Irshad Manji : Islam motivator suicide bomber
Posted: Fri Nov 11, 2005 9:12 am
Irshad Manji – Time Magazine 1 Agustus 2005
Ketika Ketidakjujuran Mampu Membunuh
Muslim harus mengakui bahwa agama islam mungkin menjadi motivator para pembom
Baru-baru ini penulis dikejutkan dengan kenyataan bahwa komunitas barat begitu mudah mempercayai kalau terorisme dapat dijelaskan secara sederhana. Hal ini penulis dapati ketika memandang sebentuk wajah sedih milik seorang mahasiswi Oxford University. Setelah memberi kuliah tentang islam, penulis bertemu dengan editor majalah yang msh muda ini dan berdiskusi mengenai tradisi islam yang telah hilang dalam hal pemikiran kritis dan debat yang sehat. Tetapi kami tidak pernah sampai ke topik tersebut, dan kami terhanyut dalam diskusi mengenai pemboman tanggal 7 Juli di London serta apa yang membuat empat orang anak muda yang tumbuh besar di inggris, muslim yang taat mampu meledakkan diri sendiri serta mengorbankan orang lain yang tidak berdosa.
Gadis muda ini yakin penyebabnya adalah ‘tekanan ekonomi’. Penulis menjawab bahwa para pengebom itu memiliki orang tua imigran yang bekerja keras untuk mencukupi hidup mereka. Penulis juga mengingatkan editor muda ini bahwa para pembajak di peristiwa 9/11 merupakan orang-orang kaya, dan tidak berkekurangan. Akhirnya, penulis menceritakan percakapan penulis dengan seorang pemimpin jihad di gaza tiga tahun yang lalu. “Apa perbedaan antara bunuh diri, yang dikutuk alquran, dengan jihad?” tanya penulis saat itu. “Bunuh diri,” jawabnya, “dilakukan dalam situasi putus asa. Tetapi ingat: hampir semua jihadis memiliki hidup yang berkecukupan.” Pendeknya ada masa depan – tetapi mereka tetap meledakkan diri sendiri.
Pada saat ini, mahasiswi Oxford ini terlihat ragu. Cukup jelas bahwa penjelasan penulis tidak sejalan dengan pemikirannya. Penulis telah gagal memperlihatkan bahwa para pengebom di London merupakan korban dari masyarakat inggris. Untuk adilnya, gadis itu benar bahwa marginalisasi, baik nyata maupun tidak, merendahkan martabat. Yang pada gilirannya akan membuat anak muda menjadi rentan terhadap pesan-pesan radikal yang dibungkus dalam retorika religius. Lantas mengapa tidak disebutkan bahwa agama memiliki suatu peranan dalam memberi motivasi bagi tindakan mereka?
Mahasiswi tersebut mulai merasa tidak nyaman. Ia tampaknya tidak mampu melakukan apa yang saya sarankan. Dan penulis tidak memaksakan juga. Toh para pemimpin mslim juga tidak melakukan hal tersebut. Iqbal Sacranie, sekjen komunitas muslim inggris merupakan salah satu contoh. Dalam suatu debat dengan penulis, ia menggambarkan beberapa insentif untuk melakukan bom bunuh diri, termasuk ‘pengasingan’ dan ‘pemisahan’. Tetapi apakah termasuk islam? Semoga tuhan tidak membiarkan hal tersebut terjadi.
Hal tersebut menunjukkan kecuekkan yang sangat berbahaya yang muncul dari muslim mainstream. Ketika para juru bicara muslim mengatakan bahwa islam tidak ada sangkut pautnya dengan terorisme, mereka yang melakukan tindakan terror justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Mohammed Atta, pemimpin aksi 9/11 meninggalkan suatu catatan yang menyatakan bahwa, “cukup bagi kami untuk mengetahui bahwa ayat-ayat alquran adalah kalimat dari pencipta bumi dan planet lainnya.” Atta juga menggarisbawahi gambaran alquran mengenai surga. Pada tahun 2004, eksekutor nick berg, seorang kontraktor amerika di iraq, melalui pita rekaman mengutip ayat-ayat alquran, “barangsiapa membunuh manusia lain, kecuali dengan alasan sebagai hukuman atas pembunuhan atau kejahatan lain, dipandang sebagai pembunuhan atas umat manusia.” Semangat dari ayat tersebut tidak mengijinkan peperangan yang agresif, tetapi anak kalimat yang dimulai dengan kata kecuali, dipakai oleh muslim militan sebagai celah. Jejak kaki sepatu boot tentara amerika di tanah arab dikategorikan sebagai pembunuhan dan kejahatan.
Sudah terlalu lama muslim menutup telinga dan menggumamkan ‘islam artinya damai’ untuk menutupi kebisingan bernada negatif dari alquran. Jauh lebih baik bagi muslim untuk menyadari hal tersebut. Bukan dengan menghapus atau merevisi, hanya kenali hal negatif tersebut dan bergabunglah dengan yahudi dan kristen moderat yang mengakui ‘dosa kitab’ seperti yang dinyatakan seorang uskup di amerika mengenai alkitab. Dengan melakukan hal tersebut, muslim akan memperlihatkan sisi logis yang akan membangun saling pengertian dan saling percaya dengan komunitas barat yang lebih luas.
Setelah itu muslim akan dapat mendukung pengertian antar budaya. Misalnya, sekolah-sekolah di barat harus mengajarkan bagaimana kebudayaan islam memberi kontribusi lahirnya renaissance di eropa. Beberapa universitas pertama lahir di iran abad ke-3, di baghdad abad ke-9, dan di kairo abad ke-10. Dunia muslim memperkenalkan kopi moka, gitar dan bahkan seruan ole! di spanyol (akar kata yang sama dengan kata arab allah). Mahasiswa muslim tidak perlu malu lagi mempelajari nilai-nilai pluralisme. Mahasiswa non-muslim akan juga belajar bahwa pluralisme juga berakar pada budaya islam. Pada akhirnya semua akan belajar bahwa islam dan barat saling bergantung dan bukannya terpisah-pisah.
Namun, selama muslim hidup dalam kepura-puraan, semua akan melihat bahwa muslim memiliki sesuatu yang disembunyikan. Tidak cukup bagi kita hanya memprotes bahwa para radikal itu hanya mengeksploitasi islam. Meskipun hal ini benar. Sekarang, muslim moderat harus berhenti mengeksploitasi islam sebagai tameng – yang mencegah muslim melakukan introspeksi dan mencegah lingkungan non-muslim mengerti dengan benar mengenai islam.
Irshad Manji adalah penulis ‘The trouble with islam today: a wake-up call for honesty and change”
Ketika Ketidakjujuran Mampu Membunuh
Muslim harus mengakui bahwa agama islam mungkin menjadi motivator para pembom
Baru-baru ini penulis dikejutkan dengan kenyataan bahwa komunitas barat begitu mudah mempercayai kalau terorisme dapat dijelaskan secara sederhana. Hal ini penulis dapati ketika memandang sebentuk wajah sedih milik seorang mahasiswi Oxford University. Setelah memberi kuliah tentang islam, penulis bertemu dengan editor majalah yang msh muda ini dan berdiskusi mengenai tradisi islam yang telah hilang dalam hal pemikiran kritis dan debat yang sehat. Tetapi kami tidak pernah sampai ke topik tersebut, dan kami terhanyut dalam diskusi mengenai pemboman tanggal 7 Juli di London serta apa yang membuat empat orang anak muda yang tumbuh besar di inggris, muslim yang taat mampu meledakkan diri sendiri serta mengorbankan orang lain yang tidak berdosa.
Gadis muda ini yakin penyebabnya adalah ‘tekanan ekonomi’. Penulis menjawab bahwa para pengebom itu memiliki orang tua imigran yang bekerja keras untuk mencukupi hidup mereka. Penulis juga mengingatkan editor muda ini bahwa para pembajak di peristiwa 9/11 merupakan orang-orang kaya, dan tidak berkekurangan. Akhirnya, penulis menceritakan percakapan penulis dengan seorang pemimpin jihad di gaza tiga tahun yang lalu. “Apa perbedaan antara bunuh diri, yang dikutuk alquran, dengan jihad?” tanya penulis saat itu. “Bunuh diri,” jawabnya, “dilakukan dalam situasi putus asa. Tetapi ingat: hampir semua jihadis memiliki hidup yang berkecukupan.” Pendeknya ada masa depan – tetapi mereka tetap meledakkan diri sendiri.
Pada saat ini, mahasiswi Oxford ini terlihat ragu. Cukup jelas bahwa penjelasan penulis tidak sejalan dengan pemikirannya. Penulis telah gagal memperlihatkan bahwa para pengebom di London merupakan korban dari masyarakat inggris. Untuk adilnya, gadis itu benar bahwa marginalisasi, baik nyata maupun tidak, merendahkan martabat. Yang pada gilirannya akan membuat anak muda menjadi rentan terhadap pesan-pesan radikal yang dibungkus dalam retorika religius. Lantas mengapa tidak disebutkan bahwa agama memiliki suatu peranan dalam memberi motivasi bagi tindakan mereka?
Mahasiswi tersebut mulai merasa tidak nyaman. Ia tampaknya tidak mampu melakukan apa yang saya sarankan. Dan penulis tidak memaksakan juga. Toh para pemimpin mslim juga tidak melakukan hal tersebut. Iqbal Sacranie, sekjen komunitas muslim inggris merupakan salah satu contoh. Dalam suatu debat dengan penulis, ia menggambarkan beberapa insentif untuk melakukan bom bunuh diri, termasuk ‘pengasingan’ dan ‘pemisahan’. Tetapi apakah termasuk islam? Semoga tuhan tidak membiarkan hal tersebut terjadi.
Hal tersebut menunjukkan kecuekkan yang sangat berbahaya yang muncul dari muslim mainstream. Ketika para juru bicara muslim mengatakan bahwa islam tidak ada sangkut pautnya dengan terorisme, mereka yang melakukan tindakan terror justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Mohammed Atta, pemimpin aksi 9/11 meninggalkan suatu catatan yang menyatakan bahwa, “cukup bagi kami untuk mengetahui bahwa ayat-ayat alquran adalah kalimat dari pencipta bumi dan planet lainnya.” Atta juga menggarisbawahi gambaran alquran mengenai surga. Pada tahun 2004, eksekutor nick berg, seorang kontraktor amerika di iraq, melalui pita rekaman mengutip ayat-ayat alquran, “barangsiapa membunuh manusia lain, kecuali dengan alasan sebagai hukuman atas pembunuhan atau kejahatan lain, dipandang sebagai pembunuhan atas umat manusia.” Semangat dari ayat tersebut tidak mengijinkan peperangan yang agresif, tetapi anak kalimat yang dimulai dengan kata kecuali, dipakai oleh muslim militan sebagai celah. Jejak kaki sepatu boot tentara amerika di tanah arab dikategorikan sebagai pembunuhan dan kejahatan.
Sudah terlalu lama muslim menutup telinga dan menggumamkan ‘islam artinya damai’ untuk menutupi kebisingan bernada negatif dari alquran. Jauh lebih baik bagi muslim untuk menyadari hal tersebut. Bukan dengan menghapus atau merevisi, hanya kenali hal negatif tersebut dan bergabunglah dengan yahudi dan kristen moderat yang mengakui ‘dosa kitab’ seperti yang dinyatakan seorang uskup di amerika mengenai alkitab. Dengan melakukan hal tersebut, muslim akan memperlihatkan sisi logis yang akan membangun saling pengertian dan saling percaya dengan komunitas barat yang lebih luas.
Setelah itu muslim akan dapat mendukung pengertian antar budaya. Misalnya, sekolah-sekolah di barat harus mengajarkan bagaimana kebudayaan islam memberi kontribusi lahirnya renaissance di eropa. Beberapa universitas pertama lahir di iran abad ke-3, di baghdad abad ke-9, dan di kairo abad ke-10. Dunia muslim memperkenalkan kopi moka, gitar dan bahkan seruan ole! di spanyol (akar kata yang sama dengan kata arab allah). Mahasiswa muslim tidak perlu malu lagi mempelajari nilai-nilai pluralisme. Mahasiswa non-muslim akan juga belajar bahwa pluralisme juga berakar pada budaya islam. Pada akhirnya semua akan belajar bahwa islam dan barat saling bergantung dan bukannya terpisah-pisah.
Namun, selama muslim hidup dalam kepura-puraan, semua akan melihat bahwa muslim memiliki sesuatu yang disembunyikan. Tidak cukup bagi kita hanya memprotes bahwa para radikal itu hanya mengeksploitasi islam. Meskipun hal ini benar. Sekarang, muslim moderat harus berhenti mengeksploitasi islam sebagai tameng – yang mencegah muslim melakukan introspeksi dan mencegah lingkungan non-muslim mengerti dengan benar mengenai islam.
Irshad Manji adalah penulis ‘The trouble with islam today: a wake-up call for honesty and change”