Kearifan Lokal Tersandung Batu

Post Reply
User avatar
Ibn Ghifarie
Posts: 33
Joined: Wed Sep 27, 2006 5:36 am
Location: Bandung Jawa Barat
Contact:

Kearifan Lokal Tersandung Batu

Post by Ibn Ghifarie »

Perang suku di Mimika Papua memang bukan hal baru. Bagi sebagian warga Papua, perang suku menjadi wadah untuk mengekspresikan heroisme kelompok. Tanpa perang, kebesaran nama suku tidak akan dipandang suku-suku lainnya. Mereka akan dianggap lemah dan tidak memiliki harga diri di mata suku lain.
Selain itu, pertempuran buat mereka bermakna kesuburan dan kesejahteraan. Bila tak ada perang, ternak babi dan hasil pertanian tidak dapat berkembang. Pemicu perang tak harus terkait dengan perebutan kekuasaan wilayah. Hal-hal kecil dan sepele pun bisa menyulut perang antarsuku.
Baku hantam antara suku Dani dan Damal di Mimika yang terjadi sejak Sabtu (22/7) lalu telah menelan sembilan korban jiwa. Lima dari suku Dani dan empat dari suku Damal. Upaya perdamaian masih gagal dilakukan. Sebab, adat mewajibkan selama jumlah korban belum berimbang, mereka harus tetap berperang. Agresivitas budaya lokal memang bukan hanya milik Papua. Carok massal pecah di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, pertengahan bulan ini. Perkelahian massal gaya Madura yang dipicu sengketa tanah itu, menewaskan tujuh orang. (Media Indonesia 28/07)

Kini, pameo budaya lokal menjadi bagian dari keunikan dalam kebinekaan nyaris hilang, bahkan terkesan tak jelas lagi sisi kearifan lokannya. Padahal, tradisi merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya sekaligus kebanggaan khazanah Indonesia. Artinya ada banyak kebiasaan lokal yang dikagumi baik oleh pemerintah setempat, pusat sampai masyarakat internasional.
Namun di sisi lain, banyak pula budaya lokal yang masih syarat dengan memelihara sekaligus melanggengkan dan mengagungkan tradisi kebrutalan dan kekerasan. Perang suku di Mimika, Papua, adalah salah satu contohnya. Lantas apa yang salah dengan mereka?

Berkenaan dengan kekerasan yang masih melekat pada budaya lokal. Tak ada cara lain dalam meminimalisir perseteruan di antara kedua kelompok tesebut. Adalah melalui pendekatan multikulturalisme harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pembangunan budaya kita dan tak bisa ditawar-tawar lagi.
Selain itu, bagi kaum muda sebagai generasi penerus bangsa Kurikulum Berbasis Kearifan Lokal (KBKL) pun harus menjadi metode dalam proses belajar-mengajar. Pasalnya, tanpa kurikulum KBKL niscaya satu peradaban akan terbentuk dengan saling menyapa dan ramah perbedaan.

Meskipun dalam mewujudkan kebudayan beradab itu, tak semudah membalikan telapak tangan. Namun, memerlukan keuletan, kesabaran dan ikhtiar baik dari seluruh elemen masyarakat. Terlebih lagi pada pemerintah selaku pemegang dan pembuat kebijakan. Sebab tradisi lokal memang harus tetap dipelihara dan dikembangkan guna mewujudkan masyarakat madani. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok Sekre Kere 28/07;21.57 wib
Post Reply