Fenomena Agama Asli Nusantara

Post Reply
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Fenomena Agama Asli Nusantara

Post by Laurent »

FENOMENA AGAMA ASLI
Pengantar
Yang dimaksud dengan agama asli adalah agama yang bukan datang dari luar suku penganutnya . Karenanya agama asli kerap juga disebut agama suku yang berbeda dengan agama dunia . Agama asli ini pada dasarnya tidaklah bersifat misioner. Agama ini lahir dan hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap aspek kehidupan suku penganutnya. Agama ini telah dianut oleh suku penganutnya jauh sebelum agama dunia diperkenalkan kepada suku itu.

Menurut David Barret dan Todd Johnson dalam statistik agama-agama yang setiap tahun diterbitkan oleh International Bulletin of Missionary Research penganut agama asli di dunia ini pada laporan tahun 2003 adalah sebesar 237.386.000 orang (2003:25). Jumlah itu hanya 3,78% dari total penduduk dunia yang kini berjumlah hampir 6,3 miliar manusia.

Bila kita menyimak keadaan di Nusantara, pemraktek agama asli ini hanya sekitar 1% saja dari total penduduk. Kebanyakan dari mereka (menurut laporan tersebut) tinggal di Papua, Sumba, Pedalaman Sumatra, pedalaman Kalimantan dan Pedalaman Sulawesi (Johnstone dan Mandryk 2001:339). Tentu saja laporan statistik ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah RI yang tidak mengakui keberadaan agama asli sebagai agama. Penganut agama asli ini disapa sebagai kelompok orang yang tidak atau belum beragama dan harus diberagamakan. Maksudnya belum menjadi penganut salah satu agama dunia.

Namun demikian pada kenyataannya pemraktek kepercayaan agama asli di Nusantara ini masih sangat besar jumlahnya. Jauh lebih besar dibanding dengan angka ststistik di atas. Faktanya, keyakinan dan praktek agama asli ini masih diyakini dan dijalankan oleh mereka yang walaupun secara statistik telah tercatat sebagai penganut agama dunia.

Tidaklah sulit untuk menemukan praktek dan keyakinan agama asli ini di antara para penganut agama dunia. Lihat saja siapa yang mengunjungi tempat-tempat yang dipercaya sebagai tempat keramat. Siapa pula yang meminta pertolongan para dukun. Resminya para dukun itu pun mengaku penganut salah satu agama dunia. Lihat pula begitu maraknya akhir-akhir ini penawaran jimat-jimat yang diiklankan lewat media massa. Belum lagi bila kita mengamati ritual-ritual yang berkaitan dengan siklus hidup, ataupun ritual lainnya yang berkaitan dengan penanggulangan kesulitan hidup. Terkadang pengaruh atau hadirnya elemen-elemen agama asli dalam ritual-ritual tersebut masih sangat kental. Tentu banyak di antaranya telah terbungkus sedemikian rupa oleh lapisan luar agama dunia dan para pemrakteknya tidak lagi menyadari adanya percampuran dua atau lebih agama.

Fenomena seperti itu oleh para pelakunya tidak dinilai sebagai hal yang janggal, tidak pula terlalu dirisaukan bahwa praktek keagamaan seperti itu adalah praktek sinkretisme. Mungkin inilah daya akomodatif atau daya tahan dari agama asli, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Bila dilihat dari sudut pandang agama asli yang begitu toleran untuk mengadaptasi dan mengadopsi nilai-nilai agama dunia dan menjadikannya sebagai pemerkayanya. Tidak pelak lagi agama asli itu memiliki daya akomodasi yang hebat. Namun bila dilihat dari sudut pandang agama dunia, yang mengadopsi atau mengadaptasi atau dalam kasus tertentu tidak berdaya membuang pengaruh agama asli dari para penganutnya, maka hal itu membuktikan betapa hebatnya daya tahan agama asli tersebut.

Namun dengan datangnya agama dunia serta tidak diakuinya keberadaan sistem kepercayaan asli ini secara legal ditambah lagi dengan pengaruh kehidupan modern-sekuler sistem kepercayaan ini mengalami pergumulan besar. Sekilas kita simak pergumulan agama asli ini dalam konteks Nusantara.


Pergumulan Agama Asli
Sebagai agama asli dan bersifat nonmisioner agama asli mendapat tantangan berat saat juru-juru siar atau para misionaris agama dunia datang. Terlebih saat para penguasa beralih agama menjadi penganut agama dunia atau para penguasa adalah orang-orang asing dengan agama yang dibawanya yang tentu saja asing dari sudut pandang orang setempat. Tidak jarang terjadilah proses akulturasi religi yang memakan waktu panjang.

Dari sudut pandang agama asli inilah proses pergumulan yang terpaksa harus dijalani. Sebab tanpa kesediaan untuk melakukan proses akulturasi atau meresap agama asli ini akan habis “dilibas” agama baru yang datang dengan dukungan doktrin dan sistem yang lebih mantap serta terkadang didukung para penguasa dengan segala perangkatnya.

Ketika Agama Hindu dan Budha masuk ke Nusantara ini yang disusul dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu maupun Budha, tentu saja para penguasa kerajaan beragama Hindu atau Budha. Namun kelihatannya rakyat biasa yang menjadi penduduk umum di kerajaan-kerajaan itu masih tetap menganut dan menjalankan kepercayaan aslinya.

Fu Hien seorang pengelana dari Cina yang menganut Budhisme saat kapalnya terdampar di Jawa bagian barat (414 A.D.) melaporkan bahwa di wilayah ini telah berdiri kerajaan Hindu yaitu Tarumanagara. Ia menyatakan Hindu yang dianut di Tarumanagara itu adalah Hindu Brahmana. Ia pun menyatakan berjumpa dengan para penganut agama “kotor dan palsu”. Apa yang ia maksudkan dengan agama “kotor dan palsu” itu? Kemungkinan besar yang ia maksudkan dengan agama “kotor dan palsu” itu adalah praktek keagamaan asli dari penduduk kerajaan Tarumanagara itu. Sebagaimana dijakini oleh seorang sejarawan Sunda, Ayat Rohaedi yang menyatakan bahwa agama “kotor dan palsu” yang disinggung Fu Hien itu adalah agama asli Sunda, yang salah satu elemennya adalah memuliakan para leluhur (1975:37).

Keadaan sebagaimana dinyatakan oleh Fu Hien di atas menyiratkan kepada kita bahwa agama pendatang, dalam hal ini Hindu (dan dalam konteks lain Budha juga) terutama dianut oleh lingkungan istana, sedangkan rakyat kebanyakan masih menganut agama asli. Bahkan fenomena seperti di Tarumanagara itu bukan keadaan yang istimewa karena Hindu saat itu masih baru menanamkan pengaruhnya di Jawa. Sebagai contoh dalam konteks Kerajaan Pakuan-Pajajaran di Jawa bagian barat, misalnya pada waktu pemerintahan Prabu Siliwangi yang terkenal itu (1482-1521) pemujaan kepada para leluhur masih bercampur baur dengan agama Hindu-Budha (Sutaarga 1984:56,64). Sebagaimana disinggung di atas pemujaan kepada para leluhur ini adalah elemen utama dalam agama asli.

Hal tersebut di atas dibenarkan oleh seorang peneliti agama asli yang menonjol yaitu Rachmat Subagya. Ia menulis bahwa agama asli sepanjang sejarah berulang kali mengalami krisis eksistensi dan terancam setiap kali didampingi agama-agama pendatang. Selanjutnya Subagya menyatakan bahwa agama pendatang itu unggul dalam perlengkapan doktriner, kenegaraan dan lambat-laun berfungsi sebagai ideologi negara di bawah kekuasaan sentral dan sakral. Namun penduduk tetap menganut agama asli sekalipun digolongkan out-group. Di Jawa pada masa Hindu penganut agama asli ini disebut jaba (1981:237).

Agama pendatang yang dianut sebagai agama kerajaan dan bersikap diskriminatif terhadap agama asli, namun tetap tidak berhasil mengubah keyakinan rakyat banyak itu. Agama pendatang itu berkembang di dalam isolasi mandala dan pada jaman Islam dalam pasantren. Hebatnya pula, pola pikir asli itu sedikit demi sedikit merembes ke dalam pola pikir tidak asli itu (Subagya 1981:237,238).

Pada jaman Islam agama asli ini pun tidak bisa dihilangkan. Bahkan di keraton-keraton para pujangga keraton memperkembangkan suatu sintesis kesastraan dan keagamaan antara unsur Jawa tradisional dan unsur Muslim, yang di dalamnya unsur Muslim sebenarnya sedikit saja. Dalam hal ini unsur Hindu pun ikut dipertahankan (Subagya 1981:239).

Muslim yang saleh dan taat menganggap kelompok yang mencampurbaurkan Islam dengan agama asli sebagai pasek (orang berdosa) atau abangan. Kata abangan ini berarti merah. Sebab dalam adat atau upacara agama asli di seluruh Indonesia sirih berperan penting. Mengunyah sirih , mulut dan ludah menjadi merah sehingga mereka disebut kaum merah. Kata abangan menurut penelitian Subagya sudah berabad-abad mendapat tempat dalam kesusastraan Jawa. Lawannya mutihan dari kata putih. Menurut penelitian Subagya pula bahwa sejak jaman kerajaan Singosari di Jawa kaum rohaniwan (Hindu) sudah disebut mutihan. Memang ada yang menjabarkan kedua kata itu dari bahasa Arab, yaitu “muti” berarti “taat” dan “aba” yang berarti “tak peduli” (!981:240).

Pergumulan terberat untuk para penganut agama asli ini terjadi pada masa kolonial, Belanda. Pada masa itu para penganut agama asli sama sekali tidak dihargai (“a residual factor”) dan dianggap sebagai orang-orang kafir. Para penguasa kolonial itu hanya berhubungan dengan para pemimpin di Nusantara ini. Padahal seperti yang kita sudah lihat di atas mereka adalah para penganut agama dunia. Sedangkan mayoritas rakyat yang menganut agama asli diabaikan.

Pemerintah kolonial pun melakukan penyederhanaan administrasi dengan hanya mengakui agama dunia. Hasil dari kebijakan ini Islam diuntungkan sebab semua pernikahan orang-orang yang bukan Hindu, atau bukan Kristen dilakukan menurut hukum Islam. Demikianlah ketentuan dalam peraturan no 198 tahun 1895. Akibatnya mayoritas rakyat penganut agama asli secara administrasi berada di bawah Islam dan menyebut diri “selam” atau “seselaman”; demikian tulisan P. Zoetmulder pada tahun 1935 sebagaimana dikutip oleh Subagya (1981:241).

Peraturan-peraturan lain yang mendesak keberadaan agama asli ini pun dikeluarkan yang dibarengi dengan pemberian subsidi oleh pemerintah kolonial kepada lembaga-lembaga Islam. Maka berjuta-juta penganut agama asli yang menurut istilah Subagya : “Orang Islam surat kawin” digabungkan ke dalam Islam. Sekalipun demikian menurut hasil sensus tahun 1930 sebagaimana dikutip Subagya (1981:240), dari penduduk Indonesia yang berjumlah 60,7 juta, kaum Musliminnya “hanya” 29,5 juta (48,7%) sedangkan penganut agama asli masih berjumlah 28,6 juta (47,2%).

Memasuki masa kemerdekaan dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah NKRI meneruskan kebijakan pemerintah kolonial yaitu secara formal hanya mengakui keberadaan agama dunia. Hal itu ternyata dalam kebijakan politik pemerintah sepanjang sejarah NKRI. Para penganut agama asli dinilai sebagai orang-orang yang belum beragama dan perlu diberagamakan. Kebanyakan dari agama asli pun mengubah wujud menjadi berbagai aliran kebatinan. Inilah tahap regenerasi agama asli.

Namun sekalipun beregenerasi tantangan terhadap agama asli belum berhenti. Sebagai contoh, pemerintah NKRI antara tahun 1964-1971 pernah melarang, membekukan atau membubarkan sejumlah besar organisasi-organisasi aliran kebatinan. Pada tahun 1972 Jaksa Agung melaporkan bahwa pada 15 November 1971 sebanyak 167 aliran kebatinan telah dilarang. Namun pada April 1972 terdaftar pada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan sebanyak 664 aliran kebatinan pada tingkat pusat maupun cabang yang wilayah sebarannya meliputi Jawa, Sumatra dan Indonesia Timur (Subagya 1981:251).

Para pemimpin aliran kebatinan ini melakukan penafsiran khas pasal 29 UUD 1945 untuk memperoleh dasar legalitas dari kehadirannya. Namun upaya memasukkan aliran kebatinan ini sebagai agama ke dalam GBHN selalu mendapat tantangan keras dari kaum agamawan. Sepanjang masa pemerintahan Presiden Suharto, aliran kebatinan atau saat itu lebih dikenal sebagai kelompok kepercayaan kepada Tuhan Yang maha Esa ditempatkan di bawah “asuhan” Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan kalimat lain aliran ini dianggap sebagai manifestasi kebudayaan bukan sebagai agama. Kini di masa reformasi kelompok ini memang telah berada di bawah payung Departemen Agama namun bukan diakui sebagai salah satu agama yang dianut penduduk NKRI melainkan penganutnya dogolongkan sebagai kelompok yang harus “diberagamakan”.

Di lain pihak tidak bisa disangkali para penganut agama asli ini mendapat gempuran hebat dari pola hidup modern yang sekuler. Nilai-nilai tradisonalnya tergeser oleh paham modern-sekuler yang datang menggebu bersamaan perubahan jaman yang berlangsung terus-menerus seakan tidak akan berhenti. Pengaruh ini terutama melanda angkatan mudanya. Namun di saat kritis atau saat mereka memasuki tahapan hidup tertentu ketergantungan kepada agama asli masih tampak.

Sekelumit pergumulan agama asli di atas menampilkan fenomena yang menarik. Betapa tidak, sepanjang perjumpaannya dengan agama dunia dalam sejarah Nusantara ini agama asli terdesak hebat namun tidak berhasil disingkirkan atau diganti sepenuhnya oleh agama dunia dari hati para pemrakteknya. Dasar legalitas memang tidak dimiliki oleh agama asli, namun kehadiran elemen-elemen agama asli masih tetap nyata bahkan terkadang masih sangat kuat, sekalipun tersembunyi di balik “jubah” agama dunia.

Agama Asli Dibalik Agama Dunia
Kini, bagi segenap penduduk NKRI tidak ada keluangan untuk mencantumkan dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya: Agama asli. Sebab kewajiban yang ditentukan bagi segenap penduduk NKRI adalah keharusan untuk menganut salah satu agama dunia. Maka secara statistik yang tercatat resmi adalah jumlah penganut agama dunia itu. Namun dalam praktek kehidupan sehari-hari masih jelas ternyata bahwa mayoritas penduduk NKRI masih memelihara kepercayaan dan melaksanakan ritual atau elemen-elemen ritual yang sebenarnya milik agama asli.

Ketercampuran praktek keagamaan yang masih dipelihara oleh kebanyakan penduduk NKRI ini bisa digolongkan sebagai sinkretisme. Kadar kekentalan pengaruh agama asli dalam kehidupan beragama mayoritas penduduk NKRI memang sangat beragam. Hebatnya pula pemeliharaan elemen-elemen agama asli itu dijumpai pada para penganut agama dunia mana pun. Hal ini bukan berarti tidak ada kalangan yang berupaya memurnikan hidup keagamaan dunianya, dan meninggalkan elemen-elemen agama asli itu. Uraian di bawah ini akan memaparkan pengaruh atau praktek agama asli di lingkungan Kristen dan Islam saja. Pertimbangannya selain ruang yang membatasi, juga dua agama dunia inilah yang memiliki penganut terbanyak di NKRI ini.

Agama Asli dibalik Jubah Kristen
Orang-per orang bahkan di kalangan Kristen tertentu kepercayaan dan praktek agama asli masih cukup kental. Simak saja elemen-elemen agama asli yang masih dipelihara di antara orang Kristen di Sumatra Utara, di Sulawesi Utara, di Maluku, atau di kantong-kantong Kristen lainya di NKRI ini. Kekristenan telah bercampur dengan tradisi lama secara tidak kritis, akibatnya sinkretisme pun lahir. Memang fenomena sejenis ini dijumpai dimana saja di dunia ini misalnya di antara orang Kristen di Afrika, Amerika Latin ataupun di Filipina. Fenomena seperti ini disebut sebagai christopaganism (Kraft 1996:376). Fenomena seperti ini di Filipina disebut Folk Christianity atau lebih umum lagi Folk Catholicism (Hails 2001:14,15). Karena secara nominal 66% dari total penduduknya menganut Katolik. Kita bisa menerjemahkannya terminology di atas menjadi: Kristen Rakyat.

Di kampung Deru, Flores yang resminya menganut Katolik Roma mereka masih memelihara ritual warisan agama asli antara lain tari perang dan upacara memanen ubi (Jejak Petualang, TV 7, 27 Mei 2003). Elemen-elemen dalam ritual dan upacara itu sama sekali tidak bernuansa Katolik, melainkan teramat kuat terkait dengan kepercayaan agama asli yang mereka anut sebelum mereka menjadi Katolik.

Perdukunan di kalangan Kristen di Sumatra Utara ataupun Sulawesi Utara masih tergolong hal yang biasa. Dalam konteks Minahasa, Sulawesi Utara para dukun itu kebanyakannya adalah orang Kristen, walau mereka jarang beribadah di gereja. Mayoritas dari para “client”-nya adalah orang Kristen pula. Dalam prakteknya para dukun itu tidak sedikit yang memakai Alkitab dan tanda salib. Alkitab dan tanda salib itu dijadikan media atau sejenis jimat demi keampuhan si dukun. Tentu saja dengan memakai Alkitab dan tanda salib mereka tidak merasa telah meninggalkan kekristenan.

Tidak jarang Alkitab dibawa-bawa walau bukan untuk dibaca dan dipelajari melainkan diyakini sebagai penjaga diri dari gangguang roh-roh jahat. Ada pula yang meletakkan Alkitab di balik bantal saat tidur untuk menjauhkannya dari mimpi yang menakutkan. Nyata sekali Alkitab dalam hal ini telah bergeser menjadi sejenis jimat. Nyata sekali bahwa sikap keagamaan seperti ini adalah sikap keagamaan agama asli yang tetap dipelihara sekalipun pemrakteknya telah mengaku Kristen.

Masih ingat film Drakula yang ditayangkan dalam banyak versi? Dalam ceritera aslinya yang datang dari daerah Balkan di Eropa itu sang Drakula itu takut kepada tanda salib. Apakah ceritera itu memuliakan kekristenan? Sama sekali tidak, bahkan menjadikan tanda salib menjadi sejenis jimat untuk mengusir Drakula. Sikap seperti itu sangat mirip dengan kepercayaan agama asli misalnya tindakan untuk memagari ibu-ibu yang sedang hamil atau para bayi dengan benda-benda kecil tajam seperti jarum, gunting kecil, pisau silet, atau pisau lipat kecil dari ganguan kuntilanak.

Kunjungan ke makam leluhur untuk meminta berkat dan perlindungan yang merupakan ritual agama asli masih dipelihara oleh banyak orang Kristen. Adalah hal yang lumrah bila seorang Kristen dari Sumatra Utara yang berniat merantau terlebih dahulu dianjurkan untuk pergi ke makam leluhurnya untuk meminta berkat dan disarankan pula untuk mengambil segenggam tanah dari makam itu yang akan dibawanya ke perantauan. Tentu saja tanah itu berfungsi sebagai sejenis jimat. Lebih umum pula para perantau itu membekali dirinya dengan sejenis tepung dalam botol mini yang diperolehnya dari dukun sebagai penjaga diri. Jelas fungsinya sebagai jimat dalam keyakinan agama asli.

Demikian juga bagi orang-orang dari Minahasa banyak yang mengenakan opo-opo yaitu jimat dalam versi mereka berupa kain hitam atau merah yang dililitkan pada kedua lengan bagian atas yang tertutup baju atau dililitkan pada pinggangnya sebagai penjaga badan, bahkan diyakini opo-opo itu akan memberi kekebalan pada pemakainya.

Hal di atas terjadi karena saat segolongan orang menjadi Kristen tetapi elemen-elemen dari kepercayaan agama aslinya tidak dibuang bisa pula diambil kembali karena pertimbangan tertentu maka lahirlah christopagan itu. Bisa pula sekalipun sudah menjadi Kristen namun pola pikirnya belum berubah. Pola pikir agama aslinya masih berpengaruh kuat. Banyak orang Kristen yang secara resmi melakukan tindakan tertentu dalam nama Kristen namun sebenarnya tindakan itu jiwanya adalah jiwa agama asli. Misalnya kepercayaan tentang adanya tempat tertentu yang mengalirkan air yang diyakini berkasiat, maka berbondong-bondonglah orang ke sana untuk mendapatkan berkat dari air itu. Praktek seperti ini adalah praktek kepercayaan yang diwariskan dari agama asli tentang air keramat.

Dalam agama asli banyak praktek keagamaan yang menggunakan sarana air, yang sangat umum misalnya, air bunga setaman yang dipakai sebagai sarana untuk penyembuhan orang yang sakit, ataupun untuk mandi pelaku ritual tertentu, misalnya pada ritual selamatan kehamilan tujuh bulan. Ada pula praktek pengusiran roh-roh jahat dengan mengunyah rempah-rempah tertentu lantas menyemprotkannya ke sekitar tempat yang akan dibebaskan dari pengaruh roh-roh jahat itu. Demikian juga dengan praktek penumbalan rumah atau bangunan demi kesejahteraan penghuninya.

Dalam pola pikir agama asli itu banyak orang Kristen yang masih memelihara praktek agama asli tersebut. Misalnya saat membangun rumah bahkan kampus Kristen ada yang memulainya dengan penumbalan yaitu menanam kepala kerbau. Tentu saja dalam keyakinan agama asli penumbalan itu berfungsi untuk mengaktifkan kuasa baik dan meredam kuasa jahat.

Ada pula ritual dengan dan atas nama kekristenan untuk membebaskan tempat, kendaran atau apa saja dari kuasa jahat dengan memakai minyak yang sudah diurapi. Perjamuan kudus juga dipercayai bila dipimpin orang tertentu bisa mendatangkan kuasa atau mujizat. Praktek dan keyakinan seperti inipun merupakan harapan dalam jiwa agama asli. Ayat-ayat Alkitab pun ditafsirkan secara kurang bertanggung jawab untuk mendukung konsep dan harapan di atas. Ritual atau praktek kepercayaan seperti itu menunjukkan kepada kita tentang pengaruh agama asli yang merembes ke dalam kekristenan. Kebergantungan kepada seseorang yang dinilai memiliki kuasa yang dalam agama asli disebut memiliki kesaktian dan bukan bergantung kepada Allah, telah menggelincirkan kekristenan ke alam agama asli.

Selanjutnya saya beralih untuk melihat praktek keagamaan asli di balik jubah Islam. Sebab sama halnya dengan di dalam kekristenan, di dalam Islam pun praktek keagamaan yang sinkretis itu teramat biasa dan tidak sulit untuk kita saksikan.

Agama Asli Dibalik Jubah Islam
Tidak pelak lagi aturan hukum yang ditetapkan sejak pemerintahan kolonial telah membuat Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk NKRI. Kini banyak kalangan mengklaim bahwa Islam dianut oleh tidak kurang dari 90% dari total penduduk NKRI. Suatu jumlah yang fantastik, jumlah ini menciptakan Indonesia menjadi Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Artifak-artifak yang berkaitan dengan Islam pun begitu gampang kita temui di seantero NKRI ini. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini simbol-simbol keislaman pun begitu semarak dalam kehidupan masyarakat. Azan lima waktu sehari-semalam adalah hal yang sangat biasa terdengar hampir di seantero wilayah NKRI. Jumlah calon haji untuk setiap tahunnya pun begitu besar, bahkan dalam tahun-tahun tertentu melampaui quota yang ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi. Bahkan untuk masa haji tahun 2004 Departeman Agama Republik Indonesia menyatakan bahwa perjuangannya untuk mendapat tambahan quota, telah disetujui pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Tambahan quota sebayak 30.000 jamaah itu menjadikan NKRI untuk masa haji 1424 H memiliki quota untuk 235.000 orang jamaah (Pikiran Rakyat, 20 September 2003). Suatu jumlah yang fantastik besar, Tidak pelak lagi fenomena di atas menampilkan betapa Islam di NKRI bergairah.

Namun demikian bila kita amati lebih serius praktek keagamaan mayoritas penduduk NKRI ini tidaklah terbilang Islam Ideal. Islam ideal yang dimaksudkan di sini adalah kepercayaan dan praktek keagamaan Islam yang murni yang tidak tercampur oleh elemen-elemen praislam yang dalam konteks NKRI elemen-elemen praislam itu kebanyakan dari elemen-elemen agama asli. Walau demikian tidak jarang dijumpai pula elemen-elemen agama dunia lainnya terutama Hindu. Adalah kenyataan kebanyakan penganut Islam masih tergolong pada Islam Rakyat yaitu kepercayaan dan praktek keagamaan Islam yang tercampur dengan elemen-elemen praislam itu. Lewat artikel ini saya hanya akan menyampaikan beberapa contoh sekitar pemeliharaan kepercayaan dan praktek keagamaan agama asli oleh para penganut Islam ini.

Kebanyakan dari para pelaku praktek keagamaan Islam Rakyat ini lebih sering mengunjungi tempat-tempat yang dinilai keramat untuk mencari jawab atas masalah yang dihadapinya dari pada pergi bersembahyang di mesjid. Lebih sering pergi ke dukun-dukun dari pada belajar Islam yang sebenarnya dari para ulama Islam. Banyak yang memelihara jimat namun tidak pernah mempelajari Qur’an, bahkan terkadang Qur’an atau ayat-ayatnya pun diperjimat.

Ada yang disebut: Isim-isim yaitu penyebutan nama Tuhan yang dipakai sebagai mantera. Kita pun dengan gampang mendapatkan kitab-kitab Mujarobat yaitu kitab kumpulan ucapan-ucapan atau tulisan yang dipercayai sebagai mantera untuk menanggulangi kasus-kasus dalam kehidupan ini. Kitab mujarobat antara lain mencantumkan bahwa isinya penuh dengan doa-doa gaib dan ilmu kebatinan sejati; atau berisikan khasiat doa-doa ampuh, rajah azimat yang manjur dan ilmu perhitungan yang jitu.

Nama-nama Allah yang diyakini sebagian orang Islam sebagai berjumlah 99 nama, oleh mereka yang tergolong pemraktek Islam Rakyat nama-nama Allah itu dipakai sebagai sejenis mantera pula. Nama-nama Allah itu secara masing-masing harus diucapkan pada waktu tertentu dalam jumlah tertentu dan diyakini akan membawa berkat tertentu pula. Misalnya Labib MZ dan Maftuh Ahnan memberikan “resep” khasiat-khasiat Asmanul-Husna, nama-nama yang indah yang 99 itu ( t.t: 113-132).

Kunjungan ke makam-makam untuk meminta petunjuk atau jawab atas masalah dari yang dimakamkan di situ adalah praktek yang sangat umum. Tidak bisa disangkali banyak sekali mereka yang mengaku Muslim namun sangat mempercayai kekeramatan makam-makam tertentu. Makam-makan yang banyak dikunjungi itu adalah makam dari tokoh yang ketika hidupnya diyakini memiliki kuasa adikodrati, maka setelah meninggal pun makamnya dikeramatkan. Makam-makam itu bisa jadi makam tokoh Islam, namun tidak sedikit makam para tokoh praislam, bahkan makam simbolik dari tokoh “dewata” dalam kepercayaan agama asli, misalnya makam simbolik dari Nyai Roro Kidul di daerah Pelabuhan Ratu, Jawa Barat yang bernuansa hijau banyak diziarahi.

Kepercayaan kepada adanya penguasa Laut Selatan di antara penduduk pulau Jawa memang kuat sekali. Sebagai contoh kepercayaan tentang kamar no 308 Samudra Beach Hotel. Kuncen Acil yang berpraktek di kamar itu setiap harinya menerima kunjungan para peziarah yang datang dengan beragam permohonan kepada Nyai Roro Kidul. Para peziarah itu membawa sesajen yang dipersembahkan kepada Nyi Roro Kidul (Metro, 23 Februari 2003).

Masyarakat Gunung Kidul, Yogyakarta setiap satu Muharam melakukan ritual sedekah laut di pantai Baron sebagai ucapan syukur kepada Ratu Laut Kidul itu. Sesajen itu berupa kepala kambing, ayam hitam, batik dasar putih, nasi uduk, buah-buahan dan bunga. Prosesinya diawali dengan keliling desa sesajen itu terlebih dahulu dikumpulkan di pendopo desa sebelum dilarung ke Laut Kidul (TV 7, 4 Maret 2003).

Sedangkan masyarakat Srindil, di kaki Gunung Slamet, Cilacap setiap satu Syuro itu mengadakan ritual pemujaan kepada Nyai Roro Kidul. Bagi Paguyuban Cahya Buana yang diketuai oleh Ki Sarwo desa Srindil dinilai sebagai pusat bumi dan kawasan mistik untuk perjumpaan dengan penguasa Laut Kidul itu. Pelarungan aneka sesajen ke Laut Selatan itu tercampur pula dengan permohonan kepada Sanghiang Ismoyo (Semar) dalam ritual itu Ki Sarwo dirasuki Semar dan mulai memberi ramalan yang dipercayai para pengikutnya (Periscope, Metro TV, 9 Maret 2003).

Tentu saja ruang tidak memungkinkan untuk menderetkan lebih banyak lagi ritual pemujaan Ratu Laut Kidul. Pemujaan ini teramat umum bagi masyarakat pantai selatan pulau Jawa ini. Para pelaku ritual ini resminya beragama Islam, namun tetap memelihara kepercayaan warisan agama asli.

Jimat-jimat adalah elemen yang biasa dari agama asli, namum banyak yang mengaku Islam tetap mencari pertolongan dari jimat, sebagiannya lagi memelihara bahkan tidak kurang yang membuat jimat dan memperdagangkannya. Lihat saja misalnya iklan yang dipasang pada media-media massa tertentu yang menawarkan beragam jimat lengkap dengan diskripsi ringkas tentang manfaat jimat tersebut bahkan harga jimat tersebut dicantumkan juga. Sebagai contoh iklan yang dipasang oleh CV Bahagia Pekalongan yang menawarkan puluhan macam jimat dalam majalah Liberty terbitan Surabaya.

Dari puluhan jimat yang ditawarkan oleh CV Bahagia itu antara lain: Baju Al-Hikmah yang katanya berkhasiat ampuh, hebat. Khasiatnya sampai 23 macam; keterangan lengkapnya disertakan dengan baju itu. Sedangkan harganya Rp 202.500,- Atau Baju Rompi Asma’ul A’Dhom yang diiklankan insya Allah berkhasiat anti senjata tajam dan peluru, keselamatan diri sekeluarga dari perampokan, kekerasan, dan penjarahan. Tolak sihir dan tenung, sukses berdagang dan bertani, bebas hama, dikasihi atasan, sepadan dan bawahan, bisa cepat bayar utang walaupun banyak, keselamatan perjalanan darat, laut dan udara. Harganga Rp 150.000,-.

Perdukunan pun masih sangat banyak dipraktekkan oleh para penganut Islam Rakyat ini. Bahkan para pejabat negara pun kerap mengandalkan dukun sebagai penjaga keamanan atau pun demi kelanggengan kekuasaannya. Sebagai contoh kesaksian Ki Ageng Selo yang mengaku pernah dimintai tolong oleh Presiden Suharto, tentang dukun-dukun di sekitar presiden RI-I dan presiden RI-II (Aksi 9-15 Juni 1998). Saya pun pernah mewawancarai seorang haji yang dukun di daerah Kalijati, Subang, Jawa Barat. Ia memang mengaku bahwa prakteknya itu oleh para kyai digolongkan sebagai musyrik. Atau laporan majalah Gatra dalam kolom Ragam tentang seorang haji yang tinggal di Warung Kondang, Cianjur yang berpraktek sebagai dukun (18 Novembar 1995).

Kepercayaan kepada adanya makhluk adikodrati, kuasa adikodrati, para pemilik kuasa adikodrati serta kepada tradisi dan taboo yang merupakan pokok-pokok kepercayaan agama asli, masih banyak memperngaruhi bahkan diyakini oleh mereka yang tergolong Islam Rakyat ini.

Mengapa dan Bagaimana?
Contoh-contoh di atas dipilih untuk memberi gambaran bahwa praktek keagamaan yang dilandasi kepercayaan agama asli di kalangan Kristen maupun Islam masih marak. Sekalipun agama asli tidak memiliki hak legalitas tentang keberadaannya namun elemen-elemen tertentu dari agama asli ini masih dipelihara dan dipraktekkan oleh penganut agama dunia ini. Untuk mencari jawab sekitar daya tahan agama asli ini tidaklah terlalu gampang.

Secara teori agama asli bisa meresap dan tetap dipelihara di balik agama dunia sebab sejak awal dalam para pewarta agama dunia itu memberi toleransi besar kepada praktek-praktek agama asli itu, bahkan di kalangan Islam diakui bahwa para wali yang dikenal sebagai Wali Songo itu yang mengislamkan pulau Jawa itu sebagiannya dikenal sebagai wali merah atau mempromosikan Islam abangan (Fattah 1985:39,40). Kasus ini dalam kekristenan disebut pola pelayanan kontekstual tidak kritis. Inilah sinkretisme terang-terangan.

Di lain pihak para pewarta agama dunia itu melarang dengan keras para “petobat” barunya untuk berhubungan dengan segala hal yang terkait dengan tradisi lama termasuk di dalamnya unsur-unsur budaya lama. Tujuannya adalah sebaliknya dengan para pewarta di atas. Namun sayangnya pelarangan praktek yang bernuansa unsur-unsur lama itu tanpa pengertian yang memuaskan. Maka mereka secara diam-diam tetap memelihara kepercayaan lama itu. Di permukaannya mereka telah berkepercayaan agama dunia namun dalam lubuk hatinya mereka masih menyimpan kepercayaan asli. Misalnya di kalangan Kristen, pemberkatan nikah untuk pasangan pengantin telah dilakukan secara gerejani namun pihak keluarga merasa belum memadai bila tidak dilengkapi dengan unsur-unsur tradisi lama yang di antaranya sangat kental nuansa agama aslinya. Pihak gereja tidak dilibatkan lagi dalam bagian terakhir ini. Inilah sinkretisme terselubung.

Bisa pula pola pikir lama atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah worldview belum tergantikan oleh pola pikir dengan nilai-nilai agama dunia atau menerima unsur asing (agama dunia) namun dalam pemahaman nilai lokal-asli maka terjadilah chritopaganisme (Kraft 1996:376).

Kemungkinan lain tekanan hidup dan masalah yang dihadapi begitu berat menekan, sedangkan pemahaman teologis praktis dari agama dunianya belum memadai atau dirasakan tidak bisa menolong, maka mereka kembali menggali nilai agama asli. Mereka percaya nilai agama asli yang telah ditinggalkannya itu bisa menolongnya. Inilah tahap revitalisasi agama asli. Contoh menarik dari kasus ini adalah pengambilan kembali nilai lama oleh orang-orang Dayak di Kalimantan Barat saat mereka bentrok dengan para pendatang Madura. Atau mencari kesembuhan dari sakit yang berkepanjangan namun pengobatan modern dan doa para pemimpin agama dunianya belum mendatangkan hasil, berpalinglah mereka kepada cara agama asli.

Bagi pelayanan Kristen fenomena agama asli ini membawa tantangan yang harus dijawab secara tepat dan akurat. Pada dasarnya pemraktek agama asli teramat membutuhkan solusi untuk segala masalahnya. Masalah itu bisa berupa kegagalan panen, sakit yang tidak sembuh-sembuh, gangguan roh-roh jahat, sulit mendapat pekerjaan, sulit naik pangkat, atau pun sulit mendapat jodoh serta aneka masalah lainnya. Tuhan Yesus Kristus sang pemilik segala kuasa (Mat 28:18) adalah jawab atas segala masalah itu. Inilah berita yang harus jadi inti pelayanan kita. Inilah pelayanan konfrontasi kuasa.

Namun pelayanan yang bernuansa konfrontasi kuasa ini harus didasari pemahaman Alkitab, pengajaran yang benar secara kokoh. Inilah yang disebut konfrontasi kebenaran. Hal ini teramat dibutuhkan agar secara teologis-Alkitabiah orang-orang percaya itu diteguhkan saat menghadapi masalah bahkan siap dengan jawab dan sikap yang Alkitabiah.

Sikap di atas yang senantiasa berpusatkan pada kebenaran yang diajarkan Tuhan Yesus akan membawa orang-orang percaya itu kepada satu keputusan untuk hidup dalam loyalitas sejati kepada Tuhan Yesus. Inilah konfrontasi loyalitas yang akan menghasilkan orang percaya yang siap untuk menjadi saksi dalam konteks keberadaannya (band dengan Kraft 1996: 452-457).

Catatan Referensi
Aksi, tabloid berita mingguan
1998 “ Dukun Soeharto yang kuat tinggal satu” 9-15 Juni. Jakarta.
Barret, David dan Todd Johnson
2003 “Annual Statistical Table on Global Mission: 2003” dalam International Bulletin of Missionary Research. Vol 27 No 1. Denville, New Jersey.
Fattah, Nur Amien
1985 Metode Da’wah Wali Songo. Pekalongan: Bahagia.
Gatra, majalah Berita mingguan
1995 “Ragam”. 18 November. Jakarta.
Hails, Charlotte
2001 “ Folk Christianity” dalam East Asia’s Millions magazine. Singapura: OMF
International.
Johnstone, Patrick dan Jason Mandryk
2001 Operation World. United Kingdom: WEC International.
Kraft, Charles K.
1996 Anthropology For Christian Witness. Maryknoll, New York: Orbis Book.
Metro, stasiun TV
2003 “Metro Sore- Misteri Kamar 308”. 23 Februari. Jakarta
2003 “Periscope”. 9 September. Jakarta.
MZ, SA Labib
T,t. Primbon Akbar Mujarobat. T.k: Bintang Pelajar.
MZ, Labib dan Maftuh Ahnan
1989 Saripati Mujarobat. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
1990 Primbon Mujarobat. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Pikiran Rakyat, harian umum
2003 “ Kuota Haji Indonesia Bertambah 30 Ribu” 20 September. Bandung
Rohaedi, Ayat
1975 “Tarumanagara” dalam Sejarah Jawa Barat. Atja, ed. Bandung: Proyek
Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat.
Subagya, Rachmat
1981 Agama Asli Indonesia. Edisi II. Jakarta: Sinar Harapan dan Cipta Loka
Caraka.
Sutaarga, Moh Amir
1984 Prabu Siliwangi. Bandung: Dunia Pustaka Jaya.
T.t. “ Animisme Atau Kepercayaan Asli?” dalam Pengarah Edisi 3. Bandung.
TV-7, stasiun TV
2003 tgl 4 Maret. Jakarta.
2003 “Jejak Petualang”. 27 Mei. Jakarta

http://tiranus.net/archives/2005/07/27/ ... gama-asli/
Laurent
Posts: 6083
Joined: Mon Aug 14, 2006 9:57 am

Post by Laurent »

Agama Konghuchu diakui kembali sebagai “agama resmi” Indonesia. Bagaimana dengan agama-agama asli Nusantara?

Pada perayaan Tahun baru Imlek Nasional ke 2557, 4 Februari 2006, Presiden Yudhoyono memberikan sambutan dan mengatakan antara lain (transkripsi sambutan Presiden RI, lihat di: http://www.presidensby.info/index.php/p ... 4/191.html):
“ …Hadirin yang saya muliakan,
Kesempatan yang baik pada sore hari ini, saya ingin menegaskan kembali penyataan saya dalam perayaan Imlek dari tahun yang lalu, mengenai status agama Konghuchu. Seperti yang saya katakan tahun yang lalu, pemerintah mengacu kepada Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965, yang telah diundangkan oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1969. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu adalah agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia.Di negeri kita, kita tidak menganut istilah, saya ulangi lagi, kita tidak menganut istilah agama yang diakui atau yang tidak diakui oleh negara. Prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Dasar kita adalah, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara tidak akan pernah mencampuri ajaran sesuatu agama karena masalah itu berada di luar jangkauan tugas dan kewenangan negara. Tugas negara adalah memberikan perlindungan, pelayanan dan membantu pembangunan dan pemeliharaan sarana peribadatan serta mendorong pemeluk agama yang bersangkutan agar menjadi pemeluk agama yang baik ...Menteri Agama pada tanggal 24 januari 2006 yang lalu telah menegaskan, bahwa berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965, yang kemudian dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1969, maka Departemen Agama melayani umat Konghuchu sebagai umat penganut agama Konghuchu. Selanjutnya ditegaskan bahwa berkaitan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan menganggap itu maka Departemen Agama memperlakukan para penganut agama Konghuchu yang dipimpin oleh Pendeta Konghuchu adalah sah menurut Undang-Undang Perkawinan. Pencatatan perkawinan bagi para penganut agama Konghuchu dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil. Karena itu, saya minta kepada kantor-kantor Catatan Sipil di seluruh tanah air untuk tidak ragu-ragu mencatatkan perkawinan bagi pemeluk agama Konghuchu, sama halnya dengan pencatatan pemeluk agama Kristen, Katolik, Budha, Hindu. Bagi pemeluk agama Islam sebagaimana kita ketahui bersama pencatatan itu dilakukan oleh Kantor Urusan Agama tingkat kecamatan.Sejalan dengan ketentuan pasal 12a Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ke depan Departemen Agama juga akan memfasilitasi penyediaan guru-guru agama Konghuchu untuk mengajarkan materi pelajaran agama itu kepada murid-murid sekolah yang menganutnya. Dengan kebijakan baru ini, saya berharap tidak ada lagi perasaan di kalangan masyarakat Tionghoa yang menganut agama Konghuchu, bahwa mereka meperoleh perlakuan yang diskriminatif...”
Demikian tutur Presiden Yudhoyono.

Berbagai media memberitakan mengenai penegasan diakuinya kembali agama Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia, dan berbagai instansi pemerintahan juga telah melaksanakan kebijakan baru ini.
Kita semua ikut berbahagia, karena kini penganut agama Konghuchu telah dipulihkan kembali hak-haknya sebagaimana tertuang dalam Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 yang diundang-undangkan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, yang menetapkan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu merupakan agama resmi penduduk di Indonesia. Selain kembali diakui sebagai agama resmi yang setara dengan 5 agama lain (Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha), juga memperoleh kembali hak agama Konghuchu untuk dicantumkan di dalam KTP dan hak menikah secara agama Konghuchu di Kantor Catatan Sipil. Presiden juga menjanjikan, bahwa anak-anak yang beragama Konghuchu akan mendapat pendidikan agama di sekolah-sekolah sesuai dengan agamanya.
Sebagaimana kita ketahui, agama Konghuchu dikenal sebagai agama dari etnis Tionghoa, dan seperti agama-agama “resmi” lainnya, merupakan agama “pendatang” di bumi Nusantara, karena sebelum agama-agama ini datang, di Nusantara telah berkembang agama-agama asli Nusantara.
Di masa Orde Baru, seluruh aktivitas peribadatan Konghuchu dilarang dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 14/ 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.
Presiden Abdurrahman Wahid kemudian mencabut Inpres Suharto itu dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6/ 2000, dan kini etnis Tionghoa bahkan dapat merayakan kembali Imlek secara bebas dan terbuka.
Hal ini sangat menggembirakan kita, karena kini para penyelenggara negara di Republik Indonesia perlahan-lahan sudah menunjukkan minatnya untuk mulai melaksanakan Pancasila dan UUD, sehubungan dengan masalah kebebasan beragama.
Kini ratusan ribu penganut agama Tao juga sedang menupayakan pengakuannya.
Namun di samping kegembiraan ini, ada ganjalan besar dan kegundahan di hati, sehubungan dengan masih adanya diskriminasi yang dialami oleh banyak agama asli dan aliran kepercayaan di bumi Nusantara.
Apakah benar di negeri ini ada kebebasan beragama seperti yang diucapkan oleh Presiden? Kenyataan di masyarakat tidaklah demikian. Dua jam sebelum sambutan Presiden dalam perayaan Imlek tersebut, pemukiman penganut Ahmadiyah di Lombok Barat dirusak dan dibakar massa. Enam rumah hangus, 17 bangunan lainnya rusak berat. Tak ada tindakan dari aparat negara untuk melindungi warganegara yang berbeda keyakinannya dengan masyarakat di lingkungannya.
Besoknya pada 5 Februari 2006, massa mendemo tempat ibadah agama Sikh, Gudwara, di Kecamatan Karang Tengah, Tangerang. Depag Tangerang bahkan memutuskan, bahwa komunitas Gudwara harus keluar dari Tangerang paling lambat 8 Agustus 2006.
Mungkin banyak di kalangan masyarakat Indonesia sudah tidak lagi mengetahui –atau tidak mau tahu- bahwa sebelum agama-agama “resmi”, Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu dan Buddha, kemudian kini Konghuchu, masuk ke Nusantara, di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti agama Sunda Wiwitan yang kini tersisa pada etnis Baduy di Kanekes (Banten); agama Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dll.
Bagi agama-agama “resmi”, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala /batu atau hanya sebagai aliran kepercayaan. Penilaian seperti ini terjadi karena sempitnya definisi mengenai apa itu agama, dan karena definisi ini dibuat oleh orang-orang dari agama-agama “resmi” tersebut.
Hingga kini, tak satu pun agama-agama dan kepercayaan asli Nusantara yang diakui di Republik Indonesia sebagai agama dengan hak-hak untuk dicantumkan di KTP, Akta Kelahiran, pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil dsb., walaupun tokoh-tokoh agama-agama tersebut telah memperjuangkannya, seperti yang telah dilakukan oleh pemuka agama Parmalim, agama asli etnis Batak.
Ketua Parmalim Toba-Samosir (Tobasa), Sumatera Utara, Raja Marnakkok Naipospos pada 21 Maret 2005 mengatakan, pengikut Parmalim di Tobasa mencapai 1.500 keluarga atau sekitar 6.000 jiwa. "Untuk mendapatkan akta, biasanya harus menyogok petugas atau mencantumkan salah satu dari lima agama yang diakui," katanya kepada harian Kompas. Dalam kaitan itu para tokoh Parmalim, telah menemui DPRD Toba-Samosir agar pengikut mereka bisa memperoleh akta catatan sipil.
Hal yang sama dialami oleh penganut agama-agama asli Nusantara lain, seperti agama Sunda Wiwitan, yang juga tidak berhasil memperoleh pengakuan pernikahan menurut agamanya di kantor catatan sipil, sebagaimana sedang diperjuangkan oleh tokoh agama Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah.
Di KTP, apabila seseorang tidak mau digolongkan ke agama-agama “resmi”, maka di kolom agama ditulis: (-), dan pernikahan tak dapat dilakukan di kantor catatan sipil. Jadi apabila seseorang ingin menikah dengan “resmi”, maka dia harus berdusta dan mendaftarkan diri sebagai penganut salah satu agama “resmi.”
Dengan kata lain, kalau seorang warga mau mendapat status “resmi”, maka dia harus munafik, yaitu pura-pura menganut satu agama “resmi”, kalau tidak mau mempunyai agama (-).
Perlakuan yang sangat diskriminatif ini juga merupakan peninggalan kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda hanya mengakui tiga agama dunia, yaitu Kristen, Islam dan Hindu. Kebijakan ini sangat menguntungkan Islam karena semua pernikahan orang-orang yang bukan Hindu, atau bukan Kristen dicatatkan sebagai Islam. Demikianlah ketentuan dalam peraturan no 198 tahun 1895. Akibatnya mayoritas rakyat penganut agama asli secara administrasi berada di bawah, demikian tulisan Petrus Josephus Zoetmulder, seorang pakar sastra Jawa dan budayawan pada tahun 1935, sebagaimana dikutip oleh Subagya. Namun walaupun “diuntungkan” dengan cara pencatatan seperti ini, di mana jutaan orang yang bukan Islam dikategorikan sebagai Islam, menurut hasil sensus tahun 1930, dari penduduk Indonesia yang berjumlah 60,7 juta, yang tercatat beragama Islam hanya 29,5 juta atau 48,7%, sedangkan penganut agama asli masih berjumlah 28,6 juta atau 47,2%. (lihat Rachmat Subagya, “Agama-Agama Asli Indonesia”, Penerbit Sinar Harapan dan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1981, hlm. 240-241).
Di “zaman kemerdekaan” Indonesia, di mana bangsa Indonesia bebas dari belenggu penjajahan Belanda, kemerdekaan agama-agama asli Nusantara semakin diberangus.
Hal ini tidak berubah di era “reformasi” setelah rezim Orde Baru tumbang. Diskriminasi seperti ini jelas melanggar UUD ’45, dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang disponsori negara (state-sponsored evil).Ketika agama-agama dunia –Hindu dan Buddha- masuk ke Nusantara, banyak raja-raja di kerajaan-kerajaan di Nusantara menganut salahsatu dari agama-agama tersebut, namun kedua agama baru dapat hidup berdampingan dengan agama-agama asli Nusantara, dan telah terjadi sinkretisme, yaitu pembauran nilai-nilai spiritual dari satu agama yang diterima oleh agama lain, bahkan pada waktu penobatan seorang raja, kerap dilakukan ritual kedua agama dan juga dengan unsur-unsur ritual setempat.
Di zaman Majapahit Mpu Tantular menulis Kakawin Purusaddhasanta, yang menceriterakan kisah Raja Sutasoma, sehingga sering juga disebut Kakawin Sutasoma. Bait kelima metrum ke 139 berbunyi :
“….. Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa
bhineki rakwa ring apan keparwwasnosen mangkaang
Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal
Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa …..”

Artinya kurang lebih:
“…Disebutkan, bahwa Buddha dan Wiswa (Shiva) adalah dua unsur yang tak dapat dipisahkan, Jina (ajaran Buddha) dan kebenaran Shiva adalah satu, dapat dipisah (beraneka ragam) namun satu, tidak ada Dharma (kebenaran) yang mendua…”
Mpu Tantular menggambarkan keharmonisan kehidupan beragama di zaman Majapahit.
Harmoni ini berubah di masa penjajahan Belanda, dan terlebih lagi di “zaman kemerdekaan” Indonesia.
Seandainya di zaman Majapahit, ketika agama Islam baru mulai dikembangkan di Jawa, para penguasa Majapahit mengeluarkan berbagai peraturan seperti di zaman Republik Indonesia, yaitu mengenai batasan dan pembatasan untuk berdakwah, menyebarluaskan ajaran agama dan pendirian rumah ibadah, pasti agama Islam tidak dapat masuk, apalagi berkembang di wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit yang sangat luas waktu atau di wilayah kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha lainnya.
Berbeda dengan agama-agama yang masuk belakangan ke Nusantara, agama-agama asli Nusantara yang tumbuh dan berkembang di kelompok-kelompok etnis di Nusantara, tidak memiliki misi penyebaran agama/ajaran.
Perkembangan agama-agama baru-pun tidak semuanya berjalan dengan damai, seperti yang terjadi di Tanah Batak. Batak Selatan diislamkan dengan kekuatan senjata dan paksaan (lihat buku tulisan Mangaradja O. Parlindungan, “Pongkinagolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao”, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816 – 1833, Penerbit Tandjung Pengharapan, Jakarta, 1964). Kemudian ketika Raja Batak Sisingamangaraja XII tewas dalam pertempuran melawan Belanda pada 17 Juni 1907, seluruh keluarganya dipaksa memeluk agama kristen oleh penjajah Belanda. Hal ini yang menerangkan, mengapa keturunan Singamangaraja yang berada di Batak Selatan beragama Islam, dan yang di utara beragama kristen.
Setelah bangsa Indonesia merdeka, keberadaan agama-agama asli Nusantara tersebut semakin terdesak dengan adanya berbagai peraturan, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahkan untuk menjalankan ibadah dan ritual keagamaanpun terancam oleh sikap masyarakat lingkungannya yang sangat tidak toleran.
Kekerasan dan intoleransi terhadap penganut agama asli Nusantara di “zaman kemerdekaan” sudah terjadi mulai tahun 50-an. Pada tahun 1954, di Kampung Paku Tandang, Ciparay, Bandung, tempat ibadah Pasewakan milik penganut agama Buhun dibakar oleh masyarakat. 22 orang penganut agama Buhun tewas dibunuh atau terbakar bersama rumah ibadahnya.
Pada tahun 1972 Jaksa Agung melaporkan bahwa pada 15 November 1971 sebanyak 167 aliran kebatinan telah dilarang. Pada April 1972 masih terdaftar pada Sekretariat Kerjasama Kepercayaan sebanyak 664 aliran kebatinan pada tingkat pusat maupun cabang yang wilayah sebarannya meliputi Jawa, Sumatra dan Indonesia Timur (Subagya 1981:251).
Ucapan Presiden Yudhoyono pada 4 Februari 2006:
“…Di negeri kita, kita tidak menganut istilah, saya ulangi lagi, kita tidak menganut istilah agama yang diakui atau yang tidak diakui oleh negara. Prinsip yang dianut oleh Undang-Undang Dasar kita adalah, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara tidak akan pernah mencampuri ajaran sesuatu agama karena masalah itu berada di luar jangkauan tugas dan kewenangan negara. Tugas negara adalah memberikan perlindungan, pelayanan dan membantu pembangunan dan pemeliharaan sarana peribadatan serta mendorong pemeluk agama yang bersangkutan agar menjadi pemeluk agama yang baik ...”,
nampaknya hanya sekadar ucapan kosong, atau mungkin tidak melihat kenyataan di dalam kehidupan masyarakat. Apakah Presiden tidak mendapat masukan dari para pembantu dan penasihatnya, bahwa ada hal yang paradoks dalam sambutannya? Yaitu justru Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang disebut oleh Presiden, yang menetapkan hanya agama Islam, Kristen Ptotestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu merupakan agama resmi penduduk di Indonesia, membantah ucapan Presiden, bahwa
“ … Di negeri kita, kita tidak menganut istilah, saya ulangi lagi, kita tidak menganut istilah agama yang diakui atau yang tidak diakui oleh negara ...”
Apakah “ghost writer” Presiden kurang cermat dalam menulis? Atau ada unsur kesengajaan?
Kini agama-agama asli Nusantara tidak mempunyai hak hidup di tanah leluhurnya sendiri, dan dikategorikan sebagai ajaran animisme, kebatinan, kepercayaan dsb., tidak sebagai agama.
Seharusnya negara hanya menjamin hak-hak warganegaranya sesuai dengan UUD, dan tidak mencampuri hal-hal lain yang sangat individual. Untuk menghindari segala bentuk diskriminasi yang timbul karena agama, seharusnya agama tidak perlu dicantumkan di berbagai keterangan pribadi seperti KTP, Kartu Keluarga, surat lamaran pekerjaan dsb.
Idealnya, Departemen Agama dibubarkan.
Apabila negara tidak dapat –atau tidak mau- menjamin hak-hak warganegaranya, maka mereka dapat menggunakan Pasal 28E (2) UUD, yang berbunyi:
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, … memilih kewarganegaraan…”, dan kemudian menggunakan Pasal 28 G (2), yang berbunyi:
“ …Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain ...”
Saya ingin menutup tulisan ini dengan lyrik lagu alm. John Lennon, Imagine, yang sangat berkesan bagi saya.

Imagine
Imagine there's no heaven,
It's easy if you try,
No hell below us,
Above us only sky,
Imagine all the people
living for today...

Imagine there's no countries,
It isnt hard to do,
Nothing to kill or die for,
No religion too,
Imagine all the people
living life in peace...

Imagine no possesions,
I wonder if you can,
No need for greed or hunger,
A brotherhood of man,
Imagine all the people
Sharing all the world...

You may say Im a dreamer,
but Im not the only one,
I hope some day you'll join us,
And the world will live as one.

Wassalam,
Shalom,
Salam Sejahtera,
Om, Santi, Santi, Santi, Om,
Namo Buddhaya, Buddha Memberkati.

Batara R. Hutagalung

http://www.batarahutagalung.blogspot.com/
Post Reply