Page 1 of 1

Stigma PKI : Kisah Kehidupan Sulit Ilham Aidit

Posted: Fri Oct 01, 2010 10:22 pm
by Sabilla
Kisah Kehidupan Sulit Ilham Aidit
Tribunnews.com - Jumat, 1 Oktober 2010 18:21 WIB

"Entah kenapa seperti ada yang berbisik pada waktu itu, kalau mulai dari hari ini hidup saya akan lebih sulit,"
Ilham Aidit


Laporan wartawan tribunnews.com, adi suhendi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ilham Aidit, anak Dipo Nusantara Aidit, akhirnya bisa melepas beban berat dengan nama ayahnya yang melekat pada dirinya selama 44 tahun yang dianggap sebagai musuh negara.

Tapi bagaimana ia bisa melewati masa berat setelah pecahnya pemberontakan Gerakan 30 September 1965 atau dikenal dengan G30S/PKI? Ia menceritakan bahwa dirinya yang saat itu berusia 6,5 tahun saat melihat tulisan di dinding besar yang bertuliskan 'Gantung Aidit' seakan-akan sudah tahu bahwa kehidupannya ke depan akan sulit.

Waktu itu 1 Oktober 1965, tidak tahu mengapa Ilham ingin keluar rumah begitu pagi sekitar pukul 05.30 WIB dan langsung melihat tulisan bahwa ayahnya harus digantung.

"Entah kenapa seperti ada yang berbisik pada waktu itu, kalau mulai dari hari ini hidup saya akan lebih sulit," kata Ilham Aidit menceritakan pada masa itu di Gedung Nusantara V DPR RI, Jakarta, Jumat (1/10/2010).

Melihat tulisan yang menyebut nama ayahnya, Ilham kecil langsung gemetar tubuhnya, dan meyakinkan bahwa dirinya akan menjadi musuh negara.


"Padahal seminggu yang lalu bahkan sebulan sebelumnya saya sempat bertemu dan bermain dengan ayah saya (DN Aidit)," ungkapnya.

Namun, nasib baik masih berpihak kepadanya, ternyata masih ada orang yang mau mengangkatnya sebagai anak. Namun, beban berat hidupnya ternyata belum bisa terlepas dengan menyandang nama belakang Aidit.

Apalagi saat dirinya duduk dibangku SMP, banyak sekali teman-temannya yang mengejek dirinya dengan kata-kata 'Aidit gantung'. Hal tersebut cenderung membuatnya marah dan bahkan harus berkelahi walaupun dalam setiap perkelahian Ilham mengaku selalu kalah.


"Karena badan saya kecil, kebanyakan saya kalah dalam berkelahi karena yang dihadapi besar-besar," imbuhnya.

Sampai akhirnya seorang Pastur yang berada di sekolahnya tersebut memanggilnya, dan mengajak Ilham kecil bercerita. Pastur tersebut mengatakan bahwa ia tahu latar belakang Ilham dan cerita masa lalunya.

"Ia mengamati raport saya setiap catur wulan selalu baik, dan ia menasehati saya banyak hal," ungkapnya.

Setelah itu, ia mengaku bahwa dirinya berupaya keras untuk mengubur nama Aidit yang berada dibelakangnya. Bahkan setiap kali ia akan menulis nama, ia selalu berhenti lama untuk ingin menuliskan nama Aidit dibelakangnya, tetapi hal tersebut selalu diurungkannya dan selalu berusaha menutup serapat-rapatnya.

"Kalau saat mengisi nama dalam kertas ujian, saya selalu lama menulis nama Aidit dibelakang nama saya," katanya mengenang saat itu.

Setelah 44 tahun akhirnya pada tahun 2003, ia mulai bisa menuliskan nama lengkapnya Ilham Aidit setelah dirinya bergabung dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa.

"Saat itu saya bergandengan dengan Amelia (Anak Jenderal Achmad Yani) dan saat itu Kompas menulis nama saya dengan lengkap. Itulah awal dari kehidupan yang baru," ungkap Ilham Aidit.


Penulis : Adi_suhendi
Editor : johnson_simanjuntak

http://www.tribunnews.com/2010/10/01/ki ... lham-aidit

Re: Stigma PKI : Kisah Kehidupan Sulit Ilham Aidit

Posted: Fri Oct 01, 2010 10:27 pm
by Sabilla
Jumat, 01/10/2010 17:06 WIB
Anak DN Aidit Minta Sejarah G30/S Ditulis Lengkap
Ramadhian Fadillah - detikNews


Jakarta - Anak DN Aidit, Ilham Aidit meminta agar sejarah G30/S ditulis lengkap dan tak diungkap sepotong-sepotong. Hal ini agar rekonsiliasi yang terjadi tak dinilai semu.

"Saya selalu ingin mengajak agar peristiwa itu ditulis secara lebih lengkap. Peristiwa itu panjang. Namun sejarah tidak pernah mencatat, setelah peristiwa G30/S PKI itu ratusan ribu orang terbunuh. Ribuan orang dibuang ke Pulau Buru, dan ribuan lagi tidak bisa kembali ke negaranya. Kami minta dicatat secara lengkap untuk pembelajaran apa yang telah terjadi," ujar Ilham Aidit.

Hal itu disampaikan Ilham dalam acara Silaturahmi Nasional di Gedung Nusantara III DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (1/10/2010).


Sejarah yang ditulis utuh itu nantinya akan menjadi pembelajaran bagi para generasi muda Indonesia. Juga menunjukkan agar rekonsiliasi itu tidak semu.

"Rekonsiliasi ini jangan hanya rekonsiliasi semu, karena hasilnya pun akan semu. Rekonsiliasi membuktikann sifat kesatria dan jiwa besar yang harus kita wariskan pada generasi berikutnya," kata dia.

Simpan Nama Aidit

Semasa kecil, Ilham berkisah, mempunyai kenangan yang tak enak berkaitan dengan ayahnya. DN Aidit sebagai Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (CC PKI), dianggap sebagai musuh negara sejak tahun 1965 itu. Tak pelak, hal ini membuatnya takut menyematkan nama Aidit di belakang namanya.

"Ketika saya kecil, waktu itu usia saya 6 tahun, setelah peristiwa G30/S PKI tiba-tiba saya ingin keluar rumah. Tiba-tiba saya lihat ada tulisan besar di dinding, 'Gantung Aidit, Bubarkan PKI'. Saya terkejut. Karena beberapa waktu lalu saya masih lihat bapak saya berpidato di Istora," kisah Aidit.

Dirinya lantas mengetahui hidupnya akan dipenuhi masa-masa sulit. Banyak kawan-kawannya yang meledek ayahnya hingga membuatnya menjadi jago berkelahi karena ledekan itu.

"Tiap ada orang yang meledek saya lawan. Tiap ada yang menghina ayah saya, saya lawan. Akhirnya seorang pastor menasihati saya. Dia bilang 'Nilai kamu bagus, tapi kamu tidak akan lulus kalau kamu terus berkelahi'. Saya pun tidak pernah lagi menggunakan nama Aidit, di belakang nama saya," celotehnya.

Sejak saat itu, tiap menulis nama Ilham, tangannya berhenti sejenak. Nama Aidit yang biasanya ditulisnya, kini harus mulai disimpannya rapat-rapat.

"Karena biasanya saya menggunakan nama itu. Tapi saya harus berhenti menggunakannya. Sampai umur 44 tahun saya tidak menggunakan nama Aidit di belakang nama saya," jelasnya.

Hingga di tahun 2003 dalam forum Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), nama Ilham dipanggil lengkap, disandingkan dengan nama ayahnya, Aidit.

"Saya dipanggil kembali dan nama saya disandingkan, Ilham Aidit. Dan saya ternyata masih duduk di situ. Berarti ini tidak apa-apa," tandas Ilham yang memakai batik coklat lengan panjang.

(rdf/nwk)
http://www.detiknews.com/read/2010/10/0 ... is-lengkap

Re: Stigma PKI : Kisah Kehidupan Sulit Ilham Aidit

Posted: Fri Oct 01, 2010 10:36 pm
by Sabilla
Rekonsiliasi Anak Bangsa dari Kalangan PKI, DI, TNI: Mengubur Dendam dan Benci

Image

JAKARTA,RIMANEWS - Rekonsiliasi Anak Bangsa dari Kalangan PKI, DI, TNI untuk mengubur dendam dan benci dilakukan pada. hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober ini. Anak-anak dari tokoh-tokoh organisasi pemberontak di masa Orla dan Pahlawan Revolusi berkumpul bersama. Mereka melakukan rekonsiliasi, mengubur rasa dendam dan benci.

Rekonsiliasi bertajuk Silaturahmi Nasional itu digelar di Gedung Nusantara III DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (1/10/2010) siang ini.

Tampak di antaranya anak Pahlawan Revolusi Jenderal Anumerta Achmad Yani, Amelia Yani, dan Nani, anak Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan.

Kemudian putra ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (CC PKI) DN Aidit, Ilham Aidit, dan anak Wakil CC PKI Nyoto, Svetlana, tampak juga Feri Omar Nursaparyan, anak mantan KSAU yang dicurigai terlibat G30/S PKI, Omar Dhani. Juga Christin Panjaitan puteri DI Panjaitan.

Tak ketinggalan anak dari tokoh pendiri Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) SM Kartosuwiryo, Sarjono, cucu tokoh DI/TII Aceh Daud Beureueh, Ahmad Zaidi dan putra bungsu mantan Presiden Soeharto, Tommy Soeharto, juga hadir dalam acara rekonsiliasi itu.

Dalam acara rekonsiliasi itu, dari MPR tampak Ketua MPR Taufiq Kiemas dan Ketua DPR Marzuki Alie.

Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipimpin anak SM Kartosuwiryo, Sarjono. Kemudian Amelia Yani memberikan sambutan.


"Penculikan dan pembunuhan oleh gerakan G 30/S PKI, peristiwa itu diperingati setiap 1 Oktober. Selanjutntya pemnunuhan terhadap sesama anak bangsa terus terjadi, ratusan ribu terbunuh, sebagian dari kami adalah anak yang kehilangan orang tua untuk melupakannya tidak mungkin. Kami mengalami trauma berkepanjangan," ujar Amelia.

Namun Amelia mengerti, rasa trauma itu tak cuma dimilikinya, putri yang ayahnya menjadi korban penculikan PKI. Beban berat juga dirasakan oleh anak-anak tokoh pemberontak itu.

"Tapi bagaimana dengan Ilham Aidit? Rasa ngeri dikucilkan dan takut memakai nama orang tua sendiri. Lalu bagaimana dari putra Omar Dhani yang menyaksikan Panglima AU itu dipenjara 30 tahun, tahun 1965 adalah fakta sejarah. Tapi adalah kesadaran diri masing-masing untuk berdamai. Karena memaafkan atau memberi maaf adalah sifat Allah SWT. Kami sadar dendam dan rasa benci sudah kami kubur dalam-dalam," tuturnya.

Christin Pandjaitan masih mengingat peristiwa berdarah 45 tahun lalu. Malam itu dia melihat sang ayah Mayjen DI Pandjaitan diberondong peluru para penculik hingga tewas.

"Saya lihat dari jauh otak ayah saya keluar," ujar Christin dalam sambutannya di acara silaturahmi Nasional di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (10/1/2010).

Christin mengaku bayangan itu sulit hilang dari ingatannya. Dia pun mengaku tidak pernah mau menyaksikan Film G30S/PKI yang pernah diputar setiap tahunnya.

"Saya tidak pernah menonton film itu. Saya tidak mau mengulanginya lagi," terang dia.


Christin sepakat rekonsiliasi antara anak-anak korban dan pelaku G30S/PKI harus dilakukan. Menurutnya setelah bertemu dengan anak-anak tokoh PKI seperti Ilham Aidit dan yang lainnya, dendam itu sudah lenyap.

"Kalau orang tua melakukan kesalahan, jangan diturunkan pada anak cucunya," pesan putri pahlawan revolusi ini.

Pesan Sarjono untuk Gayus

- Sarjono Kartosuwirjo, putra SM Kartosuwirjo pemimpin DI TII menyampaikan pesan untuk terdakwa mafia pajak Gayus Tambunan. Pesannya, Gayus harus ingat setiap perbuatan akan dimintai pertanggunjawaban kelak di akhirat.

"Tolong sampaikan pada Gayus, kalau dia percaya semuanya akan dipertanggungjawabkan, pasti dia tidak akan ambil uang itu," ujar Sarjono.

Sarjono mengatakan hal itu dalam sambutannya di acara silaturahmi Nasional di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (10/1/2010).

Sarjono menceritakan perjuangan ayahnya dengan penuh canda. Dia menceritakan dirinya dilahirkan di tengah hutan saat ayahnya sedang bergerilya.

"Saya lahir di hutan. 80 km dari Tasikmalaya. Monyet saja tidak betah tinggal di hutan itu," candanya.

Sarjono yang saat itu baru berusia 5 tahun mengingat pemerintah Soekarno tidak mengizinkan keluarga menyaksikan eksekusi atau mengetahui tempat ayahnya dimakamkan.

Namun dirinya mengingat ayahnya pernah menekankan bahwa hidup harus dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak.

"Kuburmu dicari, jejakmu ditelusuri, ajaranmu dikaji, mujahid tak pernah mati," ucap Sarjono berpuisi.

http://www.rimanews.com/read/20101001/3 ... -dan-benci

Re: Stigma PKI : Kisah Kehidupan Sulit Ilham Aidit

Posted: Fri Oct 01, 2010 10:41 pm
by Sabilla
Jumat, 01 Oktober 2010 | 16:34 oleh Lamgiat Siringoringo
PERINGATAN HARI KESAKTIAN PANCASILA

Tommy Soeharto bertemu anak tokoh PKI

Image

JAKARTA. Putra bungsu mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau biasa disapa Tommy Soeharto, menghadiri acara silahturahmi anak bangsa. Dalam acara yang memperingati Hari Kesaktian Pancasila ini juga hadir putra-putri pahlawan revolusi serta tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tampak hadir, anak Pahlawan Revolusi Jenderal Anumerta Achmad Yani, Amelia Yani; dan Nani Panjaitan, anak Mayor Jenderal TNI Anumerta DI Panjaitan. Kemudian putra Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia (CC PKI) DN Aidit, Ilham Aidit; dan anak Wakil CC PKI Nyoto, Svetlana, tampak juga Feri Omar Nursaparyan yang anak mantan KSAU yang dicurigai terlibat G30/S PKI, Omar Dhani.

Acara Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang diselenggarakan di Dewan Perwakilan Rakyat ini untuk mengumpulkan para keluarga yang menjadi bagian dalam sejarah Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI). Acara bertujuan untuk menghilangkan duka dan dendam masa lalu yang menimpa para keluarga korban dari peristiwa tersebut.

http://nasional.kontan.co.id/v2/read/na ... -tokoh-PKI

Re: Stigma PKI : Kisah Kehidupan Sulit Ilham Aidit

Posted: Fri Oct 01, 2010 10:47 pm
by Sabilla
Jumat, 01/10/2010 17:21 WIB
Tommy Soeharto: G30S/PKI Harus Jadi Renungan dan Pelajaran
Ramadhian Fadillah - detikNews


Jakarta - Anak Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau yang biasa dipanggil Tommy Soeharto mendapat giliran untuk memberi tanggapan seputar peristiwa G30S/PKI. Meskipun tidak berkomentar banyak, Tommy memuji acara silahturahmi antara anak-anak tokoh organisasi pemberontak di masa Orla dan Pahlawan Revolusi.

"Saat itu saya masih balita, bahkan belum lahir dalam peristiwa '57 sehingga tidak bisa memberikan komentar tentang hal itu," ujar Tommy Soeharto dalam sambutannya di acara Silaturahmi Nasional di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (1/10/2010).

Namun demikian, Tommy menyebut acara Silahturahmi Nasional ini sebagai suatu forum yang baik dan mulia. Dengan tenang, Tommy menyampaikan tanggapannya.


Tommy yang mendapat giliran paling akhir untuk menyampaikan sambutan ini, menyebut peristiwa G30S/PKI sebagai hukum sebab dan akibat yang harus diterima semua pihak.

"Dalam peristiwa G30S/PKI jika terbalik kejadiannya, jika Polit Biro yang berkuasa, mungkin kami yang menderita. Tapi Tuhan menentukan lain, kita renungkan dan kita ambil pelajaran," tuturnya.

"Kita tidak bisa merubah sejarah, tapi kita bisa merubah masa depan," kata Tommy yang mengenakan batik putih bermotif cokelat ini.

Tommy pun menyerukan, acara semacam Silahturahmi Nasional ini harus diteruskan di masa mendatang.

"Forum ini harus dilanjutkan, untuk membina hubungan sosial-ekonomi dan membangun bangsa," tutup Tommy yang hadir mewakili era Orde Baru ini.

(nvc/ken)
http://www.detiknews.com/read/2010/10/0 ... -pelajaran

Re: Stigma PKI : Kisah Kehidupan Sulit Ilham Aidit

Posted: Sat Oct 02, 2010 7:41 am
by Sabilla
Hari Kesaktian Pancasila
"Tuhan Melarang Kami Dendam"
Tribunnews.com - Jumat, 1 Oktober 2010 13:28 WIB
TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN

Image
HARI KESAKTIAN PANCASILA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta istri dan Wakil Presiden Boediono beserta istri menghadiri upacara hari Kesaktian Pancasila di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Jumat (1/10/2010). Hadir juga pada upacara tersebut pejabat tinggi negara dan perwakilan negara sahabat.

TERTULIS persis diatas sumur Lubang Buaya, tempat ke tujuh Jendral Pahlawan Revolusi dimasukkan saat peristiwa berdarah, atau dikenal peristiwa gerakan 30 September 1965.

"Tjita2 Perjuangan Kami Untuk Menegakkan Kemurnijan Patnja-Sila Tidak Mungkin Dipatahkan Hanja Dengan Mengubur Kami di Sumur ini."


Sesekali waktu, bila ada kesempatan, putra-putri termasuk para cucu-cucu ketujuh Jendral Pahlawan Revolusi, datang untuk mendoakkan di tempat yang kini diabadikan sebagai tampat bersejarah, Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur. Meski kini, jasad ketujuh Pahlawan Revolusi sudah dimakamkan secara layak, di Taman Makam Nasional, Kalibata.

Salah satunya adalah putri sulung Mayjen DI Panjaitan, Catherine Panjaitan (63). Sesekali wanita yang sudah uzur ini menghela nafasnya, kemudian menebar senyum saat mencoba mengenang peristiwa yang ia lihat langsung di rumahnya saat peristiwa itu, di rumahnya di Jalan Sultan Hasanuddin, Blok M, Jakarta Selatan, tahun 1965 lalu. Ketika itu, Chaterine baru berusia 17 tahun.

Dahinya terkerut, saat harus mencoba merasakan perasaan di hatinya setiap kali datang, dan melihat sumur Lubang Buaya yang kini diabadikan, dikenang sebagai peristiwa sejarah kelam bagi bangsa ini.

"Tak lagi harus melihat ke belakang terus. Hidup damai, bagi bangsa. Dua puluh tahun saya belajar untuk ikhlas. Melupakan masa lalu yang kelam," ujarnya saat ditemui khusus tribunnews, saat menghadiri peringatan Hari Pancasila Sakti, Jumat (1/10/2010).

Wanita penganut Kristen Pantekosta ini kemudian mengakui jujur. Awalnya, sejak pertama kali peristiwa berdarah yang merenggut nyawa ayah tercinta, hingga 20 tahun ke depan, seakan sulit, untuk bisa memaafkan. Waktupun terus berjalan, Chaterine merasa sudah dapat menerima peristiwa yang menjadi bagian dari hidupnya. Ia mengaku ikhlas, menerima kenyataan dan menghilangkan rasa dendam atas peristiwa itu.

Hal ini ia lalukan dengan berusaha menjadi teman, sahabat kepada putra-putri tokoh PKI. Bahkan, dalam satu kesempatan, beberapa kali Chaterine bertemu dengan putra tokoh PKI, DN Aidit, Ilham Aidit. Dalam kesaksian Ilham yang ia dengar, Chaterine mengaku tertegun hatinya. Ternyata, katanya lagi, keluarga pelaku maupun keluarga korban peristiwa tahun 65, sama-sama menderita, dengan konteks berbeda.

"Dalam hati saya, ternyata bukan hanya kami saja yang menderita. Mereka, juga menderita, dalam konteks lain. Menderita karena mereka mendapat stigma anak PKI," katanya.

"Saya berusaha bersahabat, berteman dengan Ilham (putra tokoh PKI, DN Aidit). Saya walcome, membuka diri untuk berdamai.Tidak memandang Ilham dengan sitgma lalu. Mari kita menjadi orang baru Tuhan tidak mengajarkan dendam. Agam lain juga mengajarkan seperti itu, jangan jadi pendendam" Chaterine meyakinkan.

"Buat apa memelihara dendam, kalau itu hanya terus menurun ke cucu-cucu. Jadi apa kita ini? Saya hanya ingin, apa yang menjadi pengorbanan bagi bangsa ini menjadi sia-sia.Kami ingin bangsa itu bersatu," ungkapnya lagi.
(tribunnews/Rachmat Hidayat)

Editor : kisdiantoro
http://www.tribunnews.com/2010/10/01/tu ... ami-dendam

Re: Stigma PKI : Kisah Kehidupan Sulit Ilham Aidit

Posted: Sat Oct 02, 2010 7:47 am
by Sabilla
Ini Kisah Anak DI Panjaitan dan Aidit
Jum'at, 01 Oktober 2010 | 20:47 WIB
Image
Putri mantan Presiden RI I Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri dan putra mantan Presiden RI II Soeharto, Hutomo Mandala Putra, bersama putera-puteri pahlawan revolusi dan keluarga Tapol 1965 Sardjono Kartosuwiriyo, Ferry Oemar Dani, Svetlana Dayani, Katrin Panjaitan, dan Ilham Aidit, saat pembacaan ikrar Forum Silaturahmi Anak Bangsa, di Gedung MPR/DPR, Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO Interaktif, Jakarta - Anak-anak para jenderal dan tokoh PKI melakukan pertemuan di Gedung MPR, Jumat (1/10) sore tadi. Dalam pertemuan yang bertajuk Silaturahmi Nasional di Gedung MPR itu mereka tampak akrab berbaur dan berbagi kisah.

Catherine Panjaitan, putri Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, dalam acara itu menuturkan bahwa dirinya butuh waktu 20 tahun untuk bisa menghilangkan rasa traumanya yang mendalam akibat kematian sang ayah yang terjadi di depan matanya.

Bahkan, ia enggan menonton film G/30/S yang dulunya selalu diputar di layar kaca pada tanggal 30 September. "Saya tidak pernah menonton film itu karena tidak mau ulangi (ingatan) dalam film itu. Saya melihat dari jauh bagaimana ayah saya ditembak. Bagaimana dia..." kisah Catherine kepada para hadirin acara Silaturahmi Nasional.

Namun Catherine meminta kepada semua pihak untuk saling memaafkan dan memandang semuanya dari segi kemanusiaan. "Kalau orang tua kita berbuat salah, jangan teruskan sampai ke anak cucu kita. Biar lah saya mengalah, saya meminta maaf kepada putera-putera yang dulu dianggap lawan."

Kisah traumatis serupa juga diungkapkan oleh Ilham Aidit. Dia mengaku sejak terjadinya Gerakan 30 September tersebut dirinya harus merelakan nama belakangnya tidak disandingkan dengan nama depannya.

"Saya yang terbiasa menggunakan nama Ilham Aidit kini sudah tidak bisa lagi. Tangan saya berhenti lama sekali. Namun sejak saat itu saya tidak berani menambahkan nama Aidit."

Selama puluhan tahun dia pun tidak lagi menuliskan Aidit dibelakang namanya. Hingga akhirnya tahun 2003 dia melihat namanya disandingkan dengan nama Aidit di dalam foto di sebuah media. "Pertama kali saya melihat itu saya terharu sekali. Saat itu saya memakai nama itu lagi dan saya tetap hidup."

"Setelah G30S saya keluar rumah. Tiba-tiba saya melihat tulisan besar gantung Aidit, bubarkan PKI. Saya terkejut. Badan saya bergetar, jiwa saya bergetar," kisah Ilham dalam acara tersebut. Sejak itulah Ilham tahu bahwa kehidupannya akan sama sekali berbeda.

Beruntung dia pun diangkat anak oleh beberapa keluarga. "Ayah saya didaulat sebagai musuh besar bangsa. Puluhan tahun itu terjadi. Namun ada tangan-tangan lain, saya diangkat anak. Masa sekolah saya sulit sekali, semua bilang PKI, saat itu saya punya reaksi melawan."

Ilham mengatakan, apa pun upaya mereka merekonsiliasikan tragedi tersebut perlu banyak hal yang harus dicermati. Dia pun berharap agar rekonsiliasi ini tidak hanya rekonsiliasi semu. "Rekonsiliasi butuh sifat kesatria dan jiwa besar. No future without forgiveness," ungkap Ilham.

MUTIA RESTY
http://www.tempointeraktif.com/hg/polit ... 66,id.html

Re: Stigma PKI : Kisah Kehidupan Sulit Ilham Aidit

Posted: Sat Oct 02, 2010 8:56 am
by pigsy
Penderitaan karena Stigma PKI bukan hanya menimpa Ilham, tapi juga keluarga besar Aidit di desa Buding, di pulau Belitung.

Mereka dikucilkan oleh masyarakat sekitar karena takut jika berinteraksi dengan mereka akan dianggap simpatisan.

Semoga dengan rekonsiliasi ini, semua dendam dan penderitaan dapat dilupakan.