Menggugat New World Order, Beriman kepada Demokrasi

Post Reply
daniel-ntl
Posts: 1640
Joined: Mon Mar 31, 2008 2:03 pm

Menggugat New World Order, Beriman kepada Demokrasi

Post by daniel-ntl »

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0109/21/opi01.html

Menggugat Tatanan Dunia, Beriman kepada Demokrasi

Oleh: Agus Haryadi

Selasa, 11 September 2001, berkemungkinan besar menjadi catatan sejarah paling fenomenal dalam tragedi yang pernah dialami oleh negara besar semacam Amerika Serikat. Tanpa diduga—sebelumnya penyerangan tak terduga juga pernah menimpa Amerika pada 7 Desember 1941 di Pearl Harbor yang kemudian memicu Perang Dunia Kedua—dua bangunan yang diklaim sebagai tertinggi itu luluh lantak dalam waktu tak lebih dari dua jam. Tak kurang, menurut perhitungan sementara, lebih dari sepuluh ribu orang tewas dalam tragedi itu.

Entah siapa pelakunya, yang jelas, perbuatan terkutuk itu telah meninggalkan luka mendalam tidak hanya bagi rakyat Amerika, tapi juga bagi siapapun yang masih punya nurani dan sisi peri kemanusiaan.

Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai negara yang paling giat dalam aktivitas anti terorisme, kini menghadapi kenyataan, negerinya menjadi sasaran bombardir kelompok terorisme internasional.

Pihak intelejen Amerika dipermalukan sejadi-jadinya akibat penyerangan tersebut. Apa yang sesungguhnya terjadi seakan meniscayakan sebuah kehendak yang melukai umat manusia sepenjuru peradaban. Sangat menyakitkan.

Mimpi buruk itu terjadi dengan meninggalkan catatan jumlah korban yang, sungguh, luar biasa besar jumlahnya. Tidak peduli berapapun jumlah korban yang jatuh, satu nyawa yang hilang dengan cara-cara biadab, ia tetap adalah kejahatan kemanusiaan. Kerugian semacam ini jelas tak bisa dinominalisasikan dalam hitungan dolar.

Karena harga nyawa manusia sampai kapan pun tak akan pernah terbilang dalam kuantisasi apapun. Terlebih, untuk ”kecelakaan” kali ini yang menelan korban dalam jumlah yang tak sedikit.

Belum lagi besarnya kerugian materi yang terjadi dari musibah ini. Kongres Amerika telah menganggarkan setidaknya 40 miliar dolar AS untuk menangani pembiayaan yang terkait dengan kehancuran gedung kembar tersebut.

Dampak temporal yang juga mungkin terjadi dari naas yang menimpa Amerika Serikat juga tak kecil terhadap warga keturunan Arab. Yang dalam sinyalemen intelejen kelompok teroris itu diindikasikan berasal dari kawasan Timur Tengah.

Ditambah dengan provokasi dan perilaku tidak etis sejumlah stasiun televisi di negeri itu yang menampilkan tayangan dusta berwujud kegembiraan warga Palestina yang sesungguhnya tidak terjadi.

Sentimen demikian bukan saja menyudutkan warga keturunan Arab yang tidak tahu menahu penyerangan tersebut, melainkan juga bisa memicu terjadinya berbagai aksi kerusuhan massa yang dimotivasi oleh kebencian dan sentimen rasialisme.

Sejumlah kekerasan dan pelecehan (harrasment) dalam skala kecil sudah mulai terjadi. Dan akan terus mengalami ekstensifikasi bila Pemerintah Amerika Serikat tidak secepatnya melakukan netralisasi dan melokalisasi konflik melalui segregasi identifikasi antara terorisme dengan masyarakat Arab sendiri.

Bayaran dari aksi kejahatan itu sudah barang tentu tidak kecil. Karenanya, atas nama kemanusiaan kita semua wajib mengutuk pembunuhan masal yang menimpa Amerika Serikat, atau negeri manapun. Tak ada satupun alasan yang bisa membenarkan kejahatan sebagaimana yang dilakukan kaum teroris itu.

Penyerangan itu tak hanya berdampak pada kematian para karyawan yang bekerja di gedung WTC ataupun Pentagon. Tapi pastinya, akan diikuti dengan sejumlah tindakan kekerasan lain yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat maupun warganya terhadap orang-orang yang belum tentu bersalah.

Dengan segenap rasa empati yang mendalam, kita di sini ikut merasakan keprihatinan yang mendalam terhadap keluarga korban penyerangan WTC maupun Pentagon. Doa kita, semoga kekerasan itu tak berlanjut dalam sebuah lingkaran tak terputus.

Siapa dan Mengapa
Upaya pemerintah Amerika Serikat untuk mengejar pelaku tindak kekerasan terorisme layak untuk didukung. Siapapun, orang atau organisasi yang mendalangi perbuatan terkutuk itu layak untuk diajukan ke pengadilan internasional atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya. Proses penyelidikannya sendiri mendapat dukungan dari berbagai negara yang siap membantu.

Australia, negeri yang tak bersedia mengurusi pengungsi saja, menyatakan akan ikut berpartisipasi aktif melakukan pengejaran terhadap sang teoris. Bahkan memberikan pernyataan bahwa penyerangan terhadap Amerika Serikat sama artinya dengan penyerangan terhadap Australia.

Paralel dengan Australia, negara di kawasan Asia seperti India dan Pakistan juga memberi perkenan wilayah darat dan udaranya digunakan untuk melancarkan serangan terhadap negara yang dicurigai menjadi sarang berkumpul teoris.

Singkatnya, Amerika sekadar tinggal memberikan instruksi, dan seluruh negara akan bergerak melakukan perburuan.

Dukungan yang sama diterima Amerika Serikat melalui para sekutunya di NATO yang terikat dengan Pasal 5 Pakta Pertahanan tersebut. Bahwa penyerangan terhadap Amerika Serikat ekuivalen dengan penyerangan terhadap negara-negara NATO.

Mengenai pelakunya sendiri, Afghanistan disebut-sebut sebagai negara yang akan menjadi sasaran kekesalan Amerika. Sejumlah besar pasukan telah dipersiapkan untuk melakukan penyerangan.

Osama bin Laden, seorang pengusaha asal Arab Saudi yang kini tinggal dalam perlindungan Afghanistan disebut-sebut sebagai dalang penyerangan itu. Meskipun telah membantahnya berkali-kali, nampaknya pemerintah Amerika Serikat kali ini telanjur kalap. Dan siap untuk melibas pihak manapun yang melindungi Osama.

Di Afghan sendiri, Ahmad Shah Mashood yang disebut-sebut sebagai oposisi pemerintahan Thaliban, dikabarkan tewas oleh serangan bunuh diri yang dilakukan agen pemerintah yang menyamar sebagai wartawan. Dalam rangkaian cerita yang sempurna, lengkap sudah alasan Amerika untuk melancarkan kegeraman terhadap pemerintah berkuasa di Afghanistan.

Meskipun sesungguhnya, belum ada bukti yang cukup untuk menunjukkan keterlibatan Osama dalam penyerangan terhadap Gedung World Trade Center.

Terlepas dari siapapun pelakunya, seharusnya pertanyaan ”siapa” (who) tidak berhenti di titik itu. Melainkan harus dilanjutkan pada pertanyaan lanjutan ”mengapa” (why). Pastinya, ada motif yang mendorong sejumlah orang merelakan dirinya menemui kematian.

Jawaban atas pertanyaan ”mengapa” perlu segera dicarikan, agar kejadian serupa tidak terulang di hari-hari mendatang. Dengan menggali akar persoalan yang muncul, diharapkan fenomena pembunuhan masal ataupun kejahatan kemanusiaan terhadap pihak yang tak berdosa tak perlu terjadi.

Menggugat Tatanan Dunia
Hancurnya Gedung WTC—banyak pihak menyebutnya sebagai simbol kapitalisme internasional—tentu saja tak bisa dilihat hanya dalam kacamata kemarahan satu pihak—entah siapa—terhadap Amerika Serikat. Jelas, kejadian itu bukan kecelakaan biasa. Melainkan memang benar-benar sebuah penyerangan yang mengandung motif multi dimensi.

Sangat mungkin ada aspek idiologi, kebencian, frustasi, dan kemarahan. Tapi lebih jauh dari itu, penyerangan tersebut mesti dibaca sebagai narasi bernada gugatan terhadap tatanan dunia yang pincang.

Kenyataan itu sekaligus merupakan penegasan bahwa sistem yang tercipta dalam relasi antar negara di dunia sesungguhnya menyimpan bom waktu yang sewaktu-waktu siap meledak atau diledakkan. Hanya tinggal menunggu inisiator yang siap memicu dan membuahkan peperangan antar negara di dunia.

Tatanan dunia yang tengah berlangsung kali ini berangkat dari kemenangan kapitalisme internasional dalam pertarungan gagasan. Superioritas ide itu melahirkan ketimpangan yang dalam berbagai hal membuat umat manusia terperanjat dan bersikeras memalingkan wajahnya dari kenyataan.

Mencari dan mengejar mimpi adalah ambisi besar Dunia Ketiga yang terus bersitegang dengan waktu memenuhi harapan masyarakatnya tentang kesejahteraan.

Gugatan pertama menyangkut dominasi negara-negara maju terhadap Dunia Ketiga dalam kurun waktu yang sangat panjang.

Setelah melewati periode kolonialisme Eropa yang dalam banyak hal menghisap dan menguras kekayaan negara-negara terjajah, kini diikuti dengan penciptaan relasi dependensi yang akut. Logika modernisasi yang dikembangkan Dunia Kesatu membangun perangkap yang memberikan kendala luar biasa besar bagi negara-negara satelit meraih kemajuan.

Pemahaman tentang international division of labor disosialisasikan dalam penampakan yang ramah. Sementara, di sebaliknya, tersimpan hasrat yang tinggi untuk merampas nilai lebih yang dihasilkan Dunia Ketiga.

Upaya negara-negara berkembang untuk mengejar ketertinggalannya pun tak kalah sulit. Upaya memasuki industrilisasi tak jarang mengalami hambatan yang besar disertai biaya sosial yang tinggi.
Tetapi, isu keterbukaan pasar dan gelombang globalisasi yang dikampanyekan para penganut aliran neoliberal mengakibatkan Dunia Ketiga kian terjepit. Alih-alih kemajuan yang dicapai, malah utang dalam jumlah besar yang didapat.

Hegemoni negara-negara metropolis terhadap pasar memang telah memaksa negara-negara terbelakang mengambil sikap hati-hati sekaligus membangun kekuatan untuk melakukan perlawanan diam-diam. Tetapi, agenda perlawanan itu tak banyak berarti karena tingkat kemampuan dan kapasitas yang terbatas telah menciptakan ketergantungan yang sangat parah.

Sialnya, ketergantungan itu justru tak banyak membantu Dunia Ketiga mencapai kemajuan.

Bahkan sebaliknya, justru menciptakan ketergantungan yang kian parah. Gelombang penjajahan berwajah baru nampak jelas terlihat melalui berbagai pengurasan sumber daya alam dalam jumlah yang tak sedikit.

Pemiskinan dalam skala luas terjadi melampaui jazirah negara terbelakang melampaui area nadir yang tidak dapat ditoleransi. Berbagai perusahaan multinasional yang merupakan wujud dari kapitalisme transnasional membangun jejaring dengan pretensi penghisapan.

Akibatnya, imperialisme ekonomi merasuk dengan cara yang sangat halus sekaligus membuat kekuatan Dunia Ketiga mengalami impotensi. Rencana pembangunan nasional dari negara-negara satelit bukan hanya sekadar terhambat. Melainkan, bahkan berakhir dengan kegagalan. Sebab, setiap potensi kekuatan ekonomi Dunia Ketiga muncul sebagai kekuatan baru, maka negara-negara maju langsung memberangus dengan kekuatan kapital yang mereka miliki.

Sejalan dengan apa yang terjadi dalam dinamika penciptaan ketergantungan negara terbelakang, gugatan kedua meliputi efek-efek dari berbagai dimensi akibat globalisasi.

Ketidaksiapan negara-negara terbelakang telah menginisiasi diri mereka untuk bereaksi dalam bentuk respons yang terkadang berlebihan. Tidak kurang para petani kini menghadapi ancaman global dari kemungkinan terjadinya marjinalisasi kapasitas dan kemampuan ekonomi mereka dari kancah perekonomian nasional.

Daya saing yang lemah tak mengalami penguatan akibat globalisasi melarang bentuk-bentuk proteksi terhadap siapapun. Dengan cara ini, negara relatif hanya sekadar berkepentingan mengejar pertumbuhan ekonomi dengan segala konsekuensinya.

Pemerataan diabaikan dengan menekan secara keras kemungkinan terjadinya penguatan kantung-kantung ekonomi rakyat. Padahal, di lain pihak ekonomi rakyat justru merupakan penopang utama yang memiliki kemampuan tangguh dalam membangun infrastruktur ekonomi. Di samping kenyataan bahwa ekonomi nasionalisme akan jauh lebih dominan dimiliki oleh para penggerak roda ekonomi rakyat.

Keadaan yang terus menerus tertekan mengakibatkan perbaikan ekonomi mengalami penyumbatan. Tak jarang pula bahkan harus diakhiri dengan kenyataan pahit di mana proses pemiskinan ikut didukung oleh pemerintah berkuasa dalam berbagai bentuk. Rekapitalisasi hanya bisa diakses oleh pihak tertentu yang memiliki penguasaan jaringan cukup baik terhadap kekuasaan.

Pemerintah yang seharusnya menjalankan demokrasi di segala aspek, termasuk ekonomi, akhirnya harus ikut dalam arus besar tuntutan oligarki kekuasaan. Penguasa menjadi aristokrat yang seolah-olah memiliki kewenangan penuh untuk mengatur nasib rakyat.

Puncaknya, negara maju dengan bebas mempecundangi Dunia Ketiga melalui efek globalisasi yang memang sengaja dilakukan melalui rekayasa ekonomi internasional. Lembaga-lembaga internasional semacam IMF, World Bank, ataupun WTO adalah sedikit dari sejumlah besar lembaga yang harus bertanggung jawab atas berlangsungnya kemiskinan yang dialami Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.
Pemerasan dan eksploitasi yang berlangsung secara menahun juga memberikan dampak terhadap lingkungan dan ekologi Dunia Ketiga yang rusak akibat terus menerus dieksploitasi negara-negara maju.

Dalam jumlah yang sangat besar, sumber daya alam Indonesia dikuras untuk kemudian hasilnya dirampas melalui cara-cara perdagangan yang tidak adil. Sementara pembangunan nasional menuntut terus keberlangsungan (sustainable) dari sumber daya alam tersebut.

Di lain pihak, negara-negara maju pula yang paling giat menyuarakan pentingnya memberikan advokasi terhadap lingkungan hidup dan ekologi dari bahaya indrustialisasi.

Sementara, dari aktivitas industrialisasi yang dilangsungkan Dunia Ketiga, sesungguhnya tersimpan pula kepentingan negara maju untuk mengenyam berbagai hasil sumber daya alam tersebut.

Bahkan ketika Amerika mengkampanyekan ide tentang dekolonisasi negara-negara di kawasan Asia, tidak lepas pula dari kepentingan Amerika untuk membuka akses yang lebih luas terhadap berbagai hasil sumber daya alam. Perginya penjajah lama dari kalangan kolonialis Eropa tidak berarti mendatangkan kebebasan bagi masyarakat Asia.

Yang terjadi justru kekerasan struktural baru dalam wujud dominasi ekonomi yang dimainkan Amerika Serikat dengan didukung negara-negara Dunia Kesatu lainnya. Hegemoni yang terjadi bahkan lebih parah di bawah superioritas Amerika.

Dalam segala lini, Amerika memaksakan tafsir tunggal terhadap ide mengenai demokrasi, hak asasi, perlindungan lingkungan dan humanisme. Akan tetapi, kemampuan beretorika tata dunia baru itu diikuti pula oleh kenyataan gagalnya pembangunan masyarakat internasional yang memiliki kesalingtergantungan. Relasi telah bertransformasi menjadi eksploitasi.

Situasi ini terang saja memunculkan kebencian yang tak kecil. Setidak-tidaknya, masyarakat internasional tak bisa menutup mata atas berbagai fenomena standard ganda yang diterapkan oleh Amerika.

Dukungan Amerika terhadap demokrasi seringkali menjadi alat penekan Amerika terhadap bangsa-bangsa Dunia Ketiga. Tidak tanggung-tanggung, lembaga-lembaga internasional pun ikut dilibatkan (dimanfaatkan?) untuk mendukung kepentingan Amerika. Persis seperti Stalin di waktu lalu yang juga memanfaatkan komunisme internasional (komintern) untuk kepentingan Soviet.

Tindakan salah kaprah disempurnakan dengan tidak konsistennya Amerika di berbagai belahan dunia. Aljazair, Turki, dan Pakistan adalah contoh terbaik di mana Amerika memberi dukungan penuh pada tiga negara tersebut yang nyata-nyata berangkat dari hasil kudeta militer terhadap pemerintah sipil. Dilihat dari sudut pandang demokrasi, ketiga kudeta tersebut jelas bertentangan dengan demokrasi. Tapi, tokh, kenyataannya Amerika tetap mendukung.

Di lain pihak, tekanan Amerika terhadap berbagai negara Dunia Ketiga yang dianggapnya melanggar hak asasi manusia juga berlangsung dalam taraf yang sangat mengkhawatirkan.

Akan tetapi, penembakan warga Palestina hanya disambut dingin oleh Amerika yang tak diikuti dengan aksi militer—atau setidak-tidaknya kecaman—terhadap Israel. Standar ganda yang diterapkan secara luas ini tentu saja menghadirkan kegelisahan yang massif di berbagai kalangan yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah Amerika.

Puncaknya, yang mesti diingat oleh Amerika adalah tersisanya dendam dan kemarahan sejumlah negara terhadap Amerika akibat peperangan panjang yang pernah terjadi di masa lalu. Jepang, Irak, Iran, Sudan, Somalia, dan Vietnam adalah sebagian kecil negara yang hingga hari ini masih dalam proses pemulihan dan penyembuhan luka yang pernah dialaminya di masa lalu.

Meskipun dalam kadar yang kecil (besar?), kebencian itu nampaknya masih tersisa. Terlebih, sisa-sisa peninggalan perang itu berwujud ”monumen” bernyawa berupa banyaknya orang-orang yang menderita cacat—fisik maupun mental—akibat perang yang terjadi.

Narasi ketiga dari gugatan terhadap tatanan dunia adalah, menyangkut kegagalan idiologi-idiologi besar dunia menjawab berbagai persoalan kemanusiaan. Dalam periode yang sangat panjang kegagalan itu telah melahirkan sebentuk perasaan frustasi kolektif di kalangan masyarakat dunia.

Kapitalisme yang muncul sejalan dengan kelahiran liberalisme telah mengeliminasi dan mengusir jauh-jauh peran negara dari aktivitas masyarakat. Semangat yang lahir sebagai bentuk pemberontakan terhadap absolutisme monarki pada waktu itu telah menciptakan formasi sosial baru. Yang tak hanya sekadar merekonstruksi perilaku negara, kecuali itu juga bahkan mereduksi negara dari relasi antar sesama masyarakat.

Dampaknya paling utama terasa dalam penjelasan yang diuraikan oleh Marx melalui teori nilai lebih. Yang dengan sangat argumentatif menjelaskan betapa tindak eksploitasi berlangsung dalam kadar kekerasan di berbagai lini. Kepincangan itu mengakibatkan kesenjangan yang sangat dalam dari pihak pemilik modal dengan kaum proletar yang bekerja.

Kerasnya kapitalisme telah menampar kaum buruh ke tepian jurang kemiskinan. Kekejaman ini melahirkan sebentuk alienasi dari kaum buruh atas pekerjaannya sendiri dan berakibat pada kemarahan yang meluas melalui berbagai aksi propaganda dan tuntutan pencanangan revolusi proletariat. Di lain pihak, negara-negara yang menganut paham komunis juga gagal menunjukkan kemampuan dirinya untuk menjawab berbagai persoalan yang terjadi.

Kemiskinan—meskipun bersifat lebih kolektif dan merata—tetap menjadi ciri yang senantiasa melekat. Di samping kenyataan bahwa komunisme juga gagal menunjukkan kemampuan dirinya untuk mengelola kebebasan warga negara yang direnggut atas nama rakyat.

Dalam pengertian yang substantif, negara-negara komunis berkecenderungan tinggi untuk menggunakan kekerasan dan bertangan besi dalam mengelola kekuasaan.

Akibatnya, warga negara membatasi diri dalam berapresiasi dan berkreasi melahirkan gagasan-gagasan baru. Kebebasan yang terpasung telah memenjarakan rakyat dalam kerangkeng yang mengatasnamakan kesetaraan dan kebersamaan.

Jargon-jargon tentang kemampuan idiologi tersebut menjawab berbagai kemanusiaan, pada akhirnya juga berakhir di ujung jalan yang sama: kegagalan.

Tidak terujinya idiologi-idiologi besar dunia melahirkan sikap skeptik dari masyarakat dunia. Proses modernisasi berjalan dengan cara yang sangat tersendat, diikuti dengan saudara kembarnya berupa kecemasan masal tentang kemungkinan ekstensifikasi kejahatan kemanusiaan yang kian akseleratif.
Tawaran-tawaran baru berwujud jalan ketiga sekalipun, sampai hari ini tidak cukup teruji kredibilitasnya dalam menyajikan jawaban-jawaban yang lumayan komprehensif terhadap berbagai persoalan kemiskinan, pengangguran, dan soal-soal kemanusiaan lainnya.

Keempat, gugatan itu bermuara pada kekecewaan yang mendalam terhadap agama-agama formal (organized religion) yang awalnya menjanjikan pesan-pesan perdamaian. Tapi justru ikut terperangkap dalam konflik global sebagai alat pemantik paling efektif untuk meluapkan kemarahan dan kebencian antar sesama umat manusia.

Agama formal yang hampir seluruhnya mengajarkan tentang kasih sayang, welas asih, dan cinta, sesungguhnya merupakan kapital sosial bagi negara untuk memupuk rasa persaudaraan. Akan tetapi, agama formal juga mengenalkan klaim-klaimnya mengenai kebenaran dan keselamatan.

Konversinya, terwujud dalam wajah agama yang damai tiba-tiba berubah menjadi garang dan penuh amarah. Atas nama Tuhan tak jarang berbagai pihak mengangkat senjata dan menyatakan jihad (perang suci) terhadap pihak lain yang dianggap musuh Tuhan. Darah menjadi barang murah untuk memuaskan nafsu kebenaran relatif yang kemudian diyakini secara mutlak.

Kondisi ini sesungguhnya telah menghentikan fungsi-fungsi agama sebagai jalan manusia mencapai jalan damai. Kritik atas agama menjadi kian berkembang dan bahkan memunculkan frustasi gaya baru dari umat manusia. Agama meninggalkan tradisi profetik yang mengajarkan manusia tentang arti pembebasan dan kebebasan secara substantif.

Tradisi klaim yang diwariskan dari abad ke abad kini tertuai dalam wujud terlukanya wajah kemanusiaan. Tak sedikit pula akhirnya anak-anak dan perempuan yang jadi korban.

Gagalnya agama-agama formal dalam mencarikan solusi yang tepat bagi umat manusia melahirkan ekspektasi terhadap kemungkinan solusi lain. Manusia berpaling dari agama dan meniti jalannya sendiri menuju kebenaran. Distorsi yang terlalu luas, parah, dan akut menciptakan struktur sosial yang rapuh serta mudah dihancurkan.

Kemana Dunia Bergerak?
Penyerangan terhadap WTC dan Pentagon telah cukup menghenyakkan hampir seluruh masyarakat internasional. Besarnya jumlah korban telah melahirkan kepedihan dan luka yang mendalam, mengingat orang-orang tak berdosa harus ikut menjadi korban perbuatan terkutuk dan tak berperi kemanusiaan itu. Sungguh menyakitkan.

Atas nama kemanusiaan, kita teramanahi kewajiban untuk memberi dukungan kepada pemerintah Amerika dalam mengejar pelaku penyerangan tersebut. Tak peduli siapapun, otak di belakang penyerangan tersebut pastilah orang atau organisasi yang tak pernah punya cukup kemampuan untuk mengeja arti kemanusiaan.

Akan tetapi, kesemua tindakan itu mesti dilanjutkan dalam sebuah kontemplasi yang mendalam. Bahwa, pada hari ini umat manusia bernanung dalam sebuah kegamangan masal yang menyeretnya pada sikap skeptik massif.

Kegagalan tatanan dunia baru (new world order) yang memuja pasar bebas; terpuruknya arogansi ideologi-ideologi besar dunia; atau inisiasi kekerasan yang dimotivasi oleh agama-agama formal, membuat semua orang kini memalingkan diri dan mencari cara hidup baru yang mampu menawarkan kedamaian. Peradaban kapitalisme yang sebelumnya disujudi sebagai the end of history nampaknya juga harus merevisi pandangan-pandangannya.

Belum lagi benturan peradaban sebagaimana diramalkan Huntington, yang pastinya akan dikuti tindak kekerasan dan pertarungan militer yang memakan korban kemanusiaan dalam jumlah yang jauh lebih besar dari yang pernah dibayangkan orang selama ini.

Perang Dunia Ketiga yang sebelumnya sekadar mimpi buruk bagi masyarakat dunia, kian mendekati kenyataan ketika para pemimpin dunia gagal untuk menunjukkan sikap yang arif.

Oleh karena itu, tantangan baru bagi Amerika sesungguhnya tidak terletak untuk melakukan serangan balasan terhadap sejumlah negeri yang dicurigai menyembunyikan sang teroris. Mengingat akibat yang ditimbulkan pastinya akan menelan korban yang tak sedikit. Di hari-hari ini saja, sudah mulai terjadi gelombang pengungsian di Afghanistan akibat kekhawatiran kecamuk perang yang mungkin terjadi.



Tantangan yang sesungguhnya bagi Amerika kali ini terletak pada usaha untuk memberikan jalan penyelesaian terhadap berbagai persoalan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, dan soal-soal kemanusiaan lainnya.

Di mana kesemua masalah itu muncul sebagai akibat rekayasa internasional yang didisain oleh Amerika sendiri melalui tatanan dunia baru (new world order).

Amerika Serikat tak perlu malu untuk merevisi pandangan-pandangannya untuk mencari sesuatu yang hilang dari sistem yang telah terbentuk selama ini. Sebagaimana yang dikatakan Frithjof Schuon, yang hilang dari dunia kita saat ini adalah pengetahuan tentang hakikat alam semesta.

Dan ketika demokrasi dijadikan sebagai landasan peradaban masa depan, yang harus dipahami adalah makna demokrasi itu sendiri. Yang kandungan pengertiannya mesti dilihat sebagai proses yang dinamis dan berkembang. Ia bukan kata benda atau suatu keadaan tertentu yang bersifat stagnan.

Demokrasi mesti dipandang sebagai metode yang lahir untuk membuka jalan kesejahteraan bagi kemanusiaan. Dan ketika demokrasi justru menghancurkan dimensi kemanusiaan, maka di titik itulah fungsi-fungsi demokrasi berhenti.

Lebih jauh, beriman kepada demokrasi berarti mengajarkan kepada para penganutnya untuk menegakkan prinsip-prinsip civil liberty. Di mana orang mendapatkan hak kebebasan, menghormati perbedaan, bersikap toleran, sekaligus menerima kenyataan tentang perlunya membangun konsensus dalam mencari titik temu.

Relasi sosial juga perlu dijaga melalui sebuah formulasi yang dirumuskan lewat civil religion. Kemungkinan terjadinya kerusuhan bermotif rasialisme ataupun agama bisa dihindari bila prinsip-prinsip civil religion ditegakkan.

Puncaknya, kita harus tetap menyisakan harapan dalam benak yang terusik kegamangan. Berharap matahari akan masih tetap bersahabat menyinari umat manusia di saat manusia justru kian ligat menyemai kerusakan. Janji matahari adalah hutang yang ditepati. Kita sisakan harapan agar manusia berikrar, menghentikan kekerasan dan menepati jajnjinya. Seperti matahari yang tak pernah ingkar janji.

Penulis adalah Associate Director pada The Center for Presidential and Parliamentary Studies – Paramadina
Post Reply