Ibn Warraq: Imperialisme Arab, Kolonialisme Islam

Informasi tentang masa pra-Islam dan perkembangan Jihad di seluruh dunia
Post Reply
User avatar
pod-rock
Posts: 829
Joined: Tue Nov 28, 2006 1:25 pm

Ibn Warraq: Imperialisme Arab, Kolonialisme Islam

Post by pod-rock »

Ini bagian dari buku Ibn Warraq, tadinya semangat nerjemahin buku ini sudah melempem, tapi karena ada orang yang tertarik utk menerbitkan buku ini dalam bahasa indonesia, di Indonesia, dan 'katanya' terjemahan saya 'dipinjam' (meski saya ngga terima uang sepeserpun saya ridho, diterbitkan diindonesia aja udah bayaran yang mahal sekali buat saya), maka semangatnya muncul lagi.

Bab 8 (hal 198) sengaja saya simpan juga disini agar dibaca dulu oleh netter. Lengkapnya bisa dibaca di:
Ibn Warraq: Mengapa Aku Bukan Muslim

Trims pada DHS yang sudah cape2 scan buku ini utk saya.

Bab 8 : Imperialisme Arab, Kolonialisme Islam
Diambil dari: 'Why I am Not a Muslim / Mengapa Aku Bukan Muslim' Oleh Ibn Warraq
diterbitkan oleh : Prometheus Books, Amherst, New York, 1995

Saya harus mengingatkan diri saya bahwa saya sedang berjalan didunia muslim NON-ARAB. Islam dimulai sebagai sebuah agama Arab; lalu berkembang menjadi sebuah kerajaan Arab. Di Iran, Pakistan, Malaysia, Indonesia – negara2 tempat saya berkelana – saya berada diantara orang2 yang memeluk sebuah agama yang sebelumnya asing bagi mereka. Saya berjalan diantara orang2 yang harus menyesuaikan diri dua kali – pertama, penyesuaian terhadap kerajaan2 Eropa di abad 19 dan 20an; dan penyesuaian kedua kedalam iman bangsa Arab. Bisa dibilang bahwa saya berada diantara orang2 yang dikolonisasi dua kali, disingkirkan keberadaan dirinya dua kali.
V.S. Naipaul, New York Review of Books (31 Januari 1991)

Bukalah buku mana saja tentang Islam dan anda akan temukan pujian2 terhadap bangsa Arab yg dalam periode sangat singkat mampu menaklukkan setengah dari dunia beradab -- [anda akan baca cerita
tentang] sebuah bangsa yg mendirikan sebuah imperialisme yang menggelar dari pinggiran sungai Indus di timur hingga pantai Atlantis di daerah barat. Buku2 itu juga akan menceritakan dgn nada positif ttg jaman saat Muslim berkuasa atas wilayah luas yg mengandung budaya2 dan bangsa2 yang berbeda2. TAPI kalau seorang sejarawan Inggris menulis pujian2 yg serupa ttg kejayaan imperialisme Inggris, ia akan langsung dikecam. Aneh sekali bahwa kolonialisme dan imperialisme EROPA (kata2 yg kini menganut konotasi negatif) dituding sbg sumber segala penderitaan didunia dan oleh orang Eropa sendiri dianggap sbg periode memalukan, sementara Imperialisme ARAB dianggap Muslim sebagai sesuatu yang patut dibanggakan dan harus dikagumi.

Sementara orang2 Eropa terus menerus dikutuk karena dianggap telah memaksakan nilai2, budaya dan bahasa mereka pada negara2 dunia ketiga, tak seorangpun berani menunjuk kepada penjajahan Islam atas tanah2 dan peradaban2 yang maju dan berumur tua yg sampai sekarangpun masih berlangsung. Kolonialisme Islam secara permanen menginjak-nginjak dan menghancurkan banyak budaya. Meminjam perkataan Michael Cook [1], “Penaklukan2 Arab secara singkat menghancurkan satu kerajaan, dan secara permanen merenggut wilayah2 luas kerajaan lain. Bagi kerajaan2 tsb, ini adalah malapetaka yang mengerikan”; atau seperti dikatakan Cook dan Crone, “penaklukan2 itu dicapai dengan ‘ongkos budaya yang luar biasa mahal.'” [2]

Cook dan Crone menjelaskan proses Islamisasi ini dalam buku yang sudah kami singgung sebelumnya. Speros Vryonis dalam karyanya “The Decline of Medieval Hellenism in Asia Minor and the Process of Islamization from the Eleventh through the Fifteenth Century” (Kemerosotan Hellenisme Abad di Abad Pertengahan di Asia Kecil dan Proses Islamisasi dari Abad 11 hingga Abad 15) menjelaskan bagaimana gaya hidup Kristen dan Hellenis, dengan biara2 dan keuskupan yang luar biasa, dihancurkan oleh serangan Turki tahun 1060 dan 1070 – banyak orang melarikan diri, tertangkap, dibantai atau diperbudak. Vryonis menjelaskan kemerosotan yang sama di abad berikutnya dengan kehancuran Kekaisaran Byzantine.[3]

Sangat ironis dan menyedihkan bahwa di Aljazair contohnya, semua pendidikan dalam bahasa Perancis dihentikan karena bahasa Perancis dianggap sebagai simbol kolonialisme Perancis, sebagai sebuah kehadiran kekuasaan yang tidak sah. Ini menyedihkan karena ini
menghalangi sebuah bangsa mengenali warisan budaya yang sangat kaya akan peradaban. Ironisnya, bahasa Arab [yg sekarang mereka gunakan] juga merupakan bahasa yang dipaksakan kepada mereka. Imperialisme Arab tidak hanya memaksakan sebuah bahasa yang sama sekali baru pada orang2 yang bahasa aslinya adalah Berber dan bukan Arab, tapi bahkan orang2 Berber itu sendiri kemudian dibuat percaya bahwa mereka secara etnis termasuk orang Arab – padahal bukan (!) – dan otak mereka dicuci utk menerima sebuah agama yang sepenuhnya asing dari tradisi religius mereka sendiri. Menyembah kearah Arabia lima kali sehari pastilah sebuah perlambang mutakhir dari imperialisme budaya ini.

Muslim benci orang yang beragama lain dan menganggap mereka sebagai akibat nilai2 Barat yang asing, PADAHAL kalau mereka berkaca pada diri mereka sendiri, mereka bisa melihat bahwa mereka sebenarnya adalah ‘pengkhianat’ budaya nenek moyang mereka sendiri. Di India, contohnya, Muslim2 sekarang ini bernenek moyang Hindu; di Iran, mualaf2 Muslim berasal dari nenek moyang Zoroastrian; dan di Syria, mualaf2 berasal dari Kristen. Sejumlah besar Muslim diseluruh dunia telah terbujuk untuk menerima sebuah agama yang aslinya berasal dari tempat yang ribuan kilometer jauhnya, mereka membaca sebuah kitab dalam bahasa yang mereka sendiri tidak mengerti, bahasa yang mati-matian mereka pelajari (baca tulis) sebelum mereka mempelajari lebih dalam bahasa nasional atau bahasa ibu mereka sendiri. Muslim lebih banyak belajar sejarah orang2 Islam yg secara geografis dan etnis berada jauh dari mereka, dibanding dng sejarah pra-Islam negara mereka sendiri.

Konsekwensi buruk lain dari berkuasanya Islam ini adalah bahwa islam memotong habis budaya warisan NON-MUSLIM, budaya asli pribumi, yang sebenarnya sangat kaya. Seperti digambarkan V.S. Naipaul selama perjalanannya di Pakistan.

Jaman sebelum Islam adalah jaman kegelapan: itulah ajaran teologi Muslim. Sejarah sampai harus mendukung teologi ini. Kota terpendam Mohenjodaro di lembang sungai Indus – yg diserang oleh Bangsa Arya 1500 SM – adalah salah satu kejayaan arkeologi Pakistan dan dunia. Penggalian kota ini sekarang dirusak oleh pengairan dan penggaraman, pengajuan dana ke badan2 dunia sedang diajukan utk mencegah hal ini. Sebuah surat pembaca di harian Dawn Pakistan menawarkan sebuah ide utk situs penggalian itu. Ayat Quran, tulisnya, harus diukir dan dipasang di Mohenjodaro pada ‘tempat2 yang pantas’: “Katakanlah (pada mereka, Hai Muhammad): berkelilinglah dan lihat akibat bagi mereka yang bersalah… Katakanlah (Hai Muhammad, pada orang2 kafir): berkelilinglah dan lihat akibat bagi orang2 sebelum kamu. Kebanyakan mereka adalah penyembah berhala”

Naipaul lalu mengutip karya Sir Muhammad Iqbal (1875-1938), seorang penyair Muslim asal India yang sering dianggap sebagai peletak dasar spiritual negara Pakistan, seorang penyair yang secara tidak resmi dianggap sebagai “Penyair Bangsa”. Naipaul menulis:

Adalah harapan sang penyair ‘Iqbal’ bahwa sebuah negara bagian India yg Muslim bisa menyingkirkan Islam dari “stempel bahwa imperialisme Arab dipaksakan kpd rakyat.” Ternyata kini nampak bahwa orang2 Arab adalah imperialis yang paling sukses sepanjang masa; karena penaklukan oleh mereka (dan menjadi mirip mereka) menjadi kebanggaan dan keinginan setiap orang beriman (Muslim), agar bisa selamat di dunia akhirat.
Sejarah, dalam buku-buku sekolah di Pakistan yang saya baca, dimulai dengan Arab dan Islam. Dalam teks2 yang mudah, kisah sang Nabi, ke-empat Kalif dan mungkin puteri sang Nabi, diikuti tanpa jedah, dengan puisi2 Iqbal, Ali Jinnah (bapak pendiri Pakistan) dan kisah dua atau tiga orang tentara ‘syuhada” yang mati dalam perang2 suci melawan India ditahun 1965 dan 1971
.


Kebencian akan jaman penyembah berhala ini membatasi pengetahuan sejarah Muslim dan menyempitkan cakrawala intelektual mereka. Sains ttg Egyptologi, Assiriology dan Iranology hanya secara eksklusif disukai akademisi2 Eropa serta Amerika. Karena dedikasi arkeolog2 Barat inilah
umat manusia dapat memulihkan dan mendapatkan kembali bagian dari masa lalunya yang cemerlang.

Perlawanan terhadap Imperialisme Arab dan Islam

Orang2 Arab dijaman pra-Islam tidak punya waktu utk agama:[4] “Agama apapun umumnya hanya mendapat tempat yg kecil dalam kehidupan orang Arab, yang lebih banyak terpusatkan pada hal2 duniawi seperti peperangan, arak, permainan dan percintaan.” Watt mengkarakterisasinya sbg Tribal humanism). Jadi tidak heran bahwa Muslim2 awal sebenarnya hanya ‘diluarnya’ saja Muslim tapi dalam hatinya mereka tidak berpihak pada dogma dan moral Islam dan tidak paham akan maksud Muhammad dengan “menyerahkan diri pada Tuhan” [5]. Para penghuni padang pasir, yaitu kaum Arab Beduin, malah kurang tertarik pada kepercayaan baru ini. Beberapa diantaranya, dari suku Ukl dan Urayna misalnya, memang menerima Islam, tapi merasa tidak cocok hidup di kota dan kemudian meminta Muhammad agar mereka boleh kembali ke habitat mereka semula. Muhammad mengirim mereka kepada para gembala dan membolehkan mereka keluar Medinah; tapi disana mereka membunuh sang gembala dan kembali jadi kafir. Sang Nabi menanggapi dengan “pembalasan yg sangat keji”.

Kebanyakan orang Beduin tidak tertarik sama sekali pada Islam, dan akibatnya mereka dibenci oleh orang2 Arab kota yang telah menerima Islam. Seperti Goldziher paparkan, “Ada banyak sekali kisah2 yg diambil dari kejadian nyata, yang menjelaskan ketidakpedulian orang2 padang pasir Arab mengenai sholat, elemen2 ritual muslim dan bahkan ketidakpedulian mereka terhdp Quran dan ketidaktahuan mereka akan bagian2 yg paling penting (Quran). Orang Arab lebih suka mendengar kisah2 atau lagu2 tentang pahlawan2 paganisme dibanding lantunan suci dari Quran.” [6]

Orang2 Arab sendiri jengkel dgn larangan2 Islam akan makanan dan minuman tertentu. Banyak yang menolak larangan minuman arak meski diancam dengan hukuman. Goldziher menjelaskan situasi seperti ini sbb:

Tradisi2 dari hari2 awal Islam menunjukkan bahwa diantara orang2 dgn karakter Arab asli ada orang2 yang menghargai kebebasan, dimana sistem yang baru (yi Islam) yang mengutuk serta menghukum kenikmatan bebas begitu menjijikan bagi mereka hingga mereka lebih suka meninggalkan masyarakat mereka, saat (masy mereka) memaksakan Din (agama, yi Islam), ketimbang kehilangan kebebasan mereka. Orang yang memilih bebas itu diantaranya adalah Rabi’a b. Umayya b. Khalaf, orang yg dihormati, yg terkenal karena kedermawanannya. Dia tidak setuju dgn larangan minum anggur
ala Islam, dan malah meminum anggur saat Ramadhan. Karenanya Kalif Umar melarang dia masuk Medinah, ini membuatnya begitu benci akan islam hingga tidak tidak kepingin kembali ke Medinah meski Umar telah meninggal, dan meski dia percaya bahwa Usman (Kalif ketiga) akan lebih longgar terhadap dirinya. Dia lebih suka pindah kekerajaan Kristen dan menjadi seorang Kristen.[7]



RASISME ARAB

Mitos bahwa islam tidak rasis adalah ciptaan Barat sendiri karena hal itu menolong membantu tujuan2 Barat saat itu. Bukan utk pertama kalinya, sebuah islam yang penuh mitos dimanfaatkan utk mengutuk kegagalan2 Barat.[8]

Arab Versus Arab
Salah satu alasan fundamental timbulnya perioda2 revolusi dalam sejarah Islam adalah, seperti yang dipaparkan oleh Goldziher, karena “meningkatnya arogansi dan kebanggaan rasial” orang2 Arab. Islam mengajarkan kesamaan derajat diantara 'orang2 beriman,' maksudnya tentu Muslim (non-Muslim masalahnya lain lagi), dihadapan Tuhan. Sang Nabi sendiri jungkir balik menanamkan hal ini kedalam benak suku2 Arab bahwa Islam dan bukan suku yg menjadi unsur pemersatu masyarakat islam. Tapi, persaingan berdasarkan kesukuan terus berlanjut hingga ke jaman Abbasid, pertengkaran dan kompetisi terus menghantui lama setelah Islam mengutuknya. Bermacam2 suku itu tidak mampu melenyapkan perbedaan2 diantara mereka dan harus dikelompokkan secara terpisah, baik dalam peperangan, penginapan sampai ke mesjid.

Persaingan paling hebat dan berdarah adalah antara Arab2 dari bagian selatan dan bagian utara. Setelah Arab menaklukan Andalusia, “suku2 ini harus tinggal dibagian terpisah negeri tsb dalam usaha mencegah perang saudara, walau akhirnya perang saudara tetap saja terjadi.” Mustafa b. Kamal al-Din al-Siddiqi menulis tahun 1137AH: “Kebencian fanatik antara suku Qaysite (Arab Utara) dan Yaman (Arab Selatan) terus berlanjut hingga hari ini diantara orang2 Arab, bahkan sekarang peperangan diantara mereka belum lagi berakhir, meski telah diketahui bahwa tindakan2 demikian dilarang oleh Nabi dan dianggap kelakuan jaman Jahiliyah.”[10]

Bahkan diantara suku2 yang termasuk kelompok yang sama, masing-masing suku menganggap diri mereka jauh lebih hebat dari suku lain hingga mereka menolak perkawinan antar suku tsb.

Hadis2 palsu dikarang dan dikatakan berasal dari mulut sang Nabi dan ‘dimanfaatkan demi keuntungan persaingan rasial ini’. Dengan semakin banyaknya kawasan yg ditaklukkan Arab, penunjukan jabatan penting tidak memuaskan suku2 yang saling bersaing ini dan mengakibatkan berlanjutnya perang saudara. Seperti kata Goldziher, persaingan rasial dlm dua abad pertama Islam menunjukkan kurang suksesnya ajaran Muslim akan kesetaraan diantara orang2 Arab sendiri.


ARAB VERSUS NON-ARAB

... ajaran muslim akan kesetaraan derajad setiap manusia didalam Islam tetap menjadi hal yang mati utk waktu lama, tidak pernah terealisasikan dalam benak orang Arab dan secara bulat ditolak dalam sikap mereka sehari2. [Goldziher hal.98]

Setelah penaklukan2 spektakular mereka, orang Arab tidak sudi mengakui kesetaraan mualaf non-Arab didalam islam, meski doktrin Islam secara jelas melarang diskriminasi antar orang Islam sendiri. Tapi bagi orang Arab yang ada hanyalah sang penakluk dan yang ditaklukkan dan tak pelak lagi pihak Arab tidak mau melepaskan hak istimewa ini.

“Muslim2 non-Arab dianggap lebih rendah dan dijadikan target berbagai ketimpangan pajak, sosial, politik, militer dll.” 11 Orang2 Arab memerintah seakan “Aristokrat Penakluk Bangsa lain,” dimana istilah “Arab Asli” hanya berlaku bagi orang yang murni berdarah Arab, baik dari sisi ayah maupun dari sisi ibu. Orang2 Arab mempunyai banyak selir dari orang2 yang mereka taklukkan, tapi anak2 dari wanita budak ini didiskriminasi dan tidak dianggap sebagai ‘Arab Murni’.

Orang2 Arab mempraktekkan segala macam tindakan apartheid terhadap muslim non-Arab: orang Arab memandang Muslim non-Arab sebagai orang asing, setinggi apapun kelas atau derajat non-Arab tsb,
mereka (non-Arab) diperlakukan dengan cemooh dan jijik. Mereka (Muslim non-Arab) harus berperang dg berjalan kaki dan dicabut hak2 harta rampasan perangnya. Mereka tidak boleh berjalan disisi yang sama dengan orang Arab asli atau duduk sama tinggi. Hampir disetiap tempat ada kemah dan mesjid terpisah yg dibangun khusus utk memisahkan arab dengan non-Arab. Perkawinan diantara mereka (lelaki) dengan Arab murni (wanita) dianggap sebagai tindakan kriminal.”[12]


PERBUDAKAN

Bagi muslim dunia beradab adalah dunia mereka sendiri. Hanya mereka yang memiliki pencerahan dan iman sejati; dunia diluar itu dihuni oleh kafir dan orang2 barbar. Beberapa diantaranya diakui sebagai pengikut sebentuk agama dan setitik peradaban. Sisanya – politeis dan penyembah berhala – dipandang sebagai sumber budak belaka.[13]

Quran mengakui lembaga perbudakan dan menganggapnya sebagai ketidaksetaraan penting antara sang Tuan dan Budaknya.

Surat 16.71: Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah;

Surat 30.28 Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal.)


Selir diperbolehkan :

4.3 Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

23.6 kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

33.50 Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

33.51 Kamu boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

33.52 Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.


Quran juga menganjurkan berbuat baik terhadap budak dan membebaskan sang budak dianggap sebagai tindakan saleh, tapi tidak melarang perbudakan itu sendiri. Sang Nabi sendiri mengambil banyak tawanan perang sebagai budak dalam peperangannya melawan suku2 Arab lain; mereka yang tidak ditebus pihak lawan dijadikan budak.

Dibawah Islam, budak tidak punya hak apapun, mereka dianggap ‘benda’ belaka, barang milik Tuannya yang boleh dibuang semaunya – dijual, diberikan dll. Budak2 tidak bisa menjadi pelindung atau memberi kesaksian dan yang mereka dapatkan (dari hasil kerja mereka) otomatis jadi milik Tuannya. Budak tidak bisa jadi saksi didepan pengadilan. Bahkan dgn masuk Islampun tidak otomatis membebaskannya dari perbudakan, kecuali sang Tuan membebaskannya. Tapi tidak ada kewajiban bagi sang Tuan utk membebaskannya, hanya anjuran belaka.

Pada tahun2 awal penjajahan Arab, sejumlah besar budak didapatkan lewat tawanan perang; “Pemakaian tenaga gratis ini membuat arab bisa hidup ditanah taklukan sebagai kelas tuan tanah dan mengeksploitasi potensi2 ekonomi dari tanah yang mereka jajah tsb.”[14] Tapi ketika orang2 yang mereka taklukkan mulai diberikan status ‘dilindungi’ (karena masuk Islam), sumber2 budak ini mulai habis dan orang Arab mulai melirik tanah yang lebih jauh lagi bagi suplai budak mereka. Negara2 taklukan secara berkala dipaksa menyerahkan ratusan lelaki dan wanita budak sebagai bagian dari upeti.

Bangsa Arab sangat terlibat dalam jaringan besar perdagangan budak –
mereka menyediakan suplai bagi pasar budak di Cina, India dan Asia Tenggara. Ada budak2 Turki dari Asia Tengah, budak dari kerajaan Byzantin, budak kulit putih dari Eropa Timur dan Tengah, dan budak kulit hitam dari Afrika Barat dan Timur. Setiap kota dlm negara Islam punya pasar budak masing-masing.

Sejak saat penangkapan hingga penjualannya, ratusan budak dipaksa mengalami kondisi tidak manusiawi dan direndahkan, ratusan mati karena kelelahan dan penyakit. Yang ‘beruntung’ hidup menjadi pelayan2 domestik, sementara yang ‘tidak beruntung’ dieksploitasi utk bekerja secara maksimal melewati batas kemampuan manusiawi di tambang garam, di rawa-rawa, di perkebunan gula dan kapas.

Meski dilarang Islam, budak wanita tetap saja disewakan sebagai pelacur. Jika tidak, tentunya, mereka bisa dibuang begitu saja begitu fungsi seksual mereka sudah tidak diperlukan lagi. Meminjam perkataan Stanley Lane-Pool: [15]

Kondisi budak perempuan di Timur sungguh menyedihkan. Ia (budak perempuan) sepenuhnya berada dalam tangan sang Tuan, yang bisa melakukan apapun sesukanya dan sahabat2nya; bagi Muslim tidaklah dilarang utk memiliki selir. Sang budak wanita kulit putih sepenuhnya digunakan bagi kepuasan seksual sang Tuan dan begitu sang Tuan bosan, ia akan dijual dan berpindah tangan dari satu tuan ke tuan lainnya, sebagai barang bekas. Kondisinya akan sedikit membaik jika dia mengandung anak Tuannya; tapi meski demikian sang Tuan tetap bebas utk tidak mengakui anak tersebut sebagai anaknya, meski otomatis anak tersebut menjadi barang miliknya, tapi sang Tuan jarang mengakuinya sebagai anaknya. Walau sang Nabi baik hati terhdp budak2nya, ia tetap memerintahkan pengikutnya utk melakukan kebrutalan tidak terhingga atas bangsa2 yg mereka taklukkan dlm soal perbudakan. Tentara2 Muslim dibolehkan melakukan apa saja yang dia suka terhadap wanita ‘kafir’ yang dia dapatkan dalam kemenangan2 perang. Jika kita bayangkan ribuan wanita, ibu dan anak2 perempuan yang sangat menderita karena dipermalukan dan tidak dipedulikan harga diri mereka hanya karena IJIN ILAHI ini, kita tidak bisa menemukan kata2 yang tepat utk mengungkapkan kengerian dan kekejian yg dilakukan Muslim. Dan tradisi barbar ini meninggalkan bekas tidak hanya
pada jiwa Muslim tapi pada seluruh karakter kehidupan di Timur.


Dalam setiap pembahasan mengenai nasib wanita dlm Islam, ada kecenderungan utk melupakan nasib, perlakuan, kondisi dan pembatasan hak2 yang dialami oleh para budak wanita ini.


PRASANGKA ANTI-KULIT HITAM

Saya ingin tahu apa yang akan dipikirkan orang2 Rusia jika mereka tahu bahwa penulis besar mereka, Pushkin, punya darah Ethiopia. Juga apa tanggapan orang Arab terhdp para penyair kulit hitam mereka,
khususnya dari Ethiopia, yang dikenal sebagai “Burung2 Gagak dari Arab”? Selama jaman pra-Islam dan awal Islam terdapat beberapa penyair Arab yang berdarah murni Afrika ataupun campuran Arab Afrika. Jelas dari puisi2 mereka bahwa mereka menderita diskriminasi rasial dan bahkan sampai mengembangkan sikap benci diri sendiri ataupun merendahkan diri sendiri, spt “Aku hitam tapi jiwaku putih ... ,” atau “Para wanita akan mencintaiku kalau saja aku putih.”

Sebut saja Suhaym (wafat 660M), Nusayb ibn Rabah (w 726), penyair2 yang sejaman dengan Nusayb, al-Hayqutan dan Abu Dulama (w 776) adalah “burung2 bagak Arab” terkenal. Budak2 kulit hitam bahkan lebih rendah statushnya dlm masyarakat Muslim awal. Dalam perkataan Lewis, “Di jaman Arab Kuno, seperti juga di jaman dulu, rasisme – dalam pengertian modern sekarang – tidak dikenal. Islam mengutuk kecenderungan universal terhadap arogansi etnis dan sosial serta menyerukan kesamaan bagi semua Muslim dihadapan Tuhan. Tapi, dari literatur mereka, jelas bahwa sebuah pola kebencian dan diskriminasi rasial telah muncul dlm dunia islam.” [16]


ABOLISI / PENGHAPUSAN PERBUDAKAN

Perbudakan dlm dunia Islam berlanjut, hebatnya, hingga ke abad 20. Menurut Brunschvig,[17] “Budak kulit hitam, baik lelaki maupun perempuan, terus diimpor ke Maroko sampai abad 20, dengan tingkat kerahasiaan tinggi karena perdagangan budak dari Timbuktu dan penjualan budak secara terbuka sudah dilarang dan tidak memungkinkan.”

Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa perbudakan masih ada di Arab Saudi dan Yaman hingga tahun 1950. Perbudakan begitu dalam berakar dinegara2 ini hingga pembebasan budak adalah sebuah proses yang sangat lamban. Hanya karena tekanan internasional sajalah proses ini terpaksa dimulai. Islam, seperti yg ditunjukkan Brunschvig, tidak
pernah menganggap abolisi perbudakan sebagai sebuah doktrin; dan “fakta bahwa dalam Quran perbudakan pada prinsipnya adalah sah, mendukung teologi mereka. Penghapusan perbudakan secara total bahkan dianggap sbg bid'ah, karena bertentangan dgn apa yang dituliskan dalam kitab suci mereka dan [bertentangan] dgn contoh tauladan Muslim2 pertama.”

Baru baru ini, buruh2 dari Asia Tenggara yang dipekerjakan sebagai pembantu di Arab dan Timur Ttengah, atau Arab Saudi diperlakukan bak layaknya budak – paspor mereka diambil, mereka dilarang keluar rumah (bahkan dikurung didalam kamar mereka). Menurut sebuah laporan dari majalah Perancis L Vie (No.2562, Okt 1994) sebanyak 45.000 orang Afrika dalam setahun diculik dan dijadikan budak – sbg pembantu dinegara2 Teluk dan Timur Tengah.


REAKSI ANTI-ARAB

Shu’ubiya

Nama ini diambil dari Surat 49.13 yang mengajarkan kesetaraan diantara semua MUSLIM. Shu’ubiya adalah sebuah kelompok yang memprotes arogansi Arab, bahkan mereka meninggikan bangsa non-Arab diatas bangsa Arab yang mereka benci dan mereka anggap sbg kaum barbar padang pasir. Kelompok ini mencapai puncak pengaruhnya selama abad kedua dan ketiga Hijriah. Dibawah Kalifah Abbasid, kelompok Persia tertentu menuntut dikembalikannya kebiasaan2 Zoroastrian – sebuah pertanda jelas bahwa Islam sangatlah tidak berarti bagi lingkaran orang Persia kelas atas dan berpendidikan. Contoh, Jendral di jaman kalifah Abbasid al-Mutasim (833), Khaydhar b. Kawus juga dikenal sebagai Afshin, sangat aktif dan sukses secara militer dalam perang2 agama melawan pihak Kristen dan ‘kafir2’ macam Babak – pendeknya, dia adalah pahlawan Islam yang pertama-tama. Tapi jelas sekali bahwa dia itu:

sama sekali tidak bersifat Muslim karena ia memberlakukan dgn keji dua propagandis islam yang ingin mengubah kuil kaum pagan menjadi mesjid; ia mengejek hukum Islam dan melahap daging dari binatang yang mati dicekik dan juga menganjurkan orang lain memakan daging yang sama seraya berkata bahwa daging demikian lebih segar daripada yang didapat dengan cara ritual Islam. Ia mengejek tradisi sunat dan tradisi2 lainnya serta tidak peduli akan itu semua. Dia punya mimpi utk menghidupkan kembali kerajaan Persia dan “agama Putih”, dan menghina orang2 Arab, Maghribi dan Muslim2 Turki.[18]

Seperti kata Goldziher, Afshin adalah contoh khas orang non-arab yg bergabung menjadi Muslim hanya karena keuntungan materi semata, sementara mereka tetap membenci Arab karena telah menghancurkan kemerdekaan bangsa Persia dan tradisi2 nenek moyang mereka, dan mereka punya mimpi utk membalas orang Arab atas apa yang telah mereka derita selama berabad-abad.[19]

Ada banyak cara utk melawan kebencian orang Arab terhadap kelompok2 non-Arab. Taktik defensif ini sangat penting bagi sejarah dan juga sangat penting bagi para pemikir jaman modern, khususnya seperti yang akan kita lihat nanti pada kaum cendikiawan Berber, yg melihatnya sebagai satu jalan utk meloloskan diri dari imperialisme Arab dan bahkan lolos dari Islam itu sendiri utk selama2nya !

Setiap kelompok yang membenci Arab sama-sama mengingat dan menunjuk pada masa lalu pra-Islam mereka yang jaya. Orang Persia jelas tidak perlu membesar-besarkan atau mengarang masa lalu mereka utk menunjukkan kecanggihan peradaban mereka. Orang Nabatean juga melakukan hal yang sama. Orang Nabatean adalah orang2 Arab kuno yang disebut2 orang diawal abad ke-7SM. Ahli Kimia Nabatean, Ibn Wahshiyya [20] “tergerak oleh kebencian yang mendalam akan orang Arab dan kebencian mereka [Arab] terhadap saudara2 sebangsanya, memutuskan utk menerjemahkan dan memudahkan akses kepada sisa2 sastra Babilon Kuno yang mereka pelihara hanya untuk menunjukkan bahwa nenek moyang mereka, yang begitu dibenci orang Arab, punya peradaban yang jauh lebih tinggi dan ilmu pengetahuan yg jauh lebih maju.” Terjemahan yg disebut “Agrikultur Nabatean”, sekarang dianggap sebagai pemalsuan dari Ibn Wahshiyya. Hal yang sama juga terjadi pada bangsa Koptik di Mesir yang menulis buku-buku “tentang jasa-jasa bangsa Mesir kuno dan sangat negatif terhdp orang2 Arab.”

Secara umum prestasi non-Arab disegala bidang secara konstan ditegaskan : “Kaum Shu’ubiya tidak lupa menyebutkan karya seni dan sains yg disumbangkan orang2 non-Arab kpd umat manusia: filosofi, astronomi dan bordiran2 sutra yang dipraktekkan oleh orang non-arab saat orang2 Arab jaman itu masih diselimuti barbarisme. Segala sesuatu yang bisa dibanggakan Arab saat itu hanyalah syair2 mereka; tapi disinipun mereka dikalahkan oleh bangsa lain, terutama Yunani.” Permainan-permainan yang diciptakan oleh orang non-Arab, catur dan nard (permainan Persia tradisional macam catur), juga disebut-sebut. Apa yang dimiliki orang Arab utk melawan kehebatan2 perabadan itu agar membuat peradaban Arab nampak terdengar hebat juga? “Menghadapi semua ini mereka (Muslim) hanya bak serigala2 yg jago berteriak; binatang2 pencari mangsa yg melahap satu sama lain dan saling bertempur tanpa henti.”[21]


Khurrami dan Revolusi Babak[22]

Mungkin pemberontakan kaum Khurrami membuat penguasa Abbasid menjadi lebih berhati-hati dibanding pemberontakan lainnya. Kaum Khurrami mewakili pergerakan religius dan sosial yang berasal dari Mazdakisme dan menonjol diabad ke-8. Apapun sifat pergerakan ini di abad 8, ketika Babak Khurrami mengambil alih kepemimpinan di awal abad 9, dia mengubahnya menjadi sebuah gerakan anti-Arab, anti-kalifah dan sampai titik tertentu berubah menjadi revolusi anti-Muslim.
Rasa tidak suka terhadap penguasa Arab menjadi makin populer dan makin menambah jumlah pengikut di Azerbaijan, Tabarestan, Khorasan, Balkan, Isfahan, Qom dan Armenia. Babak sukses melawan kekuatan Abbasid selama hampir 20 tahun, berulang kali menang dlm peperangan yang dilakukan dijalan2 pegunungan yang sempit. Akhirnya Kalifah al-Mutasim menunjuk Jenderal al-Afshin (lihat sub bab sebelumnya) sebagai Komandan dan dalam dua tahun saja Babak bisa tertangkap. Tahun 838, Babak dipermalukan dimuka umum dan lalu dieksekusi dengan cara yang sangat keji atas perintah al-Mutasim.

Pergerakan Khurrami sepertinya akan berlanjut hingga abad 9 dan ada bukti gerakan Babak ini berubah menjadi sebuah gerakan kultus hingga akhir abad 11.


KEJAYAAN BUDAYA2 PRA-ISLAM

Baru pada abad 19 sajalah, sekali lagi sebuah negara Muslim menunjukkan ketertarikannya pada masa lalu Pra-Islamnya. Ditahun 1868, Sheikh Rifa al-Tahtawi, sejarawan, penyair, sastrawan, menerbitkan sebuah buku sejarah Mesir dengan penekanan pada masa lalu jaman Firaun. Sebelumnya, sejarah Mesir (yg diajarkan secara resmi-red) hanya dimulai sejak penaklukan Arab saja. Al-Tahtawi mencari identitas Mesir dalam hubungan nasional dan patriotis – bukan hubungan dengan Islam, atau Pan-arabisme. Mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, seorang warga mencoba melihat negaranya sebagai “identitas yg hidup dan terus menerus mengalami beberapa perubahan bahasa, agama dan peradaban.”[23]

Alasan kenapa prestasi Sheikh Rifa ini begitu penting adalah bahwa utk pertama kalinya sejak jaman Shu’ubiyya, seseorang berani menantang dogma Muslim resmi, dogma yang mengatakan jaman pra-Islam adalah jaman barbarisme dan kebodohan dan tidak pantas ditulis dalam sejarah apalagi diingat-ingat. Dia berani memuji-muji jaman berhala Mesir; dia berani memberi suara akan pemikiran bahwa ada alternatif selain peradaban Islam, bahwa sebuah peradaban bisa dan memang mengambil bentuknya yang berbeda2. Jika proses pendidikan sejarah dilanjutkan dinegara2 muslim lainnya – lagipula Irak dan Iran juga bisa membanggakan masa lalu pra-Islam mereka yang luarbiasa – ini akan berujung pada perkembangan hidup intelektual disana yg memang perlu, toleransi yang lebih dalam bagi gaya hidup lain, perkembangan akan pengetahuan sejarah yang sampai sekarang masih dibatasi dan sempit.

Pengetahuan lebih besar akan masa lalu pra-Islam akan berakibat berkurangnya rasa fanatisme. Jika Jaman Firaun, dan belakangan masa lalu Kristen Koptik, dipandang sebagai sumber kebanggaan yang sejajar, maka Kristen Koptik sekarang bisa diterima sebagai bangsa Mesir yang setara, bukannya dianiaya sebagai minoritas ditanah nenek moyang mereka sendiri, seperti yang terjadi sekarang ini. Tidakkah kita akan mengenal identitas Aljazair yang sejati, tanya Slimane Zeghidour, jika kita mengenali masa lalu kita yang bermacam-macam dan mirip – seperti Berber, Romawi, Arab, Perancis? (Telerama 1, July 1992). Ide akan perubahan dan kontinuitas akan juga menjadi bagian dari kesadaran Muslim jika
masyarakat Muslim ingin maju – ini hanya bisa terjadi dengan mengenali masa2 pra-Islam, dan penilaian yang adil akan periode kolonialisme Eropa.

Pengabaian sengaja akan masa pra-Islam dgn pelan2 merusak persepsi orang2 didunia muslim. Seperti kata Naipaul;
“agama (Islam-red) menghapus masa lalu. Dan jika masa lalu dihilangkan seperti ini, bukan hanya gambaran sejarah saja yang dihilangkan. Tingkah laku manusia, dan hal2 ideal akan perbuatan mulia juga akan menghilang.” Segala sesuatu dipandang lewat perspektif yg di-distorsi oleh “satu-satunya kepercayaan sejati”. Perbuatan manusia dinilai berdasarkan apakah perbuatan itu berarti bagi penegakan ‘agama sejati’ ini – kebenaran, keberanian dan kepahlawanan, hanya jadi milik ‘pihak agama sejati’. Jaman sebelum kedatangan ‘agama sejati’ juga dinilai oleh satu sudut pandang saja, “dan apa yang berada diluar 'agama sejati' itu dinilai dengan sudut lain. 'Agama sejati' itu mengubah nilai2, persepsi ttg perbuatan baik & penilaian2 manusia” [New York Review of Books, 31 Jan 1991].
Fakta bahwa ‘agama sejati’ ini diterapkan dengan keserakahan dan kekejaman dilewatkan begitu saja, dimaafkan atau dibenarkan dgn berbagai alasan – bahkan kekejaman yg dilakukan atas nama agama bahkan dianjurkan atau dititahkan oleh ridho Illahi.

Pembagian dunia secara abnormal kedalam pihak ‘beriman/Muslim’ dan pihak 'tidak beriman'/‘kafir’ punya efek menghancurkan sudut pandang kaum intelektual Arab, bahkan bagi intelektual Arab sekular sekalipun, yang seperti bisa kita lihat, memindahkan semua tanggung jawab akan keadaan buruk/memilukan di Timur Tengah kepada dunia Barat.


IMPERIALISME EROPA

Benar bahwa orang Perancis menjajah Aljazair, tapi begitu juga Arab dan Turki sebelumnya. Benar bahwa mereka mengkolonisasi negeri itu dan mencamplok banyak tanah negeri itu, tapi begitu juga dengan Arab dan Turki sebelumnya. Perancis tak pelak lagi bersalah, tapi apa kesalahan mereka lebih besar dari bangsa penjajah sebelumnya? Saat Perancis berkuasa terdapat kemiskinan dan penganiayaan, tapi apakah Aljazair di jaman Corsair ataukah Aljazair yang terbentuk tahun 1962, menjadi contoh bagi kebebasan, kemakmuran dan keadilan? Berapa banyak orang Aljazair sekarang malah rela berada dijaman kekuasaan Perancis lagi, seperti dulu. Kedouri, Times Literary Supplement, 10 Juli 1992

Aljazair sebelum datangnya Perancis tahun 1830 jelas masih ‘tidak beradab’ dipandang dalam definisi apapun.
Hugh Thomas[24]

Tidak ada orang India yang berpendidikan dan menghargai kebenaran sejarah akan menyangkal bahwa penjajahan Inggris, dengan segala kekurangannya, telah membawa kesejahteraan dan kebahagiaan pada penduduk India.
Nirad Chaudhuri[25]


Pemahaman mendalam tentang sejarah akan membawa kita kpd periode imperialisme Eropa. Mari kita lihat INDIA. Setelah hari pertama kemerdekaan di tahun 1947, sejarawan India menggelontorkan sejarah2 ‘nasionalis’ yang tidak mendapat tebusan dari pihak inggris. Belakangan, setiap derita, setiap kegagalan, setiap kekurangan dari negara baru ini di tahun 1960 dan 1970 selalu ditelusuri mundur dan mendapat kambing hitam pada periode ‘setan’ dari kehadiran Inggris, eksploitasi bangsa Inggris. Hampir 50 tahun kemudian, penilaian yang lebih ‘dewasa’ memberikan gambaran yang seimbang akan keuntungan2 yang inggris hadirkan juga di India. Dibawah ini adalah pendapat seorang humanis radikal, Tarkunde [26] yang merangkum kontribusi Inggris:

Ada sebuah mitos yang dikarang oleh kaum nasionalis India, bahwa sebelum penjajahan Inggris, India adalah sebuah negeri yang sangat maju secara budaya dan ekonomi dan bahwa degradasi moral dan materi disebabkan karena dominasi asing ini. Bahkan dengan melihat sekilas sejarah India saja orang akan mengerti bahwa tuduhan ini tidak punya dasar. Jika India dulunya sungguh negara maju, maka tidaklah akan mudah ditaklukan oleh segelintir pedagang yang datang dari jarak 9.000 km jauhnya dgn memakai kapal laut. India dulu adalah sebuah negeri diktator, tak ada keadilan dan berada diambang anarki, shg sebagian besar rakyat menyambut hukum dan disiplin yg ditegakkan pemerintah Inggris. Meski pemerintahan Inggris di India mulai tidak punya potensial yang progresif sekitar awal abad ini (abad 20), tapi pengaruh awalnya pada negeri ini sangatlah menguntungkan. Dgn memperkenalkan semangat kebebasan, rasionalisme dan harga diri oleh
cara pemikiran liberal Inggris, sebuah Renaissance (kebangunan kembali) yang meski muncul terlambat mulai berkembang di India dan mengambil bentuk sebuah pergerakan melawan takhyul2 religius dan menimbulkan akibat2 sosial seperti dihilangkannya tradisi Sati, legalisasi bagi janda utk menikah kembali, promosi pendidikan bagi wanita,
pencegahan pernikahan anak-anak dan perlawanan terhadap tradisi
kaum yg sebelumnya tidak bisa disentuh (kaum sudra/the untouchables).


Demokrasi parlementer, the rule of law dan sifat rule of law tsb adalah warisan dari Inggris. SEMENTARA orang2 Arab tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali pada sejarah dan budaya dari penduduk yang mereka jajah. Orang Inggris di India, secara perbandingan, mengembalikan pada seluruh orang india – baik itu muslim, Hindu, Sikh, Jain, Buddhis – budaya mereka sendiri dalam serangkaian karya2 intelektual yang monumental dan berdedikasi, karya2 yang menjadi penggerak kesaksian, intelektual, daya tarik sains, karya2 yang dalam banyak hal tidak pernah lolos dari riset modern. Imperialis seperti Lord Curzon menyelamatkan banyak monumen2 arsitektur India, termasuk Taj Mahal, dari kehancuran.

Saya mengambil India sebagai contoh, tapi seperti yg ditunjukkan Kedourie dll, kekuasaan imperial Eropa secara umum, dengan segala kekurangannya, pada akhirnya menguntungkan yang dijajah maupun sang penjajah. Meski ada beberapa kejadian yang tidak mengenakkan, kekuatan2 Eropa itu bertindak, secara keseluruhan, dgn cukup manusiawi.

Tentu saja, banyak penjajahan Eropa dicapai dengan mengalahkan Islam. Sifat dogma Muslim ini tidak sanggup mempersiapkan mereka akan kekalahan:

Sukses politik membenarkan Islam dan jejak sejarah dunia membuktikan kenyataan akan agama ini. Muslim berperang utk menyebarkan Islam dan menundukkan kafir; peperangan ini dianggap suci dan pahalanya bagi mereka yang mati adalah ‘bahagia abadi di surga’. Kepercayaan demikian, yang 100% didukung oleh sejarah islam sendiri, mengilhami para Muslim agar percaya diri, merasa kuat dan superior. Karenanya, serangkaian kekalahan panjang ditangan orang Kristen Eropa mengurangi ‘harga diri’ Muslim dan menghasilkan krisis moral dan intelektual yang lebih parah. Karena kekalahan militer bukan hanya berarti kalah dalam pengertian duniawi belaka tapi juga bisa berarti menyeret mereka kedalam keraguan akan kebenaran wahyunya yaitu Quran.[27]

Dalam konteks ini; tidak heran bahwa para intelektual Muslim, dengan satu atau dua orang perkecualian, telah menanamkan dihati banyak Muslim perasaan benci akan Barat, yang dalam jangka panjang akan berujung pada penghambatan penerimaan terhadap Barat ketika muncul kebutuhan utk reformasi, utk berubah, utk mengadopsi HAM, utk aturan perundangan – pendeknya, utk semua gagasan dan ide yang berasal dari Barat dan yang dianggap sebagai ciri2 dari Barat.

Sangat menyedihkan bahwa selama Perang Teluk hampir setiap cendekiawan Muslim & Arab bersimpati pada Saddam Hussein, hanya karena dia “berani berdiri tegak melawan Barat.” Ini mencerminkan kegagalan Islam dan perasaan ‘lebih rendah’ jika berhadapan dengan Barat. Dunia Muslim mestilah berada dalam keadaan sangat parah jika mereka menaruh harapan kpd seorang tiran seperti Saddam yang telah membunuh ribuan orang, bahkan bangsa mereka sendiri – Arab, Kurdi, Sunni, Shi'ah, Muslim dan Yahudi. Kaum intelektual Muslim itu2 juga sepertinya tidak mampu mengkritik diri dan masih saja membagi dunia kedalam ‘mereka’ dan ‘kita’, mengulang2 peristiwa Perang Salib berkali2. Setiap penderitaan, setiap kegagalan dalam dunia Muslim mestilah disalahkan kpd Barat, Israel atau konspirasi
Zionis.
Seperti ditunjukkan Kanan Makiya[28] dengan berani,

Kebiasaan lama memang susah mati. Kebiasaan2 yang paling susah mati terdpt diantara orang2 yang merasa wajib utk berbangga diri dan dgn identitas kolektif menyalahkan segala penderitaan mereka pada ‘orang lain’ – agen asing atau ‘budaya asing’ yang jauh lebih maju dan jauh lebih kuat dan dinamis. Hal paling menyedihkan adalah teriakan tak kenal lelah oleh kaum intellegentsia Arab yang berusaha utk menyalahkan setiap penderitaan Muslim kpd orang Barat atau Israel. Cara bicara mereka ini menjadi semakin jauh dari kenyataan, histeris dan berbalik memukul diri sendiri seiring dengan semakin menurunnya pengaruh dunia Arab secara politis dan kultural dijaman modern ini.

Cendekiawan Arab modern mempengaruhi orang2 Arab utk menegaskan diri mereka secara negatif: “Seseorang menjadi ‘orang’ karena siapa yang dia benci, bukan karena siapa yang dia cintai atau dengan siapa ia solider.” Tak pelak lagi, cendekiawan Arab dan pendengarnya yang mudah dipengaruhi mengagung-agungkan masa lalu mereka yang cuma mitos, kpd Jaman Keemasan ketika ‘seorang muslim bisa mengalahkan 100 kafir.’ ‘Bangsanya akan berjaya, negaranya akan berkuasa kalau tidak dihalangi mesin2 imperialis (atau Setan Besar, yang berarti kurang lebih sama).” Seperti dikatakan Kanan Makiya, kenapa tidak mencoba mengkritik diri sendiri sekali-kali, sebuah pendapat yang juga disampaikan oleh Fuad Zakariya: “Tugas budaya kita pada tahap ini adalah menyingkirkan keterbelakangan dan mengkritik diri sendiri sebelum kita mengkritik gambaran ttg diri kita oleh orang lain.”[29]


NASIONALISME BERBER

Masyarakat berbahasa Berber telah tinggal di Afrika Utara sejak jaman pra-sejarah. “Proto-Berber” tinggal di Afrika Utara sejak 7.000 SM. Berber sering kontak dengan kaum Carthage, tapi secara keseluruhan menjalankan hidup tanpa ketergantungan kpd pihak lain tapi terpecah2 kedalam persaingan antar suku. Kadang muncul pemimpin jenius yg berhasil menyatukan suku2 ini kedalam satu kerajaan yang mengagumkan. Masinissa (238 SM – 148 SM), putera Gaia, raja Numidian Timur--Massyles-- dibesarkan di Carthage dan bertempur dipihak mereka (Carthaginian) melawan Romawi. Tapi kemudian dia bergabung dengan pihak Romawi dan pasukannya menjadi penentu dalam kemenangan Romawi yang terkenal di Zama (202 SM). Masinissa setelah itu mampu membentuk sebuah kerajaan yang terdiri dari seluruh kaum Numidia, menyatukan semua suku berbahasa Berber.

Tujuan saya bukanlah memberikan kuliah ttg sejarah kaum Berber, tapi hanya utk menggambarkan adanya sebuah peradaban yang kaya dan kompleks, yang punya bahasa, tulisan dan sejarah sendiri sebelum kedatangan bangsa Arab. Penggambaran ini menunukkan adanya kaum intelektual Berber modern yang menolak Imperialisme Arab dan islam.

Setelah Masinissa, penerus kerajaan Romawi--Vandals dan Byzantine-- sama-sama tidak mampu menjinakkan kebebasan kaum Berber. Tidak juga ketika datang bangsa Arab utk pertama kali yg dengan segala cara mencoba menguasai bangsa ini. Okba b. Nafi, Jendral Muslim, mencoba dengan sia-sia utk menaklukkan suku2 hebat ini. Malah, salah satu pemimpin Berber, Kusaila, mampu mengejutkan mereka dan membunuh Okba berserta 300 pasukannya di Tahuda tahun 683. TAPI karena banyaknya suku2 Arab, kaum Berber secara perlahan2 memeluk Islam, bukan karena keyakinan religius yang dalam tapi hanya karena alasan materi belaka, dengan harapan bisa mendapatkan HARTA JARAHAN. Dengan pertolongan kaum Berber sajalah, yang beberapa diantaranya secara ironis dianggap sebagai “Pahlawan Arab” – seperti Tariq Ibn Zaid, bangsa Arab mulai menaklukkan Spanyol – dan Jendral2 Arab bisa sepenuhnya menaklukan Afrika Utara.

Tapi, seperti juga dengan Muslim non-Arab di Persia dan Syria, kaum Berber merasa tersinggung diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh orang Arab dan mengeluh bahwa mereka tidak mendapat harta jarahan yang sama. Tak pelak lagi, mereka berontak melawan orang Arab, yang tentu saja menderita kekalahan luar biasa. Abad 11 dan 12 bisa dilihat sebagai kebangkitan dua dinasti kaum Berber, Almoravid (1056-1147) dan Almohad (1130-1269), bahkan yang muncul belakangan, yaitu Marinid, juga masih keturunan dari kaum Berber.

Berber termasuk kedalam keluarga bahasa Afro-Asiatic (atau Semit-Hamitic). Saat ini, sekitar 200 sampai 300 dialek Berber dipakai oleh sekitar 12 juta orang di Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Chad, Burkina Faso, Nigeria, Mali dan Mauritania. Pemakaian dialek utamanya di Aljazair adalah Kabyle dan Shawia; Shluh, Tamazight dan Riff di Maroko; Tamahaq (Tamashek) atau Tuareg di beberapa negara Sahara. Prasasti tertua dalam bahasa Berber bertanggal sekitar 200 SM dan ditulis dalam dialek Tifinag, yang masih dipakai sekarang oleh orang2 Tamahaq.


Penolakan Kaum Berber modern atas Imperialisme Arab

Kateb Yacine (1929-1989), penulis Aljazair, adalah akademisi paling terkenal yang menolak imperialisme budaya dari Islam dan Arab, dan yang paling gigih membela pemakaian bahasa nenek moyangnya, Berber. Dia ragu akan Islam sejak mula; “Aku sekolah di sekolah Quran, tapi tidak suka agama islam, malah, aku jadi benci padanya,” kenang Yacine, “khususnya ketika mereka mulai memukul telapak kaki kami dgn penggaris utk memaksa kami megnhafal Quran, tanpa mengerti isinya. Di sekolah Perancis, guru kami malah seperti ibu kedua saya, saya punya guru yang begitu luarbiasa, yang tahu bagaimana menarik minat diri kami, dia membuat saya selalu ingin ke sekolah.” (Le Monde, 31 Okt 1989).

Dalam sebuah wawancara (sekarang wawancara ini jadi terkenal) dg radio Beur (radio khusus bagi keturunan Perancis Aljazair), Yacine membuat heboh dengan mengatakan bahwa dia bukan islam ataupun Arab, tapi orang Aljazair. Lalu tahun 1987, dalam sebuah wawancara utk journal harian ‘Awal’, Yacine mengungkapkan kebenciannya pada Islam:

“Orang Aljazair yang beragama islam arab adalah orang Aljazair yang melawan dirinya sendiri, yang asing bagi dirinya sendiri. Orang Aljazair yang dipaksa oleh senjata, karena Islam tidak disebarkan memakai gula-gula dan bunga-bunga, tapi dengan airmata dan darah. Islam berkembang dengan menghancurkan, dengan kekerasan, dengan kebencian, dengan cara mempermalukan orang dgn cara yg paling buruk. Kita bisa melihat hasilnya” [Le Monde, 20 Mei 1994, hal. 5].

Dia mengungkapkan harapan ‘Aljazair’ suatu hari akan disebut dengan nama sejatinya, Tamezgha, negeri dimana bahasa Berber (Tamazight) dipakai.

Terhadap ketiga agama monoteis, pandangannya semua diucapkan Yacine dg nada keras, menurutnya ketiga agama itu hanya menciptakan ketidakbahagiaan didunia: “Agama2 ini hanya menghasilkan kejahatan dan ketidakbahagiaan bagi bangsa kami. Sengsara Aljazair bermula dari sana. Kami telah bicara dengan orang Romawi dan Kristen. Sekarang mari kita bicara tentang hubungan Islam-Arab: sebuah perjuangan yang paling sulit, paling keras dan paling lama.”

Tepat sebelum meninggal tahun 1989, Yacine menulis sebuah kata pengantar utk sebuah buku lagu oleh penyanyi Berber, Ait Menguelet. Yacine memulai pengantarnya dengan sebuah referensi tentang Larangan konferensi tahun 1980 di Aljazair, konferensi mengenai syair2 Kabyle Kuno, sebuah larangan yang berujung pada kerusuhan karena Berber membela bahasa nenek moyang mereka. Kateb Yacine terus menulis keluhan bahwa seperti ketika mereka dipaksa belajar bahasa Perancis dengan harapan utk menciptakan Perancis-Aljazair, orang2 Aljazair juga dipaksa utk belajar bahasa Arab dan dilarang utk bicara memakai bahasa ibu mereka, Tamazight atau Berber: “Aljazair adalah sebuah negeri yang ditaklukkan oleh mitos bangsa Arab, karena dengan alasan Arabisasi sajalah bahasa Tamazight dianiaya. Di Aljazair dan diseluruh dunia, banyak orang percaya bahwa bahasa asli Aljazair adalah bahasa Arab.” Tapi Bahasa Tamazight-lah sebenarnya bahasa asli Aljazair, dan bahasa ini masih ada meski berabad-abad ditekan dan didominasi bahasa Arab.

Perjuangan bersenjata kami adalah utk mengakhiri mitos Perancis-Aljazair, tapi kami terbenam dalam kekuatan yang bahkan lebih menghancurkan lagi yaitu mitos Aljazair-Islam-Arab. Aljazair Perancis berakhir selama 104 tahun. Aljazair-Islam-Arab telah terjadi selama 13 abad ! Kami tidak lagi percaya bahwa kami keturunan Perancis tapi kita malah menganggap diri sbg bangsa Arab. Tidak ada ras Arab dan bangsa
Arab. Ada bahasa keramat yang dipakai Quran yg dipakai oleh para penguasa utk mencegah orang menemukan identitas mereka sendiri.


Banyak orang Aljazair percaya mereka adalah orang Arab, menyangkal asal usul mereka dan menganggap Penyair Besar mereka, Ait Menguellet, yang menulis dalam bahasa Berber sbg orang asing [Le Monde, 3 Nov 1989].

Identitas Berber di Aljazair, 1994

Bulan April 1994, dilakukan serangkaian pawai utk memperingati “Musim Semi Berber” tahun 1980 ketika kaum Berber melakukan kerusuhan membela bahasa mereka. Mereka diorganisasi oleh sejumlah kelompok budaya Berber yang berkeras ingin menunjukkan identitas Berber mereka: “Kami menuntut,” kata salah seorang pendiri Rassemblement pour la culture et la democratie (RCD), “diakuinya bahasa nasional kedua yaitu Berber dan sebuah identitas yang berbeda dari Islam-Arab dan menuntut pluralisme. Ini adalah Gerakan Budaya Berber yang merupakan sumber dari Liga HAM dan Demokrasi pertama di Aljazair.”

Orang2 Berber yang berpikiran reformis ini melihat tidak ada kesamaan konsep antara Islam dgn Demokrasi serta HAM. Kaum Berber percaya sudah menjadi ‘kewajiban mereka menentang segala bentuk fasisme,” mereka tidak ingin melihat negara mereka tenggelam kedalam “Barbarisme.” (Information, 20 April 1994).

-------------------------------------------------------------------------
1 Cook, M. Muhammad. Oxford, 1983, hal.86
2 Crone, P., and Cook, M. Hagarism: The Making of the Muslim World. Cambridge, 1977, hal viii, kata pengantar
3 Humphreys, R. S. Islamic History, A Framework for Inquiry. Princeton, 1991.
4 Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71. Vol.1 Hal.12
5 Ibid, hal.15
6 Ibid, hal.43
7 Ibid, hal.34
8 Lewis, Bernard; The Arabs in History. New York, 1966. hal.101
9 Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71, hal.98
10 Dikutip oleh Goldziher dalam Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71, hal.79
11 Lewis, Bernard; The Arabs in History. New York, 1966. hal.42
12 Cambridge History of Islam, hal.40
13 Lewis, Bernard; The Arabs in History. New York, 1966. hal.42
14 Bosworth, C.E. The Islamic Dynasties. Edinburgh, 1980. hal.6
15 Dictionary of Islam, hal.680
16 Lewis, Bernard; The Arabs in History. New York, 1966. hal.36
17 Karya seni Brunschvig dalam Encyclopaedia of Islam, edisi baru
18 Goldziher, Ignaz. Muslim Studies. 2 vol. terjemahan C.R. Barber dan S.M. Stern. London, 1967-71, Vol.1, hal.139
19 Ibid, hal.140
20 Ibid, hal.146
21 Ibid, hal 155
22 Artikel Khurrami di Encyclopaedia of Islam, edisi baru
23 Lewis, Bernard. Race and Slavery in the Middle East. New York, 1990, hal.172
24 Thomas, H. An Unfinished History of the World, London, 1981, hal.602
25 Chaudhuri, N. Thy Hand, Great Anarch, Delhi, 1987, hal.774
26 Tarkunde, V. M., Radical Humanism, Delhi, 1983, hal.11
27 Kedouri, hal.322 dalam B. Lewis (ed), The World of Islam, London, 1976
28 Kanan Makiya. Cruelty and Silence, New York, 1993. hal.235
29 Dikutip dalam Lewis, Bernard. Race and Slavery in the Middle East. New York, 1990, hal.117
Post Reply