Perlindungan Kebebasan Beragama yang Kian Payah

Post Reply
User avatar
morpheus
Posts: 34
Joined: Tue Sep 13, 2005 10:58 pm

Perlindungan Kebebasan Beragama yang Kian Payah

Post by morpheus »

Perlindungan Kebebasan Beragama yang Kian Payah - 11 Maret 2006

Pasal 29 ayat 2 UUD'45 melindungi kebebasan setiap WNI untuk
beribadah menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Tapi
ironisnya kebebasan beragama di Indonesia mengalami masa-masa yang
sangat suram. Pemerintah melalui perangkat hukum, lebih mengontrol
kebebasan beragama ketimbang melindungnya. Demikian pula lembaga-
lembaga keagamaan 'resmi' cenderung memaksakan pengertian mereka
masing-masing pada masyarakat daripada mengayomi kehidupan beragama
di Indonesia.

Karena itu, National Integration Movement (NIM) pada hari Sabtu, 11
Maret 2006, mengadakan diskusi bulanan kebangsaan bertema :
"Perlindungan Kebebasan Beragama yang Kian Payah" dengan menghadirkan
Prof. Dr. Dawam Rahardjo - president The International Institute of
Islamic Thoughts dan Mona Darwich - seorang Pemerhati Budaya dan
Integrasi dari Libanon. Diskusi kali ini menempatkan Ahmad Yulden
Erwin, seorang penulis buku dan aktivis LSM Anti Korupsi,
pada kursi moderator.

Prof. Dawam Rahardjo memulai pembicaraan dengan mengungkapkan
paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Salah satunya adalah hubungan kekerasan dengan agama. Agama yang
semestinya identik dengan kesejukan dan kelembutan telah berubah
menjadi alasan bagi melakukan kekerasan terhadap sesama di Indonesia.
Beliau menyoroti kekerasan yang terjadi pada tempat-tempat hiburan,
rumah ibadah agama lain, komunitas "Lia" Eden dan kelompok Ahmadiyah,
yang sebagian besar justru terjadi setelah Sholat Jumat ataupun
Tablig Akbar. Ini terjadi karena khotbah-khotbah pada acara-acara tsb
justru dipenuhi oleh khotbah-khotbah penuh kebencian. Apakah ini yang
disebut beragama ?

"Bila kita berlebih-lebihan dalam beragama, maka kita akan kehilangan
keseimbangan yang berakibat gelisahnya jiwa melihat realitas yang ada
di sekitar kita. Kita akan melihat segala sesuatu adalah dosa dan
kesalahan dalam diri maupun sekitar kita. Ini memicu kemarahan kita,
yang pada akhirnya kekerasan pada segala sesuatu yang kita anggap
dosa ataupun kesalahan" tutur beliau secara singkat dalam menjelaskan
hubungan antara agama dengan kekerasan.

Masalah utama mengenai kebebasan beragama di Indonesia, menurut Prof.
Dawam adalah (1) Tidak adanya pengertian yang benar tentang Agama,
terutama oleh pemerintah. Agama didefinisikan sebagai suatu doktrin
yang percaya pada Tuhan yang berpribadi, Nabi, Kitab Suci, dsb.
Definisi ini jelas merupakan definisi yang diambil dari kacamata/
pandangan orang beragama Islam (atau Kristen-ed). Jadi apakah adil
bila definisi ini diterapkan juga pada agama-agama lain seperti
Buddha dan Konghucu? Buddha dan Konghucu tidak mengenal Tuhan yang
personal, tapi mereka mengenal konsep KeTuhanan. Apakah karena hal
ini, Buddha dan Konghucu tidak dapat disebut agama ? Sila pertama
Pancasila sendiri jelas mengakomodasi: KeTuhanan Yang Maha Esa, bukan
Percaya pada Tuhan Yang Berpribadi atau Personal.

John Hick mendefinisikan agama sebagai faith atau kumpulan- kumpulan
tradisi. Agama Islam misalnya banyak dipengaruhi tradisi- tradisi
budaya Arab. Jadi sangatlah wajar bila Agama Islam di Indonesia,
misalnya beralkulturasi dengan tradisi budaya Jawa, Sunda, Bugis,
dsb. Ketika Muhammadiyah (Prof. Dawam pernah menjabat sebagai salah
satu ketua dalam organisasi ini-ed) ingin melakukan purifikasi
(kemurnian) ajaran Islam dari tradisi budaya (lokal) yang melekat
pada agama ini, maka beliau juga mengingatkan Muhammadiyah untuk
membersihkan ajaran Islam dari tradisi budaya Arab. Alasan Purifikasi
ajaran Islam itu sebenarnya upaya mempromosi ajaran Islam beraliran
Arab Wahabi (Arab Saudi) saja dan merepresi ajaran Islam beraliran lain.

Menurut beliau, RUU APP juga merupakan suatu bentuk represi dan itu
adalah kesalahan RUU ini.
Seks dianggap dosa, padahal Seks adalah
sumber dari kehidupan dan kreativitas. Menurut (Sigmud) Freud, bila
Seks direpresi maka akan menjadi penyakit. Tapi bila id (istilah
Naluri dalam bahasa psikologi-ed) mengalami sublimasi sekaligus tanpa
terkendali maka manusia pun bisa menjadi gila atau bersifat agresif.
Makanya id ini harus 'disirami' dengan Eros/Cinta/Al-Rahman. Jika
tidak, akan ter-represif. Tapi dalam jiwa manusia, terdapat Ego atau
Pusat Rasionalitas yang selalu melihat di tataran realitas, berfungsi
untuk mengimbangi id tersebut. Masalahnya percaya-kah kita dengan
rasionalitas manusia, dengan kemampuan manusia sendiri untuk
mengontrol dirinya sendiri? Menurut paham liberal (rasionalitas) yang
percaya bahwa manusia mempunyai otonomi atas dirinya sendiri, Tuhan
memberikan manusia ketaqwaan, yaitu: kemampuan untuk mengontrol
dirinya sendiri, seperti yang tertulis dalam Al-Quran.

Agama/Kepercayaan lebih baik dikendalikan oleh Etika/Filsafat, bukan
dengan Hukum karena Hukum itu bersifat represif, yang menimbulkan
Rasa Takut. Kelemahan (Agama) Islam itu sendiri berasal dari anggapan
diri bahwa Islam sebagai "agama langit" yang paling baik/sempurna
sehingga ingin mendominasi (seperti penerapan Syariat Islam)
agama-agama lain. Hal ini menimbulkan diskriminasi yang tersimpan
potensi kekerasan. "Agama Langit" membenarkan klaim "eksklusifitas"
karena merasa yang punya "kunci keselamatan." Semestinya, kita
mempromosikan kesetaraan agama-agama dengan meniadakan istilah "agama
langit dan agama bumi."

Masalah ke-2 mengenai kebebasan beragama di Indonesia adalah (2)
Tidak adanya pengertian bahwa kebebasan beragama itu adalah Hak Asasi
Manusia (HAM) sehingga tak ada otoritas apapun atau siapapun yang
dapat mengintervensi keyakinan seseorang, sekalipun Pemerintah,
Pemuka Agama atau MUI.
Menteri Agama bukanlah Tuhan sehingga tidak
sepatutnya mengatakan Ahmadiyah adalah ajaran sesat, apalagi
mengusulkan aliran Ahmadiyah untuk kembali pada ajaran Islam yang
murni atau mendirikan agama baru. Demikian pula Ketua MPR, Hidayat
Nur Wahid, semestinya memahami bahwa HAM itu melekat pada manusia
sejak dilahirkan di bumi, bukan pemberian dari negara atau siapapun
sehingga setiap orang tidak bisa dipaksakan untuk beriman pada suatu
aliran/agama tertentu yang dianggap resmi oleh pemerintah maupun pemuka agama.

Hak Asasi Manusia Dalam Beragama adalah juga termasuk hak asasi untuk
tidak beragama atau hak untuk menjadi murtad. Kalaupun mau
beriman/beragama, hal itu tidak dapat dipaksakan dan merupakan
keputusan pribadi seseorang. Justru pada masa lalu, seorang pejabat &
pemimpin Islam seperti Bapak H. Agus Salim memiliki pemahaman yang
lebih baik tentang HAM ketika beliau pernah menyatakan bahwa orang
yang beragama dan tidak beragama punya hak hidup yang sama sebagai
warganegara di Indonesia.

Tapi para pejabat dan pemuka agama sekarang ini justru tidak memahami
hal-hal seperti ini. Misalnya, Hak Sipil adalah HAM yang sudah
dimasukkan dalam Konstitusi, seperti HAM Beragama sudah tertuang
dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD'45. Jika telah menjadi Hak Sipil, maka
Negara melalui pemerintah yang berkuasa, mempunyai kewajiban untuk
memproteksi Hak Sipil warganya, bukan malah mengaturnya. Bila
pemerintah tidak memproteksinya atau membiarkan penganiayaan yang
terjadi dalam masyarakat karena masalah agama, maka hal ini dapat
dianggap melanggar dan disebut CRIME by Omission. Jadi kelompok
Ahmadiyah dan komunitas Eden pun sepantasnya dilindungi oleh
pemerintah, bukan malah dibiarkan untuk dibantai oleh kelompok
masyarakat lain atau dipenjarakan seperti Lia Aminuddin.

Contohnya dalam kasus Ahmadiyah di Lombok. Kelompok Ahmadiyah bukan
hanya dibiarkan oleh Pemda setempat, dianiaya dan diusir oleh
masyarakat yang tidak se-aliran, tapi juga ditolak untuk pindah dan
hidup damai di tempat lain di Lombok. Mau kemana lagi mereka tinggal
? Ini adalah pelanggaran HAM besar yang dilakukan oleh pemerintah
yang berkuasa. Maka sangat wajar, bila kelompok Ahmadiyah mengajukan
permohonan suaka politik pada negara lain. Dan bila permohonan suaka
politik itu dikabulkan, celakalah Indonesia. President SBY sendiri
sangat tidak mengerti masalah Hak Kebebasan Beragama ini ketika
membiarkan masalah Ahmadiyah diselesaikan oleh masyarakat sendiri.
Bila ada masyarakat yang mengadu biarkanlah pengadilan yang
menentukannya. Pertanyaan-nya: Apakah Pengadilan berhak mengadili
keyakinan seseorang ? Tentu saja tidak bisa.

Dalam kasus komunitas "Eden," pemerintah mengatakan bahwa evakuasi
paksa yang mereka lakukan adalah dalam rangka menyelamatkan Lia
"Eden" dan pengikut-pengikut-nya dari amukan massa. "Tapi bila
istilahnya Evakuasi, kenapa bukannya ditempatkan ke tempat yang aman,
tapi malah dipenjara ?" seru Prof. Dawam mengungkapkan
kebingungannya. Lia "Eden" dimasukan bersama 35 orang lainnya dalam
suatu sel penjara kecil yang di tengah-tengahnya terdapat WC yang
kotor dan bau. Ketika menolak memberikan uang kepada sipir penjara
maupun napi lainnya karena tidak sesuai dengan kata hatinya, maka Lia
"Eden" pun mendapat kekerasan dari mereka sampai akhirnya beliau
menawarkan jasa pemijatan pada para napi teman satu selnya. Para napi
pun akhirnya tergugah hati mereka dan mereka berbalik bingung kenapa
seorang seperti Lia "Eden" harus meringkuk dalam penjara yang sempit
seperti mereka.

Negara (pemerintah-ed) tidak boleh bersikap menghakimi mana agama
yang benar dan mana yang sesat. Seorang Negarawan atau pemimpin yang
mewakili negara seharusnya menganggap semua agama itu benar dan
mengakomodasi kepentingan semua agama di negara itu. Jadi tidak
sepatutnya bila seorang Ketua MPR, misalnya mengklaim agama yang
dianutnya adalah agama yang paling benar.

Dalam sesi tanya-jawab, beberapa peserta diskusi dari UIN- Ciputat
bertanya tentang Pluralisme. Apa yang terjadi dengan identitas agama
dalam Pluralisme ? Apakah seorang Pluralis bisa menjadi fanatik
dengan paham Pluralisme sendiri ? Prof. Dawam menjawab bahwa justru
dalam Pluralisme, identitas tiap agama diakui, dipertahankan, dan
dihormati. Tapi dalam Pluralisme seharusnya tidak ada agama yang
dominan atau pengklaiman kebenaran mutlak atau ekslusif dari suatu
kelompok/orang tertentu kemudian memaksakan klaim kebenaran itu pada
orang lain. Pluralisme pun sangat kontradiktif dengan Fanatisme
sehingga tak mungkin terjadi seorang yang pluralis (inklusif-ed)
menjadi fanatis pada konsep pluralisme-nya.

Beliau pun menambahkan bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya sudah
sangat pluralis. Masalahnya para intelektual dan ulama-ulama (pemuka
agama-ed) ini yang tidak bener sehingga jadi kacau. Sudah waktunya
kita berpindah dari ortodoksi menjadi ortopraksi. Ortodoksi itu
adalah tentang mengklaim kebenaran.
Jadi bila kita masing-masing
mengklaim kebenaran, maka terjadilah konflik. Tapi bila kita
berlomba- lomba berbuat kebaikan, pasti rukun. Maka marilah kita
mengklaim kebenaran kita itu dengan berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya.

Mona Darwich tak pernah ingat atau tahu kenapa dirinya dilahirkan dan
dibesarkan di Libanon. Biarpun hidup dalam keluarga muslim yang taat,
keluarganya selalu turut merayakan hari Natal bersama para tetangga
lain yang beragama kristen. Pohon Natal di hari Natal adalah hal
biasa yang terdapat dalam rumahnya. Demikian pula salah seorang
pamannya selalu saja ada yang menjadi Santa Klaus di hari kelahiran
Yesus Kristus itu. Padahal banyak paman-paman Mona menjadi Mufti
(Ulama Besar) di negaranya dan juga di negara tetangganya, Republik Syria.

Setiap sore, sejak kecil, Mona sering diajak mengucapkan doa yang
berasal dari Kitab Al-quran oleh neneknya. Setiap pagi, Mona pun
berdoa "Bapa Kami" dalam bahasa Arab di sekolah "Greek Christian
School." Mona sempat mengucapkan doa "Bapa Kami" dalam bahasa Arab di
acara kali ini dengan hikmat.

Karena bersekolah di sekolah kristen, maka Mona lebih sering
menghabiskan masa kecilnya di dalam gereja, tapi seingat-nya, Ia
tidak pernah merasa menemukan Tuhan baik di gereja maupun di mesjid.
Justru dia menemukan Tuhan dalam kebaikan (Kindness).

Libanon adalah negara kecil di timur tengah dan saat itu merupakan
negara yang paling progresif dalam menerima perbedaan antar agama
(pluralisme) di antara negara-negara timur tengah lainnya. Karena hal
itulah, Libanon menjadi negara yang damai, rukun dan makmur
perekonomiannya. Kemudian ada rencana untuk memecah belah Libanon dan
memisahkan masyarakatnya menurut agamanya masing-masing. Dalam waktu
yang singkat, bermunculan lah para pemuka agama yang vokal, baik dari
Islam maupun Kristen, yang mulai mempromosikan klaim kebenaran agama
mereka masing-masing (Ekslusifitas). Para pemuka agama ini pun mulai
mendikte masyarakat mana yang benar dan mana yang tidak benar serta
menebar kebencian pada kelompok agama lain, tentu saja dengan
dukungan ayat-ayat dari Kitab Suci mereka masing-masing. Semua ini
mencapai puncaknya pada tahun 1975, ketika terjadi perang saudara
antar agama secara fisik sampai tahun 1991, yang memisahkan
masyarakat Kristen dan Islam di Libanon selama 16 tahun.

Pada masa 'perang agama' itu, cara yang paling efektif untuk
mengidentifikasi mana kawan dan mana lawan adalah dengan memeriksa
KTP, karena di KTP Libanon saat itu ada Kolom Agama. Setelah 16 tahun
hidup menderita dalam perang saudara dan ongkos ratus ribu nyawa
melayang, secara tiba-tiba masyarakat menyadari betapa tidak
bergunanya Kolom Agama dalam KTP, maka kemudian masyarakat melalui
beberapa orang intelektual membuat petisi dan mulai me-lobby Menteri
Dalam Negeri untuk menghapuskan Kolom Agama dalam KTP mereka.
Kemudian President melihat petisi dan mendengarkan dari penasihat dan
bawahan- nya, serta akhirnya mengambil keputusan untuk menghapus
Kolom Agama di KTP mereka. "It's a difficult task, but worthy" kata
Mona yang sempat bingung ketika ditanya apa agamanya oleh Polisi di
Jakarta ketika melaporkan kehilangan laptop-nya. "Apa hubungannya
agama dengan kehilangan laptop ?" tanya Mona kala itu.

Mona pun sempat me-riset beberapa negara-negara tetangga di Timur
Tengah, seperti Iran, Iraq, Yemen, Oman, UEA, Kuwaiti dan
negara-negara di Afrika Utara, seperti Mesir dan Maroko, ternyata tak
ada satu pun dari negara-negara itu yang mencantumkan Kolom Agama
dalam KTP mereka. Hanya Arab Saudi, yang masih mencantumkan Kolom
Agama dalam KTP mereka. Padahal di negara itu, walaupun terdapat
komunitas Yahudi dan Kristen, 100% Kolom Agama di KTP warganya adalah
Islam. Orang-orang non-muslim di Arab Saudi tidak punya dan tidak
diakui haknya sebagai warga negara selayaknya orang-orang muslim.

Prof. Dawam Rahardjo pun menegaskan bahwa kolom agama yang ada di KTP
adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Ini dengan mudah dan jelas
ditemukan di Indonesia pada para pemeluk Konghucu dan aliran
kepercayaan yang ingin mengurus KTP maupun melakukan Surat
Pernikahan. Di Ambon dan Poso, seperti di Libanon, kolom Agama
digunakan untuk mengidentifikasi lawan untuk dibantai. Di
kantor-kantor pemerintahan, kolom Agama digunakan untuk diskriminasi
penerimaan dan pengangkatan bawahan. Melihat kenyataan seperti ini,
beliau melihat tidak ada gunanya sama-sekali pencantuman kolom Agama
pada KTP, kecuali untuk mendiskriminasikan orang lain. Maka itu
beliau akan menjadi orang pertama yang mendukung penghapusan kolom
Agama di KTP.

Di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, Mona melihat bagaimana
masyarakat mampu mengapresiasikan semua agama-agama Timur Tengah,
sehingga terjadi perpaduan peradaban yang kaya akan seni dan budaya
keaneka-ragamannya. Khususnya, dia sangat mencintai kehidupan di
Indonesia karena kehangatan dan keramah-tamahan masyarakat. Tapi dia
pun melihat adanya skenario sama yang pernah terjadi di negaranya,
sedang terjadi di Indonesia. Klaim-klaim kebenaran yang ekslusif
mulai disiarkan oleh pemuka-pemuka Agama dan hal ini mengingatkan
dirinya pada apa yang terjadi pada negaranya, Libanon, tepat sebelum
tahun 1975.

Bapak Anand Krishna memuji keberanian Prof. Dawam Rahardjo dalam
memperjuangkan kebenaran dan pluralisme di Indonesia. "Banyak orang
yang tahu kebenaran tapi tak berani mengungkapkan kebenaran. Itu tak
ada gunanya" sahut beliau sambil bercerita bahwa Hitler bisa demikian
kejam karena orang-orang baik pada jaman itu diam saja ketika Hitler
berbuat ketidakadilan.

Beliau pun bercerita tentang sebuah kisah menarik yang baru saja
beliau baca dari "introduction" sebuah buku mengenai "Savistri." Di
tahun 1560-an, dalam masyarakat muslim di Iran, terbit sebuah
terjemahan injil dalam bahasa persia. Orang-orang muslim Iran pada
jaman itu tidak menunjukan keberatan mereka. Bahkan pada masa itu,
ada kuil Hindu dan vihara Buddha di Iran. Pada tahun yang sama, dalam
masyarakat Eropa, diterbitkan terjemahan Injil dalam bahasa Inggris.
Penerjemahnya dibakar. Dilihat dari perbandingan ini, pada saat itu,
masyarakat di Arab masih jauh lebih beradab dan apresiatif
dibandingkan masyarakat di Eropa. Memang telah terjadi pembodohan
luar biasa dalam masyarakat Arab bila dikaitkan dengan jumlah
terjemahan buku berbahasa asing ke bahasa Arab dalam kurun waktu 700
tahun terakhir ini sama dengan jumlah terjemahan buku berbahasa
Inggris dan bahasa-bahasa lain ke bahasa Spanyol dalam kurun waktu 1 tahun.

Dari buku-buku lain, beliau mendapatkan gambaran bahwa Arab sampai
tahun 600-700-an memiliki cara berpikir yang maju dan wawasan yang
sangat progresif. Bahkan ada referensinya bahwa pada jaman Ali bin
Thalib, Ali mempekerjakan orang-orang India dan mempersilakan
pekerjanya untuk membangun kuil Hindu. Anehnya, referensi-referensi
seperti ini tidak pernah diungkapkan oleh para ulama-ulama.

Masalah definisi agama pun, beliau sependapat dengan Prof. Dawam
bahwa tidak boleh seorang/lembaga manapun yang bisa memutuskan apakah
suatu aliran/kepercayaan lain adalah suatu agama resmi atau bukan.
Bagi beliau, salamullah pun adalah agama. Bahkan di Amerika
barangkali, setiap tahun pasti bertambah jumlah agama yang muncul dan
terdaftar. Orang berkulit hitam di sana mulai berpikir untuk
mengadopsi sebuah agama asal mereka di Afrika, yang merupakan
kombinasi antara Islam dan Kristen, yaitu Krislam.

Bapak Anand Krishna setuju dengan Prof. Dawam tentang Fanatisme dan
Pluralisme. Ke-2 paham ini jelas berbeda sekali satu dengan lainnya.
Fanatisme terkonsentrasi pada satu arah, sedangkan Pluralisme tidak
terfokus pada arah manapun. Jadi tidak mungkin seorang inklusif
berpaham fanatis.

Beliau pun membantah anggapan bahwa setiap agama pasti mengklaim
kebenaran ekslusif, karena misalnya, bila Hindu disebut agama (atau
falsafah hidup), maka agama Hindu tidak pernah mengajarkan klaim
kebenaran ekslusif bagi umatnya. Krishna mengatakan di Bhagavan Gita
: "jalan manapun yang kau tempuh kau akan menemukan-Ku."

Klaim kebenaran adalah sumber perpecahan dan konflik. Ini yang harus
kita hindari. "Apalagi bila sudah mempelajari agama lain tapi masih
mengklaim kebenaran, itu *****, tapi masih ok karena orang *****
masih bisa diajarkan" kata beliau, "tapi yang lebih berbahaya adalah
bila mengklaim kebenaran tapi tidak mau mempelajari agama lain, itu
kekerasan. Itu kejahatan."

"Ada seorang teman datang ke sini dan memberitahukan kita bahwa dia
telah mendirikan Jaringan Kafir Liberal. Maka saya menambahkan
sebaris kalimat di kartu namanya : 'Kami juga menerima orang-orang
beriman sebagai anggota'." canda Bapak Anand Krishna. Tapi ada syair
yang luar biasa dari Savistri, yang mengatakan bahwa bila ingin
menjadi kafir, jadilah kafir yang sejati. Savistri adalah seorang
pesajak sufi yang luar biasa dan dikagumi oleh banyak sufi di India.
Jadi bagi seorang Savistri, orang kafir yang sejati itu telah
memasang hijab, menutup diri begitu rapat terhadap segala sesuatu
yang membeda- bedakan sehingga di dalam tabir pun dia melihat Allah.
Ini pun pemahaman Islam. Demikian pula ajaran-ajaran sufistik
peninggalan Hazrat Inayat Khan pun adalah pemahaman Islam. Pemahaman
Islam bukanlah hanya pemahaman Wahabi ataupun pemahaman yang
diajarkan dalam Pesantren Gontor. Hal ini yang harus kita sadari.
Jangan sampai kita terjebak ke dalam perangkap label agama semata.
Post Reply