SUDAH DIPERIKSA ali5196
Dr. F. Harper menulis dalam kasus-kasus semacam itu, kerusakan utama di Mesir disebabkan oleh obat yang disebut
manzoul, yang mengandung ganja India (
Canabis Indica). Tanaman
datura juga memiliki daya kerja kuat, dan digunakan untuk maksud serupa: meningkatkan gairah seksual.
Dr. Henry H. Jessup, yang berbagi pengalaman selama 53 tahun sebagai misionaris di Syria, mengatakan bahwa ia telah membaptis tidak kurang dari 30 Muslim, dan mengetahui ada sekitar 40 hingga 50 murtadin, namun sebagian besar harus mengungsi dari negara tsb karena
takut penganiayaan.
“Seorang murtadin,
Naamet Ullah, yang murtad tahun 1895, tiba di Beirut di musim semi. Ia
ditahan, dilempar ke dinas ketentaraan dan menulis sehelai surat padaku dari barak militer. Ia dan resimennya dikirim ke Hauran, desersi, muncul lagi di Beirut, dari situ ke Tripoli, kemudian naik kapal ke Mesir,
dan hilang dari peredaran.”
5 Fifiy-three Years in Syria, by Henry H. Jessup, vol. ii, p.635.
“Di bulan Juni tahun 1900, dua pria beserta istri-istri mereka, murtad dari Islam, dan melakukan perjalanan ke Mesir. Mereka menerima Kristus lewat tetangga mereka yang saleh di sebuah kota di pedalaman, dan setelah masa percobaan yang panjang, diterima sebagai saudara seiman. Kami mendapatkan tiket bagi mereka ke Alexandria naik kapal laut, dan mereka pergi ke rumah baru mereka di Mesir dimana mereka segera terlibat dalam pekerjaan pelayanan mandiri yang membawa kepuasan besar oleh karena ketulusan dan kesetiaan mereka. ... Untuk menenangkan beban pikiran saudara seiman yang telah mengirim mereka pada kami, khawatir mereka akan dihalangi untuk pulang naik kapal ke Syria, aku menulis surat pada mereka sbb: ‘Barang-barang yang anda kirim pada kami tiba dengan dengan aman, dan kami kapalkan ke Mesir dengan kapal uap Khedivial, 30 Juni, kepada agen bisnis kami. Bungkusan besar, yang ternyata terlalu tua untuk dikapalkan, kami kembalikan ke agen di Damaskus untuk diteruskan pada anda. Kami berharap keuntungan besar dari bagian yang dikirim ke Mesir.’”
Alasan mengapa surat ini ditulis dengan gaya komersil adalah karena setiap surat akan dibaca petugas pos, yang dapat membawa kesulitan bagi pihak-pihak terkait.
6 Ibid., vol. ii, pp. 691-692.
Pasar di Peshawar, 1909
http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... .htm#pb159
V.H. Starr dari
Peshawar, menceritakan tentang seorang murtadin (beralias 'Flower of the King'), pemuda berusia 18 tahun, yang menyerahkan hidupnya bagi Kristus. Ia berasal dari suku liar Afridis,
AFGHANISTAN dan datang ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan. Ia tetap berada disana sebagai pelayan, dan tak lama setelahnya memohon untuk menjadi seorang Kristen. Ayah dan saudaranya datang untuk suatu urusan tahun 1914. Mereka senang dapat menjumpai anak itu lagi, dan mengetahui ia punya penghasilan tetap. Karena mereka datang dengan bersahabat, tidak ada yang curiga. Segera setelah itu, sang ayah meminta izin bagi anaknya untuk mengunjunginya. Anak muda tersebut mendapat izin satu hari penuh; dan, dengan mengenakan pakaian terbaiknya serta senyum bahagia, ia berangkat. Malam menjelang…. dan ia tidak kembali…. Tak ada jejak dimana ia berada…. Setelah itu kebenaran terungkap. Ia telah dirayu keluar dari rumah sakit, dan dicerca telah membawa aib pada keluarga karena masuk Kristen. Hanya ada satu pilihan, melepas iman barunya atau nyawanya. Tidak diketahui secara detil, namun fakta menjelaskan pemuda Afridi ini
dirajam sampai mati oleh ayahnya dan keluarganya sendiri, karena tak ada pilihan lain. Boleh jadi bagi 'Santo Stefanus' muda abad 20 ini, surga terbuka dan ia melihat kemuliaan Yesus.
7 Mrs. V. H. Starr, in The Moslem World, vol. xi, p. 80. http://www.archive.org/stream/muslimwor ... t_djvu.txt
http://www.rawa.org/photo7.htm
Bahkan di
PULAU JAWA, dimana jumlah murtadin dari berbagai jenis misi Belanda mencapai jumlah hampir 30 ribu jiwa, semangat penganiayaan masih ada; dan banyak yang menghadapi sikap permusuhan yang datang dari keluarga sendiri. Dalam
Het Zendings Blad terbitan Gereja Reformasi (Oktober 1923) kami temukan terjemahan dari
sepucuk surat menyedihkan yang ditulis seorang gadis Jawa pada sahabatnya. Dari surat tersebut, kami terjemahkan paragraf berikut:
“Engkau tahu, saudaraku Yusuf telah
diusir dari rumah, dan saudarinya yang malang ini sendirian. Kuberitahukan padamu apa yang terjadi padaku di hari Kamis, tanggal 31 Mei, jam dua. Ayahku memanggilku, dan seperti biasa mulai berbicara menyerang agama Kristen. Isi pembicaraan kami tidak akan menarik bagimu; namun saat aku mulai menangis, ayah, dan juga ibu mulai
memukulku. Mereka menyeretku ke sebuah ruangan di bagian belakang rumah kami, dan semakin aku menangis, semakin menjadi-jadi kemarahan mereka. Ayah memukuliku dengan sendalnya… di kepala dan punggungku, keduanya menangkapku dengan cepat ketika aku mencoba meloloskan diri. Kemudian ibu
merampas gelang-gelangku karena aku mengucapkan nama Kristus.”
“Tahukah kau apa yang ayah katakan padaku? Ia berpaling pada ibu dan berseru,
‘Kita bunuh saja dia, punya anak perempuan atau tidak, bukan masalah.’ Sekali lagi aku mencoba meloloskan diri, namun aku dikunci
di sebuah ruang sempit. Saat ayah berkata, ‘Kita bunuh saja dia,’ bukan sekedar kata-kata belaka….Ia memang bermaksud melakukannya…. ia
membenturkan kepalaku ke dinding dan mencoba mencekikku. Lantas aku mulai berdoa, dan ibu berkata, ‘Lihat! Lihat! Ia berdoa lagi.’ Kemudian ayah
memukuli wajahku dengan sendalnya….; dan mereka meninggalkanku. Aku teringat kisah Paulus yang dipenjara—bagaimana, setelah pemukulan atasnya, ia bernyanyi memuji Tuhan; dan aku dipenuhi kerinduan untuk bernyanyi. Akupun bernyanyi dengan lirih agar tak seorangpun mendengarku:..
‘Kami memujiMu, hanya Engkau!”
“Jam enam, kudengar langkah ibuku, dan aku berkata padanya, ‘Biarkan aku keluar!’ Jam tujuh ayah datang, namun hanya untuk menyiksaku dengan berbagai pertanyaan sulit yang tak bisa kujawab.” Setelah menjelaskan berbagai hukuman lain yang ia alami, serta rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya, surat tersebut berlanjut, “Setelah aku menangis selama satu jam, ibu membuka pintu dan menyuruhku makan, sementara ayah mengancam memukulku bila mencoba kabur. Ibu bertanya apakah sekarang aku akan berhenti mengakui iman Kristen, namun aku tak berani berjanji karena jauh di lubuk hati, aku tetap ingin menjadi Kristen. Mereka telah mengambil Alkitabku, buku-bukuku, dan aku iri pada Yusuf, saudaraku, karena ia hanya diusir dari rumah.” Kisah ini terjadi di Jawa Tengah, terkait salah satu sekolah Kristen.
Salah satu murtadin yang sangat terkenal di MESIR adalah
Mikhael Mansur.
http://www.answering-islam.org/Testimon ... index.html
Sekitar tiga puluh tahun lalu ia menyelesaikan dua belas tahun studinya di Universitas Al-Azhar, dan walaupun hampir berusia dua puluh tahun, ia telah mencapai tingkat seorang Sheikh. Seorang mahasiswa brillian, seorang master di bidang bahasa dan sastra Arab, namun tak pernah kontak dengan Kekristenan. Suatu hari, tanpa sengaja ia membaca sebuah ayat dari Kitab Suci yang dikutip dalam suatu serangan terhadap Kekristenan, ayat yang tak tertahankan memukaunya – “
Dan inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Tuhan yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Mempelajari bahwa kata-kata ini dikutip dari Injil Yohanes, ia ingin sekali memperoleh salinan buku tersebut. Dengan membawa Alkitab yang tersembunyi dibalik jubahnya, ia pulang ke rumah dan mulai membaca. Di kemudian hari saat menceritakan kejadian ini, ia berkata bahwa ia tak berhenti membaca sepanjang malam. Kata-kata dari dalam buku itu seperti api membara dalam jiwanya. Ia bergumul dengan keraguan dan kekhawatiran, yang membuka jalan ke masalah teologis. Seperti Saulus dari Tarsus, ia merenungkan semua kehidupan masa lalunya dan prospek masa depan berupa puing-puing reruntuhan jika ia menjadi seorang Kristen. Namun keputusan sudah dibuat, dan kemudian ia mencari pembaptisan. Karena takut mengakui imannya di kota asal, dan karena adanya keterlambatan dan kesalahpahaman, ia akhirnya pergi ke sebuah gereja Katolik Roma di kota lain dan dibaptis disana. Selama beberapa tahun ia tetap bersama gereja tersebut, mengajar di sekolah mereka. Ia dibawa ke Roma dan diperkenalkan pada Paus Leo XIII. Namun perjalanan ini, bukannya membuatnya terkesan dengan kebesaran Roma, melainkan memperlihatkan sisi lemah Roma. Ia kembali ke Gereja Evangelis setelah pulang ke Mesir dan tetap menjadi jemaat setia gereja tersebut sepanjang hidupnya. Mulanya ia bekerja sebagai guru, namun ia segera memperlihatkan kemampuannya yang luarbiasa dalam berpidato, dan selama beberapa tahun menyelenggarakan pertemuan-pertemuan bagi diskusi keagamaan. Pertemuan-pertemuan ini semakin banyak peminatnya, sampai tak ada lagi gedung misi yang cukup besar untuk menampung peserta, yang hampir seluruhnya terdiri dari Muslim, dan banyak diantaranya mahasiswa Al-Azhar. Selama delapan belas tahun, dua kali seminggu, ia meneruskan pertemuan semacam ini di Kairo. Rasa khawatir dan malu di masa-masa awal, telah meninggalkan dia sepenuhnya. Para sahabat Kristennya kadangkala khawatir akan keselamatannya, namun ia sendiri sepertinya tidak mengenal rasa takut. Ia menganggap semua orang sahabatnya. Sesekali ia menerima
surat ancaman. Dan pernah ia memperlihatkan surat semacam itu di hadapan kerumunan padat dalam pertemuan, dan sambil membuka mantelnya ia berkata, “Bila ada yang ingin menembak, aku siap, namun aku harus terus, dengan kasih karunia Tuhan, memberitakan Injil Kristus.” Ia adalah seorang pria dengan kepribadian menarik, memiliki rasa humor spontan dan keramah-tamahan yang langka. Ia meninggal tahun 1918. Berapa banyak jiwa persisnya yang telah ia menangkan tidaklah mudah untuk dikatakan, namun satu diantaranya adalah saudaranya sendiri (Sheikh Kamel Mansour), yang memiliki talenta serupa, dan saat ini meneruskan pelayanannya. Kedua bersaudara ini merupakan gambaran fakta bahwa keberanian mengakui Kristus adalah bagian dari kebijaksanaan, bahkan saat berhadapan dengan Muslim fanatik di kota seperti Kairo.
Kota Aden dan daerah pedalamannya telah begitu lama berada di bawah kekuasaan Inggris (sejak 1837) sehingga orang berharap hukum ridda telah kehilangan kekuatannya, namun spirit Islam sulit mati. “
Sheikh Salem, seorang murtadin, tak diragukan lagi menderita akibat hukum ini,” tulis Dr. J.C. Young. “ketika ia berada di Dhala, sebagai sekretaris bahasa Arab Kapten Warneford, orang-orang Arab disana mengadakan pertemuan di mesjid. Diumumkan secara terbuka bahwa ia
harus dihukum mati, dan ia diperingatkan hidupnya dalam bahaya, kemudian ia kembali ke Aden, dimana ia aman, kecuali bila ada tikaman tiba-tiba dari seorang fanatik gila, yang untunglah tak ada satupun di Aden saat itu. Walau demikian, beberapa minggu lalu, sebuah
batu besar dilempar pada seorang pemuda yang sedang duduk di pinggir pantai berbicara dengan Pdt. C.J. Rasmussen dan dua wanita Denmark. Pemuda ini, beberapa tahun lalu, saat masih seorang bocah berusia 12 tahun, tertarik pada kata-kata Sheik Salem di rumah sakit kami; dan sepulangnya ke Aden setelah perang, ia berkata pada wanita misionaris yang sedang membalut kakinya bahwa ia pernah mendengar kisah Injil bertahun lalu, dan tak penah dapat melupakan kesan yang ia dapat dari kisah tersebut.”
Di PALESTINA sebelum perang, kondisinya, seperti yang dikatakan Uskup Ridley yang mengunjungi Misi tahun 1908, “Baptisan Muslim tidak dikenal di Palestina, walau murtadin relatif sedikit. Dalam beberapa kasus, mereka harus dikirim ke Mesir untuk keselamatan mereka. Baptisan murtadin di bawah pemerintahan Turki adalah pertanda penjara, dan kemungkinan disusul dengan kemartirannya. Bertentangan dengan perjanjian2 yg ditandatangani, kebebasan nurani tidak ditoleransi….Belum begitu lama, seorang sheik mendatangi sekolah misi,
menyeret keluar salah satu murid perempuan dan memukulinya sampai hampir tewas. Diantara yang menemukan Kristus di rumah sakit Jaffa, adalah seorang Afghanistan, tapi ia kemudian
ditembak oleh seorang Muslim—orang yang ia tolak untuk dituntut—dan ia dibawa kembali ke rumah sakit, dimana ia dibaptis atas permintaannya sendiri sebelum meninggal dunia.’”
8 History of the Church Missionary Society, by Eugene Stock (London, 1916), Vol. iv, p 127.
Walaupun jumlah murtadin di INDIA cukup banyak, disana sekalipun kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi amat besar. Apa yang ditulis Sir G.K. Scott-Moncrieff dalam bukunya yang berharga,
Eastern Missions from a Soldier’s Standpoint, tahun 1907, masih sangat benar di beberapa bagian India. “Tentu saja, hukum di negara tersebut, sejauh yang ia bisa, memberi kebebasan beragama, dan tak seorangpun dapat dihukum di pengadilan karena beralih ke agama lain. Namun, coba biarkan seseorang melanggar, keluar garis batas agama Islam, ia akan mendapati semua kekuatan kefanatikan dan penganiayaan diarahkan padanya dengan berbagai cara. Aku mengenal dua kasus, dimana pegawai Kristen di Kantor Layanan Umum, yang keduanya murtadin, menjadi
korban konspirasi licik oleh rekan seagama mereka sebelumnya. Bukti-bukti ‘diramu’ secara licik sehingga tak terbantahkan, walau bagi yang mengenal kedua orang ini hal tersebut sangat mustahil. Konspirasi tersebut berhasil menghancurkan korbannya. Aku mengenal kasus seorang kepala clan muda yang akan dibaptis. Ia
diculik, ditelanjangi dan dipukuli, setelah bujukan uang suap tidak mempan; dan seorang teman Muslim muda yang sangat meyakini kebenaran Injil, memohon padaku untuk membawanya ke Inggris, dibaptis disana, karena ia katakan kehidupan seperti itu sangat tidak mungkin di negaranya.”
9 Ibid., vol. iv, pp.154-155.
Di sepanjang perbatasan utara, fanatisme Muslim India lebih kental. “Di Mardan,’ tulis Dr. Marie K.T. Hoist, “
putri seorang mullah datang ke rumah sakit meminta diagnosa atas kedua matanya. Sewaktu berada di rumah sakit, awalnya ia sangat menentang ajaran Kristen di lingkungan rumah sakit, kemudian perlahan-lahan menjadi tertarik, dan suatu minggu sore, ketika Bartimeus menjadi subjek bahasan, ia akhirnya memutuskan untuk ikut Kristus. Bagaimana mengagumkan Tuhan menguasai gadis muda tersebut, memberinya kekuatan untuk melepas segalanya serta mengaku Yesus dalam baptisan, dan bagaimana kemudian, ketika
diancam hukuman mati di desanya sendiri di perbatasan, ia mengakui Kristus tanpa berkedip, menolak mengucap Kalima (syahadat), dan akhirnya dengan pertolongan seorang wanita Muslim, berhasil melarikan diri. ‘Apakah sangat sulit?’ tanya misionaris saat ia kembali dari cuti. ‘Ya, pada awalnya aku begitu kesepian. Lantas terlintas di pikiranku teks yang kau berikan sebelum kepergianmu:
Hendaklah engkau setia sampai mati, dan Aku akan mengaruniakan kepadamu mahkota kehidupan.”
Kisah
Abdul Karim, seorang AFGHANISTAN yang menemukan Kristus di Rumah Sakit C.M.S. di Quetta, dan setelah itu bergabung dengan Dr. T.L. Pennel di Bannu, bersinar dengan kemuliaan para martir. Murtad (apostate) dari Islam, namun seorang Rasul (Apostle) Kristus!
Bannu Mission. A Group of Patients
http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... htm#p082-1
Di musim panas 1907, Abdul Karim, merasakan hasrat yang kuat untuk masuk ke Afghanistan, dan mengabarkan Injil disana. Ia menyeberangi perbatasan di Chaman, dan ditangkap oleh beberapa tentara Afghan. Ia akhirnya dibawa menghadap Gubernur Kandahar. Ia ditawari imbalan dan penghargaan jika mengakui kesalahan dan menerima agama Islam, dan sewaktu ia menolak, ia dimasukkan ke penjara, diberati rantai 80pounds (3, 3kg.) Ia diperiksa oleh sang
Amir (penguasa) dan saudara sang
Amir, Nasirullah. Namun ia tetap teguh dalam iman Kristennya.”
Akhirnya, ia digelandang ke Kabul dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Dari berbagai laporan yang sampai ke India, ia harus
berjalan dengan rantai dan tali kekang di mulutnya dari Kandahar hingga Kabul, sementara setiap umat Islam yang bertemu dengannya di perjalanan, menampar pipinya dan menarik janggutnya. Setelah mencapai Kabul, dilaporkan bahwa ia
meninggal dalam penjara. Namun, ada laporan lain dari seorang saksi mata yang layak dipercaya, mengatakan ia dibebaskan di Kabul dan menuju India seorang diri.
Dalam perjalanan, orang-orang di sebuah desa dimana ia sedang beristirahat, mengetahui siapa dia—mungkin salah satu mendengar tentangnya—dan membawanya ke mesjid mereka, memaksanya mengucap Kalimat (syahadat): ‘Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Nabi/Utusan Allah.’ Abdul Karim menolak.
Pedang Afghan yg memutuskan lengan2 murtadin yg tetap keukeuh menolak Islam
http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... htm#p082-1
Pedangpun beraksi, dan
lengan kanannya putus, dan ia kembali diperintahkan untuk mengulanginya, namun sekali lagi ia menolak.
Lengan kirinya menderita dengan cara yang sama, dan…., pada penolakan yang ketiga kalinya, lehernyapun putus. Tak ada keraguan, apapun rincian kemartirannya, Abdul Karim dengan setia bersaksi hingga saat terakhirnya bagi Juruselamatnya Kristus, dan tewas karena ia tidak mau menyangkaliNya.”
10 Among the Wild Tribes of the Afghan Frontier, by T. L. Pennell (London,1909), pp.293-294. http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... 2231-h.htm Masyarakat Afghanistan, tak diragukan lagi, akrab dengan Tradisi tersebut.
[CATATAN: Buku Pennell juga menyebutkan ttg dua kolonel INggris, Stoddart dan Conolly yang ditangkap dan disiksa oleh seorang Amir Afghanistan. Stoddart digorok lehernya dgn pisau dan Conolly
ditawarkan keselamatan jika mau menerima Islam. Conolly, setelah disiksa selama 99 hari, MENOLAK! Akhirnya ia dipenggal. Yang menarik, pihak Inggris tidak membalas kematian kedua kolonel itu dgn membunuh si Amir. Adik Conolly di INggris 'membalas' kematian kakaknya dengan menyumbang tempat tidur bagi rumah sakit di Bannu untuk rakyat Afghan. Orang Agfghan sampai heran dgn 'cara balas dendam' ala Kristen ini.
http://www.gutenberg.org/files/32231/32 ... htm#p082-1]
Katalog penderitaan yang dialami karena iman dalam Pasal 11 Ibrani, bisa disejajarkan dengan kehidupan orang-orang yang menderita bagi Kristus karena kemurtadannya dari Islam. Setiap orang yang membuat pilihan menghadapi kemungkinan kesendirian, pencabutan hak waris, penganiayaan dan bahkan kematian. Kita diingatkan akan kisah kehidupan Kardinal Lavigerie. Bagaimana ia mendirikan
the White Fathers, lembaga misionaris luarbiasa yang berperan mulia dalam misi di Afrika. Kaum muda dari seluruh Eropa datang ke Aljazair, memohon dapat ikut serta. Mereka telah mendengar panggilan ke Afrika, dengan iklimnya yang membakar, padang pasir dan misterinya, suku-suku kejam dan Muslim fanatik. Sebagai prajurit elite (
soldats d'elite), kami siap menghadapi bahaya. Pada makalah yang disajikan salah seorang pastor muda, Uskup Agung, menulis di kolom biasa:
Visum pro martyno (Lulus sebagai martir). “Bacalah, engkau menerimanya?” katanya pada mereka. “Untuk itulah aku datang,” jawab sang pastor singkat.
BAB IV INTOLERANSI DAN PENGANIAYAAN SELAMA BERABAD-ABAD
Muhammad saw bukan hanya mendakwahkan toleransi; ia mewujudkannya dalam sebuah hukum. Untuk semua negara taklukan ia menawarkan kebebasan beragama. Jizyah – pajak, adalah satu-satunya kompensasi yang harus mereka bayar untuk ibadah dan kenyamanan dalam iman mereka. Setelah jizyah atau pajak disepakati—setiap gangguan terhadap agama atau kebebasan nurani mereka—dianggap sebagai perlawanan terhadap hukum Islam. Apakah ini juga diterapkan kepercayaan2 lainnya? Paksaan agama dengan pedang, sepenuhnya bertentangan dengan naluri Muhammad.” SEYID AMEER ALI, dalam The Spirit of Islam, p.175.
Cara Muhammad memenangkan pengikut ... adalah dengan kekerasan. Baginya, penyebaran agama identik dengan perang melawan kafir. Muhammad adalah nabi dan tiran dalam satu badan …] OTTO PAUTZ, Mohammeds Lehre der Offenbarung, p.283.
“Bunuh siapapun yang mengubah agamanya.” – Sahih al-Bukhari 9:84:57