidak semua Muslim pada saat itu adalah kawan Muhammad, dan hanya mereka yang bisa bertemu dengannya (kecuali satu orang yang dianggap Nabi sebagai kawannya meskipun orang itu tidak dapat datang atau bertemu dengannya).
Kawan2 karib Muhammad sadar akan berharganya Muhammad, sehingga mereka berusaha setengah mati untuk bisa bersama dengannya dan untuk mencatat dan menjadi bagian dari semua yang dia katakan dan lakukan. Omar membuat persetujuan dengan kawan karib Muhammad lainnya bahwa mereka akan bergantian menemani Muhammad. Yang seorang akan pergi ke luar untuk bekerja menafkahi keluarganya, sedangkan yang lain akan diam tinggal bersama Muhammad dan mencatat semua yang dikatakan dan dikerjakannya. Pada akhir hari, mereka semua akan membagi apa yang mereka ketahui.
Contoh lain adalah Abu Hurairah. Meskipun dia jadi Muslim dalam tahun2 akhir kenabian Muhammad, tapi dia adalah penyampai kisah2 tentang sang Nabi terbanyak diantara semua kawan2 karib Nabi. Ini karena begitu dia jadi Muslim, dia lalu diangkat jadi Ahlu-Suffah (kawan2 karib yang tinggal di mesjid Nabi) dan dia membaktikan hidupnya untuk menemani Nabi dan belajar darinya. Begitu banyak kisah yang disampaikannya sehingga beberapa kawan lain mengujinya dan dia berhasil lulus ujian.
Tradisi ini dilakukan dengan ketat sehingga jika sang Nabi berbuat sesuatu dalam tradisi asli, para penyampai cerita sepanjang waktu juga berbuat hal yang persis sama. Ada satu kelompok Hadis yang disebut sebagai “Al-Musalsalat” di mana penyampai cerita akan berkata “dan lalu sang Nabi melakukan ini …” dan dia pun berbuat persis sama seperti yang dilakukan Nabi. Contohnya, tersenyum atau berjabatan tangan atau menekuk jari2 agar terbelit dengan jari2 yang lain (tashbik). Beginilah persisnya orang2 mempertahankan tradisi, sehingga bahkan jika sang Nabi membuat suatu gerakan tubuh, mereka (penyampai cerita) akan menceritakan dan melakukannya.
Pentingnya Ilmu Pengetahuan Hadis:
IP Hadis sangatlah tertentu dan pasti. IP “Jarh wa Ta’deel” (pengamatan atas para penyampai cerita), merupakan salah satu yang memiliki aturan yang sangat pasti dan hukum2 yang jelas dan fundamental yang nanti akan kita bahas.
Ahadis (kata majemuk bagi hadis) dari sang Nabi sangat luasdan lebar. Para sahabat dekat sang Nabi pergi jauh dari Medina. Coba bayangkan saja tentara Muslim yang mengalahkan Mekah berjumlah 10.000 tentara dan ada beberapa ribu sahabat karib di Medina sewaktu jaman Omar. Jika dibayangkan seorang sahabat karib dapat menyampaikan hadis atau tradisi cerita tidak hanya pada satu orang saja tapi juga pada sekelompok murid2, maka tentunya cabang2 pohon hadis jadi semakin lebar dan luas. Maka dari itu, penting untuk mengumpulkan hadis2 ini untuk menjaga keasliannya.
Koleksi Hadis:
Koleksi hadis yang pertama dikumpulkan oleh para sahabat karib Nabi sendiri. Beberapa sahabat menyimpan gulungan kulit bertuliskan hadis. Kita sekarang tahu bahwa Abu Bakr menyimpan sebuah koleksi hadis.
Meskipun begitu, kebanyakan tradisi hadis disampaikan lewat ucapan. Koleksi pertama Hadis dilakukan oleh Abu Bakr ibn Hazm dan diperintahkan oleh Omar ibn Abdul-Aziz. Setelah itu, banyak koleksi Hadis yang dikumpulkan, yang pertama dan yang paling terutama adalah Muwatta’ dari Imam Malik, lalu disusul Hadis lain seperti Musnad Imam Ahmed, Sahih Al-Bukhari, Mustadrak Al-Hakim, dll.
Penyampaian Sebuah Hadis:
Ada delapan cara bagaimana hadis disampaikan dari seseorang ke orang lain sebagaimana para ahli hadis telah membedakannya:
a) Mendengar: Penerima Hadis mendengar dari pihak penyampai Hadis dan mengingatnya.
b) Mengatakan: Penerima Hadis mengisahkan kembali di hadapan Penyampai Hadis dan sang Penyampai menyetujui isi pesannya. Ini terutama penting di zaman kita. Kita hidup di era informasi. Ada banyak sekali informasi, tapi kurang Ilm. Ada kemungkinan informasi disampaikan secara ngawur. Karena itu penting untuk diingat bahwa mereka yang melaporkan hadis yang disampaikan dari orang lain tanpa ijin orang itu dikenal sebagai “Pencuri Hadis”.
c) Ijin: Penyampai Hadis telah memberi izin kepada Penerima Hadis untuk mengisahkan Ahadis dari Penyampai Hadis.
d) Pemberian: Sebuah buku Hadis diberikan pihak Penyampai kepada Penerima Hadis dan dia diperbolehkan untuk mengisahkan cerita dari buku itu.
e) Tertulis: Sebuah pesan tertulis berisi Hadis dikirim dari pihak Penyampai ke pihak Penerima.
f) Diperkenalkan (I’lam): Mengumumkan Ahadis. Ini berarti pihak Penyampai memberitahu seseorang bahwa dia (Penyampai) dapat ijin untuk menyampaikan sebuah buku Hadis dari ilmuwan tertentu. Beberapa ahli mengijinkan, tapi ada pula yang tidak memberi ijin.
g) Warisan: Pihak Penyampai menyatakan bahwa Hadis diwariskannya kepada pihak Penerima.
h) Ditemukan: Pihak penerima menemukan tulisan pihak Penyampai yang berisi Hadis.
Semua ini ditentukan oleh para ahli Hadis, dan bagaimana Hadis disampaikan menambah nilai keaslian Hadis itu. Contohnya, ketika menyampaikan Ahadis, seringkali kita baca sang pengarang buku Hadis menulis “Hadathana” atau “Akhbarana” atau terkadang mereka hanya menulis “’an folan ‘an ilan” (huruf “’an” berarti hadis ini dilaporkan “oleh” orang ini dan itu). Penggunaan kata2 ini bukanlah kebetulan belaka dan semuanya mengandung konsekuensi tersendiri. Contohnya, “Hadathana” menerangkan bahwa guru membacakan Hadis kepada seorang murid dan murid itu menyampaikan Hadis tsb. Sedangkan “akhbarana” berarti murid itu sendiri membacakan Hadis tsb di hadapan gurunya dan sang guru menyetujui cara Hadis dihafalkan murid itu.
Mempelajari Hadis:
Para ilmuwan telah mengungkapkan pentingnya Hadis. Mereka berdebat tentang pada usia berapa seseorang boleh mulai mempelajarinya dan bagaimana menguasainya. Bebarapa ilmuwan mengatakan anak berusia 10 tahun boleh mulai mempelajari Hadis, sedangkan yang lain berkata 12 tahun, 15 tahun atau 20 tahun. Bahkan ada seorang ilmuwan yang berkata bahwa seorang anak boleh mulai belajar Hadis setelah anak itu tahu beda seekor sapi dan seekor keledai.
Contoh pada usia berapa orang bisa mempelajari Hadis bisa dilihat pada diri Imam Shafii yang telah menghafal semua Hadis Muwatta Imam Malik ketika dia baru berusia 10 tahun.
Keaslian Hadis:
Mengapa perlu menelaah segala perbedaan tingkat, jabatan dan keadaan setiap penyampai cerita?
Alasan utama adalah untuk memelihara keutuhan Hadis sehingga tidak dikorupsi dan diubah oleh pengaruh ideologi dan politik. Singkatnya, untuk menghindari Hadis itu diubah. Pengubahan atau pemalsuan dapat terjadi karena berbagai alasan, misalnya alasan politik atau kepentingan pribadi. Karena adanya kekhawatiran memalsu Ahadit dan dengan mengaku itu dari Nabi, para ahli agama mulai membaktikan diri untuk mempertahankan tradisi penyampaian Hadis.
Tingkatan Hadis:
Tingkatan Hadis diatur oleh para ahli Hadis untuk memeriksa mata rantai (asal usul) dan isi Hadis dan memberinya tingkatan untuk memisahkannya dari Ahadis palsu. Perlu diingat bahwa tingkatan ini tidaklah absolut (mutlak). Beberapa ahli hadis lebih keras menetapkan seleski dibandingkan yang lain. Para ahli Hadis sendiri dibagi tingkatannya seperti Mo’tadel” (menengah/sedang) seperti Al-Zhahabi, “Motashaddid” (ketat/keras) seperti Ibn Al-Jawzi dan Ad-Daraqutani dan “Mutasahil” (toleran/lunak) seperti as Al-Hakim.
Ketika menentukan kesahihan sebuah Hadis, para ahli memeriksa isi Hadis dan mata rantai penyampai cerita. Rantai ini diperiksa dengan dua tujuan, yakni keseringan/kekerapan kisah disampaikan dan kesinambungannya sampai pada sang Nabi. Selain itu sebagai tambahan, setiap Penyampai cerita di dalam mata rantai Hadis diperiksa kejujuran dan kekuatan daya ingatnya.
Keseringan/kekerapan Cerita:
a) Mutawatir: Hadis mutawatir adalah Hadis yang disampaikan oleh sekelompok orang dari setiap tingkatan rantai Penyampai kisah. Contoh dari “tawatur” misalnya bahwa benua Antartika memang faktanya ada. Ini adalah suatu fakta yang dilihat orang banyak (baik melihatnya langsung atau dari foto2 satelit) dan lalu melaporkannya ke kelompok orang yang lebih banyak yang kemudian menuliskannya di dalam buku2 bagi kita semua. Mutawatir terdiri dari dua jenis:
1. Harafiah: Berarti bahwa kita punya banyak salinan Hadis yang dikisahkan oleh orang2 yang berbeda tapi semuanya mengandung kata2 yang persis sama. Hadis seperti ini sangat jarang ditemukan diantara koleksi tradisi/Hadis nabi.
2. Berhubungan dengan Keadaan (Kontekstual): Hadis diceritakan oleh banyak orang di setiap tingkat rantai penyampai cerita tapi tidak dalam kata2 yang persis sama. Ada banyak Ahadis seperti ini dan kebanyakan membentuk dasar/azas kepercayaan dan tata hukum Islam.
b) Ahaad: Jenis ini merupakan sebagian besar dari tradisi2 atau kumpulan Hadis Nabi. Ini adalah Hadis yang hanya punya beberapa orang Penyampai Hadis yang mengisahkannya pada saat bersamaan di setiap tingkatan rantai penyampaian cerita. Ini pun lalu dibagi dalam kelompok2 yang lebih kecil. Penting untuk dimengerti bahwa di kategori2 di bawah, angka yang dicantumkan mewakili jumlah terkecil Penyampai cerita di setiap tingkat rantai penyampaian cerita. Contohnya, jika sebuah Hadis disampaikan oleh 6 orang Pencerita (tingkat pertama) dan lalu 8 Pencerita Tabieen (tingkat kedua) dan lalu 2 tingkat berikutnya 3 Pencerita dan 12 tingkat berikutnya 4 Pencerita, maka lebar rantai hadis ini adalah “2” yang diambil dari rantai tingkat 3 karena jumlah itulah yang paling kecil dari mata rantai keseluruhan. Hadis seperti ini dikenal sebagai Aziz (lebar rantai 2) meskipun sebenarnya disampaikan oleh 6 kelompok dan jumlah keseluruhan Pencerita adalah 10 orang. Inilah jenis2 hadis Ahaad:
1. Mashur (terkenal): Ini bukan berarti terkenal diantara orang banyak, tapi sering terlihat. Ini adalah Hadis yang sedikitnya punya lebar rantai 3.
2. Aziz (berharga/jarang): Ini adalah Hadis yang sedikitnya punya lebar rantai 2.
3. Gharib (asing): Ini adalah Hadis yang sedikitnya punya lebar rantai 1.
4. al-Fard (sendiri/single): Hadis yang ini terdiri dari dua kelompok: (fard mutlaq): di mana Hadis ini disampaikan oleh seorang tertentu saja. Atau Hadis ini punya arti yang berbeda (1) tiada seorangpun Pencerita2 lain yang dapat dipercaya menyampaikan Hadis ini kecuali satu orang tertentu saja, atau (dapat kita katakan) orang lain pun menyampaikan Hadis itu tapi mereka tidak dipercaya kejujurannya.
(2) tiada ahli2 Islam dari daerah lain menyampaikan Hadis itu kecuali ahli2 di satu tempat saja.
Kesinambungan Penyampaian Cerita:
a) Marfu’: Berhubungan dengan sang Nabi. Berarti Penyampai Hadis secara tegas menyatakan bahwa Muhammad memang mengatakan itu.
b) Hokm Al-Marfu’: Berhubungan melalui akal pikiran/logika. Meskipun Penyampai Hadis tidak menyebutkan bahwa hal ini dikatakan sang Nabi, tapi isinya jelas menunjukkan bahwa ini hanya bisa datang dari sang Nabi.
c) Musnad/Mutassil: Berhubungan sempurna, berarti tidak ada mata rantai yang terpisah, semua Pencerita mendengarkan langsung di hadapan setiap orang dalam mata rantai Penyampai Hadis.
d) Mawquf (dihentikan): Hadis ini berisi perkataan Sahabat Nabi.
e) Maqtu’ (dipotong): Hadis ini berisi perkataan atau ajaran seorang tabi’ee (generasi setelah Sahabat Karib Nabi).
f) Mursal: Tabi’ee mengisahkan bahwa sang Nabi mengatakan suatu hal dan Tabi’ee tidak menyinggung keterangan bahwa Sahabat Karib Nabilah yang menyampaikan hal ini.
g) Mu’alaq (tergantung): Terjadi ketidaksinambungan dalam mata rantai penyampaian Hadis dari awal.
h) Munqati: Terjadi ketidaksinambungan di tengah2 mata rantai penyampaian Hadis.
i) Mo’dal: Ada dua celah dari dua Penyampai cerita dalam mata rantai.
j) Mo’an’an: Dikisahkan melalui penggunaan “an” seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
k) Musalsal: Dikisahkan termasuk gerakan2 tubuh atau tindakan sang Nabi yang termasuk dalam tradisi.
Tingkatan2 Hadis:
Sekarang kita pelajari perbedaan tingkat Hadis melalui mata rantai Hadis dan juga isinya.
1) Maqbul (diterima):
Ini berarti Hadis ini diterima sebagai bukti dalam Ilmu Hukum Islam. Seorang ahli hukum Islam dapat menggunakan Hadis ini sebagai bukti kebenaran pendapatnya. Ini dibagi dalam beberapa tingkat:
a. Sahih (benar/bentuk yang tepat): Ini adalah tingkat keaslian tertinggi dan ini pun dibagi dalam dua sub tingkatan:
i. Sahih secara hakiki: Sahih karena mata rantai dan isinya telah lulus semua ujian yang ditentukan.
ii. Sahih berdasarkan arti Hadis lain: Ini berarti Hadis ini cacat sedikit dalam mata rantainya dan seharusnya berada pada tingkat Hassan (lihat keterangan di bawah), tapi karena Ahadis lain mengungkapkan arti Hadis ini, maka Hadis ini dinaikkan tingkatnya ke dalam tingkat Sahih.
b. Hassan (bagus/baik):
Inipun dibagi dalam dua sub tingkatan yang sama seperti Sahih, yakni Hassan secara hakiki dan Hassa berdasarkan arti lain.
2) Mardud (ditolak):
Tingkat ini mewakili Ahadis yang punya cacat berat dalam mata rantai dan isinya sehingga tidak bisa digunakan sebagai bukti dalam Tata Hukum Islam. Tingkat ini dibagi dalam 2 golongan:
a) Da’if (lemah): Ahadis ini punya cacat2 dalam mata rantai penyampainnya yang tidak bisa diperbaiki. Ini tidak langsung berarti bahwa Hadis ini hanyalah karangan orang belaka. Tapi isi Hadis ini tidak bisa dianggap sebagai kata2 sang Nabi.
b) Maudhu’ (palsu): Ini adalah sebuah Hadis yang memiliki kecacatan jelas dalam mata rantai atau isinya.
---------------
Ini adalah daftar kriteria untuk menetapkan sebuah Hadis yang bisa dianggap Sahih:
a) Tidak bertentangan dengan Qur’an atau Hadis Sahih lainnya.
b) Punya mata rantai (isnad) penyampaian kisah yang lengkap
c) Tiada Ellah (cacat2). Sebenarnya terdapat banyak Hadis2 yang cacat oleh ahli Islam terkemuka seperti At-Termizhi dan Ad-Daraqutani.
d) Dan setiap Pencerita di dalam mata rantai haruslah Adil (moral baik), Jujur dan Dabit (punya daya ingat kuat).
------------------
Jika sebuah Hadis Sahih gagal masuk kriteria2 di atas, maka tingkatannya diturunkan ke tingkat Hassan. Cacat2 tertentu akan membuat Hadis dimasukkan ke dalam tingkat Da’if.
Sekedar catatan tentang penanganan Hadis Da’if:
Orang2 tertentu menggunakan istilah Hadis Da’if saat ini seakan untuk mengesampingkannya. Jika seseorang menyebut suatu hadis, dan yang lain mengatakan “Oh, saya dengar Hadis itu Da’if” maka mereka seakan-akan membuat Hadis ini gugur atau dibatalkan. Ini adalah perlakuan yang salah.
Jika Hadis Da’if itu tak berguna, mengapa dong semua ahli Hadis mempertahankannya sampai 1.400 tahun ? Kenapa tidak dibuang saja? Hadis Da’if punya banyak guna dalam hidup kita dan tertulis dengan baik sehingga orang bisa menggunakan Hadis lemah dalam Fadha’il (mendorong moral/spiritual). Terdapat karya2 yand ditulis oleh ilmuwan2 Hadis ulung tentang bagaimana dan apabila Hadis Da’if bisa digunakan. Pada kenyataannya, Hadis Da’if bisa digunakan dalam Hukum Islam secara tertulis.
Contoh hal ini bisa dilihat dalam Hadis Nabi bahwa “tiada warisan bagi seorang ahli waris” yang berarti kau tidak dapat mewariskan bagian tanahmu pada seseorang yang berdasarkan silsilah keturunan akan mewarisi kekayaanmu. Ini adalah Hadis Da’if yang digunakan ahli2 hukum Islam tentang hak warisan karena telah diterima dan dipraktekkan secara luas.
Istilah Bagi Ilmuwan Hadis:
Untuk mengetahui banyaknya usaha dan besarnya dedikasi yang dilakukan para ahli dalam menyusun koleksi Hadis, marilah lihat gelar2 dan jabatan2 yang mereka miliki:
Seorang ilmuwan yang diberi julukan “Hujjah” Hadis adalah seseorang yang dapat mengingat sedikitnya 300.000 Ahadis.
Yang berjulukan “Hafiz” adalah orang yang mampu mengingat 100.000 Ahadis. Yang berjulukan “Hakim” adalah orang yang mampun mengingat semua Ahadis yang dikenal.
Jika kau terkejut melihat angka2 id atas, pikir ini … Imam Ahmad hafal sejuta Ahadis. Dari jumlah itu, 700.000 lebih adalah Sahih, katanya. Zar’a Ar-Razi hafal 700.000 Ahadis. Muslim hafal 140.000 Tafsir (penjelasan akan Qur’an) dan 300,000 Ahadis. Imam Bukhari hafal 100.000 Hadis Sahih dan 200.000 yang tidak Sahih.
Catatan akhir yang perlu diingat adalah ilmuwan Hadis adalah tetap ilmuwan Hadis, terlepas dari banyaknya Hadis yang mereka susun. Menjadi ilmuwan Hadis bukan lalu berarti orang itu ahli Fiqh (Tata Hukum Islam). Contoh jelas dapat dilihat pada Al-Amash yang merupakan salah satu ilmuwan Hadis terbesar di masa Imam Abu Hanifah. Ketika dia ditanyai tentang suatu hal, dia berkata tiada satupun Hadis yang diketahuinya berhubungan dengan hal itu. Meskipun begitu Abu Hanifah mengeluarkan fatwa akan hal ini berdasarkan sebuah Hadis yang, menurutnya, didengarnya dari al-Amash.
Ketika Al-Amash mempertanyakan hal ini kepada Imam Abu Hanifah, sang Imam menjelaskan bahwa dia menggunakan satu dari Ahadis yang disampaikan oleh Al-Amash padanya untuk menelaah masalah yang dihadapinya dan Al-Amash berkata “Kami (ilmuwan Hadis) adalah ahli farmasi dan kau (ilmuwan Fiqh) adalah dokternya.
Tanya: Apakah ada aturan ilmu tertentu di belakang penamaan buku2 Hadis seperti Sahih Bukhari atau Musnad Ahmad dan yang lainnya?
Jawab: Ya, terdapat penetapan istilah yang sangat jelas dalam menamai buku2 Hadis:
a) Sahih: Berarti buku ini hanya berisi Ahadis Sahih. Contohnya adalah Sahih Al-Bukhari.
b) Sunan: Berarti buku ini disusun sesuai aturan penyusunan buku2 fiqh (yakni dimulai dengan “kemurnian” Taharah dan lalu Sembahyang, Puasa, Zakat …).
c) Al-Jami’: Berarti buku ini terdiri dari 8 bagian di indeksnya. Bagian ini termasuk Sirah (kehidupan sang nabi) dan Tafsir (penjelasan akan Qur’an).
d) Musnad: Berarti buku ini disusun oleh Sahabat karib Nabi (misalnya se bagian dari Ahadis dikisahkan oleh Aisya, dan bagian lain Ahadis dikisahkan oleh Omar dan seterusnya).
e) Mustadrak: Kelanjutan hasil karya ilmuwan sebelumnya. Contohnya eorang ilmuwan Hadis mengumpulkan semua Hadis Sahih dalam Sirah. Lalu ilmuwan di masa selanjutnya menulis buku Hadis yang melengkapi Ahadis yang tidak tercantum dalam koleksi Hadis sebelumnya atau tidak diketahui oleh ilmuwan sebelumnya.
Ilmu Pengetahuan tentang Hadis
Oleh Sheikh Abdur-Rahman ibn Yusuf
Bismillahi wal hamdulillah wassalatu wassalamu ala Rasoolillah,
Ilmul Hadis adalah ilmu pengetahuan untuk mempelajari Hadis. Apa yang ditentukan sebagai “Hadis” akan dibahas kemudian, tapi tulisan ini dimulai dengan penekanan bahwa ilmu pengetahuan Hadis adalah satu dari banyak ilmu pengetahuan agama. Ada beberapa ilmu pengetahuan fundamental seperti Usul-Al-Qur’an (dasar2 Qur’an), Usul Al-Hadis (dasar2 Hadis), Lughah (bahasa, termasuk balagha, Fasahah) dan Usul al-Fiqh (dasar2 Fiqh).
Ilmu pengetahuan Hadis bergantung pada ilmu pengetahuan akan Qur’an tapi juga dibutuhkan pengertian yang benar akan Qur’an.
Satu hal yang ingin kuajukan adalah terdapat orang2 yang mempertanyakan pentingnya hadis. Bahkan kaum Qura’niyoon (yang percaya Qur’an saja) mengatakan bahwa Hadis tidak relevan dan mereka hanya mempelajari Qur’an saja. Ini merupakan pandangan yang salah.
Allah mengatakan di Qur’an 2:129:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Kata kunci di sini adalah bahwa sang penyampai firman bertugas mengajar mereka isi buku DAN melaksanakan hikmat diantara mereka. Bahkan kaum Sahadah juga salah mengerti akan bahasa Qur’an.
Di Sura Al-Hasr Allah memberitahu kita (59:7)
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah….”
Dia juga berkata:
Q 4:65
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Akhirnya, Allah berkata:
Q 4:59
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Secara keseluruhan, aku percaya bahwa mengira Allah subhanahu wa taala mengirim utusan yang salah merupakan penghujatan. Jika utusan Allah itu tidak relevan dan tidak menambah apapun pada agama, mengapa Allah tidak mengirim satu buku komplit? Mengapa harus memberikan kepada kita melalui seorang utusan?
Sekarang mari lihat beberapa kata (terminologi) yang digunakan sehubungan dengan ilmu pengetahuan (i.p.) ini:
1-Hadis:
a) Dalam pengertian linguistik (bahasa), “hadis” berarti sebuah komunikasi atau sebuah cerita.
b) Dari sudut pandang teknis (yang relatif terhadap i.p. hadis): Ini adalah kumpulan perbuatan, perkataaan dan kebijaksanaan sang Nabi. Sebagai tambahan, semua tradisi yang menjabarkan tentang Nabi dan penampilan fisiknya dan harta miliknya juga termasuk hadis, seperti “Ash-Shama’il Al-Muhammadiyah.”
Dalam Qur’an, kata Hadis juga disebut. Allah mengatakan Qur’an sebagai “Ahsan Al-Hadith” (39:23) yang berarti pesan terbaik atau kata2 terbaik. Dia juga memperingatkan “[68:44] Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Hadis). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.”
2-Sunnah:
a) Hadis juga seringkali dianggap sebagai “As-Sunnah.” Kata “Sunnah” ini digunakan bergantian dengan kata “Hadis” terutama jika kita bicara tentang sumber2 Hukum Islam (pertama adalah Qur’an, kedua adalah Hadis atau Sunnah).
b) Sunnah juga berarti cara hidup Nabi
c) Sunnah juga dianggap bertaraf Fiqh jika menetapkan aturan2 tentang berbagai masalah. Tindakan penetapan aturan ini adalah sunnah dalam arti aturan itu dianjurkan atau ditekankan.
Pentingnya Hadis:
Sang Nabi adalah Qur’an berjalan. Dia adalah pengejawantahan Qur’an di dunia. Kawan2 karibnya tahu betul akan hal ini. Karena inilah mereka menemaninya. Karena inilah mereka digelar “Kawan2 sang Nabi”. Kata “kawan” di sini tidak berarti umum. Tidak semua Muslim pada saat itu adalah kawan Muhammad, dan hanya mereka yang bisa bertemu dengannya (kecuali satu orang yang dianggap Nabi sebagai kawannya meskipun orang itu tidak dapat datang atau bertemu dengannya).
Kawan2 karib Muhammad sadar akan berharganya Muhammad, sehingga mereka berusaha setengah mati untuk bisa bersama dengannya dan untuk mencatat dan menjadi bagian dari semua yang dia katakan dan lakukan. Omar membuat persetujuan dengan kawan karib Muhammad lainnya bahwa mereka akan bergantian menemani Muhammad. Yang seorang akan pergi ke luar untuk bekerja menafkahi keluarganya, sedangkan yang lain akan diam tinggal bersama Muhammad dan mencatat semua yang dikatakan dan dikerjakannya. Pada akhir hari, mereka semua akan membagi apa yang mereka ketahui.
Contoh lain adalah Abu Hurairah. Meskipun dia jadi Muslim dalam tahun2 akhir kenabian Muhammad, tapi dia adalah penyampai kisah2 tentang sang Nabi terbanyak diantara semua kawan2 karib Nabi. Ini karena begitu dia jadi Muslim, dia lalu diangkat jadi Ahlu-Suffah (kawan2 karib yang tinggal di mesjid Nabi) dan dia membaktikan hidupnya untuk menemani Nabi dan belajar darinya. Begitu banyak kisah yang disampaikannya sehingga beberapa kawan lain mengujinya dan dia berhasil lulus ujian.
Tradisi ini dilakukan dengan ketat sehingga jika sang Nabi berbuat sesuatu dalam tradisi asli, para penyampai cerita sepanjang waktu juga berbuat hal yang persis sama. Ada satu kelompok Hadis yang disebut sebagai “Al-Musalsalat” di mana penyampai cerita akan berkata “dan lalu sang Nabi melakukan ini …” dan dia pun berbuat persis sama seperti yang dilakukan Nabi. Contohnya, tersenyum atau berjabatan tangan atau menekuk jari2 agar terbelit dengan jari2 yang lain (tashbik). Beginilah persisnya orang2 mempertahankan tradisi, sehingga bahkan jika sang Nabi membuat suatu gerakan tubuh, mereka (penyampai cerita) akan menceritakan dan melakukannya.
Pentingnya Ilmu Pengetahuan Hadis:
IP Hadis sangatlah tertentu dan pasti. IP “Jarh wa Ta’deel” (pengamatan atas para penyampai cerita), merupakan salah satu yang memiliki aturan yang sangat pasti dan hukum2 yang jelas dan fundamental yang nanti akan kita bahas.
Ahadis (kata majemuk bagi hadis) dari sang Nabi sangat luasdan lebar. Para sahabat dekat sang Nabi pergi jauh dari Medina. Coba bayangkan saja tentara Muslim yang mengalahkan Mekah berjumlah 10.000 tentara dan ada beberapa ribu sahabat karib di Medina sewaktu jaman Omar. Jika dibayangkan seorang sahabat karib dapat menyampaikan hadis atau tradisi cerita tidak hanya pada satu orang saja tapi juga pada sekelompok murid2, maka tentunya cabang2 pohon hadis jadi semakin lebar dan luas. Maka dari itu, penting untuk mengumpulkan hadis2 ini untuk menjaga keasliannya.
Koleksi Hadis:
Koleksi hadis yang pertama dikumpulkan oleh para sahabat karib Nabi sendiri. Beberapa sahabat menyimpan gulungan kulit bertuliskan hadis. Kita sekarang tahu bahwa Abu Bakr menyimpan sebuah koleksi hadis.
Meskipun begitu, kebanyakan tradisi hadis disampaikan lewat ucapan. Koleksi pertama Hadis dilakukan oleh Abu Bakr ibn Hazm dan diperintahkan oleh Omar ibn Abdul-Aziz. Setelah itu, banyak koleksi Hadis yang dikumpulkan, yang pertama dan yang paling terutama adalah Muwatta’ dari Imam Malik, lalu disusul Hadis lain seperti Musnad Imam Ahmed, Sahih Al-Bukhari, Mustadrak Al-Hakim, dll.
Penyampaian Sebuah Hadis:
Ada delapan cara bagaimana hadis disampaikan dari seseorang ke orang lain sebagaimana para ahli hadis telah membedakannya:
a) Mendengar: Penerima Hadis mendengar dari pihak penyampai Hadis dan mengingatnya.
b) Mengatakan: Penerima Hadis mengisahkan kembali di hadapan Penyampai Hadis dan sang Penyampai menyetujui isi pesannya. Ini terutama penting di zaman kita. Kita hidup di era informasi. Ada banyak sekali informasi, tapi kurang Ilm. Ada kemungkinan informasi disampaikan secara ngawur. Karena itu penting untuk diingat bahwa mereka yang melaporkan hadis yang disampaikan dari orang lain tanpa ijin orang itu dikenal sebagai “Pencuri Hadis”.
c) Ijin: Penyampai Hadis telah memberi izin kepada Penerima Hadis untuk mengisahkan Ahadis dari Penyampai Hadis.
d) Pemberian: Sebuah buku Hadis diberikan pihak Penyampai kepada Penerima Hadis dan dia diperbolehkan untuk mengisahkan cerita dari buku itu.
e) Tertulis: Sebuah pesan tertulis berisi Hadis dikirim dari pihak Penyampai ke pihak Penerima.
f) Diperkenalkan (I’lam): Mengumumkan Ahadis. Ini berarti pihak Penyampai memberitahu seseorang bahwa dia (Penyampai) dapat ijin untuk menyampaikan sebuah buku Hadis dari ilmuwan tertentu. Beberapa ahli mengijinkan, tapi ada pula yang tidak memberi ijin.
g) Warisan: Pihak Penyampai menyatakan bahwa Hadis diwariskannya kepada pihak Penerima.
h) Ditemukan: Pihak penerima menemukan tulisan pihak Penyampai yang berisi Hadis.
Semua ini ditentukan oleh para ahli Hadis, dan bagaimana Hadis disampaikan menambah nilai keaslian Hadis itu. Contohnya, ketika menyampaikan Ahadis, seringkali kita baca sang pengarang buku Hadis menulis “Hadathana” atau “Akhbarana” atau terkadang mereka hanya menulis “’an folan ‘an ilan” (huruf “’an” berarti hadis ini dilaporkan “oleh” orang ini dan itu). Penggunaan kata2 ini bukanlah kebetulan belaka dan semuanya mengandung konsekuensi tersendiri. Contohnya, “Hadathana” menerangkan bahwa guru membacakan Hadis kepada seorang murid dan murid itu menyampaikan Hadis tsb. Sedangkan “akhbarana” berarti murid itu sendiri membacakan Hadis tsb di hadapan gurunya dan sang guru menyetujui cara Hadis dihafalkan murid itu.
Mempelajari Hadis:
Para ilmuwan telah mengungkapkan pentingnya Hadis. Mereka berdebat tentang pada usia berapa seseorang boleh mulai mempelajarinya dan bagaimana menguasainya. Bebarapa ilmuwan mengatakan anak berusia 10 tahun boleh mulai mempelajari Hadis, sedangkan yang lain berkata 12 tahun, 15 tahun atau 20 tahun. Bahkan ada seorang ilmuwan yang berkata bahwa seorang anak boleh mulai belajar Hadis setelah anak itu tahu beda seekor sapi dan seekor keledai.
Contoh pada usia berapa orang bisa mempelajari Hadis bisa dilihat pada diri Imam Shafii yang telah menghafal semua Hadis Muwatta Imam Malik ketika dia baru berusia 10 tahun.
Keaslian Hadis:
Mengapa perlu menelaah segala perbedaan tingkat, jabatan dan keadaan setiap penyampai cerita?
Alasan utama adalah untuk memelihara keutuhan Hadis sehingga tidak dikorupsi dan diubah oleh pengaruh ideologi dan politik. Singkatnya, untuk menghindari Hadis itu diubah. Pengubahan atau pemalsuan dapat terjadi karena berbagai alasan, misalnya alasan politik atau kepentingan pribadi. Karena adanya kekhawatiran memalsu Ahadit dan dengan mengaku itu dari Nabi, para ahli agama mulai membaktikan diri untuk mempertahankan tradisi penyampaian Hadis.
Tingkatan Hadis:
Tingkatan Hadis diatur oleh para ahli Hadis untuk memeriksa mata rantai (asal usul) dan isi Hadis dan memberinya tingkatan untuk memisahkannya dari Ahadis palsu. Perlu diingat bahwa tingkatan ini tidaklah absolut (mutlak). Beberapa ahli hadis lebih keras menetapkan seleski dibandingkan yang lain. Para ahli Hadis sendiri dibagi tingkatannya seperti Mo’tadel” (menengah/sedang) seperti Al-Zhahabi, “Motashaddid” (ketat/keras) seperti Ibn Al-Jawzi dan Ad-Daraqutani dan “Mutasahil” (toleran/lunak) seperti as Al-Hakim.
Ketika menentukan kesahihan sebuah Hadis, para ahli memeriksa isi Hadis dan mata rantai penyampai cerita. Rantai ini diperiksa dengan dua tujuan, yakni keseringan/kekerapan kisah disampaikan dan kesinambungannya sampai pada sang Nabi. Selain itu sebagai tambahan, setiap Penyampai cerita di dalam mata rantai Hadis diperiksa kejujuran dan kekuatan daya ingatnya.
Keseringan/kekerapan Cerita:
a) Mutawatir: Hadis mutawatir adalah Hadis yang disampaikan oleh sekelompok orang dari setiap tingkatan rantai Penyampai kisah. Contoh dari “tawatur” misalnya bahwa benua Antartika memang faktanya ada. Ini adalah suatu fakta yang dilihat orang banyak (baik melihatnya langsung atau dari foto2 satelit) dan lalu melaporkannya ke kelompok orang yang lebih banyak yang kemudian menuliskannya di dalam buku2 bagi kita semua. Mutawatir terdiri dari dua jenis:
1. Harafiah: Berarti bahwa kita punya banyak salinan Hadis yang dikisahkan oleh orang2 yang berbeda tapi semuanya mengandung kata2 yang persis sama. Hadis seperti ini sangat jarang ditemukan diantara koleksi tradisi/Hadis nabi.
2. Berhubungan dengan Keadaan (Kontekstual): Hadis diceritakan oleh banyak orang di setiap tingkat rantai penyampai cerita tapi tidak dalam kata2 yang persis sama. Ada banyak Ahadis seperti ini dan kebanyakan membentuk dasar/azas kepercayaan dan tata hukum Islam.
b) Ahaad: Jenis ini merupakan sebagian besar dari tradisi2 atau kumpulan Hadis Nabi. Ini adalah Hadis yang hanya punya beberapa orang Penyampai Hadis yang mengisahkannya pada saat bersamaan di setiap tingkatan rantai penyampaian cerita. Ini pun lalu dibagi dalam kelompok2 yang lebih kecil. Penting untuk dimengerti bahwa di kategori2 di bawah, angka yang dicantumkan mewakili jumlah terkecil Penyampai cerita di setiap tingkat rantai penyampaian cerita. Contohnya, jika sebuah Hadis disampaikan oleh 6 orang Pencerita (tingkat pertama) dan lalu 8 Pencerita Tabieen (tingkat kedua) dan lalu 2 tingkat berikutnya 3 Pencerita dan 12 tingkat berikutnya 4 Pencerita, maka lebar rantai hadis ini adalah “2” yang diambil dari rantai tingkat 3 karena jumlah itulah yang paling kecil dari mata rantai keseluruhan. Hadis seperti ini dikenal sebagai Aziz (lebar rantai 2) meskipun sebenarnya disampaikan oleh 6 kelompok dan jumlah keseluruhan Pencerita adalah 10 orang. Inilah jenis2 hadis Ahaad:
1. Mashur (terkenal): Ini bukan berarti terkenal diantara orang banyak, tapi sering terlihat. Ini adalah Hadis yang sedikitnya punya lebar rantai 3.
2. Aziz (berharga/jarang): Ini adalah Hadis yang sedikitnya punya lebar rantai 2.
3. Gharib (asing): Ini adalah Hadis yang sedikitnya punya lebar rantai 1.
4. al-Fard (sendiri/single): Hadis yang ini terdiri dari dua kelompok: (fard mutlaq): di mana Hadis ini disampaikan oleh seorang tertentu saja. Atau Hadis ini punya arti yang berbeda (1) tiada seorangpun Pencerita2 lain yang dapat dipercaya menyampaikan Hadis ini kecuali satu orang tertentu saja, atau (dapat kita katakan) orang lain pun menyampaikan Hadis itu tapi mereka tidak dipercaya kejujurannya.
(2) tiada ahli2 Islam dari daerah lain menyampaikan Hadis itu kecuali ahli2 di satu tempat saja.
Kesinambungan Penyampaian Cerita:
a) Marfu’: Berhubungan dengan sang Nabi. Berarti Penyampai Hadis secara tegas menyatakan bahwa Muhammad memang mengatakan itu.
b) Hokm Al-Marfu’: Berhubungan melalui akal pikiran/logika. Meskipun Penyampai Hadis tidak menyebutkan bahwa hal ini dikatakan sang Nabi, tapi isinya jelas menunjukkan bahwa ini hanya bisa datang dari sang Nabi.
c) Musnad/Mutassil: Berhubungan sempurna, berarti tidak ada mata rantai yang terpisah, semua Pencerita mendengarkan langsung di hadapan setiap orang dalam mata rantai Penyampai Hadis.
d) Mawquf (dihentikan): Hadis ini berisi perkataan Sahabat Nabi.
e) Maqtu’ (dipotong): Hadis ini berisi perkataan atau ajaran seorang tabi’ee (generasi setelah Sahabat Karib Nabi).
f) Mursal: Tabi’ee mengisahkan bahwa sang Nabi mengatakan suatu hal dan Tabi’ee tidak menyinggung keterangan bahwa Sahabat Karib Nabilah yang menyampaikan hal ini.
g) Mu’alaq (tergantung): Terjadi ketidaksinambungan dalam mata rantai penyampaian Hadis dari awal.
h) Munqati: Terjadi ketidaksinambungan di tengah2 mata rantai penyampaian Hadis.
i) Mo’dal: Ada dua celah dari dua Penyampai cerita dalam mata rantai.
j) Mo’an’an: Dikisahkan melalui penggunaan “an” seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
k) Musalsal: Dikisahkan termasuk gerakan2 tubuh atau tindakan sang Nabi yang termasuk dalam tradisi.
Tingkatan2 Hadis:
Sekarang kita pelajari perbedaan tingkat Hadis melalui mata rantai Hadis dan juga isinya.
1) Maqbul (diterima):
Ini berarti Hadis ini diterima sebagai bukti dalam Ilmu Hukum Islam. Seorang ahli hukum Islam dapat menggunakan Hadis ini sebagai bukti kebenaran pendapatnya. Ini dibagi dalam beberapa tingkat:
a. Sahih (benar/bentuk yang tepat): Ini adalah tingkat keaslian tertinggi dan ini pun dibagi dalam dua sub tingkatan:
i. Sahih secara hakiki: Sahih karena mata rantai dan isinya telah lulus semua ujian yang ditentukan.
ii. Sahih berdasarkan arti Hadis lain: Ini berarti Hadis ini cacat sedikit dalam mata rantainya dan seharusnya berada pada tingkat Hassan (lihat keterangan di bawah), tapi karena Ahadis lain mengungkapkan arti Hadis ini, maka Hadis ini dinaikkan tingkatnya ke dalam tingkat Sahih.
b. Hassan (bagus/baik):
Inipun dibagi dalam dua sub tingkatan yang sama seperti Sahih, yakni Hassan secara hakiki dan Hassa berdasarkan arti lain.
2) Mardud (ditolak):
Tingkat ini mewakili Ahadis yang punya cacat berat dalam mata rantai dan isinya sehingga tidak bisa digunakan sebagai bukti dalam Tata Hukum Islam. Tingkat ini dibagi dalam 2 golongan:
a) Da’if (lemah): Ahadis ini punya cacat2 dalam mata rantai penyampainnya yang tidak bisa diperbaiki. Ini tidak langsung berarti bahwa Hadis ini hanyalah karangan orang belaka. Tapi isi Hadis ini tidak bisa dianggap sebagai kata2 sang Nabi.
b) Maudhu’ (palsu): Ini adalah sebuah Hadis yang memiliki kecacatan jelas dalam mata rantai atau isinya.
---------------
Ini adalah daftar kriteria untuk menetapkan sebuah Hadis yang bisa dianggap Sahih:
a) Tidak bertentangan dengan Qur’an atau Hadis Sahih lainnya.
b) Punya mata rantai (isnad) penyampaian kisah yang lengkap
c) Tiada Ellah (cacat2). Sebenarnya terdapat banyak Hadis2 yang cacat oleh ahli Islam terkemuka seperti At-Termizhi dan Ad-Daraqutani.
d) Dan setiap Pencerita di dalam mata rantai haruslah Adil (moral baik), Jujur dan Dabit (punya daya ingat kuat).
------------------
Jika sebuah Hadis Sahih gagal masuk kriteria2 di atas, maka tingkatannya diturunkan ke tingkat Hassan. Cacat2 tertentu akan membuat Hadis dimasukkan ke dalam tingkat Da’if.
Sekedar catatan tentang penanganan Hadis Da’if:
Orang2 tertentu menggunakan istilah Hadis Da’if saat ini seakan untuk mengesampingkannya. Jika seseorang menyebut suatu hadis, dan yang lain mengatakan “Oh, saya dengar Hadis itu Da’if” maka mereka seakan-akan membuat Hadis ini gugur atau dibatalkan. Ini adalah perlakuan yang salah.
Jika Hadis Da’if itu tak berguna, mengapa dong semua ahli Hadis mempertahankannya sampai 1.400 tahun ? Kenapa tidak dibuang saja? Hadis Da’if punya banyak guna dalam hidup kita dan tertulis dengan baik sehingga orang bisa menggunakan Hadis lemah dalam Fadha’il (mendorong moral/spiritual). Terdapat karya2 yand ditulis oleh ilmuwan2 Hadis ulung tentang bagaimana dan apabila Hadis Da’if bisa digunakan. Pada kenyataannya, Hadis Da’if bisa digunakan dalam Hukum Islam secara tertulis.
Contoh hal ini bisa dilihat dalam Hadis Nabi bahwa “tiada warisan bagi seorang ahli waris” yang berarti kau tidak dapat mewariskan bagian tanahmu pada seseorang yang berdasarkan silsilah keturunan akan mewarisi kekayaanmu. Ini adalah Hadis Da’if yang digunakan ahli2 hukum Islam tentang hak warisan karena telah diterima dan dipraktekkan secara luas.
Istilah Bagi Ilmuwan Hadis:
Untuk mengetahui banyaknya usaha dan besarnya dedikasi yang dilakukan para ahli dalam menyusun koleksi Hadis, marilah lihat gelar2 dan jabatan2 yang mereka miliki:
Seorang ilmuwan yang diberi julukan “Hujjah” Hadis adalah seseorang yang dapat mengingat sedikitnya 300.000 Ahadis.
Yang berjulukan “Hafiz” adalah orang yang mampu mengingat 100.000 Ahadis. Yang berjulukan “Hakim” adalah orang yang mampun mengingat semua Ahadis yang dikenal.
Jika kau terkejut melihat angka2 id atas, pikir ini … Imam Ahmad hafal sejuta Ahadis. Dari jumlah itu, 700.000 lebih adalah Sahih, katanya. Zar’a Ar-Razi hafal 700.000 Ahadis. Muslim hafal 140.000 Tafsir (penjelasan akan Qur’an) dan 300,000 Ahadis. Imam Bukhari hafal 100.000 Hadis Sahih dan 200.000 yang tidak Sahih.
Catatan akhir yang perlu diingat adalah ilmuwan Hadis adalah tetap ilmuwan Hadis, terlepas dari banyaknya Hadis yang mereka susun. Menjadi ilmuwan Hadis bukan lalu berarti orang itu ahli Fiqh (Tata Hukum Islam). Contoh jelas dapat dilihat pada Al-Amash yang merupakan salah satu ilmuwan Hadis terbesar di masa Imam Abu Hanifah. Ketika dia ditanyai tentang suatu hal, dia berkata tiada satupun Hadis yang diketahuinya berhubungan dengan hal itu. Meskipun begitu Abu Hanifah mengeluarkan fatwa akan hal ini berdasarkan sebuah Hadis yang, menurutnya, didengarnya dari al-Amash.
Ketika Al-Amash mempertanyakan hal ini kepada Imam Abu Hanifah, sang Imam menjelaskan bahwa dia menggunakan satu dari Ahadis yang disampaikan oleh Al-Amash padanya untuk menelaah masalah yang dihadapinya dan Al-Amash berkata “Kami (ilmuwan Hadis) adalah ahli farmasi dan kau (ilmuwan Fiqh) adalah dokternya.
Tanya: Apakah ada aturan ilmu tertentu di belakang penamaan buku2 Hadis seperti Sahih Bukhari atau Musnad Ahmad dan yang lainnya?
Jawab: Ya, terdapat penetapan istilah yang sangat jelas dalam menamai buku2 Hadis:
a) Sahih: Berarti buku ini hanya berisi Ahadis Sahih. Contohnya adalah Sahih Al-Bukhari.
b) Sunan: Berarti buku ini disusun sesuai aturan penyusunan buku2 fiqh (yakni dimulai dengan “kemurnian” Taharah dan lalu Sembahyang, Puasa, Zakat …).
c) Al-Jami’: Berarti buku ini terdiri dari 8 bagian di indeksnya. Bagian ini termasuk Sirah (kehidupan sang nabi) dan Tafsir (penjelasan akan Qur’an).
d) Musnad: Berarti buku ini disusun oleh Sahabat karib Nabi (misalnya se bagian dari Ahadis dikisahkan oleh Aisya, dan bagian lain Ahadis dikisahkan oleh Omar dan seterusnya).
e) Mustadrak: Kelanjutan hasil karya ilmuwan sebelumnya. Contohnya eorang ilmuwan Hadis mengumpulkan semua Hadis Sahih dalam Sirah. Lalu ilmuwan di masa selanjutnya menulis buku Hadis yang melengkapi Ahadis yang tidak tercantum dalam koleksi Hadis sebelumnya atau tidak diketahui oleh ilmuwan sebelumnya.