Catatan Perjalanan Ke Inggris

Yang santai dan rileks. Gosip juga boleh.
Post Reply
User avatar
Fajar K
Posts: 480
Joined: Sat Jul 15, 2006 10:12 am
Location: The Secret Garden

Catatan Perjalanan Ke Inggris

Post by Fajar K »

Proletar: Dangdut di Brookmans Park

By: Hasan Basri

Saya berjalan bagai zombie di samping Vikcy sambil menyeret 2 koper penuh peralatan kosmetik. Setelah melewati loket imigrasi, saya menukarkan traveler check dan sejumlah dollar ke Poundsterlling pada sebuah money changer. Sungguh terperanjat melihat ratusan dollar di tangan nilainya menciut jauh (1 Pound = 1.6 dollar). Belum apa-apa cash value duit kami sudah terserang inflasi. Keperkasaan dollar pudar digergaji mata uang negara monarki ini. Plus dipotong sejumlah komisi, pajak dan entah apalagi.

Marco adalah supir taxi yang diutus Deane menjemput kami. Tinggi badannya sedang dan wajahnya klinis, dia berjaket tebal seperti kebanyakan manusia yang lalu lalang. Dan setiap kali manusia ini bicara gayanya mirip Hugh Grant. Setelah diamati semua orang Inggris memang beraksen Hugh Grant, aktor yang miskin karakter ini memang rada membosankan. Seperti penduduk Pemalang atau Pekalongan, vocal mereka yang medok terkadang susah ditangkap telinga manusia normal.

Hawa dingin menyergap di parkir garage. Secepat itu saya masuk menyelinap ke dalam Renault tua si Marco yang dengan tangkas menyetir keluar airport menuju highway. Mobil-mobil aneh nampak simpang siur, kebanyakan Audi, BMW, Mercedes dan Ford. Ketika saya tanya kenapa jarang mobil Jepang di sini? Marco menjawab bahwa Mobil Jepang selain mahal dibatasi peredarannya, "Kami lebih suka mobil Jerman dan Amerika, mobil buatan Inggris sendiri mutunya tidak sebagus mereka".

Harga bensin bukan main mahalnya, sekitar 79 pence per liter. Ini hampir 3 kali lipat harga di Amerika. Petunjuk jalan di freeway membingungkan, rasanya polisi atau departemen lalu lintas di negara ini kurang kreatif. Lihat plat nomor kendaraan bukan main gede dan tidak efektif. Selain cuma angka dan nomor posisinya serasa mendominasi mobil. Keluar dari highway menuju jalan kecil, nama jalan justru tambah susah dicari. Menuju Brookmans Park, tempat Deane teman yang cuma kami kenal di internet jalan nampak mengecil. Kadang mobil ini harus mengalah menunggu mobil yang didepan lewat. Kambing dan biri biri nongkrong di sepanjang pagar ranch. Suasana country side begitu kental. Awan memekat di langit basah. Setelah 40 menit driving sampai juga kami di tempat sahabat ini.

Anda boleh merasa tersiksa dan menderita di Indonesia. Anda boleh bilang "Jakarta adalah kota mahal, biaya hidup di Jakarta bukan main tingginya".

Tapi, dengarkan apa yang si Marco jawab ketika saya tanya tarif taxi yang jaraknya seperti dari Cengkareng ke Depok.

"How much?"
"69 Pounds!", jawabnya enteng.

Cuma lantaran melihat Deane yang berjalan keluar rumah dan menyambut kami dengan begitu suka, yang membuat saya mencegah saya mencaci-maki dalam bahasa minang campuran.

Saya berikan 75 Pounds termasuk tips. Itu sama dengan $120 alias hampir sejuta rupiah, sayang....

Deane adalah cewek hitam berasal dari Washington DC yang kawin dengan bule sini bernama James. Memeluk tubuhnya saya merasa seperti memeluk sahabat lama. Matanya kecil seperti Cina, tidak seperti kebanyakan negro berambut bagai sumbu kompor, rambut Deane lurus dan panjang. Vicky mengenal dia selama 2 tahun tanpa sekalipun pernah berjumpa. Setelah selesai menyelesaikan program masternya dalam jurusan ESL Teaching Deane sempat mengajar dan beri les private yang menghasilkan income lumayan. Seperti ketika mengenal kami, berbekal intenet, dia menemukan pasangan hidupnya.

Musik dangdut di perut sore itu berbunyi nyaring. Musik perut Vicky terdengar seperti banyo para Cajun di Lousiana. Tanpa menunggu lama, saya memohon pada Deane untuk mencari restaurant Cina. Deane tersenyum mengerti.. "Ayo kita jalan ke Village", katanya sambil mengambil jaket tebal.

Sungguh beruntung, di kota kecil macam begini (sekitar 15 miles utara London) ada juga restaurant Cina, di bundaran kecil yang dikelilingi beberapa toko, kami berkeliling dan akhirnya memutuskan untuk makan di restaurant India.

Hari mulai menggelap waktu itu, saya makan dengan lahap itu kari dan nasi yang ukurannya begitu mini, masakannya tidak terlalu nikmat tapi terus saya embat. Vicky mengobrol ngalor ngidul. Deane menggasak itu daging, itu tepung well entah apa. Kabut tipis menggantung di luar, seperti selimut dia mengambang di antara atap rumah dan taman.

Setelah membayar 30 Pounds, saya beranjak keluar. Si Bombay memberikan 2 kembang ros pada Vicky dan Deane. Kota kecil ini demikian tenang dan sunyi.

Berjalan melangkah kembali kerumah, saya melangkah agak cepat. Rumah tempat kami numpang nampak berada di ujung sana, agak ke bawah di dekat turunan. Deretan bangunan antik berarsitek cute itu seperti berjejeran dengan apik sampai ke batas bukit. Lampu jalan mulai dinyalakan tapi begitu kelihatan redup. Sulit juga mempercayai bahwa sekarang saya berada di negeri ini. Seperti mimpi tampil kembali pertanyaan filosofis kok manusia bokek macam saya bisa kesini? Takdir? Destiny? Nasib baik? Lucky ****?

Sambil melangkah saya mengikuti suara derap kaki, lalu dengan pasti menyanyikan lagu:

"Gubuk Derita"
Nov 21, 99(*)
User avatar
Fajar K
Posts: 480
Joined: Sat Jul 15, 2006 10:12 am
Location: The Secret Garden

Post by Fajar K »

Proletar: Pameran Burung di S. Kensington

By: Hasan Basri

Tubes Station (stasiun kereta/subway) letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Diane. Berjalan lurus kembali ke village kemudian berbelok ke kiri menyebrang jembatan di pagi dingin dan basah malah membuat badan terasa segar walaupun seluruh pori-pori kulit di balik jaket dan sweater tebal ini mengkerut tersiksa di terpa suhu rendah.

Berdiri menunggu train di stasiun kecil yang sepi ini sungguh sebuah pengalaman yang unik. Setiap 5 menit sebuah kereta api cepat melesat mengagetkan meninggali angin beku yang menampar muka kami. Saya taksir kecepatan itu kereta hampir 200 kilometer per jam. Suara mesin yang mendesing beberapa kali membuat ngilu tulang. Saya tidak sanggup membayangkan apa jadinya jika manusia tertabrak itu train. Barangkali jadi kornet, atau daging cincang.

Karcis naik Tube ke London adalah 14 pounds untuk berdua. Keretanya sendiri tidak istimewa. Di bandingkan Jabotabek memang Tubes ini lebih kelihatan bersih. Tapi... baru 20 menit berjalan sang Tubes macet mendadak di lorong bawah tanah. Dan yang seperti ini rasanya belum pernah terjadi pada Jabotabek. Para penumpang yang dalam perjalanan ke tempat kerja sebagian tenang, sebagian gelisah. 30 menit lamanya kami terkurung. Seorang mahasiwa kelihatan pucat pasi lantaran hari ini dia ada exam. Ketika sang masinis mendatangi dan memberikan alibi "bahwa ada kereta yang mendeg di Statuiun Cockfosters". Beberapa bule yang duduk di pojokan malah memaki.

"Ngepet loe!"
"Gue peratiin ini kereta slow dari tadi.. elu sengaja ya?"

Sang masinis mencoba sabar mencoba self defense dengan berucap "Well, theres nothing I can do sir."
Kelompok bule itu malah makin mangkel. Dan menghadiahkan:

"Makan tokai gue nih!"
"Anjing kurap!"
"Anak Lonte!"
"Dasar masinis *****!"

Saya ketawa cekikikan, sayang adegan para ningrat englander yang terkenal dengan etika dan sopan santunnya itu tidak saya abadikan dalam video camera.

Setelah pindah ke Circle Lines (subway yang trayeknya muter-muter Central London) kami keluar di stasiun Westminster. Tepat begitu keluar tanah yang menyambut kami adalah sang Big Ben. Jam raksasa bagian dari gedung parlemen itu tampak berkilapan. Seperti penduduk gunung Kidul yang pertama kali melihat monas, jelas saya motret-motret kaya orang norak. Berjalan menuju jembatan yang membelah sungai Thames yang berair keruh, Parlemen House dan Big Ben itu makin kelihatan karakternya. Gedung coklat itu penuh ukiran mirip candi. Pada setiap kerucut selalu terdapat simbol entah mahkota entah singa, entah hero dan barangkali dewa dan para santo.

Millenium Whell, atau super bianglala teronggok di seberang. Entah berapa tingginya itu mainan. Tapi bentuknya yang terlalu modern sungguh mengganggu karakter kota London yang sarat dengan bangunan tua yang sangat apik. Bianglala ini jadi seperti nintendo yang dipajang dalam musium, jelas tidak serasi dan nyambung.

Balik menjelajahi sisi depan House of Parlemen yang dijaga oleh patung Oliver Cromwell (Lord Protector of England yang mengukum mati King Charles I), kami menyebrang ke Westminter Abbey. Katedral tua ini sebenarnya bukan gereja tapi sebagai tempat seromonial orang mati (Mati dan tenar/mati dan berguna) yang dimanaje langsung oleh family of the Crown, sekaligus sebagai lokasi kuburan. Sejak tahun 1066 sudah ratusan bangsawan begelar SIR, baron, politisi, tukang puisi, penulis, pahlawan perang dunia pertama yang tidak dikenal mayatnya teronggok di Westminter Abbey.

Bosen membaca nama-nama mayat dan sejarah para ningrat, (Oke gedung itu memang historical sites yang menggugah, mengesankan, membuat kagum, goyang-goyang kepala.. so what?), kami melanjutkan penjelajahan naik Tubes lagi ke Kensington untuk melihat musium dan .... mall.

Jalan di London bukan main ramainya, ukuran jalan itu sendiri kecil dibandingkan dengan jalan di Amerika. Perbaikan kontruksi di sana sini. Bis tingkat merah sekali-kali memintas jalan, sebagian bis ini berubah fungsi menjadi bis turis dengan kap terbuka. Di atas sana bila anda mau perhatikan, akan terdapat puluhan manusia gunung kidul yang meneneng tustel, video camera dan menggondol oleh-oleh yang memenuhi tas demi tas. Dan mereka norak seperti kami, mereka juga mengantungi peta London seperti kami, cuma jelas kami lebih pintar. Mereka bayar untuk ngider-ngider sambil dengerin ocehan guide yang belum tentu benar. Kami mencari dan mempelajari sendiri semua objek wisata. Dan satu lagi, si Vicky pernah 2 kali ke sini, jadi jelas sang bini adalah guide yang paling murah dan handal, dan seperti biasanya, penciuman perempuan selalu tajam begitu dekat pada mall. Kelak begitu dekat dengan Harrods (Mall extravagansa kelas atas) saya melihat ada kunang-kunang di mata si Vicky.

Sebelum menjenguk musium V&A (Victoria and Albert) rasa lapar menuntun kami untuk singgah di Buger King. Lucu melihat restaurant fastfood yang ukurannya semua mini di London ini. Selain itu lucu melihat cara kerja manusianya yang kalah sigap dengan pekerja di Amerika. Juga mangkel ketika saya disodori burger tanpa ketchup. Ketika saya tanya "Eh mas, gue butuh kecap nih.. bagi dong". Mereka dengan malas memberikan muncratan kecap di atas tutup soda plastik... Englishmen.. you are so fuckin' cheap.!

Seorang gembel berbaju compang, berwajah super dekil dengan ingus yang meleleh berdiri di pucuk tangga kearah rest room Burger King. Kebetulan saya duduk bersebrangan dengan posisinya. Gembel eksebisionis ini bukan tanpa alasan berdiri mematung di sana. Seperti ABRI pangkat rendah sekaligus ***** yang hobby memberikan hormat pada atasan atau keluarga atasan yang kebetulan berpergokan, si gembel bule ini juga memberikan hormat pada pengunjung restaurant yang baru memakai rest room dengan menurunkan celananya, sambil cengengesan plus muka konak seperti orang yang hampir klimaks, dikeluarkannya burung perkutut putih dari sangkar lebatnya, dibelai-belai, diaduk aduk, dikocok-kocok kearah para penonton. Wajar kalau ada satu dua cewek menjerit lantaran pameran burung itu.

Karyawan Burgerking berkulit hitam segera bereaksi, tapi ukuran tubuhnya yang tidak terlalu besar ternyata tidak menggentarkan ini Gatotkaca pirang. Setiap kali ditarik keluar, sang penjinak burung masuk dari pintu satunya lagi, lalu berdiri dan membuka celananya kembali. Dan usaha menyeret ini manusia bukannya gampang. Akhirnya datang supervisor Restaurant yang kebetulan adalah seorang negro berbadan Hollyfield. Tanpa kesulitan diangkatnya pahlawan kesayangan Taman Burung ini keluar pintu, dengan enteng di lemparkannya dia ke trotoar.

But I love this guy, really..
Daya tahan, stamina dan keteguhan pendirian sang tunawisma ini jauh di atas ketegaran mahasiswa kita yang suka demonstrasi di tanah air. Lihat, secepat itu badannya ambruk ke beton trotoar, secepat itu dia bangun kembali. Tanpa sungkan... dia pelorotkan celananya tepat di muka kaca depan. Berbekal iman dan keyakinan, dia berjihad dengan caranya sendiri.. yaitu mengencingi kaca dan pintu restaurant...

Anda boleh bangga pernah datang dan melihat keindahan London, anda boleh takjub dengan segala arsitek, peradaban, dan semua patung seni di kota ini...

Tapi, anda belum tentu bisa melihat pemandangan bagus dan unik seperti yang saya lihat saat itu..

Seekor burung Inggris ukuran sedang saya saksikan dengan mata kepala sendiri..! Kepalanya yang plontos, tidak disunat dengan bangga dipamerkan spesial buat kami...

Pameran sekejab ini selesai begitu dia kabur karena mengetahui sang manajer memanggil polisi.
Menyesal saya tidak rekam dalam video lagi...
Nov 23, 1999.(*)
nadia ghazali
Posts: 1141
Joined: Fri Nov 19, 2010 9:48 am

Re: Catatan Perjalanan Ke Inggris

Post by nadia ghazali »

Hahaha...hasan basri u r the best
Post Reply