Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post Reply
User avatar
qprim
Posts: 259
Joined: Wed Nov 09, 2005 4:01 pm

Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post by qprim »

Dengan membuka thread ini, saya ingin mengajak netters di sini untuk meninggalkan sebentar 'hiruk pikuk' yang biasa ada di sini. Mari cooling down dan diskusi sebentar mengenai sesuatu yang agak 'mengawang-awang'.
Saya yakin, sebagian besar manusia pada dasarnya menginginkan hidup yang damai dan tenang, jauh dari konflik, kekuatiran, kecemasan, dan rasa benci. Keinginan ingin merupakan naluri dasar manusia sebagai mahluk hidup yang dibekali akal dan nurani. Di sisi lain, dunia ini dihuni oleh manusia dengan beragam ras, etnis, kebudayaan, keyakinan, dlsb. Keberagaman ini sebenarnya merupakan daya tarik, karena dunia menjadi tempat yang kaya warna dan unik.
Interaksi antar manusia yang masing-masing unik dan berbeda juga berpotensi untuk menimbulkan konflik yang tajam, mengingat manusia juga dilengkapi dengan nafsu dan keinginan untuk mengungguli dan menguasai. Untunglah akal dan nurani bisa diandalkan untuk menuntun setiap pikiran, perkataan dan tindakan manusia, sehingga orang-orang bijak pada masa lalu kemudian merumuskan prinsip moral dasar yang mengatur pola interaksi antar manusia. Belakangan, prinsip tersebut disebut sebagai Golden Rule.
The Golden Rule or ethic of reciprocity is a maxim,[1] ethical code or morality[2] that essentially states either of the following:
(Positive form of Golden Rule): One should treat others as one would like others to treat oneself.[1]
(Negative form of Golden Rule): One should not treat others in ways that one would not like to be treated.
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Golden_Rule

Prinsip ini sudah ada sejak lama. Keberadaanya, dalam bentuk dan pengungkapan yang berbeda-beda, bisa ditemukan di berbagai kebudayaan dan peradaban besar dunia, jauh sebelum agama-agama yang kita kenal sekarang tumbuh dan berkembang.
Prinsip ini kelihatannya sederhana, namun penerapannya ternyata tidak selalu mulus. Terbukti bahwa sejarah telah mencatat begitu banyak peristiwa dimana sekelompok manusia diperlakukan secara tidak adil, bahkan menjadi korban kekejaman dari sekelompok manusia lain. Hal ini terjadi dari jaman ke jaman, di berbagai peradaban, dan sedihnya masih berlangsung sampai hari ini.

Agar bisa meyakini dan kemudian menerapkan Golden Rule, manusia harus mau menerima dan menjalankan beberapa pedoman.
Pertama, setiap manusia harus mau menganggap manusia lain sebagai pihak yang setara dan sederajat, tak perduli seberapa besar dan banyak perbedaan yang ada.
Kedua, setiap manusia harus memiliki empati yang besar terhadap manusia lain. Empati bisa diartikan sebagai kemampuan untuk memproyeksikan tindakan yang ingin dilakukan terhadap orang lain ke diri sendiri. Jika kita berniat melakukan suatu tindakan (baik/jahat) terhadap orang lain, apakah kita sendiri sebagai pelaku merasa senang/tidak senang jika tindakan (baik/jahat) tersebut dilakukan terhadap kita? Jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi alat kendali bagi setiap tindakan yang ingin dilakukan.
Ketiga, konsistensi dan komitmen. Manusia yang menerapkan Golden Rule harus memiliki konsistensi dan komitmen yang sangat kuat untuk tidak bergeser dari prinsip Golden Rule, meskipun sedang berinteraksi dengan pihak/kelompok lain yang tidak mau menggunakan prinsip yang sama.

Kelihatannya jadi mustahil ya? Dan membuat manusia2x yang menerapkan Golden Rule terkesan sebagai pihak yang lemah, pengecut, dan tidak berdaya.
Tapi sejarah telah membuktikan, bahwa perjuangan juga bisa berhasil tanpa perlu menggunakan kekerasan. Manusia-manusia hebat seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King, dan Nelson Mandela bisa mewujudkan apa yang ingin dicapainya. Demikian juga dengan Corry Aquino, Lech Walesa, dan Mikhail Gorbachev, dalam bentuk dan dengan tujuan yang berbeda. Proses yang harus dilewati oleh masing-masing manusia hebat tersebut umumnya panjang, sulit, dan sengsara. Namun mereka akan terus diingat sebagai manusia besar yang memberikan sumbangan berarti bagi kemanusiaan dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Rasanya mimpi untuk membuat bumi ini menjadi tempat yang penuh dengan kedamaian, kebebasan, kesetaraan, dan kemajuan bukan merupakan mimpi segelintir manusia saja. Saya percaya, semua manusia yang mau mendengarkan nuraninya dan menggunakan akal sehatnya juga memimpikan hal yang sama.

Silahkan berpendapat dan berkomentar. Untuk thread ini, saya sangat berharap para netters, apapun latar belakangnya, mau berdikusi dengan hati yang dingin dan pikiran yang terbuka. O:)

Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan
FFI Alternative
Faithfreedompedia
rahimii
Posts: 311
Joined: Sun Mar 06, 2011 6:33 pm

Re: Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post by rahimii »

Nasib manusia adalah “berada di dalam situasi”. Dengan rumusan lain dapat dikatakan, bahwa eksistensi dasar manusia pada dasarnya adalah “berada di dalam dunia.” Orang harus hadir dan terlibat dengan situasinya sendiri. Apa yang ada di dalam realitas konkrit, harus hadir dalam kesadarannya. Pada gilirannya nanti, kesadaran itu akan menjelma dalam situasi tersebut. Secara filosofis bisa digambarkan sebagai berikut: kita memanggil makhluk yang sudah hadir, walaupun kita sendiri tidak dipanggil; mencintai makhluk yang sudah hadir, walaupun kita sendiri belum dicintai.

Manusia harus mengakui keberadaan makhluk-makhluk yang tidak bisa disangkal eksistensinya. Dari kesadaran, kita tahu bahwa di luar kita berdiri pula makhluk-makhluk lain yang serupa, orang harus memunculkan sebuah keinginan untuk mencintai makhluk-makhluk tersebut. Kalau tidak, maka pengetahuannya akan tetap mandul dan orang akan tetap terisolasi dalam ego-nya sendiri.

Tuntutan untuk hadir dan terlibat dengan orang lain “demi” kebenaran itu disebut oleh seorang filsuf dengan participation (partisipasi). Pengalaman dalam kesadaran kita masing-masing menjamin berlangsungnya partisipasi. Akibatnya, “aku” terbenam di dalam dunia yang dapat disentuh dan diresapi oleh panca indera dan sebaliknya "aku" pun diresapi oleh dunia. Oleh rasa tersebut, “aku” mengalami dengan lebih mendalam sifat sosial dari segala sesuatu yang ada. Maka, dalam pengalaman intersubjektif, kita menjadi sadar, esse est xo-esse (ada selalu berarti ada-bersama-sama). Itulah eksistensi manusia. Manusia selalu berada bersama dengan orang lain. Dan islam, tentu saja gagal dalam aplikasinya terhadap prinsip ini. Islam justru membangun jarak dan memisahkan manusia kepada golongan kafir dan muslim. Islam jelas bukanlah dari tuhan.. [-X

Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan
Mirror
Faithfreedom forum static
User avatar
qprim
Posts: 259
Joined: Wed Nov 09, 2005 4:01 pm

Re: Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post by qprim »

Prinsip 'ada selalu berarti ada-bersama-sama' berdasarkan kesetaraan tanpa syarat memang nampaknya masih belum bisa diterima oleh sebagian orang dengan dalih keyakinan mereka mengajarkan demikian. Dan kelihatannya tidak ada jalan keluar damai yang bisa dipakai untuk menjembatani perbedaan mendasar tersebut
Tapi selama manusia masih mempunyai nurani dan akal sehat, kemungkinan untuk mewujudkan dunia damai akan tetap selalu ada. Boleh jadi pada sebagian manusia, nurani dan akal sehatnya jadi 'tersembunyi' karena diselubungi oleh doktrin dan ajaran yang membelenggu, yang ditanamkan sejak kecil dan diwariskan secara turun temurun. Tapi menurut saya, nurani dan akal sehat yang 'tersembunyi' itu tidak akan mungkin hilang. Nurani dan akan sehat akan selalu ada dalam setiap manusia, karena itulah esensi dari jatidiri manusia, yang membedakan kita manusia dengan semua spesies mahluk hidup lain.
Dengan keyakinan tersebut, saya percaya titik terang selalu ada. Problemnya adalah bagaimana memunculkan kembali nurani dan akal sehat pada diri setiap manusia. Prosesnya memang membutuhkan penyadaran dan kesadaran, dengan stimulus dari luar dan memancing kesadaran dari dalam. Menurut saya, proses penyadaran dan kesadaran tidak bisa hanya dengan tindakan dan kata-kata keras. Kejernihan dan ketenangan barangkali bisa lebih menjangkau nurani dan akal sehat.

Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan
Mirror
Faithfreedom forum static
rahimii
Posts: 311
Joined: Sun Mar 06, 2011 6:33 pm

Re: Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post by rahimii »

qprim wrote:Problemnya adalah bagaimana memunculkan kembali nurani dan akal sehat pada diri setiap manusia.
Dalam tataran pribadi, keheningan mungkin bisa mejadi trigger untuk masalah yang anda risaukan, yaitu memunculkan nurani dan akal sehat tadi. Kita dibekali dengan kemampuan berpikir, maka pergunakan itu untuk dapat melihat realitas dan berpikir secara dingin dan objektif terhadap segala hal. Bukan berpikir secara rasional belaka, melainkan bagaimana kita dapat mengangkat pengalaman pada tingkat pemikiran. Agama bagi sebagian besar orang dianggap solusi, tapi pada kenyataannya agama justru menciptakan dikotomi yang kontra koeksistensi, melahirkan sekat-sekat dan menjadi faktor pemicu konflik terbesar dalam peradaban kita.

Kehidupan sejati atau otentik manusia merupakan kehidupan yang mencapai aktualisasi-diri. Aktualisasi-diri orang-orang yang berfokus didalam itu tidak berarti bahwa mereka hanya mempedulikan kepentingan egoistik mereka sendiri, tetapi bahwa mereka ialah orang-orang yang melampaui-diri, bahwa pemahaman mereka tentang mereka sendiri membuat mereka mencapai yang di luar menuju orang-orang lain dengan cinta dan belas kasih. Ungkapan terkenal Plato, "kenalilah dirimu sendiri" pada dasarnya membawa pesan yang sama; kita mengenal diri sendiri bukan untuk menjadi solipsis yang menutup-diri, melainkan untuk menjadi orang saleh yang membaktikan-diri. Semakin kenal kita kepada diri kita sendiri (yaitu semakin terlihat kita mementingkan diri sendiri), semakin mampu kita mengenal orang-orang lain (yaitu semakin bisa kita mementingkan orang lain).
1234567890
Posts: 3862
Joined: Sun Aug 09, 2009 2:31 am

Re: Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post by 1234567890 »

Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan
hanya bisa dicapai bila semua pihak mau melihat pihak lain sebagai manusia yang setara

jika ada satu pihak yang memangdang pihak lain sebagai sesuatu yang lebih rendah, gak mungkin bisa ada Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

apa itu kesetaraan ?
perlakuan yang adil ... tidak memandang suku agama ras dan agama
contoh, malaysia ... bumiputera mendapat banyak fasilitas

hukum yang adil .... 1 hukum untuk semua .... ga ada perkecualian ... 1 kelompok ingin menggunakan hukum nya sendiri dll
sekelompok orang utan minta hukum orang utan berlaku untuk mereka walaupun negara sudah punya hukum sendiri

tidak mengkotak kotakan anggota komunitas tersebut ... misal muslim dan kapir
contoh : http://www.camera.org/images_user/musli ... ropped.jpg

selama ini masih ada, jangan harap bisa ada koeksistensi yang damai
User avatar
MaNuSiA_bLeGuG
Posts: 4292
Joined: Wed Mar 05, 2008 2:08 am
Location: Enies Lobby

Re: Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post by MaNuSiA_bLeGuG »

masalahnya adalah manusia secara naluriah tidak mau setara dgn orang lain, mereka mau berada pada tingkatan diatas drpd orang lain terutama orang sekitarnya. karena dgn berada diatas akan memberikan kesenangan, baik itu disadari maupun tidak. apakah kamu tidak bangga ketika kamu berada di peringkat 1 sekolah ? rasanya menyenangkan bukan ? dan ketika kita sudah pernah merasakan kesenangan berada diatas, kita akan selalu berusaha mencari cara agar kita selalu berada diatas dalam segala hal bahkan dalam hal paling remeh sekalipun selama itu menunjukan kita adalah lbih baik dari orang lain. tanpa kita sadari, kita selalu membandingkan diri kita dgn orang lain setiap saat. cotoh kecilnya ketika melihat pecandu narkoba ato preman, disadari ato tidak kita selalu merasa sbg orang yg lebih baik dari mereka. dan ketika kita sudah merasa terlalu senang, munculah kesombongan "aku lebih baik dari kalian", yg sayangnya seringkali membawa kepada konflik.

ironi nya adalah, tanpa ketidaksetaraan tsb kita sebagai manusia tidak akan pernah berkembang. tanpa kenikmatan yg dapat dirasakan dalam ketidaksetaraan maka manusia tidak akan berlomba2 untuk menjadi yg lebih maju daripada yg lain, tidak akan ada motivasi untuk naik kepada tingaktan yg lebih tinggi. roda dunia justru berputar karena orang yg berada dibawah selalu berusaha untuk naik keatas.

percaya ga klo gw bilang segala kemajuan yg kita rasakan sekarang sebagian besar adalah hasil dari konflik ? dari penemuan besi hingga internet. manusia butuh konflik dan ketidaksetaraan, cuma masalahnya adalah bagaimana menentukan dosis yg tepat sehingga manusia tsb tidak over dosis. golden rule itu baik, tapi aturan tsb muncul karena kita sangat terlalu memahami bhw kita adalah makhluk yg merusak yang sangat tidak bisa hidup dalam kedamaian, yg selalu mencari alasan untuk bertikai, yg salah satunya adalah "aku lebih baik dari kamu".

Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan
Mirror
Faithfreedom forum static
User avatar
qprim
Posts: 259
Joined: Wed Nov 09, 2005 4:01 pm

Re: Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post by qprim »

Terima kasih banyak atas kesediaan teman2x untuk mereply thread saya yang ala kadarnya ini.

@ fayhem dan 12344567890: betul bahwa ada sekelompok manusia yang tidak menghargai orang lain sebagaimana mereka ingin diri mereka dihargai. Dan sayangnya jumlah mereka cukup banyak. Tapi toh setiap orang sudah dilengkapi dengan nurani dan akal sehat. Tinggal membuat kedua hal tersebut berperan optimal dalam diri sebanyak mungkin manusia. Pada orang2x tertentu, nurani dan akal sehat bisa jadi mandul karena terselubungi doktrin dan ajaran2x yang menghambat. Selubung tersebut bisa saja tebal, keras, dan susah ditembus. Tapi saya percaya nurani dan akal sehat tidak akan pernah mati. Soalnya adalah bagaimana menjangkau dan mengajak sebanyak mungkin manusia untuk berefleksi kembali terhadap harkat, martabat, dan nilai sebagai manusia.
manusia_blegug wrote:masalahnya adalah manusia secara naluriah tidak mau setara dgn orang lain, mereka mau berada pada tingkatan diatas drpd orang lain terutama orang sekitarnya. karena dgn berada diatas akan memberikan kesenangan, baik itu disadari maupun tidak. apakah kamu tidak bangga ketika kamu berada di peringkat 1 sekolah ? rasanya menyenangkan bukan ? dan ketika kita sudah pernah merasakan kesenangan berada diatas, kita akan selalu berusaha mencari cara agar kita selalu berada diatas dalam segala hal bahkan dalam hal paling remeh sekalipun selama itu menunjukan kita adalah lbih baik dari orang lain.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan keinginan untuk lebih baik dari orang lain. Itulah yang membuat dunia ini jadi menarik. Kalau manusia tidak ingin memenangkan persaingan dengan manusia lain, kita bisa bosan setengah mati. Tidak ada gadget menarik yang makin lama makin canggih, dan tidak ada pertandingan sepakbola yang menarik, yang membuat kita tahan begadang untuk nonton :fball: . Yang jadi soal adalah keinginan untuk sekedar terlihat lebih baik dengan merendahkan harkat, martabat, dan nilai kemanusiaan pihak lain, dan itu ditanamkan lewat ajaran dan doktrin yang institusional.
rahimii wrote:Dalam tataran pribadi, keheningan mungkin bisa mejadi trigger untuk masalah yang anda risaukan, yaitu memunculkan nurani dan akal sehat tadi. Kita dibekali dengan kemampuan berpikir, maka pergunakan itu untuk dapat melihat realitas dan berpikir secara dingin dan objektif terhadap segala hal. Bukan berpikir secara rasional belaka, melainkan bagaimana kita dapat mengangkat pengalaman pada tingkat pemikiran.
Bagi orang2x yang mau berefleksi dan melihat realitas pada diri sendiri, mengheningkan diri merupakan cara yang yang cukup efektif untuk memunculkan nurani dan akal sehat. Namun bagi mereka2x yang nurani dan akal sehatnya sudah terselubung terlalu lama, apakah kesadaran untuk berefleksi dalam keheningan bisa muncul dari diri sendiri? Bisa jadi diajak oleh orang lainpun mereka akan menolak. Di sisi lain, apakah kalau upaya yang dilakukan hanya mencoba membuka selubung mereka dengan terus-menerus menghantam dari luar (oleh pihak lain), apakah efektif? sementara doktrin dan ajaran yang membelenggu terus saja didengar. Apakah nurani dan akal tidak akan rusak/mengeras jika terus menerus menerima input yang bertentangan?
Saya berharap ada cara lain yang lebih efektif untuk membukanya, selain dengan terus-menerus menghantam secara keras dari luar.
User avatar
Kibou
Posts: 1359
Joined: Mon Nov 03, 2008 11:30 am
Location: Land of the free

Re: Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post by Kibou »

Bro qprim, numpang pendapat yah. Tumben nih muncul pemikir-pemikir baru seperti Bro qprim dan Bro rahimii. Forum tercinta ini menjadi semakin berwarna.
qprim wrote: Kelihatannya jadi mustahil ya? Dan membuat manusia2x yang menerapkan Golden Rule terkesan sebagai pihak yang lemah, pengecut, dan tidak berdaya.
Tapi sejarah telah membuktikan, bahwa perjuangan juga bisa berhasil tanpa perlu menggunakan kekerasan. Manusia-manusia hebat seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King, dan Nelson Mandela bisa mewujudkan apa yang ingin dicapainya.
Coba kita berandai-andai yah, misalnya:

Kalau pada waktu itu, Mahatma Ghandi menerapkan ahimsa terhadap negara syariah seperti Iran atau Saudi Arabia (dan bukannya negara kapir pasca-kristen macam Inggris), apakah iya bisa berhasil?

Saya jika berandai-andai seperti di atas, kok rasanya pesimis yah...
User avatar
CrimsonJack
Posts: 2189
Joined: Thu Oct 13, 2011 3:20 pm
Location: Tempat yang ada internetnya

Re: Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post by CrimsonJack »

"Saya akan melakukan apa yang orang lain lakukan padaku"

Kalau ini gimana bos?
Hal ini yang paling sering diterapkan manusia, istilah lainnya menerima kenyataan dan mengikuti arus. Pada saat seseorang menerima pemahaman di atas biasanya sikap idealisnya juga hilang.
User avatar
qprim
Posts: 259
Joined: Wed Nov 09, 2005 4:01 pm

Re: Koeksistensi dalam Kedamaian dan Kesetaraan

Post by qprim »

Bro Kibou, saya bukan apa2x dibanding para netters aktif di sini.
Kibou wrote:Kalau pada waktu itu, Mahatma Ghandi menerapkan ahimsa terhadap negara syariah seperti Iran atau Saudi Arabia (dan bukannya negara kapir pasca-kristen macam Inggris), apakah iya bisa berhasil?
Di akhir hidupnya, Gandhi harus menghadapi situasi konflik dengan Pakistan.
Sikap yang diambil tetap sama bro Kibou. Gandhi berupaya menempuh jalan damai untuk mengakhiri konflik. Sampai hidupnya berakhir tragis.
In his last year, unhappy at the partition of India, Gandhi worked to stop the carnage between Muslims, Hindus and Sikhs that raged in the border area between India and Pakistan. He was assassinated on 30 January 1948 by Nathuram Godse who thought Gandhi was too sympathetic to India's Muslims. 30 January is observed as Martyrs' Day in India. The honorific Mahatma ("Great Soul") was applied to him by 1914.[7] In India he was also called Bapu ("Father"). He is known in India as the Father of the Nation;[8] his birthday, 2 October, is commemorated there as Gandhi Jayanti, a national holiday, and world-wide as the International Day of Non-Violence. Gandhi's philosophy was not theoretical but one of pragmatism, that is, practicing his principles in the moment. Asked to give a message to the people, he would respond, "My life is my message."[9]
His vision of a village-dominated economy was shunted aside during his lifetime as rural romanticism, and his call for a national ethos of personal austerity and nonviolence has proved antithetical to the goals of an aspiring economic and military power." By contrast Gandhi is "given full credit for India’s political identity as a tolerant, secular democracy."[252]
Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Mahatma_Gandhi

Secara individu, perjuangan Gandhi tidak berhasil, dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Gandhi juga tidak sepenuhnya diamalkan oleh rakyat India. Tapi Gandhi tetap dicatat sebagai tokoh sangat penting dalam sejarah berdirinya negara modern India.
Di akhir hidupnya Gandhi gagal bro Kibou. Tapi apakah kegagalan Gandhi secara otomatis menutup kemungkinan untuk mengambil langkah seperti Gandhi? Kalau ingin mengambil langkah seperti Gandhi, tentunya dengan pemikiran dan persiapan yang jauh lebih matang dan pertimbangan yang jauh lebih mendalam, serta melibatkan sebanyak mungkin pihak2x yang sepaham.
CrimsonJack wrote:"Saya akan melakukan apa yang orang lain lakukan padaku"
Ini adalah pilihan pragmatis yang akan diambil banyak orang. Jujur, mungkin sayapun akan mengambil pilihan ini pada batas tertentu. Dilemanya, jika kita berhadapan dengan pihak yang bermoral dan beretika rendah, maka dengan mengambil pilihan di atas berarti kita menurunkan moral dan etika kita pada level yang sama rendahnya. Rela nggak? Terganggukah nurani dan akal sehat kita? Atau kita mengambil pilihan seperti Gandhi untuk konsisten menjaga harkat dan martabat kemanusiaan sampai batas terakhir.
Saya tentunya tidak ingin mengajak teman-teman netters di sini untuk menjadi lemah atau mati konyol. Saya hanya percaya, bahwa setiap manusia, siapapun dia, punya nurani dan akal sehat yang selalu mungkin disentuh, digugah, dan dibangkitkan.
Post Reply