Bulan Purnama di atas Telaga Bening

Yang santai dan rileks. Gosip juga boleh.
Post Reply
User avatar
Fajar K
Posts: 480
Joined: Sat Jul 15, 2006 10:12 am
Location: The Secret Garden

Bulan Purnama di atas Telaga Bening

Post by Fajar K »

SAAT TERINDAH DALAM HIDUP NABILA

by: Fajar K

Dua ledakan besar telah terjadi di kawasan yang terkenal akan keindahan alamnya itu. Maut dan kehancuran benar-benar berpesta pora di malam kelam itu. Gedung-gedung porak-poranda, kaca-kaca jendela pecah berhamburan, tubuh-tubuh manusia bergelimpangan di mana-mana. Mereka yang selamat berlarian tak tentu arah dalam kekalutan. Suara-suara teriakan dan ratap-tangis memenuhi udara malam yang tercemar dengan asap pekat yang menyesakkan napas.

Di antara tubuh-tubuh yang terkapar di tanah, terdapat sesosok perempuan muda yang tergeletak diam. Cairan berwarna merah terus-menerus mengucur deras dari raganya yang terkoyak hebat. Beberapa orang memberanikan diri mendekatinya, memeriksa keadaan jasmaninya. Mereka mendapati bahwa ia masih bernapas tetapi sungguh terasa berat dan terputus-putus.

“Ia sekarat!” Seseorang berkomentar.

Wanita muda itu memang masih hidup, namun ingatan dan kesadarannya ada pada waktu dan tempat yang lain.

***

Nabila tak akan melupakan hari di mana ia telah menentukan sendiri pilihan hidupnya. Saat bersejarah di mana ia telah mempunyai keberanian untuk menyatakan pandangan hidupnya, nilai-nilai yang diyakininya benar.

Hari itu, Fauzi seperti biasa mengomelinya, selalu mengeluhkan betapa wanita yang telah dinikahinya sejak lima tahun yang lalu tidak pernah melakukan segala kewajibannya dengan baik; tidak pandai memasak, tidak becus membersihkan dan merapikan rumah, tidak bisa diajak mengobrol dengan ayah ibunya, dan yang paling tidak bisa diterimanya: Nabila selalu bersikap dingin pada suaminya. Hal terakhir inilah membuat pria itu lantas menyimpulkan bahwa wanita itu adalah sumber utama ketidakbahagiaannya. Ia menikahi Nabila karena percaya bahwa perempuan itu akan dapat memberinya kegembiraan hidup dan keturunan. Namun setelah sekian lama, kini terbukti bahwa keyakinannya itu salah.

Namun kali ini, tidak seperti biasanya, Nabila tidak diam dan menunduk saja mendengarkan segala sumpah-serapah yang keluar dari mulutnya. Perempuan yang selama ini hanya menanggapi segala perlakuannya dalam diam, sekarang berani membalasnya dengan mengeluarkan kata-kata yang tidak kalah pedasnya. Hal ini membuat Fauzi terkejut dan bertanya-tanya apa gerangan yang membuat istrinya begitu berani terhadapnya sekarang.

“Bukankah kita bisa berbicara baik-baik kalau memang ada masalah?” Fauzi melunakkan suaranya, berharap Nadia mau berbicara baik-baik dengannya.

“Aku sudah cukup banyak berkorban!” Nabila berkata dingin. “Kuharap kau juga mau melakukan hal yang sama buatku! Aku mengabaikan perasaanku demi kebahagiaan orang tuaku. Sekarang cita-cita mereka sudah terlaksana, demikian pula harapanmu. Mengapa kemarin malam kau berencana mengambil istri lagi?”

Untuk sesaat mereka berdua terdiam, menenggelamkan diri dalam pemikiran masing-masing, sebelum akhirnya Nabila melanjutkan, “Jika aku menikah dengan Wayan, aku yakin dia tidak akan melecehkanku seperti yang kau lakukan terhadapku sekarang!”

“I Wayan Asmara!” Tubuh Fauzi bergetar ketika menyebutkan nama itu. Ya, itu memang bukanlah sebuah rahasia. Waktu mereka baru menikah, betapa seringnya Nabila menyebut-nyebut nama itu dan menceritakan saat-saat ia dan pria itu berdua berkelana memadu kasih mengelilingi segala penjuru pulau Dewata. Maka ketika api cemburu membakar hatinya, menghardiklah ia kepada istrinya agar tidak menyebut-nyebut nama itu lagi. Sejak saat itulah hubungan mereka merenggang dan menegang.

Nabila mengangguk. Wayan memang tidak pernah melakukan hal-hal yang menjadi kewajiban agama mereka. Tapi ia selalu ramah dan baik pada setiap orang. Ia tak pernah berprasangka jelek terhadap orang lain. Namun Wayan tidak mau memenuhi permintaan orangtuanya untuk masuk Islam agar bisa menikah dengan Nabila dan karenanya mereka terpaksa harus berpisah. Nabila sempat merasa marah pemuda Bali itu, ia maki lelaki itu sepuasnya, ia mencoba mengusir bayangan Wayan dari benaknya. Tapi semakin intens dilakukannya, batin Nabila semakin terasa tersiksa, perasaan gadis itu sendirilah yang semakin tidak enak.

“Aku telah mengkhianati diriku sendiri dengan selalu berusaha menyangkal bahwa aku telah jatuh hati kepadanya untuk … sepanjang hidupku!” Nabila memandang Fauzi dengan tajam.

Masya Allah! Mengapa istrinya mempunyai pemikiran seperti itu? Apakah selama ini dia sebagai seorang suami tidak bisa membimbing istrinya secara Islami? Bagaimana bisa istrinya lebih menyukai makhluk penyembah berhala daripada dirinya?

“Nabila, dengarlah!” Fauzi berusaha keras menahan perasaan yang bergejolak di dadanya. “Ingatlah Allah SWT sudah melarang muslimah untuk menikah dengan laki-laki kafir! Jika dia benar-benar mencintainya, mengapa dia tidak mau masuk Islam? Bagaimanapun juga dia sudah diberi kesempatan untuk mengenal Islam, tapi dia malah menolak!”

Nabila menggelengkan kepala. “Itu hak Wayan untuk menerima atau menolaknya! Kita tidak bisa memaksakan agama kita terhadap orang lain jika kita tidak suka orang lain mendesakkan kepercayaannya pada kita! Mengapa ajaran Islam itu begitu keji memisahkan orang-orang yang saling mencintai? Kadang pula aku bertanya-tanya sendiri apakah benar tindakan muslimin yang senantiasa harus mencurigai dan membenci manusia yang tidak sepaham dengan mereka.

Fauzi dapat merasakan ada sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar perbedaan pendapat belaka. Istrinya sekarang telah telah lancang menentang agama! Perongrongan tersebut tidak bisa dibiarkan terus-menerus terjadi! Dan Fauzi percaya bahwa inilah saatnya untuk menunjukkan kekuasaannya pada sang istri, untuk mengembalikannya ke jalan yang benar.

Telapak tangan Fauzi dengan cepat dan bertenaga penuh menyambar wajah perempuan yang selama ini menemaninya tidur. Nabila yang tidak menyangka akan mendapatkan tamparan sekeras itu segera saja terpelanting jatuh ke lantai marmer yang keras dan dingin. Pandangannya berkunang-kunang dan pipinya terasa panas, namun hal itu tidak membuat hatinya menjadi gentar. Dengan terhuyung-huyung, dia bangkit berdiri, mengumpulkan segenap keberanian dan semangatnya.

“Lebih baik aku hidup sendiri daripada hidup dengan iblis seperti engkau!” Nabila berteriak nyaring, suaranya menggelegar memenuhi seisi rumah.

***

“Nabila … Nabila …”

Samar-samar dia melihat beberapa sosok tubuh merubunginya. Sebagian besar adalah wajah-wajah asing, suara-suara asing berlogat Bali … tapi dia mengenali betul suara yang itu. Itu Wayan! Ya, pria yang sebenarnya sangat ia dambakan selama ini. Sekarang ada di dekatnya, berjongkok di sampingnya!’

“Wayan, kaukah itu …?” Nabila tergagap.

Setelah bercerai dengan suaminya ia segera menghubungi Wayan dan mereka berjanji akan bertemu di depan Sari Club Sanur pada malam itu, malam jahanam tersebut.

“Jangan takut, Nabila, kita … akan segera ke rumah sakit …” Suara Wayan terdengar lembut di telinganya. “Kau pasti akan … selamat!”

Nabila sendiri dapat merasakan darah terus mengalir deras dari tubuh dan wajahnya. Ia merasa dirinya semakin lama semakin lemah. Ia tahu bahwa sebentar lagi dirinya harus menghadapi takdir yang tak dapat dielakkan oleh setiap manusia.

Namun demikian, Nabila merasa kebahagiaan menyelimuti kalbunya. Ia dapat merasakan kehangatan cinta yang tulus terpancar dari Wayan. Sesuatu yang sangat didambakannya selama bertahun-tahun ini.

“Tolong … peluk aku … Wayan … ” Suara Nabila terdengar parau. Wajahnya begitu pucat dan tubuhnya menggigil kencang.

Wayan memeluknya erat-erat, membiarkan tubuh kekarnya dibanjiri oleh darah dan air mata dari wanita yang selama ini sangat dicintainya itu.

Perempuan itu kini dapat merasakan bahwa saat itu adalah saat yang paling indah dalam hidupnya dan tentu saja ia tidak akan menyia-akan detik-detik terakhirnya bersama Wayan.

Nabila tersenyum bahagia dan menutup matanya.


6 Oktober 2006
User avatar
unagi
Posts: 528
Joined: Thu Mar 16, 2006 4:17 pm
Location: no where near a fanatic moslem, *i-wish*

Post by unagi »

aduuhhhh....

bagus banget...

sampe terharu bacanya....

BRAVO mas Fajar

I wonder, cerpen ini mungkin gak ya diterbitkan di majalah Indonesia? Kalo pun iya...jangan2 malah dituntut lagi sama FPI..

tapi beneran kok cerpennya bagus banget.
Bang Oma Irama
Posts: 148
Joined: Fri Sep 08, 2006 9:21 am
Location: afartemennya Angel Legah

Post by Bang Oma Irama »

nice story..
User avatar
Fajar K
Posts: 480
Joined: Sat Jul 15, 2006 10:12 am
Location: The Secret Garden

TIADA KEGELAPAN YANG TAK AKAN BERAKHIR

Post by Fajar K »

TIADA KEGELAPAN YANG TAK AKAN BERAKHIR

By: Fajar K

Suara geledek bergemuruh di langit mendung. Aku mempercepat langkah kakiku. Aku ingin secepatnya kembali ke rumah setelah mendapatkan barang yang kuidam-idamkan selama ini: sebuah dompet kulit, hadiah untuk adikku, yang akan kuhadiahkan kepadanya pada hari ulang tahunnya besok. Dompet itu kubeli dengan menyisihkan uang saku bulananku yang jumlahnya pas-pasan, tapi aku tidak merasa berat karena aku benar-benar mencintai Aditya, satu-satunya saudara kandungku.

Aku dan Ditya tinggal bersama bibiku. Walau berusia cukup lanjut, bibi belum juga menikah. Mungkin karena wajahnya tidak cantik atau mungkin badannya yang terlalu subur; aku tidak tahu pasti. Memelihara kami berdua pastilah merupakan beban yang berat baginya karena penghasilannya sebagai pedagang kelontong di pasar tidaklah besar. Walau begitu dia masih mau menerima kami, jadi aku harus tahu diri. Aku tidak boleh menuntut apa-apa darinya walau kehidupanku dan Ditya tidaklah seenak semasa kedua orang tua kami masih ada.

Mungkin karena banyak mendapatkan kekecewaan dalam hidupnya, Bibi cenderung menjadi lebih religius dan konservatif. Ke mana-mana dia selalu mengenakan jilbab, dan bukan itu saja, dia pun mendesakku untuk mengenakannya juga walaupun aku tidak terlalu suka.

“Gadis seusiamu tentu akan menarik banyak perhatian dari lelaki-lelaki yang berpikiran mesum, Ima.” Bibiku beralasan. “Tentunya kau harus menjaga dirimu baik-baik bukan?” Aku hanya mengangguk, aku sadar benar akan posisiku dalam rumahnya. Tapi walau begitu aku masih mempertahankan kebiasaanku mengenakan celana jins bila bepergian. Aku bisa berdalih bahwa mengenakan rok panjang akan menghambat laju gerakku.

Tetes-tetes air hujan mulai menerpa wajahku, aku mulai merasa cemas. Jarak yang harus kutempuh untuk kembali ke rumah masih cukup jauh. Aku menyesal mengapa tadi tidak membawa payung. Jika hujan nanti cukup deras, haruskah aku berteduh cukup lama di suatu tempat?

Tapi tampaknya kesialan tak pernah datang sendirian. Sesuatu benda berbulu tiba-tiba mendengus-dengus membuntuti gerak kakiku. Aku menoleh. Astagfirullah, seekor anak anjing berwarna kecoklatan mengejar-ngejarku, seolah-olah hendak menerkamku dengan kaki-kaki kecilnya! Bukankah itu binatang kotor? Bibi selalu berpesan kepadaku untuk menghindarkan diri sejauh-jauhnya bila bertemu makhluk semacam itu. Sekarang bagaimana bisa menghindar sedangkan dia terus-menerus ingin meraihku dengan kaki-kaki mungilnya?

Karena terlalu tegang, aku tidak memperhatikan ada sebuah sepeda yang melaju cukup kencang ke arahku. Pengendaranya betul-betul brengsek karena tidak membunyikan bel peringatan terus melaju saja di depanku. Aku sangat terkejut dan secara reflek meloncat ke belakang dan dompet baru dalam genggamanku terjatuh ke tanah becek.

Anak anjing itu, yang merasa mendapat mainan baru, langsung saja menyambar dompet itu, membawanya kabur dengan moncong kecilnya. Aku menjerit tertahan. Dompet itu! Dompet yang dengan susah payah kubeli! Apa yang harus kukatakan pada Ditya nanti? Tidak! Aku harus mendapatkannya walau harus kukejar sampai ke ujung dunia!

Aku kejar anak anjing itu dengan geram, tapi kelihatannya dia malah menikmati benar permainan barunya ini. Dia mempercepat langkahnya, memasuki lorong-lorong suram yang banyak bertebaran di kotaku. Buat gadis seusiaku, tempat-tempat itu tidaklah layak untuk dijelajahi, karena biasanya para gelandangan, pelacur, preman, dan sampah masyarakat lainnya berlindung di sana. Tapi aku saat itu tidak peduli; yang terlintas di benakku cuma bagaimana caranya mendapatkan kembali dompet untuk Ditya.

Namun yang tadi kukhawatirkan sekarang terjadi justru di saat aku tidak memikirkannya: hujan yang bagai dicurahkan dari langit sekarang deras menghantam bumi! Aku panik, baju dan tubuhku basah kuyup. Pemandangan di depanku menjadi kabur. Duh, ke mana gerangan makhluk kotor sialan itu?

Samar-samar aku melihat sebuah tempat naungan, teras sebuah bangunan yang kelihatannya tak berpenghuni, yang dapat kujadikan tempat berteduh. Aku bergegas ke sana walaupun langkahku terasa berat karena sepatuku kemasukan banyak air. Begitu sampai di sana, sebuah kejutan menantiku: si anjing kecil sudah menunggu di sana. Dia menatapku dengan bangga, mengibas-ngibaskan ekornya, seolah-olah telah berhasil memenangkan lomba lari denganku.

Dan dompet baru itu? Sekarang tergeletak di depannya dengan kondisi yang sangat mengenaskan, selain kotor juga sudah koyak! Inikah yang akan kuberikan pada adikku?

Aku merasa sangat marah! Kusambar dompet itu dan kukibaskan ke arahnya. Aku bentak makhluk kotor itu keras-keras. Dia mundur, merasakan hawa amarahku, menghindari tatapnku yang tajam. Kini dia tahu bahwa perbuatannya itu tidak dapat kuterima! Aku ingin segera memukulnya atau menendangnya keluar, namun saat aku melangkah lebar-lebar ke arahnya, mataku beradu pandang dengan tatapannya, tatapan yang mengibakan hati.

Mendadak terlintas suatu pemikiran di benakku: mengapa anak anjing itu berkeliaran di jalanan? Tidakkah ia mempunyai induk … memiliki ibu?

Ibu …? Bunda …?

Jika ia tidak mempunyai ibu lagi, nasibnya sama sepertiku! Aku tahu rasanya tidak mempunyai ibu, aku tahu rasanya kehilangan Bunda!

Pandangan mataku meredup. Aku berlutut di depannya. Aku kini tidak melihatnya sebagai makhluk kotor. Dalam pandangan matanya, aku melihat diriku! Ya, diriku sendiri!

Dan ia rupanya melihat perubahan dalam diriku. Ketakutannya kini berubah cepat menjadi kegembiraan lagi. Dia mendekatiku, mengendus-endus tanganku. Aku dapat merasakan desahan napasnya yang lembut keluar dari hidungnya yang mungil. Dia mulai menjilatiku. Geli rasanya! Tapi aku menikmatinya! Aku kini menyukainya! Dan aku memberikan senyumku yang paling tulus kepadanya, yang selama beberapa tahun ini bahkan tak pernah kuberikan bahkan kepada sesama manusia sekalipun.

Hujan turun begitu lama. Udara sungguh dingin menusuk tulang membuat kami berdua menggigil. Kami saling mendekatkan tubuh kami berharap dapat menciptakan kehangatan di antara kami. Anak anjing itu tertidur di pangkuanku, aku mendekapnya erat-erat seperti Bunda pernah memelukku dengan kasihnya. Mataku perlahan terasa berat… aku terbuai… perlahan terbawa ke alam mimpi…

Dan kejadian di malam itu muncul kembali dalam mimpiku, padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga melupakannya, menguburkannya dalam-dalam di bawah sadarku!

Aku terbangun oleh suara ribut-ribut dari loteng. Ayah dan Bunda rupanya sedang bertengkar. Mereka selama ini sering melakukannya, seharusnya aku sudah terbiasa. Tapi entah mengapa pada malam itu aku ingin melihat mereka bertengkar. Aku membuka kamar tidurku perlahan, mengintip kejadian di loteng. Aku bisa melihat mereka saling berhadapan, saling mengincar bagai binatang-binatang buas yang bertarung di alam bebas. Suara-suara mereka terdengar jelas, terngiang-ngiang di telingaku.

“Kau berani berselingkuh rupanya, perempuan jalang!” Ayah menudingkan telunjuknya ke arah wajah ibuku. “Kau seharusnya tahu bahwa kalau aku mau aku bisa saja menceraikan dan meninggalkanmu besok!”

“Kenapa aku tidak boleh melakukannya?” balas Bunda dengan sengit. “Aku tahu kalau kau juga telah berzina terlebih dahulu selama bertahun-tahun dengan perempuan murahan itu! Tadi siang ia ke sini sambil membawa anak haramnya hasil hubungan gelapmu! Aku hajar dia, aku permalukan dia, aku telanjangi dia, dan akhirnya … kulempar dia ke jalanan!”

Ayah kelihatan sangat terpukul dan murka. “Zainab itu lebih baik darimu … jauuuh lebih baik dari perempuan tengik dan bawel sepertimu! Dia pandai menghiburku sedangkan kau selalu mengeluhkan soal uang belanja dan tetek-bengek urusan rumah tangga! Sekarang kau usir dan campakkan dia? Aku akan melakukan hal yang sama terhadapmu!”

Aku selalu bersimpati pada Bunda dalam setiap pertengkarannya dengan ayahku. Di mataku, Bunda adalah seorang wanita yang sangat sabar dan keibuan. Ia selalu membelaiku, menghiburku bila aku merasa sedih. Sebaliknya dengan Ayah, yang selalu bersikap kasar terhadapku dan juga Ditya. Lelaki jahat itu sering membentak-bentak kami, terkadang ia juga memukul Ditya jika tidak berkenan melihat tingkah-laku adikku.

Kulihat Ayah bergerak cepat ke arah Bunda, tangan-tangannya yang kekar terjulur ke arah kepala istrinya. Cepat sekali dicengkeramnya leher Bunda erat-erat, dibentur-benturkannya kepala Bunda ke dinding. Bunda terlihat lemas tak berdaya. Aku ingin menjerit kuat-kuat, tapi suaraku tak kunjung keluar. Aku ingin segera menerjang Ayah untuk membebaskan Bunda, namun kakiku terasa terpaku di tanah.

Kejadian berikutnya rasanya tak mungkin terhapus dari benakku, seumur hidupku … Ayah … dia … melempar …. Bunda … dari loteng! Ayah ... ayah ... jangan lakukan itu ... jangan ... jangaan .... JANGAAAANNN!!!

Jangan …..!

Angin dingin menampar-nampar wajahku, namun tak sanggup mencegah keringat dingin yang keluar dari wajahku. Napasku tersengal-sengal. Aku bersandar di tembok berusaha menenangkan perasaanku. Sudah beberapa tahun peristiwa itu berlalu dan sampai sekarang masih membayangiku juga. Aku sungguh berharap anak lain tidak akan mengalami apa yang pernah aku alami ini. Jika sudah besar nanti aku ingin menjadi pengacara yang akan berjuang membela kaum wanita yang diperlakukan dengan keji oleh para lelaki bedebah … seperti Ayah!

Aku menjulurkan tanganku hendak membelai si mungil berbulu itu tapi …. hei … dia sudah tidak ada? Apakah dia pergi meninggalkanku begitu saja? Tidak, tidak mungkin! Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang terjadi padanya. Di luaran masih tersisa gerimis, dan hari sudah gelap, namun kuberanikan diri melangkahkan kakiku keluar, kubiarkan instuisiku menuntunku ke arah teman kecilku itu.

Tak berapa lama aku melihat seorang pria kekar bertampang lusuh berjalan memanggul sebuah karung. Dari dalamnya terdengar sayup-sayup suara rintihan yang mengiris hatiku: suara si mungil berbulu. Aku kejar preman itu, aku halangi langkahnya.

“Bang …” kataku mengiba. “Tolong lepaskan anak anjing itu… biarkanlah dia hidup … tolonglah …”

Matanya yang tajam memandangiku yang basah kuyup. Dia tersenyum sinis mengejekku.

“Anjing itu kan jelas bukan punyamu! Lalu kenapa sih kau harus turut campur urusanku? Pergilah sana!”

Saat dia hendak melewatiku, kurentangkan tanganku lebar-lebar menghadang jalannya. Aku benar-benar tidak rela melihat makhluk lucu itu menjadi santapan malam sampah masyarakat seperti dia.

“Heh!” Dia membentakku. “Masih ngotot ya? Baik, jika betul-betul menginginkannya, emang kau punya duit berapa sih buat membelinya dariku?”

Aku tergagap. “Aku … aku … tidak punya uang… Bang.” Suaraku terdengar lirih.

“Kalau begitu, jangan coba-coba halangi aku jika belum bosan hidup! Mengerti?” Nada suaranya bersungguh-sungguh.

Aku hanya diam saja ketika dia dengan kasar menepisku. Aku membiarkannya lewat! Aku membiarkan sahabat kecilku akan binasa dalam keadaan mengenaskan! Aku pun telah membiarkan ayahku membunuh Bunda! Mengapa aku selalu menjadi penonton? Haruskah aku selalu pasrah menyaksikan peristiwa-peristiwa tragis terjadi di depanku tanpa melakukan sesuatupun untuk mengubahnya?

Haruskah…? Tidak … tidak akan terulang lagi! TIDAK AKAN!!!

Bagai kesetanan aku menghambur ke arah preman itu, menerjangnya dengan sekuat tenaga. Sejenak dia terperanjat oleh tindakanku, karung yang dibawanya terlepas. Sahabatku segera saja menerobos keluar dari dalamnya dan segera lari terbirit-birit menghilang di kegelapan.

Bajingan itu benar-benar murka terhadapku karena hilanglah kesempatannya makan enak malam itu. Telapak tangannya yang besar segera saja menghantam kepalaku dengan keras. Aku terhuyung ke belakang. Keadaan di sekitarku terasa berputar-putar. Namun dia tidak puas, didorongnya aku hingga tersandar di tembok. Sebelum sempat aku menyadari apa yang terjadi, tangan-tangannya yang kekar terjulur ke arah kepalaku, mengoyak jilbabku, membiarkan rambutku yang lurus panjang tergerai keluar. Cepat sekali dicengkeramnya leherku erat-erat, dibentur-benturkannya kepalaku ke tembok. Pandanganku mengabur … aku mulai kehilangan kesadaranku …

Namun tiba-tiba aku melihat wajah preman itu berubah menjadi … wajah Ayah … wajah orang yang telah menghilangkan nyawa orang yang paling kucinta dalam hidupku … sekarang … tepat berada di depanku!

Mendadak diriku merasa kuat … kuat … kuat sekali … Rasa marah dan benci pada ayahku menggelegak dalam dadaku, membuatku melupakan rasa sakit yang kuderita. Aku meronta kuat-kuat, dengan segenap tenaga aku menendang ke bawah, ke arah selangkangannya!

Sejenak keheningan menyelimuti kami berdua. Tangan-tangannya menjauh dari leherku. Matanya yang besar melotot ke arahku. Mulutnya terbuka lebar-lebar namun tak ada bunyi yang keluar dari dalamnya. Lalu dia berjongkok lemas di tanah sambil memegangi kemaluannya. Napasnya tersengal-sengal dan keringat bercucuran dari tubuhnya yang apek itu. Dia menengadahkan wajahnya memandang ke arahku dengan tatapan kebencian bercampur rasa sakit tak terperikan.

Aku melihat wajah itu … wajah Ayah … wajah perampas jiwa Bunda!

Darahku mendidih, pandanganku menggelap. Aku tak bisa berpikir jernih lagi. Kusambar begitu saja sepotong balok kayu yang tergeletak di tanah. Kuhantamkan ke arah kepalanya. Sekuat tenagaku!

“Kembalikan Bunda …. kembalikan Bunda, bangsat tengik!!!” Aku menjerit keras-keras, memecahkan keheningan di lorong itu.

Aku hantamkan balok itu ke arah kepalanya lagi! Aku rasakan kenikmatan menghajar Ayah mengalir di dalam darahku.

Aku hajar kepalanya lagi! Dengan segenap kekuatan dan jiwaku!

Akhirnya dia jatuh terlungkup juga. Darah menyembur keluar dari kepalanya, terciprat ke arahku. Tubuhnya roboh tersungkur menghadap tanah, darah deras mengalir, mengalir dari kepalanya membasahi bumi!

Dan aku melihat tubuh itu … tubuh yang berlumuran darah itu bukanlah tubuh Ayah … melainkan … jasad Bunda…. Aku bisa mengingatnya! Aku bisa melihatnya dengan jelas sekarang! Tubuh Bunda jatuh terbanting menghadap lantai setelah dilempar Ayah dari loteng, darah deras mengalir, mengalir dari kepalanya membasahi lantai!

Ya Allah …. tidak …. tidak mungkin …!

Sejak peristiwa pembunuhan Bunda itu … aku sangat sangat membenci Ayah, aku benci perbuatan Ayah yang kejam itu terhadap ibuku … namun kini aku sudah menjadi pewarisnya! Tanganku sudah berlumuran darah! Aku … aku adalah jiplakan jiwanya sekarang!

Aku bisa mendengar suara tawa ayahku, tawa kepuasan setelah melempar tubuh ibuku ke bawah loteng. Kini, kini, seakan suara tawa tersebut bergema kembali di lorong gelap itu, bergema menertawakan diriku!

Aku berbalik meninggalkan tubuh preman itu. Aku tidak peduli lagi apakah dia masih hidup atau sudah mati. Yang kuinginkan sekarang ini adalah lari …. lari secepat mungkin meninggalkan lorong itu. Kini, kini aku merasa benci pada diriku sendiri, aku merasa jijik pada diriku sendiri. Aku merasa begitu kotor, begitu hina, begitu menyedihkan!

Tak kuperhatikan adanya batu-batu yang terserak di jalan yang gelap. Aku terantuk. Aku jatuh terjerembab ke tanah becek. Wajah, rambut, dan tubuhku kini berlumuran lumpur. Tapi aku tidak peduli, tidak ingin peduli lagi. Aku benamkan wajahku ke tanah, aku biarkan air mataku membanjir keluar membasahi bumi dan kubiarkan ratap tangisku menghambur keluar dari dasar jiwaku. Mengapa aku harus malu dengan keadaanku sekarang ini? Toh, tak ada seorangpun yang melihatku, tidak juga Bibi dan Ditya yang selama ini selalu melihatku selalu ceria di hadapan mereka.

Ditya … Ditya … ya itulah dia, dian yang berkobar di dalam sanubariku. Karena dia aku memutuskan untuk terus bertahan hidup, karena dia aku rela menanggung semua deritaku sendirian. Aku harus kuat! Aku tidak boleh menyerah! Aku tidak boleh menjadi gila! Aku mencintai Ditya dengan segenap hatiku! Tidak boleh dia sebatang kara di dunia ini! Aku harus tegar demi dia! Aku harus pulang ke rumah bagaimanapun keadaanku sekarang ini!

Kupaksakan diriku bangkit. Aku menengadah, kupandangi bintang-bintang di langit yang mulai terang. Apakah Bunda ada di atas sana memandangiku dengan senyumnya yang meneduhkan jiwaku? Bunda, tahukah engkau bahwa sesungguhnya hingga saat ini aku masih merindukanmu?

Seorang diri aku berjalan terseok-seok meninggalkan lorong kumuh yang gelap mencekam itu. Suara azan subuh berkumandang di angkasa. Hari baru akan segera terbit, kehidupan baru akan segera dimulai. Aku menyeret kakiku dengan enggan, sambil berpikir-pikir apa yang akan kuberikan pada Ditya sebagai pengganti dompet kulit yang kini sudah menjadi barang rongsokan itu.

Tengah melamun, ada sesuatu mengendus-endus kakiku. Aku terhenyak. Itu sahabat kecilku! Syukurlah kau selamat! Dia berseru girang melonjak-lonjak hendak merangkulku. Aku tersenyum, berjongkok mengelus-elus kepalanya. Dia juga gembira melihatku, menjilat-jilat tanganku sambil menggoyang-goyangkan ekornya. Aku menikmatinya, untuk sejenak beban pikiranku terlupakan.

Lalu aku menyadari bahwa dia tidak sendirian. Seorang anak perempuan berdiri di hadapan kami, memandangi kami dengan takjub.

“Wah, Aku tidak mengira kalau Bimbi juga punya teman juga di luar.” Gadis kecil itu tersenyum ramah. Matanya yang sipit tampak lucu di balik kacamatanya yang tebal. “Sepanjang malam dia tidak pulang, dan pagi-pagi baru muncul di rumahku, tapi dia menarik-narik aku keluar seakan hendak menujukkan sesuatu kepadaku, jadi kuikuti juga dan … kutemukan Kakak!”

“Aku Fatimah! Tapi panggil saja Ima!” Kuulurkan tanganku. Kupaksakan diri untuk tersenyum walau sisa-sisa kegetiran dan kengerian semalam masih bersemayam di hatiku.

“Namaku Meirin!” Dia membalas jabatanku dengan tangannya yang halus dan putih. “Selama ini hanya Bimbi yang menjadi temanku, Kak! Orangtuaku selalu sibuk, tak punya waktu untuk diajak bermain atau ngobrol saja. Kakak-kakakku sibuk dengan sekolah mereka atau pacar mereka. Aku juga tidak punya kawan bermain … aku tidak pandai bergaul …Aku kesepian, terkadang aku merasa diriku orang paling malang di dunia … setiap malam aku berdoa agar Tuhan memberikanku seorang sahabat …”

Gadis itu lalu terdiam sejenak, memandangi tubuh dan pakaianku yang kotor.

“Ah… aku … hanya terjatuh saja! Nggak apa-apa kok!” Aku membohonginya karena tidak ingin membuatnya sedih dengan kisah tragedi hidupku. Aku sidah biasa melakukannya pada Ditya; selama ini dia mengira ayah-ibunya sedang bepergian jauh ke luar negeri dan suatu saat nanti akan kembali. Akan kuceritakan tragedi tersebut kepada adikku kalau dia sudah cukup umur kelak, beberapa tahun lagi. Tapi saat ini aku belum bisa memutuskan apakah kelak aku akan mengajak Ditya menengok Ayah di penjara, biarlah waktu saja yang akan menyembuhkan luka di hatiku.

“Kakak, ayo ikut ke rumahku, nanti aku akan berikan pakaiannya Ci Linda. Ukurannya kira-kira pas buatmu, deh!” Dia menggandeng tanganku.

“Apa nanti kakakmu bersedia?” Aku merasa ragu.

“Kalau aku yang minta pasti boleh, deh! Bukankah Kakak adalah sahabatku sekarang?”

Aku tidak sanggup berkata apa-apa lagi, mataku berkaca-kaca. Aku berusaha sedapat mungkin menyembunyikan isakku dengan senyuman, sehingga aku hanya bisa menganggukkan kepalaku untuk menyatakan rasa terima kasihku. Aku bisa merasakan ketulusan hatinya menelusup ke dalam relung-relung hatiku. Ah, ternyata di dunia yang keras, dingin, dan seringkali kejam ini, rasa persahabatan dan cinta masih bisa ditemukan! Dan inilah yang akan kubagi dengan Ditya!

Kami berjalan bergandengan tangan menyambut mentari yang akan bersinar kembali. Bimbi berlari-lari dengan gembira menyertai kami, mengiringi lembaran kehidupan baru yang cerah, yang kini telah terbentang di hadapanku.


23 Oktober 2006
ali5196
Posts: 16757
Joined: Wed Sep 14, 2005 5:15 pm

Post by ali5196 »

Fajar, kau minta komentarku atas cerpenmu itu, atas karakternya, jalur ceritanya dsb ... wah ... luar biasa bahwa dlm beberapa kalimat pendek anda sudah bisa menyampaikan jalur cerita yg mengundang emosi, rasa kasih dan rasa haru. Tanpa perlu panjang2 atau bertele2. Biasanya perasaan macam itu hanya timbul setelah saya baca buku selama 3 hari atau nonton film selama 2 jam.

Anda pandai menggambarkan suasana. Saya sampai merasakan dinginnya hujan dan menempelnya lumpur pada badan saya sendiri.

Jadi komentar saya apa yah ? Yah, JEMPOL DEH ! Kalau mau disempurnakan lagi sih pasti bisa, tapi utk apa ? Ntar kayak tesis lagi ... :wink:
User avatar
unagi
Posts: 528
Joined: Thu Mar 16, 2006 4:17 pm
Location: no where near a fanatic moslem, *i-wish*

Post by unagi »

Fajar...

cerpennya bagus sekali..
waktu baca seperti terhanyut menonton adegan film dengan bintang Adinia Wirasti dan Lukman Sardi...

Tapi sehabis baca jadi penasaran..gimana ya kabarnya si preman, Ditya dan Meirin?

Jadi pengen tau sekuelnya :D

GBU,
-U-
User avatar
Fajar K
Posts: 480
Joined: Sat Jul 15, 2006 10:12 am
Location: The Secret Garden

Post by Fajar K »

unagi wrote:Fajar...

cerpennya bagus sekali..
waktu baca seperti terhanyut menonton adegan film dengan bintang Adinia Wirasti dan Lukman Sardi...

Tapi sehabis baca jadi penasaran..gimana ya kabarnya si preman, Ditya dan Meirin?

Jadi pengen tau sekuelnya :D

GBU,
-U-
Kalau dilanjutkan bukan lagi cerpen namanya, tapi serial. :lol:
Post Reply