Fatwa Mui: Terorisme dan Bunuh Diri Diharamkan Agama
Kapanlagi.com - Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'aruf Amin, menegaskan kembali fatwa majelis tersebut bahwa terorisme dan bunuh diri merupakan tindakan yang diharamkan oleh agama Islam dan tindakan serangan dengan cara bunuh diri yang dilakukan di Indonesia tidak dapat digolongkan sebagai 'jihad'.
"Apa yang dilakukan di Indonesia adalah terorisme dan bunuh diri...bunuh diri itu haram," kata Ma`aruf, usai melihat rekaman video pengakuan tiga pelaku bom bunuh diri Bom Bali II seperti yang ditayangkan di kediaman Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta pada Kamis malam.
Sehari setelah mengundang 12 orang kiyai dari Jawa Timur, Wakil Presiden Jusuf Kalla Kamis malam kembali mengundang pimpinan Ormas-Ormas Islam di kediamannya Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat untuk berdiskusi dan menyaksikan pemutaran video pengakuan tiga pelaku pembom bunuh diri di Pulau Bali pada 1 Oktober 2005.
Di antara para tokoh Muslim yang hadir itu adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dr.Din Samsyuddin, pimpinan PB Nahdlatul Ulama, Rozi Munir dan Ahmad Bagja, pimpinan Majelis Ulama Indonesia, seperti Umar Sihab, KH Ma'ruf Amin, Amidhan, dan Ichwan Sam, serta cendekiawan Musliam Azyumardi Azra, Syafii Ma'arif dan Komaruddin Hidayat.
Juga hadir dalam kesempatan tersebut, Menteri Agama Maftuh Basyuni dan tokoh pendidik Arif Rahman.
Dalam rekaman VCD, para pelaku menyatakan alasan mengapa mereka melakukan bom bunuh diri, juga menyampaikan pesan-pesan kepada keluarga mereka, serta menyatakan bahwa mereka akan masuk syurga dengan melakukan aksi yang mereka sebut sebagai 'jihad'.
Ma'aruf mengungkapkan, MUI sebelumnya telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perbuatan terorisme, yaitu pada akhir tahun 2003.
Indonesia, kata Ma'aruf menekankan, bukanlah wilayah perang, melainkan daerah aman, damai dan wilayah dakwah, yang karena itu tidak ada alasan untuk mendapat serangan bom bunuh diri.
Sasaran pemboman bunuh diri juga tidak jelas, ujarnya, karena korbannya bukan pihak-pihak yang dianggap musuh, melainkan orang-orang yang tidak berdosa.
Ketika ditanya mengapa serangan bunuh diri masih terjadi padahal fatwa haram sudah dikeluarkan, Ma'aruf mengatakan bahwa sebenarnya fatwa berfungsi sebagai kaidah atau pegangan bagi pemerintah untuk melakukan upaya-upaya penegasan pemahaman bahwa tindakan para teroris yang mengatasnamakan 'jihad' adalah keliru.
Sedangkan para teroris itu sendiri dinilainya sebagai insan-insan yang memang tidak mau mendengarkan fatwa.
"Ya tentu saja karena teroris itu kan bukan anak baik-baik, bukan santri yang baik, yang begitu mendengarkan fatwa langsung patuh," tukasnya.
Fatwa juga, katanya, dikeluarkan dengan maksud untuk memagari umat agar tidak terpengaruh dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok teroris dan karena itu MUI terus melakukan penyadaran kepada umat Islam melalui berbagai bentuk sosialisasi.
Sekretaris Umum MUI, Ichwan Sam, menambahkan bahwa MUI telah melakukan rapat kerja internal untuk membahas masalah terorisme.
Ia mengungkapkan bahwa pada 2-4 Desember mendatang, MUI akan mengundang para pengurus MUI seluruh Indonesia, pimpinan Ormas Islam dan pimpinan pondok pesantren untuk membicarakan upaya-upaya meluruskan pemahaman tentang ajaran Islam dan mencegah tindakan-tindakan terorisme.
Sementara itu, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafi'i Ma'arif, menganggap konsep jihad seperti yang dinyatakan oleh para pelaku pemboman bunuh diri Bom Bali II merupakan salah satu kenyataan bahwa ada krisis yang sangat dalam yang dialami oleh umat Islam.
Tindakan serangan bunuh diri sebagai jihad, tegasnya, merupakan pemahaman yang sangat keliru tentang ajaran Islam dan justru menodai Islam.
Ia juga menyatakan merasa kasihan terhadap para pelaku bom bunuh diri yang menyatakan bahwa mereka akan masuk syurga.
Syafi`i menganggap pernyatan tersebut sama saja dengan telah mengambil peran Tuhan, satu-satunya pihak yang berhak menentukan apakah seseorang berhak masuk syurga atau tidak.
"Islam ditafsirkan secara nekad oleh mereka (teroris, red)," katanya.
Bom bunuh diri yang dilakukan para teroris, menurutnya, juga tidak jelas tujuannya seperti kenapa dilakukan di Indonesia dan korbannya juga umat Islam.
Ia membandingkan dengan di Palestina, yang musuh bagi pelaku "bom syahid" sudah jelas.
"Mereka (teroris, red), berani mati, tetapi tidak berani hidup," kritiknya lagi terhadap para teroris.
Sementara itu ia menyatakan keinginannya agar pihak kepolisian RI semakin meningkatkan komunikasi untuk saling bertukar informasi dalam upaya untuk mencegah kemungkinan terjadinya tindakan terorisme.
"Kadang-kadang polisi juga tidak mau mengajak kita bicara," keluhnya.
Menyusul keberhasilan kepolisian RI membekuk kelompok teroris di Malang, Jawa Timur, pada 9 November lalu yang berakhir dengan kematian pimpinannya, Dr Azahari, Syafi`i menyatakan harapannya agar teroris-teroris lainnya dapat ditangkap dalam keadaan hidup-hidup.
Aparat keamanan, ujarnya, harus bekerja lebih keras agar dapat mengorek informasi tentang maksud dan tujuan sebenarnya dari tindakan-tindakan terorisme yang dilakukan para teroris. (*/lpk)
http://www.kapanlagi.com/h/0000091167_print.html