Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Bab III: Menciptakan Muhammad

Post by Adadeh »

Bab III
Menciptakan Muhammad


Jika Muhammad Sebenarnya Tidak Ada, Maka Perlu untuk Menciptakannya


Dari awal sudah jelas bahwa jika berurusan dengan sejarah awal Islam, catatan²nya, baik dari pihak penjajah Arab maupun dari orang² yang dijajah Arab, keterangannya sangatlah tidak lengkap. Kita tidak melihat apa yang sebelumnya kita harapkan, seperti misalnya gambaran prajurit Muslim berteriak “Allahu Akbar”, menyebut Muhammad, dan mengutip Qur’an, atau Islam, tapi ternyata keterangan itu tak ada sama sekali. Para pemimpin Arab pertama, meskipun menjuluki diri mereka sebagai “pelayan Tuhan” atau “pesuruh Tuhan” (khalifat allah) dan “komandan/pemimpin umat yang setia,” tetap tak menerangkan dengan jelas kepercayaan mereka dan mereka tidak menyebut Nabi mereka atau kitab suci mereka selama berabad-abad sejak mulai menjajah dan menguasai daerah di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Selain jejak sejarah yang tak jelas ini, keadaan diperparah dengan tak menentunya sejarah hadis, banyaknya perkataan dan perbuatan Muhammad. Hadis berperan sangat penting dalam Islam. Hadis sahih berkedudukan kedua terpenting setelah Qur’an. Bersama Qur’an, Hadis membentuk dasar hukum dan praktek Islam baik untuk ibadah agama maupun pembentukan negara Islam. Karena Qur’an begitu kabur dan sukar dimengerti, dan keterangan Qur’an hanya dijelaskan di Hadis, maka secara fungsi meskipun tidak secara resmi, Hadis merupakan otoritas utama Islam.

Kebanyakan isi Qur’an tidak dapat dimengerti tanpa keterangan Hadis. Membaca Qur’an sangatlah tak menarik bagi kebanyakan orang; membaca Qur’an itu bagaikan bertemu dua orang yang sedang bercakap-cakap tentang hal yang tidak dimengerti kedua orang tersebut – dan keduanya tidak peduli untuk menerangkan apa yang dipercakapkannya.

Karena itu Hadis berperan sangat penting. Hadis adalah prisma bagi kebanyakan Muslim untuk bisa memahami Qur’an. Menurut tradisi Islam, peranan hadis penting untuk menjelaskan asal-usul atau asbab al-nuzul Qur’an. Kisah² di hadis menerangkan kapan, di mana, dan mengapa Muhammad menerima suatu ayat – biasanya untuk mendamaikan persengketaan diantara Muslim, atau menjawab pertanyaan yang diajukan Muslim pada sang Nabi Islam.

Sebagian hadis menyampaikan keterangan secara langsung. Salah satunya adalah hadis dari Ibn Abbas, bapak leluhur bani Abbasid dan juga merupakan sahabat Muhammad. Dalam hadisnya ini, dia mengatakan bahwa ayat Qur’an yang memerintahkan untuk “taatilah Allah, dan taatilah Muhammad, dan ulil amri (penguasa) diantara kamu” (4:59) disampaikan pada Muhammad “berhubungan dengan Abdullah bin Hudhafa bin Qais bin Adi ketika melantiknya sebagai komandan Sariya (pasukan Muslim).” [1] Penjelasan ini bisa masuk akal bagi ayat tersebut, tapi tak ada keterangan apapun dalam ayat Qur’an bahwa Muhammad mengangkat seorang komandan tentara; dengan begitu penjelasan ini bisa saja tentang kejadian lain yang serupa.
[1] Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari: The Translation of the Meanings, terjemahan oleh Muhammad M. Khan (Riyadh: Darussalam, 1997), vol. 6, buku 65, no. 4584.

Hal yang sama juga tampak pada penjelasan ayat Qur’an yang mengutuk orang munafik: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (2:44). Menurut salah satu hadis, Ibn Abbas menjelaskan, “Ayat ini diturunkan tentang kaum Yahudi di Medina,” yang ingin “menyuruh orang untuk memeluk Islam sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya.” [2] Ayat ini bisa saja tentang kaum Yahudi Medina yang pura² bersekutu dengan Muhammad padahal diam² menentangnya, tapi tak ada indikasi apapun untuk memastikan hal ini.
[2] Asbab Al-Nuzul by Al-Wahidi, diterjemahkan oleh Mokrane Guezzou, tentang Qur’an 2:44, http://www.altafsir.com/AsbabAlnuzol.as ... =yes&img=A.

Keterangan lebih terperinci bisa dibaca di Qur’an 5:67: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

Ahli Qur’an abad 11 al-Wahidi (wafat 1075), yang mengkoleksi hadis dan menerbitkannya dalam buku berjudul Asbab an-Nuzul, mengutip sebuah hadis yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan karena ketakutan yang dirasakan Muhammad. Hadis ini mengatakan bahwa al-Hasan, salah satu sahabat Nabi, menyampaikan: “Sang Nabi, Allah memberkatinya dan memberinya damai, berkata: ‘Ketika Allah mengirim pesanNya padaku, aku merasa tertekan karenanya, karena aku tahu sebagian orang akan berbohong kepadanya.’ Sang Rasul Allah merasa takut akan kaum Quraysh, Yahudi, dan Kristen, maka Allah mengirimkan ayat ini.”

Akan tetapi, Al-Wahidi juga melaporkan bahwa seorang Muslim lain, Abu Said al-Khudri, menyampaikan kisah yang berbeda, dengan mengatakan bahwa ayat itu “diturunkan di hari ‘Ghadir Khumm’ tentang Ali ibn Abi Talib, semoga Allah puas terhadapnya.” Muslim Syiah percaya bahwa di tahun terakhir hidupnya, Muhammad, ketika sedang dalam perjalanan pulang ke Medina, berhenti di ‘Ghadir Khumm,” kolam Khumm, dekat kota al-Juhfah di Arabia, dan menyampaikan khotbah di mana dia menunjuk menantunya Ali ibn Abi Talib sebagai penggantinya – atau hal ini ditunjukkannya dengan memegang tangan Ali sebagai tanda bahwa dia ingin Ali menjadi penerusnya.

Menurut beberapa hadis, istri favorit Muhammad yakni Aisyah dan Ali berseteru setelah Ali memperlakukannya dengan hina saat Aisyah menghadapi tuduhan selingkuh. Berpuluh-puluh tahun kemudian, pasukan Aisyah dan pasukan Ali saling bertempur di Perang Onta. Maka setelah menghubungkan penjelasan Syiah dengan ayat Qur’an 5:67, al-Wahidi mengutip keterangan Aisyah bahwa ayat ini tak ada hubungannya dengan Ali: “Sang Rasul Allah, Allah memberkati dan memberinya damai, terjaga terus di suatu malam dan maka aku berkata: ‘Ada apa sih, wahai Rasul Allah?’ Dia menjawab: ‘Apakah ada orang baik yang menjaga kita malam ini?’ Lalu kami mendengar suara yang diakibatkan oleh senjata² dan Rasul Allah bertanya: ‘Siapakah di luar sana?’ ‘Ini adalah Sa’d dan Hudhayfa, kami berada di sini untuk menjagamu,’ terdengar suara jawaban. Rasul Allah, Allah memberkati dan memberinya damai, lalu tidur dan dia tidur sangat nyenyak sampai aku mendengarnya mengorok; lalu ayat ini diturunkan. Rasul Allah, Allah memberkati dan memberinya damai, lalu mengangkat kepalanya keluar dari kerah bajunya dan berkata: ‘Wahai orang², kalian boleh pergi, karena Allah akan melindungiku.’”

Akhirnya, al-Wahidi mengutip Ibn Abbas, yang menyampaikan penjelasan serupa: “Rasul Allah, Allah memberkati dan memberinya damai, seringkali dijaga. Abu Talib dulu setiap hari mengirim orang² dari Banu Hashim untuk menjaganya sampai ayat ini diturunkan (Hai Rasul! sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.) sampai pada perkataanNya (Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.). Dan lalu ketika pamannya ingin mengirimkan orang² padanya untuk melindunginya, dia berkata: ‘Wahai paman! Sebenarnya Allah telah melindungiku dari jin dan manusia.’” [3]
[3] Al-Wahidi, tentang Qur’an 5:67

Banyak penjelasan yang berbeda menunjukkan tiadanya keterangan yang benar. Jika salah satu dari empat versi penjelasan ayat ini benar, dan ini berarti penjelasan ini adalah setua ayat tersebut, sukar dimengerti mengapa ketiga versi lain muncul dan bisa berkembang luas. Sudah jelas bahwa tiada seorang pun yang tahu betul latar belakang ayat tersebut, sehingga dikarang saja berbagai cerita untuk menjelaskannya.

Keterangan latar belakang Qur’an muncul terlambat dalam berbagai hadis yang ditulis di abad ke 9 M. Tiada bukti yang menerangkan asal-usul asli Qur’an. Karena itu, sangat mungkin bahwa hadis² dikarang saja demi menjelaskan ayat² Qur’an, dan bukan ditulis untuk menunjukkan latar belakang sejarah wahyu yang diterima Muhammad.


Hadis yang Bersifat Terpusat

Meskipun sangat dipertanyakan keasliannya, hadis tetap saja merupakan dasar standard Islam untuk mengerti ayat² Qur’an yang tidak jelas, yang jumlahnya sangat banyak. Hadis juga vital dalam theologi dan tradisi Islam yang menempel pada Muhammad, yang dikatakan Qur’an sebagai “teladan yang baik … bagi siapapun yang berharap pada Allah dan Hari Kiamat” (33:21)

Sungguh aneh bahwasanya Muhammad berperan sangat penting dalam Qur’an, tapi Qur’an tidak menjelaskan tentang dirinya secara jelas. Karena itulah keterangan biografi Muhammad dalam hadis sangat penting. Qur’an mengatakan bahwa Muhammad “berbudi pekerti yang agung” (68:4), dan “Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya dia telah mentaati Allah” (4:80). Nasehat untuk mentaati Rasul Allah, yang tentunya adalah Muhammad, seringkali muncul di Qur’an (3:32, 3:132, 4:13, 4:59, 4:69, 5:92, 8:1, 8:20, 8:46, 9:71, 24:47, 24:51, 24:52, 24:54, 24:56, 33:33, 47:33, 49:14, 58:13, 64:12). Apa sih sebenarnya makna dari mentaati Muhammad? Untuk jawabannya, orang harus terlebih dahulu mengetahui apa yang dikatakan dan diperbuatnya.

Menurut hadis, Muhammad memusatkan perhatian pada perkataan dan perbuatannya: “Aku telah diberi perintah, nasehat dan larangan yang tertulis dalam Qur’an.” [4] Keterangan ini menjadi tradisi teladan Islam dalam kehidupan sehari-hari Muslim. Pembela Islam jaman modern yakni Muqtader Khan dari Pusat Studi Islam dan Demokrasi menjelaskan bahwa “kata², perbuatan, dan sikap diam (akan apa yang dilihatnya tapi tak dilarangnya) Muhammad menjadai sumber independen dalam hukum Islam. Muslim tidak hanya mentaati saja tapi juga mencoba meniru Nabinya dalam segala segi kehidupan. Dengan begitu, Muhammad merupakan perantara dan juga sumber hukum illahi.” [5] Pemusatan akan Muhammad dalam Islam menyebabkan tiadanya lagi ruang bagi inovasi/kreativitas (bid’ah): Apa yang telah dihalalkan Nabi adalah halal, dan apa yang ditolaknya adalah haram, untuk sepanjang masa. Maka ahli Islam abad 15 al-Qastallani menolak “praktek apapun yang tidak sesuai dengan contoh jaman dulu, dan, terlebih lagi di bidang agama, apapun yang tidak dipraktekkan di jaman Nabi.” [6]
[4] Abu Dawud, 2:31 (dikutip di Ignaz Goldziher, Muslim Studies, diterjemahkan oleh C.R. Barber dan S.M. Stern, vol 2 [New York: George Allen & Unwin Ltd., 1971], 130).
[5] Muqtader Khan, “The Legacy of Prophet Muhammad and the Issues of Pedophilia and Poligamy,” Ijtihad, 9 Juni, 2003.
[6] Al-Qastellani, X, 342 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 34).


Nabi Islam menyimpulkan intisari Islam dalam hadis berikut: “Sebenarnya, sumber keterangan terbenar adalah Buku Allah, teladan terbaik adalah Muhammad, dan yang terburuk adalah inovasi/kreativitas; setiap inovasi adalah bid’ah, setiap bid’ah merupakan kesalahan, dan setiap kesalahan membimbing ke neraka.” [7] Akan tetapi, di hadis lain Muhammad tampaknya menarik mundur dari pernyataan sebelumnya yang keras tadi. Dia berjanji akan memberi hadiah bagi “siapapun yang menegakkan Islam di atas sunna yang baik” – yang adalah “praktek yang diterima” – dan larangan terahdap “apapun yang menyampaikan sunna yang jelek dalam Islam.” [8] Ini berarti andaikata pemimpin² Islam menetapkan aturan²/praktek² baru dan dari aturan² ini ada yang baik dan jelek – ketetapan ini jelas bertentangan dengan pernyataan Muhammad di hadis pertama bahwa “setiap inovasi adalah bid’ah.”
[7] An-Nasa’I, 1:143 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 34-35)
[8] Kitab al-Kharaj, 43, 10; Muslim, 5:287, ad-Darimi, 70; an-Nasa’I, 1:229; Ibn Maja, 18 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 37).


Apakah sebenarnya Muhammad itu plinpan? Apakah dia awalnya melarang inovasi, lalu berubah pikiran, atau sebaliknya? Meskipun bertentangan, kedua hadis ini bisa dianggap menentang inovasi dengan mengartikan hadis kedua di saat masalah baru muncul, sehingga mereka harus menilai masalah ini berdasarkan perkataan dan perbuatan Muhammad. Di kasus apapun dalam hukum Islam, contoh teladan (dan juga ayat² Qur’an) Muhammad berkuasa penuh, dan hadis yang mencatatat hal ini menjadi penentu kasus.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Sunnah yang Tak Ada Maknanya

Post by Adadeh »

Sunnah yang Tak Ada Maknanya

Salah satu aspek yang paling menarik akan pentingnya kedudukan Muhammad dalam hukum dan praktek Islam adalah tiadanya bukti sama sekali bahwa Muslim yang kenal sang Nabi benar² mencatat apa yang dikatakan dan dilakukannya. Jika sumber keterangan Islam itu benar, maka materi hadis tentang perkataan dan perbuatan Muhammad benar² ada, dan tentunya tulisan ini sudah beredar diantara umat Muslim selama 200 tahun sebelum akhirnya disaring, dinilai kesahihannya, dikumpulkan dan dipublikasikan. Tapi tak ada indikasi apapun bahwa materi hadis memang sudah muncul di masa 200 tahun itu.

Kalifah² pertama tidak tampak meniru contoh teladan Muhammad. Kata kalif sendiri berarti “penerus” atau “wakil,” dan dalam pengertian tradisional Islam, para kalifah merupakan penerus sang Nabi. Tapi keempat kalifah pertama yang berkuasa setelah Muhammad mati – keempatnya dikenal sebagai “Para Kalifah Teladan – mengeluarkan uang² logam yang menyatakan diri mereka sebagai “Kalifah² Allah,” dan bukannya “Kalifah sang Nabi Allah.” Rupanya para kalifah pertama menganggap diri mereka sebagai wakil Allah di bumi, dan bukan sebagai penerus sang Nabi.

Salah satu ahli Islam, Nabia Abbott, berpendapat bahwa tak ada catatan sejarah apapun yang menunjukkan para kalifah pertama meminta disusunnya hadis Muhammad karena Kalifah Umar (634-644) malahan memerintahkan agar hadis² dihancurkan. Menurut Abbott, Umar melakukan ini karena dia takut koleki hadis akan bersaing dengan Qur’an. [9] Tapi jika Umar memang benar² memerintahkan catatan tentang perkataan dan perbuatan Muhammad itu dibakar, maka bagaimana mungkin generasi Muslim berikutnya masih memiliki hadis dalam jumlah besar? Apakah Muslim menyembunyikan hadis² itu dalam gerobak rahasia meskipun hal ini melanggar perintah Pemimpin Umat Percaya, atau apakah mereka semua mengingat isi semua hadis dengan tepat sempurna?
[9] Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri, Volume II: Qur’anic Commentary and Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1967), 7-11. Tentang kontroversi penulisan hadis, lihat Michael Cook: “The Opponents of the Writing of Traditions in Early Islam,” Arabica 44 (1977): 437-530.

Kita mulai mendengar tentang contoh teladan Muhammad dari Kalifah yang sama yang membangun mesjid Kubah Batu, dan dia mengaku memiliki Qur’an (setelah Kalifah Usman mengaku begitu pula seabad sebelumnya), dan menciptakan uang logam dan prasasti pertama yang menyebut Muhammad sebagai Nabi Allah: Kalifah Abd al-Malik dari bani Umayyad. Kalifah Abd al-Malik berkuasa dari tahun 685 sampai tahun 705, dan dia menyuruh pihak pemberontak untuk taat pada Allah dan sunna nabinya. [10] (Ini bertentangan dengan penguasa sebelumnya, Kalifah Muawiya, yang lebih memilih “sunna Umar,” yang digantikannya. [11]) Gubernur Umayyad di Iraq yakni Hajjaj ibn Yusuf, yang dikatakan di sebagian hadis sebagai orang yang mengedit Qur’an dan menghancurkan variasi Qur’an yang berbeda, memarahi pemberontak Muslim Kharijit dengan berkata: “Kau telah menentang buku Allah dan melanggar sunna NabiNya.” [12]
[10] Patricia Crone dan Martin Hinds, God’s Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 62.
[11] Al-Ya’quib, 2:264 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 38).
[12] Safwat, Rasa’il, 2:177 (dikutip di Crone dan Hinds, God’s Caliph, 62).


Karena keterangan hadis di atas, orang bisa mengira bahwa sunna Nabi di jaman itu sudah menjadi sumber hukum yang dikenal luas. Tapi sewaktu penguasa² dari bani Umayyad menggunakan sunnah untuk menuduh mereka menyeleweng dari teladan Nabi, para pemberontak itu juga menggunakan sunnah Nabi yang lain untuk membenarkan tindakan mereka, untuk melawan pandangan dan hukum pihak penguasa. [13] Sejarawan Patricia Crone dan Martin Hinds menyimpulkan bahwa di abad² awal Kekalifahan Arab, sunnah Nabi tidak bersumber dari satu paket aturan yang jelas: “Dengan mengatakan bahwa seseorang telah mengikuti sunnah Nabi berarti orang itu adalah orang yang baik, dan bukan berarti dia telah melakukan sesuatu hal tertentu … Dalam istilah konkritnya, ‘sunnah Nabi’ sebenarnya tidak bermakna apapun.” [14]
[13] Crone dan Hinds, God’s Caliph, 64.
[14] Ibid.


Tapi Abd al-Malik dan para penerusnya menekankan teladan Muhammad: mereka menampilkan perkataan dan perbuatan Nabi sebagai kaidah norma bagi iman dan praktek ibadah Islam. Pentingnya setiap Muslim untuk taat pada Muhammad lalu menjadi doktrin utama yang diulang berkali-kali dalam Qur’an. Dengan begitu, Muslim jadi sangat ingin tahu apakah sebenarnya perkataan dan perbuatan Muhammad. Muslim dari Mesir di abad ke 8 bernama Makhul, seorang bekas budak yang dimerdekakan, mengingat bagaimana dia mencari apa yang ditetapkan Muhammad tentang jarahan perang:

Aku tidak meninggalkan Mesir sampai aku mendapatkan semua pengetahuan yang tampaknya ada di situ. Aku lalu pergi ke al-Hijaz (Jazirah Arabia bagian barat, di daerah Mekah) dan aku tidak meninggalkan tempat itu sampai aku mendapatkan semua pengetahuan yang ada di situ. Lalu aku pergi ke al-Iraq, dan aku tidak meninggalkan tempat itu sampai aku mendapatkan semua pengetahuan yang tersedia di situ. Aku lalu pergi ke Syria dan tinggal di situ. Aku tanya pada setiap orang tentang jatah harta jarahan. Aku tak menemukan siapapun yang bisa memberitahu padaku tentang hal itu.

Akhirnya, dia menemukan apa yang dicarinya: “Aku lalu bertemu orang tua bernama Ziyad ibn Jariyah at-Tamimi. Aku bertanya padanya: Apakah kau pernah mendengar apapun tentang jatah pemberian dari harta jarahan? Dia menjawab: Iya. Aku mendengar Maslama al-Fihri berkata: Aku hadir bersama sang Nabi (damai besertanya). Dia memberi seperempat jarahan pada perjalanan keluar dan sepertiga pada perjalanan kembali.” [15]
[15] Abu Dawud, buku 14, no. 2744; cf. Goldziher, Muslim Studies, 42.

Makhul mendapatkan jawabannya. Tapi tidak setiap Muslim bisa berkelana jauh seperti itu untuk mendapatkan jawaban. Karena adanya perintah untuk taat pada Rasul Allah, maka terdapat kebutuhan besar akan koleksi perkataan Nabi tentang berbagai masalah. Tradisi Islam secara umum menjelaskan bahwa kalifah Abbasid yang kedua, yakni al-Mansur yang berkuasa 754 – 775, adalah orang yang pertama yang menyusun manual resmi Islam yang disebut Muwatta. Karena hukum Islam sangat berdasar pada perkataan dan perbuatan Muhammad, maka manual hukum Islam ini mengandung jumlah besar hadis tentang sang Nabi Islam. Imam yang menulis Muwatta adalah Malik ibn Anas (715-795), yang wafat sekitar 16 dasawarsa (160 tahun) setelah kematian Muhammad, dan ini membuat Malik ibn Anas menjadi orang pengumpul hadis yang terdekat masa hidupnya dengan Muhammad.

Variasi edisi Muwatta dari Malik begitu berbeda satu sama lain sehingga menimbulkan keraguan apakah semua versi ini bersumber dari buku yang sama. Berbagai versi berbeda tentang ajaran Malik ditulis dan diturunkan oleh berbagai muridnya. Di salah satu kejadian, seorang pria mendekati sang Imam dan menunjukkan padanya sebuah naskah. Orang itu berkata pada Malik, “Ini Muwatta milikmu, wahai Abu Abd Allah, yang aku tulis ulang dan kumpulkan; mohon beri aku ijin untuk menyebarkannya.” Tanpa memeriksa isi naskah itu, Malik menjawab, “Permintaan dikabulkan, dan ketika kau menyerahkan teks ini kau boleh menyatakan sebagai berikut: Malik telah memberitahu aku, Malik telah melaporkan padaku..” [16] Sebagian dari variasi naskah mungkin disusun setelah Malik wafat. Versi apapun juga, tidak ada bukti jelas bahwa materi Muwatta itu benar² asli mengenai Muhammad.
[16] Al-Khatib al-Baghdadi, fol. 84b, ed. Hyderabad, 309 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 204-5).

Dengan menjunjung tinggi Muhammad sebagai teladan, maka hadis berperan sebagai senjata politik di tangan berbagai pihak yang saling berperang dalam dunia Islam. Karena hadis selalu digunakan sebagai senjata di masa perang, maka di masa itu hadis ditulis dalam jumlah besar²an. Ahli Islam bernama Muhammad ibn Shihab az-Zuhri yang wafat di tahun 741, atau 60 tahun sebelum kematian Malik ibn Anas, mengeluh bahwa bahkan di jamannya “para emir memaksa orang² untuk menulis berbagai hadis.” [17] Bahkan Kalifah al-Mahdi (775-785) terkenal sebagai orang yang suka mengarang hadis. [18]
[17] Al-Khatib, Taqyid, 107 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 47).
[18] As-Suyuti, Ta’rikh, 106, 22; 109, 17 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 106).


Sebagian hadis ini berguna untuk membenarkan expansi besar²an yang dilakukan Kekalifahan Arab, dengan alasan bahwa memang itulah perintah yang keluar dari mulut Muhammad. Satu hadis semacam itu menjabarkan kejadian Perang Khandaq/Parit di mana pagan Quraysh dari Mekah mengepung Medinah. Setelah memerintahkan pengikutnya menggali parit di sekitar kota Medinah, Muhammad meloncat masuk parit dengan menggenggam kapak untuk ikut membantu menghancurkan sebuah batu besar. Ketika dia memukul batu, keluar petir tiga kali dari batu itu. [19] Muhammad lalu menjelaskan: “Yang pertama berarti Allah telah membuka bagiku Yaman; yang kedua adalah Syria dan bagian barat; dan yang ketiga adalah bagian timur.” [20] Di versi dongeng ini yang lain, dia berkata bahwa petir berarti Muslim akan mengalahkan “istana² al-Hirah” di Iraq selatan “dan al-Madaiin dari Kisra,” yang merupakan ibukota musim dingin Kekaisaran Sassanian, yang juga “istana² orang² pucat di tanah Byzantium” dan “istana² San’a.” [21] Di hadis lain, Muhammad bernubuat bahwa “orang² Yunani akan berdiri di hadapan pasukan orang² coklat (Arab) yang berbaju putih dan kepala dicukur, dipaksa melakukan apa yang diperintahkan pada mereka, sedangkan negara mereka sekarang dihuni oleh orang² yang matanya kau pandang lebih rendah daripada monyet di atas punuk onta.” [22]
[19] Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452; Tabari, The History of al-Tabari, diterjemahkan oleh Michael Fishbein (Albany, State University of New York Press, 1997), vol. 8, 11.
[20] Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452.
[21] Tabari, The History of al-Tabari, vol. 8, 12.
[22] Yaqut, 3:242f (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 122).


Para Muslim juga mengarang hadis di tengah pertikaian sengit politik dan pertentangan agama yang mereka harap bisa diredakan melalui perkataan sang Nabi yang dikarang saja. Abd al-Malik suatu saat ingin membatasi Muslim untuk naik haji ke Mekah, karena dia khawatir salah satu saingannya akan mengambil kesempatan merekrut pengikut di tempat ibadah haji. Karena itu, dia lalu memaksa az-Zuhri untuk mengarang saja sebuah hadis yang mengatakan naik haji ke Yerusalem (Bayt al-Maqdis) sama berharganya di mata Allah seperti naik haji ke Mekah. Az-Zuhri menulis lebih jauh dengan mengatakan bahwa Muhammad berkata bahwa “sholat di Bayt al-Maqdis di Yerusalem berharga lebih dari 1000 sholat di tempat² suci lainnya” – dengan kata lain sholat di Yerusalem lebih baik daripada sholat di Mekah. Hadis ini muncul di salah satu dari enam koleksi hadis sahih, yakni hadis Sunan Muhammad ibn Maja (824-887). [23]
[23] Ibn Maja, 102 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 45). Tentang nilai sholat di Mekah, Medinah, dan Yerusalem, lihat M.J. Kister, “You Shall Set Out for Three Mosques: A Study of an Early Tradition,” Le Museon 82 (1969): 173-96.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Ini hadis Sunah Ibnu Majah tentang sholat di Baitul Maqdis bernilai seribu kali daripada sholat di tempat lain, berarti termasuk Mekah.

Sunan Ibnu Majah 1397:
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Abdullah Ar Raqqi berkata, telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaur bin Yazid dari Ziyad bin Abu Saudah dari saudaranya Utsman bin Abu Saudah dari Maimunah mantan budak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata, "Wahai Rasulullah, berilah kami fatwa berkenaan dengan Baitul Maqdis, " beliau bersabda: "Ia adalah bumi Al Muntasyar dan Al Muntasyar (tempat dikumpulkannya manusia pada hari kiamat), datangi dan shalatlah kalian di sana, sebab shalat di dalamnya seperti shalat seribu kali di tempat lainnya." Aku bertanya, "Bagaimana pendapat tuan jika saya tidak bisa ke sana?" beliau menjawab: "Memberi minyak yang dengannya lampu bisa dinyalakan di dalamnya, barangsiapa melakukan itu, maka ia seperti telah mendatanginya. "

Muslim yang melakukan umrah ke Baitul maqdis akan diampuni dosa²nya oleh Allah:
Sunan Ibnu Majah 2993:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mushaffa Al Himshi; telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Khalid; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Yahya bin Abu Sufyan dari ibunya Ummu Hakim binti Umayyah dari Ummu Salamah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang siapa yang berniat dari Baitul Maqdis, maka akan dihapuskan baginya dosa-dosa yang telah lalu. Ummu Salamah berkata; 'Maka aku keluar dari Baitul Maqdis untuk berumrah.'

Dengan keterangan seperti ini, maka Muslim lebih memilih melakukan umrah ke Yerusalem daripada ke Mekah. Inilah bukti rekayasa Kalifah Abd al-Malik untuk mencegah Muslim pergi ke Mekah.
User avatar
crayon-sinchan
Posts: 962
Joined: Sat Jun 05, 2010 7:14 pm
Location: surga ada di dalam hati masing-masing

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by crayon-sinchan »

trimakasih banyak om Adadeh.. menarik sekali bukunya..!
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

crayon-sinchan wrote:trimakasih banyak om Adadeh.. menarik sekali bukunya..!
Terima kasih atas tanggapan positifnya. Semakin ke belakang, semakin menarik. Lanjut...
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Fraksi² dan Hadis

Post by Adadeh »

Fraksi² dan Hadis

Kadangkala hadis direkayasa guna mendukung satu partai atau partai yang lain diantara berbagai fraksi Muslim awal. Kalifah Muawiya telah menghapus nama² Ali ibn Abi Talib (menantu Muhammad), dan Husein (putra dan penerus Ali) dari daftar “para kalifah teladan.” Muawiya terus saja menghadapi perlawanan dari partai baru yang berpihak pada Ali (Syiah Ali), yang akhirnya menjadi Islam Syiah. Sebuah hadis menuliskan bahwa Muawiya memerintahkan komandannya al-Mughira sebagai berikut: “Janganlah lelah mencela dan menghina Ali dan meminta belas kasihan Allah bagi Usman (kalifah sebelum Ali dan saudara sepupu Muawiya), memfitnah sahabat² Ali, menyingkirkan nama² mereka dan menghapus keterangan untuk mendengar mereka; pujilah terus keluarga Usman, tariklah mereka agar dekat denganmu dan dengarkan mereka.” [24] Sebagai bantahannya, sebuah hadis lalu muncul dengan kisah Muhammad mengumumkan bahwa ayah Ali dan wali Muhammad, yakni Abu Talib, dibakar di neraka: “Mungkin perantaraan dariku akan digunakan di hari kiamat, sehingga dia bisa dipindahkan ke api neraka yang hanya mencapai pergelangan kaki tapi tetap cukup panas untuk membakar otaknya.” [25]
[25] Manaqib al-Ansar, no. 40; Riqaq, no. 51; Muslim, Iman, no. 360; Musnad Ahmad, vol. 3,9,50,55 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 105).

Image
Idola Muslim Syiah: Kalifah keempat Ali bin Abi Talib, tukang jagal Islamiah, yang juga adalah menantu dan saudara sepupu Muhammad.

Partai pembela Ali menulis bahwa Muhammad menetapkan Ali sebagai penentu pengertian yang tepat akan Qur’an bagi Muslim: “Aku pergi perang agar Qur’an dikenal dan Ali akan berperang bagi penafsiran Qur’an.” [26] Di hadis lain yang dimiliki kaum Syiah, Muhammad mengumumkan, “Sekarang setelah kalian mengetahui bagi siapakah aku berkuasa, maka bagi mereka pula Ali berkuasa.”Lalu dia memegang tangan Ali dan berdoa, “Oh Allah, lindungi mereka yang mengakui Ali dan jadilah musuh bagi siapapun yang menentang Ali.” Mendengar itu, Umar (yang nanti jadi kalifah kedua, setelaha kematian Abu Bakr di tahun 634), berkata pada Ali: “Semoga kau selamat, putra Abu Talib, sejak jam ini kau telah ditunjuk sebagai penguasa semua Muslim pria dan wanita.” [27] Di hadis lain yang pro-Ali, Muhammad mengatakan pada salah seorang sahabatnya: “Oh Anas! Adakah orang lain diantara kaum Ansar yang lebih baik atau lebih terpilih dibandingkan Ali?” [28] Kaum Ansar atau kaum “pembantu” adalah orang² Medina yang beralih memeluk Islam setelah Muhammad hijrah dari Mekah ke Medina, 12 tahun setelah dia mengaku sebagai Nabi.
[26] Ibn Hajar, 1:59 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 110).
[27] Dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 113.
[28] Ad-Damiri, vol. 2, 400 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 114).

Partai Umayyad melawan kembali hadis² pro-Ali dengan hadis² mereka yang baru. Salah satu hadis tersebut mengatakan tentang reaski istri kesayangan Nabi, yakni Aisyah, ketika mengetahui Muhammad pada saat hampir ajal telah menunjuk Ali sebagai penggantinya dalam wasiat terakhirnya. Perlu diketahui bahwa Aisyah sangat membenci Ali karena Ali menasehati Muhammad untuk menceraikan Aisyah dan mendapatkan istri baru ketika Aisyah menghadapi tuduhan zinah. Aisyah menentang penunjukkan Ali sebagai pengganti Muhammad dengan sengit: “Kapan dia menunjuk Ali dalam wasiatnya? Sesungguhnya, ketika dia hampir mati dia menyenderkan dirinya pada dadaku (atau pada pangkuanku) dan dia meminta baskom dan lalu ambruk dalam keadaan itu, dan saat itu aku bahkan tidak percaya bahwa dia telah mati, jadi kapan dia menunjuk Ali dalam wasiatnya?” [29]
[29] Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 4, buku 55, no. 2741; cf. Goldziher, Muslim Studies, 114.

Hadis lain mengisahkan bahwa Muhammad menghujani pujian pada tiga orang yang menjadi penggantinya: Abu Bakr, Umar, dan Usman, dan masing² ditunjuk sebagai kalifah, tapi Ali tidak. Setelah Muhammad naik ke gunung Uhud dengan ketiga penerusnya itu, gunung lalu mulai bergetar, dan Muhammad berkata: “Teguhlah, wahai Uhud! Karena yang berdiri di atasmu hanyalah seorang Nabi, seorang Siddiq, dan dua orang syahid.” [30] Siddiq, atau “Orang yang Jujur” merupakan gelar kehormatan bagi orang yang dianggap sangat jujur dan setia.
[30] Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 5, buku 62, no. 3675.

Partai Umayyad bahkan menjejalkan kalimat² ke dalam mulut Ali, membuatnya memuji-muji dua saingan beratnya sebagai sahabat Nabi yang paling dekat. Ini hadisnya, disampaikan oleh Ibn Abbas:

Ketika aku berdiri diantara orang² yang memohon pada Allah bagi Umar bin Al-Khattab yang hampir ajal di ranjangnya, seorang pria di belakangku meletakkan sikut²nya di pundakku dan berkata, “ (Oh Umar!) Semoga Allah memberikan pengampunanNya bagimu. Aku selalu berharap Allah akan menempatkanmu bersama dua sahabatmu yang lain, karena aku sering mendengar Rasul Allah berkata, ‘Aku, Abu Bakr, dan Umar berada (di suatu tempat). Aku, Abu Bakr dan Umar melakukan (sesuatu). Aku, Abu Bakr, dan Umar pergi ke suatu tempat.’ Maka aku harap Allah akan mengumpulkan kau bersama kedua orang itu.” Aku menoleh ke belakang dan melihat bahwa orang yang berbicara itu adalah Ali bin Abi Talib. [31]
[31] Ibid., no. 3677.

Partai pro-Ali menulis hadis yang mengejek Usman yang melarikan diri dalam beberapa peperangan awal kaum Muslim. Salah satu pengikut Ali mengejek Usman dengan ayat ini: “Kau boleh saja menuduhku berdosa karena aku menyampaikan kisah bahwa dia melarikan diri dari Khaybar. Aku mengatakan bahwa orang itu melarikan diri dari Marhab, bagaikan keledai melarikan diri dari singa.” [32]
[32] Agh., VII, 13 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 118).

Image
Kalifah ketiga Usman bin Affan, yang terkenal sebagai orang yang pengecut diantara kalangan Muslim Syiah.

Usman menangkis tuduhan itu dengan merujuk perkataan Muhammad. Salah satu hadis mengisahkan soerang Mesir datang ke Mekah untuk ibadah haji dan bertanya pada seorang Muslim uzur bernama Abdullah ibn Umar, putra kalifah kedua: “Apakah kau tahu bahwa Usman melarikan diri di perang Uhud?”

Ketika Ibn Umar mengiyakan bahwa dia tahu akan hal itu, orang Mesir itu bertanya lagi: “Apakah kau tahu bahwa Usman tidak ikut dalam perang Badr?”

Ketika Ibn Umar mengiyakan lagi, orang Mesir itu mengajukan pertanyaan ketiga: “Apakah kau tahu bahwa dia tidak hadir dalam perjanjian Ar-Ridwan dan tidak menyaksikan juga?” Perjanjian ini merupakan sumpah setia pada Muhammad yang diucapkan para sahabatnya setelah sang Nabi Islam mengadakan perjanjian Hudaibiya dengan kaum pagan Quraysh, yang dianggap sebagai perjanjian yang banyak merugikan kaum Muslim.

Untuk ketigakalinya Ibn Umar menjawab, “Ya.” Orang Mesir itu berkata, “Allahu Akbar!” – ini berarti dia geram dan heran. Lalu Ibn Umar menjelaskan bahwa Allah “memberi alasan” bagi Usman dan memaafkannya karena melarikan diri di Uhud, meskipun dia tidak mengatakan alasannya. Di perang Badr, Ibn Umar berkata bahwa Usman tidak bisa pergi perang karena dia taat pada perintah Muhammad:”Putri Rasul Allah adalah istri Usman dan saat itu sang putri sedang sakit. Rasul Allah berkata pada Usman, ‘Kau akan menerima hadiah dan bagian jarahan sama seperti siapapun yang ikut perang Badr (jika kau tetap tinggal bersama putriku).’” Yang terakhir, Ibn Umar menjelaskan absennya Usman di perjanjian setia Ar-Ridwan adalah karena Muhammad mengirim Usman ke tempat lain, dan “jika saja ada orang lain yang lebih dihormati di Mekah selain Usman (dikirim sebagai utusan), maka Rasul Allah tentu telah mengirim orang tersebut.” Malah sewaktu Usman tidak hadir, Muhammad “mengacungkan tangan kanannya sambil berkata, ‘Inilah tangan Usman.’ Dia mengelus tangan kanan itu dengan tangannya yang lain sambil berkata, ‘Inilah (perjanjian setia) atas nama Usman.’” Ibn Umar mengatakan pada orang Mesir itu: “Ingatlah selalu alasan² ini.” [33]
[33] Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 5, buku 62, no. 3699.

Alasan² dengan mengikutsertakan Muhammad ini tidak hanya membela Usman saja, tapi juga menempatkan Usman di atas semua saingannya sebagai orang yang “lebih terhormat,” dan bahkan menunjukkan Muhammad mewakilinya saat dia tidak hadir. Dengan begitu, bagaimana mungkin orang bisa menganggap Ali lebih layak menjadi kalifah dibandingkan Usman? Tapi lalu partai pro-Ali menciptakan hadis lain yang membela Ali. Hadis ini menerangkan tentang pengepungan di oasis Khaybar, tempat tinggal suku Yahudi terakhir di Arabia setelah Muhammad mengusir dua dari tiga suku Yahudi di Medina dan menjagal suku ketiga. Muhammad mengirim Abu Bakr, Umar, dan Usman – lagi² di sini disebut ketiga kalifah pertama dan Ali tidak diikutsertakan – secara bergantian untuk menyerang salah satu benteng Khaybar, tapi mereka semua gagal menaklukannya. Ketika Muhammad mengirim Usman, Muhammad merujuk pada reputasinya sebagai orang pengecut dan membela Usman dengan berkata: “Besok aku akan menyerahkan bendera pada orang yang mencintai Allah dan RasulNya. Allah akan menaklukkan benteng dengan aksinya; dia bukan orang yang suka melarikan diri.” Tapi ternyata Usman juga gagal, maka Muhammad memanggil Ali, menyembuhkan matanya dengan muzizat, dan mengirimnya menyerang benteng itu. Ali tentu saja berhasil melaksanakannya. [34]
[34] Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 514; cf. Goldziher, Muslim Studies, 120.

Berbagai partai Muslim menyusun banyak hadis yang membela para pemimpin mereka atau menyerang pihak yang menentang mereka. Partai Umayya menciptakan hadis yang membela gubernur Umayya di Iraq, Khalid al-Qasri (wafat 743), yang dibenci banyak Muslim alim karena kebrutalan pemerintahannya. Khalid dibela di sebuah hadis yang mengatakan bahwa Muhammad berkata, “Oh Allah, ijinkan kemenanganMu dan kemenangan agamaMu terjadi melalui keturunan Asad b. Kurz,” yang adalah kakek moyang Khalid. [35] Tapi partai lain yang menentang Umayya mengisahkan Muhammad mengecam Kalifah al-Walid (705-715). Di hadis ini, Muhammad menghadapi orang yang baru saja memberi nama bayinya sebagai al-Walid: “Kau beri nama anak²mu dengan nama² Firaun. Sesungguhnya, orang yang bernama al-Walid akan mendatangkan banyak penderitaan bagi umatku lebih besar daripada yang dilakukan Firaun pada umatnya.” [36] Penyampai selanjutnya hadis ini menulis bahwa awalnya hadis ini merujuk pada al-Walid I, tapi ketika al-Walid II (743-744) juga mulai berlaku keji, maka ucapan Muhammad itu lalu diarahkan bagi al-Walid II. [37]
[35] Agh., 19:54; Yaqut, 4:93 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 53-54).
[36] Fragm. hist. arab., 198 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 107).
[37] Goldziher, Muslim Studies, 108.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Sarat dengan Kontradiksi

Konsekuensi dari ini semua adalah kebingungan besar. Karena semua partai² yang saling berperang merekayasa hadis untuk mendukung posisi mereka, maka banyak hadis yang sarat dengan kontradiksi. Banyak dari hadis ini yang berkisar pada praktek ibadah Islam yang berbeda-beda, kemungkinan menunjukkan variasi perbedaan daerah. Contohnya, diantara hadis² yang dikumpulkan imam abad 9 yang terkenal Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari terdapat satu hadis yang disampaikan oleh Ibn Abbas sebagai berikut, “sang Nabi melakukan wudhu dengan membasuh bagian² tubuh sekali saja,” [38] Tapi Bukhari melaporkan bahwa sahabat Muhammad yang lain, Abdullah ibn Zaid, berkata bahwa, “sang Nabi melakukan wudhu dengan membasuh bagian² tubuhnya dua kali.” [39] Dan lalu ada juga hadis lain dari Bukhari yang mengatakan bahwa Muhammad memuji Usman yang melakukan wudhu dengan membasuh tidak hanya sekali atau dua kali saja, tapi tiga kali, dengan mengatakan bahwa jika Usman melakukan itu dengan khusuk, maka, “dosa²nya yang lalu akan diampuni.” [40] Bukhari mencantumkan ketiga hadis ini bersamaan tanpa berkomentar apapun atau berusaha melakukan harmonisasi.
[38] Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 1, buku 4, no. 157.
[39] Ibid., buku 19, no. 158.
[40] Ibid., no. 159.


Dalam sebuah hadis yang dikumpulkan oleh imam abad 9 lainnya yakni Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri, dikatakan bahwa Muhammad “melarang minum air sambil berdiri.” [41] Tapi Muslim juga melaporkan bahwa ketika Ibn Abbas memberi Muhammad air suci dari sumur Zamzam di Mekah, Muhammad – yang senantiasa jadi teladan Muslim – “minum air itu sambil berdiri.” [42]
[41] Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, terjemahan oleh Abdul Hamid Siddiqi (New Delhi: Kitab Bhavan, 2000), buku 23, no. 5017.
[42] Ibid., no. 5023.


Pembela Islam jaman ini menunjuk pada hadis yang mengatakan bahwa Muhammad “melarang pembunuhan para wanita dan anak²” sebagai bukti kemanusiaan yang langka di jaman itu mengenai hukum perang Islam. [43] Akan tetapi hadis selanjutnya dari Muslim menerangkan bahwa ketika Muhammad , “ditanyai tentang para wanita dan anak² pagan yang dibunuh dalam serangan malam hari, dia berkata: Mereka adalah bagian dari orang² pagan.” [44] Dengan kata lain, anak² pagan merupakan bagian dari masyarakat pagan, sehingga layak untuk menerima nasib naas mereka.
[43] Ibid., buku 19, no. 4320.
[44] Ibid., no. 4321.


Kontradiksi² lain berhubungan dengan perincian kehidupan Muhammad, nubuat Islamiah, dan lainnya. Akibatnya, ahli Islam abad 9 bernama Asim an-Nabil (wafat 827) melemparkan kedua lengannya di udara dengan putus asa sambil berkata: “Aku berkesimpulan bahwa orang alim tidak akan pernah berdusta begitu hebat seperti dalam keterangan hadis².” [45]
[45] Al-Khatib al-Baghdadi, fol. 25b, ed. Hyderabad, 84 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 55).


Mengumpulkan dan Menyusun Hadis

Para penguasa Islam menyadari bahwa mereka perlu melakukan usaha untuk meluruskan kekacauan ini. Di akhir abad ke 8, kekalifahan Abbasid mengumpulkan dan menyusun Hadis. Dengan melalukan hal ini, mereka menghasilkan sejumlah besar keterangan tentang apa yang dilarang, diperintah, dihalalkan, diharamkan oleh sang Nabi Islam. Penyair Marwan ibn Abi Hafsa berkomentar dengan gembira bahwa kalifah Abbasid bernama Muhammad ibn Mansur al-Mahdi (775-785): “Sang amir al-mu’minin (pemimpin umat yang percaya) Muhammad telah menghidupkan kembali sunnah sang Nabi tentang apa yang diperbolehkan, dan apa yang dilarang.” [46]
[46] Agh., 9:45, 20 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 63).

Usaha besar ini menghasilkan enam koleksi hadis penting di akhir abad 8, dan tiada satu pun dari hadis tersebut yang ditulis kurang dari 200 tahun setelah kematian Muhammad. Keenam koleksi hadis ini dikenal sebagai as-Sahih as-Sittah: keterangan yang asli dan terpercaya. Berdasarkan urutan kepentingan dan reputasi kebenarannya, keenam koleksi hadis itu adalah Sahih Bukhari, yang merupakan koleksi hadis yang paling disegani dan diakui, dan dikumpulkan oleh Bukhari (810-870); Sahih Muslim, oleh Muslim ibn al-Hajjaj (821-875); Sunan oleh Daud as-Sijistani (818-889); As-Sunan as-Sughara oleh Ahmad ibn Shuayb an-Nasai (829-915); Jami oleh Abu Isa Muhammad At-Tirmidhi (824-892); dan Sunan oleh Muhammad ibn Maja (824-887). Meskipun umat Muslim menganggap koleksi Bukhari dan Muslim sebagai yang paling dipercaya, koleksi hadis lainnya juga sangat dihargai. Contohnya, dilaporkan bahwa Abu Daud as-Sijistani berkelana ke Arabia, Iraq, Khurasan, Mesir, Syria, Iran, dan lain² untuk mengumpulkan hadis. Salah seorang imam terkemuka yakni Zakariya bin Yahya as-Saji menyatakan: “Qur’an merupakan dasar Islam dan Sunan Abu Daud adalah pilarnya.” Imam lain Ibn al-Arabi menambahkan: ‘Tidak perlu sumber lain setelah mendapatkan keterangan dari Qur’an dan Sunan Abu Daud.” [47]
[47] Sulaiman bin Al-Aash’ath Al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Daud, English Translation with Explanatory Notes, terjemahan oleh Ahmad Hasan (New Delhi: Kitab Bhavan, 1990), v.

Koleksi Hadis yang paling dihormati, Bukhari, dimulai dengan sebuah mimpi, begitu menurut ahli Islam dari Saudi dan penerjemah Qur’an bernama Dr. Muhammad Muhsin Khan. Dr. Khan menulis bahwa Bukhari bermimpi “dia berdiri di hadapan Nabi Muhammad dengan memegang sebuah kipas dan mengusir lalat dari sang Nabi.” Imam Bukhari menafsirkan mimpi ini sebagai petunjuk illahi bahwa dia akan “mengenyahkan keterangan salah yang dinyatakan tentang sang Nabi.” Dengan begitu, dia menghabiskan hidupnya dengan berusaha untuk membedakan hadis asli dan palsu. Menurut tradisi Islam, Bukhari menjelajahi dunia Islam untuk mengumupulkan keterangan tentang perktaan dan perbuatan Muhammad – semuanya berjumlah 300.000 hadis. [48] Dia lalu menyingkirkan 293.000 hadis yang dianggap palsu, atau setidaknya diragukan keasliannya. Dia lalu memilih dan menerbitkan 7.563 hadis, termasuk hadis² yang menyampaikan keterangan yang sama berulang-kali. Dari jumlah itu, dia menetapkan 2.602 hadis sebagai sahih. Meskipun jumlahnya sudah banyak dikurangi, koleksi hadis Bukhari dalam bahasa Inggris – Arab yang diterbitkan di Saudi Arabia mencapai 9 volume.
[48] Muhammad Muhsin Khan, kata pengantar di Bukhari, Sahih al-Bukhari, 18-19.

Imam Muslim ibn al-Hajjaj merupakan murid Bukhari. Dia lahir di Nashpur yang sekarang merupakan daerah Iran. Dikabarkan bahwa dia menjelajahi Arabi, Mesir, Syria, dan Iraq untuk mengumpulkan hadis. Menurut tradisi Islam, dia mengkoleksi 300.000 hadis, dan dia menetapkan 4.000 sebagai hadis sahih. Kebanyakan Muslim ahli Islam menganggap koleksi hadisnya hampir sederajat seperti hadis Bukhari; umat Muslim tidak mempertanyakan apapun tentang kebenaran keterangan di Bukhari Sahih dan Muslim Sahih. Salah satu website iman dan ibadah Islam meyakinkan pembaca bahwa “tiada satu pun keterangan di website ini yang bertentangan dengan prinsip hukum Islam,” dan ini menyarikan pendapat umum umat Muslim bahwa “Bukhari Sahih tampil sebagai keterangan yang sangat dapat dipercaya.” Ditambahkan pula bahwa imam Muslim memilih hadis dalam Muslim Sahih “berdasarkan kriteria penerimaan yang terketat.” [49]
[49] “Hadith & Sunnah,” www.islamonline.net.


Berkembangbiaknya Hadis Palsu

Jika imam Bukhari dan Muslim sampai harus berusaha sedemikian kerasnya untuk menemukan sejumlah kecil hadis sahih, ini berarti ratusan ribu kisah tentang Muhammad adalah palsu atau diragukan keasliannya. Masalah ini diluar kontrol siapapun. Ignaz Goldziher, sejarawan pionir tentang sejarah Hadis, menulis bahwa “usaha beberapa orang jujur dalam menanggulangi semakin bertambahnya hadis palsu merupakan salah satu usaha yang paling mengagumkan di sejarah dunia literatur. Meskipun maksudnya baik, yang terjadi adalah keterangan palsu dilawan dengan keterangan palsu baru yang lain, dengan cara hadis² baru diselipkan kedalam koleksi hadis dengan pesan bahwa hadis² palsu dikecam keras oleh sang Nabi.” [50] Muhammad dikenal berkata: “Setelah aku wafat, jumlah pernyataan yang dikatakan berasal dariku akan terus bertambah, sama seperti bertambahnya perkataan² yang dikatakan berasal dari nabi² sebelumnya.” [51] Di hadis lain, dia bernubuat, “Di hari² selanjutnya diantara umatku, akan terdapat sebagian orang yang menyampaikan padamu keterangan yang tidak pernah kau atau kakek moyangmu dengar sebelumnya. Berhati-hatilah dengan mereka.” Dan yang berikut lebih keras lagi: “Di akhir jaman akan terdapat para pemalsu, pendusta yang akan memberi padamu hadis² yang tak pernah kau atau kakek moyangmu dengar. Berhati-hatilah dengan mereka sehingga mereka tidak membuatmu tersesat dan masuk ke dalam godaan.” [52]
[50] Goldziher, Muslim Studies, 126-27.
[51] Al-Jahiz, Bayan, fol. 114b (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 56).
[52] Dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 127.


Dengan demikian, bagaimanakah seorang Muslim bisa mengetahui dengan tepat hadis yang sahih dan hadis yang palsu? Sebuah hadis mengatakan Muhammad mengeluarkan pemecahannya: “Apa yang dikatakan padamu berasal dariku harus kau bandingkan dengan Buku Allah (Qur’an), dan apa yang sesuai dengan umat, apakah aku sebenarnya mengatakan tentang itu atau tidak.” [53] Ibn Abbas menambahkan kriteria lain, yakni penerimaan oleh umat: “Jika kau mendengar dariku hubungan dengan nama Nabi dan kau pikir keteranganku tidak sesuai dengan Buku Allah atau tidak disukai oleh umat, maka ketahuilah bahwa aku telah melaporkan hal yang palsu tentang sang Nabi.” [54]
[53] Al-Jahiz, Bayan, fol. 114b (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 56).
[54] Ad-Darimi, 77 (dikutip di Goldziher, Muslim Studies, 133).


Perhatikan bahwa di hadis² tersebut, baik Muhammad maupun Ibn Abbas tidak mengatakan bahwa Muslim harus berusaha untuk menyaring perkataan Nabi Islam yang asli dari yang palsu. Malahan mereka hanya mengukur isi perkataannya dengan Qur’an, dan ikuti saja yang tak bertentangan dengan isi kitab suci Muslim itu. Sampai hari ini, salah satu kriteria bagaimana Muslim menilai hadis adalah apakah isinya sesuai dengan Qur’an atau tidak. Yang bertentangan dengan firman Allah ditolak. Ini merupakan kriteria masuk akal, tapi tidak membuat kita mengetahui lebih jelas akan apa yang Muhammad katakan atau tidak katakan.

Meskipun demikian, Bukhari dan kolektor hadis lainnya telah melakukan usaha besar. Mereka mengaku tahu benar materi asli tentang Muhammad dari yang palsu dengan cara mengamati rantai/urutan orang² penyampai kisah (isnad/sanad), yakni orang² yang menyampaikan kisah sejak jaman Muhammad sampai jaman hadis itu dikumpulkan. Para Muslim ahli Islam menetapkan tingkat hadis berdasarkan isnad sebagai “terpercaya (sahih),” “baik (hasan),” “lemah (dha’if),” “palsu (maudhu),” dll.

Sebuah hadis dipandang sahih jika isnad-nya adalah orang² yang terpercaya dan adalah penguasa yang diakui. Contoh isnad yang kuat dicatat oleh ahli Islam Syiah yakni Syeikh al-Mufid (Ibn Muallim, 948-1022) yang bersumber dari Ali (kalifah keempat) sendiri. Al-Mufid berkata, “Abul Hasan Ali. B. Muhammad b. Khalid al-Maythami melaporkan padaku bahwa Abu Bakr Muhammad b. Al-Husain b. al-Mustanir, yang melaporkan dari Abbad b. Yaqub, yang melaporkan dari Abu Abdil Rahman al-Masudi, dari Kathir al-Nawa, dari Abu Maryam al-Khawlani, dari Malik b. Dhamrah, bahwa Amir ul-Mukminin Ali b. Abi Talib (A.S.) berkata …” [55]
[55] Al-Amali: The Dictations of Sheikh Al-Mufid, terjemahan oleh Mulla Asgharali M. M. Jaffer (Middlesex, UK: World Federation of Khja Shia Ithna-Asheri Muslim Communities, n.d.), 7.

Jika isnad termasuk orang² yang tak dapat dipercaya atau terputus, maka ilmiawan Muslim menyatakan hadis itu meragukan. Ibn Maja mencatat bahwa sebuah hadis dinyatakan lemah “karena penyampainya adalah Khalid b. Ubaid.” Dia mengutip pernyataan Bukhari akan Khalid: “Hadis dari dia meragukan” dan menunjuk dua penguasa Islam lain yakni Ibn Hibban dan Hakim, “telah menyatakan bahwa hadis² dari dia adalah maudu (palsu) atas wewenang Anas.” [56]
[56] Abu Abdullah Muhammad b. Yazid Ibn-i-Maja al-Qazwini, Sunan ibn-i-Majah, terjemahan oleh Muhammad Tufail Ansari (Lahore: Kazi Publications, 1996), vol. 5, no. 4067.

Rupanya penyampai kisah menentukan kesahihan sebuah hadis. Tak peduli apakah hadis² itu saling bertentangan atau pesannya sangat janggal, selama isnad-nya jelas dan tidak bertentangan dengan Qur’an, maka hadis² bisa diterima sebagai sahih. [57] Bukhari dan Muslim, dan juga imam² sejaman mereka, cenderung memilih hadis yang mereka terima dari berbagai sumber, tapi ini hanya membuktikan bahwa hadis itu telah tersebar luas dan bukan berarti hadis itu asli.
[57] Goldziher, Muslim Studies, 140-41.

Jika sebuah hadis bisa dipalsu, maka isnad pun bisa dipalsukan. Ada banyak indikasi bahwa isnad dipalsukan dengan tujuan sama seperti pemalsuan isi hadis. Ilmiawan hukum Islam Joseph Schacht mencatat satu hadis ganjil yang memiliki isnad yang palsu. Dia menjelaskan bahwa ash-Shafii, ahli hukum Islam terkenal awal abad 9, menyatakan hadis ini sebagai mursal, artinya “terburu-buru” dan “umumnya sanad-nya terpotong.” Penjelasan Shafii menyiratkan bahwa hadis itu “tidak jelas diajukan dalam versi apapun dengan isnad yang lengkap,” jelas Schacht. Tapi, lanjutnya, hadis yang sama “muncul dengan isnad yang lengkap di Ibn Hanbal… dan ibn Maja.” [58]
[58] Schacht, Origins of Muhammadan Jurispendence, 166.

Schacht menulis banyak hadis yang rupanya dipalsukan atau diganti isnad-nya. Dia menyampaikan satu hadis Muwatta Malik. Malik mendengar pesan di hadis itu dari Muhammad ibn Abdalrahman ibn Sad ibn Zurara, yang mendengar dari salahsatu istri Muhammad, yakni Hafsa, bahwa suatu ketika Hafsa membunuh salah seorang budaknya yang melakukan sihir dan mengguna-guna Hafsa. Di hadis lain kita membaca bahwa Malik mendengar dari Abul-Rijal Muhammad ibn Abdalrahman ibn Jariya, yang mendengarnya dari ibunya, Amra, bahwa salah seorang istri Muhammad, Aisyah, menjual seorang budaknya yang melakukan sihir dan mengguna-guna Aisyah. “Hadis yang satu menjiplak hadis yang lain,” demikian pengamatan Schacht, “dan keduanya tak bisa dianggap sebagai keterangan sejarah.” [59]
[59] Ibid., 164.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Apakah Semuanya Tidak Bisa Dipercaya?

Bahwasanya banyak hadis telah dipalsukan sudah diakui oleh berbagai ilmiawan Muslim dan non-Muslim. Bagi ilmiawan Muslim bernama Muhammad Mustafa Azami, isnad yang salah sekalipun tidak jadi masalah pada sebuah hadis yang sudah ditetapkan sebagai sahih. [60] Dia menjelaskan bahwa jika hadisnya palsu, maka pemalsu hadis tidak mungkin mengganti isnad dengan penyampai kisah yang palsu pula. Jika kisahnya memang sudah palsu sejak awal dan dipalsukan demi tujuan politik, mengapa tidak mencantumkan saja isnad dari para Muslim yang terhormat yang disebut menyampaikan perkataan Muhammad dengan rantai penyampai yang jelas dan tak terputus? Tapi pendapat Amazi ini goyah saat menghadapi fakta bahwa hadis² diciptakan oleh berbagai fraksi yang saling bermusuhan, dan pepatah yang menyatakan pihak yang menang perang adalah pihak yang menulis sejarah memang terjadi di sini: Jika sebuah hadis termahsyur tidak mendukung kepentingan pihak penguasa, maka mengganti isnad merupakan cara termudah untuk meragukan keaslian hadis itu. Terlebih lagi, penyampai kisah yang dihormati dan dipercaya oleh sebuahfraksi bisa dianggap pembohong oleh fraksi lain.
[60] Mohammad Mustafa Azami, Studies in Early Hadith Literature: With a Critical Edition of Some Early Texts, third edition (Oak Brook, IL: American Trust Publications, 1992).

Ilmiawan masa kini Harald Motzki menentang pendapat bahwa seluruh hadis tidak bisa dipercaya. Dia menunjuk pada hadis² yang dikoleksi oleh Abd ar-Razzaq (744-826) sebagai bukti bahwa hadis² tersebut telah beredar sejak awal abad ke-8. Akan tetapi sebenarnya Abd ar-Razzaq baru memulai mengumpulkan hadis di akhir abad ke8. [61] Seperti Azami, Motzki mengutip beberapa isnad untuk membuktikan suatu hadis adalah benar. Dia mengatakan bahwa Abd ar-Razzaq kadangkala bersumber dari orang yang tak begitu dapat dipercaya, dan bahkan juga tidak diketahui sumbernya. Jika hadis² hanyalah dikarang saja dan lalu dibubuhi isnad yang meyakinkan, mengapa hadis dengan isnad lemah atau tanpa isnad juga bahkan muncul? [62]
[61] Harad Motzki, “The Musannaf of ‘Abd al-Razzaq al-San’ani as a Source of Authentic ahadith of the First Century A.H., “Journal of Near Eastern Studies 50 (1991): 16-20 (dikutip di Herbert Berg, “The Development of Exegesis in Early Islam [London: Routledge, 2000], 37).
[62] Motzki, “The Musannaf,” 2 (dikutip di Berg, Development of Exegesis, 36).


Meskipun begitu, ada alasan kuat untuk mempertanyakan kebenaran isnad sebagai penentu kesahihan hadis. Isnad baru muncul tak lama setelah hadis² bermunculan. Muhammad ibn Sirin, ahli Qur’an abad ke 8 dan juga ahli tafsir mimpi, menjelaskan tradisi Islam yang berkenaan dengan isnad. Katanya, di jaman dulu para pengumpul hadis tidak memerlukan isnad, tapi setelah terjadi fitna (perang saudara) mereka berkata: beritahu kami siapa penyampainya.” [63] Istilah Fitna ini biasanya bersangkutan dengan kekacauan yang menyebabkan pembunuhan Kalifah Usman di tahun 656 – lebih dari 30 tahun setelah kematian Muhammad. Jadi menurut tradisi Islam, untuk waktu yang cukup lama hadis² beredar tanpa isnad. Tampaknya sukar dipercaya bahwa setelah 30 tahun sejak kematian Muhammad, umat Muslim masih dapat ingat dengan pasti siapakah penyampai ribuan kisah tentang Muhammad.
[63] Dikutip di G.H.A. Juynboll, terjemahan, “Muslim’s Introduction to His Sahih Tranlated and Annotated with an Excursus on the Chronology of fitna and bid’a,” Jerusalem Studies in Arabic and Islam 5 (1984): 277 (dikutip di Berg, Development of Exegesis, 7).

Penggunaan isnad menjadi syarat wajib di awal tahun 700-an – di sekitar jaman Abd al-Malik dan Hajjaj ibn Yusuf, atau tak lama setelah jaman itu. [64]
[64] Berg, Development of Exegesis, 28.

Penggunaan isnad untuk menentukan kesahihan hadis berdiri di atas fondasi yang rapuh. Siapapun yang pernah melakukan permainan berbisik untuk menyampaikan kalimat melalui beberapa orang dan lalu membandingkan hasil kalimat akhir dengan kalimat awal dari penyampai pertama, akan tahu bahwa tradisi oral sangat tak dapat diandalkan. [65] Jika Muhammad dapat memperingatkan Muslim bahwa mereka “harus tetap melafalkan Qur’an karena Qur’an bisa meninggalkan hati manusia lebih cepat dari onta yang dilepas tali kekangnya,” maka tentunya kecenderungan ini juga semakin besar pada hadis. [66] Orang² Arabia memiliki kebiasaan menghafalkan puisi, dan menghafalkan Qur’an juga sesuai dengan tradisi ini. Tradisi kuno Yunani di jaman dulu juga memiliki penyair² terlatih yang menghafalkan kisah Iliad dan Odyssey di luar kepala. Tapi penyampai hadis bukanlah penyair atau orang yang terlatih dalam menghafal; mereka hanyalah sahabat² Muhammad yang melihatnya berbuat atau berkata sesuatu. Selain itu, jumlah hadis jauh lebih banyak dibandingkan cerita² kuno yang harus dihafal penyair terlatih. Meskipun begitu, umat Muslim beranggapan bahwa para sahabat Muhammad memiliki daya ingat sempura akan perkataan dan perbuatannya, dan menyampaikan ribuan kejadian yang mereka lihat dan dengar tanpa salah sama sekali. Mereka juga beranggapan bahwa di dekade² berikut para penyampai kisah lainnya menyampaikan kisah tanpa ada kesalahan dan penggantian apapun sampai akhirnya hadis² tersebut dikoleksi dan ditulis di abad 9.
[65] Contoh diskusi bagus akan hal ini dapat dilihat di buku Ibn Warraq yang berjudul The Quest for the Historical Muhammad, 38-43.
[66] Bukhari, Sahih al-Bukhari, vol. 6, buku 66, no. 5032.


Kemampuan mengingat seperti ini tidak pernah terbukti.


Apakah yang Sebenarnya Muhammad Katakan dan Lakukan?

Akhirnya, tidaklah mungkin untuk mengetahui dengan pasti apakah Muhammad memang benar² mengatakan atau berbuat seperti yang tertulis pada sumber² Islam, atau bahkan apakah Muhammad itu benar² ada. Kita telah melihat bahwa bani Abbasid mensponsori pengembangbiakkan berbagai hadis, dan akhirnya menyusun koleksi hadis Nabi. Hal ini mereka lakukan dalam upaya menentang bani Umayyad berdasarkan aturan agama. Ignaz Goldziher menjelaskan bahwa bani Abbasid menyingkirkan bani Umayyad karena yang terakhir dituduh sebagai “tak bertuhan dan melawan agama.” Pihak Abbasid yang dipimpin oleh Jendral Abu Muslim, yang ditulis Goldziher sebagai “orang ‘berpentung bagi orang² tak beriman’” – bangkit melawan bani Umayyad dengan tujuan utama menegakkan ‘pilar din (agama).” [67]
[67] Goldziher, Muslim Studies, 62.

Di lain pihak, tuduhan murtad yang ditujukan pada bani Umayyad hanyalah sekedar alasan bani Abbasid untuk menjelekkan saingan mereka. Lagipula sungguh tak mungkin jika bani Umayyad, yang menguasai kekalifahan di tahun 661 setelah pembunuhan Kalifah Ali, ternyata tidak beragama. Mereka berkuasa kurang dari tiga dekade setelah kematian Nabi Islam, dan menurut dugaan banyak diantara mereka yang mengenal Muhammad secara pribadi dan mencintainya di atas segala makhluk. Muawiya, Kalifah pertama Umayyad, adalah saudara sepupu Kalifah Usman, yang dikenal menyeragamkan Qur’an. Apakah mungkin bani Umayyad serta merta meninggalkan agama Muhammad begitu cepat? Apakah mungkin umat Islam begitu cepat jatuh ke tangan penguasa yang tidak mengindahkan prinsip dan aturan Islam?

Hal ini kemungkinan adalah perubahan keadaan di jaman sarat kekerasan, dan agama yang dianut justru memerintahkan tindakan kekerasan. Muawiya adalah putra Abu Sufyan, ketua Quraysh yang (menurut sumber Islam) melawan Muhammad dalam beberapa peperangan dan lalu memeluk Islam secara ragu setelah dikalahkan. Dalam sebuah pertemuan setelah Abu Sufyan kalah, Muhammad bertanya, “Waspadalah, Abu Sufyan, bukankah sudah saatnya kau mengakui aku adalah Rasul Allah?” Abu Sufyan menjawab, “Aku masih ragu akan hal itu.” Sahabat Muhammad yakni Ibn Abbas, kakek moyang bani Abbasid, tidak menerima pernyataan itu. Dia berkata pada Abu Sufyan: “Tunduk dan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah sebelum kau kehilangan kepalamu.” Abu Sufyan lalu menurut. [68]
[68] Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 547.

Berdasarkan keterangan tersebut, kemungkinan iman Muawiya terhadap Islam tidaklah kuat. Tapi ada hadis lain yang mengatakan bahwa dia lalu menjadi sangat taat pada Islam dan bahkan menjadi juru tulis Muhammad. Hadis tentang Abu Sufyan kemungkinan diciptakan dari polemik Abbasid.

Bahkan sekalipun Muawiya bukanlah seorang Muslim yang taat, sangat sukar dibayangkan bahwa dia akan mewariskan keyakinannya untuk tidak beragama pada para penerusnya yang berkuasa selama ratusan tahun atas umat Muslim yang sangat beriman pada Qur’an dan sunnah Muhammad. Tuduhan tradisi Islam bahwa bani Umayyad tidak beragama kemungkinan menunjukkan bahwa di jaman awal Umayyad pertakataan dan perbuatan Muhammad dan teks Qur’an belum dipastikan.
Moderator 1
Posts: 134
Joined: Tue Sep 13, 2005 8:51 pm

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Moderator 1 »

Perdebatan tentang buku ini dipindah ke sini:

http://indonesia.faithfreedom.org/forum/topic49284/

Silakan berdebat sepuasnya di sana. Jangan debat di ruang terjemahan buku asing.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Bab 4
Menyoroti Kebenaran Sejarah


Muslim Penulis Riwayat Hidup Muhammad yang Pertama

Bagian ini akan meneliti kisah hidup Muhammad dari tulisan penulis Muslim bernama Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yasar, atau dikenal sebagai Ibn Ishaq saja. Tapi Ibn Ishaq tidaklah hidup di jaman Muhammad, yang mati di tahun 632. Ibn Ishaq wafat di tahun 773, dan dengan begitu tulisannya dibuat lebih dari seratus tahun setelah kematian Muhammad.

Image
"The Life of Muhammad," oleh Ibn Ishaq, diterjemahkan oleh A. Guillaume

Selain itu, tulisan asli Ibn Ishaq yang berjudul Sirat Rasul Allah atau Riwayat Hidup Rasul Allah sudah tidak ada lagi. Yang sekarang kita miliki adalah versi yang telah diedit, dikurangi (meskipun masih sangat panjang) oleh sejarawan Islam lain bernama Ibn Hisham, yang wafat di tahun 834, enampuluh tahun setelah wafatnya Ibn Ishaq, dan juga bagian² lain yang dikutip oleh penulis² Muslim awal, termasuk sejarawan Muhammad ibn Jarir at-Tabari (839-923).

Terlambatnya waktu penulisan bukan lalu berarti tulisannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sejarawan lebih memilih sumber tulisan yang lebih awal daripada yang kemudian, tapi sumber² awal tidak selalu berarti lebih bisa dipercaya daripada yang ditulis kemudian. Misalnya, biografi politikus ditulis cepat² tak lama setelah kematiannya, dan ini tak berarti tulisan itu lebih bisa dipercaya daripada biografinya yang ditulis di kemudian hari melalui proses penelitian yang seksama. Tapi dengan adanya berbagai pemalsuan tentang perkataan dan perbuatan Muhammad, bagaimana berbagai fraksi di abad ke 8 dan 9 menggunakan pernyataan Muhammad demi kepentingan politik masing², maka penulis² awal biografi Muhammad tentunya menghadapi tantangan besar dalam menyaring materi tulisan yang asli dari yang palsu.

Ibn Hisham dengan terus terang mengatakan bahwa versi tulisannya sudah disteril. Dia berkata bahwa dia telah menghilangkan, “hal² yang memalukan untuk dibicarakan; hal² yang akan membuat sebagian pihak tersinggung; dan laporan² yang dianggap al-Bakkai (murid Ibn Ishaq, yang mengedit tulisan gurunya) tidak bisa dipercaya.” [1] Abdallah ibn Numayr, pengumpul hadis yang wafat di tahun 814, mengeluh bahwa meskipun sebagian besar tulisan Ibn Ishaq bisa dipercaya, tapi materi tulisan banyak tercampur-aduk dengan “perkataan² yang tak berarti” yang didapat Ibn Ishaq dari “orang yang tak jelas asal-usulnya.” [2] Spesialis hadis ternama Ahmad ibn Hanbal (wafat tahun 855) menganggap Ibn Ishaq bukanlah sumber hukum Islam yang bisa dipercaya. [3] Karena hukum Islam diambil dari contoh perbuatan dan perkataan Muhammad, apa yang diharamkan dan dihalalkan, maka ini merupakan pernyataan penting: Ibn Hanbal menganggap bahwa sebagian besar tulisan Ibn Ishaq tentang Muhammad tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Akan tetapi, di pihak lain Ibn Hanbal memperjelas pendapatnya dengan mengatakan bahwa dia hanya tidak percaya tulisan Ibn Ishaq yang bersangkutan dengan hukum Islam, tapi dia percaya pada bagian tulisan Ishaq tentang riwayat hidup Muhammad, terutama tentang perang² yang terjadi. Pandangan yang lebih mengecam akan tulisan Ibn Ishaq dikeluarkan oleh ahli hukum Islam awal Malik ibn Anas (wafat 795) yang mengatakan Ibn Ishaq adalah “salah satu dari anti kristus.” [4] Ilmiawan Muslim lain menyebut Ibn Ishaq sebagai pembohong. [5]
[1] Alfred Guillaume, “Ibn Hisham’s Notes,” in Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 691.
[2] Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, xxxvi.
[3] Ibid.
[4] Ibid., xxxvii.
[5] Ibid., xxxvii.


Image
"Sirah Nabawiyah," tulisan hasil contekan Ibn Hisyam dari buku Ibn Ishaq yang berjudul "Sirat Rasul Allah."


Membela Ibn Ishaq

Banyak pula sejarawan Muslim yang membela Ibn Ishaq. Para penulis Muslim yang awalnya mendengar berbagai kritik akan Ibn Ishaq pada akhirnya mengenyampingkan kritikan² itu dan menegaskan bahwa tulisan Ibn Ishaq bisa dipercaya. Sebenarnya pihak yang mengecam Ibn Ishaq melakukan hal itu karena Ibn Ishaq terkesan seperti Muslim Syiah atau tulisannya menyiratkan kebebasan berpikir manusia, dan ini merupakan hal terlarang bagi Muslim. Sebagian Muslim lain berpendapat bahwa dia terlalu membela suku² Yahudi di Arabia.

Tiada satu pun dari pendapat di atas yang membuktikan kebenaran tulisan Ibn Ishaq, meskipun begitu banyak Muslim awal yang menegaskan kebenaran tulisannya. Seorang Muslim abad ke-8 bernama Shuba menyebut Ibn Ishaq sebagai “ahli hadis yang amir” karena daya ingatnya yang kuat. Penulis abad ke-9 Abu Zura berkata bahwa tulisan Ibn Ishaq telah diteliti ketepatannya dan telah lulus uji. Ahli hukum awal abad 9 ash-Shafii berkata bahwa Ibn Ishaq adalah sumber yang sangat berharga bagi keterangan peperangan Nabi, dan bahkan disebut bahwa “pengetahuan akan tetap dimiliki orang² selama Ibn Ishaq tetap hidup.” [6]
[6] Ibid., xxxv.

Berbagai pandangan yang mendukung dan menentang ini terjadi disebabkan gambaran sosok Muhammad yang ditulis Ibn Ishak bukanlah seperti pemimpin agama besar yang biasanya dikenal orang. Muhammad versi Ibn Ishaq bukanlah pembimbing rohani yang penuh damai dan mengajar cinta kasih Tuhan dan persaudaraan antar umat manusia, tapi merupakan sosok panglima perang yang berperang dalam banyak peperangan dan memerintahkan pembunuhan terhadap musuh²nya. Sejarawan abad 20 bernama David Margoliouth menulis, “Watak Muhammad dalam biografi versi Ibn Ishaq tidaklah menyenangkan sama sekali. Untuk mencapai keinginannya, dia tidak bersikap bijaksana, dan malah mengijinkan pengikutnya melakukan berbagai perbuatan tercela selama semua itu menguntungkan dirinya.” [7]
[7] Arthur Jeffery, “The Quest of the Historical Muhammad,” in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 340.

Yang membuat malu para Muslim modern di dunia Barat bukanlah banyaknya peperangan yang dilakukan Muhammad, karena Muslim umumnya mengganggap kejadian itu terjadi di waktu dan tempat hidup Muhammad saja, dan dia adalah “contoh yang baik” bagi Muslim di sepanjang waktu dan tempat (Qur’an 33:21). Hal utama yang membuat Muslim menolak biografri versi Ibn Ishaq adalah tulisannya mengenai “ayat² setan.” Di bagian tentang hal ini, Ibn Ishaq menulis bahwa Muhammad menerima wahyu untuk menyebut tiga dewi Quraysh pagan sebagai putri² Allah, yang didambakan berkahnya. Tapi ketika sang Nabi Islam menyadari bahwa dia menyatukan ajaran monotheismenya dengan paganisme, dia lalu mengaku bahwa Setan telah membisikkan wahyu ayat² Qur’an itu padanya, dan bahwa Setan memang sering memalsukan wahyu² pada semua nabi (Q 22:52). Muhammad lalu cepat² mengganti ayat² yang memuji-muji dewi² pagan. Ibn Ishaq menyampaikan kejadian ini, dan hampir seluruh penulis awal kisah Nabi tidak memuat kisah ini. Ibn Ishaq juga menulis kisah mengerikan tentang Kinana bin ar-Rabi, ketua suku Yahudi Khaybar, yang diserang Muhammad dan dikalahkan. Karena mengira Kinana tahu di mana para Yahudi Khaybar menyembunyikan harta benda mereka, sang Nabi memberi perintah kepada tentaranya: “Siksa dia sampai mengaku.” Para Muslim lalu membakar dada Kinana, dan ketika Kinana tidak memberitahu mereka tempat hartanya, maka mereka memancungnya. [8]
[8] Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 515.

Image
Kisah Ayat² Setan dari buku "Sirat Rasul Allah" oleh Ibn Ishaq

Pembela Islam jaman modern bernama Ehteshaam Gulam, penulis muda dari website Answering Christian Claims, seperti biasa menyangkal kisah ini dengan alasan isnadnya tak lengkap. Katanya, Ibn Ishaq tidak memberi penjelasan dari mana sumbernya. Gulam juga berkata bahwa Muhammad tak mungkin melakukan hal ini: “Bahwasanya menyiksa bakar dada orang dengan api merupakan perbuatan yang terlalu keji untuk dilakukan seorang Nabi (SAW).” [9] Dia menuduh orang Yahudi mengarang kisah ini dan Ibn Ishaq mempercayainya begitu saja.
[9] Ehteshaam Gulam, “The Problems with Ibn Ishaq’s Sirat Rasoul Allah and Other Early Sources of Islam and Prophet Muhammad (2009),” Answering Christian Claims, http://www.answering-christian-claims.c ... Ishaq.html. Kata Arab bagi “pengampunan bagi dunia” adalah Rahmatan lil Alamin.
Moderator 1
Posts: 134
Joined: Tue Sep 13, 2005 8:51 pm

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Moderator 1 »

Pembahasan dan pertanyaan netter kata holos tentang buku Apakah Muhammad Benar2 Ada sudah dipindah ke sini:

http://indonesia.faithfreedom.org/forum ... da-t49337/

Sekali lagi gw peringatkan agar tidak mengotori sub forum Buku Terjemahan dengan segala perdebatan. Lain kali, posting2 yang tak merupakan terjemahan buku akan segera dihapus tanpa peringatan lebih lanjut. Semoga semua mengerti keterangan sederhana ini.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Keandalan Ibn Ishaq

Jadi apakah semua tulisan Ibn Ishaq itu tak ada benarnya karena keterangan berasal dari “orang² yang tak dikenal”? Ada kemungkinan begitu. Tapi yang tidak dibahas oleh para pengritik adalah apakah alasan Ibn Ishaq melalukan itu? Jika memang benar ada orang² Yahudi musuh Islam (seperti yang dikatakan Q 5:82) yang memberi informasi² salah tentang Muhammad untuk menjelekkan Islam pada Ibn Ishaq, maka alasan pihak Yahudi sudahlah jelas, tapi tidak begitu dengan alasan Ibn Ishaq. Kata Margoliouth, Ibn Ishaq menggambarkan “sosok pendiri Islam yang tak menyenangkan,” tapi “keterangan ini tak mungkin berasal dari pihak musuh.” [10] Meskipun Ibn Ishaq menggambarkan Muhammad lebih sebagai sosok tukang jagal daripada orang suci, sikap hormatnya pada sosok Muhammad tampak nyata sekali dan terus-menerus berlangsung. Sudah jelas bahwa Ibn Ishaq tidak tertarik untuk menggambarkan nabinya sebagai orang yang menyenangkan. Sama seperti Muslim lain pada umumnya, bagi Ibn Ishaq, Muhammad adalah panutan moral. Ibn Ishaq tidak punya masalah akan implikasi moral kisah² yang ditulisnya atau merasa kejadian tertentu bisa membuat Muhammad tampak jelek. Kisah² seperti itu tidak bisa dianggap salah atau dianggap bukan fakta sejarah hanya karena Muslim jaman modern berharap kisah² itu tidak ditulis.
[10] Jeffery, “The Quest of the Historical Muhammad,” 340.

Sumber Islam menyebut sejarawan² awal, tapi karya tulis mereka tak ada yang utuh sekarang, dan apa yang kita miliki sekarang tentang mereka juga tidak jelas. Contoh, orang yang umumnya diakui sebagai pendiri sejarah Islam, Urwa ibn Az-Zubair ibn al-Awwam, menurut hadis Islam merupakan saudara sepupu Muhammad dan keponakan Aisyah yang wafat di tahun 712. Ibn Ishaq, Tabari, dan Ibn Sa’d mengutip banyak keterangan dari Az-Zubair, tapi tak ada tulisan Az-Zubair yang masih utuh sekarang. [11]
[11] Ibn Warraq, “Studies on Muhammad and the Rise of Islam: A Critical Survey,” di buku Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 25.

Tidak ada cara untuk membuktikan kebenaran keterangan Ibn Ishaq tentang Muhammad. Materi kisah yang disampaikan secara oral selama 125 tahun, di tengah lingkungan yang penuh pemalsuan keterangan, membuat keterangan sejarahnya tidak bisa diandalkan. Terlebih lagi, seperti yang dinyatakan oleh ahli Islam Belanda bernama Johannes J. G. Jansen:
Tak satupun keterangan dari Ibn Ishaq yang bisa dibuktikan kebenarannya melalui prasasti atau penginggalan arkeologi lain. Kesaksian dari non-Muslim di jaman itu tak ada. Sumber² Yunani, Armenia, Syria, dan lainnya tentang jaman awal Islam sukar ditetapkan tanggalnya, tapi tak ada satu pun dari keterangan mereka yang benar² sejaman dengan sang Nabi Islam. Dengan keadaan seperti ini, tiada satu pun tulisan biografi yang bisa dianggap sebagai keterangan sejarah nan ilmiah, bahkan sekalipun biografi yang ditulis Ibn Ishaq yang maha tahu.
[12]
[12] Johannes J.G. Jansen, “The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 733),” makalah tentang Konferensi “Scepticism and Scripture”, Center for Inquiry, Davis, California, January 2007.


Sulaman Sejarah

Penulis² biografi setelah Ibn Ishaq bahkan bersikap lebih maha tahu lagi, dan seringkali menyisipkan berbagai keterangan tambahan pada tulisan Ibn Ishaq. Sejarawan Patricia Crone menunjukkan satu contoh yang jelas. Menurut Ibn Ishaq, di penyerangan Kharrar tidak terjadi pertempuran apapun yang dialami Muhammad: “Di saat itu Rasul Allah telah mengirim Sa’d b. Abi Waqqas dalam serangan bersama delapan orang Muhajirun. Dia bergerak sampai mencapai Kharrar di Hijaz, lalu balik kembali tanpa bertarung dengan pihak musuh.” [13]
[13] Patricia Crone, Meccan Trade and the Rise of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1987), 223.

Dua generasi kemudian, al-Waqidi (wafat 822), di bukunya yang berjudul Buku Sejarah dan Penyerangan², menulis tentang peperangan Muhammad sebagai berikut:
Lalu Rasul Allah (SAW) menunjuk Sa’d b. Abi Waqqas untuk menyerang Kharrar – Kharrar merupakan bagian dari Juhfa dekan Khumm – di Dhu’l Qa’da, delapan belas bulan setelah sang Rasul hijrah. Abu Bakr b. Ismail b. Muhammad berkata melalui keterangan ayahnya melalui Amir b. Sa’d melalui ayahnya (Sa’d b. Abi Waqqas): Rasul Allah berkata, “Wahai Sa’d, pergilah ke Kharrar, karena di sana akan lewat kafilah Quraysh.” Maka aku pergi bersama duapuluh atau duapuluh satu orang, jalan kaki. Kami bersembunyi di siang hari dan bergerak di malam hari sampai kami tiba di pagi hari, hari yang kelima. Kami menemukan bahwa kafilah tersebut sudah berlalu sehari sebelumnya. Rasul Allah berpesan agar kami tidak pergi melewati Kharrar. Jika boleh pergi lebih jauh, tentu aku akan mengejar kafilah itu.
[14]
[14] Ibid., 224.

Al-Waqidi tahu lebih banyak tentang penyerangan ini daripada Ibn Ishaq – dan seperti yang ditulis Crone, “dia tahu semua hal ini bagaikan dirinya sendiri yang memimpin penyerangan itu”! Tapi bagaimana mungkin keterangan selengkap itu bisa luput dari Ibn Ishaq dan bisa didapat al-Waqidi lima puluh tahun kemudian? Meskipun ada kemungkinan al-Waqidi bertemu dengan penyampai kisah oral dari orang² yang dekat dengan Muhammad dan luput dari Ibn Ishaq, tapi lebih besar kemungkinan penambahan detail hanyalah karangan saja agar kisahnya terdengar lebih dramatis. [15]
[15] Untuk gejala yang serupa, lihat Daniel Pipes, Slave Soldiers and Islam (New Haven: Yale University Press, 1981), 205-14. Perhatikan bagaimana sejarah asal-usul tentara budak, peristiwa sekuler yang terjadi 200 tahun setelah kematian Muhammad, diterangkan secara berlainan dalam empatpuluh empat sumber keterangan Arab dan Persia. Di kasus ini, informasi baru terus saja bermunculan di banyak abad setelah peristiwa terjadi – peristiwa politik yang terjadi di awal abad ke-9. Berapa jauh lebih besar kemungkinan perubahan keterangan dalam peristiwa agama di abad ke-7 yang jauh lebih berarti pada kehidupan umatnya?


Keterangan Sejarah yang Dikarang Saja

Ahli Islam Gregor Schoeler merasa yakin bahwa keterangan literatur Islam tentang riwayat hidup Muhammad dapat dipercaya. Dia menerangkan bahwa meskipun tulisan Urwa ibn Az-Zubari, biografer Muhammad yang pertama, sudah tidak ada lagi, tapi penulis² awal seperti Ibn Ishaq dan yang lain telah banyak mengutipnya. Kata Schoeler, “Urwa masih punya kesempatan untuk bertemu muka dan bertanya pada para saksi mata dan orang² yang hidup di jaman Nabi – tak jadi masalah apakah dia menyebut nama orang² itu di isnadnya atau tidak. Karena alasan ini, sudah barang tentu dia bertanya pada bibinya Aisyah tentang berbagai kejadian yang disaksikan Aisyah. … Selain itu, dia juga mengumpulkan langsung laporan² tentang berbagai kejadian sebelum dan setelah hijrah, misalnya proses hijrah itu sendiri (termasuk hijrah pertama ke Abyssinia dan lingkungan dan kejadian yang menyebabkan terjadinya hijrah yang berikut), Perang Parit, dan al-Hudaibiya.” [16]
[16] Gregor Schoeler, The Biography of Muhammad: Nature and Authenticity (New York: Routledge, 2010), 16.

Semua yang disebut di atas merupakan peristiwa penting dalam hidup Muhammad: Hijra merupakan pindahnya Muslim dari Mekah ke Medina di tahun 622, ketika untuk pertama kalinya Muhammad menjadi pemimpin militer dan politik, dan juga spiritual. Sebelum hijrah, sebagian Muslim telah pindah ke Abyssinia untuk menghindari tekanan dari pihak Quraysh di Mekah. Perang Parit terjadi di tahun 627, dan di perang ini tentara pagan Arab Mekah mengepung kota Medina – pengepungan ini akhirnya bisa diatasi Muslim, dengan berbagai konsekuensi dari masing² pihak yang terlibat. Perjanjian Hudaibiya merupakan perjanjian gencatan senjata antara Muhammad dan Quraysh di tahun 628 yang isinya antara lain adalah ijin bagi Muslim untuk naik haji di Mekah. Perjanjian ini menjadi standard dalam hukum Islam bagi semua perjanjian antara Muslim dan non-Muslim. Jika Urwa memang benar mendapatkan semua keterangan ini dari bibinya Aisyah dan para saksi kejadian, maka tentunya biografi Muhammad dalam literatur Islam benar² bisa dipercaya.

Akan tetapi, pendapat Schoeler jadi tampak lemah jika dilihat dari perbedaan antara tulisan Ibn Ishaq dan al-Waqidi atas kejadian yang sama di Kharrar. Jika tulisan bisa ditambah kurang begitu saja hanya dalam waktu beberapa dekade, apa yang mencegah orang untuk merubah tulisan Urwa, untuk alasan karena mereka menerima keterangan lain dari sumber lain, atau demi tujuan politik, atau untuk lebih menonjolkan kesucian Muhammad, atau kombinasi berbagai alasan itu? Faktanya, proses pengarangan sejarah telah terjadi bahkan sejak masa Ibn Ishaq mengumpulkan keterangan bagi tulisannya.

Bukti yang paling jelas tampak dari penjelasan berulang kali dalam Qur’an yang menyatakan bahwa rasul yang menerima wahyu bukanlah orang yang bisa bermuzizat. Para kafir menuntut Muhammad untuk menunjukkan muzizat: “Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata: "Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?" (Q 2:111, 6:37, 10:20, 13:7, 13:27). Allah memberitahu rasulnya bahwa sekalipun nabi menunjukkan muzizat pada kafir, mereka tetap saja tidak mempercayainya: “Dan Sesungguhnya telah Kami buat dalam Al Qur'an ini segala macam perumpamaan untuk manusia. Dan Sesungguhnya jika kamu membawa kepada mereka suatu ayat, pastilah orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat kepalsuan belaka" (Q 30:58). Di bagian lain Qur’an, Allah menyampaikan pesan yang sama: “Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang² yang diberi Al Kitab, semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim” (Q 2:145). Pengulangan pesan yang sama ini menunjukkan bahwa kritik utama dari kafir terhadap nabi adalah dia tidak mampu membuat muzizat; dan Qur’an dianggap sudah cukup sebagai tanda muzizat: “Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman” (Q 29:51).

Meskipun begitu Muhammad dalam versi biografi dari Ibn Ishaq merupakan pencipta muzizat. Ibn Ishaq menulis hal itu dalam kejadian Perang Parit di mana akhirnya Muslim mampu mengatasi pengepungan kota Medina yang dilakukan tentara pagan dari Mekah. Salah seorang sahabat Muhammad memotong “seekor domba betina kecil yang belum gemuk” dan mengajak sang Nabi untuk makan malam. Akan tetapi Muhammad mengejutkan sahabatnya dengan mengundang semua orang yang bekerja menggali parit untuk makan malam bersama di rumah sahabat tersebut. Sang Nabi Islam memecahkan masalah sama seperti Yesus dalam Injil melipatgandakan roti dan ikan: “Ketika kami duduk, makanan dihidangkan bagi kami dan dia memberkatinya dan menyebut nama Allah pada makanan itu. Lalu dia makan, begitu pula orang² lain. Begitu makanan habis, muncul lagi makanan baru sampai semua orang kekenyangan.” [17] Di kejadian lain, Ibn Ishaq menulis bahwa seorang sahabat Nabi mengalami kecelakaan mata yang serius sampai matanya menggantung keluar dari rongga mata; Muhammad “mengembalikan mata itu ke tempatnya dengan tangannya dan setelah itu mata itu menjadi matanya yang terbaik dan tertajam.” [18] Di kisah lain, Muhammad mengeluarkan air dari sumur kering dan memanggil hujan dengan doa. [19]
[17] Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452. Aku berhutang budi pada tulisan Jansen, “Gospel According to Ibn Ishaq” untuk diskusi ini.
[18] Ibid., 381.
[19] Ibid., 501, 605.


Banyak sekali kisah muzizat di buku Ibn Ishaq. Jika muzizat² memang diketahui di jaman penulisan Qur’an, tentunya Muhammad tidak akan digambarkan sebagai rasul yang hanya bermuzizat Qur’an saja dan tak punya muzizat lain. Sungguh aneh bahwasanya orang yang mampu menyembuhkan penyakit, melipatgandakan makanan, mengeluarkan air dari sumur kering, menghadirkan petir, hanya digambarkan sebagai nabi yang tak memiliki muzizat apapun.

Ibn Ishaq juga memasukkan berbagai kisah bahwa Muhammad sewaktu masih kecil seringkali ditunjuk sebagai nabi masa depan. Contohnya, Muhammad cilik dibawa ke Syria dan bertemu dengan seorang pendeta Kristen bernama Bahira yang “mengamati tubuhnya dan menemukan ciri²nya tertulis (di buku² Kristen).” Ibn Ishaq menulis bahwa Bahira mendapatkan Muhammad sebagai monotheis yang taat, meskipun warga masyarakatnya politheis; Muhammad muda mengatakan pada Bahira bahwa “demi Allah, tiada yang lebih kubenci” daripada al-Lat dan al-Uzza, dua dewi utama masyarakat Quraysh. Bahira juga “mengamati punggungnya dan melihat tanda kenabian diantara kedua bahunya, persis di tempat yang disebut dalam bukunya.” Setelah itu tentu saja Bahira memperingatkan paman Muhammad akan kedengkian Yahudi: “Bawa kembali keponakanmu ke negerimu dan jagalah dia terhadap orang² Yahudi, demi Allah! Jika mereka melihat dia dan tahu tentang dia apa yang kuketahui, mereka akan menjahatinya; masa depan yang besar terhampar di hadapan keponakanmu ini, jadi jagalah dia baik². [20]
[20] Ibid., 81.

Johannes Jansen menerangkan motivasi di balik kisah ini:
Para penyampai kisah bermaksud untuk meyakinkan publik bahwa Muhammad memang benar² Nabi utusan Tuhan. Untuk mencapai maksud ini, mereka berusaha menunjukkan bahwa umat Kristen, bahkan yang pendetanya sekalipun, telah mengakui Muhammad sebagai Nabi. Penyampai kisah tahu kejadian ini tidak terjadi, tapi mereka ingin meyakinkan masyarakat mereka bahwa mengakui Muhammad sebagai Nabi merupakan hal yang baik. Mereka tentu beranggapan bahwa jika pemerintah Kristen yang netral saja sudah mengenal siapa Muhammad, tentunya terlebih lagi orang lain!
Dalam kasus ini, para penyampai kisah hanya bisa menyampaikan pesan mereka jika mereka bisa menciptakan lingkungan di mana Muhammad tampak benar² bertemu seorang pendeta. Dengan begitu, mereka menceritakan Muhammad pergi bersama pamannya ke Syria. Lalu di sana dia bertemu dengan seorang pendeta, dan pendeta itu mengenal siapa dia. Berbagai kisah tentang perjalanan Muhammad ke Syria bukanlah keterangan sejarah yang benar, tapi hanyalah karangan saja untuk tujuan theologia agar Muhammad dikenal sebagai Nabi oleh umat Kristen, dan yang dipilih adalah tokoh pendeta.

Kisah pertemuan Muhammad dan sang pendeta tampaknya tidak pernah terjadi, kisahnya muncul dalam berbagai versi, tapi kisah ini menunjang tujuan penulisan. [21]
[21] Johannes J.G. Jansen, “The Historicity of Muhammad, Aisha and Who Knows Who Else,” Tidsskriftet Sappho, May 16, 2011, http://www.sappho.dk/blog/335/The-histo ... o-else.htm.

Kisah² seperti ini sebenarnya malah tampak aneh tatkala Muhammad menghadapi masyarakatnya sendiri, bangsa Quraysh, sewaktu dia pertama kali mengumumkan diri sebagai Nabi. Jika dia memang benar² memenuhi nubuat seorang Nabi akan datang, mengapa bangsa Quraysh tidak percaya akan hal ini? Kisah hidup Muhammad di kejadian itu menyerupai kisah hidup Yesus di Injil Matius, terutama tentang pemenuhan nubuat kedatangan Messiah tapi lalu ditolak oleh para ketua agama yang sangat mengenal nubuat tersebut. Kemiripan ini menunjukkan kisah Muhammad muda sebagai Nabi masa depan hanyalah karangan belaka.

Tokoh² dalam karangan ini tampak jelas ganjil karena tidak sesuai dengan kisah Islam lain di mana Muhammad sangat takut dan kaget ketika pertama kali dikunjungi malaikat Jibril. Ibn Ishaq sendiri melaporkan bahwa Muhammad begitu takut sehingga dia berkata pada istrinya: “Apakah aku gila atau kerasukan.” [22] Jika Muhammad telah berkali-kali dianggap sebagai nabi ketika masih kecil dan usia muda, tentunya dia sudah bisa mengantisipasi kejadian itu.
[22] Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 106.

Dalam hal ini saja, keterangan sejarah dari Ibn Ishaq sangatlah meragukan. Materi tulisan dalam biografinya tentu muncul lama setelah Qur’an dikoleksi. Selain itu, sungguh aneh bahwasanya dia memasukkan sedemikian banyak materi tulisan yang jelas² bertentangan dengan keterangan Qur’an, buku yang tentunya sangat dikenal Ibn Ishaq, karena dia seringkali mengutip Qur’an dalam tulisannya.

Jika sebagian besar biografi Muhammad dari Ibn Ishaq ini hanyalah dongeng belaka, maka seluruh informasi tentang Muhammad yang dianggap sebagai keterangan sejarah juga akan lenyap menguap tanpa makna begitu saja. Tujuan utama Ibn Ishaq dalam bukunya adalah untuk meyakinkan pembaca bahwa Muhammad itu benar² adalah seorang Nabi. Tapi dalam melakukan hal ini, dia mencampurkan begitu banyak legenda sehingga fakta tidak bisa dibedakan dari dongeng. Tak ada cara manjur untuk memilah tulisan Ibn Ishaq mana yang benar² fakta sejarah dan mana yang dikarang saja.

Jansen mengajukan alasan yang mematikan segala pernyataan bahwa keterangan biografi oleh Ibn Ishaq adalah fakta sejarah. Dia menjelaskan bahwa “untuk setiap kejadian dalam riwayat hidup Muhammad, Ibn Ishaq mencatat secara detail di Sira-nya bulan apa hal itu terjadi,” dan “sistem penanggalan lunar/bulan yang ditulis Ibn Ishaq inilah yang menjadi salah satu alasan utama mengapa sejarawan Barat mengganggap keterangannya sebagai fakta sejarah.” Tapi sistem pencatatan waktu kejadian yang penuh detail itu malah tidak cocok dengan penanggalan Arabia. Kalender Arab pra-Islam, sama seperti kalender Islam, merupakan kalender lunar yang terdiri dari 354 hari dan bukan seperti kalender solar/matahari yang terdiri dari 365 hari. Untuk mengatasi perbedaan ini, orang² Arab menambahkan bulan² tambahan – satu bulan bagi setiap tiga tahun solar. Mereka menghentikan praktek ini di tahun 629; Qur’an sebenarnya melarang penambahan bulan (Q 9:36-37). Tapi di kala itu, Muhammad telah bertindak sebagai Nabi selama hampir duapuluh tahun, begitu menurut keterangan Islam. Tanya Jansen, “Kalau begitu bagaimana mungkin tak ada satu pun dari sedemikian banyak peristiwa yang ditulis dan ditanggali Ibn Ishaq yang pernah terjadi di bulan tambahan? Jika kisah hidup Muhammad itu berdasarkan keterangan sejarah dan fakta sebenarnya, tidak peduli apakah diubah sana-sini, dan diingat oleh orang² yang sebenarnya, bagaimana mungkin separuh tahun solar (atau lebih) tetap tidak disebut dan hilang begitu saja dari tulisan itu?

Jansen menjelaskan, “Biografi tulisan Ibn Ishaq hanya bisa ditulis di jaman ketika orang² sudah lupa bahwa di jaman dulu bulan² tambahan pernah diterapkan.” [23] Jaman itu tentunya telah berlalu lama sekali setelah jaman yang dianggap sebagai masa hidup Muhammad. Jansen menyimpulkan, “Kisah² yang ditulis Ibn Ishaq tidak dimaksud untuk menjabarkan kejadian masa lampau, tapi untuk meyakinkan pembaca bahwa tokoh utama dalam kisah² tersebut, Muhammad, adalah Rasul Allah.”
[23] Jansen, “The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 773).”


Usaha Memilah-milih Keterangan Ibn Ishaq

Meskipun begitu, ahli Islam abad ke-20 W. Montgomery Watt (1909-2006) berusaha untuk memisahkan kejadian sejarah dari dongeng di buku Ibn Ishaq. Watt menghasilkan dua tulisan biografi, Muhammad at Mecca, dan Muhammad at Medina. Dia melakukan pilahan ini dengan mengabaikan saja semua keterangan muzizat di buku Ibn Ishaq dan menghadirkan sisanya sebagai keterangan sejarah yang benar. Ini tentunya merupakan prosedur penelaahan yang menghasilkan analisa akhir yang sangat kacau: tiada alasan untuk lebih mempercayai bagian non-muzizat daripada bagian muzizat dalam tulisan Ibn Ishaq. Baik bagian muzizat maupun non-muzizat tidak bisa diuji kebenarannya dengan perbandingan dari sumber keterangan lain yang sejaman, atau sumber lain yang berasal dari jaman Muhammad.

Patricia Crone menjelaskan kesalahan methodologi Watt sebagai berikut: “Dia dengan mudah mempercayai keterangan Muhammad berdagang di Syria sebagai pegawai Khadija, meskipun banyak yang menganggap kisah itu sebagai dongeng saja. Dia juga menganggap keterangan Abd al-Muttalib menggali sumur Zamzam di Mekah sebagai fakta sejarah, meskipun kisah ini penuh unsur muzizat.” [24] Watt melaporkan pada pembaca dengan ketepatan mengagumkan bahwa “pengepungan Medina, yang dikenal Muslim sebagai Perang Khandaq atau Parit, dimulai di tanggal 31 Maret 627 (8/xi/5) dan berlangsung selama dua minggu.” [25] Dia tidak mengisahkan sama sekali tentang petir yang keluar dari pacul Muhammad saat menggali parit, atau sumber masa pengepungan berasal dari al-Waqidi, yang kita tahu suka menambah keterangan dari tulisan Ibn Ishaq. Watt tidak menjelaskan mengapa dia percaya keterangan tanggal terjadinya pengepungan, tapi tak percaya atas muzizat pacul Muhammad.
[24] Crone, Meccan Trade, 220.
[25] W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Oxford University Press, 1956), 35-36.


Baik Watt atau sejarawan lain yang bergantung pada tulisan Ibn Ishaq tentang Muhammad tidak bisa memilih-milih untuk mempercayai bagian tertentu saja. Dan jika Ibn Ishaq tidak bisa dianggap sebagai sumber sejarah yang bisa dipercaya, maka tiada sumber lain yang bisa. Hal ini karena seluruh biografi Muhammad lainnya bersumber dari tulisan Ibn Ishaq, meskipun dalam kadar yang berbeda-beda. Johannes Jansen menelaah: “Buku² berikut tentang Muhammad pada dasarnya hanya mengisahkan ulang tulisan Ibn Ishaq. Sebagian menyampaikan kisah dengan lebih detail, tapi tambahan keterangan itu tidak dipercaya pengamat modern yang skeptik. Biografi² modern Muhammad dari dunia Barat juga tergantung penuh pada tulisan Ibn Ishaq. Begitu pula semua ensiklopedia tentang Muhammad, baik yang populer maupun akademis, semuanya hanyalah intisari dari tulisan Ibn Ishaq.” [26]
[26] Jansen, “The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 773).”

Jadi jika Ibn Ishaq bukan merupakan sumber sejarah yang bisa dipercaya, apakah yang tersisa dari riwayat hidup Muhammad? Jika tiada satu pun keterangan pasti yang bisa dipegang tentang dirinya, Islam tampak bagaikan sebuah pengaruh besar yang mencari alasan untuk bisa eksis. Jika ternyata tak ada nabi merangkap panglima perang yang mengajarkan jihad melawan kafir dan menyampaikan ajaran illahi nan sempurna dan satu²nya firman Tuhan, maka bagaimana dan mengapa para penjajah Arab terkemuka di abad ke tujuh melakukan penyerangan ke luar Arabia? Apakah yang mendorong semangat perang di belakang mereka, jika ternyata tidak didorong oleh janji Nabi akan hadiah dunia dan akherat bagi tentara Muslim?

Jika Islam tidak berkembang seperti yang Muslim bayangkan dan seperti yang dijelaskan literatur awal Islam, lalu bagaimana dan mengapa Islam bisa berkembang?

Jawaban dari pertanyaan ini berada pada anomali/kejanggalan di sekitar keadaan lingkungan Arabia Islam.


Muhammad: Apakah Dia Nabi Arab?

Muhammad adalah Rasul Arab, lahir di Mekah, berbicara bahasa Arab, dan membawa firman Allah pada bangsa Arab (Qur’an 41:44), dan juga ke seluruh dunia.

Setiap kata di kalimat atas merupakan keterangan yang dipercaya begitu saja baik oleh Muslim maupun non-Muslim. Tapi jika setiap kata tersebut ditelaah secara seksama, maka setiap kata tersebut mulai menguap hilang tanpa makna. Dari catatan sejarah yang masih ada sekarang, tiada bukti yang jelas bahwa ada nabi Arab yang bernama Muhammad di mana pun dekat Mekah, yang membawa pesan illahi bagi dunia. Atau setidaknya, jikalau pun sekiranya ada orang yang bernama Muhammad, dia bukanlah berasal dari Mekah dan tidak berkhotbah ajaran apapun yang mirip Islam – sampai lama setelah kematiannya, ketika biografinya dan kitab suci yang kita kenal sekarang mulai ditulis.

Pemusatan unsur Arab dan bahasa Arab pada Islam sudah sangat jelas. Meskipun Islam menyatakan diri sebagai agama universal bagi seluruh orang di bumi, tapi Islam jelas berkarakter Arab. Orang² yang mualaf (Muslim baru), tak peduli dari negara mana pun, biasanya lalu menggunakan nama Arab. Di manapun mereka tinggal, apapun bahasa ibu mereka, semua Muslim harus sholat memakai bahasa Arab dan melafalkan Qur’an dalam bahasa Arab.

Banyak mualaf di negara² non-Muslim yang memakai baju tradisional Arab. Budaya Arab sangat diunggulkan dalam dunia Islam sehingga seringkali menimbulkan ketegangan antara Muslim Arab dan non-Arab. Supremasi Arab terjadi juga di jaman modern saat ini dalam perang melawan Muslim non-Arab di Darfur, Sudan; konflik Muslim Arab versus Muslim non-Arab merupakan ciri khas yang terjadi terus-menerus dalam sejarah Islam. [27]
[27] Konflik Sunni versus Syiah berkembang dari konflik Arab versus non-Arab: Arab Sunni versus Persia Syiah (meskipun sebenarnya banyak Arab Syiah). Hal ini terjadi di jaman modern dalam kekerasan peziarah haji Iran Syiah melawan pasukan keamanan Saudi Sunni di Mekah dalam rangka ibadah haji di tahun 1987.

Islam berpusat pada keterangan bahwa Muhammad menerima Qur’an dari Allah melalui malaikat Jibril, pertama kali di Mekah dan lalu di Medina. Menurut sumber Islam, dengan bersenjatakan wahyu Allah, Muhammad menyatukan seluruh Jazirah Arabia di bawa Islam di tahun kematiannya 632 M.

Hal ini tidaklah mudah dilaksanakan, demikian menurut keterangan sumber Islam. Sang Nabi dan agama barunya menghadapi perlawanan keras dari sukunya sendiri, Quraysh, yang merupakan masyarakat pagan dan penyembah banyak dewa. Menurut keterangan Islam, masyarakat Quraysh hidup di Mekah, yang merupakan pusat perdagangan dan ibadah haji, sehingga banyak orang dari seluruh penjuru dan luar Arabia berdatangan. Kata sumber Muslim, kaum Quraysh mendapat banyak rejeki dari ibadah haji di Ka’bah (kotak hitam di Mekah) untuk menyembah sejumlah besar berhala yang berada di sana. Menurut hadis, Mekah merupakan pusat agama dan perdagangan di daerah itu.

Keterangan Islam menjelaskan bahwa suku Quraysh awalnya menolak kenabian Muhammad lebih karena alasan ekonomi daripada spiritual. Watt mencatat bahwa “di akhir abad ke-6 M,” suku Quraysh “telah menguasai sebagian besar perdagangan dari Yaman ke Syria – alur dagang penting karena dari sanalah pihak Barat mendapatkan barang² mewah India dan juga rempah² Arabia Selatan.” [28] Perdagangan ini banyak tergantung pada orang² Arab yang datang ke Mekah sebagai peziarah. Karena masyarakat Arab pagan dari seluruh Jazirah Arabia datang untuk menyembah dewa-dewi mereka di Ka’bah, maka pesan Muhammad yang mengatakan semua ibadah pagan adalah sesat, tentunya tidak hanya merugikan masyarakat Quraysh dalam menyelenggarakan ibadah haji, tapi juga mengurangi keuntungan dagang mereka.
[28] Dikutip dari Crone, Meccan Trade, 7.

Selama duabelas tahun tinggal di Mekah, Muhammad mendapatkan sejumlah kecil pengikut tapi menambah permusuhan dengan pihak Quraysh. Persengketaan ini kemudian memuncak bersangkutan dengan berhala² di sekitar Ka’bah dan kafilah² dagang Quraysh. Ibn Ishaq menceritakan bahwa ketika Muhammad hijrah ke Medina di tahun ke-12 karir kenabiannya, dia lalu menyuruh Muslim untuk merampok kafilah² Quraysh yang kembali dari Syria mengangkut berbagai barang dagangan. Sang Nabi sendiri juga memimpin banyak penyerangan tersebut. Karena kebutuhan ekonomi, penyerangan² itu menjadi bagian dari unsur theologi Islam, begitu penjelasan dari hadis. Di salah satu kejadian, sekelompok Muslim menyerang kafilah Quraysh di salah satu bulan² suci dalam kalender Arabia. Di bulan² keramat ini tidak boleh terjadi perang atau pembunuhan, sehingga penyerangan yang dilakukan Muslim telah melanggar aturan keramat itu. Tapi Qur’an mengatakan bahwa Allah mengijinkan Muslim melanggar aturan bulan keramat jika mereka yang ditindas – dengan kata lain, singkirkan saja prinsip moral demi keuntungan Islam: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Q 2:217). Masjidilharam yang disebut di ayat itu adalah Ka’bah.

Ini merupakan kunci kejadian bagi perkembangan moral Islam, dengan menegaskan bahwa hal yang baik adalah hal yang menguntungkan Islam, dan yang jahat adalah yang merugikan Islam. Kejadian ini juga menetapkan ketegangan perang antara pihak Quraysh dan Muslim. Peperangan mereka, menurut sumber asli Islam, menjadi saat di mana Allah menurunkan banyak wahyu bagi Muhammad tentang perang melawan kafir.

Karena itulah, daerah lingkungan Arabia di Qur’an dan perlawanan kaum Quraysh terhadap pesan Muhammad merupakan hal penting dalam sejarah dan theologi Islam. Dari hubungan inilah doktrin terpenting Islam dibentuk. Tradisi Islam berakar dari pertentangan Quraysh terhadap pesan Muhammad karena dapat menghentikan ibadah haji ke Mekah dan merusak perdagangan.

Sama seperti identitas Arab merupakan pusat utama dalam Islam, kota tersuci Islam yakni Mekah merupakan pusat utama bagi identitas Arab Islam. Meskipun menjadi pusat utama Islam, Mekah hanya disebut sekali saja dalam Qur’an: “Dan dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Q 48:24).

Tidak diketahui mengapa Qur’an hanya menyebut Mekah sekali saja – hal tidak jelas seperti ini begitu sering terjadi dalam Qur’an. Penafsir Qur’an Ibnu Katsir menjelaskan ayat itu sebagai berikut: “Imam Ahmad melaporkan bahwa Anas bin Malik berkata, ‘Di hari Hudaibiya, delapan puluh orang bersenjata dari Mekah turun ke lembah datang dari Gunung At-Tan’im untuk menyergap Rasul Allah. Sang Rasul meminta Allah untuk melawan mereka, dan mereka jadi tawanan.’ Affan menambah, ‘Sang Rasul mengampuni mereka, dan ayat ini lalu diturunkan.;” [29] Tapi Qur’an sendiri tidak mengatakan apapun tentang Hudaibiya di ayat tersebut. Terlebih lagi, meskipun Perjanjian Hudaibiya menjadi doktrin Islam dalam membuat perjanjian atau gencatan senjata dengan tentara non-Muslim, tak ada catatan sejarah di luar sumber Islam yang membenarkan bahwa kejadian ini benar² terjadi.
[29] Ibn Kathir, Tafsir Ibn Kathir, vol. 9 (Riyadh: Darussalam, 2000), 153-54.

Sama seperti berbagai keterangan sejarah awal Islam yang lain, semakin seksama kita meneliti sumber² keterangan peranan penting Mekah di Arabia pada jaman Muhammad, semakin sedikit pula bukti yang kita dapatkan. Jika pendapat Watt tentang Mekah sebagai pusat dagang di tengah jalur perjalalan Eropa ke India adalah benar, maka tentunya ada keterangan lain yang mendukung pendapatnya. Tapi nyatanya adalah seperti yang dijelaskan Crone, “Sudah jelas bahwa jikalau masyarakat Mekah merupakan perantara dalam jalur perdagangan yang panjang itu, maka tentunya keterangan ini juga ditulis oleh berbagai langganan dagang mereka. Penulis² Yunani dan Latin telah menulis panjang lebar tentang masyarakat Arabia selatan yang menyuplai mereka dengan benda² berbau harum di jaman lalu, menjelaskan keterangan tentang kota², suku², organisasi politik, dan perdagangan kafilah mereka.” [30]
[30] Crone, Meccan Trade, 134.

Tapi ternyata tiada keterangan apapun tentang Mekah sebagai pusat perdagangan. Tiada satu pun yang menyebut tentang Mekah. Tiada apapun yang menerangkan tentang wujudnya, kebiasaan dagang yang dilakukan di sana, pertentangan dari suku Quraysh – padahal hal ini merupakan keterangan umum yang biasa ditulis dalam catatan sejarah para pengelana dan pedagang dari jaman kuno sampai jaman Abad Pertengahan. Yang ada hanyalah kekosongan yang menganga. Penulis Muslim mengatakan bahwa ahli matematika dan astrologi Ptolemius menyebut tempat di Arabia yang bernama Macoraba, tapi kota ini bukanlah Mekah. Ptolemius wafat di tahun 168 M. [31] Sama seperti orang tak akan menggunakan catatan seorang pengelana di Konstantinopel pada tahun 1400 sebagai bukti bahwa kota itu merupakan pusat budaya Kristen yang ramai di tengah abad 19, begitu pula orang tidak akan menggunakan catatan Ptolemius tentang Mekah sebagai bukti bahwa kota itu merupakan pusat dagang yang ramai lima abad setelah kematiannya.
[31] Crone menolak keterangan Macoraba adalah Mekah karena akar kata nama keduanya sangat berbeda dan lokasi yang ditunjuk Ptolemius tentang Macoraba sangat tak sama dengan lokasi Mekah. (Lihat Crone, Meccan Trade, 135-36.)

Sejarawan terkemuka abad ke-6 bernama Procopius dari Caesarea (wafat tahun 565) juga tidak menyebut tentang Mekah – hal ini tentunya aneh jika memang ada pusat dagang di Arabia diantara jalur Barat dan India pada masa hidup Muhammad, yang lahir hanya lima tahun setelah kematian Procopius. [32] Pusat² dagang tidak bisa muncul secara tiba².
[32] Crone, Meccan Trade, 137.

Tak ada sejarawan non-Muslim yang menyebut tentang Mekah dalam laporan perdagangan di abad ke-6 dan ke-7. Bahkan sejarawan Muslim di jaman itu juga tidak menyebut hal itu. Tak ada catatan sejarah Islam tentang pusat dagang ini sebelum abad ke-8. Crone menulis: “Pentingnya kedudukan politik dan agama Arabia di abad ke-6 begitu besar sehingga banyak perhatian ditujukan pada masalah Arabia juga; tapi Quraysh dan pusat perdagangan mereka tidak disebut sama sekali, baik di catatan sejarah Yunani, Latin, Syria, Aramaik, Koptik, atau literatur lain yang ditulis di luar Arabia sebelum masa penjajahan Arab. Tiadanya laporan apapun ini sungguh mencengangkan dan penting adanya.” [33] Dia melanjutkan, “Tiada satu pun laporan yang menyebut bahwa orang² Quraysh atau ‘raja² Arab’ merupakan masyarakat yang menyuplai barang ini dan itu di daerah ini dan itu: hanya Muhammad sendiri saja yang dikenal sebagai pedagang.” [34] Dan itu pun dari tulisan yang dibuat ratusan tahun setelah kematiannya.
[33] Ibid., 134.
[34] Ibid., 137.


Selain itu, lokasi Mekah juga tidaklah tepat sebagai pusat perdagangan. Letak Mekah adalah di bagian barat Arabia, sedemikian rupa sehingga sejarawan dunia Richard Bulliet menjelaskan sebagai berikut, “hanya peta yang paling ngawur saja yang bisa menyebut Mekah sebagai persimpangan jalur perjalanan dari utara-selatan dan timur-barat.: [35] Para pedagang yang disebut Watt melalui daerah Yaman dan Syria mungkin punya alasan untuk berhenti di Mekah, tapi penjelasan Watt bahwa Mekah adalah ”alur dagang penting karena dari sanalah pihak Barat mendapatkan barang² mewah India dan juga rempah² Arabia Selatan” ternyata tidak didukung oleh bukti sejarah di jaman itu dan juga letak geografi.
[35] Richard W. Bulliet, The Camel and the Wheel (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 105 (dikutip di Crone, Meccan Trade, 6).

Masalah yang sama juga terjadi pada pendapat bahwa Mekah merupakan pusat ibadah haji utama di awal abad ke tujuh. Bukti sejarah di jaman itu menunjukkan bahwa para peziarah mengunjungi setidaknya tiga tempat di Arabia – Ukaz, Dhu’l-Majaz, dan Majanna – bukan ke Mekah. [36] Crone juga mencatat bahwa Mekah berbeda dari tempat² ibadah itu karena Mekah merupakan kota yang berpenduduk. Tempat² ibadah Arabia biasanya tidak dihuni penduduk dan hanya dikunjungi saat ibadah haji. Crone menambahkan, “Ibadah haji merupakan ritual agama yang dilakukan di tempat dan waktu tertentu di mana semua orang meletakkan senjata dan tiada pihak yang mengontrol pihak lain. Keterangan bahwa suku Quraysh mengontrol tempat ibadah tertentu tidaklah sesuai dengan kebiasaan masyarakat di jaman itu.” [37]
[36] Crone mencatat bahwa menurut sejarawan Islam al-Azraqi (wafat 1072), perdagangan dilakukan di “pusat² ziarah” jaman pra-Islam Arab, termasuk di Mina, Arafa, Ukaz, Majanna, dan Dhul-Majaz. Crone menelaah, “Mekah yang seharusnya menjadi pusat ziarah ternyata dilupakan sama sekali”
[37] Crone, Meccan Trade, 174.


Keterangan² ini tentunya sangat berarti. Jika Mekah merupakan pusat ibadah hanya bagi sekelompok kecil pedagang dan peziarah di awal abad ke tujuh, maka seluruh kisah asal-usul Islam sangatlah diragukan kebenarannya. Jika kaum Quraysh tidak menolak pesan Muhammad dengan alasan mengganggu perdagangan dan bisnis ziarah, maka atas dasar apa mereka menolaknya? Jika Muhammad tidak menghadapi perlawanan sengit dari kaum Quraysh selama duabelas tahun karirnya sebagai nabi, sewaktu dia berdakwah tentang monotheisme pada masyarakat Quraysh yang tak menanggapinya, maka apa sebenarnya yang terjadi?

Tanpa adanya Mekah sebagai pusat perdagangan dan ibadah haji, maka tak ada fondasi atas kisah pertentangan antara Muhammad dan Quraysh di Mekah. Dengan begitu runtuh pula fondasi kisah hijrah Muhammad ke Medinah dan peperangan melawan bangsa Quraysh. Demikian pula segala kisah tentang bagaimana dia mengalahkan suku Quraysh, kembali menguasai Mekah di akhir hidupnya, dan merubah Ka’bah menjadi tempat keramat Muslim, yang merupakan pusat ibadah Islam, dan bukan lagi ibadah pagan.

Di jaman modern sekarang, para peziarah Muslim berbondong-bondong datang ke Mekah untuk naik haji, seperti yang telah mereka lakukan selama berabad-abad. Tapi seluruh kisah asal-usul Mekah dan Islam berdiri di atas fondasi yang rapuh. Meskipun ada bukti bahwa tempat keramat tertentu ada di Mekah, tempat itu bukanlah tempat ibadah utama. [38] Muhammad atau Muslim lainnya telah merubah tempat ibadah ini menjadi pusat ibadah haji Islam yang sekarang kita kenal. Dengan berbuat seperti itu, mereka mendongkrak kedudukan Mekah menjadi tempat penting yang sebelumnya tidak dimilikinya, bahkan juga tidak di jaman Muhammad masih hidup.
[38] Lihat Ibid., 172-76. Crone menulis bahwa Mekah “ditambahkan setelah pikir² sejenak” dalam tulisan al-Azraqi tentang ibadah haji di Arabia pra-Islam. Crone menyatakan, “Sudah masuk akan untuk menyimpulkan dengan (ahli Alkitab Julius) Wellhausen bahwa Mekah bukanlah pusat ibadah haji di jaman pra-Islam” (Crone, Meccan Trade, 176).

Dengan begitu Islam semakin berkurang ke-Arab-annya setiap menit. Kitab suci Arab ternyata mengandung banyak unsur² penting yang non-Arabia. Sekarang ternyata satu unsur utama yang menjadi jangkar asal-usul Islam di Arabia – yakni pertentangan semakin sengit antara Muhammad dan suku Quraysh – ternyata hanyalah keterangan sejarah yang tak ada buktinya.

Jika memang benar begitu, bagaimana sebenarnya kisah Muhammad bisa muncul, dan untuk alasan apa? Mengapa kisah² ini ditempatkan di Arabia, padahal Arabia bukanlah tempat hidup suku pagannya atau bukan merupakan pusat perdagangan dan bisnis ziarah haji yang begitu detail dijelaskan dalam literatur Islam?
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Tak ada sejarawan non-Muslim yang menyebut tentang Mekah dalam laporan perdagangan di abad ke-6 dan ke-7. Bahkan sejarawan Muslim di jaman itu juga tidak menyebut hal itu. Tak ada catatan sejarah Islam tentang pusat dagang ini sebelum abad ke-8. Crone menulis: “Pentingnya kedudukan politik dan agama Arabia di abad ke-6 begitu besar sehingga banyak perhatian ditujukan pada masalah Arabia juga; tapi Quraysh dan pusat perdagangan mereka tidak disebut sama sekali, baik di catatan sejarah Yunani, Latin, Syria, Aramaik, Koptik, atau literatur lain yang ditulis di luar Arabia sebelum masa penjajahan Arab. Tiadanya laporan apapun ini sungguh mencengangkan dan penting adanya.” [33] Dia melanjutkan, “Tiada satu pun laporan yang menyebut bahwa orang² Quraysh atau ‘raja² Arab’ merupakan masyarakat yang menyuplai barang ini dan itu di daerah ini dan itu: hanya Muhammad sendiri saja yang dikenal sebagai pedagang.” [34] Dan itu pun dari tulisan yang dibuat ratusan tahun setelah kematiannya.
Untuk mengetahui lebih jauh sejarah Mekah, silakan baca keterangan dari Rafat Amari di sini:

SEJARAH MEKAH YANG SEBENARNYA
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Selama duabelas tahun tinggal di Mekah, Muhammad mendapatkan sejumlah kecil pengikut tapi menambah permusuhan dengan pihak Quraysh. Persengketaan ini kemudian memuncak bersangkutan dengan berhala² di sekitar Ka’bah dan kafilah² dagang Quraysh. Ibn Ishaq menceritakan bahwa ketika Muhammad hijrah ke Medina di tahun ke-12 karir kenabiannya, dia lalu menyuruh Muslim untuk merampok kafilah² Quraysh yang kembali dari Syria mengangkut berbagai barang dagangan. Sang Nabi sendiri juga memimpin banyak penyerangan tersebut. Karena kebutuhan ekonomi, penyerangan² itu menjadi bagian dari unsur theologi Islam, begitu penjelasan dari hadis. Di salah satu kejadian, sekelompok Muslim menyerang kafilah Quraysh di salah satu bulan² suci dalam kalender Arabia. Di bulan² keramat ini tidak boleh terjadi perang atau pembunuhan, sehingga penyerangan yang dilakukan Muslim telah melanggar aturan keramat itu. Tapi Qur’an mengatakan bahwa Allah mengijinkan Muslim melanggar aturan bulan keramat jika mereka yang ditindas – dengan kata lain, singkirkan saja prinsip moral demi keuntungan Islam: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Q 2:217). Masjidilharam yang disebut di ayat itu adalah Ka’bah.

Ini merupakan kunci kejadian bagi perkembangan moral Islam, dengan menegaskan bahwa hal yang baik adalah hal yang menguntungkan Islam, dan yang jahat adalah yang merugikan Islam. Kejadian ini juga menetapkan ketegangan perang antara pihak Quraysh dan Muslim. Peperangan mereka, menurut sumber asli Islam, menjadi saat di mana Allah menurunkan banyak wahyu bagi Muhammad tentang perang melawan kafir.
Keterangan Robert Spencer di atas adalah tentang penyerangan yang dilakukan Musli terhadap pedagang Quraysh di Nakhla. Ini merupakan penyerangan jihad pertama yang berhasil. Sebelumnya, Muhammad dan gerombolan Muslimnya telah berkali-kali gagal merampok pedagang Quraysh. Untuk lebih memahami kisahnya, kubuat illustrasinya. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya.

Image
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Image

Harap diingat bahwa Muslimlah yang selalu terlebih dahulu menumpahkan darah, baik di Mekah maupun setelah hijrah di Medinah. Pedagang² Quraysh ini tidak pernah melakukan perbuatan apapun yang menyakiti Muslim. Muhammad dan Muslim juga tidak menuntut mereka masuk Islam atau ngaku Muhammad itu Rasul Allah, dll, jika tidak maka akan diserang. Tidak ada tuh persyaratan harus masuk Islam segala di kejadian Nakhla ini. Yang ada hanyalah JEBRET langsung serang dan JAMBRET. Satu²nya diincar Muslim hanyalah harta kafir, tak peduli jika harus menipu dan membunuh sekalipun.
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Image
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Image
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Image
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Image
User avatar
Adadeh
Posts: 8184
Joined: Thu Oct 13, 2005 1:59 am

Re: Buku: Apakah Muhammad Benar² Ada?

Post by Adadeh »

Image
Post Reply