Offside : Kegundahan Wanita Iran Terhadap Sepakbola

Hal-hal seputar olah raga.
Post Reply
User avatar
usmanabdullah
Posts: 1212
Joined: Thu Nov 08, 2012 2:31 pm

Offside : Kegundahan Wanita Iran Terhadap Sepakbola

Post by usmanabdullah »

Offside (2006)
Kegundahan Wanita Iran Terhadap Sepakbola
Aqwam F. Hanifan - detikSport
Rabu, 15/05/2013 15:38 WIB
thumbnail
Di Iran, melihat kaum hawa hadir menonton sepakbola di stadion berdampingan dengan kaum adam adalah anomali. Pasca Revolusi Islam yang dipimpin Ayatollah Khoemeini tahun 1979, negeri penerus bangsa Persia itu memang memberlakukan aturan yang ketat terhadap perempuan.

Saat itu ada tiga hal yang menjadi keluhan para perempuan Iran: pakaian yang diatur dengan ketat, pekerjaan yang sulit didapat, dan larangan menonton sepakbola pria di stadion.

Namun seiring berjalannya waktu, pelan tapi pasti perubahan itu terjadi, tepatnya di masa Rafsanjani menjabat sebagai presidendi awal tahun 1990an, yaitu kala liberalisasi di Iran mulai terasa. Aturan kewajiban memakai Chadur (kain hitam yang di selebungkan ke seluruh tubuh namun tak menutupi muka) mulai ditinggalkan generasi muda -- dan berganti dengan kerudung yang dipasang seenaknya.

Namun, tentu saja, kondisi ini membuat kalangan konservatif geram.

Hal sama juga terjadi pada lapangan pekerjaan. Data tahun 2007 menyatakan, jenjang pendidikan yang dibuka sebebas mungkin membuat wanita Iran mengisi hampir 55% dari bangku universitas. Akibatnya, mereka mengisi berbagai sektor lapangan pekerjaan, mulai dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, teknologi, budaya, olahraga dan kesenian.

Namun di balik Iran yang semakin modern, maju dan terbuka, ada sesuatu hal yang masih menjadi belenggu perempuan Iran, yaitu soal urusan menonton sepakbola. Di awal rezim Khoemeini berkuasa, jangankan untuk hadir di stadion, menyaksikan pertandingan lewat layar kaca pun haram bagi perempuan Iran. Alasannya karena perempuan dilarang melihat aurat pemain sepakbola pria, yang notabene selalu memakai celana di atas lutut.

Kendati begitu, setelah ditekan secara masif oleh publik tahun 1987, aturan tersebut diubah. Khoemeini mengeluarkan fatwa yang membolehkan wanita melihat sepakbola lewat televisi. Ia melakukan pengecualian terhadap sepakbola. Alasannya, karena tak mengapa menyaksikan aurat pemain laki-laki kalau hanya dari televisi.

Sesungguhnya untuk mengetahui komplikasi lebih dalam perihal apa yang menimpa para pecandu bola kaum hawa di Iran tak terhitung sudah banyak puluhan jurnal yang dikeluarkan para peneliti-peneliti barat. Akan tetapi, lewat film komedi satir berjudul "Offside", sineas Jafar Panahi berhasil mengangkat isu ini jadi suatu yang natural, ringan, dan kocak.

Film ini dibuat tahun 2006 dengan latar belakang pertandingan Iran versus Bahrain di Stadium Azadi Teheran. Mengingat laga ini penentuan lolosnya Iran ke Piala Dunia di Jerman, perhatian publik pun tersedot pada pertandingan tersebut. Secara cermat Panahi pun mampu memanfaatkan passion masyarakat Iran yang muncul lewat laga itu. Patut diketahui bahwa passion perempuan Iran mengikuti sepak bola pun terkadang lebih besar ketimbang kaum prianya.

"Offside" sendiri adalah anekdot gambaran riil yang melingkupi sepakbola Iran. Karena itu, pemerintah Iran sadar betul bahwa Jafar Panahi sedang mengkritik keberadaan rezim. Tak heran film ini kemudian dilarang beredar di seantero negeri.

Namun keinginan publik tentu tak mampu diredam. Film "haram" ini kemudian berhasil disebar ke seantero negeri melalui distribusi pemasok film bajakan.

Dengan pesan-pesan kebebasan yang diusungnya dalam beberapa film, Jafar Panafi memang kerap membuat geram rezim. Bahkan, pada 2010 pengadilan pernah menghukumnya untuk mendekam selama 6 tahun dalam penjara. Ia pun ditendang dari dunia perfilman dan dilarang selama 20 tahun untuk berkarya, berbicara pada pers, atau pergi ke luar negeri.

"Offside" jadi salah satu karya yang membuat panas kuping pemerintah Iran. Karena disajikan sebagai komedi, dialog-dialog yang muncul pun tak langsung menusuk, mengarah, atau memaki rezim. Panahi dengan cerdas memanfaatkan majas ironi dalam setiap dialog-dialognya, meski bagi orang yang tak paham mungkin akan menganggap dialog itu biasa saja.

Di menit-menit awal film berjalan, kita akan dibuat sedikit tersenyum dengan dialog yang digambarkan. Seorang kakek tua terlihat kebingungan mengejar putrinya yang kabur dari sekolah demi menyaksikan pertandingan Iran-Bahrain. Didalam mobil, sang kakek lalu sempat berdialog dengan supirnya.

"Sure, she went to football game?" tanya sang sopir.

"If she didn't, how did her brother know? God knows what they'll do to find her. I hope I find her before they do. They will kill her," ujar khawatir si kakek.

Selang beberapa lama kemudian, sang kakek menghentikan rombongan bus suporter dan ikut ke dalamnya guna mencari sang anak.

Menarik untuk disimak adalah penggunaan "they" dalam kalimat di atas. Ini ditujukan kepada para petugas pengamanan stadion yang biasanya selalu saja berhasil menangkap perempuan yang menyamar jadi pria di setiap pertandingan.

Sebelum dibebaskan, biasanya perempuan nekat tersebut akan dipenjara terlebih dahulu selama beberapa hari. Dan di Teheran, kelakuan perempuan yang ditangkap gara-gara urusan bola akan jadi aib untuk keluarganya.

Franklin Foer secara sentimen dalam buku How Soccer Explain The World: The Unlikely theory of Globalization menjelaskan sebuah fenomena terbaru di Iran. Fenoma itu adalah saat banyak perempuan melakukan aksi-aksi nekat dengan mengempiskan payudara, memotong rambut dan menyamar jadi pria agar bisa masuk ke Stadion. Bahkan, tak jarang tindakan nekat ini dilakukan keturunan para penguasa dan ulama ternama. Ke dalam "Offside", Panahi pun meng-audio-visualisasikan hal ini.

Dalam film ini Panahi memang tak menyertakan nama-nama tokoh yang terlibat. Ia membebaskan imajinasi penonton dalam menerka semua tokoh. Kendati begitu, setiap tokoh tentunya memiliki kepribadian yang khas dan unik.

Usai menceritakan kegusaran kakek tua yang mencari putrinya, "Offside" dilanjutkan dengan adegan yang menggambarkan perjuangan gadis cantik muda yang menyamar menjadi pria. Dengan menggunakan topi menutupi rambut, coretan tiga warna bendera Iran di pipi, sang gadis pun nekat mendekati stadion.

Di film ini juga diceritakan bagaimana diskriminasi terhadap perempuan dilakukan oleh penjual tiket yang menaikan harga karcis menjadi beberapa kali lipat kepada perempuan. Alhasil perjuangan si gadis menemui kegagalan. Ia lalu ditangkap polisi dan diamankan diluar pintu masuk tribun.

Ternyata si gadis tak sendirian. Ada 6 gadis lain dengan karakter berbeda yang kena sial serupa. Gadis pertama adalah seorang yang tomboy. Logat bahasa dan mimik tubuhnya menandakan gadis ini bertipikal keras kepala dan banyak bicara. Gadis kedua adalah seorang pemain sepakbola wanita yang berposisi sebagai striker. Gadis ketiga seorang remaja manja yang tak henti-henti menangis karena tepisah dari pamannya.

Gadis keempat adalah seorang wanita terpandang dan terpelajar di Teheran. Sementara gadis terakhir adalah seorang perempuan konyol yang menyamar memakai pakaian militer agar bisa masuk stadion. Konyolnya, gadis ini tertangkap karena dia menduduki kursi yang dikhususkan pada perwira, padahal pakaian yang ia pakai adalah pakaian serdadu. Tentu saja hal ini membuat orang lain curiga.

Berkumpulnya para cewek gila bola ini ternyata membuat polisi yang menjaganya menjadi panas kuping. Dengan dialog-dialog jenaka, sang penulis naskah, Shadmehr Rastin dan Panahi, pun mampu menggambarkan kegusaran sang tentara dan perseteruannya dengan para gadis.

Ya, panahi sendiri memang pintar dalam mengatur naik turun dialog dalam sebuah adegan. Usai berseteru, akhirnya sang gadis tomboy dan sang tentara akur. Dialog-dialog kritik terhadap rezim kembali pun dilakukan.

Hal ini dimulai dengan sang gadis yang tiba-tiba mendekati sang tentara dan bertanya, “why can't women go in the stadium and sit with the men?”

"Why are you stubborn? women can't sit with men in the stadium," tegas sang tentara.

"Then why could Japanese women watch the Japan-Iran game here?" tanyanya lagi.

Kalimat ini adalah sindiran Panahi yang memaparkan fakta bahwa wanita Jepang diizinkan oleh rezim hadir di Stadion, saat Iran menjamu Jepang dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia tahun 2006.

"They were Japanese," jawab sang tentara sembari memalingkan mukanya dari sang gadis.

"So my problem is that I was born in Iran? If I born in Japan, I could watch football?” tanyanya lagi.

"They don't speak our languange. If the crowd and swears they will not understand," ucap sang tentara polos.

Di Iran, salah satu alasan lainnya perempuan hadir di stadion adalah karena takut terpengaruh sikap kaum pria yang terkadang melakukan sumpah serapah, cacian dan makian saat pertandingan berjalan. Secara cerdas Panahi mampu membuat berbagai kondisi yang mengikat perempuan Iran itu sebagai sebuah lelucon.

Fenomena terbaru di Iran adalah pertandingan sepak bola yang dijadikan cara efektif sebagai aksi protes menentang rezim. Bahkan, dalam hal kebebasan berekspresi, stadion pun hampir sama pentingnya dengan internet. Ini karena polisi tidak bisa menangkap ribuan orang sekaligus.

Siaran televisi tentang sepakbola pun biasanya digunakan sebagai panggung untuk resistensi. Mereka menunjukkan spanduk ke kamera dan menyanyikan lagu-lagu protes, yang dalam beberapa pertandingan selalu disiarkan tanpa suara. Rezim pun enggan hal ini mempengaruhi kaum perempuan di sana.

Sebenarnya, banyak sekali hal menarik lain dari "Offside". Dengan banyaknya pesan feminisme yang diselipkan, Amazon.com bahkan sempat memberikan predikat The Best Gender Studies Film bagi karya Panahi ini.

"Offside" juga menuai pujian di negara-negara barat, kendati tak ditayangkan di negaranya sendiri. Setelah menjadi nominator dalam festival film New York dan Toronto tahun 2006, di tahun yang sama film ini mampu menyabet Silver Bear di festival Berlin.

Torehan yang dicapai oleh Pahani melalui "Offside" ini sebenarnya "biasa saja". Toh kritikus film Guardian, Peter Bradshaw pun berkata "It is a quietly intelligent and humorous alternative look at football, pop culture and the position of women."




===

* Akun twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball

Offside : Kegundahan Wanita Iran Terhadap Sepakbola
FFI Alternative
Faithfreedompedia
User avatar
kdonk
Posts: 128
Joined: Thu Dec 22, 2011 7:09 am

Re: Offside : Kegundahan Wanita Iran Terhadap Sepakbola

Post by kdonk »

Kasihan ya jadi wanita di Islam. Cowok2 yg horny cewek yang disalahin. Disuru tutup badannya dari kepala sampe ujung kaki, kayak plastik sampah. Klo cowok2 yg pke clana pendek, cewek2 lagi yg dimasalahin. Mreka yang ga bole liat. Lucu.
Post Reply